MAKALAH Penyebab Timbulnya Sengketa Inte

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai
ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang
kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum
ataufakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ)
menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:
a) Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta
yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
b) Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran
case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya
berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.
c) Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya
sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case
Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam
kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun,
bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB.
Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak
yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus

diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
d) Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang
bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate
under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.
Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman.
Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah
menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara
kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi
semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian
menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun
karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai
kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode
penyelesaian sengketa.
Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai secara formal
lahir dari diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The Hague Peace Conference)
tahun 1899 dan tahun 1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan: “The Conventio 1n on the
Pacific Settlement of International Disputes (1907)”Karakteristik dari Sengketa Internasional
adalah:
a) Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct
International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke

Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi
1

Adolf, Huala, 2014, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasiaonal, Jakarta : Sinar Grafka

1

terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah
melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi
Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR
dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan
untuk segera mencabut peraturan tersebut.
b) Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu
menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu
perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa
internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang
dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di
Freeport. Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak
ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam
pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan

lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam
menyelesaikan sengketa, diantaranya :
1. Negosiasi
2. Enquir yaitau penyelidikan
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Arbitrase
6. Judicial Settlement atau Pengadilan
7. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik.
Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial
settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah
negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good
offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.

4.
5.

Apa penyebab timbulnya sengketa internasional?
Bagaimana analisis kasus Deserters Of Casablanca?
Bagaimana cara penyelesaian sengketa internasional?
Bagaimana peran Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional?
Bagaimana tahap-tahap penyelesaian sengketa internasiona

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sengketa Internasional
Sengketa internasional adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum
internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak
ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.
Persengketaan bisa terjadi karena :
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal.

2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain.
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal.
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional.
Contoh sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka :
1. Segi Politis (adanya fakta pertahanan / fakta perdamaian).
Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO
pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing
berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi
konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok
Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.
2. Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak
sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang
Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah
Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS
muncul sebagai kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam
tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang
mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul sengketa di
dunia internasional.


B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2

Prinsip itikad baik (good faith);
Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa ;
Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan
suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);2

Huala Adolf, 1994, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta : Rajawali Pers


3

7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas
wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain
yang bersifat tambahan, yaitu:
a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
b. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

C. Tindakan Penyelesaian Sengketa Secara Politik atau Diplomatik
a) Negosiasi
Negosiasi adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan secara langsung oleh para
pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam
pelaksanaan negosiasi ini, para pihak melakukan pertukaran pendapat dan usul untuk
mencari kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai. Negosiasi dapat
berbentuk bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi
internasional.

b) Enquiry atau Penyelidikan
Enquiry atau penyelidikan adalah suatu proses penemuan fakta oleh suatu tim penyelidik
yang netral. Prosedur ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena
perbedaan pendapat mengenai fakta, bukan untuk
permasalahan yang bersifat hukum murni. Hal ini karena fakta yang mendasari suatu
sengketa sering dipermasalahkan.
c) Mediasi
Mediasi adalah tindakan negara ketiga atau individu yang tidak berkepentingan dalam
suatu sengketa internasional, yang bertujuan membawa ke arah negosiasi atau memberi
fasilitas ke arah negosiasi dan sekaligus berperan serta dalam negosiasi pihak sengketa
tersebut. Pelaksana mediasi disebut mediator. Mediator dapat dilakukan oleh pemerintah
maupun individu.
d) Konsiliasi
Seperti cara mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan
intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah
negara. Namun, bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Konsiliasi juga
dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa secara bersahabat dengan bantuan
negara lain atau badan pemeriksa yang netral atau tidak memihak, atau dengan bantuan
Komite Penasihat.
e) Good Offices (Jasa Baik)

Good offices (jasa baik) adalah tindakan pihak ketiga yang membawa ke arah
terselenggaranya negosiasi, tanpa berperan serta dalam diskusi mengenai substansi atau
pokok sengketa yang bersangkutan. Good offices akan terjadi apabila pihak ketiga
mencoba membujuk para pihak sengketa untuk melakukan negosiasi sendiri.
D. Peranan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

4

Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan
antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian
Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober
1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan
selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat
dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar“semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional
dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di
luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara
melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:
a) Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah;
1. perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
2. sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani,1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para
pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi
bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang
terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih
dengan cara lain.Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator
yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang
telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat;
1.
2.
3.
4.

5.

persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase,
metode pemilihan panel arbitrase,
waktu dan tempat (dengar pendapat),
batasfakta yang harus dipertimbangkan, dan
prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu
kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)

b) Pengadilan Internasional3
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional
untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari
komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas
dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
3

Ibid

5

Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi
Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga BangsaBangsa, Mahkamah Permanen Internasional bukanlah organ dari Organisasi Internasional
tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negaranegara di dunia mengadakan konferensi di SanFransisco untuk membentuk mahkamah
internasional Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam PBB
Mahkamah Internasional, merupakan organ hukum utama dari PBB.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya
hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena
banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidakmengalami
perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan
untuk:
a. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang
didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
b. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat.
Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun
biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang
mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217),
Sedangkan menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sumber- sumber
hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
a. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum,
maupun khusus;
b. Kebiasaan internasional (international custom);
c. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara
beradab;
d. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan
ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan
hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa.
Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para
pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah
negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun
kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka
perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah
Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).

E. Contoh Kasus

6

Deserters of Casablanca (France/Germany)
Kasus ini menyangkut tentang perlindungan yang diberikan oleh konsulat Jerman di Casablanca
untuk enam desertir dari Legiun Asing Perancis, tiga di antaranya dari Jerman, selama
kependudukan kota itu oleh pasukan militer Prancis pada tahun 1908.
Pada tanggal 25 September 1908, sedangkan enam desertir sedang mengantarkan sebuah kapal
Jerman di pelabuhan Casablanca, dibawah perlindungan agen konsuler Jerman, militer Perancis
dipaksa

menangkap

desertir

meskipun

ada

larangan

dari

para

agen

Jerman.

Sengketa muncul antara Jerman dan Perancis yang dihasilkan dari peristiwa ini, dimana pihak
setuju untuk tunduk kepada arbitrase. The Arbitrase didakwa dengan menyelesaikan pertanyaan
dari fakta dan hukum seputar peristiwa 25 September 1908. Pengadilan memutuskan bahwa
tindakan konsulat Jerman harus sudah dihormati meskipun pasukan militer Perancis memiliki
yurisdiksi dalam kasus ini. Pengadilan menemukan bahwa tidak ada alasan di bawah perjanjian
penyerahan untuk pemulihan para tahanan.
Analisis kasus
Dari sengketa tersebut sudah diputuskan oleh hakim pengadilan bahwasannya tindakan yang
dilakukan oleh konsulat jerman terhadap para tahanan bukan merupakan sebuah kesalahan.
Meskipun pada dasarnyayang memiliki yuridiksi dalam kasus ini adalah pasukan militer
Perancis. Kasus yang diserahkan sepenuhnya kepada PCA (permanent court of arbritation) yang
berlandaskan Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Disetujuinya
arbritase ini pada 24 november 1908 antara pemerintah perancis dengan pemerintah jerman.
Pada kasus ini yang menjadi persoalan adalah masalah yursdiksi terhadap para tahanan.
Tindakan konsulat jerman terhadap para tahanan tidak dinyatakan bersalah oleh hakim arbritase
justru malah untuk dihormati. Pasukan militer perancis yang memiliki yurisdiksi pada kasus ini
menilaisalahperbuatandarikonsulatjerman.

7

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi kasus “Deserters of Casablanca ” antara Perancis dan Jerman diselesaikan melalui badan
arbitrase internasional yaitu PCA. Dari sengketa tersebut sudah diputuskan oleh hakim pengadilan
bahwasannya tindakan yang dilakukan oleh konsulat jerman terhadap para tahanan bukan merupakan
sebuah kesalahan. Meskipun pada dasarnyayang memiliki yuridiksi dalam kasus ini adalah pasukan
militer Perancis. Kasus yang diserahkan sepenuhnya kepada PCA (permanent court of arbritation) yang
berlandaskan Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Disetujuinya arbritase
ini pada 24 november 1908 antara pemerintah perancis dengan pemerintah jerman . Adapun Sengketa

dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum,
atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai
masalah hukum, fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa
yang berbeda. Adapun Prinsip-Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1) Prinsip itikad baik (good faith);
2) Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3) Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4) Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5) Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6) Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu
sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7) Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas
wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain
yang bersifat tambahan, yaitu:
a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah
b. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
B. Saran
Secara pribadi maupun sebagai bangsa Indonesia haruslah dapat memberikan kontribusi
secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan apabila kita
sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara lain diserahkan kepada
Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada
persengketaan.

8

DAFTAR PUSTAKA
http://www.anneahira.com/sengketa-internasional.htm (15/03/2012)
Rejeki, Sri. 2006. Modul Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA SMK/MAK.Surakarta:
PT. Patama Mitra Aksara
Suwarni, Dra., dkk.2008. Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XI.Jakarta.Arya Duta.
Adolf, Huala, 2014, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasiaonal, Jakarta :
Sinar Grafka
Huala Adolf, 1994, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta :
Rajawali Pers

9