HAK WARGA NEGARA (1) negara-negara budaya negara-negara budaya negara-negara budaya

TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
HAK WARGA NEGARA

Kelompok 7:

Azhari Dimas Prayoga (151041
Muhammad Berlian Nuansa .A (1510411116)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
UPN “VETERAN” JAKARTA
2016

Kata Pengantar

Puji serta syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas berkat dan
rahmatnya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih juga
tak lupa kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah
ini sampai selesai.
Kami tentunya sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Namun kami sangat berharap bahwa dengan terwujudnya makalah ini, dapat menambah

pengetahuan dan informasi bagi yang membacanya.
Dengan banyaknya kekurangan tersebut, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca.

Jakarta, 12 Maret 2016

Penyusun

A. Landasan Teori
1. Pengertian Hak
Prof. Dr. Notonegoro mengartikan hak sebagai kuasa untuk menerima atau melakukan
suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat
oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian tentang
sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar
atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
Secara umum, kita dapat mendefinisikan hak sebagai suatu kewenangan yang
seseorang dapat dari aturan-aturan yang dalam penggunaannya juga diatur oleh kaidah-kaidah
aturan tersebut.


2. Definisi Warga Negara
Definisi warga negara di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penduduk
sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang
mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu.
Sementara itu Cambridge Dictionaries, mendefinisikan warga negara (citizen)
sebagai:
“A person who is a member of a particular country and who has rights because of
being born there or because of being given rights....”
“Seorang individu yang menjadi anggota di suatu negara tertentu dan memiliki hak
karena dilahirkan di negara tersebut ataupun karena pemberian hak….”
Dari sini dapat kita lihat bahwa warga negara adalah orang yang secara legal menjadi
anggota suatu negara. Yang dalam konteks negara Indonesia, berarti diakui oleh UndangUndang.

Dari segi dasar hukumnya sendiri, hakikat warga negara Indonesia sudah tertuang di
dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Yang mana
menurut UU ini, orang-orang yang disebut sebgai Warga Negara Indonesia (WNI) adalah:
1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI.
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI.
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga

negara asing (WNA), atau sebaliknya.
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak
memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut.
5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia
dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI.
6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI.
7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang
ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 tahun atau belum kawin.
8. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya..
9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama
ayah dan ibunya tidak diketahui.
10. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
11. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI,
yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
12. Anak


dari

seorang

ayah

atau

ibu

yang

telah

dikabulkan

permohonan

kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum

mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1. Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing.

2. Anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak
oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
3. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
4. Anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam
situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia.
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara
sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia.

3. Hak Warga Negara Menurut UUD 1945

Seperti yang telah kita ketahui dan akui bersama, UUD 1945 merupakan konstitusi
bangsa Indonesia. Yang berarti bahwa UUD 1945 memuat berbagai macam pondasi
kenegaraan kita di dalamnya. Begitu pun mengenai permasalahan kewarganegaraan, UUD
1945 dengan jelas mengatur dan menjabarkan apa-apa saja yang diberhaki oleh seluruh warga
negara Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
a. Pasal 27 Ayat 1
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
b. Pasal 27 ayat 2
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak.
c. Pasal 27 ayat 3 UUD 1945 (hasil amandemen)
Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan Negara.

d. Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Undang-undang Nomor Dasar Tahun 1945 Pasal 28 (A-J) tentang Hak Asasi Manusia

yang terdiri dari:
a. Pasal 28 A
Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya
b. Pasal 28 B
(1) Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dengan
perkawinan yang sah.
(2) Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Pasal 28 C
(1) Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar
nya, Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya.
(2) Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif.
d. Pasal 28 D
(1) Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil dan perlakuan yang sama di depan hukum
(2) Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Hak atas status kewarganegaraan.
e. Pasal 28 E
(1) Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut
agamanya , memilih pekerjaannya, kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk
kembali.
(2) Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap sesuai hati nuraninya.

(3) Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.
f. Pasal 28 F
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
g. Pasal 28 G
(1) Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda, Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi manusia.
(2) Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia.

h. Pasal 28 H
(1) Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai
persamaan dan keadilan.
(3) Hak atas jaminan sosial.
(4) Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang
oleh siapapun.
i. Pasal 28 I
(1) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
(retroaktif).
(2) Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut.
(3) Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
j. Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang

dengan

maksud

semata-mata

untuk

menjamin

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan

untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum.
Pasal 29 Ayat 2 Tentang : “Setiap warga negara memiliki hak untuk memeluk agama
masing-masing tanpa adanya paksaan dan beribadah menurut kepercayaannya masingmasing.”
a. Pasal 30
1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara.
2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut
dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan Hukum.
5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, hubungandan kewenangan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di
dalammenjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara
dalam usaha pertahanan dankeamanan diatur dengan undang-undang.
b. Pasal 31
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
c. Pasal 32
1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai Budayanya.
2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
d. Pasal 33
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi

dengan

prinsip

kebersamaan,

efisiensi

berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
e. Pasal 34
1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

B. ANALISIS KASUS
1. Kasus I
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Pengrusakan mobil milik eks
Gafatar oleh massa berujung pada pembakaran mobil tersebut di halaman Kantor
Bupati Mempawah, Senin (18/1/2016) malam.
Massa yang sudah kalap, tampak tidak puas hanya melakukan pengrusakan. Mereka
membakar mobil Toyota Avanza itu karena kecewa pendatang eks Gafatar, menolak
meninggalkan Mempawah sesuai harapan massa.
Massa sempat meminta perwakilan Gafatar dihadirkan di hadapan mereka. Namun
pihak keamanan tak kunjung menghadirkannya.
Bupati Mempawah, Ria Norsan kemudian meminta massa untuk tidak melakukan
apapun hingga keputusan besok.
Massa yang tidak puas, tak mengindahkan untuk menunggu dan ajakan bupati untuk
pulang. Massa semakin ramai dan mengarahkan amarah mereka melanjutkan
pengrusakan mobil dengan membakarnya.

Insiden ini merupakan salah satu bentuk aksi perwujudan dari tren negatif yang
sedang berkembang di masyarakat plural modern ini, yaitu islamophobia. Phobia ini mulai
marak dan menular luas sejak aksi terorisme di kota Paris pada 2015 lalu. Di mana pada
peristiwa itu terjadi pembantaian massal oleh militan Islam. Yang setelahnya diakui oleh
jaringan terorisme internasional yaitu ISIS sebagai ulah mereka.
Di media banyak sekali kesaksian dari para korban selamat dari insiden tersebut yang
dipublikasikan. Dan di setiap kesaksian tersebut diceritakan bagaimana biadabnya militanmilitan Islam tersebut. Mereka menembak secara membabi-buta tanpa pilih-pilih korban lagi,
meledakkan bom di titik-titik vital kota paris yang selalu ramai, dan lain sebagainya. Sampai
sini sebenarnya tindakan mereka tak lebih dari aksi teror yang bertujuan untuk menunjukkan
eksistensi kelompok mereka, terlepas dari motif masing-masing pribadi yang melakukan aksi
tersebut. Lantas jika begitu, kenapa dampak yang ditimbulkan setelahnya bisa sangat
melekatkan aksi mereka dengan nama Islam? Hal ini dikarenakan sewaktu mereka
melakukan

aksi tersebut, mereka ikut menampilkan

atribut keagamaan mereka.

Mengacungkan senapan sambil menembak asal dan meneriakkan kalimat-kalimat seperti

“Allahuakbar!” dan sejenisnya tentulah menimbulkan kesan psikologis tersendiri bagi yang
menyaksikannya. Yang mana seperti kita ketahui kalimat-kalimat tersebut adalah atribut khas
umat Islam di seluruh dunia. Sehingga penisbatan negatif dari aksi mereka mau tak mau ikut
melekat bagi umat Islam secara keseluruhan.
Di samping hal-hal tersebut, aksi terror yang mengatasnamakan Islam bukanlah kali
pertama terjadi. Jauh sebelum aksi di Paris tersebut, sudah ada stigma seperti itu yang terlahir
lewat peristiwa pemboman gedung kembar WTC di tahun 2001. Lewat insiden inilah isu
terorisme menjadi isu yang sangat sensitif dan benar-benar ketat diperhatikan oleh dunia.
Lewat insiden ini jugalah negara-negara kapitalis mampu memperluas pengaruh mereka
secara internasional dengan merilis kebijakan-kebijakannya. Demi mematikan benih-benih
terorisme dan segala keradikalannya, isu terrorisme harus terus diangkat ke permukaan.
Supaya publik tidak lupa dan lengah. Dan yang terutama supaya publik tetap memegang
pandangan yang seragam, bahwa segala bentuk radikalisme adalah berbahaya.
Di Indonesia yang notabene adalah negara demokrasi, pembentukan organisasiorganisasi kemasyarakatan yang terus menjamur tentulah tak terhindarkan. Atas nama
menegakkan aspirasi dan usaha untuk mewujudkan hidup yang lebih baik, terlahirlah
organisasi-organisasi yang beragam macamnya. Salah satunya adalah Gafatar (Gerakan Fajar
Nusantara).
Terlepas dari segala isu negatif yang berkembang di masyarakat, Gafatar sejatinya
tetaplah sebuah ormas. Ormas besar yang legal secara hukum dan dilindungi undang-undang
dalam pengaturannya. Di dalamnya sendiri, yang menjadi anggota juga adalah warga negara
Indonesia yang masing-masingnya memiliki hak dan kewajibannya sebagai warga negara
sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Sehingga bagaimanapun, mereka adalah manusiamanusia yang dinaungi oleh undang-undang dan tak bisa diperlakukan seenaknya.
Dengan berbagai isu negatif yang terus menyeruak ke publik, para anggota Gafatar
mulai keluar satu per satu. Namun tentulah isu-isu negatif tersebut takkan menguap begitu
saja hanya karena anggota-anggotanya mengundurkan diri. Di tambah dengan pengalaman
traumatik masyarakat atas aksi terrorisme yang sedang marak terjadi maka timbulah aksi-aksi
penolakan dari masyarakat. Seperti insiden yang terjadi di Menpawah tersebut.
Awalnya masyarakat Menpawah menuntut para anggota eks Gafatar untuk
meninggalkan tanah Menpawah. Namun karena para anggota eks Gafatar itu sendiri merasa

masih memiliki hak untuk tinggal maka mereka menolaknya. Yang mana hal itu menyulut
kemarahan dan rasa tidak puas dari masyarakat Menpawah yang berujung aksi pengrusakan
dan pembakaran tersebut.
Di sini sejatinya pemerintah harus menjalankan perannya sebagai pelaksana undangundang. Yaitu melindungi hak warga eks Gafatar tersebut. Karena bagaimanapun juga warga
eks Gafatar juga adalah bagian dari warga negara Indonesia, yang mana di konstitusi negara
ini telah ditetapkan harus lindungi. Maka jika hak mereka sebagai warga negara terlanggar,
itu adalah pelanggaran konstitusi.
Di sisi lain, warga Menpawah sendiri yang mengaku sebagai warga negara Indonesia
yang tentunya juga mengakui konstitusi negara ini, haruslah sadar bahwa hal yang mereka
lakukan merupakan perbuatan intimidasi yang melanggar hak mereka yang telah ditentukan
konstitusi. Sehingga kejadian ini merupakan pelanggaran konstitusi besar-besaran meski
masih belum mengancam integrasi nasional.
Ini adalah buah dari islamophobia. Buah dari aksi terror yang setelah terjadi bukannya
dilupakan dan dievaluasi penanggulangannya justru di pelihara ketakutannya secara
permanen. Sehingga kita diubah menjadi bentuk masyarakat yang alergi berlebihan dengan
segala hal yang mengindikasikan radikalisme, apalagi jika dalam konteks Islam.
Lagi-lagi pemerintah adalah tokoh utama yang harus mengurusi hal ini. Mereka harus
menjamin hak dari warga negaranya, siapapun itu sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Yang dalam konteks ini adalah warga eks Gafatar. Pembentukan shelter-shelter yang
betujuan untuk penyuluhan demi meredam ancaman radikalisme harus secara terus-menerus
dilakukan. Selain itu, pemerintah harus aktif dalam memantau setiap organisasi,
perkumpulan, ataupun lembaga pendidikan yang berpotensi disisipi radikalisme.

2. Kasus II
BBC INDONESIA--Di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, asap tampak mengepul sejauh mata
memandang.
Akan tetapi, tiada kobaran api yang muncul. Kepulan asap itu justru berasal dari selasela tanah lunak berpori seluas ratusan hektare yang disebut lahan gambut.

Untuk memadamkan asap itu, belasan petugas Manggala Agni dari Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup diturunkan.
Mereka bahu-membahu menyemprotkan air dari kanal-kanal di sekitar lahan dengan
menggunakan mesin pompa.
Upaya mereka menemui kendala besar. Walau air yang disemprotkan telah merendam
tanah sehingga tanah seperti bubur, asap masih mengepul.
Muhammad, salah seorang petugas, mengaku dia dan rekan-rekannya memerlukan
empat jam untuk memadamkan api di lahan seluas 10 meter per segi.
“Ini terjadi karena kebakaran di lahan gambut terjadi dua hingga tiga meter di bawah
tanah. Apalagi, lahan gambut mengandung gas metan sehingga sulit dipadamkan,”
kata Tri Prayogi, kepala daerah operasi 3 Manggala Agni, Sumatera Selatan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah hotspot di
Sumatera berkurang dibandingkan dengan seminggu terakhir.
Khusus di Sumatera, jumlah hotspot pada Senin (21/09) mencapai 399 titik atau turun
72 titik ketimbang pekan lalu.
Sebaran asap di Sumatera makin sempit, hanya di sebagian Sumsel, Jambi dan Riau.
Asap sudah tidak menyebar hingga Selat Malaka, Malaysia, dan Singapura.

Berbulan-bulan lamanya daerah-daerah di pula Sumatera dan sekitarnya dilanda kabut
asap yang disebabkan terbakarnya berhektar-hektar hutan di pulau tersebut. Berbulan-bulan
lamanya kabut asap meracuni sistem pernafasan mereka. Berbulan-bulan lamanya masalah
ini tak kunjung beres diatasi pemerintah.
Kebakaran hutan memang adalah suatu gejala ilmiah yang bisa saja terjadi secara
alami sewaktu-waktu. Namun apa yang terjadi di hutan Sumatera bukanlah kebakaran hutan
yang disebabkan faktor alam semata. Kebakaran ini banyak diantaranya adalah dampak dari
pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ataupun oknum-oknum tertentu.
Perusahaan-perusahaan ini sebenarnya memiliki izin usaha dan kelegalan yang jelas dari
pemerintah. Namun kebanyakan dari perusahaan-perusahaan ini melakukan kelalaian
sehingga sampai bisa menimbulkan kebakaran. Yang mana didukung dengan momen saat itu
yang adalah musim kemarau. Sehingga sedikit kelalaian bisa berakibat sangat fatal. Yang
harusnya hanya akan menimbulkan kebakaran kecil bisa sampai menyebar dan membentuk
titik hotspot yang sulit dipulihkan.

Di sisi lain, ada pula pihak-pihak yang justru dengan sengaja melakukan pembakaran.
Dengan alasan yang bermacam, namun kurang lebih mengacu kepada keuntungan materi bagi
pihaknya.
Terlepas dari sebabnya, bagaimana pun harus ada pihak yang bisa menjamin bahwa
apapun yang terjadi tidak ada hak dari masyarakat Sumatera (dalam konteks ini Sumatera
Selatan) yang dilanggar. Bahkan andai saja penyebab kebakaran ini adalah murni faktor alam,
tuntutannya tetap sama. Dan pihak yang kami maksud di sini adalah pemerintah.
Jika kita perhatikan lagi, hak yang dilanggar di sini bukan hanya hak warga Sumatera
sebagai warga negara saja, tetapi juga hak asasi mereka sebagai manusia. Sehingga ini bukan
hanya tragedi kemasyarakatan, tetapi juga tragedi kemanusiaan.
Pemerintah tentunya telah melakukan berbagai macam usaha penanggulangan atas
tragedi ini. Misalnya bantuan-bantuan berupa masker udara, perawatan medis, dan lain
sebagainya. Dari segi tersebut kita haruslah memberikan aplause atas usaha pemerintah
tersebut. Yang cukup bermasalah adalah bagaimana pemerintah mematikan titik-titik hotspot
yang tersebar. Seperti keterangan di berita di atas, petugas pemadam mengaku sangat
kesulitan dalam memadamkan titik-titik hotspot yang ada. Hal ini menunjukkan sumber daya
dan metode yang dilakukan pemerintah masih belum efektif. Diperlukan usaha lebih lagi
untuk menemukan cara yang paling efektif untuk memadamkan titik-titik hotspot tersebut.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih tegas dalam memberikan sanksi bagi pihakpihak atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dengan insiden ini. Banyak dari perusahaanperusahaan tersebut hanya diberi peringatan saja. Dan sedikit sekali yang diberikan sanksi
berupa pembekuan atau bahkan pencabutan izin usaha.
Padahal peristiwa kebakaran hutan selalu terjadi setiap tahun, dan sebabnya pun
takkan jauh-jauh dari kelalaian perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga kalau pemerintah
tidak kunjung menunjukkan sifat tegas atas permasalahan ini, maka peristiwa ini akan terusterusan terjadi setiap tahunnya.

3. Kesimpulan
Sebagai seorang manusia, kita semua memiliki hak masing-masing. Mulai dari
yang paling mendasar yaitu hak-hak asasi kita sebagai manusia sampai hak kita
sebagai warga negara Indonesia. Kesemua hak itu telah diatur dan dijaga dengan
peraturan-peraturan yang diberlakukan oleh pihak terkait.
Saat kita membahas hak yang dimiliki oleh warga negara maka hal itu tak
lepas dari realita bangsa ini di mana hak warga negara seringkali terabaikan oleh
pemerintah. Kasus-kasus seperti penculikan manusia demi pembungkaman publik
atas pemerintah, pembungkaman pers, penggusuran paksa oleh aparat, dan lain
sebagainya merupakan peristiwa yang sama-sama kita sepakati sebagai suatu bentuk
pelanggaran hak warga negara yang dilakukan oleh pemerintah.
Sejak masa reformasi tahun 1998, Indonesia sejatinya telah memasuki babak
baru dalam kegiatan berbangsa dan bernegaranya. Melalui tahap inilah bangsa
Indonesia baru mengerti dan paham betul mengenai betapa pentingnya kebebasan,
tranparansi, serta persamaan hak. Di awal masa reformasi, Indonesia yang masih
terseok-seok berusaha membenahi kekacauan di pelbagai sudut. Perbaikan rupiah,
stabilitas ekonomi, pembatasan intervensi asing, dan lain sebagainya dalah beberapa
bentuk dari usaha tersebut. Di sisi lain, pemuka bangsa ini saat itu juga berusaha
mewujudkan kenegaraan dan perpolitikan yang lebih baik. Yaitu dengan penerapan
demokrasi secara habis-habisan. Bangsa Indonesia yang meski sebenarnya sudah lama
mengenal konsep demokrasi pun secara kolektif ikut mengawasi dan secara aktif
membenahi bangsa ini. Demokrasi yang sebelumnya hanya konsep kurang praktek
akhirnya benar-benar ditegakkan. Sehingga sedikit banyaknya, bangsa Indonesia saat
itu bisa dikatakan sudah ‘melek’ demokrasi. Kenyataan ini dukung dengan kebijakankebijakan baru pemerintah. Seperti sikap pemerintah yang mengizinkan rakyat untuk
menyalurkan aspirasi sebebas-bebasnya sehingga terbentuk banyak partai-partai
politik baru. Dan beberapa undang-undang lainnya yang menyangkut urusan politik,
pelaksaan pemilu, dan lain sebagainya.
Bangsa Indonesia yang sudah peka dengan demokrasi ini, lama kelamaan
menjadi lebih reaktif terhadap pemerintahnya. Hal ini tercermin dari munculnya
kalangan yang menganggap bahwa pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden
penganti Soeharto adalah tidak konstitusional. Ditambah dengan isu-isu lainnya
seperti keputusan kontroversial beliau mengenai referendum atas status Timor Leste

dan lain-lain semakin memojokkan posisinya di mata rakyat. Hingga akhirnya beliau
harus turun jabatan.
Peristiwa di atas merupakan salah satu bentuk perjuangan rakyat dalam
menegakkan haknya sebagai warga negara yang ingin diperlakukan adil dan pantas
oleh negaranya. Rakyat sudah muak dengan penekanan hak mereka yang marak
terjadi pada masa Orde Baru. Bahkan, pada masa Orde Baru bukan hak mereka
sebagai warga negara saja yang diinjak, hak asasi mereka sebagai manusia pun sering
dirampas.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya kesadaran bersama akan pentingnya hal
ini ikut berkembang. Kebijakan perundang-undangan baru yang mengatur hal ini kian
bermunculan. Semuanya demi mewujudkan pernyataan bangsa Indonesia yang
tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Warga negara sendiri dapat diartikan sebagai orang yang berada di suatu
wilayah negara yang keberadaannya diatur dan diakui oleh undang-undang yang
berlaku. Undang-undang yang berlaku di sini adalah undang-undang negara
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam UUD 1945 BAB X tentang
Warga Negara pasal 26 ayat 1 dijelaskan mengenai pengertian warga negara, yang
berbunyi “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dan pasal 26 ayat 2 “Penduduk
adalah warga negara Indonesia atau orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia”.
Usaha-usaha ini terus berlanjut hingga sekarang, seiring proses tentunya masih
banyak yang harus dibenahi. Semakin lama makin banyak isu baru yang muncul. Di
sisi lain, pemerintah dituntut memberikan solusi atas kesemuanya itu. Maka demi
kelancarannya, kita sebagai warga negara yang sedang diperjuangkan haknya haruslah
aktif memberikan umpan balik kepada pemerintah, agar pemerintah bisa lebih peka
dan tahu setiap sudut kemasyarakatan bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA

http://dictionary.cambridge.org/
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak