QIYĀS DAN ANALOGI HUKUM (Suatu telaah dan perbandingannya dalam penemuan hukum)

Maizul Imran

Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Agam, Sumatera Barat, maizul_007@yahoo.com

Diterima: 12 Juni 2017

Direvisi: 22 Juni 2017

Diterbitkan: 30 Juni 2017

Abstract

Qiyâs in Islamic law has progressed considerably that made it seems not as simple as the first form. It started from rustic concept of al- Syafi’i that identified only ‘illat (reason) that contained in text, it was progressed forward by al-Ghazali, al-Syarthibiy, and so forth. Every scholar in ushul fiqh had each learning processes, corrections, describing, improving, and reconstructing new formulas about qiyâs. If it is compared with same concept in positive law, there is a formula called Law Analogy. Basically, there are no different concept between law analogy and qiyâs. Yet, qiyâs has more detail explanation and complicated. Qiyâs has four steps in indentifying problem that analogy does not have. This paper maintained that concept of analogy in positive law is as simple as the first formula of qiyâs when it introduced as Islamic legal discovery method.

Keywods : Qiyâs, Law Analogy, Law

Abstrak Konsep qiyās dalam hukum Islam telah mengalami perkembangan panjang

yang mengantarkan terwujudnya tampilan yang tidak sederhana lagi. Berawal dari konsep sederhana dari al- Syafi’i, dengan ciri fundamental identifikasi ‘illat semata yang tercakup dalam nash, ia telah terolah dengan sangat maju di tangan al-Ghazali, al-Syathibi dan seterusnya. Setiap ahli ushul fiqih (mutaakhirin) melalui proses pembelajaran dan koreksi, mencoba menampilkan, menambahkan, dan merekonstruksi rumusan yang baru tentang qiyās. Jika dibandingkan dengan konsep serupa dalam hukum positif maka di sana terdapat konsep analogi. Pada prinsipnya konsep ini sama dengan qiyās, namun detail-detail pembahasan qiyās lebih rumit dan bertele- tele. Langkah penerapan qiyās yang meliputi empat tahap identifikasi masalah tidak nampak dalam konsep analogi. Dengan demikian tulisan ini mempertahankan bahwa konsep analogi dalam hukum positif sesederhana ketika konsep qiyās ini pertama sekali diintrodusir sebagai metode penemuan hukum dalam hukum Islam. Sehingga konsep analogi dalam hukum positif bisa dikatakan baru sejajar dengan qiyās konsepsi awal.

Kata kunci : Qiyās, Analogi Hukum, Hukum.

PENDAHULUAN

penggunaan qiyās, bahwa hukum dari kasus Qiyās merupakan salah satu metode nash dihubungkan ke kasus cabang yang dalam menjawab kasus hukum baru yang tidak memiliki persamaan ‘ ‘illat. Metode ini sangat

tercakup dalam teks nash. 1 Dalam proses

hukum Islam yaitu bayani, ta’lili (qiyāsi) dan istislahi. Ijtihad istislahi tidak dianggap sebagai pola ijtihad yang

1 Muhammad Ma’ruf al-Dhawalibi, al-Madkhal berdiri sendiri dengan alasan beberapa bagian ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Dar al-Kitab al-Jadid, 1965), 419.

aplikasinya masuk bahasan ijtihad qiyāsi dan sebagian Terdapat tiga pola pemikiran (thariqah) ijtihad dalam

yang lain dalam kategori istislahi, yang lain dalam kategori istislahi,

berusaha bahasan pada qiyās dan analogi hukum dan mempertemukan ide normatif ( ‘‘illat) dengan membahas perbandingan qiyās sebagai kenyataan empirik (furu ’). Abdul Wahab manifestasi dari pola berijtihâd dengan Khallaf menawarkannya sebagai hal pertama konsepsi serupa dalam hukum positif yaitu yang harus dilakukan sebelum pendekatan analogi hukum. (yang masuk kategori ijtihâd bi al- ra’yi) lainnya,

lainnya

karena

karena pada dasarnya dengan adanya SEKILAS TENTANG QIYĀS

persamaan ‘ ‘illat, hukum yang dihasilkan Secara etimologis qiyās berasal dari kata melalui qiyās sama dengan kehendak syara’ yang

qāsa (fi’il madhi) bermakna merasa lapar, tercantum dalam nash. 2 Karena itu meskipun

mengukur kedalaman dari sebuah sumur, terjadi perbedaan, Jumhur ulama mendukung melewati lawan dalam lomba lari, dan metode ini dengan berbagai argumen teologis menyamakan/menganalogikan

sesuatu

3 maupun rasional. 4 terhadap sesuatu lain yang mirip. Salah satu perbedaan pandangan yang

Arti terakhir ini tampaknya yang secara cukup mendasar pada konsep qiyās terkait

langsung berhubungan dengan pembahasan dengan kriteria sesuatu yang tidak tercakup ini. Bagaimanapun harus dicatat bahwa istilah dalam nash (al- maskūt ‘anh). Polarisasi muncul

tentang logika tampaknya baru masuk dalam mengenai masalah dalālah nāsh (mafhūm dunia Arab setelah mereka bersinggungan muwāfaqah, dalālah al-dalālah), antara termasuk dengan filosof Yunani. Begitu pula dengan ke dalam qiyās atau tidak. Selain itu, dalam hal istilah qiyās yang mendapatkan landasan yang penetapan ‘ ‘illat serta cakupan kehujahan qiyās kokoh dan diterapkan serta digunakan secara juga belum menunjukkan adanya kesamaan luas oleh para pendukungnya dalam lapangan pendapat. Implikasinya sesuatu yang dianggap hukum agama, juga dalam lapangan bahasa

sebagai 5 ‘‘illat dalam satu perspektif tidak selalu dan tata bahasa baru pada abad ke-II Hijrah. dipandang sebagai ‘‘illat dalam perspektif lain.

Namun demikian, ada anggapan Begitu pula dalam menentukan

bahwa metode qiyās muncul sebagai upaya berbagai permasalahan yang bisa dijangkau peredaman atas pemakaian ra’yu yang terlalu dengan metode ini. Hal ini mengindikasikan 6 bebas dan liberal terutama pada masa tabi’in. bahwa konsep qiyās yang ditawarkan terkait

erat dengan kecenderungan 4 istinbāth hukum Semakna yang terakhir ini adalah paparan mujtahid Ibnu Munzir dalam Lisan al-Arab sebagaimana dikutip , khususnya dalam upaya menafsirkan

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql ‘Arabī:

maksud nash.

Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nizami al- Ma’rifah fi al-

Walaupun ada anggapan atau pendapat Saqafah al-Arabiyah ,. (Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-

bahwa jangkauan qiyās meliputi istihsān, sadd al-

Arabi, 1993), 137.

5 Sebagaimana dikatakan al-Jabiri, dari al-

dz arī‘ah atau mungkin juga ‘urf, namun semua Dzahabi bahwa pada tahun 143 H. terjadi proses tadwin itu mendasari pada (kodifikasi) dalam segala bidang keilmuan ke Islaman qiyās untuk mencari ‘illat

yaitu hadits, fiqh, dan tafsir dengan tokoh-tokohnya Ibn Jarih di Mekkah, Anas bin Malik di Madinah, Auza’i di Syam, Ibn Arubah dan Hamad bin Salmah di Basrah,

2 Abdul Wahab Khallaf, Mashādir al-Tasrī’ fi mā Sufyan al-Sauri di Kufah. Ibn Ishak mengarang al-

lā Nashsha fīh,, (Beirut: Dar al-Qallam, 1972), 19. Maghazi dan Abu Hanifah menghasilkan karya Fiqh al-

3 Ke-hujjah- an qiyās sebagai dalil atau metode Akbar , dengan parameter demikian qiyās sebagai term ijtihad dibuktikan dengan nash Alquran, hadis, serta atsar

basis epistemologinya. sahabat. Namun demikian, Ibnu Hazm sebagai

keilmuan

mendapatkan

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwīn al-‘Aql al-Arābī, pengembang mazhab Zahiri menolak qiyās sebagai

(Beirut: al-Markaz al- Saqafī al-Arabī, 1991), 62-63.

proses penemuan hukum Islam. Muhammad Abu 6 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Zahrah, Ibn Hazm wa Ash ru Arā’uh wa Fiqhuh, (Beirut:

terj. Agah Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), 125. Dar al-Fikr al- Arabī, 1954), 40. Asumsi ini mungkin bisa diperkuat dengan setting

Konsep 10 qiyās diharapkan mampu membatasi menyatukan”. Dalam pemahaman Hanabilah, dan bahkan menghentikan penggunaan peran “upaya mempersamakan (al- musāwah) kasus

akal yang berlebihan. Menurut J. Schacht furu’ dengan ashal di dalam masalah ‘illat mengatakan, Asy- 11 Syafi’i dianggap sebagai hukumnya”. Atau menurut Ibnu Humam

tokoh yang mempelopori dan membuat suatu sebagai “upaya mempersamakan (al- musāwah) tahapan-tahapan tentang qiyās. Melalui qiyās suatu tempat (al-mahall,al- far’) dengan yang akan mencoba menghubungkan pemikiran lainnya (al-akhr, al-ashl ) di dalam bahasan ‘ ‘illat

hukum yang berkembang pada masanya. 7 hukum syara’ yang tidak bisa dipahami semata Dalam bahasa yang lebih tegas, bisa dikatakan 12 dengan pendekatan bahasa”. bahwa dengan qiyās al-Syafi’i ingin mencakup

Berbagai definisi dari dua perspektif segala proses penalaraan (ijtihâd, interpretasi) mengantarkan kepada keselarasan pemahaman dalam hukum Islam. Dalam pandangannya, bahwa pada dasarnya masalah qiyās adalah qiyās dan ijtihâd adalah dua istilah yang adanya persamaan ‘illat yang mengakibatkan

memiliki pengertian yang sama. 8 persamaan hukum antara ashl dan far’, baik itu Secara terminologis, terdapat dua dianggap sebagai tujuan nash atau melalui

pengertian qiyās. Mereka yang berpendapat pengupayaan (nazh arī) melalui instrumen bahwa qiyās merupakan dalil agama ijtihâd . Walaupun demikian, tetap saja terdapat memaknainya sebagai “perhubungan antara perbedaan mendasar terutama ketika kedua kasus pokok dengan kasus cabang dalam formulasi itu ditarik ke wilayah praktis. kesamaan ‘ ‘illat (causa legis) yang disimpulkan

Implikasi definisi yang menganggap dari hukum kasus pokok”, atau “kesamaan qiyās sebagai dalil, bahwa ia bukan merupakan kasus yang tidak disebutkan hukumnya dalam karya mujtahid, karena pada dasarnya hukum nash dengan kasus yang tidak disebutkan dalam furu ’ akan secara otomatis sama dengan hukum

nas menyangkut 9 ‘illat hukumnya.” ashl , walaupun tanpa ada upaya untuk meng- Sedangkan yang menganggapnya

qiyās-kan furu’ ke ashl. Sementara pandangan sebagai aktifitas mujtahid mendefinisikan yang kedua mengantarkan pemahaman, bahwa sebagai “memperluas berlakunya suatu nash qiyās merupakan usaha atau hasil karya ijtihâd. hingga mencakup kasus-kasus baru yang Logikanya penetapan hukum pada furu’ seperti semula tidak termasuk ke dalam cakupan nash hukum ashl dengan pertama-tama menempuh itu karena adanya persamaan ‘ ‘illat (causa legis)”. perbandingan dan penentuan ‘illat yang

Dalam pandangan al-Ghazali, “membawa mempersepsikan hukum furu’ kepada ashl, hukum yang belum diketahui kepada hukum tidak bisa berjalan tanpa melalui usaha seorang yang diketahui dalam rangka menetapkan mujtahid . hukum atau meniadakan hukum bagi

implikasi perbedaan keduanya, disebabkan adanya satu hal yang

Selanjutnya,

formulasi ini semakin nyata pada konteks; la tudriku bi mujarad fahm al-lughah (tidak hanya

mencakup pemahaman kebahasaan saja),

polarisasi antara fuqaha ahl-hadits dan fuqaha ahl- ra’yu 10 Al-Ghazali, Al Mustasfa min Ilm al-Usul, yang terlihat tidak memberikan acuan yang baku dalam

(Beirut: Dar al-Fikr), II/228. Bandingkan dengan

pemikiran pengembangan hukum Islam. redaksi yang berbeda dalam Al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi

7 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Bayan al-Sabah wa al-Mukhl wa Masalik al- Ta’lil, (London: Oxford University Press, 1965), 60. (Baghdad: Matba’ah al-Irsyad), 18.

8 Lihat juga, Joseph Schacht, The Origin of 11 Abdul Qadir Ibn Badran, Al-Madkhal ila Muhammadan Jurisprudence , (London: The Oxford

Mazhab Imam Ahmad Ibn Hambal, (Beirut: Mu’assasah ar- University, 1950), 123. Risalah, 1985), 300.

9 Al-Amidi, Al- Ihkām fī Usul al-Ahkām,(Kairo: 12 Kamaluddin Ibn Humam, at- Tahrīr, (Beirut: Dar al-Kutub al-Khidiwiyah, 1914), III/273.

Dar al-Fikr), 417.

sebagaimana dikonsepkan ulama Hanafiyah Al-Syirazi (keduanya aliran Syafi’iyah), dan Ibnu Humam. Hal ini menandaskan berpendapat bahwa metode qiyās hanya bahwa qiyās dalam pandangan mereka berbeda dilakukan ketika pendekatan secara literal dengan 14 qiyās dalam pandangan Syafi’iyah. Hal (lugh āwiyah) tidak memungkinkan, telah gagal. ini bisa dijelaskan dengan mengilustrasikan Karena itu, bagi keduanya, mafhūm muwāfaqah pembagian dalil. Sebagaimana terdapat dalam

tidak masuk kategori penalaran qiyās, epistemologi ushul fiqh, pembagian dalil sebagai melainkan penalaran kebahasaan (linguistik) sarana petunjuk makna (thariqah al- dilalah ‘ala dalam hukum dipahami sebagai implikasi al- ma‘na) bagi kalangan Hanafiyah terbagi bahasa teks itu sendiri. menjadi empat; dilālah al-‘ibārat, dilālah al-

Sebagai contoh penerapannya, Ketika isyārah, dilālah al-nās 14 , dan dilālah al-iqtidā’, Allah SWT melarang mengucapkan kata “hus” sementara Syafi’iyah mempetakannya menjadi kepada ke dua orang tua, kemudian menarik dua yaitu dilālah al-mantūq dan dilālah al-mafhūm hukum haram memukul kepada mereka, hal (dengan derivasi mafhūm mukhālafah dan ini bukan karena berlandaskan penggunaan

mafhūm muwāfaqah). 13 nalar dan penyimpulan 15 ‘ ‘illat (causa legis), akan Dalam pada itu ada benang merah tetapi berlandaskan pemahaman intrinsik

pemahaman bahwa apa yang disebut sebagai bahwa bukan pelarangan mengatakan “hus” dilālah nās dalam konsepsi Hanafiyah setara itu sendiri yang dimaksud akan tetapi meliputi dengan mafhūm muwāfaqah dalam konsepsi pelarangan menyakiti orang tua secara umum Syafi’iyah, dalam hal mana keduanya berusaha itu yang hendak dikemukakan oleh makna mencari maksud yang terkandung dalam teks. redaksi teks (al-mant ūq) dan makna yang

Dalam hal ini al-Ghazali memakai tersirat (al- maskūt ‘anh) melalui pendekatan konsep al- Syafi’i a minori ad maius (dari yang kebahasan, tidak perlu instrumen ijtihâd.

lebih kecil ke yang lebih besar) untuk Berdasarkan pada pengertian yang ada, menjelaskan bahwa dengan penyebutan hal mafhūm muwāfaqah atau dalālah al-nās yang terkecil yang menyakitkan yaitu “hus”, Allah dalam konsepsi Syafi'iyah masuk dalam SWT berkehendak mengharamkan tindakan kategori qiyās aulawi (qiyās jālī), dalam konsepsi (fisik-non fisik) lebih besar yang menyakitkan Hanafiyah tidak dimasukkan dalam kategori secara keseluruhan kepada kedua orang tua. qiyās. Menurut mereka qiyās menuntut adanya Secara nyata, qiyās versi al-Ghazali menafikan pemikiran yang mendalam tentang kandungan pendekatan lugh āwiyyah yang mempersepsikan ‘illat yang terdapat dalam nash, sementara pada apa yang tertulis pada nash semata, tidak mafhūm muwāfaqah atau dālalah nās masuk dalam meliputi makna selain yang tertera dalam teks keumuman nas (al-khas y urīdu bih al-‘ām), yang dalam proses penemuan hukum. Atau dalam penyingkapannya tidak perlu adanya usaha

bahasa lain, qiyās merupakan pendekatan yang susah payah (badzlu al-juhd), tetapi lewat maknawiyah ( ‘illat) atas sebuah teks yang pendekatan kebahasaan saja.

kemudian diterapkan pada kasus yang selain Walaupun sudut pandang ulama tercantum dalam teks. Syafi’iyah berpendapat demikian, namun ada

Dari paparan di atas dapat dipahami beberapa ulama dari kalangan ini yang bahwa qiyās merupakan perluasan ketentuan mempunyai pendapat berbeda. Al-Ghazali dan hukum yang terdapat pada asal kepada kasus

13 Setara dengan makna kata ini adalah dilālah 14 Al-Ghazali, Al- Mustashfā...., II/190-191. al- dilālah, fakhwu al-khit āb, lah n al-khitāb, qiyās awlā, atau

Abu Ishāq al-Syirāzi, Al- Lumā’ fi Usūl al-Fiqh, (Beirut: qiyās jālī, lihat ilustrasinya pada Muhammad ‘Ābid al-

Syirkah al-Maktabah wa al- Matba’ah), 24. Jābirī, Bunyah…, 60. 15 Al-Ghazali, Al- Mustashfā...., II/373.

baru yang terjadi. Penyamaan pada ‘illat meniscayakan susunan rukun qiyās akan selalu merupakan indikasi bahwa 20 qiyās bukan bisa diperdebatkan.

merupakan pembentukan hukum, namun Dengan mempertimbangkan proses hanya sebagai penyingkap ( mudhīr) adanya waktu

misalnya, konfigurasi persamaan sebab-sebab hukum. Hal ini sejalan konvensional di atas menjadi klasik, sebab dengan konsep hukum Islam sebagai yang paradigma ini menawarkan bentuk sebagai bersifat ditemukan, bukan dibuat. Metode qiyās berikut; hukm al-ashl, furu ’, ‘illat hukm al-ashl, dalam hal ini merupakan generasi ketiga dari dan tahsil hukm al-ashl fi al-furu ’. Konfigurasi model penemuan hukum Islam, setelah demikian ini dibanding konfigurasi yang di atas metode mantūq nāsh dan mafhūm nāsh gagal mempunyai setidaknya dua perbedaan yaitu ia diperdayakan dalam menyingkap kasus hukum tidak memisahkan antara hukum dengan asal, baru.

berfikir

serta merta sebagai satu kesatuan pembahasan (sesuai paradigma Mutakallimin), dan masuknya

MACAM-MACAM QIYĀS.

proses (action, upaya) pemberlakuan hukum Untuk memperoleh pemahaman utuh asal pada cabang sebagai rukun qiyās. tentang qiyās diperlukan pengetahuan tentang Konfigurasi ini walaupun kelihatan rasional, (rukun-rukun) dari metode qiyās ini. Dalam akan menjadi kurang tepat kalau misalnya epistemologi ushul fiqh diuraikan bahwa pembahasan ‘illat hukum asl dalam qiyās itu

16 rukun-rukun 17 , al- al-

qiyās meliputi; al-asl 21 far’ , mendahului furu ’.

Lagi-lagi hal ini pun kurang tepat kalau menurut al-Jabiri, memaparkan bahwa konfigurasi didekati dengan paradigma bahwa membuat tahapan-tahapan bagi rukun qiyās, pembahasaan ‘ ‘illat dalam qiyās itu tidak sehingga mudah dipahami sebagai sebuah berangkat dari nas akan tetapi dari furu ’ yang gambaran logis bagi struktur berfikir bukan untuk mendapatkannya semata melalui persoalan mudah, karenanya membutuhkan penalaran. Menurut al-Jabiri, dalam perspektif upaya pikir yang cukup mendalam. Karena hal terakhir ini sebenarnya konfigurasi ideal qiyās ini maka di dalam berbagai tempat, susunan itu bisa terbentuk. Logikanya, seorang mujtahid rukun-rukun qiyās menampakkan berbagai

18 hukm 19 , dan ‘‘illat.

Terkait susunan ini,

untuk pertama sekali memulai langkahnya bentuk dan pilihan, tergantung pendekatan dengan menerima kasus aktual (al-furu ’) yang yang dipakai, serta pemahaman yang diyakini melalui penelusuran mendalam atas nas tidak dari masing-masing istilah kuncinya. Kekuatan didapatkan

hukumnya. Ini dan kelemahan paradigma yang dipakai membawa arti bahwa al-furu ’ dalam pembahasan qiyās menjadi fokus niscaya pertama. Dari sini aplikasi qiyās mengalir kepada penemuan al-ashl yang di pra-konsepsi kan mempunyai ketetapan hukum dalam nas,

ketentuan

16 Ia sering dimaknai sebagai persoalan hukum yang hukumnya secara qat’i diungkap oleh nash serta

untuk selanjutnya diulas ‘ ‘illat hukum yang

terdapat di dalam al-ashl dan al-furu ’ dan furu’ (al-maqis) dianalogikan.

mempunyai illat. Ia adalah al-maqis alaih, kepada mana

Ia sering dimaknai sebagai persoalan yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash, yang hukumnya

keduanya.

disamakan kepada asl.

18 Ia adalah ketentuan hukum yang terdapat di

dalam asl, kategori apa hukum pada furu’ ditemukan. 20 Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah…, 145-

19 Ia keadaan tertentu yang [dianggap] dipakai

sebagai dasar (motif) bagi hukum asl, yang mana dengan 21 Bentuk konfigurasinya menjadi hukm al-ashl, asumsi adanya kesamaan dalam sektor ini, furu’

‘illat hukm al-ashl, al-furu’, dan tahsil al-hukm al-ashl fi al- ditemukan hukumnya. furu ’.

Setelah ketiga langkah ini ditempuh sebagai qiyās akan tetapi dibahas dalam maka upaya terakhir adalah penetapan hukum konteks dilālah al-dilālah, dilālah al-nās atau fahw asal kepada cabang. Mendasar pada rentetan al- khitāb, (ii) al-Qiyās al-musāwī yaitu jika status pemikiran maka konfigurasinya adalah al-furu ’, hukum (sense of law) yang terdapat di dalam asal al-ashl , al- ‘‘illat, dan al-hukm.

dan cabang’ itu sama atau kompak. Qiyās ini Menurut penulis apa yang menarik dari sering dinamakan al- qiyās fi ma‘nā al-nās, atau paparan Al-Jabiri ini, esensinya bukan semata dalam perspektif Hanafiyah hal ini baru untuk mengetahui struktur qiyās (bunyah al- disebut qiyās al-jāli. qiyās) sebagai metode penemuan hukum

Teknisnya dengan memberlakukan dengan segala kemungkinan konfigurasinya. secara umum ketentuan hukum dalam asal Al-Jabiri berkehendak memaparkan bahwa kepada furu’, seperti diberlakukannnya hukum bagaimana pun susunan konfigurasi akan haram makan harta anak yatim (al-ashl) kepada terbentuk, tetap saja ia menampakkan ke- segala hal pengrusakan dan menghancurkan

monolitik-an sebuah metode. Metode ini harta anak yatim (al- furu’). 38 Atau dalam menguasakan hukum segala persoalan aktual konteks mutakhir adalah menarik hukum kepada nash, dengan cara menempelkan haram terhadap upaya menteror (terorisme) hukum masalah di dalam nash (asal) kepada sebagaimana hukum pada berbuat kerusakan cabang. Deduktifitas qiyās dengan sendirinya di bumi. Meng qiyāskan teror (cabang) dengan menjauhkannya dari nuansa

“empirical segala perbuatan yang merusak (asal) adalah approach”, apalagi “equilibrium approach” bagi qiyās al-musāwī karena berdasarkan satu atribut sebuah metode, yang mengakibatkan produk sepadan (mafsadat, unharmony) keduanya bisa hukum yang dihasilkan akan terasa utopis, tidak berkumpul dalam satu hukum. (iii) al- Qiyās al- menyelesaikan masalah. Karena itu, idealnya khāfī yaitu jika status hukum yang ditemukan sebuah metode penemuan hukum tidak hanya di dalam asal jelas lebih kuat dibanding semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, cabang, karena tidak disebut adanya ‘illat di teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar dalam asal. Teknisnya, pertama sekali

bayani dan nalar alami (perubahan empirik). 22 diperlukan upaya penampakan ‘illat hukum di Kembali kepada epistemologi ushul dalam asal melalui ijtihâd yang dengannya baru

fiqih bahwa qiyās dapat terbagi kepada membahas ‘illat hukum di dalam cabang. beberapa kelompok, tergantung dari mana

Qiyās dilihat dari ada tidaknya ilustrasi sudut pandang konseptornya. Qiyās dilihat dari

‘illat terangkai di dalam hukum asal substansi kuat dan tidaknya hukum yang terbagi menjadi dua yaitu qiyās al-‘‘illat dan qiyās terdapat di dalam asal dan cabang terbagi al- dilālah.

qiyās dengan menjadi tiga macam , yaitu: (i) al- Qiyās al-aulawī mempertimbangkan kuat tidaknya ‘illat yang atau al- jalī yaitu jika status hukum (sense of law) mengumpulkan (al- jāmi’) antara asal dengan di dalam furu’ terasa lebih kuat dari pada yang cabang

Sedangkan

terbagi, sebagaimana terdapat di dalam asal. Contohnya, status diungkapkan al-Ghazali menjadi empat 39 yaitu haram memukul orang tua (furu ’) itu lebih kuat al- munāsib al-mu‘assir, al-munāsib al-mulā’im, al-

dapat

dari pada sekedar membentak (ashl). Pola qiyās munāsib

ini di kalangan ulama’ usul sering tidak disebut al- ghārib, dan al-qiyās al-thart. Ulasan pembagian qiyās terakhir ini dengan alasan klasifikasinya – sebagaimana ada di dalam banyak tempat 22 –

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah.., 146. Yang penulis maksud dengan istilah “equilibrium

terkait erat dengan pembahasan tata cara

approach ” adalah pendekatan yang mengkombinasikan

identifikasi ‘illat.

secara seimbang (adil) aspek teks dan konteks atau normatif dan historis.

ANALOGI HUKUM:

ANTARA

Kritik terhadap asas legalitas ini

PENAFSIRAN DAN

PENEMUAN mempunyai pengaruh yang cukup besar

HUKUM

sehingga sistem hukum pidana Jerman sejak Berawal dari asas legalitas yang baru tahun 1935 memberi kekuasaan kepada hakim dikenal oleh hukum positif sesudah Revolusi untuk menganggap suatu perbuatan sebagai Perancis tahun 1978, yang sebelumnya hakim- jarimah jika perbuatan itu merugikan hakim mempunyai kekuasaan besar. Mereka masyarakat Jerman. Sejak tahun 1926 sistem dapat menganggap suatu perbuatan sebagai hukum pidana Rusia tidak lagi memakai asas tindak pidana meskipun undang-undang tidak legalitas, sedangkan sistem hukum pidana melarangnya, sehingga kekuasaan yang

Denmark membolehkan hakim untuk semena-mena dan mutlak ini menjadi salah menjatuhkan hukuman terhadap satu satu faktor pecahnya revolusi. 23 perbuatan yang dipersamakan dengan

Setelah revolusi tersebut, asas legalitas perbuatan yang dilarang. Dan suatu sistem diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini hukum pidana Inggris memakai cara yang

kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Pada 25 tidak terikat kuat oleh asas legalitas. umumnya asas legalitas yang diterapkan pada

Pada akhirnya para sarjana hukum hukum Perancis ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap positif memandang bahwa dalam menentukan perbuatan pidana memiliki undang-undang macam

pidana, tidak perlu dan telah ditentukan hukumnya. Kekuasaan menyebutkan tiap-tiap tindak pidana secara hakim tidak lebih dari berkuasa memberikan terperinci, tetapi cukup dengan menyebutkan ampunan

tindak

atau mengurangi hukuman, penentuan secara umum terhadap perbuatan- kekuasaannya hanya terbatas pada pelaksanaan

perbuatan yang dilarang sehingga satu hukuman. Penguasa perundang-undanganlah ketentuan dapat mencakup lebih dari satu yang berkuasa, mereka mengambil sistem tindak pidana dan si pelaku tidak dapat lepas batas tertinggi dan terendah pada tiap-tiap dari ketentuan yang bersifat elastis. hukuman yang boleh dipilih oleh hakim atau

Dalam menentukan hukumnya, cukup dijatuhkan keduanya. 24 dengan menyebutkan hukuman tertinggi

Sejak permulaan abad ke-20 M. asas sehingga hakim mempunyai kekuasaan luas legalitas mulai dikritik oleh para sarjana, dalam menjatuhkan hukuman. Negara dengan alasan bahwa asas tersebut tidak Indonesia juga mengikuti asas legalitas mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 masyarakat, bahwa dapat mengorbankan KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalamnya tidak mampu menghadapi peristiwa- dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum

peristiwa 26 yang mengganggu ketertiban perbuatan dilakukan.” masyarakat, karena orang-orang yang

Menjadi permasalahan adalah apakah melanggar hukum, mempunyai macam-macam pada asas legalitas ini menerima penafsiran cara untuk menghindari dari ketentuan analogi atau menolak penafsiran analogi? hukuman. Untuk itu, perlu dibuat undang-

Penafsiran menurut R.Soeroso, adalah undang baru untuk melindungi masyarakat mencari dan menetapkan pengertian atas dalil- dari kejahatannya.

dalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang

23 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum,

25 Ibid.

(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 94. 26 Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang 24 Ibid., 95.

Hukum Pidana , (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 3.

dimaksud oleh pembuat Undang-Undang. fungsi penafsiran dalam Hukum positif, Menurut J.H.A Logeman Penafsiran adalah menurut Van Apeldoorn menjelaskan hakikat mencari maksud dan kehendak pembuat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu Undang-Undang sedimikian rupa sehingga usaha mencari kehendak pembuat undang- tidak menyimpang dari apa yang di kehendaki undang yang pernyataannya kurang jelas, yaitu:

oleh pembuat Undang-Undang itu. 27 memaknai kaidah atau asas hukum, menghubungkan Pentingnya penafsiran dalam hukum suatu fakta hukum dengan kaidah hukum, menjamin

pidana itu salah satunya kerena hukum tertulis penindakan atau penerapan hukum dapat di tidak dapat dengan segera mengikuti arus, lakukan secara tepat, benar dan adil, dan hukum tertulis terlihat baku, tidak dengan mempertemukan kaidah hukum dengan perubahan- mudah mengikuti perkembangan

dan perubahan sosial agar kaidah hukum tetap aktual kemajuan masyarakat. Untuk mengikuti

mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai perkembangan itu maka prakrik hukum dengan perubahan sosial. mengunakan sautu penafsiran.

Penafsiran analogi adalah memberi Penafsiran dalam KUHP belum cukup penafsiran pada suatu peraturan hukum menjelaskan seluruh isi peraturan yang dengan memberi persamaan pada kata-kata terdapat di dalamnya, dan di luar KUHP pun dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas terdapat pula UUD hukum pidana yang hukumnya sehingga suatu peristiwa yang memuat hukum pidana khusus, yang

sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap memerlukan penjelasan tersendiri dan

sesuai dengan peraturan tersebut, yang di penafsiran yang di kenal melalui ilmu

pengetahuan.

dalam undang-undang ada keterkaitan atau hubungan

Adapun Macam-Macam Penafsiran antara satu dengan yang lainnya. Penafsiran Logis Hukum Pidana berupa penafsiran autentik, adapun yang ke empat itu ada

penafsiran logis yang artinya yaitu, suatu macam

historis, sistematis, logis, gramatikal, teleologis, penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari dari analogis, ekstensif,

dan a contrario. 28 Adapun

sebnarnya dari di bentuknya sutu rumusan norma dalam undang-undang degan menghubungkan (Mencari Hubungannya)dengan urusan norma yang lain yang masih ada sangkut paut nya dengan norma tersebut.

27 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Penafsiran gramatikal tersebut juga penafsiran Sinar Grafika, 1996), 97.

menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang 28 Penafsiran autentik di sebut juga penafsiran

digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. resmi, dalam pembentukan undang undang telah di

Penafsiran teleologis ialah suatu penafsiran masukan banyak keterangan resmi mengenai beberapa

terhadap suatu rumusan norma dalam undang-undang istilah atau kata dalam perundang-undangan yang

berdasarkan maksud pembentuk undang-undang dalam bersangkutan. Di sebut penafsiran autentik juga karena

merumuskan norma tersebut.

tertulis secara jelas dalam undang-undang, artinya Penafsiran analogis adalah macam penafsiran berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari

terhadap suatu rumusan norma atau bagian/unsur sudut pelaksana hukum yakni hakim.

norma tertentu dalam undang-undang, dengan cara Penafsiran Historis yaitu cara penafsiran suatu

memperluas cara berlakunya suatu norma dengan meng norma dalam suatu undang-undang, yang di dasarkan

abstrakan rasio tertentu itu sedimikian rupa luasnya pada sejarah ketika perturan perundang-undangan itu di

kongkrit tertentu yang susun

sesungguhnya tidak termasuk dalam isi dan pngertian pembentukan perundang-undangan. Mencari pengertian

di bicarakan

norma itu. Dengan cara demikian, kejadian kongkrit tadi dilakukan dengan meneliti atau mempelajari pendapat-

menjadi masuk kedalam isi dan pengertian norma pendapat para anggota parlemen dan pemerintah dalam

tersebut.

pembentukan undang-undang tersebut. Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan Penafsiran Sistematis Mencari pengertian dari

memperluas dari kata-kata dalam peraturan sehingga suatu rumusan norma hukum dengan cara melihat

suatu peristiwa dapat di masukin. hubungan bagian atau rumusan satu dengan yang

Penafsiran acontrario adalah penafsiran dengan lainnya dari suatu undang-undamg, sehingga dapat di

cara mempersembit berlakunya norma undang-undang, tarik pengertian tertentu. Secara sistematis artinya dari

jadi bertolak belakang dengan penafsiran analogi dan urut-urutan pemuatan atau bidang-bidang pengaturan

ekstensif.

maksud penafsiran analogi ialah memperluas Sedangkan dalam penafsiran analogi, bahwa cakupan atau pengertian dari ketentuan peraturan yang menjadi soal itu tidak dapat di undang-undang.

masukan dalam aturan yang ada, akan tetapi hubungannya dengan penguraian pasal 1 perbuatan itu mnurut hakim termasuk KUHP. Dari ketentuan pasal 1 KUHP di kedalam perbuatan yang mirip perbuatan itu. simpulkan bahwa salah satu asas yang

Jadi sesungguhnya jika di gunakannya analogi, te rkandung di dalamnya adalah :” dilarang yang di buat untuk menjadikan perbuatan menggunakan analogi”

pidana pada sutu perbuatan yang tertentu, Penafsiran analogi telah menimbulkan bukanlah lagi aturan yang ada, perdebatan para yuris, menentang dan

Penafsiran ekstensif dan analogi pada menerima penafsiran analogi. Secara ringkas hakikatnya adalah sama, hanya ada perbedaan penafsiran analogi adalah apabila terhadap istilah saja, tetapi di pandang secara pisikologis suatu perbuatan yang pada saat di lakukannya bagi orang yang menggunakannya ada tidak merupakan tindak pidana, di terapkan perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu :

ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk 1. Penafsiran ekstensif

tindak pidana, di terapkan ketentuan hukum Masih berpegang pada bunyinya aturan, pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang

hanya ada perkataan yang tidak lagi di beri lain serta mempunyai sifat dan bentuk yang

makna seperti pada waktu terjadinya sama dengan perbuatan tersebut, sehingga

undang-undang, tetapi pada waktu kedua perbuatan tersebut di pandang analog

penggunanya, maka dari itu masih dinamai satu dengan yang kainnya.

interpretasi.

Menurut Andi Hamzah, ada dua 2. Penafsiran analogi

macam analogi, yaitu: Gesetz Analogi ialah Sudah tidak lagi berpegang pada aturan analogi terhadap perbuatan yang sama sekali

yang ada, melainkan pada inti, ratio dari tidak ada dalam hukum pidana. Recht Analogi

adanya. Oleh karena inilah yang ialah analogi terhadap perbuatan yang

bertentangan dengan asas legalitas, sesbab mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang

asas ini mengharuskan adanya suatu aturan dilarang dalam ketentuan hukum pidana. 29 sebagai dasar.

Ada alasan yang di kemukakan oleh Dari ketentuan pasal 1 KUHP pihak yang menyetujuai adanya penafsiran disimpulkan bahwa salah satu asas yang analogi yaitu perkembangan masyarakat yang terkandung di dalamnya adalah: “Dilarang sangat cepat seingga hukum pidana harus menggunakan analogi”. Perdebatan yang berkembang sesuai dengan masyarakat terjadi adalah perbedaan antara penafsiran tersebut. Sementara yang menentang adanya memperluas (ektensif) dan penggunaan penafsiran analogi ini beralasan bahwa analogi. Bahkan, dapat juga dipersoalkan penerapan analogi sangat berbahaya karena perbedaannya dengan metode penafsiran dapat menyebabkan ketidak pastian hukum secara teologis dan sosiologis. Terutama dua dalam masyarakat.

cara tersebut yang secara sepintas dapat Dalam

kita diartikan sama-sama memperluas pengertian berpegang pada aturan yang ada, memaknai

tafsiran

ekstensif,

atau ketentyan undang-undang. Persoalan ini sebuah kata dengan maka yang hidup dalam tambah rumit lagi dengan timbulnya teori Paul masyarakat sekarang, tidak merut maknanya Van

yang mengemukakan ketika waktu undang-undang di bentuk.

Scholten

29 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di indonesia, (Bandung: Pustaka setia, 2008), 42-43.

“penemuan hukum” (rechts vinding) yang sebagai barang yang berwujud saja, sedangkan dilakukan oleh para hakim. 30 maknanya pada masa sekarang juga meliputi

Asas bahwa dalam menentukan ada 31 barang yang tidak berwujud. atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh

Moeljatno, tidak menyangkal bahwa digunakan analogi (qiyas) yang pada umumnya

tafsiran ekstensif itu sama sifatnya dengan masih dipakai oleh kebanyakan negara. Di analogi, dan perbedaannya hanya soal gradasi Indonesia dan negara Belanda pada umumnya saja. Namun, ada juga batas-batasnya yang masih mengakui prinsip ini ada juga beberapa jelas, manakah yang masih dapat dinamakan sarjana yang tidak dapat menyetujui, misalnya interpretasi dan manakah yang meningkat Taverne, Pompe dan Jonkers.

menjadi analogi sehingga diperbolehkan. Jadi, Paul Van Scholten menolak adanya Van Hattum dan Moeljatno, sama-sama perbedaan analogi dan tafsiran ekstensif yang menolak analogi, sedangkan perbedaannya nyata-nyata dibolehkan. Menurutnya, baik adalah Van Hattum tidak mengakui adanya dalam hal tafsiran ekstensif maupun analogi, tafsiran ekstensif, sedangkan Moeljatno, dasarnya adalah sama, yaitu mencoba untuk

mengakui adanya tafsiran ekstensif. Walaupun menemukan norma-norma yang lebih tinggi demikian, perbedaannya dengan analogi adalah (lebih umum atau lebih abstrak) dari norma- jelas. norma yang ada, dan dari ini lalu diredusir

Pendapat Moeljatno, mengenai batas menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya antara tafsiran yang ekstensif dan analogi meluaskan aturan yang ada)

dapat ditentukan sebagai berikut: Contoh dari tafsiran ekstensif ialah

“Dalam tafsiran ekstensif, kita berpegang putusan HIR negeri Belanda tahun 1921, yang

pada aturan yang ada. Di situ ada menyebutkan bahwa pengertian goed (benda,

perkataan yang kita beri arti menurut barang) dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang

makna yang hidup dari dalam masyarakat pencurian), juga meliputi penggunaan daya

sekarang, dan bukan menurut maknanya listrik secara tidak sah itu sehingga dapat

pada waktu undang-undang dibentuk. Jika dikenai pasal 362 KUHP tersebut

dibandingkan dengan makna ketika aturan Scholten menyatakan bahwa tidak ada

itu dibuat, makna yang pertama adalah perbedaan prinsipil antara tafsiran extensief

lebih luas. Sungguhpun demikian, makna dan analogi, melainkan hanya soal gradasi saja,

yang lebih luas secara objektif bersandar dan hal itu disetujui oleh Van Hattum. Akan

pada pandangan masyarakat mengenai tetapi, ia menolak tafsiran ekstensif ataupun

perkataan itu. Dalam menggunakan analogi. Contoh bahwa HIR melepaskan

analog, pangkal pendirian kita ialah bahwa pandangan hidup dunia yang metarialistis, di

perbuatan yang menjadi soal itu tidak situ hanya didapati peralihan makna dari

dapat dimasukkan dalam aturan yang ada. perkataan goed.

Namun demikian, perbuatan itu menurut Menurut Moeljatno, daya pencurian

pandangan hakim seharusnya dijadikan dan daya listrik dianggap sebagai goed karena

perbuatan pidana pula karena termasuk tafsiran extensief ataupun karena peralihan

inti dari aturan yang ada yang mirip dengan makna perkataan goed itu hanya berlainan

perbuatan itu. karena termasuk dalam inti kata-kata saja. yang jelas ialah bahwa goed pada

aturan yang ada mirip dengan perbuatan waktu W.V.S 1880 dibentuk, bermakna

itu. Karena termasuk dalam inti aturan yang ada, perbuatan tadi dapat dikenai

30 EY. Kanter, dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni

31 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: AHM-PTHN, 1982), 68.

Rineka Cipta , 2008), 18.

aturan yang ada dengan menggunakan atas tentang pencurian listrik, putusan H.R. analogi. Jadi, jika menggunakan analogi,

tahun 1921 dalam pasal 362, dan putusan HIR yang dibuat untuk menjadikan perbuatan

di negeri Belanda tahun 1892 yang pidana pada suatu perbuatan tertentu

menggunakan kawat telepon dengan kawat bukan lagi aturan yang ada, tetapi rasio,

telegraf. Dalam kasus ini, Moeljatno tidak maksud, dan inti dari aturan yang ada”.

mengakui penggunaan analogi, melainkan Jika dipandang demikian, meskipun penggunaan ekstensif,

karena KUHP dapat dikatakan bahwa tafsiran ekstensif dan mengandung asas legalitas sebagaimana telah analogi itu pada hakikatnya sama dan hanya

disebutkan di atas dan juga atas dasar alasan ada perbedaan gradual saja, bila dipandang dari kekhawatiran akan suatu tindakan hakim sudut

pidana yang sewenang-wenang. menggunakannya, ada perbedaan besar di

tidak mengakui antara keduanya. Yang pertama masih tetap penggunaan analogi, juga tidak mengakui berpegang pada bunyi aturan dan menuruti penggunaan tafsiran ekstensif. Taverne semua kata-katanya, pada waktu terjadinya berpendapat bahwa penggunaan analogi telah undang-undang

Van

Hattum

waktu dilakukan oleh H.R. yang disetujui. Pompe penggunaannya. Karena itu masih dinamakan mengatakan antara lain “Pada umumnya interprestasi, dan seperti halnya cara analogi

dan

pada

diperbolehkan dalam hal interprestasi yang lain, selalu memerlukan 32 penyempurnaan undang- undang.”

penggunaan undang-undang. Adapun yang

Prodjodikoro, kedua tidak lagi berpegang pada aturan yang mengemukakan

Wirjono

pandangannya dengan ada, melainkan pada inti rasio darinya. Karena menuliskan antara lain: itu, menurut Moeljatno, ini bertentangan

“tetapi dapat juga dimengerti bahwa tidak dengan asas legalitas sebab asas ini

selalu memuaskan apabila setiap analogi mengkhususkan adanya suatu aturan sebagai

dilarang. Adakalanya dirasakan benar- dasar.

benar sebagai adil apabila dalam suatu hal Menurut Wirdjono Prodjodikoro,

tertentu diperbolehkan menggunakan perbedaan antara penafsiran secara ekstensif

analogi “selanjutnya dikatakan” ukuran dan analogi sebagai berikut,

boleh atau tidaknya suatu analogi adalah “seseorang dikatakan masih ada di bidang

apakah analogi an concreto tidak penafsiran apabila dari kata-katanya tidak

bertentangan dengan yang sekadar dapat terlihat peraturan hukum tetapi dalam

diketahui dari maksud dan tujuan suatu cara pikiran, dapat disimpulkan

undang-undang dalam bahwa suatu kejadian atau peristiwa

pembentukan

merumuskan ketentuan-ketentuan hukum tertentu dimaksudkan turut diatur dalam

pi dana yang bersangkutan.” suatu peraturan hukum. Adapun analogi terjadi apabila dengan suatu cara penafsiran

Jika diperhatikan benar-benar, analogi disimpulkan bahwa suatu kejadian atau

merupakan penyelundupan terhadap asas peristiwa tertentu tidak turut di atur dalam

kedua memulai asas pertama pasal 1 ayat 1 suatu peraturan hukum, namun tetap

KUHP. Artinya “sesuatu hal” dianggap dianggap tercakup dalam peraturan itu ”.

termasuk dalam pengertian peraturan hukum (undang-undang) yang sudah ada. Dengan

Dikalangan para sarjana, terdapat demikian, suatu hal itu dianggap sebagai perbedaan pandangan tentang boleh tidaknya

32 menggunakan analogi, misalnya dalam kasus di EY. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas

Hukum ..., 78.

peraturan hukum, yang mulai berlaku sejak PERBANDINGAN QIYĀS DAN

KONSEP ANALOGI DALAM HUKUM diboncenginya. Anggapan ini adalah suatu POSITIF

berlakunya peraturan

hukum

yang

konstruksi hukum, yang dikehendaki oleh Sebelumnya ditegaskan bahwa hakikat mereka yang memegang teguh asas legalitas, hukum positif dapat dipahami sebagai

untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan baru. 33 perintah, penilaian, dan hubungan. Perbedaan Adapun negara lain yang menganut mendasar hukum ini dengan

analogi dan menerimanya secara tegas dalam hukum Islam yaitu (i) hukum Islam bersumber undang-undang pidana, yaitu Rusia, Jerman, dari Tuhan, sementara hokum positif dari dan Denmark. E Utrecht berpendapat, institusi atau lembaga, (ii) hukum Islam “menolak analogi apriori berarti secara diam- mendahului dan tidak didahului serta diam menganut suatu aliran positivitas yang membentuk dan tidak dibentuk masyarakat, sempit sekali tidak dapat disesuaikan dengan

sedangkan dalam hukum positif sebaliknya (iii) zaman sekarang”. 34 karenanya hukum Islam adalah man-discovered

Kesimpulan yang dapat diambil dari law sedangkan dalam hukum positif man-made uraian di atas mengenai analogi dalam hukum law. pidana adalah dilarang menggunakan analogi

Sumber hukum positif terdiri dari yaitu dalam

materiil dan formil. Sedangkan sumber hukum Menggunakan analogi dalam hukum pidana Islam terdiri dari sumber tekstual (nash) dan berarti menganggap “sesuatu” termasuk dalam non-tekstual (ghairu nash). Sifat sumber kedua pengertian dari suatu istilah/ketentuan sistem hukum ini ada perbedaan yaitu apa undang-undang hukum pidana karena

yang disebut sebagai sumber hukum non- “sesuatu” itu banyak sekali kemiripannya atau tekstual (ghairu nash) dalam hukum Islam kesamaannnya di istilah/ketentuan tersebut. (walau tidak semuanya memahami seperti ini) Dengan perkataan lain, analogi terjadi sejajar dengan metode penemuan hukum bilamana menganggap bahwa suatu peraturan dalam hukum positif. Merujuk pada yang hukum tertentu juga meliputi hal yang banyak terakhir ini maka tidak salah jika dipahami kemiripannya/kesamaannya dengan yang telah bahwa dalam hukum positif qiyās atau analogi diatur, yang pada mulanya tidak demikian. yang juga diaplikasikan. Sumber hukum non- analogi biasanya terjadi pada hal-hal yang saat tekstual berupa qiyās atau analogi, walau tidak pembuatan suatu peraturan hukum, tidak dianggap sebagai sumber, dipakai oleh institusi terpikirkan atau tidak mungkin dikenal oleh atau lembaga hukum positif sebagai sarana pembuat undang-undang pada zaman itu.

perluasan pemberlakuan hukum atau ihtiar Dengan demikian, persoalan diterima hukum. atau tidaknya analogi dalam hukum pidana itu

Dalam hukum positif peran institusi harus diselesaikan menurut pertimbangan atau lembaga sangat vital. Para hakim menjadi antara kepentingan individu dan kepentingan faktor atau kekuatan yang membentuk

masyarakat, mengingat diakui atau tidaknya 35 hukum. Keputusan hakim selaku “aktivis” asas legalitas dalam perkembangan hukum lembaga ini menjadi sumber hukum formal

pidana yang berlaku sekarang maupun yang

akan datang.

35 Karena itu hakim menjadi sisi paling signifikan dalam struktur hukum positif. Bagi pencari

keadilan bahkan pernah ada perkataan “Berikan padaku hakim atau jaksa yang baik maka dengan hukum yang buruk

33 Ibid., 80 akan saya tegakkan keadilan ”, Satjipto Raharjo, “Hukum 34 E. Utrecht, Pengantar Dasar Hukum Indonesia,

Itu Perilaku Kita Sendiri”, Kompas, Senin 23 September (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1984), 218. 2002.

dan posisinya kuat. Hal ini terjustifikasi oleh Justifikasi metode analogi sebagai pasal 14 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman metode penafsiran hukum setidaknya dapat yang menyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak kita lihat dari bunyi pasal 1915 BW (Burgerlijk untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang Wetboek) tentang persangkaan “Persangkaan- diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau

persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari mengadilinya”.

suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa Tafsiran yang dilakukan oleh hakim 37 yang tidak terkenal”. Bunyi hukum “ditariknya”

atas diktum hukum dalam undang-undang dalam pasal ini dapat dipahami sebagai yang “mutasyabih” dengan sendirinya menjadi menyerupakan (al-musawah) kasus asal hukum. Bahkan dalam hal yang undang- (terkenal) kepada kasus cabang (tidak undang diam saja hakim menjadi pembentuk terkenal). Selanjutnya “ada dua macam hukum. Tugas hakim dengan demikian bukan persangkaan yaitu persangkaan menurut saja menyesuaikan undang-undang dengan undang-undang dan persangkaan tidak kejadian-kejadian kongkrit dalam masyarakat, berdasarkan

undang- undang”, tetapi juga mencipta undang-undang. 36 mengindikasikan bahwa analogi terjadi ketika

Hukum bagaimanapun ia disusun akan ada bunyi teks undang-undang, sementara senantiasa terasa tidak lengkap, sehingga tafsir interpretasi terjadi ketika tiada ketentuanya atau upaya lain demi terselenggaranya proses dalam undang-undang. Dari pasal ini dapat pencari keadilan akan tercapai, harus

ditarik pemahaman bahwa analogi sebagai dilakukan. Upaya perluasan hukum dalam sarana interpretasi bagi perluasan hukum hukum positif secara umum juga memakai dalam

positif mendapatkan berbagai pola metode sebagaimana dalam kebenarannya. hukum Islam. Sudah tentu dengan spisifikasi

hukum

Metode analogi dipakai di dalam watak dan epistem hukum pada keduanya yang penemuan hukum positif ketika muncul suatu berbeda, pola-pola ini juga menunjukkan sisi- peristiwa hukum yang sebenarnya tidak dapat sisi perbedaan mendasar.

dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi Maka menjadi wajar apabila sesuatu 38 peraturan tersebut. Tekniknya seperti

dianggap sebagai sumber hukum oleh satu menyamakan kata “menyambung” aliran listrik sistem hukum akan hanya dipandang sebagai dengan

aliran listrik. metode oleh satu sistem lainnya. Hal ini dapat Penganalogian kata ini erat kaitannya dengan tergambar dalam memperlakukan analogi bunyi pasal 362 KUH Pidana yang berbunyi: ( qiyās) sebagai sumber sebagaimana di dalam “Barang siapa mengambil barang sesuatu yang hukum Islam (setidaknya suara mayoritas seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dalam epistemologi ushul fiqih) atau metode dengan maksud untuk memiliki, secara melawan penemuan hukum di dalam hukum positif.

“mengambil”