BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Evaluasi Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok (Studi Tentang Program RASKIN di Kecamatan Medan Tembung)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Kemiskinan merupakan masalah klasik di berbagai negara, khususnya negara- negara berkembang.Kata kemiskinan diartikan sebagai kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan manusia secara material seolah-olah kemiskinan ini sendiri hanya memiliki arti yang terbatas.Persoalan kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks.BAPPENAS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ait bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindakan kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.

  Berdasarkan data BPS jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2013 mengalami penurunan sebesar 0,52 juta orang dibanding September 2012 (www. investor.co.id). Penurunan jumlah penduduk miskin ini terjadi karena masyarakat Indonesia sudah mengalami peningkatan pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan kepala BPS, Suryamin sebagai berikut:

  “ jumlah penduduk miskin hingga Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang. Adapun

  

pada September 2012 turun menjadi 28,59 juta orang, sementara pada Maret 2013

kembali turun menjadi 28,07 juta orang. Jumlah penduduk miskin ini sudah mengalami

penurunan, meski tipis.Ini disebabkan karena pendapatan masyarakat sudah mulai

meningkat," kata Suryamin saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (1/7/2013).

  

Suryamin menambahkan, jumlah penduduk miskin hingga September 2012 untuk di

perkotaan mencapai 10,51 juta orang, sementara di pedesaan mencapai 18,08 juta orang.

Adapun jumlah penduduk miskin hingga Maret 2013 untuk di perkotaan sebesar 10,33

juta orang, sedangkan di pedesaan mencapai 17,74 juta orang. Oleh karenanya, perubahan

jumlah penduduk miskin untuk di perkotaan menurun sekitar 180.000 orang, dan di

pedesaan menurun 340.000 orang,"

  Melihat dari kutipan tersebut, kemiskinan memang mengalami penurunan, namun dalam hal ini pemerintah Indonesia belum bisa dikatakan berhasil dalam menanggulanginya karena masih banyak sekali contoh kasus kemiskinan yang dapat dengan mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Untuk meminimalisir hal tersebut pemerintah selalu berusaha untuk membentuk suatu program yang efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia. Adapun program kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dibentuk pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencakup ke dalam 3 klaster, yaitu: 1.

  Klaster I : meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), dan Program Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN) 2. Klaster II : meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

  (PNPM), dan Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja/Padat Karya Produktif 3. Klaster III : meliputi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha

  Bersama (KUBE) Salah satu program yang cukup penting ialah program Beras Untuk

  Masyarakat Miskin atau biasa disebut (RASKIN).Instruksi presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang kebijakan perberasan menginstruksikan Menteri dan Kepala

  Lembaga Pemerintah Non Departermen tertentu, serta Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk melakukan upaya peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi pedesaan dan stabilitas ekonomi nasional. Secara khusus Perum Bulog diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan yang penyediaannya mengutamakan pengadaan beras dan gabah dalam negeri.

  Program RASKIN adalah sebuah program yang dilaksanakan di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri dan Perum Bulog sesuai dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Dalam Negeri dengan Direktur Utama Perum Bulog Nomor : 25 tahun 2003 dan Nomor: PKK-12/07/2003, yang melibatkan instansi terkait, pemerintah daerah dan masyarakat.BPS mencatat pada tahun 2013 terdapat sebanyak 15.530.897 Rumah Tangga Sasaran – Penerima Manfaat (RTS- PM) yang menerima raskin .Adapun program RASKIN ini bertujuan sebagai bentuk upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok dan untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15kg/Rumah Tangga Miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp1.600/kg (netto) di titik distribusi.Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi dipegang oleh Perum BulogProgram raskin seyogianya memang bertujuan baik.Namun, dalam pelaksanaannya masih kurang memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sehingga walaupun telah menjadi program tahunan pemerintah, raskin ini sendiri masih belum mampu menjawab kebutuhan pemenuhan pangan pokok masyarakat Indonesia (dalam hal ini beras).Banyak kekurangan/kelemahan dalam program ini salah satunya ialah salah sasaran karena kurangnya koordinasi antara pemerintah provinsi dengan kota-kecamatan- desa/kelurahan yang menyebabkan keusangan data mengenai jumlah warga miskin.Kemudian persolan tepat guna apakah program ini memang merupakan program yang tepat untuk menjawab kebutuhan pangan pokok masyarakat miskin melihat jatah yang ditetapkan pemerintah kepada tiap rumah tangga miskin yang maksimal 15kg/bulan.Dengan jatah ini, bagaimana kebutuhan pangan masyarakat miskin dapat tercukupi mengingat semakin tingginya harga kebutuhan pangan pokok dipasaran.Itupun jika jatah beras dapat diberikan maksimal, bagaimana jika kurang dari jatah maksimal.Kemudian menyangkut kualitas beras.Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan karena bagaimanapun masyarakat merupakan insan manusia yang harusnya mendapatkan pangan yang layak.Namun, dalam kenyataannya tidak jarang ditemukan kulitas beras yang rendah bahkan ada beras yang berkutu yang diberikan kepada warga.Kemudian, alokasi biaya. Dengan adanya program raskin ini seharusnya dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan lainnya dengan mengalokasikan dana yang seharusnya untuk kebutuhan pangan menjadi dana untuk memenuhi kebutuhan penting lain yang menyangkut hidupnya dan bukan sama sekali tidak ada perbaikan kondisi hidup masyarakat seperti yang banyak terlihat sekarang ini. Beberapa hal di atas dapat menggambarkan bagaimana kelemahan-kelemahan yang terjadi dan masih banyak lagi kelemahan-kelemahan lainnya yang membuat

program ini masih perlu mendapatkan peninjauan guna perbaikan yang membawa perubahan pada kualitas hidup masyarakat.

  Fakta tentang masih banyaknya terdapat kekurangan/kelemahan dalam kebijakan program beras RASKIN ini kepada masyarakat juga terjadi di Kecamatan Medan Tembung.Sebagai daerah dengan jumlah penduduk miskin yang masih tergolong tinggi, Kecamatan Medan Tembung termasuk daerah yang menjadi target penyaluran Raskin.Dikarenakan masih adanya kelemahan- kelemahan seperti yang telah dijelaskan di atas membuat penulis merasa tertarik mengadakan penelitian seputar Program RASKIN dengan mengangkat judul “EvaluasiDampak Kebijakan Pemerintah Dalam Pemenuhan Kebutuhan

  

Pangan Pokok Masyarakat Miskin (Studi Tentang Program RASKIN di

Kecamatan Medan Tembung)”.

  1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana dampak dari pelaksanaan Program RASKIN (Beras Untuk Masyarakat Miskin) di Kecamatan Medan Tembung?”

  1.3.Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui dampak pelaksanaan program RASKIN di Kecamatan Medan Tembung

  2. Untuk mengetahui bagaimana manfaat yang dirasakan masyarakat dengan adaqnya program RASKIN di Kecamatan Medan Tembung

  1.4.Manfaat Penelitian 1.

  Secara akademis, sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi Strata-1 di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 2. Bagi penulis, guna menambah wawasan tentang program raskin yang dilakukan oleh pemerintah dan nilai kemanfaatannya bagi masyarakat

  3. Bagi intansi terkait, sebagai bahan masukan dalam menjalankan program raskin di wilayahnya

  4. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti program raskin selanjutnya

  1.5.Kerangka Teori

  Dalam melakukan penelitian dibutuhkan kerangka penelitian, yaitu pedoman dasar berfikir untuk memudahkan penelitian. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih ( Nawawi: 400 ).

1 Menyusun teori diartikan sebagaiserangkaian konsep, defenisi, proposisi yang

  saling berkaitan dan tujuan memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu 1 Hadari, Nawawi. 1990. Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Press fenomena.Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis mengemukakan beberapa teori yang dapat dijadikan landasan dalam penelitian ini.

1.5.1.Kebijakan Publik

1.5.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

  Kebijakan merupakan terjemahan dari kata Policy yang berasal dari bahasa Inggris.Kata Policy yang diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain.menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan dapat diartikan sebgai rangkaian konsep dan asa yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan pengertian public itu sendiri bisa diartikan sebagai umum, masyarakat ataupun Negara.

  Menurut Thomas R. Dye (1981) dalam Winarno (2002), kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak

  

  dilakukan. Namun para ahli menganggap pengertian ini belum bisa mendefinisikan kebijakan publik dengan rinci. Banyak para ahli yang mencoba untuk mendefinisikan pengertian kebijakan publik dengan lebih luas. Menurut Easton (1969) dalam Hessel N. Tangkilisan (2003) kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari

2 Budi, Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

  sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian

   nilai-nilai kepada masyarakat.

  Berdasarkan pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah yang dirumuskan dan dilaksanakan untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga lain yang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat.Jadi pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat.

  Kebijakan dalam konteks program biasanya mencakup serangkaian kegiatan yang menyangkut pengesahan/legislasi, pengorganisasian, daan pengerahan atau penyediaan sumber-sumber daya yang diperlukan. Program itu sendiri memiliki ruang lingkup yang relative khusus dan cukup jelas batas- batasnya.Program-program dipandang sebagai sarana (instrument) untuk mewujudkan berbagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah.

1.5.1.2. Proses Kebijakan Publik

  Adapun kebijakan publik memliki tahap-tahap yang cukup kompleks karena memiliki banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Menurut William N. Dunn (1994) tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai

  

  berikut: 1. 3 Penyusunan Agenda (Agenda Setting) 4 Hessel Nogi Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI William N Dunn. (1994), Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice-Hall International,

  Englewood Cliffs, New Jersey

  Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakanq publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.

  Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut Dunn, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

  Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: 1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;

  2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis jika tidak dilakukan pemunculan kebijakan oleh pejabat berwenang;

  3. menjangkau dampak yang amat luas ; 4. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ; 5. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

  6. Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

  2. Formulasi kebijakan (Policy Formulation) Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

  3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption) Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang mendukung.Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.

  4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Suatu Program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya financial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi mendapat dukungan para pelaksana, namun, beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana

  5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

1.5.2. Evaluasi kebijakan

1.5.2.1. Pengertian Evaluasi kebijakan

  Menurut Subarsono (2005), evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat

  

  kinerja suatu kebijakan. Sedangkan Jones (1997) menyatakan bahwa evaluasi suatu kebijakan public berarti dilakukan peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.pertanyaan mendasar yang muncul pada proses dilakukannya evaluasi kebijakan, yaitu: apakah akibat-akibat itu memang diinginkan, bagaimana hasilnya, respon yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat, bagaimana lokasi dan kondisi di lapangan, bagaimana dukungan perundang-undangannya, bagaimana sikap dari kelompok-kelompok

  

  yang ada. Jika dilihat dari proses tahapan kebijakan publik maka evaluasi adalah tahap akhir dalam tahapan kebijakan, namun pendapat beberapa ahli sering menyatakan bahwa evaluasi bukanlah proses akhir dalam tahapan kebijakan. evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebiijakan public meraih hasil yang diinginkan.

  Menurut James Lester dan Joseph Stewart (2000), evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakn public yang telah dijalankan meraih dampak yang

  5 6 Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hessel Nogi Tangkilisan, Op. cit. Hal 25 diinginkan.lebih lanjutnya, evaluasi mereka bedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, yaitu:

   1.

  Menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Tugas ini merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan publik mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan atau tidak. Bila tidak, faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya.

  2. Menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standart atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas ini berkaitan erat dengan tugas pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi- konsekuensi kebijakan melalui penggambaran dampak kebijakan publik, maka kita dapat mengetahui apakah program kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan dampak yang diinginkan.

  Berdasarkan seluruh pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk menilai dan mengukur tingkat keberhasilan suatu kebijakan atau program secara objektif melalui standar pengukuranyang telah ditetapkan

1.5.2.2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Tujuan Evaluasi

  Menurut William N. Dunn (1994), evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dirinci sebagai berikut:

   7 Budi, Winarno. Op. cit. Hal 165 8 William N Dunn. (1994), Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice-Hall International, Englewood Cliffs, New Jersey

  1. Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut. Mengukur efek menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang membandingkan efek dengan tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk mengukur keberhasilan 2. Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi kebijakan dan menilai kesesuaian dan perubahan program dengan rencana

  3. Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan implementasi

  4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan lebih lanjut mengenai program di masa datang

  Gambar 1. Kebijakan Sebagai Suatu Proses Input Proses Ouput Outcome Dampak Umpan Balik Fungsi Evaluasi

  Evaluasi kebijakan berfungsi untuk memenuhi akuntabilitas publik, karenanya sebuah kajian evaluasi harus mampu memenuhi esensi akuntabilitas tersebut, yakni:

  1. Memberikan Eksplanasi yang logis atas realitas pelaksanaan sebuah program/kebijakan. Untuk itu dalam studi evaluasi perlu dilakukan penelitian/kajian tentang hubungan kausal atau sebab akibat 2. Mengukur Kepatuhan, yakni mampu melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar dan prosedur yang telah ditetapkan

  3. Melakukan Auditing untuk melihat apakah output kebijakan sampai pada sasaran yang dituju. Apakah ada kebocoran dan penyimpangan pada penggunaan anggaran, apakah ada penyimpangan tujuan program, dan pada pelaksanaan program

  4. Akunting untuk melihat dan mengukur akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misalnya seberapa jauh program yang dimaksud mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan telah sesuai dengan yang diharapkan, adakah dampak yang tak diharapkan.

1.5.2.3. Tipe atau Model Evaluasi

   Sugiyono (1998) menyebutkan ada dua tipe evaluasi yaitu: 1.

  Evaluasi Proses (Formative Evaluation), adalah penilaian terhadap proses dari program. Evaluasi proses sering disebut juga dengan evaluasi implementasi. Evaluasi ini memiliki konsekuensi berupa output. Output adalah barang, jasa, atau fasilitas lain yang diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran maupun kelompok lain yang tidak dimaksudkan untuk disentuh oleh kebijakan. output biasanya berupa 9 dampak jangka pendek. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai tingkat

  Skripsi SatrianaMaraya. 2011. Evaluasi Penyelenggaraan Program Pelatihan Reguler di UPTP Balai Latihan Kerja Industri Makassar Periode 2010. Makassar: Universitas Hasanuddin. Bab 2, Hal 9 kepatuhan pelaksana atas standart aturan. Umumnya evaluasi ini lebih bersifat kualitatif dan menggunakan model-model implementasi beserta varibelnya 2. Evaluasi Dampak (Summative Evaluation), adalah penilaian dampak dari suatu program (outcomes). Bisa dilakukan sebelum diimplementasikan

  (sering disebut analisis, estimasi, prediksi atau perkiraan) atau sesudah diimplementasikan.

  Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan), dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran (impact). Konsekuensi kebijakan berupa dampak yang ditimbulkan rentetan aktivitas input, proses, dan output kebijakn. Umumnya perubahan kondisi fisik dan social jangka panjanglah yang menjadi output evaluasi dampak. Evaluasi dampak dapat menggunakan pendekatan deskriptif dan eksplanatif

  Adapun evaluasi dampak dilakukan untuk melihat berbagai hal, yaitu: 1.

  Menentukan apakah program telah membawa dampak yang diinginkan terhadap individu, rumah tangga, dan lembaga

  2. Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplememtasikan 3.

  Membandingkan satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dengan kelompok lain yang tidak terintervensi

  4. Mengeksplor akibat yang tidak diperkirakan baik positif maupun negatifnya

  5. Apa yang akan terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi tanpa intervensi

  6. Permasalahan yang disoroti pada bagaimana program mempengaruhi peserta program dan apakah perbaikan kondisi peserta program betul-betul disebabkan oleh program ataukah faktor lain

  Adapundimensi dampak yang dikaji dalam evaluasi kebijakan ini meliputi: a.

  Waktu.

  Dimensi waktu ini penting diperhitungkan karena kebijakan dapat memberikan dampak yang panjang, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.Semakin lama periode evaluasi waktu semakin sulit mengukur dampak, sebab :

  1. Hubungan kausalitas antara program dengan kebijakan semakin kabur,

  2. Pengaruh faktor-faktor lain yang harus dijelaskan juga semakin banyak,

  3. jika efek terhadap individu dipelajari terlalu lama maka akan kesulitan menjaga track record individu dalam waktu yg sama.

  4. Semakin terlambat sebuah evaluasi dilakukan akan semakin sulit mencari data dan menganalisis pengaruh program yang diamati.

  b.

  Selisih antara dampak aktual dengan yang diharapkan.

  Selain memperhatikan efektifitas pencapain tujuan, seorang evaluator harus pula memperhatikan:

  1. Berbagai dampak yang tak diinginkan, 2.

  Dampak yang hanya sebagian saja dari yang diharapkan dan 3. Dampak yang bertentangan dari yang diharapkan c. Tingkat Agregasi Dampak Dampak juga bersifat agregatif artinya bahwa dampak yang dirasakan secara individual akan dapat merembes pada perubahan di masyarakat secara keseluruhan

  Sedangkan Finsterbusch dan Motz (1980) membagi tipe evaluasi berdasarkan kekuatan kesimpulan yang diperolehnya, yaitu:

   1.

  Single program after-only, informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan

  2. Single program before-after, informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan 3. Comparative after-only, informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program yang dijalankan

  4. Comparative before-after, inormasi yang diperoleh berdasrkan efek program trhadap kelompok sasarn sebelum dan sesudah program dijalankan.

  Gambar 2. Model Evaluasi Menurut Finsterbusch dan Motz

  JENIS EVALUASI PENGUKURAN KONDISI KELOMPOK SASARAN SEBELUM SESUDAH KELOMPOK KONTROL

  INFORMASI YANG DIPEROLEH

  Single Program After Only

  Tidak Ya Tidak Ada Keadaan Kelompok sasaran (Output)

  

Single Program Ya Ya Tidak Ada Perubahan

10 Ibid Hal 28

  Before-After

  Kelompok sasaran Tidak Ya Ada Keadaan Sasaran

  Comarative After Only

  dan Bukan Sasaran (Outcome)

  

Comparative Before- Ya Ya Ada Efek Program

After

  Terhadap Sasaran

1.5.2.4. Pendekatan Terhadap Evaluasi

  Menurut Dunn (1994) dalam Subarsono (2005) ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi, yakni:

  1. Evaluasi Semu: adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode dekriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan, tanpa menanyakan manfaat atau nilai dari hasil kebijakan tersebut pada individu, kelompok, atau masyarakat

  2. Evaluasi Formal: adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan berdasarkan sasaran program kebijakan yang telah ditetapkan secara formal oleh pemuat kebijakan

  3. Evaluasi Proses Keputusan: adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan mentode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai stakeholders.

  1.5.2.5. Model Evaluasi yang digunakan peneliti

  Dalam penelitian ini, peneliti melakukan evaluasi dampak yang bersifat non-ekonomis dengan lebih khusus lagi menggunakan model Single program

  

after-only .dalam model Single Program after-only ini penelliti hanya tertuju pada

  kelompok sasaran dalam program tersebut tanpa melihat kelompok eksternal.Kita tidak bisa menelliti denngan menggunakan model Single program after-only jika program tersebut belum diimplementasikan.Adapun penelitian dengan Single

  

program after-only ini hanya melihat keadaan masyarakat (sasaran) setelah

dilaksanakannya program tersebut tanpa kelompok kontrol.

  1.5.2.6. Indikator Evaluasi

  Menurut Subarsono, untuk menilai suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indicator yang tunggal akan membahayakan. Dalam arti hasil penelitiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indicator atau criteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn mencakup lima indicator sebagai berikut: a. efektivitas: apakah hasil yang diinginkan telah tercapai? b. Kecukupan: seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah? c.

  Pemerataan: apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda? d.

  Responsivitas: apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka? e.

  Ketepatan; apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

1.5.3. Kebutuhan

  Kebutuhan adalah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencapai kemakmuran. Pada dasarnya, manusia bekerja mempunyai tujuan

  

tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan.Kebutuhan tidak terlepas dari kehidupan

sehari-hari.selama hidup manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan

dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan, waktu, dan agama.Semakin tinggi

tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin tinggi / banyak pula macam

kebutuhan yang harus dipenuhi. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki

  lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang

   masa hidupnya (Robbins: 2008).

  Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Maslow adalah sebagai berikut (disusun dari yang paling rendah) : 1.

  Kebutuhan Fisiologis Contohnya seperti : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis bernafas, dan lain sebagainya.

  2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan Contohnya seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan semacamnya.

  3. Kebutuhan Sosial Contohnya seperti : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta 11 dari lawan jenis, dan lain-lain.

  Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. 2008.Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat

  4. Kebutuhan Penghargaan Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Ekstrinsik dan Instrinsik.

  Sub kategori ekstrinsik meliputi : Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya, sedangkan sub kategori instrinsik sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.

  5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang yang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu inginkan. Dalam artian mereka berasumsi “dilahirkan untuk melakukan hal berguna apa” bagi diri sendiri dan bagi banyak orang Dari kelima kebutuhan yang telah dipaparkan di atas, adapun yang menjadi fokus penelitian ialah terletak pada kebutuhan paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis ataupun sering disebut dengan kebutuhan primer dimana penelitian ini melihat bagaimana dampak kebijakan pemerintah dalam usaha pemenuhan kebutuhan di bidang pangan yang direalisasikan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui program RASKIN (beras untuk masyarakat miskin).

1.5.4. Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN)

1.5.4.1. Pengertian RASKIN

  Program RASKIN (Program Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin) adalah sebuah program dari pemerintah sebagai upaya untuk mengurangi beban pengeluaran dari rumah tangga miskin sebagai bentuk dukungan dalam meningkatkan ketahanan pangan dengan memberikan perlindungan sosial beras murah dengan jumlah maksimal 15 kg/Rumah Tangga Miskin/bulan dengan masing-masing seharga Rp 1600,00 per kg (netto) di titik distribusi. Program ini mencakup di seluruh provinsi, sementara tanggung jawab dari distribusi beras dari gudang sampai ke titik distribusi di kelurahan dipegang oleh Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).

  Menurut Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Program Raskin adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat berupa bantuan beras bersubsidi kepada rumah tangga berpendapatan rendah (rumah tangga miskin dan rentan miskin).

  Istilah-istilah yang digunakan dalam petunjuk teknis antara lain adalah: 1.

  Tim koordinasi program RASKIN tingkat provinsi adalah tim koordinasi yang ditetapkan berdasarkan keputusan Gubernur dan terdiri dari unsur opemerintah daerah provinsi (Biro Sarana Perekonomian, Biro Bina Produksi, Bapperda, BPS (Badan Pusat Statistik), Perum Bulog, Kepolisisan, Kejaksaan serta stakeholders yang terkait.

2. Tim Koordinasi Divisi Regional (Divre) provinsi adalah satuan kerja

  Perum Bulog Divre provinsi yang dibentuk Kadivre yang bertugas dan bertanggung jawab mengkoordinasi dalam pelaksanaan program RASKIN di Sub Divre

  3. Satuan kerja RASKIN adalah satuan kerja perum Bulog Sub Divre ytang dibentuk kepala Sub Divre yang bertugas dan bertanggung jawab mengangkut beras dari gudang Perum Bulog sampai dengan titik distribusi dan menyerahkan kepada pelakana distribusi

  4. Pelaksana Distribusi adalah kelompok kerja di titik distribusi yang dibentuk berdasarkan musyawarah desa/kelurahan yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa/Lurah, terdiri dari aparat desa/kelurahan, Lembaga Masyarakat, dan unsur-unsur masyarakat yang bertugas dan berwenang mendistribusikan RASKIN kepada penerima manfaat RASKIN

5. Titik Distribusi adalah tempat atau lokasi penyerahan beras oleh Satuan

  Kerja RASKIN Sub Divre kepada pelaksana distribusi di desa/kelurahan yang dapat dijangkau penerima RASKIN atau lokasi lain yang ditetapkan atas dasar kesepakatan secara tertulis antara pemerintah daerah dan Sub Divre 6. Rumah Tangga Miskin (RTM) adalah penerima manfaat Program

  RASKIN di desa/kelurahan sesuai hasil pendataan BPS dengtan kategori sangat miskin, miskin, dan sebagian hampir miskin

  7. Musyawarah desa/kelurahan adalah forum komunikasi di tingkat desa/kelurahan untuk menetapkan RTM yang berhak menerima RASKIN

  8. Beras Standar Kualitas Bulog adalah beras kualitas medium, kondisi baik, dan tidak berhama

  9. Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) adalah lembaga yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur di provinsi dan keputusan Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota yang berfungsi menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung termasuk media cetak dan elektronik

1.5.4.2. Tujuan dan Sasaran Program RASKIN

  1. Tujuan

  Tujuan program RASKIN adalah untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.

  2. Sasaran

  Sasaran dari program RASKIN ini ialah Rumah tangga yang dapat menerima beras Raskin, atau juga disebut Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) Program Raskin yaitu rumah tangga yang terdapat dalam Daftar Nama dan Alamat RTS-PM Program Raskin.

1.5.4.3. Penentuan Pagu

  Pagu raskin Nasional dialokasikan ke provinsi di seluruh Indonesia oleh Tim Koordinasi Raskin pusat berdasarkan data RTS dari BPS.Adapun Pagu Nasional Program Raskin mengalami perubahan dari sekitar 17,5 juta RTS-PM di tahun 2012 menjadi sekitar 15,3 juta RTS-PM untuk tahun 2013. Dengan demikian, alokasi pagu tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan juga mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.sedangkan pagu Raskin provinsi dialokasikan ke Kabupaten/Kota oleh Tim Koordinasi Raskin Provinsi. Untuk pagu kecamatan/ kelurahan/desa ditetapkan oleh tim koordinasi rakin kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota. Penetapan pagu raskin kecamatan dan kelurahan/desa didasarkan pada pagu raskin kabupaten/kota dan data rimah tangga sasaran kecamatan dan kelurahan/desa dari BPS.

1.5.4.4. Pengelolaan dan Pengorganisasian

  `Pengelolaan Raskin memiliki prinsip nilai -nilai dasar yang menjadi landasan atau acuan setiap pengambilan keputusan dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan, yang diyak ini mampu mendorong terwujudnya tujuan program Raskin. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : a.

  Keberpihakan kepada RTS -PM Raskin, bermakna mengusahakan RTS - PM Raskin dapat memperoleh beras kualitas baik, cukup sesuai alokasi dan terjangkau.

  b.

  Transparansi, bermakna membuka akses informasi kepada pemangku kepentingan Raskin terutama RTS -PM Raskin, yang harus mengetahui dan memahami adanya kegiatan Raskin serta dapatmelakukan pengawasan secara mandiri.

  c.

  Partisipatif, bermakna mendorong masyarakat terutama RTS -PM Raskin berperan secara aktif dalam setiap tahapan pelaksanaan program Raskin, mulai dari tahap perencanaan, sosialisasi, pelaksanaan dan pengendalian.

  d.

  Akuntabilitas, bermakna bahwa setiap pengelolaan kegiatan Raskin harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat setempat maupun kepada semua pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku atau yang telah disepakati.

  Dalam pelaksanaan program Raskin dipandang perlu mengatur organisasi dari pelaksana program Raskin itu. Untuk mengefektifkan pelaksanaan program dan pertanggungjawabannya, dibentuk Tim Koordinasi Raskin di tingkat pusat sampai kecamatan dan Pelaksana Distribusi Raskin di tingkat desa/kelurahan serta tim lainnya sesuai kebutuhan yang diatur dan ditetapkan melalui keputusan pejabat yang berwenang. Penanggung jawab pelaksanaan program Raskin di pusat adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, di provinsi adalah gubernur, di kabupaten/kota adalah bupati/walikota, di kecamatan adalah camat dan di desa/kelurahan adalah kepala desa/lurah.

1.5.4.5. Tim Koordinasi Raskin Kecamatan

  Camat sebagai penanggung jawab di tingkat kecamatan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi Raskin, penyelesaian pembayaran HPB dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk penyelenggaraan program Raskin di wilayahnya, camat membentuk Tim koordinasi Raskin sebagai berikut : a.

  Kedudukan Tim Koordinasi Raskin Kecamatan adalah pelaksana program Raskin di kecamatan, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada camat.

  b.

  Tugas Tim Koordinasi Raskin Kecamatan mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, sosialisasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program Raskin serta melaporkan hasilnya kepada Tim Koordinasi Raskin Kabupaten/Kota.

  c.

  Fungsi Dalam melaksanakan tugas tersebut, Tim Koordinasi Raskin Kecamatan mempunyai fungsi :

  1. Perencanaan distribusi program Raskin di kecamatan.

  2. Fasilitasi lintas pelaku, komunikasi interaktif, dan penyebarluasan informasi program Raskin di kecam atan.

  3. Pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Pelaksana Distribusi Desa/Kelurahan.

  4. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Raskin di desa/kelurahan.

  Tim Koordinasi Raskin Kecamatan terdiri dari penanggung jawabyaitu camat, ketua yaitu sekretaris kecamatan, sekretaris yaitu Kasi Kesejahteraan Sosial, dan anggota terdiri dari aparat Kecamatan, Koordinator Statistik Kecamatan (KSK), anggota Satker Raskin dan pihak terkait yang dipandang perlu

1.5.4.6. Pelaksana Distribusi Raskin di Desa/Kelurahan

  Kepala desa/lurah sebagai penanggung jawab di tingkat desa/kelurahan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi Raskin, penyelesaian pembayaran HPB dan adminstrasi distribusi Raskin di wilayahnya. Untuk pelaksanaan distribusi Raskin di wilayahnya, kepala desa/lurah dapat memilih dan menetapkan salah satu dari 3 alternatif Pelaksana Distribusi Raskin yaitu:

  1. Kelompok Kerja (Pokja)

  2. Warung Desa (Wardes)

  3. Kelompok Masyarakat (Pokmas) Pembentukan Pokmas dan Warung Desa diatur dalam Pedoman Teknis tersendiri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pedum Raskin a.

  Kedudukan Pelaksana Distribusi Raskin berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala desa/lurah.

  b.

  Tugas 1.

  Menerima dan mendistribusikan beras Raskin dari Satker Raskin dan menyerahkan/menjual kepada RTS- PM Raskin di TD.

  2. Menerima Hasil Penjualan Beras (HPB) dari RTS-PM Raskin secara tunai dan menyetorkan ke rekening Bank yang ditunjuk Divre/Subdivre/Kansilog Perum BULOG atau menyetor secara tunai kepada Satker Raskin.

  3. Menyelesaikan administrasi distribusi Raskin yaitu Berita Acara Serah Terima (BAST) dan Daftar Penjualan Beras c. Fungsi 1.

  Pendistribusian Raskin kepada RTS-PM Raskin.

  2. Penerimaan uang hasil penjualan beras Raskin secara tunai dari RTS - PM Raskin dan penyetorannya kepada Satker Raskin atau ke rekening bank yang ditetapkan Divre/Subdivre/Kansilog Perum Bulog.

  3. Pengadministrasian distribusi Raskin kepada RTS -PM Raskin.

1.5.4.7. Satker Raskin 1.

  Kedudukan Satker Raskin berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG sesuai tingkatannya.

2. Organisasi

  Satker Raskin terdiri dari : a.

  Ketua b. Anggota : 1.

  Pegawai Perum BULOG yang ditetapkan melalui Surat Perintah (SP) Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

  2. Tenaga bantuan yang ditetapkan oleh ketua satker atas sepengetahuan Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

  3. Tugas dan Kewenangan Satker Raskin mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab :

  a) Ketua : 1.

  Mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhentikan tenaga bantuan di wilayah kerjanya atas sepengetahuan Kadivre/Kasubdivre/Kakansilog Perum BULOG.

  2. Mempunyai tugas dan bertanggung jawab atas pelaksanaan distribusi, penyelesaian HPB, dan administrasi Raskin.

  b) Anggota mempunyai tugas membantu dan bersama ketua sebagai berikut :

  1. Mendistribusikan beras dari gudang Perum BULOG sampai dengan TD dan menyerahkan kepada Pelaksana Distribusi Raskin di TD.

  2. Menerima uang HPB atau bukti setor bank dari Pelaksana Distribusi Raskin dan menyetorkan ke rekening HPB Bulog.

  3. Menyelesaikan administrasi distribusi Raskin yaitu Delivery Order dan pembayaran HPB (Tanda Terima/kuitansi dan Bukti Setor Bank) 4. Melaporkan pelaksanaan tugas antara lain : realisasi jumlah distribusi beras, setoran HPB di wilayah kerjanya kepada

  Kadivre/Kasubdivre/ Kakansilog Perum BULOG secara periodik setiap bulan.

1.5.4.8. Mekanisme Distribusi Raskin 1.

  Bupati/walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada kepala Sub Divisi Regional Perum Bulog berdasarkan alokasi pagu Raskin dan rumah tangga sasaran penerima manfaat di masing - masing Kecamatan/Desa/Kelurahan 2. SPA yang tidak dapat dilayani sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, maka pagu dapat direlokasikan ke daerah lain dengan menerbitkan SPA baru yang menunjuk pada SPA yang tidak dapat dilayani.

  3. Berdasarkan SPA, Sub Divre menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Delivery Order (SPPB DO) beras untuk masing-masing Kecamatan/Desa/Kelurahan kepada pelaksana Raskin . Apabila terdapat tunggaka n Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya maka penerbitan SPPB DO periode berikutnya ditangguhkan sampai ada pelunasan.

  4. Berdasarkan SPPB DO, pelaksana Raskin mengambil beras di gudang penyimpanan Perum Bulog, mengangkut dan menyerahkan beras Raskin kepada pelaksana distribusi di titik distribusi. Kualitas beras yang diserahkan, sesuai dengan standar kualitas Bulog. Apabila tidak memenuhi standar kualitas maka beras dikembalikan kepada pelaksana Raskin untuk ditukar/diganti.

  5. Serah terima beras Raskin dari pelaksana Raskin kepada pelaksana distribusi di titik distribusi dibukt ikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang merupakan pengalihan tanggung jawab.

  6. Pelaksana distibusi menyerahkan beras kepada Rumah Tangga Miskin.

  7. Mekanisme distribusi secara rinci diatur dalam Pedoman Teknis Raskin Kabupaten/Kota dengan kondisi objektif masing- masing daerah. (Sumber : Buku Pedoman Umum Raskin 2010).

1.5.4.9. Pembiayaan Operasional

  Pemerintah Provinsi menyediakan anggaran untuk pembinaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi Raskin dari APBD setempat.Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional dari titik distribusi sampai di tangan Rumah Tangga Sasaran yang bersumber dari APBD dengan tetap mendorong keterlibatan/partisipasi masyarakat. Di samping itu, anggaran daerah diarahkan juga untuk pembinaan UPM (Unit Pengaduan Masyarakat), koordinasi, monitoring, evaluasi Raskin di tingkat Kabupaten/kota

1.6. Definisi Konsep

  Konsep ialah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun:2006), sehingga dengan konsep maka peneliti akan bisa memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator,

   parameter, maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian.

  Untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti. Adapun definisi konsep dari penelitian ini, yaitu:

  1. Kebijakan publik ialah segala sesuatu yang diputuskan dan dilaksanakan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

  2. Evaluasi dampak adalah suatu proses kegiatan yang bertujuan untuk mengevaluasi suatu kebijakan atau program dengan konsekuensi berupa dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh rentetan aktivitas input, proses dan output kebijakan

  3. Program Beras Miskin (RASKIN) adalah suatu program pemerintah dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan 12 perlindungan kepada keluarga miskin melalui pendistribusian beras

Dokumen yang terkait

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebutuhan nutrisi pada anak remaja putri - Hubungan Citra Tubuh Dengan Perilaku Makan Pada Remaja Putri

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SUAKA POLITIK A. Pengertian Suaka dan Politik - Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Selulosa Asetat dari Kulit Buah Kakao Kapasitas 1.000 Ton/Tahun

0 0 12

BAB 2 LANDASAN TEORI - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Mahasiswa dengan Menggunakan Metode Analisis Jalur (Studi Kasus FMIPA USU)

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Penilaian Usia Kehamilan - Penilaian Usia Kehamilan Bayi yang Dilahirkan Secara Seksio Sesarea Menggunakan Skor Ballard di Rumah Sakit Muhammadiyah Medan Periode Tahun 2013 sampai April 2014

0 0 21

Eksistensi Masyarakat Wilayah Pesisir Sumatera Utara Dalam Kegiatan Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara)

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Laporan Keuangan - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

0 0 13