DEVELOPMENT OF REGULATORY AUTHORITY ANNULMENT OF LOCAL REGULATIONS AND REGIONAL HEAD REGULATIONS

PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016

DEVELOPMENT OF REGULATORY AUTHORITY ANNULMENT OF

LOCAL REGULATIONS AND REGIONAL HEAD REGULATIONS

Eka NAM Sihombing

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Jl. Kapten Muchtar Basri No. 3, Medan 20238 E-mail: ekahombing@gmail.com

An Analysis of Constitutional Court Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Number 56/PUU-XIV/2016

Naskah diterima: 28 April 2017; revisi: 15 Agustus 2017; disetujui 15 Agustus 2017

the Constitutional Court Decision only applies to the of government are given the authority to supervise the Provincial Regulation and District/City Regulation. The regulations set in the regions. The supervision can be formulation of the problems elaborated through this implemented by conducting such a guidance to the analysis is how the Authority Annulment of Regional region through the strengthening of executive preview or Regulation by the Minister and the Governor after legal norm review before it is legally binding in general. the issuance of Court Decision Number 137/PUU- This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 XIII/2015 and Constitutional Court Decision Number Constituition of the Republic of Indonesia. 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal

Keywords: annulment, local regulation, regional head juridical normative research method. The results show

regulation.

that in a state of unity it is appropriate that higher levels

I. PENDAHULUAN

kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.

A. Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi dalam amar Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 putusannya menyatakan bahwa frase “ peraturan Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan

secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Pasal 251 ayat (2) dan (4), frase “ peraturan Menteri Dalam Negeri dan gubernur secara daerah kabupaten/kota dan/atau” dalam

berjenjang untuk membatalkan peraturan daerah Pasal 251 ayat (3), dan frase “ penyelenggara dan peraturan kepala daerah yang bertentangan pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat

dengan peraturan perundang-undangan yang menerima keputusan pembatalan peraturan lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang kesusilaan. Pembatalan suatu peraturan daerah

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah dalam Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan kaitannya melaksanakan proses pengawasan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. kepada daerah (Budiputra, 2015: 4).

Putusan Mahkamah Konsttusi ini tidak Pengawasan terhadap peraturan daerah

bulat, karena diwarnai dengan pendapat berbeda maupun peraturan kepala daerah ini lahir dari

(dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi kewenangan pengawasan pemerintah pusat

yang menolak mencabut kewenangan Menteri terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah

Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

daerah. Alasannya, dalam otonomi daerah, Indonesia khususnya mengenai peraturan yang

tanggung jawab penyelenggaraan pemerintah dibuat daerah. Namun dalam sidang pleno

berakhir di presiden. Selanjutnya, melengkapi Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah pada tanggal 5 April 2017, melalui Putusan

Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU- Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal

XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

lagi memiliki kewenangan untuk melakukan tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan

pembatalan peraturan daerah provinsi. kewenangan pembatalan peraturan daerah

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Putusan tersebut tidak serta merta B. Rumusan Masalah

menyelesaikan persoalan terkait dengan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kewenangan pemerintah dalam produk hukum dirumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu: daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah daerah dan peraturan kepala daerah pasca provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor sedangkan peraturan kepala daerah (peraturan

56/PUU-XIV/2016?

gubernur dan peraturan bupati/wali kota), gubernur maupun Menteri Dalam Negeri masih

berwenang membatalkannya. Mahkamah C. Tujuan dan Kegunaan

Konstitusi berpendapat dalam pertimbangannya Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri bahwa:

konstitusionalitas kewenangan pembatalan “...oleh karena peraturan kepala daerah peraturan daerah dan peraturan kepala daerah

merupakan salah satu jenis peraturan oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU- 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk oleh XIV/2016. Lebih lanjut, tulisan ini diharapkan kepala daerah sebagai satuan bestuur yang

memiliki kegunaan sebagai berikut: lebih tinggi memiliki kewenangan untuk

membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan 1. Secara teoritis hasil penelitian ini adalah keberatan pembatalan peraturan kepala

untuk memberikan pengembangan ilmu daerah dalam Undang-Undang Pemerintah

hukum khususnya yang terkait dengan Daerah merupakan bagian dari mekanisme

pengajuan keberatan pembatalan peraturan kewenangan pembatalan peraturan daerah kepala daerah dalam Undang-Undang

dan peraturan kepala daerah. Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden 2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga atau menteri dan gubernur sebagai wakil

akan berguna bagi kalangan praktisi, baik pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk itu DPRD, pemerintah daerah maupun pengawasan, bukan pengujian peraturan

bagi siapa saja yang menaruh minat dalam perundang-undangan dalam lingkungan

bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan

bidang ini.

bestuur yang lebih rendah.”

D. Tinjauan Pustaka

Problematika kewenangan pembatalan

terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala 1. Teori Jenjang Norma

daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas menarik untuk dikupas lebih

Kelsen mengemukakan bahwa dalam dalam, terutama apabila dikaitkan dengan aspek pembentukan peraturan perundang-undangan

konstitusionalitas kewenangan pembatalan dikenal teori jenjang hukum ( stufentheorie). peraturan perundang-undangan di bawah Dalam teori tersebut Kelsen berpendapat bahwa undang-undang yang berdasarkan Pasal 24A ayat norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan (1) UUD NRI 1945 diberikan kepada Mahkamah berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) Agung.

dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

demanded by theory, that this constitution ought (norma to be obeyed” (Dias, 1985: 365). fundamental negara);

a. Staatsfundamentalnorm

b. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/aturan Norma dasar merupakan norma tertinggi

pokok negara);

dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, c. Formell gesetz (undang-undang ”formal”); tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu

d. Verordnung & Autonome satzung (aturan oleh masyarakat sebagai norma dasar yang

pelaksana/aturan otonom).

merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar

Menurut Nawiasky, isi itu dikatakan pre-supposed (Farida, 2010: 41).

staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi

Menurut Kelsen suatu norma hukum itu atau undang-undang dasar dari suatu

selalu bersumber dan berdasar pada norma yang negara ( staatsverfassung), termasuk norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu pengubahannya. Hakikat hukum suatu staats- juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia

hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi

yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat atau undang-undang dasar (Farida, 2010: 41).

bergantungnya norma-norma di bawahnya, Selanjutnya Nawiasky mengatakan norma

sehingga apabila norma dasar itu berubah akan tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma

menjadi rusaklah sistem norma yang ada di dasar ( basic norm) dalam suatu negara sebaiknya bawahnya (Farida, 2010: 41). tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan

Nawiasky mengembangkan teori Kelsen staatsfundamentalnorm atau norma fundamental tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan norma hukum suatu negara yang menyatakan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan suatu norma hukum dari negara manapun selalu di dalam suatu negara norma fundamental negara berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pemberontakan, kudeta, dan sebagainya (Farida, pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih 2010: 41). tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu

Indonesia sebagai negara hukum yang norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.

menganut ajaran negara berkonstitusi seperti Sebagai murid Kelsen, teori yang dikembangkan

negara-negara modern lainnya, memiliki Nawiasky selain norma itu berlapis-lapis dan

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar urutan perundang-undangan Republik Indonesia

peraturan perundang-undangan mengatur (Manan, 1993: 41-42). Secara kontekstual dalam

tentang kewenangan daerah untuk mengatur sistem hierarki peraturan perundang-undangan

dan mengurus sendiri urusannya, dalam Pasal dikenal dengan tiga asas mendasar. Adapun tiga

18 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa asas sebagaimana dimaksud antara lain asas

lex superior de rogat lex inferior, lex specialist pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, derogat lex generalis, lex posterior de rogat lex dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas priori (Hamidi et.al., 2012: 19).

pembantuan (Asshiddiqie, 2009: 58). Lebih lanjut Berdasarkan studi ilmu hukum tiga asas Pasal 18 ayat (6) menegaskan pemerintahan sebagaimana dimaksud merupakan pilar penting daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan dalam memahami konstruksi hukum perundang- peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan undangan di Indonesia secara detail dapat otonomi dan tugas pembantuan (Asshiddiqie, dijelaskan bahwa (Hamidi et.al., 2012: 19):

a. Asas lex superior de rogat lex inferior, Berlakunya prinsip otonomi dalam negara peraturan yang lebih tinggi akan Indonesia yang membagi kewenangan antara mengesampingkan peraturan yang lebih pusat dan daerah diharapkan segala urusan rendah apabila mengatur substansi yang baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat sama dan bertentangan.

dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masing- masing yang diberikan oleh Undang-Undang

b. Asas lex specialist derogat lex generalis, Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan peraturan yang lebih khusus akan Daerah. Kewenangan daerah dalam pelaksanaan mengesampingkan peraturan yang umum otonomi ini telah diisyaratkan oleh Undang- apabila mengatur substansi yang sama dan Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang bertentangan. Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan umum

c. Asas lex posterior de rogat lex priori, disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan

peraturan yang baru akan mengesampingkan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi, peraturan yang lama.

berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya

Dengan demikian, dalam setiap sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan

pembentukan peraturan perundang-undangan hukum nasional dan kepentingan umum.

harus memperhatikan sistem hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga tercipta Dalam rangka memberikan ruang yang keharmonisan antara peraturan perundang- lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

Perbedaannya adalah dalam istilah judicial penyelenggaraan pemerintahan secara

review sudah secara spesifik ditentukan bahwa keseluruhan (Penjelasan Undang-Undang Nomor

kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana

23 Tahun 2014). Daerah melaksanakan otonomi lembaga pengadilan (Fatmawati, 2005: 5). Huda

daerah yang berasal dari kewenangan presiden (2009: 115) menyatakan istilah “ hak menguji”

yang memegang kekuasaan pemerintahan. berbeda dengan “ judicial review.” Kalau kita

Mengingat tanggung jawab akhir berbicara mengenai hak menguji, orientasinya penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan ialah ke Kontinental Eropa (Belanda), presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan sedangkan judicial review orientasinya ialah ke untuk membatalkan peraturan daerah ada di tangan Amerika Serikat. Walau tujuannya sama, dalam presiden. Adalah tidak efisien apabila presiden perkembangan selanjutnya apa yang dilaksanakan yang langsung membatalkan peraturan daerah. oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan civil law berbeda dengan negara-negara yang peraturan daerah provinsi kepada Menteri menganut sistem common law (Huda, 2009: 115). sebagai pembantu presiden yang bertanggung

Dalam sejarah konstitusi dan peraturan jawab atas otonomi daerah. Sedangkan untuk

perundang-undangan kita, pemikiran mengenai pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota,

pengujian ini pernah dilontarkan oleh Mohammad presiden melimpahkan kewenangannya kepada

Yamin pada saat pembahasan rancangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah

undang-undang dasar di Badan Penyelidik (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia 2014).

(BPUPKI). Mohamad Yamin melontarkan pemikiran mengenai perlunya suatu lembaga

2. Perkembangan Kewenangan Pengujian

yang melakukan pengujian konstitusionalitas

Peraturan Perundang-undangan

undang-undang sekaligus mengusulkan agar Dalam konteks ilmu perundang-undangan masuk dalam rumusan rancangan undang-

telah dikenal istilah hak menguji (toetsingrecht) undang dasar yang tengah disusun (Natabaya, dan juga dikenal istilah Judicial Review (Sinamo, 2008: 185-186). 2016: 157) . Jika diartikan secara etimologis

Mohammad Yamin membicarakan tentang dan terminologis, toetsingrecht berarti hak

alat perlengkapan negara Indonesia yang

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

tentang Balai Agung dan Mahkamah Tinggi Dalam kurun 1970-1998 pengujian peraturan mengatakan (Rauta, 2016: 85): Mahkamah perundang-undangan dalam perspektif pembagian inilah yang setinggi-tingginya sehingga dalam kekuasaan yang dianut oleh UUD NRI 1945, tidak membanding undang-undang, maka Balai mengenal pengujian undang-undang terhadap Agung inilah yang akan memutus apakah sejalan undang-undang dasar, tetapi pengujian peraturan dengan hukum adat, syariah, dan Undang- di bawah undang-undang. Hal ini didasarkan pada Undang Dasar. Namun gagasan Mohammad perolehan kekuasaan di masing-masing lembaga Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan negara yang menurut UUD NRI 1945 diberikan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem atas dasar delegasi kewenangan dari MPR sebagai berpikir undang-undang dasar yang saat itu pemegang kedaulatan rakyat (Hoesein, 2009: 304). disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen

Kekuasaan negara yang timbul ( sebelum dengan menempatkan MPR sebagai Lembaga

Amandemen UUD Tahun 1945:sic) pada dasarnya Negara Tertinggi (Natabaya, 2008: 185-186).

bermuara pada MPR, dan MPR selanjutnya Soepomo menambahkan argumentasi membagi-bagi kekuasaan tersebut kepada bahwa kondisi dari negara Indonesia diawal lembaga negara untuk dilaksanakan dalam rangka kemerdekaan yang belum memiliki sarjana hukum menjalankan amanat UUD NRI 1945 (Hoesein, yang banyak dan memiliki pengalaman dalam 2009: 304). Lebih lanjut Hoesein (2009: 304- judicial review, sehingga keputusannya saat itu 305) menyatakan bahwa kewenangan yang Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan timbul dan dilekatkan pada lembaga negara, pada untuk menguji undang-undang terhadap hakikatnya kewenangan-kewenangan yang secara undang-undang dasar (Farida, tt: 1.7). Dengan eksplisit diserahkan kepada badan atau lembaga perkataan lain kewenangan menguji undang- negara yang bersangkutan, seperti kewenangan undang terhadap undang-undang dasar maupun di bidang kehakiman diserahkan kepada lembaga peraturan perundang-undangan lainnya terhadap Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di undang-undang tidak dicantumkan dalam UUD bawahnya. NRI 1945 sebelum perubahan.Lebih lanjut

Hoesein (2009: 305) menyatakan pengujian Farida menyatakan bahwa sesuatu yang menarik

peraturan perundang-undangan memiliki posisi, untuk menjadi sejarah dalam ketatanegaraan yang

tugas, dan fungsi yang sangat penting dalam pernah ada di Indonesia adalah pada saat konstitusi

perspektif ketatanegaraan Indonesia pasca RIS berlaku, pengujian undang-undang terhadap

perubahan UUD NRI 1945. Dalam hubungan undang-undang dasar sempat dikenal, walaupun

ini pengujian peraturan perundang-undangan dengan batasan hanya pada pengujian terhadap

merupakan kontrol normatif terhadap segala undang-undang negara bagian kepada konstitusi

bentuk produk hukum sesuai dengan tingkatan sebagaimana diatur pada Pasal 156, Pasal 157, dan

atau hierarki normatifnya, sehingga dominasi Pasal 158 Konstitusi RIS.

mayoritas dapat dihindari dan rasa keadilan serta Setelah berlakunya kembali UUD NRI 1945 kebenaran dapat ditegakkan oleh lembaga yang melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pengujian berwibawa (Hoesein, 2009: 305).

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

Seiring dengan dilakukannya perubahan perundang-undangan tersebut diundangkan terhadap UUD NRI 1945 pada tahun 1999 sampai adalah dengan melakukan seluruh rangkaian dengan 2002. Kewenangan pengujian peraturan proses pembentukan peraturan perundang- perundang-undangan, oleh UUD NRI 1945 undangan yang berpedoman pada asas-asas diberikan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menguji undang-undang terhadap undang- yang baik maupun asas materi muatan peraturan undang dasar dan Mahkamah Agung untuk perundang-undangan. Sedangkan upaya yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah dapat dilakukan setelah peraturan perundang- undang-undang.

undangan tersebut diberlakukan adalah melalui permohonan pengujian peraturan perundang-

3. Pengujian terhadap Peraturan undangan kepada lembaga kehakiman.

Perundang-Undangan di Bawah

Sekalipun pengujian terhadap peraturan

Undang-Undang

perundang-undangan sebenarnya tidak masuk Sebagai sebuah sistem peraturan dalam definisi pembentukan peraturan perundang- perundang-undangan, Soebechi (2012: 180) undangan dalam Undang-Undang Nomor 12

menyatakan bahwa kesatuan tatanan hukum Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan seharusnya tidak ada pertentangan antara norma Perundang-undangan, namun mengingat adanya hukum satu sama lainnya. Dalam praktiknya, kebutuhan hukum, masukan, keresahan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa pertentangan antara keberatan sebagian besar pemangku kepentingan norma hukum sering terjadi.

terkait dengan pembatalan dan/atau pencabutan peraturan perundang-undangan di bawah UU,

Menurut Kelsen, tidak ada jaminan absolut terutama peraturan daerah provinsi dan/atau bahwa norma yang lebih sesuai dengan norma peraturan daerah kabupaten/kota yang dibatalkan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat terjadi dan atau dicabut dengan perpres atau permendagri, karena organ hukum yang berwenang membuat maka substansi mengenai uji materi peraturan norma hukum menciptakan norma-norma yang perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan (Soebechi, 2012: 180).

diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun Antara satu norma hukum dengan norma 2011 (Yani, 2013: 74-75). Lebih lanjut Yani

hukum lainnya bahwa dimungkinkan terjadi (2013) menyatakan bahwa substansi uji materiil ketidaksamaan (ketidakharmonisan:sic), atas peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam hal ini Kelsen menyebutnya dengan dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor terjadinya konflik antar norma hukum dari 12 Tahun 2011 dapat disebut sebagai terobosan berbagai tingkatan (Soebechi, 2012: 180). hukum, sebab pengujian peraturan perundang- Untuk menghindari terjadinya konflik antar undangan terintegrasi dalam sistem pembentukan norma hukum (disharmoni antar norma hukum) peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor dapat dilakukan sebelum atau sesudah peraturan

12 Tahun 2011.

perundang-undangan tersebut diundangkan. Ketentuan tentang uji materiil atas Upaya yang dilakukan sebelum peraturan peraturan perundang-undangan di bawah undang-

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

selain sebagaimana dimaksud dalam tidak sesuai dengan kebijakan regulasi yang

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan

diatur dalam peraturan perundang-undangan di Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, bawah undang-undang hanya dapat dicabut dan/

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah atau dibatalkan oleh Mahkamah Agung (Yani,

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,

2013: 74-75). Ketentuan tersebut berdasarkan Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, amanat Pasal 24A UUD NRI 1945 yang secara

atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah

tegas menentukan bahwa pengujian peraturan atas perintah Undang-Undang, Dewan perundang-undangan di bawah undang-undang

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, merupakan kewenangan Mahkamah Agung,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali

yaitu lembaga yudikatif bukan eksekutif (Yani, kota, Kepala Desa atau yang setingkat.” 2013: 74-75).

Penjabaran lebih lanjut mengenai Berdasarkan kewenangan yang diberikan kewenangan pengujian oleh Mahkamah

oleh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945, Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan

b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan yang secara hierarki berada di bawah undang- perundang-undangan di bawah undang-undang undang (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor terhadap undang-undang (Ketentuan ini

12 Tahun 2011) dan peraturan perundang- mengatur mengenai hak uji Mahkamah Agung undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terhadap peraturan perundang-undangan yang ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, lebih rendah dari undang-undang. yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

Hak uji dapat dilakukan baik terhadap “ Jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan terdiri atas:

materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian

a. dari peraturan perundang-undangan yang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

bertentangan dengan peraturan perundang-

b. undangan yang lebih tinggi maupun terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

pembentukan peraturan perundang-undangan).

c. Instrumen yang dijadikan batu uji dalam Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti;

pengujian peraturan perundang-undangan di

d. bawah undang-undang adalah undang-undang Peraturan Pemerintah; dan peraturan perundang-undangan yang lebih

e. Peraturan Presiden; tinggi dari peraturan perundang-undangan yang

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

diuji.

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

II. METODE

prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah

Metode yang digunakan dalam tulisan ini diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. ataupun pilihan dapat dilaksanakan sesuai dengan Penelitian hukum normatif yaitu pendekatan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep

Pemerintahan Daerah.

asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan,

Kewenangan daerah dalam pelaksanaan perjanjian serta.

putusan

pengadilan,

otonomi ini telah diisyaratkan oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Mengambil istilah Dworkin, penelitian Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan umum semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan doktrinal ( doctrinal research) yaitu penelitian masyarakat hukum yang mempunyai otonomi yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di berwenang mengatur dan mengurus daerahnya dalam buku ( law as it is written in the book). sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan dokumen dijadikan sebagai bahan utama. hukum nasional dan kepentingan umum.

Adapun sifat penelitian yang dipergunakan Dalam rangka memberikan ruang yang dalam tulisan ini adalah preskriptif, berpegang lebih luas kepada daerah untuk mengatur pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu dan mengurus kehidupan warganya maka terapan, preskripsi yang diberikan di dalam pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan kegiatan penelitian hukum harus dapat dan harus memperhatikan kearifan lokal dan mungkin untuk diterapkan (Marzuki, 2011: 251). sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian daerah baik dalam bentuk peraturan daerah hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru maupun kebijakan lainnya hendaknya juga atau teori baru, paling tidak argumentasi baru memperhatikan kepentingan nasional. Dengan (Marzuki, 2011: 251). demikian akan tercipta keseimbangan antara

kepentingan nasional yang sinergis dan tetap

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan

A. Kewenangan Pembatalan Peraturan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah secara keseluruhan.

Pasca Putusan Nomor 137/PUU-

Urusan pemerintahan dibagi atas tiga antara XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 lain: urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan

umum. Urusan pemerintahan yang konkuren Ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD NRI

adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara 1945 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah

pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

ini dibagi antara lain yang bersifat wajib dan asas otonomi dan tugas pembantuan. Berlakunya

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

1. Materi-materi atau hal-hal yang memberi urusan pemerintahan menjadi sangat besar.

beban kepada penduduk, misalnya pajak Kedudukan yang strategis dari peraturan

daerah dan retribusi daerah; daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan

2. Materi-materi atau hal-hal yang dapat menjadi baik jika pembentukan peraturan

mengurangi kebebasan penduduk, daerah tersebut dilakukan dengan baik dan

misalnya mengadakan larangan-larangan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak

dan kewajiban-kewajiban yang biasanya baik (Pakpahan, 2010: 5). Selain mempunyai

disertai dengan ancaman atau sanksi kedudukan yang strategis, peraturan daerah

pidana;

juga mempunyai berbagai fungsi yaitu (DJPP Kemenkum dan HAM RI, 2011: 9):

3. Materi-materi atau hal-hal yang membatasi hak-hak penduduk, misalnya penetapan

1. Sebagai instrumen kebijakan untuk

garis sepadan;

melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan

4. Materi-materi atau hal-hal yang telah dalam UUD NRI 1945 dan Undang-

ditentukan dalam peraturan perundang- Undang tentang Pemerintahan Daerah;

undangan yang sederajat dan tingkatannya lebih tinggi, harus diatur dengan peraturan

2. Merupakan peraturan pelaksanaan dari daerah (Soehino, 1997: 8).

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, peraturan daerah

Secara normatif, materi muatan peraturan

tunduk pada ketentuan hierarki peraturan daerah dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 perundang-undangan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan daerah tidak boleh bertentangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. dengan peraturan perundang-undangan Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa materi yang lebih tinggi;

muatan peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi

3. Sebagai penampung kekhususan dan muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

keragaman daerah, namun dalam daerah dan tugas pembantuan serta menampung

pengaturannya tetap dalam koridor kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih

berlandaskan Pancasila dan UUD NRI tinggi. Selanjutnya Sihombing & Marwan (2017:

1945;

137) menguraikan bahwa:

4. Sebagai alat pembangunan dalam “Materi muatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan daerah.

penyelenggaraan otonomi daerah dan

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

| 227

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

tugas pembantuan mengandung makna bahwa pembentukan peraturan daerah harus didasarkan pada pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, mengandung makna bahwa peraturan daerah sebagai peraturan yang mengabstraksi nilai-nilai masyarakat di daerah yang berisi materi muatan nilai-nilai

yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Berkaitan dengan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna bahwa secara yuridis pembentukan peraturan daerah bersumber kepada peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain pembentukan peraturan daerah harus berdasarkan pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. ”

Dalam ketentuan Pasal 236 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah sebagai berikut:

1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk peraturan daerah.

2. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.

3. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Selain materi muatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) peraturan daerah dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Materi muatan peraturan kepala daerah berdasarkan ketentuan Pasal 246 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah materi untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (termasuk peraturan kepala daerah) telah diakui secara konstitusional. Akan tetapi, Sabarno (2007: 197) menyatakan bahwa pembentukan peraturan daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri, karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dalam pembentukannya telah ditetapkan serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta keterbukaan. Di samping itu juga, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Semua parameter tersebut tentunya bertujuan agar konsep otonomi daerah berjalan pada jalur yang telah ditetapkan, semakin mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat dan yang terpenting tidak mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjamin agar peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah tetap dalam kerangka sistem hukum nasional maka dimungkinkan untuk melakukan pembatalan peraturan dimaksud, apabila bertentangan dengan parameter yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Pengaturan mengenai pembatalan peraturan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur daerah dan peraturan kepala daerah dapat ditemui yang anggotanya terdiri atas komponen lingkup dalam rumusan ketentuan Bab IX Bagian Ketiga Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pasal 249-252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun terkait sesuai kebutuhan. Demikian pula halnya 2014, dalam ketentuan tersebut dinyatakan dengan peraturan daerah kabupaten/kota dan bahwa peraturan daerah maupun peraturan kepala peraturan kepala daerah setelah ditetapkan dalam daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan jangka waktu tujuh hari setelah ditetapkan harus peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, disampaikan kepada gubernur, sekretaris daerah kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Apabila atas nama gubernur membentuk tim pembatalan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bertentangan dengan ketentuan dimaksud, maka bupati/wali kota yang keanggotaannya terdiri atas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat komponen lingkup perangkat daerah dan instansi membatalkan peraturan daerah atau peraturan terkait sesuai kebutuhan. kepala daerah kabupaten/kota, dan Menteri

Penggunaan istilah tim pembatalan Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan

peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah daerah atau peraturan kepala daerah provinsi.

sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Peraturan daerah atau peraturan kepala Nomor 80 Tahun 2015 menurut penulis tidaklah daerah kabupaten/kota yang bertentangan dengan tepat, mengingat tugas dari tim pembatalan adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang untuk melakukan kajian terhadap peraturan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau daerah maupun peraturan kepala daerah yang kesusilaan tidak dibatalkan oleh gubernur, maka tidak semuanya berujung pada pembatalan. Menteri membatalkan peraturan daerah atau

Hasil kajian tim pembatalan peraturan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tersebut.

daerah atau peraturan kepala daerah dapat Adapun pembatalan peraturan daerah provinsi

berupa pernyataan tidak bertentangan dengan dan peraturan gubernur ditetapkan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih keputusan Menteri dan pembatalan peraturan

tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/

dan dapat pula berupa pernyataan bertentangan wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagai wakil pemerintah pusat.

kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Selanjutnya dalam ketentuan Bab XI

Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 ini Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 juga mengatur mengenai instrumen pembatalan Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum peraturan daerah dan peraturan kepala daerah Daerah disebutkan bahwa dalam hal peraturan melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan daerah provinsi atau peraturan gubernur setelah Menteri. Pembatalan peraturan daerah dan ditetapkan, dalam jangka waktu tujuh hari setelah peraturn kepala daerah melalui instrumen ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri. Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri

Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama patut dianggap bertentangan dengan rezim Menteri Dalam Negeri membentuk tim pembatalan peraturan perundang-undangan yang ada di

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

Indonesia, hal ini sejalan dengan Huda (2008) pembatalan peraturan daerah baik peraturan menyatakan karena peraturan daerah itu daerah provinsi maupun peraturan daerah termasuk kategori peraturan yang hierarkinya kabupaten/kota yang diatur di dalam Pasal 251 berada di bawah undang-undang, maka dapat ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 timbul penafsiran bahwa pemerintah pusat sudah Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. seharusnya tidak diberikan kewenangan oleh

Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini undang-undang untuk menilai dan mencabut

sekaligus melengkapi Putusan Nomor 137/PUU- peraturan daerah sebagaimana diatur oleh

XIII/2015, sehingga pemerintah pusat tidak Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah baik peraturan

B. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca

daerah provinsi maupun peraturan daerah

Putusan Mahkamah Konstitusi

kabupaten/kota. Sekilas, putusan ini telah Telah diuraikan terdahulu, bahwa dalam mengembalikan ruh kewenangan pembatalan

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan peraturan perundang-undangan di bawah bahwa frase “ peraturan daerah kabupaten/ undang-undang kepada Mahkamah Agung kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) sebagaimana dicantumkan secara eksplisit dalam dan (4), frase “ peraturan daerah kabupaten/ ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Akan tetapi kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan apabila ditelaah secara mendalam, maka putusan frase “ penyelenggara pemerintahan daerah ini justru tidak sepenuhnya mengembalikan kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan kewenangan pembatalan peraturan perundang- pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota undangan di bawah undang-undang kepada dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Mahkamah Agung. tentang Pemerintahan Daerah bertentangan

Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai

Konstitusi hanya berlaku terhadap peraturan kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian

daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/ baik Menteri Dalam Negeri maupun gubernur

kota, sedangkan terhadap peraturan kepala daerah tidak lagi berwenang membatalkan peraturan

(peraturan gubernur serta peraturan bupati/ daerah kabupaten/kota.

wali kota) masih tetap dapat dibatalkan oleh Pembatalan peraturan daerah harus Menteri Dalam Negeri maupun gubernur secara

dilakukan melalui mekanisme judicial review di berjenjang. Dan bahkan antara pertimbangan Mahkamah Agung. Setelah Putusan Nomor 137/ dengan putusan dapat dikatakan inkonsisten. PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi pada Dalam pertimbangan Putusan Nomor 137/PUU- tanggal 14 Juni 2017 juga mengeluarkan Putusan XIII/2015 dinyatakan:

Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian “… bahwa pembatalan peraturan daerah atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

kabupaten/kota melalui keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251

tentang Pemerintahan Daerah. Para pemohon ayat (4) Undang-Undang Pemerintah dalam perkara ini kembali mempermasalahkan

Daerah, menurut Mahkamah Konstitusi konstitusionalitas dari ketentuan mengenai

tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut. Pasal 7

230 |

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis hierarki peraturan perundang- undangan maupun Keputusan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi terjadi kekeliruan di mana peraturan daerah kabupaten/kota sebagai produk hukum yang berbentuk pengaturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai bentuk produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking) ...”

“… bahwa oleh karena peraturan kepala daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk hanya oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka mengimplementasikan peraturan daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Pemerintah Daerah, sehingga dalam Negara Kesatuan pemerintah pusat sebagai satuan bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam

Undang-Undang

Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden atau menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan, bukan pengujian peraturan perundang- undangan dalam lingkungan bestuur oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih rendah ...”

Lebih lanjut dalam Putusan Nomor 56/ PUU-XIV/2016 dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota

melalui executive review adalah bertentangan dengan UUD NRI 1945. Oleh karena dalam Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai pembatalan peraturan daerah provinsi juga melalui executive review maka pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 berlaku pula pada Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang frasa “ peraturan daerah provinsi dan” bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mahkamah Konsitusi dalam putusannya, tidak menyatakan bahwa frase “… dan peraturan gubernur …” dan frase “… peraturan bupati/ wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan mengikat.

Selain itu Mahkamah Konstitusi seharusnya juga memutus bahwa frase “… dan peraturan gubernur” dan “… dan peraturan bupati/wali kota” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan (2), serta frase “ penyelenggara pemerintahan daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur” dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/ wali kota” sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan (8) Undang-Undang Pemerintah Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Peraturan bupati/wali kota merupakan Mengingat proses pembentukan suatu salah satu bentuk peraturan perundang-undangan produk hukum daerah membutuhkan waktu, yang memuat norma hukum mengikat secara biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga umum dan ditetapkan oleh lembaga negara atau jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian pejabat yang berwenang melalui prosedur yang dilakukan oleh pemerintah pada saat sebelum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, produk hukum daerah tersebut diundangkan. Hal selain itu secara hierarki kedudukan peraturan ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD bupati/wali kota berada di bawah undang-undang NRI 1945 yang sama sekali tidak memberikan sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal delegasi kewenangan pengujian terhadap

7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:

kepada lembaga eksekutif.

“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam

IV. KESIMPULAN

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan

Berdasarkan uraian di atas dapat Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan disimpulkan bahwa pasca Putusan Nomor 137/ Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang

setingkat yang dibentuk dengan Undang- lagi berwenang membatalkan peraturan daerah Undang atau Pemerintah atas perintah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Putusan ini tidak serta merta menyelesaikan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ permasalahan konstitusionalitas kewenangan Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau pengujian terhadap produk hukum daerah yang setingkat.”

yang notabene secara hierarki berada di bawah undang-undang. Hal ini dikarenakan Menteri

Sehingga, sudah seharusnya pembatalan Dalam Negeri masih tetap dapat membatalkan

peraturan gubernur maupun peraturan bupati/ peraturan gubernur serta gubernur masih dapat

wali kota dilakukan melalui mekanisme judicial membatalkan peraturan bupati/wali kota.

review di Mahkamah Agung. Putusan ini sekilas mengembalikan ruh

Dalam negara dengan bentuk kesatuan kewenangan pengujian kepada Mahkamah

memang sudah sepatutnya pemerintah yang Agung sebagaimana diamanahkan oleh Pasal

tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan 24A UUD NRI 1945, akan tetapi apabila

untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi dicermati justru putusan ini tidak benar-benar

(termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala mendudukkan kewenangan pengujian peraturan

daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari perundang-undangan di bawah undang-undang

pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan hanya kepada Mahkamah Agung. Seharusnya

melakukan pembinaan kepada daerah melalui Mahkamah Konstitusi, menyatakan peraturan

penguatan executive preview atau pengujian kepala daerah tidak lagi dapat dibatalkan oleh

terhadap suatu norma hukum sebelum sah pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi,

mengikat secara umum.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Perundang-undangan Kemenkum dan HAM. yang mengikat secara umum dan hierarkinya

Farida, M. (2010). Ilmu perundang-undangan: Jenis, berada di bawah undang-undang, sehingga untuk

fungsi, & materi muatan. Yogyakarta: Kanisius. mengajukan pembatalannya harus melalui proses judicial review di Mahkamah Agung. Adapun ________. (tt). Modul I: Pengujian peraturan

pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi masih perundang-undangan. Diakses dari http://

dapat diberikan kewenangan untuk melakukan repository.ut.ac.id/4116/1/HKUM4404-M1.

pdf

pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di Fatmawati. (2005). Hak menguji (Toetsingrecht) yang daerah melalui penguatan executive preview atau

dimiliki hakim dalam sistem hukum Indonesia. pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum

Jakarta: Rajagrafindo Persada. sah mengikat secara umum dengan melibatkan

Hamidi, J. et.al. (2012). Teori & hukum perancangan instansi vertikal yang tugas dan fungsinya berkaitan perda. Cetakan Pertama. Malang: Universitas dengan peraturan perundang-undangan (dalam Brawijaya Press (UB Press). hal ini Kementerian Hukum dan HAM). Hal ini

sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI Hoesein, Z.A. (2009). Judicial review di Mahkamah 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi

Agung RI. Jakarta: Rajagrafindo Persada. kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah

Huda, N. (2008, Juni). Problematika yuridis di seputar maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga

pembatalan perda. Jurnal Konstitusi, 5(1), 45- eksekutif.

62. _______. (2009). Hukum pemerintahan daerah.

Bandung: Nusa Media.

Manan, B. (1993). Beberapa masalah hukum tata

DAFTAR ACUAN

negara Indonesia. Bandung: Alumni. Asshiddiqie, J. (2009). Komentar atas Undang-

Marzuki, P.M. (2011). Penelitian hukum, Jakarta: Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. Prenadamedia Group.

Natabaya, H.A.S. (2008). Sistem peraturan Budiputra, I.G.E. (2015). Dualisme pembatalan perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: peraturan daerah provinsi dengan peraturan

Konstitusi Press.

presiden & peraturan Menteri Dalam Negeri. Tesis. Bali: PPS Univeritas Udayana.

Pakpahan, R.H. (2010). Pengujian peraturan daerah oleh lembaga eksekutif & yudikatif. Tesis.

Dias, R.W.M. (1985), Jurisprudence. Fifth Edition. Universitas Sumatera Utara.

London: Butterworths. Rauta, U. (2016). Konstitusionalitas pengujian

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan peraturan daerah. Yogyakarta: Genta Kementerian Hukum dan HAM RI [DJPP

Kemenkum dan HAM RI]. (2011). Panduan praktis memahami perancangan peraturan

Publishing.

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing)

Sabarno, H. (2007). Memandu otonomi daerah menjaga kesatuan bangsa. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.

Sihombing, E.N.A.M., & Marwan, A. (2017). Ilmu perundang-undangan. Medan: Pustaka Prima.

Sinamo, N. (2016). Ilmu perundang-undangan. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Soebechi, I. (2012). Judicial review peraturan daerah pajak & retribusi daerah. Jakarta: Sinar

Dokumen yang terkait

FACTORS INFLUENCING TI-IE DECISION -MAKING OF USING XL CELLULAR SERVICES (A STUDY AT XL CELLULAR USERS IN RURAL AREAS OF CENTRAL LOMBOK REGENCY)

0 0 18

ANALISIS PERENCANAAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEHATAN PUSKESMAS DENGAN METODE WORKLOAD INDICATORS OF STAFFING NEEDS (WISN) DI KABUPATEN LOMBOK BARAT

0 1 17

HIZBUT TAHRIR INDONESIA AND ITS IMPLICATIONS ON SOCIAL RELIGIOUS REALM Mujahiduddin UIN Alauddin Makassar (muja.didinkyahoo.com) Abstract - View of Hizbut Tahrir Indonesia and Its Implications on Social Religious Realm

0 0 16

THE CONCEPT OF GOD IN CHRISTIANITY: AN ISLAMIC PERSPECTIVE Juhansar Andi Latief Gadjah Mada University, Yogyakarta (juhansarmail.ugm.ac.id) Abstrak - View of The Concept of God in Christianity: an Islamic Perspective

0 0 16

ISLAMIC FUNDAMENTALISM AS A SIGNIFIER OF THE SIXTH PHASE OF GLOBALIZATION Mohammad Hasan Basri

0 0 14

CAMPAIGN SOCIALIZATION RELIGIOUS FREEDOM TO TOLERANCE RELIGION OF STUDENT Ilham Prisgunanto

0 0 14

CHARACTERISTICS OF INTERNAL AUDITS IN IMPROVEMENT OF QUALITY GOALS IN CALIBRATION LABORATORIES

0 0 6

REGULATORY IMPACT ANALISYS TERHADAP PEMBERLAKUAN STANDAR

0 0 12

ENHANCING COMPETITIVENESS OF INDONESIAN FOOD AND BEVERAGE INDUSTRY THROUGH ADOPTION FACILITIY OF QUALITY ASSURANCE PROGRAMS

0 0 12

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI PERJANJIAN ASEAN SECTORAL MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT ON ELECTRICAL AND ELECTRONIC EQUIPMENT (ASEAN EE MRA) BAGI INDONESIA Effectiveness of ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement on Electrical and Electronic Equipment (A

0 0 10