KRITIK ATAS MODERNITAS DALAM NOVEL BILANGAN FU KARYA AYU UTAMI

KRITIK ATAS MODERNITAS DALAM NOVEL BILANGAN FU KARYA AYU UTAMI

Ayu Utami’s Bilangan Fu: A Criticism on Modernity

Bramantio

Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya -­‐ Universitas Airlangga Jalan Dharmawangsan Dalam, Surabaya 60286, (031) 5035676, 5035807 Pos-­‐el: bramantio.bramantio@gmail.com

(Makalah Diterima Tanggal 5 Desember 2014—Direvisi Tanggal 13 April 2015—Disetujui Tanggal 5 Mei 2015)

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengungkap kritik atas modernitas dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Dengan memanfaatkan naratologi Tzvetan Todorov, dapat dipahami aspek ver-­‐ bal Bilangan Fu, yaitu sudut pandang, pencerita, dan tuturannya. Berdasarkan penceritaannya, novel ini merupakan novel polifonik, karnivalistik, sekaligus metafiksi. Berdasarkan kontennya, no-­‐ vel ini menghadirkan sejumlah kritik atas modernitas, khususnya berkaitan dengan semangat mo-­‐ dernitas yang cenderung melihat segala sesuatu secara monodimensional, hanya ada satu kebe-­‐ naran, dan liyan diabaikan. Bilangan Fu merupakan novel yang merefleksikan zamannya. Novel ini berhasil menyegarkan cara pandang masyarakat Indonesia, atau setidaknya menghadirkan sesu-­‐ atu untuk dipikirkan dan dipertimbangkan kembali, berkaitan dengan diri, lingkungan, dan semes-­‐ ta raya. Novel ini mengembalikan manusia ke hakikatnya, yaitu kemanusiaan.

Kata-­‐Kata Kunci: novel, sudut pandang, pencerita, kritik, modernitas.

Abstract: This article aims to reveal criticism on modernity in Ayu Utami’s novel Bilangan Fu. Tzvetan Todorov’s theory of narrative provided a framework to understand the novel’s verbal aspects, which are point of view, narrator, dan its voice. Based on its narrative, this novel is polyphonic, carnivalistic, and metafictional. Based on its content, it presents criticism on modernity, particularly on spirit of modernity that tends to see everything in monodimensional; there is only one truth, and the other is ignored. Bilangan Fu is a novel that reflects its time. It successfully refreshes the perspective of Indonesian society, or at least brings something to think about, related to the self, environment, and the universe. In the end, it brings back human being to their core, their humanity.

Key Words: novel, point of view, narrator, criticism, modernity .

gayanya masing-­‐masing. Tema yang be-­‐ Nama Ayu Utami mengemuka di ranah

PENDAHULUAN

ragam, keberanian mengungkap sesuatu sastra Indonesia menjelang pergantian

yang selama ini dianggap tabu, dan tek-­‐ abad ke-­‐20 menuju abad ke-­‐21 dengan

nik penceritaan yang unik adalah bebe-­‐ karya perdananya, sebuah novel berju-­‐

rapa hal yang menonjol di dalam karya-­‐ dul Saman. Ayu Utami dianggap sebagai

karya tersebut.

generator kemunculan beberapa karya Pascapenerbitan Saman pada 1998 sastra lain, dalam hal ini genre prosa,

dan novel pelengkapnya Larung yang yang sebagian besar ditulis wajah-­‐wajah

terbit pada 2001, pada 2008 Ayu Utami baru dan perempuan yang mampu

menerbitkan novel Bilangan Fu. Novel memberikan warna tersendiri dengan

ini secara umum ditanggapi pembaca

ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 1-­‐-­‐14

sebagai karya sastra yang kaya akan spi-­‐

TEORI

ritualitas dan filosofi. Hal tersebut tentu Pada dasarnya, setiap karya sastra tidak tidak terlepas dari pernyataan Ayu

hanya berlaku sebagai artefak, tetapi se-­‐ Utami di sampul belakang novel ini yang

kaligus sebagai objek estetis. Artefak me-­‐ menamai nafas novelnya spiritualisme

rupakan dasar material objek estetis, se-­‐ kritis. Novel ini mengangkat wacana spi-­‐

dangkan objek estetis merupakan repre-­‐ ritual, baik keagamaan, kebatinan, mau-­‐

sentasi artefak di dalam pikiran pemba-­‐ pun mistik, ke dalam kerangka yang

ca (Mukarovsky dalam Segers, 2000:31). menghormatinya sekaligus bersikap kri-­‐

Senada dengan hal tersebut, menurut tis kepadanya yang mengangkat wacana

Genette (1986), teks naratif senantiasa keberimanan tanpa terjebak dalam dak-­‐

memiliki dua wajah, yaitu histoire dan wah hitam dan putih.

récit. Histoire mengacu pada cerita yang Ada dua hal yang menjadikan Bila-­‐

ada di dalam pikiran pengarang dan ber-­‐ ngan Fu problematik sehingga perlu di-­‐

sifat kronologis, sedangkan récit menga-­‐ telaah lebih lanjut. Pertama, novel ini ter-­‐

cu pada cerita yang sampai kepada pem-­‐ diri atas tiga bagian utama yang berjudul

baca. Kompleksitas relasi antara penceri-­‐ “Modernisme,” “Monoteisme,” dan “Mili-­‐

taan dan cerita inilah yang menjadikan terisme”. Hal tersebut dapat dikatakan

struktur Bilangan Fu problematik. Oleh tidak biasa karena tiga kata yang diguna-­‐

karena itu, teori yang dianggap sesuai kan sebagai judul mengacu pada konsep-­‐

untuk dimanfaatkan dalam artikel ini konsep besar bersejarah panjang. Lebih

adalah naratologi Tzvetan Todorov. lanjut, kehadiran ketiganya secara bersa-­‐

Pokok teori ini adalah pemahaman maan dalam sebuah karya pun menim-­‐

atas karya sastra melalui strukturnya. bulkan pertanyaan tentang yang diusung

Secara sepintas, untuk mengungkap kri-­‐ oleh novel ini. Kedua, cerita novel ini se-­‐

tik atas modernitas dalam Bilangan Fu cara umum disampaikan melalui sudut

diperlukan teori-­‐teori mutakhir. Akan te-­‐ pandang Sandi Yuda. Meskipun demiki-­‐

tapi, bukan berarti naratologi tidak da-­‐ an, di sela-­‐selanya, muncul pula sudut

pat dimanfaatkan. Di dalam The Poetics pandang Parang Jati, serta kemunculan

of Prose (1977), Todorov memperlihat-­‐ genre lain seperti artikel koran, catatan

kan bahwa karya sastra menyarankan di buku harian, dan sketsa. Hal-­‐hal terse-­‐

cara pembacaannya masing-­‐masing dan but memperlihatkan bahwa ada sema-­‐

cara tersebut hadir di dalam teks itu sen-­‐ cam dialog di dalam monolog pencerita-­‐

diri. Senada dengan hal tersebut, Jan van an novel ini, ada suara-­‐suara lain di da-­‐

Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. lam suara Sandi Yuda.

Weststeijn (1991:114) menyatakan bah-­‐ Berdasarkan uraian tersebut di atas

wa salah satu bentuk saran cara pemba-­‐ dapat dipahami bahwa Bilangan Fu me-­‐

caan yang paling banyak dikenal adalah miliki kompleksitas pada strukturnya.

frasa “Pada suatu hari” sebagai pembuka Menurut Selden (1989:50), dalam seja-­‐

cerita. Frasa tersebut menyarankan rah sastra banyak penulis yang karyanya

pembacanya untuk membaca cerita ter-­‐ dianggap nonsens oleh pembaca yang ti-­‐

sebut sebagai cerita yang “memiliki du-­‐ dak terbiasa dengan tindak pembacaan

nianya sendiri” sehingga pembaca tidak seperti yang diminta oleh teks-­‐teks ino-­‐

perlu mencari hubungannya dengan du-­‐ vatif. Oleh karena itu, fokus artikel ini

nia nyata. Iser (1980) pun menyatakan adalah telaah atas struktur Bilangan Fu

bahwa karya sastra tidak dapat disama-­‐ dalam rangka mengungkap kritik atas

kan begitu saja dengan objek-­‐objek nya-­‐ modernitas di dalamnya.

ta dari dunia pembaca atau dengan pe-­‐ ngalaman-­‐pengalaman yang dimilikinya.

Kritik atas Modernitas ... (Bramantio)

Hal tersebut pada akhirnya menghasil-­‐ Todorov membedakan aspek verbal, as-­‐ kan indeterminasi. Dengan adanya inde-­‐

pek sintaksis, dan aspek semantik dalam terminasi, para pembaca karya sastra di-­‐

wacana sastra. Aspek verbal meliputi ka-­‐ tuntut berperan aktif dalam proses pem-­‐

la, sudut pandang, dan tuturan. Kategori bentukan makna karya tersebut, atau de-­‐

pertama, kala, menyinggung hubungan ngan kata lain “mengisi ruang-­‐ruang ko-­‐

antara dua jalur waktu, yaitu jalur waktu song” di dalamnya. Dengan demikian, te-­‐

dalam wacana fiksi (tampak dari rang-­‐ laah atas struktur Bilangan Fu merupa-­‐

kaian huruf-­‐huruf yang linear pada suatu kan sebuah bentuk usaha mengisi “ru-­‐

halaman atau pada halaman-­‐halaman ang-­‐ruang kosong” untuk mengungkap

dalam satu jilid) dan jalur waktu dalam kritik atas modernitas.

alam fiktif yang jauh lebih rumit. Kate-­‐ Pada pembacaan atas karya sastra,

gori kedua, sudut pandang, berkaitan de-­‐ keanekaragaman unsur dan masalah

ngan dari mana objek diamati dan bagai-­‐ menyebabkan pembaca meragukan ada-­‐

mana kualitas pengamatan tersebut (be-­‐ nya suatu tatanan tertentu dalam karya

nar atau salah, sebagian atau seluruh-­‐ sastra. Meskipun demikian, perlu dipa-­‐

nya). Kategori ketiga, tuturan, berkaitan hami bahwa pembicaraan tentang sastra

dengan proses penyampaian tuturan da-­‐ lahir dari sastra itu sendiri, dan pembi-­‐

lam wacana sastra, bagaimana sebuah caraan tersebut lebih merupakan usaha

cerita diceritakan. Oleh karena itu, kate-­‐ untuk memilih di antara sekian banyak

gori ini meliputi diskusi tentang pence-­‐ kemungkinan yang tersaji daripada usa-­‐

rita (Todorov, 1985:25—26).

ha untuk menemukan tatanan (Todorov, Berkaitan dengan problematik Bila-­‐ 1985:11).

ngan Fu, dari ketiga kategori tersebut di Berkaitan dengan hal tersebut, hu-­‐

atas, analisis atas aspek verbal kategori bungan antarunsur di dalam karya sas-­‐

kedua dan ketigalah yang menjadi fokus tra dibagi ke dalam dua kelompok besar.

artikel ini. Peristiwa-­‐peristiwa yang Pertama, hubungan antarunsur yang ha-­‐

membentuk dunia fiktif tidak dikemuka-­‐ dir bersama, yang disebut in praesentia.

kan kepada pembacanya sebagaimana Kedua, hubungan antarunsur yang hadir

aslinya, akan tetapi menurut sudut pan-­‐ dan yang tidak hadir, yang disebut in ab-­‐

dang tertentu. Dalam sastra, pembaca ti-­‐ sentia. Hubungan-­‐hubungan tersebut

dak pernah berurusan dengan peristiwa-­‐ membedakan pula hakikat maupun

peristiwa atau fakta-­‐fakta sebagaimana fungsinya (Todorov, 1985:11).

adanya, tetapi dengan peristiwa-­‐peris-­‐ Seperti halnya semua pembagian

tiwa yang dikemukakan dengan cara ter-­‐ yang sangat umum, pembagian tersebut

tentu. Dua sudut pandang yang berbeda tidak dapat dianggap mutlak. Ada unsur-­‐

menjadikan peristiwa yang sama berbe-­‐ unsur yang tidak hadir di dalam teks na-­‐

da satu sama lain. Semua aspek sebuah mun demikian hidup dalam pikiran ko-­‐

objek ditentukan oleh sudut pandang lektif pembaca pada suatu masa sehing-­‐

yang menyajikannya kepada kita

ga dapat dinyatakan sebagai in praesen-­‐

(Todorov, 1985:31).

tia. Sebaliknya, bagian sebuah karya Pencerita adalah pelaku semua tin-­‐ yang cukup panjang dapat berada dalam

dakan membangun cerita. Oleh karena jarak yang demikian jauh dari bagian

itu, semua keterangan tentang pencerita lainnya sehingga hubungannya tidak

secara tidak langsung menerangkan ten-­‐ berbeda dengan hubungan in absentia

tang tindakan membangun cerita. Pence-­‐ (Todorov, 1985:11).

ritalah yang mengemukakan prinsip-­‐ Sebagai realisasi atas hubungan-­‐hu-­‐

prinsip dasar penilaian, dialah yang me-­‐ bungan in praesentia dan in absentia,

nyembunyikan atau mengutarakan

ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 1-­‐-­‐14

pikiran para tokoh dan dengan demikian berkaitan dengan kehadiran tiga bagian menyebabkan pembaca turut memiliki

utama yang secara eksplisit diberi judul konsepnya tentang kejiwaan. Pencerita-­‐

“Modernisme,” “Monoteisme”, dan “Mili-­‐ lah yang memilih antara penggunaan tu-­‐

terisme”. Oleh karena itu, hal yang saya turan langsung dan tuturan yang disesu-­‐

anggap paling menarik dari novel ini ada aikan, antara urutan peristiwa secara

lah kritik atas modernitas berdasarkan kronologis atau pun pemutarbalikan

strukturnya.

waktu peristiwa. Tidak ada cerita tanpa Setelah menentukan problematika pencerita (Todorov, 1985:37).

Bilangan Fu untuk diteliti, langkah selan-­‐ Tahap kehadiran pencerita pun da-­‐

jutnya adalah mengumpulkan data-­‐data pat berbeda-­‐beda. Bukan saja karena

penelitian. Penelitian ini memiliki dua je-­‐ campur tangannya, tetapi karena cerita

nis data, yaitu data primer dan data se-­‐ memiliki cara lain untuk menghadirkan

kunder. Data primer yaitu data-­‐data si pencerita, yang dengan memunculkan-­‐

yang diambil dari teks Bilangan Fu, da-­‐ nya di dalam dunia fiksi. Perbedaan an-­‐

lam hal ini adalah struktur Bilangan Fu tara kedua kasus ini begitu besar sehing-­‐

dalam kaitannya dengan kritik atas mo-­‐

ga kadang-­‐kadang dipergunakan dua is-­‐ dernitas. Data sekunder yaitu tulisan-­‐tu-­‐ tilah yang berbeda untuk menunjuknya;

lisan yang berkaitan dengan Bilangan Fu, disebut pencerita hanya apabila dikemu-­‐

dalam hal ini berupa artikel ilmiah dan kakan secara eksplisit, dan disebut pe-­‐

penelitian. Pada tahap ini juga ditentu-­‐ ngarang implisit apabila dikemukakan

kan landasan teori yang akan dimanfaat-­‐ secara implisit. Kehadiran orang perta-­‐

kan dalam penelitian ini, yaitu naratologi ma (aku) tidak bisa dianggap cukup un-­‐

yang dikembangkan Tzvetan Todorov, tuk membedakan yang satu dengan yang

sekaligus metode yang digunakan, yaitu lain. Si pencerita dapat menyebut aku

metode baca struktural. tanpa ikut campur sebagai tokoh, tetapi

Analisis terhadap Bilangan Fu terdi-­‐ sebagai seorang pengarang yang menu-­‐

ri atas dua tahap. Pertama, identifikasi lis karya itu (Todorov, 1985:38).

kritik atas modernitas melalui struktur Bilangan Fu. Pada tahap ini akan diana-­‐

METODE

lisis aspek verbal Bilangan Fu, yang meli-­‐ Telaah ini memanfaatkan metode baca

puti sudut pandang, pencerita, dan tutur-­‐ struktural. Analisis struktural bertujuan

an. Kedua, analisis terhadap kritik atas untuk membongkar dan memaparkan

modernitas dalam Bilangan Fu. Analisis secermat mungkin keterkaitan semua

tahap kedua tersebut dilakukan dengan unsur karya sastra. Analisis struktural

memanfaatkan data-­‐data yang telah di-­‐ bukanlah sekadar penjumlahan unsur-­‐

peroleh pada analisis tahap pertama. unsur tersebut, tetapi harus diarahkan

Melalui kedua tahap analisis tersebut pa-­‐ pada ciri karya sastra yang hendak di-­‐

da akhirnya diperoleh kritik atas mo-­‐ analisis (Teeuw, 1988:135—137).

dernitas dalam Bilangan Fu. Sejak awal penerbitannya, Bilangan Fu telah mendapatkan sejumlah tang-­‐

HASIL DAN PEMBAHASAN

gapan dari pembacanya. Yang menjadi

Sudut Pandang dan Pencerita Novel

perhatian utama tanggapan-­‐tanggapan

Bilangan Fu

tersebut adalah spiritualitas dan muatan Secara umum, aspek verbal Bilangan Fu filosofis Bilangan Fu. Meskipun demiki-­‐

tampak sederhana karena sejak halaman an, apabila diperhatikan dengan lebih

pertama telah muncul sosok pencerita cermat, struktur novel ini merupakan

yang kemudian diketahui bernama Sandi hal yang problematik, khususnya

Yuda. Hal tersebut tampak pada kalimat

Kritik atas Modernitas ... (Bramantio)

berikut, “Taruhan. Kau pasti enggan per-­‐ Sandi Yuda mengatasi sudut pandang-­‐ caya jika kubilang padaku ada sebuah

sudut pandang lain.

stoples selai berisi sepotong ruas keling-­‐ Pada bagian selanjutnya, sudut pan-­‐ king. Kudapat dari menang bertaruh”

dang penceritaan yang telah tampak je-­‐ (Utami, 2008:1). Meskipun demikian, ke-­‐

las tersebut kembali semacam dimen-­‐ sederhanan pada kalimat tersebut apabi-­‐

tahkan dengan adanya bagian yang kem-­‐ la dicermati ternyata menimbulkan se-­‐

bali memunculkan pertanyaan terkait jumlah pertanyan terkait penggunaan

dengan siapa sebenarnya pencerita Bila-­‐ kau. Ketika pencerita menggunakan kau,

ngan Fu, “Kali ini lelaki itu tidak menge-­‐ dapat dipahami bahwa ia secara sengaja

nakan seragam korpri, melainkan keme-­‐ berdialog dengan sosok lain.

ja putih berkerah tegak dengan songkok. Pada bagian berikutnya diketahui

Penghulu desa—yang disebut oleh Yuda bahwa asumsi tersebut mulai mendapat

sebagai Penghulu Semar—tampak di kejelasan. Sandi Yuda tidak menyampai-­‐

antara para “yuri” yang jumlahnya gan-­‐ kan ceritanya secara langsung atau lisan,

jil” (Utami, 2008:311). Bagian tersebut akan tetapi dalam bentuk tertulis, yaitu

merupakan cerita tentang masa kecil melalui jurnal, “Kusimpan jurnalku ke

Parang Jati menjelang perdebatannya dalam ransel yang kujadikan bantal ti-­‐

dengan Kupukupu tentang kedudukan dur” (Utami, 2008:16). Meskipun demi-­‐

Nyi Rara Kidul di mata agama-­‐agama kian, hal tersebut justru menimbulkan

monoteis. Kalimat kedua pada kutipan pertanyaan lanjutan tentang alasan

tersebut tampak janggal apabila dima-­‐ Sandi Yuda menyertakan sosok lain un-­‐

sukkan ke semesta sudut pandang Sandi tuk turut membaca tulisannya.

Yuda. Sebagai penulis jurnal, Sandi Yuda Sampai pada titik tersebut, dapat di-­‐

tentu tidak menyatakan dengan cara de-­‐ pahami bahwa Bilangan Fu diceritakan

mikian. Bagian “[…] yang disebut oleh melalui sudut pandang Sandi Yuda seba-­‐

Yuda sebagai Penghulu Semar […]” me-­‐ gai penulis cerita. Akan tetapi, apabila di-­‐

munculkan asumsi bahwa, terlepas dari cermati, di dalam tulisan Sandi Yuda ter-­‐

proses penyuntingan naskah novel ini, nyata terdapat sudut pandang lain, anta-­‐

bagian tersebut mengacu pada sudut ra lain sudut pandang sejumlah sosok

pandang dan sosok pencerita lain. anonim yang menulis artikel koran yang

Hal tersebut baru mendapat kejelas-­‐ kemudian dijadikan kliping oleh Sandi

an menjelang akhir cerita ketika Sandi Yuda, dan sudut pandang Parang Jati

Yuda membuat semacam pengakuan, yang sejumlah tulisannya baik di buku harian maupun di artikel yang terbit di

Dalam acara inilah aku bertemu dengan

surat kabar yang dikutip Sandi Yuda.

seseorang yang kemudian menjadi de-­‐

Sudut pandang Sandi Yuda tidak

kat denganku. Ia seorang penulis. Na-­‐

bersifat independen karena didasari

manya Ayu Utami. Sebuah kebetulan

bahkan menyatu dengan sudut pandang yang aneh, tanggal lahir kami sama. Ha-­‐

nya saja, aku lebih muda sepuluh tahun

pihak lain, termasuk Parang Jati. Di sisi

darinya. Hubungan kami berlanjut sam-­‐

lain, adanya keragaman sudut pandang

pai sekarang. Dialah yang menyunting

tersebut, mengingat tidak benar-­‐benar

karangan ini. Tepatnya, dialah yang me-­‐

berdiri sendiri, akan tetapi disampaikan

nulis ulang kisahku, sehingga menurut-­‐

bahkan ditulis ulang oleh Sandi Yuda, da-­‐

ku namanya lebih pantas tercantum di

pat dikatakan telah mengalami interven-­‐

buku ini (Utami, 2008:463).

si oleh sudut pandang Sandi Yuda. De-­‐ ngan perkataan lain, sudut pandang

Bagian tersebut secara eksplisit memberi penjelasan bahwa tulisan

ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 1-­‐-­‐14

Sandi Yuda sebenarnya tidak lagi dalam

hutan di bawah yang tampak sebesar

bentuk jurnal pribadi, akan tetapi telah

brokoli, aku menuliskan rumusan ini:

diterbitkan sebagai buku. Dengan begitu,

1 : a = 1 x a = 1, dan a bukan 1 (Utami,

kau pada kalimat-­‐kalimat Sandi Yuda

mengacu pada pembaca novel Bilangan

“Aku datang untuk menjawab teka-­‐teki

Fu.

tololmu yang kau sendiri tak bisa ja-­‐

Di sisi lain, pengakuan Sandi Yuda

wab.” Ia berkata dengan suara yang

tersebut kembali menimbulkan perta-­‐

masuk melalui dasar leherku. Aku ma-­‐

nyaan berkaitan dengan kemunculan na-­‐

sih bisa merasakannya sampai seka-­‐

ma Ayu Utami. Dengan perkataan lain,

rang. Suara itu tidak melalui telingaku,

sudut pandang penceritaan yang pada

melainkan getaran pita suaraku, seolah

awalnya tampak sepenuhnya berasal da-­‐

bersatu dengan milikku sendiri. 1 : a = 1

ri Sandi Yuda, ternyata adalah sudut

x a = 1; dan a bukan 1. Bilangan apakah

pandang Ayu Utami. Demikian pula pen-­‐

a?

cerita novel ini, Sandi Yuda tidak lebih

“Bilangan itu adalah…” Sambil menga-­‐

daripada semacam wayang yang dida-­‐ takannya Sebul menggambar angka pa-­‐

da angin. Sebuah bilangan yang pada

langi oleh Ayu Utami.

saat itu langsung kumengerti dengan terang-­‐benderang.

Tuturan Novel Bilangan Fu

Aku merasakan pencerahan yang in-­‐

Seperti telah disampaikan pada bagian

stan, seperti kegembiraan atas terang

sebelumnya, Bilangan Fu diceritakan

ketika lampu menyala kembali setelah

melalui sudut pandang Sandi Yuda yang

beberapa jam dalam gelap gulita listrik

meminjam sejumlah sudut pandang lain,

padam. Aku menjerit dalam hati, “Tolo

termasuk sudut pandang Parang Jati, un-­‐

betul! Bagaimana mungkin aku tidak

tuk kemudian bermuara pada sudut

bisa menemukannya sendiri dari sema-­‐

pandang Ayu Utami sebagai pengarang

lam!” Kini sebul nan cantik seram me-­‐

real. Selain itu, meskipun sudut pandang nyingkapkannya kepadaku.

Ia menyeringai dan mendesis.

novel ini mengacu pada Ayu Utami, tu-­‐

“Bilangan itu bernama fu…” (Utami,

turan yang demikian merupakan dam-­‐

pak logis dari jurnal harian Sandi Yuda.

Sebagai penulis jurnal tersebut, Sandi

Aku memejamkan mata dan meng-­‐

Yuda tidak menyampaikan cerita dengan

ingat-­‐ingat apa yang digambarkan

benar-­‐benar linear, akan tetapi sepenuh-­‐

Sebul pada angin ketika ia menyebut-­‐

nya bergantung pada ingatan sekaligus

kan bilangan itu. Bilangan yang jejak-­‐

sumber-­‐sumber yang diperoleh kemudi-­‐

nya terlihat beberapa saat di udara. Ti-­‐

an untuk melengkapi ceritanya. Dengan

dak, ia tidak menggerakkan jari-­‐jarinya

begitu, hal-­‐hal yang disampaikannya pun

membentuk angka yang kukenal dari 0

tidak selalu tuntas pada sebuah bagian, sampai 9. Ia tidak menggambarkan pe-­‐

cahan yang rumit seperti 3,14. Ia meng-­‐

akan tetapi bisa terus-­‐menerus diulang,

ulirkan sebuah lambang yang tak bisa

dibicarakan kembali, dan dilengkapi pa-­‐

kusebut sebagai angka: (Utami,

da bagian-­‐bagian lain. Hal tersebut tam-­‐

pak pada penjelasan tentang Bilangan

Fu,

Bagiku itu adalah wahyu Sebul kepada-­‐ ku. Tidakkah ia datang sebagai pence-­‐

Malam. Di dinding tebing. Sambil ber-­‐ rahan atas rumusan yang kudapatkan baring dalam portalet yang bergelan-­‐

sebelum tidur, ketika aku masih sadar. tung seratus meter di atas tanah, dan

Rasa tercerahkan yang kualami dalam sambil melihat rimbun pepohonan

mimpi itu menakjubkan. Meskipun aku tak bisa mengerti lagi. Biarlah. Aku

Kritik atas Modernitas ... (Bramantio)

senang mengenangnya. Aku ambil kem-­‐

Bilangan Fu merupakan novel polifonik

bali jurnalku dan kutuliskan mimpiku

dan karnivalistik, memiliki banyak suara

serta wahyu Sebul. 1 :

= 1 x

dan bentuk.

= 1; dan tidak sama dengan 1.

Apabila kepolifonikan dan kekarni-­‐

adalah fu (Utami, 2008:23).

valan tersebut disandingkan dengan ju-­‐

dul-­‐judul yang membagi novel ini menja-­‐ Pengulangan-­‐pengulangan senada

di tiga bagian besar, tampak adanya ke-­‐ banyak terdapat di dalam novel ini. Bah-­‐

janggalan. Judul-­‐judul tersebut mengacu kan, meskipun secara spesifik novel ini

pada kepastian, ketunggalan, bahkan ke-­‐ terbagi menjadi “Modernisme”, “Mono-­‐

kerasan, yaitu modernisme, monoteis-­‐ teisme”, dan “Militerisme”, ketiga bagian

me, dan militerisme. Sebaliknya, yang di-­‐ tersebut tidak serta-­‐merta menandai fo-­‐

sarankan oleh yang polifonik dan karni-­‐ kus pembicaraan berkaitan dengan keti-­‐

valistik justru keberagaman. ganya. Ketiganya terus-­‐menerus membi-­‐

Selain itu, kehadiran Ayu Utami se-­‐ carakan modernisme, monoteisme, dan

bagai pengarang secara eksplisit di da-­‐ militerisme serta bagaimana relasi anta-­‐

lam novel ini sekaligus menyebut cerita ra ketiganya sekaligus dampak-­‐dampak-­‐

di dalam novel ini sebagai novel meru-­‐ nya.

pakan sebuah indikator bahwa Bilangan Dengan demikian, berdasarkan ana-­‐

Fu adalah metafiksi. Istilah metafiksi per-­‐ lisis atas aspek verbal, dalam hal ini su-­‐

tama kali muncul di dalam esai kritikus dut pandang dan tuturan, dapat dipaha-­‐

dan novelis kesadaran-­‐diri William H. mi bahwa Bilangan Fu merupakan se-­‐

Gass. Istilah seperti metapolitik, metare-­‐ buah novel yang kaya akan pembicaraan

torik, dan metateater hadir sebagai berkaitan dengan modernisme, monote-­‐

pengingat terhadap segala bentuk kesa-­‐ isme, dan militerisme. Dengan perkataan

daran budaya yang tumbuh sejak 1960-­‐ lain, novel ini mengusung sejumlah kri-­‐

an atas permasalahan yang berkaitan de-­‐ tik atas modernisme yang disinyalir me-­‐

ngan bagaimana manusia mencermin-­‐ miliki semangat yang sama dengan mo-­‐

kan, membangun, dan menjembatani pe-­‐ noteisme dan militerisme.

ngalaman mereka terhadap dunia. Mela-­‐

lui metafiksi, hal tersebut dipahami de-­‐

Kritik atas Modernitas dalam Bilang-­‐

ngan eksplorasi-­‐diri serta menariknya

an Fu

menuju metafora “dunia sebagai buku” Pada bagian-­‐bagian sebelumnya telah di-­‐

(Waugh, 1984:2—3). sampaikan bahwa Bilangan Fu merupa-­‐

Secara garis besar, novel metafiksi kan novel yang memiliki banyak sudut

dapat dipahami sebagai novel yang me-­‐ pandang dan pencerita. Secara bergan-­‐

miliki kesadaran atas dirinya sendiri se-­‐ tian tampak sudut pandang Sandi Yuda,

bagai novel. Ciri-­‐ciri novel metafiksi di Parang Jati, sosok anonim penulis berita

antaranya adalah perayaan atas daya di surat kabar, dan Ayu Utami. Novel ini

imajinasi kreatif serta ketidakpastian pun menghadirkan beragam gaya dalam

tentang validitas representasinya; ke-­‐ penceritaannya, yaitu prosa, artikel ilmi-­‐

sadaran yang ekstrem terhadap bahasa,

ah, artikel surat kabar, dan catatan hari-­‐ bentuk kesusastraan, dan penulisan fik-­‐

an. Selain itu, novel ini menghadirkan se-­‐ si; dan ketidakmantapan hubungan fiksi

jumlah gambar sketsa yang juga memi-­‐ dan kenyataan (Waugh, 1984:5). Ber-­‐

liki beragam gaya sehingga dapat dipa-­‐ kaitan dengan hal tersebut, metafiksi

hami bahwa gambar sketsa tersebut ti-­‐ pun dianggap sebagai bentuk teks pasca-­‐

dak digambar oleh satu orang, akan teta-­‐ modern karena tidak lagi menginsyafi

pi beberapa orang. Berdasarkan uraian kesaklekan, akan tetapi mengarah pada tersebut, dapat dipahami bahwa

ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 1-­‐-­‐14

kesadaran tentang dirinya sendiri seba-­‐

pasir bijih tembaga, dan pinggangnya

gai sebuah teks yang senantiasa dinamis.

seramping milik anjing. Namun tung-­‐

Oleh karena itu, Bilangan Fu disinyalir

kainya serigala jantan. Aku tak perlu

mengandung sejumlah kritik atas kondi-­‐

membuka mata untuk mengetahui itu.

si modernisme, monoteisme, dan mili-­‐

Aku jatuh cinta (Utami, 2008:21).

terisme, yang diungkap pada bagian ini.

Beranikah aku membagikan padanya

Seperti halnya novel metafiksi, salah

bahwa aku memiliki pengunjung tetap

satu ciri paling menonjol dari Bilangan

bernama Sebul. Pengunjung rahasia. Se-­‐

Fu adalah novel ini secara eksplisit me-­‐

bul,

manusia-­‐serigala-­‐jantan-­‐betina,

nyatakan bahkan mendiskusikan hal-­‐hal

yang kedatangannya bisa membuat aku

yang menjadi pokok-­‐pokok pikirannya.

ereksi, bahkan meninggalkan ceceran

Sebagai konsekuensinya, pembaca tidak

mani kelak ketika terjaga. Mani yang

perlu memahaminya dengan mencari re-­‐

kubayangkan sebagai miliknya tapi ba-­‐

ferensi di luar novel ini karena novel ini

rangkali adalah milikku sendiri. Sebul

telah menyediakan seluruh penjelasan

yang mewahyukan kepadaku sebuah bilangan

yang dibutuhkan pembaca untuk mema-­‐ (Utami,

bernama fu

haminya.

Pembicaraan tentang kritik atas Sebul merupakan sintesis jantan modernitas tentu tidak dapat dilepaskan dan betina. Dengan perkataan lain, da-­‐ dari pascamodernitas. Pascamodernitas lam perspektif umum yang bersifat mo-­‐ merupakan kondisi yang lahir dari ada-­‐ dern, ia adalah liyan. nya pascamodernisme, dan pascamo-­‐ Kedua, relasi antara Sandi Yuda de-­‐ dernisme merupakan kelanjutan-­‐kritis ngan Parang Jati dan Marja, “Tiba-­‐tiba atas modernisme. Dengan begitu, pasca-­‐ pada matanya aku seperti melihat apa modernisme mengusung semangat yang yang ia bayangkan ketika mendengar su-­‐ berbeda dari modernisme, meskipun se-­‐ ara persetubuhanku tadi serta sumpah cara historis lahir berdasarkan modern-­‐ serapah dan kata-­‐kata kotor Marja yang isme. binal. Yang ia bayangkan adalah persetu-­‐ Salah satu hal yang menjadi pembe-­‐ buhan aku dengan Marja, di mana ia ka-­‐

da modernisme dan pascamodernisme dang bertukar tempat menjadi aku dan adalah pandangan akan kebenaran. Da-­‐ menjadi Marja” (Utami, 2008:46). Mela-­‐ lam modernisme, kebenaran bersifat lui kutipan tersebut tampak bahwa rela-­‐ tunggal, mono, sedangkan dalam pasca-­‐ si antara Sandi Yuda dan Parang Jati da-­‐ modernisme kebenaran bersifat plural. lam pandangan umum merupakan hal Sebagai konsekuensi logisnya, moderni-­‐ yang tidak biasa. Hal tersebut tidak seka-­‐ tas memiliki kecenderungan mengabai-­‐ dar muncul di dalam imajinasi Sandi kan liyan, sedangkan pascamodernitas Yuda, akan tetapi benar-­‐benar terjadi. merangkul keberagaman. Hal tersebut Secara sadar Sandi Yuda menyatakan ke-­‐ tampak pada pertama, sosok Sebul, tertarikannya kepada Parang Jati. Keter-­‐

tarikan tersebut tidak sekadar perasaan

Maka, pada dini hari yang dingin itu, menjelang angin berhenti meniupi te-­‐

suka sebagai kawan yang memiliki kege-­‐

bing, aku mengalami ketindihan. Dalam

maran sama, yaitu panjat tebing, akan te-­‐

halusinasi mata tertutup, aku terjaga

tapi juga mengarah kepada seksualitas.

dan menemukan Sebul telah duduk di

Apabila pada rangkaian kutipan sebe-­‐

atas tubuhku dengan kaki terbuka. Se-­‐

lumnya Sebul memperlihatkan sosok an-­‐

langkangannya pada selangkanganku.

drogini, pada rangkaian kutipan tersebut

Wajahnya jakal betina sang dewa Mesir

Sandi Yuda hadir sebagai sosok bi-­‐

kuno. Tubuhnya wanita, berwarna

seksual.

Kritik atas Modernitas ... (Bramantio)

Androginitas dan biseksualitas kembali hadir pada bagian lain yang menceritakan sosok Ratu Laut Selatan,

“Aku tak pernah tahu bahwa Nyai Rara Kidul itu bisa lelaki dan bisa perempu-­‐ an,” kataku seperti melamun. Selama ini aku merasa kisah Ratu Pantai Sela-­‐ tan itu murahan. Terutama ketika dijel-­‐ makan sebagai film horor. Film horor pertama yang bisa kuingat rasanya di-­‐ mainkan oleh bintang Suzanna di masa jayanya […] Dan dia memerankan Nyai Rara Kidul atau Nyai Blorong atau seje-­‐ nisnya dalam sebuah pertunjukan layar perak yang membuat misteri jadi mero-­‐ sot. Tak heran aku ikut merendahkan Ratu Pantai Selatan. “Kelihatannya ambiguitas kelamin pu-­‐ nya tempat istimewa dalam mistik Ja-­‐ wa,” kata Parang Jati. “Pernahkah kamu dengar ini? Semar itu bukan jantan bu-­‐ kan betina. Kalau pria, mengapa berbu-­‐

ah dada. Kalau wanita, mengapa ber-­‐ jambul” (Utami, 2008:47).

Melalui kutipan tersebut tampak bahwa ambiguitas kelamin tidak sekadar

muncul melalui sosok Nyai Rara Kidul dan bukan pula kebetulan. Konstruksi serupa ternyata juga muncul melalui so-­‐ sok Semar yang memiliki kedudukan penting dalam tradisi Jawa.

Hal-­‐hal berkaitan dengan dualitas komplementer terus-­‐menerus muncul di sepanjang novel ini. Hal ini semakin me-­‐ negaskan bahwa Bilangan Fu secara eks-­‐ plisit mengkritisi modernitas yang me-­‐ miliki kecenderungan hanya mengakui satu kebenaran. Tidak hanya melalui an-­‐ droginitas, biseksualitas, atau ambiguitas kelamin, dalam pemanjatan tebing pun hal-­‐hal berkaitan dengan semangat dia-­‐ logis juga dihadirkan,

Ada dua macam alat. Alat yang memak-­‐ sa, dan alat yang dialogis. Alat yang me-­‐ maksa adalah bor, paku, piton gantung, kampak, palu. Alat yang dialogis adalah pengaman sisip, pengaman pegas, pe-­‐ ngaman perangko, tali ambin. Ialah alat

yang menanggapi uluran dan tantangan yang berikan alam. Alat yang memaksa datang dari sifat tamak dan kuasa. Ia se-­‐ wenang-­‐wenang dan sangat tidak so-­‐ pan terhadap alam. Ia menimbulkan ke-­‐ rusakan. Ada kalanya tebing melawan dengan merumpalkan diri. Artinya, alam menolak dengan menghancurkan diri. Itu adalah kekalahan kedua belah pihak, alam dan manusia, akibat pe-­‐ maksaan manusia. Tapi, alat yang dia-­‐ logis datang dari sifat satria dan wigati. Yaitu sifat-­‐sifat yang tidak memegah-­‐ kan diri. Tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri. Menerima segala sesuatu, merawat segala sesuatu, sabar menanggung se-­‐ gala sesuatu (Utami, 2008:82).

Dialog memiliki peran penting da-­‐ lam memelihara keharmonisan, baik an-­‐

tara sesama manusia maupun antara manusia dengan alam. Dialog sendiri merupakan usaha untuk saling menyam-­‐ paikan pandangan sekaligus menyimak pandangan rekan bicara. Dalam Bilangan Fu, hal tersebut salah satunya dapat ber-­‐ muara pada sinkretisme. Sinkretisme bukanlah sesuatu yang keliru, seperti halnya jika dipandang melalui kacamata modern yang memiliki kecenderungan menghargai “kemurnian”. Sebaliknya, sinkretisme merupakan wujud pema-­‐ haman akan adanya perbedaan, bahwa perbedaan tersebut adalah keniscayaan,

sekaligus bagaimana bernegosiasi de-­‐ ngan perbedaan tersebut. Sinkretisme tersebut dihadirkan secara lebih tegas melalui bagian yang menceritakan lakon Bima dan Dewaruci,

Meskipun Bima adalah sosok dalam ki-­‐ sah Hindu Mahabarata, serat Dewaruci adalah kisah mistik Jawa yang intinya kemungkinan besar berasal; dari masa pra-­‐Hindu. Suluk Dewaruci yang kita kenal sekarang ini telah meleburkan mistik Jawa purba, Hindu, dan Islam, bagaikan serat-­‐serta spektrum cahaya bersatu ke dalam terang putih. Kejawa-­‐ annya muncul pada pencerahan gaib

ATAVISME, Vol. 18, No. 1, Edisi Juni 2015: 1-­‐-­‐14

yang terdapat dalam samudra. Pence-­‐ takhayuli. Cerita tentang kurcaci, orang rahan gaib itu tidak terjadi di atas—bu-­‐

katai, juga para raksasa dianggap kha-­‐ kan di gunung ataupun di langit ketu-­‐

yalan nenek-­‐moyang yang tak bisa juh, melainkan di dalam—di kedalaman

membedakan fakta dan fiksi (Utami, laut. Tidak di luar diri, melainkan di da-­‐

lam diri. Laut adalah wahananya. Ke-­‐ hinduannya muncul dalam kasunyatan,

Kerangka berpikir modern tidak da-­‐

keadaan sunyi dan suwung, ketika

pat begitu saja digunakan untuk meman-­‐

Bima masuk ke tubuh Dewaruci.

dang segala hal. Begitu pula sebaliknya,

Shunya adalah kata Sanskerta yang ber-­‐

kerangka berpikir takhayuli tentu tidak

arti kehampaan, ketiadaan. Dalam ka-­‐

dapat digunakan untuk memecahkan

sunyatan ini, Bima memperoleh pence-­‐ rahan, yang diterangkan sebagai haki-­‐

problematika yang bersifat objektif. De-­‐

kat dan ma’rifat. Keislamannya muncul

ngan demikian, setiap kerangka berpikir

dalam penjelasan mengenai tasawuf,

memiliki konteksnya masing-­‐masing,

yaitu konsep mistik dalam Islam

dan pemaksaan yang satu terhadap yang

(Utami, 2008:256—257).

lain justru dapat menimbulkan masalah lain yang solusinya bahkan tidak kun-­‐

Lebih lanjut, sejumlah tawaran cara

jung ditemukan.

pandang atas realitas, khususnya realitas Di dalam novel ini juga muncul pe-­‐ tradisional, pun dihadirkan oleh novel

mahaman bahwa modernisme ternyata ini. Hal ini bukannya tanpa alasan, akan

memiliki kedekatan dengan monoteisme tetapi semakin memperkuat kritik atas

dan militerisme. Kedekatan tersebut bu-­‐ modernitas.

kan dalam hal historis maupun relasi langsung antara ketiganya, akan tetapi

“Kalau cara berpikir takhayuli dipakai

lebih berupa semangat yang diusung.

untuk menyelesaikan persoalan obyek-­‐

Relasi tersebut pertama kali mengemuka

tif, ya, itu kebodohan. Sama seperti me-­‐

pada bagian yang menceritakan masa

nyelesaikan persoalan merosotnya nilai

kecil Parang Jati,

rupiah dengan doa bersama.” Ia diam,

seperti mencari contoh yang lebih me-­‐ “Ilmu pasti itu sangat penting. Demiki-­‐ ngena bagiku tapi tak menemukannya an juga iman. Kedua-­‐duanya bersifat saat itu. “Tapi kalau sifatnya hanya pe-­‐ pasti,” lelaki yang lebih tua mengambil rayaan, upacara, festival yang telah tu-­‐

alih lagi.

run-­‐temurun, saya kira ia memelihara

pengetahuan purba yang berharga un-­‐ “Benar. Tuhan itu bersifat pasti. Iman tuk mengenal asal-­‐usul kita. Dan ba-­‐ itu pasti. Demikian pula, bangsa ini rangkali memiliki kebijakannya sendi-­‐ membutuhkan pemuda-­‐pemuda yang ri” (Utami, 2008:135—136). mempelajari ilmu pasti, teknologi,

sains, untuk membangun negeri. Jangan Kita harus membaca folklor dengan ka-­‐ lupa, ilmu modern demikian harus se-­‐ camata baru. Kelak Parang Jati mem-­‐ nantiasa diimbangi dengan ilmu agama bantu aku mengerti diskusi hari itu. Yai-­‐ dan iman” (Utami, 2008:308). tu, dengan kacamata yang tidak mo-­‐

dernis, melainkan postmodernis. Kaca-­‐ mata modernis adalah cara pandang ra-­‐

Melalui kutipan tersebut tampak

sional yang congkak dan menganggap

bahwa ilmu sebagai representasi mo-­‐

segala yang tak bisa dibuktikan sebagai

dernisme dan iman sebagai representasi

isapan jempol. Dengan teropong sema-­‐

monoteisme memiliki sifat sama, yaitu