T1 802007071 Full text
PENDAHULUAN
Tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari
seseorang yang kita cintai dan kita sayangi seperti, orang tua,
saudara kandung, dan pasangan hidup (Santrock, J.W., 2002).
Kematian merupakan simbol dari sebuah perpisahan yang
permanen dengan orang yang kita cintai. Kematian ini sendiri
membuat individu merasakan sakit baik secara sosial, emosional,
maupun psikologis dikarenakan kedekatan dengan orang yang
telah meninggal (Chan, C.L.W., & Chow, A.Y.M., 2006),
sehingga ketika kehilangan orang yang kita cintai kita mengalami
dukacita (Tatelbaum, J., 1980).
Kematian merupakan fakta biologis, tetapi kematian juga
memiliki aspek sosial, budaya, agama, hukum, psikologis,
perkembangan, medis, dan etika. Meskipun kematian dan
kehilangan merupakan pengalaman yang universal, namun
kematian memiliki konteks budaya. Sikap-sikap budaya dan
agama terhadap peristiwa kematian, mempengaruhi aspek
psikologis dan perkembangan dari kematian, misalnya bagaimana
orang-orang dari berbagai usia menghadapi kematian mereka
sendiri dan kematian orang-orang terdekat mereka. Kematian bisa
memiliki arti tersendiri bagi lansia Jepang beragama Buddha,
yang dipengaruhi dengan pengajaran untuk menerima yang tidak
terhindarkan, dan kematian juga bisa memiliki arti yang berbeda
bagi pemuda Jepang Amerika generasi ketiga yang dibesarkan
dengan keyakinan dalam mengarahkan takdirnya sendiri (Papalia,
D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D., 2005).
Salah satu ritual berkabung/pemakaman yang ada di
Indonesia adalah ritual berkabung suku Toraja yang disebut
Rambu Solo’ yaitu ritual yang berasal dari kepercayaan aluk to
dolo yang dulunya merupakan kepercayaan masyarakat Toraja.
Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai hubungan
hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, artinya apabila
seseorang yang baru mati dan belum sempat diupacarakan
pemakamannya, orang yang mati tersebut hanya dianggap
sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan
sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam
keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam
keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian
pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang
yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur.
Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur
bagaikan manusia yang belum mati dan letak arah kepalanya ke
sebelah barat dan arah kakinya membujur ke sebelah timur.
Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup
karena dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan
minuman yang mana makanan dan minuman tersebut diletakkan
di dalam piring dan cangkir yang telah dikhususkan bagi
tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’ akan dilaksanakan,
maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya, piring dan
cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang
sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat
dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh
keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling
bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan
penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung
menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas
rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu
saat Rambu Solo’ dilaksanakan. Di sini jelas bahwa hubungan
orang mati dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia
yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan
diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong
atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan korban
pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak
saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup
mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah
yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal.
Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah
korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa).
Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di
selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara
menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah
tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh
meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk,
kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya
tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat,
alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu adat Rambu
Solo’ adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga
jika ada seseorang yang meninggal tanpa upacara korban
persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya
kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang
ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah
satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual
Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Maka, berdasarkan fenomena yang ada, penelitian ini hendak
melihat gambaran mengenai dukacita pada orang Toraja yang
melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’ dan dari hasil
deskripsi tersebut kita dapat melihat perasaan, pikiran, dan
perilaku yang muncul saat melayani jenazah sebagai tomakula’
sampai Rambu Solo’ selesai dilaksanakan, proses dukacita orang
Toraja dan dampak yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap
dukacita orang Toraja.
Bagian selanjutnya dalam artikel ini memberikan tinjauan
pustaka mengenai dukacita, komponen dukacita, faktor-faktor
penyebab dukacita, proses dukacita dan ritual kematian Rambu
Solo’. Setelah itu dilanjutkan dengan paparan hasil penelitian
terhadap dua partisipan serta analisis mengenai dukacita yang
dirasakan dikaitkan dengan pelaksanaan Rambu Solo’. Bagian
terakhir adalah memberikan kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini dan saran untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
DUKACITA (GRIEF)
Menurut Jeffreys, J. S., (2005), dukacita (grief) adalah
sebuah sistem perasaan, pikiran, dan perilaku yang dipicu ketika
seseorang diperhadapkan dengan peristiwa kehilangan, yaitu
kematian orang yang dikasihi. Reaksi internal (pikiran dan
perasaan) dan reaksi eksternal (perilaku) menjadi penekanan
dalam dukacita (grief). Menurut Jeffreys, J.S., (2005) setidaknya
ada empat komponen dukacita pada kehidupan individu. Pertama,
komponen psikologis, yang terbagi menjadi dua yaitu aspekaspek emosional dukacita, seperti kesedihan, rasa marah, rasa
takut, rasa bersalah dan rasa malu, selanjutnya adalah aspek
kognitif,
yaitu
individu
yang
mengalami
dukacita
akan
menemukan bahwa proses berpikir mereka juga menjadi
terpengaruh akibat kematian orang yang dicintai, seperti sulit
berkonsentrasi
terhadap
tugas-tugas
yang
ada,
hilangnya
ketertarikan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan misalnya
bekerja atau bergabung dengan kelompok sosial. Kedua,
komponen fisik, yaitu terkait dengan faktor-fakor kesehatan,
bahwa dukacita yang terus berlanjut akan menyebabkan stres dan
akibatnya akan berpengaruh pada penurunan sistem imun yang
melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme atau infeksi.
Selain itu individu yang berduka cenderung mengeluh mengenai
berbagai gangguan fisik, seperti merasa pusing/kepala seperti
berputar-putar, tidak bisa tidur, makan terlalu banyak, hilang
selera makan, menjadi lebih gemuk atau kekurangan berat badan.
Ketiga, komponen sosial, yaitu hubungan dengan keluarga,
bahwa dukacita yang dirasakan oleh individu telah mengubah
pandangan mereka mengenai dunia mereka seperti peranan sosial,
hubungan dengan keluarga, dan identitas diri mereka. Beberapa
individu yang berduka takut atau segan untuk melakukan kontak
sosial. Namun, melalui peristiwa kehilangan tersebut individu
juga didorong untuk mencari dan menemukan tempat yang dapat
memberikan kepuasaan dan kegembiraan. Selain itu dalam
komponen sosial, cara masyarakat bersikap juga berdampak
terhadap dukacita individu. Beberapa masyarakat kemudian
mencari orang yang berduka dan menawarkan kepada mereka
bantuan berupa nasehat-nasehat dan memberi pengarahan bagi
mereka mengenai bagaimana cara memberi semangat bagi diri
sendiri setelah peristiwa kehilangan. Keempat, komponen
spiritual, pada komponen ini mereka yang berduka dan
merasakan penderitaan karena peristiwa kehilangan orang yang
dicintai akan berbelok kepada sistem kepercayaan mereka dalam
menghadapi peristiwa kematian seperti, melaksanakan ritualritual, dukungan dari para pendoa, penghiburan, dan nasehatnasehat rohani terkait dengan rasa kehilangan (Jeffreys, J.S.,
2005).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dukacita pada diri
individu. Menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) ada tiga
faktor yang menyebabkan individu berduka. Pertama, hubungan
individu dengan almarhum, yaitu hubungan yang sangat baik
dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses
dukacita yang sangat sulit. Kedua, yaitu kepribadian, usia, jenis
kelamin orang yang ditinggalkan. Perbedaan yang mencolok ialah
jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan. Secara umum
dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih
muda. Ketiga, proses kematian, yaitu cara dari seseorang yang
meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi pada orang
yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak kemampuan
orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi
kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan
lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan
tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam mengatasi dukacita.
PROSES DUKACITA
Berdasarkan teori dukacita yang diungkapkan oleh Bowlby
(dalam Jeffreys, J.S., 2005), ada empat fase atau proses yang
terjadi ketika individu berpisah dari sosok terdekat dalam
kehidupan mereka, seperti orangtua, kekasih, saudara, kerabat
maupun binatang peliaraan. Fase pertama, mati rasa (numbing),
individu menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak
realistis selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fase
kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu
individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang
yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment
behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres
seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai,
menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan
merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan
pribadinya. Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam
dan putus asa (disorganization and despair), yaitu fase di mana
harapan untuk bisa bertemu kembali dengan almarhum memudar
dan individu yang berkabung mengakui bahwa orang yang
dicintai tidak akan pernah kembali. Rasa putus asa, kelelahan
(fatigue), kehilangan motivasi, dan apatis sudah menjadi
kebiasaan umum individu yang berduka. Fase keempat, pulih
kembali (reorganization), yaitu individu membuat suatu definisni
baru mengenai dirinya, membuat pola-pola baru dalam hal
pikiran, perasaan, dan perbuatannya.
RITUAL RAMBU SOLO’ PADA ORANG TORAJA
Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih
dipegang kuat adalah kebudayaan mengenai ritual pemakaman
yang disebut dengan ritual Rambu Solo’. Ritual Rambu Solo’
berasal dari kepercayaan aluk to dolo yang dulunya merupakan
kepercayaan masyarakat Toraja.
Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai
hubungan hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, yaitu
apabila
seseorang
yang
baru
mati
dan
belum
sempat
dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap
sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan
sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam
keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam
keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian
pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang
yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur.
Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur
bagaikan manusia yang belum meninggal dan letak arah
kepalanya ke sebelah barat dan arah kakinya membujur ke
sebelah timur. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang
masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan
makanan dan minuman yang mana makanan dan minuman
tersebut diletakkan di dalam piring dan cangkir yang telah
dikhususkan bagi tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’
dilaksanakan, maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya,
piring dan cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah
daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir
tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap
harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga
terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman
untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung
menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas
rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu
untuk diupacarakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang yang
telah meninggal dan yang masih hidup sama dengan keadaan
manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’
akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan
gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan
kurban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan
sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih
hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,
1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah
yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal.
Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah
korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa).
Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di
selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara
menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah
tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh
meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk,
kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya
tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, J.A., 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat,
alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu Rambu Solo’
adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga jika
ada
seseorang
yang
meninggal
tanpa
upacara
korban
persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya
kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang
ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah
satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual
Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Menurut Sarungallo, T., (2010), ada beberapa aspek yang
terkandung dalam Rambu Solo’. Aspek pertama, massuru’
merupakan
aspek
membersihkan
pelanggaran-pelanggaran
yang
diri,
pernah
penyesalan,
dilakukan
agar
terhapus.
Kedua, penyembahan dalam pemujaan, yaitu individu yang
mengambil
bagian
dalam
upacara
Rambu
Solo’
diberi
penghormatan, cinta dan pujian dalam berbagai cara. Hal inilah
yang membuat penyambutan dan penempatan tamu harus
langsung oleh keluarga, tidak diwakilkan pada pihak ketiga.
Ketiga, kesejahteraan, yaitu Rambu Solo’ akan melapangkan
jalan bagi almarhum dalam perjalanan peralihannya dari dunia ini
ke dunia asalnya, supaya ia bersama leluhur yang sudah terlebih
dahulu di sana memperoleh kesejahteraan dengan segala
bawaannya yang dikorbankan pada ritual Rambu Solo’. Keempat,
kekeluargaan, yang mana dalam ritual Rambu Solo’ hubungan
kekeluargaan diperbaharui dan dipulihkan. Selain itu nyata bahwa
hubungan kekeluargaan tidak putus. Pada Rambu Solo’ ada reuni
keluarga supaya ikatan kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan
yang dimaksudkan di sini adalah kekeluargaan yang berdasarkan
keturunan (geneologis). Kelima, ambakan datu (persekutuan),
yang berarti kegotongroyongan. Ambakan datu adalah kesatuan
berpikir (musyawarah), kesatuan tindak, kesatuan berbakti,
kesatuan emosional, dan kesatuan kerja, sehingga Rambu Solo’
terbesar pun dapat terselenggara tanpa suatu bentukan organisasi.
Keenam, tanggung-jawab dan fungsi kosmis, yaitu saat Rambu
Solo’ berlangsung tak ada orang yang menjadi penonton, karena
mereka sudah tahu fungsinya masing-masing. Ketujuh, harga diri,
artinya keluarga berani mengorbarkan harta benda daripada
menghilangkan harga diri dan nilai persekutuan dalam keluarga.
Kedelapan,
perdamaian,
bagi
orang
Toraja
perdamaian
dimanifestasikan pada Rambu Solo’. Dalam Rambu Solo’
perdamaian dipulihkan kembali bagi seluruh keluarga dan bagi
seluruh masyarakat. Salah satu wujud perdamaian bagi orang
Toraja adalah “basse”, yaitu ikrar perjanjian perdamaian.
Kesembilan,
nilai
kepahlawanan,
misalnya
melaksanakan
ma’randing (tari perang), ma’simbuang (mendirikan menhir)
yang dilaksanakan bagi sang pahlawan dan membuatkan patung
dari kayu nangka sebagai potret dari almarhum (ma’tau-tau
nangka). Kesepuluh, nilai jasa, yaitu jasa seseorang dengan
pikiran, tenaga, dan kehadirannya pada Rambu Solo’ sangat
dihargai. Orang mengatakan hutang korban (kerbau, babi) dapat
dibayar tetapi perbuatan baik sukar dibayar. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasa tersbut, kerbau dan babi disembelih supaya rakyat
mendapat makanan. Hal ini berhubungan dengan fungsi
seseorang dalam masyarakat dan struktur masyarakat serta
pengaturan fungsi seseorang bersifat tertutup (berdasarkan
keturunan). Kesebelas, harta kekayaan berfungsi sosial, yaitu
orang Toraja meyakini bahwa manusia pada dasarnya satu
keluarga, semuanya adalah keturunan Datu Lauku. Pemilikan
harta
benda
berdasarkan
pemilikian
keluarga,
pemilikan
tongkonan. Dengan bergotongroyong bukan berarti bekerja siasia untuk orang lain. Hasilnya akan dinikmati bersama. Orang
kaya adalah tumpuan harapan orang miskin. Orang kaya harus
menjamu tamu secara besar-besaran melalui upacara Rambu
Solo’ yang didalammya seluruh keluarga bersama-sama dapat
menjamu dan dijamu. Pada kesempatan tersebut orang kaya dapat
memberi makan kepada orang banyak (umpakande tau buda).
TARIAN DUKACITA MA’BADONG
Ma’badong adalah kesenian yang paling popular pada ritual
Rambu Solo’. Ma’badong ditampilkan pada tingkat aluk yang
lebih tinggi yaitu mulai pada tingkat dipatallungbongi (upacara
tiga malam) ke atas, kecuali di daerah Banga yang sudah dimulai
pada tingkat penyembelihan seekor kerbau (satu malam saja). Isi
badong terdiri dari pembukaan yaitu pernyataan dukacita,
menguraikan
sejarah
ringkas
(menurut
mitos)
keturunan
almarhum sejak dari langit, riwayat hidupnya sejak dalam
kandungan sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara
Rambu Solo’nya dilaksanakan, perjalanan ke puya (sorga) sampai
akhirnya menjelma menjadi ilah di langit dan memberkati anak
cucunya, komoditasnya di dunia ini.
Jenis badong yang unik adalah badong pada waktu
pemakaman (badong to meaa). Badong to meaa lebih
mengungkapkan kegembiraan karena almarhum sedang menuju
ke perkampungan leluhurnya bersama-sama dengan para kekasih
pendahulunya dan yang pada akhirnya arwahnya akan menjelma
menjadi ilah di langit (Sarira, J.A., 1996). Selain itu melalui
tarian ini para keluarga dimaksudkan untuk menari sambil berdoa
agar arwah yang meninggal diterima di puya (sorga), atau alam
baka. (The Guide Magazine Toraja, 1).
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan,
maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif
sendiri
merupakan
penelitian
yang
datanya
dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, atau gambar dan tidak
menekankan
pada
angka
statistika,
sebagaimana
yang
diungkapkan oleh Bogdan & Taylor (dalam Moleong, L.J., 2010)
bahwa metode kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur
penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yaitu ungkapan atau
catatan mengenai orang-orang atau tingkah laku mereka yang
terobservasi.
Partisipan penelitian terdiri dari dua orang Toraja asli (RM
dan KV), kehilangan anggota keluarga akibat kematian selama
satu tahun dan hendak melaksanakan ritual Rambu Solo’. peneliti
juga menggunakan triangulasi data sebagai data pembanding
terhadap data yang diperoleh (Moleong, L.J., 2010). Triangulasi
data dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh
dari partisipan dengan hasil wawancara dari orang-orang terdekat
partisipan. Selanjutnya terhadap data wawancara yang telah
terkumpul dilakukan analisis data yang meliputi: reduksi data,
kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data, dan
kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini akan dipaparkan mengenai latar belakang dan
dukacita pada kedua partisipan yang melaksanakan ritual
pemakaman
Rambu
Solo’.
Kedua
partisipan
penelitian
merupakan turunan orang Toraja asli yang hidup di Toraja, sejak
lahir, tumbuh besar hingga menikah dan memiliki keluarga,
kecuali partisipan kedua yang setela dewasa meninggalkan Toraja
kemudian bekerja, menikah dan berkeluarga , dan menetap di
kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Partisipan pertama (RM) berusia 28 tahun. RM kehilangan
nenek yang dicintainya sejak lebih dari setahun. Selama kurun
waktu tersebut RM adalah satu-satunya orang yang tiap harinya
mengantarkan minuman bagi jenazah neneknya, dikarenakan
secara adat status sang nenek masih dikatakan tomakula’ (orang
yang sedang sakit). Semasa neneknya masih hidup RM juga turut
merawat sang nenek dibantu oleh salah satu anak dari sang nenek
yang juga merupakan ibu mertua RM. Selama neneknya masih
hidup, RM mengaku memiliki hubungan yang dekat dengan
mendiang neneknya. Saat sang nenek meninggal RM merasakan
ada yang hilang dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena
sang nenek selalu menolong RM menjaga kedua anaknya yang
masih kecil, sehingga RM dapat dengan leluasa memetik sayur
untuk diberikan kepada ternak babinya. Kepergian neneknya
membuat RM merasa kehilangan secara fungsional, karena
menurutnya tidak ada lagi yang akan menjaga anak-anaknya saat
ia hendak bekerja memetik sayur bagi ternak babinya. Setelah
lebih dari setahun merawat jenazah neneknya layaknya orang
yang masih sakit, maka tiba saatnya bagi RM melaksanakan
Rambu Solo’ bagi almarhum nenek. Selama Rambu Solo’
berlangsung RM menyambut kedatangan para tamunya dan para
tamu membawakan sejumlah hewan bagi keluarga RM. Jumlah
keseluruhan hewan yang diperoleh RM bersama sang suami
adalah 30 ekor hewan, yaitu 3 ekor kerbau dan sisanya 27 ekor
babi.
Partisipan kedua (KV) berusia 66 tahun dan merupakan anak
pertama dari almarhum nenek RM. Di hari pertama kematian
ibunya, KV tidak berada di Toraja. Informasi mengenai kematian
orang yang ia cintai, KV peroleh dari adiknya yang berada di
Toraja. Selama puluhan tahun KV merantau di luar kabupaten
Toraja dan menetap di Pinrang bersama anak dan isteriya. Selama
puluhan tahun berada di perantauan, KV jarang kembali ke
kampung halamannya di Toraja dan selama waktu itu juga KV
jarang untuk menjenguk ibunya di Toraja. Jika ia tidak sempat
mengunjungi ibunya, maka hubungan di antara mereka hanya
sebatas komunikasi lewat surat atau menanyakan kabar ibunya
lewat orang-orang terdekatnya. Hal ini terpaksa ia lakukan oleh
karena KV kesibukkan pekerjaannya di Pinrang.
Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian dukacita
pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu
Solo’.
Kesedihan dan Rasa Marah Di Awal Peristiwa Kematian
Kedua partisipan mengalami dukacita oleh karena kehilangan
orang yang mereka kasihi. Kesedihan adalah salah satu perasaan
emosional dukacita yang dirasakan oleh kedua partisipan.
Kesedihan tersebut mereka ekspresikan dengan menangisi
kepergian orang yang dikasihi. Namun, meskipun keduanya
sama-sama menangisi kepergian orang yang dikasihi ternyata
partisipan kedua (KV) tidak menangis seperti perempuan pada
umumnya.
Partisipan
kedua
menyebutnya
dengan
istilah
“menangis dalam hati”. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Jeffreys, J.S., (2005) bahwa tidak semua individu
akan menyatakan kesedihan dengan cara yang sama. Ada orang
yang bisa merasakan kesedihan ketika kehilangan orang yang
dicintai, namun ada juga individu yang menahan rasa dukanya
karena adanya tekanan dari pihak luar atau karena individu
tersebut tidak merasa berhak untuk mengungkapkan rasa
dukanya. Selain itu jenis kelamin orang yang ditinggalkan
menentukan reaksi yang ditimbulkan. Fivush dan Buckner (dalam
Cahyasari, I., 2008) menyebutkan bahwa pria cenderung lebih
menyembunyikan perasaannya dibandingkan dengan wanita yang
lebih sering mengungkapkan perasaannya.
Tidak
hanya
mengalami
kesedihan
karena
peristiwa
kehilangan, partisipan pertama (RM) ternyata mengalami
perasaan emosional dukacita yang tidak dialami oleh partisipan
kedua. Partisipan pertama menunjukkan kemarahannya secara
langsung kepada jenazah neneknya. Seperti yang diungkapkan
oleh Jeffreys, J.S., (2005) marah adalah reaksi yang terjadi secara
alami ketika individu kehilangan orang yang dicintainya. Rasa
marah ini dapat ditujukan secara langsung kepada orang yang
meninggal, situasi, atau kepada Tuhan. Partisipan pertama
menunjukkan rasa marahnya (anger) langsung kepada almarhum
neneknya melalui ungkapkan “mengapa nenek tinggalkan saya?”.
Kemarahan yang terjadi menggambarkan suasana hati partisipan
pertama yang tidak rela kehilangan neneknya.
Rasa tidak rela kehilangan neneknya dikarenakan kedekatan
emosional yang terjalin di antara keduanya, yang disebabkan
selama empat tahun ia beserta suami dan kedua anaknya hidup
bersama dengan neneknya dan ia adalah orang yang merawat
almarhum selama sakit sampai meninggal. Kedekatan partisipan
pertama dan neneknya semakin erat juga dikarenakan sang nenek
membantunya menjaga kedua anaknya yang masih balita,
sehingga ketika sang nenek telah tiada hal ini juga membuat
partisipan
fungsional.
pertama
mengalami
kehilangan
nenek
secara
Oleh karena kedekatan yang terjalin sangat baik di antara
partisipan pertama dengan almarhum neneknya, membuatnya
sulit atau tidak rela kehilangan neneknya. Proses yang terjadi
pada partisipan pertama menunjukkan bahwa ada kesesuaian teori
yang diungkapkan oleh Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008), bahwa
jika kedekatan suatu hubungan yang terjalin dengan baik akan
memungkinkan bagi seseorang yang ditinggalkan sulit untuk
melupakan dan melepaskan ikatan tersebut. Berbeda dengan
partisipan
pertama,
partisipan
kedua
tidak
menunjukkan
kemarahannya baik terhadap almarhum ibunya, orang-orang
terdekatnya maupun Tuhan. Sejak awal peristiwa kehilangan
partisipan kedua mengatakan bahwa ia sudah dapat menerima
kenyataan ibunya telah tiada. Perbedaan reaksi emosianal di
antara keduanya berkaitan dengan perbedaan umur kedua
partisipan yang selisih 38 tahun dan menurut Aiken (dalam
Cahyasari, I., 2008) bahwa secara umum dukacita lebih
menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda.
Rindu Sengsara sebagai Perasaan Emosional Dukacita
karena Ritual Rambu Solo’
Terdapat persamaan perasaan emosional dukacita yang
dirasakan oleh kedua partisipan mulai dari awal kehilangan
sampai
dengan
Rambu
Solo’
diselenggarakan.
Perasaan
emosional ini kedua partisipan sebut dengan perasaan “rindu
sengsara”. Rindu sengsara merupakan gejolak emosional yang
dirasakan dalam waktu yang bersamaan oleh kedua partisipan.
Rasa rindu keduanya, ditujukan kepada jenazah orang yang
mereka kasihi dan perasaan sengsara sebagai penderitaan akibat
memikirkan
pelaksanaan
Rambu
Solo’
dan
bagaimana
melunaskan hutang hewan yang diperoleh.
Proses Penantian Ritual Rambu Solo’
Upacara peristiwa kematian yang dialami oleh kedua
partisipan tidak dilakukan seperti ritual pemakaman masyarakat
pada umumnya. Kedua partisipan membuat ritual pemakaman
bagi orang yang dikasihinya dengan menggunakan ritual
berkabung adat orang Toraja, yang dikenal dengan nama Rambu
Solo’. Sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan keluarga kedua
partisipan wajib mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh
adat, yaitu bahwa sekalipun orang yang dikasihi telah dinyatakan
meninggal secara medis, namun sebelum Rambu Solo’ resmi
dilaksanakan, maka jenazah belum dapat dikatakan meninggal
secara adat. Jenazah masih dianggap sebagai orang sakit, masih
hidup, ditaruh di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga
yang masih hidup dan para keluarga inti wajib melayani jenazah
seperti saat jenazah masih hidup, yaitu dengan membawa
makanan, minuman ataupun sirih dan rokok serta mengajak
jenazah berkomunikasi (Sarira, J.A., 1996).
Proses ritual sebelum Rambu Solo’ yang berlangsung dalam
kurun waktu lebih dari setahun ternyata memberi dampak
terhadap proses dukacita yang dialami oleh kedua partisipan.
Di awal peristiwa kehilangan kedua partisipan sempat
beranggapan bahwa orang yang mereka kasihi belum meninggal,
tetapi masih hidup. Kedua partisipan menyangkali kebenaran
yang sedang terjadi dan menjadi tidak realistis. Menurut Bowlby
(dalam Jeffreys, J.S., 2005) bahwa proses yang dialami oleh
keduanya saat peristiwa kehilangan terjadi merupakan proses
dukacita yang pertama, yaitu yang disebut dengan fase mati rasa
(numbing). Mati rasa (numbing), yaitu fase di mana individu
menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini juga
diungkapkan oleh Kubler Ross (dalam Santrock, J.W., 2002),
bahwa penyangkalan (denial) merupakan hal yang wajar yang
dialami oleh seseorang sebagai luapan emosi oleh karena
peristiwa kematian. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut selama
proses ritual dijalankan, terlebih khusus dialami oleh partisipan
pertama. Selama lebih dari satu tahun partisipan pertama merasa
bahwa neneknya masih hidup, apalagi di saat ia sering kali
memimpikan sang nenek. Pengalaman mimpi ini membuatnya
seperti hidup di dua dunia, di satu sisi menganggap neneknya
masih hidup, namun di sisi lain menyadari bahwa sebenarnya
neneknya telah tiada. Pemikiran ini juga semakin berakar kuat
dalam dirinya dikarenakan ia adalah satu-satunya orang yang
setiap harinya melayani jenazah, sehingga menurutnya dengan
kondisinya yang setiap hari melayani jenazah layaknya orang
masih hidup membuatnya semakin beranggapan bahwa neneknya
masih hidup.
Partisipan kedua yang juga menjalankan proses ritual selama
satu tahun justru membuatnya berpikir bahwa memang ibunya
telah tiada. Baginya ini hanya persoalan menurut apa yang
dikatakan oleh adat, sehhingga ia sendiri lebih mempercayai
tentang realita yang terjadi. Partisipan kedua juga mengakui
bahwa ia jarang melayani jenazah seperti yang dilakukan oleh
partisipan pertama, karena setiap kali ia melihat jenazah ibunya
akan membuatnya semakin rindu dan juga merasakan sakit serta
kasihan terhadap jenazah ibunya.
Kerinduan dan Attachment Behavior Sebelum Rambu Solo’
Rasa rindu yang dialami oleh kedua partisipan membawa
mereka pada proses berduka lainnya yaitu mencoba memulihkan
keadaan orang yang telah meninggal. Menurut Bowlby (dalam
Jeffreys, J.S., 2005) saat individu melalui proses ini, yaitu
mencoba memulihkan keadaan orang yang telah meninggal, hal
ini merupakan “attachment behavior”. Pada partisipan pertama,
attachment behavior ini ia nyatakan dengan tetap menjaga
komunikasi dengan almarhum neneknya. Komunikasi tersebut
terjadi setiap ia mengantarkan minuman bagi neneknya, ia selalu
menegur jenazah dengan menyuruh jenazah bangun untuk
kemudian meminum minuman yang ia bawakan. MY yang
merupakan tetangga dekat partisipan pertama juga mengatakan
bahwa jika ia dan partisipan pertama makan siang bersama, maka
tanpa ragu-ragu partisipan pertama akan memanggil jenazah dari
dapur untuk makan siang bersama-sama. Bentuk komunikasi
lainnya adalah partisipan pertama tetap senantiasa membawa
almarhum dalam doanya. Selain itu partisipan pertama sering
mengenang masa-masa ketika neneknya selama hidup begitu
menyayangi dan bersedia merawat anak-anaknya.
Partisipan kedua jarang menegur jenazah ibunya, ia
mengakui hanya beberapa kali menegur jenazah ibunya, salah
satunya di saat ia datang di awal peristiwa kematian ibunya.
Namun, ia tetap mendoakan ibunya agar diterima di sisi Tuhan.
Cara lain yang partisipan kedua lakukan adalah dengan bersabar
dan mengikhlaskan kepergian orang yang ia kasihi dan mencoba
menghadirkan sosok ibunya dalam pikirannya, yaitu dengan
mengenang
kembali
akan
pribadi
ibunya
yang
selalu
menyayanginya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kerinduan
(yearning) terhadap sosok orang yang disayangi dapat muncul
ketika sedang teringat mengenai kenangan yang dulunya pernah
terjadi (Turner & Helmes, dalam Cahyasari, I., 2008). Meskipun
kedua partisipan sama-sama merasakan kerinduan dan mencoba
menghadirkan kembali sosok orang yang telah tiada, namun
keduanya memiliki harapan yang berbeda. Partisipan pertama
mengharapkan agar neneknya masih hidup, sehingga ia dapat
kembali melakukan aktivitas seperti saat neneknya masih hidup,
terlebih khusus ia mengharapkan agar neneknya dapat kembali
menjaga anak-anaknya dan ini terkait akan rasa kehilangan
pribadi nenek secara fungsional.
Partisipan kedua tidak berharap agar ibunya masih hidup,
tetapi ia berharap agar kelak dapat bertemu dengan ibunya di
sorga. Perbedaan intensitas pertemuaan kedua partisipan terhadap
orang yang dikasihi mempengaruhi attachment behavior di antara
mereka, sehingga memberi pengaruh terhadap perbedaan harapan
kepada sosok pribadi yang telah tiada.
Kerinduan dan kesepian yang terus dirasakan kedua
partisipan selama lebih dari satu tahun, diakui oleh keduanya
dikarenakan proses ritual yang masih mengizinkan mereka
melayani jenazah. Tinggal bersama jenazah dan merawat jenazah
dengan status tomakula’ membuat kerinduan mereka semakin
besar.
Meskipun proses ritual sebelum Rambu Solo’ membuat rasa
rindu kedua partisipan semakin bertambah besar, rasa rindu
keduanya dapat teratasi dengan adanya kehadiran anggota
keluarga lain dan para tetangga yang menawarkan diri untuk
membantu mempersiapkan Rambu Solo’. Adanya keterlibatan
orang-orang terdekat mampu menolong partisipan pertama dan
partisipan kedua dari dukacita, sehingga pemulihan tidak hanya
upaya personal namun juga keterlibatan orang-orang terdekat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Harper (dalam Cahyasari, I.,
2008) bahwa dukungan (support social) yang datang dan
diberikan kepada seseorang yang sedang berduka akan membuat
individu tersebut merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi
kondisi yang sedang dialami, tanpa adanya dukungan akan
membuat individu yang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya
merasa sepi dan hampa di dunia ini.
Peran Tarian Dukacita Ma’badong
Rasa rindu juga coba diatasi oleh keduanya dengan cara
mengikuti tarian dukacita ma’badong’. Keduanya mengikuti
tarian ini sejak sebelum Rambu Solo’ sampai Rambu Solo’ resmi
dilaksanakan. Bagi partisipan pertama tarian dukacita yang ia
ikuti dapat menghibur dirinya dari rasa kehilangan yang ia
hadapi. Tarian dukacita ini lebih dirasakan manfaatnya oleh
partisipan pertama saat Rambu Solo’ berlangsung, karena tidak
hanya
menghiburnya
dari
rasa
kehilangan
namun
juga
menolongnya untuk sejenak tidak memikirkan hutang yang ia
peroleh selama Rambu Solo’. Pikiran mengenai hutang tersebut
menjadi beban pikiran bagi partisipan pertama sejak di awal
peristiwa kematian. Hutang ini dirasakan oleh partisipan pertama
sebagai hal yang mengganggu pikiran dan menambah rasa
dukacitanya. Di awal kematian partisipan kedua juga merasakan
hal yang sama dengan yang dirasakan oleh partisipan pertama.
Ada keterpaksaan dan penderitaan dalam diri partisipan kedua
untuk mempersiapkan Rambu Solo’. Oleh karena itu untuk
mengatasi
perasaan-perasaan
negatif
yang
timbul
karena
pemikiran mengenai hutang yang akan diperoleh, maka partisipan
kedua juga memilih terlibat secara aktif dalam tarian ma’badong,
karena tarian dukacita ini ia anggap sebagai hal yang dapat
menghibur dirinya setelah kehilangan orang yang ia kasihi,
membebaskannya
dari
rasa
susah
akibat
hutang
serta
keyakinannya bahwa tarian tersebut dapat menghibur jenazah
ibunya.
Dari hal ini dapat diketahui bahwa seni tari memberi dampak
yang positif terhadap dukacita yang dialami oleh kedua
partisipan.
Menurut
Sarira,
J.A.,
(1996)
kesenian
yang
ditampilkan pada Rambu Solo’ adalah ungkapan ratapan dan
penghormatan kepada almarhum. Kesenian ini tidak hanya
pengungkapan penderitaan di dunia sekarang, melainkan juga
mengungkapkan masa awal yang indah. Isi tarian ma’badong
terdiri dari pembukaan, yaitu pernyataan dukacita, menguraikan
sejarah ringkas keturunan almarhum, riwayat hidup sejak lahir
sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara Rambu Solo’nya
dilaksanakan dan perjalanannya ke sorga (puya). Selain itu dalam
tarian ini para penari juga menari sambil berdoa bagi arwah orang
yang mati agar diterima di negeri arwah/sorga (puya), atau di
alam baka (The Guide Magazine Toraja, 1).
Perubahan Status Jenazah menjadi Tomate
Saat Rambu Solo’ resmi berlangsung, maka saat itupula
jenazah resmi berubah status menjadi tomate (orang yang resmi
dikatakan meninggal oleh adat). Perubahan status jenazah ini
membuat kedua partisipan semakin menyadari bahwa orang yang
dikasihi benar-benar akan meninggalkan mereka. Harapan untuk
bertemu kembali seperti masih hidup semakin memudar dalam
diri kedua partisipan. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S.,
2005) ini merupakan proses dukacita yang disebut dengan fase
kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa. Pada fase
ini, individu yang mengalaminya dicirikan dengan harapan yang
semakin memudar, mengakui orang yang dicintai tidak akan
pernah kembali serta menjadi terbiasa dengan rasa putus asa,
kelelahan, kehilangan motivasi, serta apatis. Pada partisipan
pertama selama lebih dari satu tahun ia masih berharap agar
neneknya masih hidup, saat Rambu Solo’ harapan agar neneknya
masih hidup memudar. Berbeda dengan partisipan pertama,
partisipan kedua sejak awal kematian tidak lagi mengharapkan
agar dapat bertemu dengan ibunya seperti masih hidup. Dengan
berlangsungnya
Rambu
Solo’
partisipan
kedua
semakin
disadarkan bahwa memang ibu yang dicintainya tidak ada lagi di
dunia ini dan mulai menerima peristiwa kehilangan ini adalah
nyata adanya. Namun, kedua partisipan tetap memiliki harapan
dan keyakinan bahwa kelak mereka akan bertemu dengan orang
yang dikasihi di sorga.
Kedua partisipan juga masih merasakan perasaan kehilangan
terlebih khusus saat jenazah yang mereka kasihi resmi menjadi
tomate. Secara jujur keduanya mengakui bahwa masih adanya
keinginan mereka untuk memperlakukan jenazah layaknya
tomakula’, namun mereka sadar akan ketentuan adat yang
berlaku. Akhirnya, baik partisipan pertama maupun partisipan
kedua memasrahkan hal ini kepada kuasa yang lebih besar dari
mereka, yaitu kepada kuasa Tuhan. Menurut Jeffreys, J.S., (2005)
respons dukacita individu secara khas berhubungan dengan peran
spiritual (keagamaan). Banyak orang-orang yang menderita
karena peristiwa kehilangan akan berbelok kepada sistem
kepercayaan atau sistem iman mereka untuk menolong mereka
dalam menghadapi peristiwa kematian, seperti melaksanakan
ritual-ritual maupun dukungan dari para pendoa (prayer support).
Hal ini terlihat selama Rambu Solo’, yaitu keluarga kedua
partisipan tetap melibatkan peran serta iman percaya mereka
dengan melaksanakan ibadah malam dalam bentuk liturgi agama
Katholik dan di hari pemakaman pun dipimpin oleh seorang
Frater.
Selain itu perubahan status jenazah nenek dari tomakula’
menjadi tomate memunculkan konflik batin bagi partisipan
pertama yang disebabkan karena ia setiap hari melayani jenazah
neneknya. Di satu sisi ia masih ingin mengurus jenazah neneknya
layaknya orang masih hidup, namun di sisi lain ia harus
merelakan bahwa orang yang ia kasihi telah resmi dikatakan
sebagai orang yang telah meninggal baik secara medis maupun
adat, namun ia pribadi pada akhirnya lebih memilih neneknya
dengan status tomate agar ia tidak lagi menganggap bahwa nenek
yang ia kasihi masih hidup. Dari hal ini nampak bahwa partisipan
pertama belum sepenuhnya menerima perubahan status yang
diberikan terhadap neneknya. Seperti yang juga dikatakan oleh
Turner & Helms (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa tidak mudah
bagi seseorang yang telah ditinggalkan untuk menyadari
seutuhnya dan menerima kematian orang yang dicintainya.
Kedua partisipan mengalami konflik perasaan lainnya, yaitu
berbaurnya rasa sepi, sedih dan bahagia selama Rambu Solo’
berlangsung. Kesepian dan kesedihan yang dirasakan oleh
keduanya merupakan manifestasi dari dukacita karena kehilangan
orang yang dicintai. Rasa sepi dan sedih tersebut semakin kuat
dirasakan keduanya oleh karena hari pemakaman yang semakin
dekat. Rasa bahagia yang dirasakan kedua partisipan oleh karena
melalui Rambu Solo’ mereka dapat berjumpa dengan keluarga
besarnya yang datang dari Toraja, khususnya di luar daerah
Toraja. Bagi kedua partisipan Rambu Solo’ merupakan salah satu
media yang berhasil mengumpulkan keluarga besar mereka,
sehingga menciptakan rasa kekeluargaan yang lebih erat di antara
mereka. Kekeluargaan itu sendiri juga merupakan salah satu
aspek penting di dalam Rambu Solo. Menurut Sarira, J.A., (1996)
dalam upacara Rambu Solo’ hubungan kekeluargaan diperbaharui
dan dipulihkan. Dalam ritual Rambu Solo’ nyata bahwa hubungan
kekeluargaan tidak putus, ada reuni keluarga supaya ikatan
kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan yang dimaksudkan di sini
adalah kekeluargaan yang berdasarkan keturunan (geneologis).
Peran dan Manfaat Melaksanakan Ritual Rambu Solo’
Selain relasi dengan keluarga yang membuat kedua
partisipan merasa bahagia, kehadiran para tetangga juga turut
membantu dimulai sebelum Rambu Solo’ sampai dengan saat
Rambu Solo’ berlangsung juga membawa rasa gembira bagi
keduanya. Fakta ini kembali membuktikan bahwa tidak hanya
aspek kekeluargaan yang dirasakan oleh keduanya, tetapi aspek
persekutuan (ambakan datu) turut memberi hal positif bagi
keduanya di tengah dukacita yang dialami. Ambakan datu yang
berarti kegotong-royongan, adalah suatu pranata sosial, suatu
kesatuan regional dalam hubungan dengan kepemimpinan
struktur Tongkonan yang merupakan lambang persekutuan dari
orang Toraja, karena dengan adanya Tongkonan orang Toraja
bisa mengetahui garis keturunan melalui Tongkonan. Ambakan
datu adalah kesatuan berpikir (musyawarah), kesatuan tindak,
kesatuan berbakti, kesatuan emosional, dan kesatuan kerja,
sehingga Rambu Solo’ terbesar pun dapat terselenggara tanpa
suatu bentukan organisasi (Sarira, J.A., 1996). Semua hal ini
dianggap kedua partisipan sebagai manfaat dari ritual Rambu
Solo’.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Doka, J.K.,
(2003) bahwa ritual memiliki peran, yaitu ritual menetapkan
sebuah masyarakat atau komunitas. Ini menawarkan sebuah
kesempatan
untuk
bangkit
secara
bersama
dan
mendemonstrasikan persatuan mereka. Peran lainnya bahwa
ritual memperlihatkan rasa solidaritas kepada para korban. Oleh
karena itu, mereka yang mengalami kematian sahabat atau
anggota keluarganya, pemakaman dan ritual upacara akan
memberikan keuntungan baik secara sosial, psikologis dan
spiritual (Rando, dalam Doka, J.K., 2003).
Selanjutnya Saroengallo, T., (2010) kembali menambahkan
bahwa menurut beberapa pengamat sosial-budaya Toraja; bahwa
salah satu ciri khas masyarakat Toraja adalah ikatan kekerabatan
yang kental atau rasa persaudaraan dan persahabatan yang kuat
dan erat. Kentalnya hubungan kekerabatan dan persahabatan, atau
hubungan persaudaraan yang dirasakan dekat dan akrab ini
ditopang oleh tiga sistem sosial-budaya yaitu: kesatuan asal-usul
(seketurunan), sistem bawaan kerbau/babi pada ritual Rambu
Solo’ dan sistem passarak. Dari ketiga sistem di atas, sistem
bawaan mempunyai jangkauan dan jaringan yang luas, karena di
samping menyangkut keluarga seketurunan, juga mencakup
pertemanan atau persahabatan seperti kenalan dekat, teman
sekerja, teman seorganisasi dan sebagainya.
Rambu Solo’, Hewan Kerbau dan Babi Sebagai Simbol Strata
Sosial
Selain itu ada hal lain yang membuat partisipan kedua secara
pribadi merasa bahagia, yaitu ia dapat mengorbankan hewan bagi
ibunya sebagai syarat yang ia dan keluarganya harus penuhi
untuk melaksanakan Rambu Solo’ bagi ibunya. Bagi partisipan
kedua pelaksanaan Rambu Solo’ layak diterima ibunya karena hal
ini ia anggap sebagai bentuk balas budi terhadap apa yang telah
almarhum ibunya berikan kepadanya, meskipun ia sadar akan
adanya konsekuensi yang diterima karena melaksanakan Rambu
Solo’, yaitu hutang. Menurut Saroengallo, T., (2010) tidak ada
sanksi adat yang akan diberikan jika keluarga yang berduka tidak
melaksanakan Rambu Solo’ bagi orang yang dikasihi. Akan
tetapi, jika keluarga berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’
apalagi jika menyandang status sebagai topuang atau tomakaka
dan
dihormati
oleh
kalangan
masyarakat,
maka
dapat
menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu tersebut.
Rasa Kelelahan Selama Rambu Solo’
Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) mengatakan bahwa saat
individu telah sampai pada proses berduka, yaitu kekalutan,
kesedihan yang mendalam dan putus asa, maka individu akan
terbiasa dengan rasa kelelahan (fatigue).
Kedua partisipan mengalami kelelahan fisik maupun psikis
dan puncak kelelahan yang keduanya rasakan adalah saat
penerimaan
tamu
yang
Kesibukkan
ini,
mengalami
perubahan
berlangsung
khususnya
jam
selama
membuat
tidur
tujuh
partisipan
yang
hari.
pertama
mengakibatkan
kelelahannya semakin besar. Meskipun kelelahan dalam melayani
para tamu juga dirasakan oleh partisipan kedua, namun kelelahan
yang dirasakan tidak lebih besar dari yang dirasakan oleh
partisipan pertama. Selama penerimaan tamu partisipan kedua
lebih banyak bersenda gurau dengan para tamu maupun sanak
keluarga di lantangnya. Ia jarang membawakan makanan dan
minuman bagi para tamunya, karena pekerjaan tersebut diambil
alih oleh para wanita dan para kaunan (hamba) yang datang ke
lantang miliknya. Partisipan pertama meskipun tugas di dapur
telah dikerjakan oleh kaum kaunan, namun hal tersebut tidak
membuatnya meninggalkan tugas yang selama ini melekat pada
diri perempuan, seperti membawa sirih, makanan dan minuman
bagi para tamu. Partisipan pertama tidak hanya bertugas di
lantangnya pribadi, namun ia dengan rela mau mengantarkan
makanan berupa nasi, lauk, minuman, bahkan rokok dan sirih
untuk seluruh tamu yang datang. Kesibukkan lainnya setiap pagi
ia tetap mengambil sayur bagi ternak babinya dan tetap menjaga
kedua anaknya yang masih balita, sedangkan partisipan kedua
hampir semua anaknya telah bekerja dan hanya tiga anaknya
yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan selama Rambu
Solo’ ketiga anaknya dijaga oleh isterinya, sehingga ia tidak
direpotkan
oleh
pekerjaan
mengasuh
anak
di
tengah
berlangsungnya ritual Rambu Solo’.
Dampak
Hutang
Hewan
terhadap
Keluarga
yang
ditinggalkan
Pikiran-pikiran
yang
menganggu dan
menjadi beban
dirasakan kedua partisipan sebelum Rambu Solo’, yaitu hutang
hewan, kembali mengusik pikiran keduanya khususnya di hari
penerimaan tamu. Saat penerimaan tamu adalah saat kedua
partisipan beserta keluarga besarnya mengetahui berapa jumlah
hutang hewan yang diperoleh. Dari data yang diperoleh diketahui
bahwa jumlah hutang partisipan pertama jauh lebih besar yaitu
berjumlah tiga puluh ekor sudah termasuk kerbau dan babi,
sedangkan partisipan kedua hanya memperoleh tujuh ekor.
Hewan-hewan tersebut semuanya dikorbankan oleh kedua
partisipan selama Rambu Solo’ berlangsung. Jumlah hutang yang
berbeda di antara keduanya tergantung seberapa banyak kerabat
yang datang membawakan hewan bagi kedua partisipan. Hutang
yang di satu sisi menjadi beban pikiran bagi kedua partisipan,
namun di sisi lain keduanya mengakui bahwa dengan adanya
hutang memotivasi mereka untuk bekerja dengan lebih giat dan
mencari pekerjaan tambahan agar semua hutang hewannya dapat
dilunaskan.
Perbedaan jumlah hutang di antara partisipan pertama dan
partisipan kedua memunculkan kekhawatiran yang berbeda pula.
Dapat disimpulkan bahwa partisipan pertama memiliki rasa
khawatir yang lebih besar dibandingkan partisipan kedua. Selain
karena jumlah hutang hewan yang partisipan pertama peroleh
jauh lebih besar daripada partisipan kedua, faktor lainnya adalah
karena partisipan pertama dan suaminya tidak mempunyai
pekerjaan yang menetap ditambah lagi anak-anak mereka yang
belum bekerja, sehingga tidak dapat membantu partisipan
pertama melunasi hutangnya. Oleh karena itu impian agar kelak
anak-anaknya sukses menjadi semakin lebih besar. Cara yang
partisipan pertama tempuh untuk melunasi hutang-hutangnya,
selain mengandalkan pendapatan suami adalah dengan rajin
memberi makan ternak babinya, sehingga babi-babi tersebut
dapat menjadi alat melunasi hutangnya. Hewan babi bagi orang
Toraja merupakan hewan peliharaan yang sangat penting. Selain
dagingnya yang enak dimakan, babi juga menjadi hewan penting
karena dapat digunakan sebagai persembahan dalam ritual
keagamaan. Selain itu babi dianggap sebagai aset dalam setiap
keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk kepentingan
tertentu, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anak dan sebagai
pelunasan hutang yang diperoleh saat melaksanakan Rambu Solo’
(The Guide Magazine Toraja, 1). Partisipan pertama juga
menganggap
hutang
hewan
tersebut
sangat
mengganggu
pikirannya dan membuatnya merasakan kekhawatiran yang besar
mengenai biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil di
tengah kesusahan memikirkan pelunasan hutang.
Bagi partisipan kedua, setelah mengetahui jumlah hutang
yang diperoleh ia kemudian berpendapat bahwa hutang hewan
tidak lagi dirasa sangat mengganggu pikirannya seperti saat
sebelum Rambu Solo’, namun cukup mengganggu. Hal ini
partisipan kedua katakan dengan alasan bahwa baginya ada anakanaknya yang telah bekerja yang dapat membantunya untuk
melunasi hutang-hutangnya. Di sini terlihat bahwa ketika semua
anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak) telah memiliki
pekerjaan, maka dapat meno
Tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari
seseorang yang kita cintai dan kita sayangi seperti, orang tua,
saudara kandung, dan pasangan hidup (Santrock, J.W., 2002).
Kematian merupakan simbol dari sebuah perpisahan yang
permanen dengan orang yang kita cintai. Kematian ini sendiri
membuat individu merasakan sakit baik secara sosial, emosional,
maupun psikologis dikarenakan kedekatan dengan orang yang
telah meninggal (Chan, C.L.W., & Chow, A.Y.M., 2006),
sehingga ketika kehilangan orang yang kita cintai kita mengalami
dukacita (Tatelbaum, J., 1980).
Kematian merupakan fakta biologis, tetapi kematian juga
memiliki aspek sosial, budaya, agama, hukum, psikologis,
perkembangan, medis, dan etika. Meskipun kematian dan
kehilangan merupakan pengalaman yang universal, namun
kematian memiliki konteks budaya. Sikap-sikap budaya dan
agama terhadap peristiwa kematian, mempengaruhi aspek
psikologis dan perkembangan dari kematian, misalnya bagaimana
orang-orang dari berbagai usia menghadapi kematian mereka
sendiri dan kematian orang-orang terdekat mereka. Kematian bisa
memiliki arti tersendiri bagi lansia Jepang beragama Buddha,
yang dipengaruhi dengan pengajaran untuk menerima yang tidak
terhindarkan, dan kematian juga bisa memiliki arti yang berbeda
bagi pemuda Jepang Amerika generasi ketiga yang dibesarkan
dengan keyakinan dalam mengarahkan takdirnya sendiri (Papalia,
D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D., 2005).
Salah satu ritual berkabung/pemakaman yang ada di
Indonesia adalah ritual berkabung suku Toraja yang disebut
Rambu Solo’ yaitu ritual yang berasal dari kepercayaan aluk to
dolo yang dulunya merupakan kepercayaan masyarakat Toraja.
Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai hubungan
hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, artinya apabila
seseorang yang baru mati dan belum sempat diupacarakan
pemakamannya, orang yang mati tersebut hanya dianggap
sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan
sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam
keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam
keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian
pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang
yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur.
Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur
bagaikan manusia yang belum mati dan letak arah kepalanya ke
sebelah barat dan arah kakinya membujur ke sebelah timur.
Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang masih hidup
karena dalam keadaan sehari-hari masih disajikan makanan dan
minuman yang mana makanan dan minuman tersebut diletakkan
di dalam piring dan cangkir yang telah dikhususkan bagi
tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’ akan dilaksanakan,
maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya, piring dan
cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah daun pisang
sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir tadi. Di saat
dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap harinya seluruh
keluarga dan handai taulan serta keluarga terdekat saling
bergantian membawakan makanan dan minuman untuk keperluan
penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung
menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas
rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu
saat Rambu Solo’ dilaksanakan. Di sini jelas bahwa hubungan
orang mati dan yang masih hidup sama dengan keadaan manusia
yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’ akan
diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan gong
atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan korban
pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan sejak
saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih hidup
mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah
yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal.
Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah
korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa).
Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di
selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara
menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah
tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh
meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk,
kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya
tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat,
alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu adat Rambu
Solo’ adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga
jika ada seseorang yang meninggal tanpa upacara korban
persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya
kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang
ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah
satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual
Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Maka, berdasarkan fenomena yang ada, penelitian ini hendak
melihat gambaran mengenai dukacita pada orang Toraja yang
melaksanakan ritual pemakaman Rambu Solo’ dan dari hasil
deskripsi tersebut kita dapat melihat perasaan, pikiran, dan
perilaku yang muncul saat melayani jenazah sebagai tomakula’
sampai Rambu Solo’ selesai dilaksanakan, proses dukacita orang
Toraja dan dampak yang ditimbulkan oleh Rambu Solo’ terhadap
dukacita orang Toraja.
Bagian selanjutnya dalam artikel ini memberikan tinjauan
pustaka mengenai dukacita, komponen dukacita, faktor-faktor
penyebab dukacita, proses dukacita dan ritual kematian Rambu
Solo’. Setelah itu dilanjutkan dengan paparan hasil penelitian
terhadap dua partisipan serta analisis mengenai dukacita yang
dirasakan dikaitkan dengan pelaksanaan Rambu Solo’. Bagian
terakhir adalah memberikan kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini dan saran untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
DUKACITA (GRIEF)
Menurut Jeffreys, J. S., (2005), dukacita (grief) adalah
sebuah sistem perasaan, pikiran, dan perilaku yang dipicu ketika
seseorang diperhadapkan dengan peristiwa kehilangan, yaitu
kematian orang yang dikasihi. Reaksi internal (pikiran dan
perasaan) dan reaksi eksternal (perilaku) menjadi penekanan
dalam dukacita (grief). Menurut Jeffreys, J.S., (2005) setidaknya
ada empat komponen dukacita pada kehidupan individu. Pertama,
komponen psikologis, yang terbagi menjadi dua yaitu aspekaspek emosional dukacita, seperti kesedihan, rasa marah, rasa
takut, rasa bersalah dan rasa malu, selanjutnya adalah aspek
kognitif,
yaitu
individu
yang
mengalami
dukacita
akan
menemukan bahwa proses berpikir mereka juga menjadi
terpengaruh akibat kematian orang yang dicintai, seperti sulit
berkonsentrasi
terhadap
tugas-tugas
yang
ada,
hilangnya
ketertarikan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan misalnya
bekerja atau bergabung dengan kelompok sosial. Kedua,
komponen fisik, yaitu terkait dengan faktor-fakor kesehatan,
bahwa dukacita yang terus berlanjut akan menyebabkan stres dan
akibatnya akan berpengaruh pada penurunan sistem imun yang
melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme atau infeksi.
Selain itu individu yang berduka cenderung mengeluh mengenai
berbagai gangguan fisik, seperti merasa pusing/kepala seperti
berputar-putar, tidak bisa tidur, makan terlalu banyak, hilang
selera makan, menjadi lebih gemuk atau kekurangan berat badan.
Ketiga, komponen sosial, yaitu hubungan dengan keluarga,
bahwa dukacita yang dirasakan oleh individu telah mengubah
pandangan mereka mengenai dunia mereka seperti peranan sosial,
hubungan dengan keluarga, dan identitas diri mereka. Beberapa
individu yang berduka takut atau segan untuk melakukan kontak
sosial. Namun, melalui peristiwa kehilangan tersebut individu
juga didorong untuk mencari dan menemukan tempat yang dapat
memberikan kepuasaan dan kegembiraan. Selain itu dalam
komponen sosial, cara masyarakat bersikap juga berdampak
terhadap dukacita individu. Beberapa masyarakat kemudian
mencari orang yang berduka dan menawarkan kepada mereka
bantuan berupa nasehat-nasehat dan memberi pengarahan bagi
mereka mengenai bagaimana cara memberi semangat bagi diri
sendiri setelah peristiwa kehilangan. Keempat, komponen
spiritual, pada komponen ini mereka yang berduka dan
merasakan penderitaan karena peristiwa kehilangan orang yang
dicintai akan berbelok kepada sistem kepercayaan mereka dalam
menghadapi peristiwa kematian seperti, melaksanakan ritualritual, dukungan dari para pendoa, penghiburan, dan nasehatnasehat rohani terkait dengan rasa kehilangan (Jeffreys, J.S.,
2005).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dukacita pada diri
individu. Menurut Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008) ada tiga
faktor yang menyebabkan individu berduka. Pertama, hubungan
individu dengan almarhum, yaitu hubungan yang sangat baik
dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses
dukacita yang sangat sulit. Kedua, yaitu kepribadian, usia, jenis
kelamin orang yang ditinggalkan. Perbedaan yang mencolok ialah
jenis kelamin dan usia orang yang ditinggalkan. Secara umum
dukacita lebih menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih
muda. Ketiga, proses kematian, yaitu cara dari seseorang yang
meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi pada orang
yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak kemampuan
orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi
kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan
lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan
tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam mengatasi dukacita.
PROSES DUKACITA
Berdasarkan teori dukacita yang diungkapkan oleh Bowlby
(dalam Jeffreys, J.S., 2005), ada empat fase atau proses yang
terjadi ketika individu berpisah dari sosok terdekat dalam
kehidupan mereka, seperti orangtua, kekasih, saudara, kerabat
maupun binatang peliaraan. Fase pertama, mati rasa (numbing),
individu menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak
realistis selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fase
kedua, kerinduan dan mencari (yearning and searching), yaitu
individu yang berduka mencoba memulihkan keadaan seseorang
yang menjadi objek kehilangan. Ini merupakan “attachment
behavior”. Orang yang berkabung mengalami hasutan dan distres
seperti, memanggil nama dari orang (almarhum) yang dicintai,
menggunakan pakaian yang merupakan milik almarhum, dan
merenungkan tentang apa yang telah hilang dari kehidupan
pribadinya. Fase ketiga, kekalutan, kesedihan yang mendalam
dan putus asa (disorganization and despair), yaitu fase di mana
harapan untuk bisa bertemu kembali dengan almarhum memudar
dan individu yang berkabung mengakui bahwa orang yang
dicintai tidak akan pernah kembali. Rasa putus asa, kelelahan
(fatigue), kehilangan motivasi, dan apatis sudah menjadi
kebiasaan umum individu yang berduka. Fase keempat, pulih
kembali (reorganization), yaitu individu membuat suatu definisni
baru mengenai dirinya, membuat pola-pola baru dalam hal
pikiran, perasaan, dan perbuatannya.
RITUAL RAMBU SOLO’ PADA ORANG TORAJA
Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih
dipegang kuat adalah kebudayaan mengenai ritual pemakaman
yang disebut dengan ritual Rambu Solo’. Ritual Rambu Solo’
berasal dari kepercayaan aluk to dolo yang dulunya merupakan
kepercayaan masyarakat Toraja.
Kepercayaan aluk to dolo memiliki ajaran mengenai
hubungan hubungan manusia (hidup) dengan orang mati, yaitu
apabila
seseorang
yang
baru
mati
dan
belum
sempat
dimakamkan, maka orang yang mati tersebut hanya dianggap
sebagai orang yang sedang terbaring, sedang dalam keadaan
sakit, yang sering disebut dengan istilah tomakula’. Selama dalam
keadaan ini, hubungan dengan manusia yang masih hidup dalam
keadaan biasa saja. Sementara itu, keadaan tidurnya demikian
pula adanya, terlentang di tempat tidur seperti keadaan orang
yang masih hidup dalam keadaan berbaring di tempat tidur.
Tomakula’ ini dibaringkan di atas rumah dengan posisi tidur
bagaikan manusia yang belum meninggal dan letak arah
kepalanya ke sebelah barat dan arah kakinya membujur ke
sebelah timur. Tomakula’ ini diperlakukan sebagai orang yang
masih hidup yang dalam keadaan sehari-hari masih disajikan
makanan dan minuman yang mana makanan dan minuman
tersebut diletakkan di dalam piring dan cangkir yang telah
dikhususkan bagi tomakula’. Nanti ketika ritual Rambu Solo’
dilaksanakan, maka peralatan yang digunakan tadi (misalnya,
piring dan cangkir) tidak lagi dipakai. Sebagai gantinya ialah
daun pisang sebagai ganti piring dan bambu sebagai ganti cangkir
tadi. Di saat dikatakan masih dalam keadaan tomakula’, setiap
harinya seluruh keluarga dan handai taulan serta keluarga
terdekat saling bergantian membawakan makanan dan minuman
untuk keperluan penjaga-penjaga tomakula’.
Keadaan seperti ini persis keadaan apabila berkunjung
menengok orang sakit. Tomakula’ juga masih disimpan di atas
rumah, biasanya bertahun-tahun lamanya disimpan menunggu
untuk diupacarakan. Di sini jelas bahwa hubungan orang yang
telah meninggal dan yang masih hidup sama dengan keadaan
manusia yang masih dalam keadaan hidup. Pada saat tomakula’
akan diupacarakan, maka pada kesempatan ini akan dibunyikan
gong atau gendang serta diikuti oleh persembahan-persembahan
kurban pertama sebagai tanda bahwa di sana ada orang mati, dan
sejak saat itu hubungan si mati (tomate) dan manusia yang masih
hidup mulai terbatas (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,
1984).
Keluarga yang berduka belum boleh meratap. Aluk (ritus)-lah
yang akan mengesahkan bahwa orang tersebut telah meninggal.
Bila ritual Rambu Solo’ akan dimulai, maka acara pertama ialah
korban persembahan menyambung nyawa (sumbung penaa).
Pada acara tersebut jenazah dibalik arah tidurnya, yaitu kepala di
selatan dan kaki di utara (dipopengulu sau’). Sesudah acara
menyambung nyawa selesai dilaksanakan barulah jenazah
tersebut resmi meninggal secara aluk dan keluarga sudah boleh
meratap. Di sini nampak bahwa jalan hidup ditentukan oleh aluk,
kematian ditentukan oleh ritus, dan perjalanan hidup selanjutnya
tetap akan ditentukan oleh aluk (Sarira, J.A., 1996).
Dalam Rambu Solo’ hubungan dengan keluarga, masyarakat,
alam semesta, leluhur dipulihkan kembali. Selain itu Rambu Solo’
adalah jalan atau jaminan kembali ke negeri asal, sehingga jika
ada
seseorang
yang
meninggal
tanpa
upacara
korban
persembahan, maka orang yang meningggal tersebut bekalnya
kurang untuk sampai ke puya/puyo (alam roh) dan keluarga yang
ditinggalkan di dunia tidak akan memperoleh berkat. Inilah salah
satu alasan mengapa masyarakat Toraja masih menjalankan ritual
Rambu Solo’ hingga sekarang (Sarira, J.A., 1996).
Menurut Sarungallo, T., (2010), ada beberapa aspek yang
terkandung dalam Rambu Solo’. Aspek pertama, massuru’
merupakan
aspek
membersihkan
pelanggaran-pelanggaran
yang
diri,
pernah
penyesalan,
dilakukan
agar
terhapus.
Kedua, penyembahan dalam pemujaan, yaitu individu yang
mengambil
bagian
dalam
upacara
Rambu
Solo’
diberi
penghormatan, cinta dan pujian dalam berbagai cara. Hal inilah
yang membuat penyambutan dan penempatan tamu harus
langsung oleh keluarga, tidak diwakilkan pada pihak ketiga.
Ketiga, kesejahteraan, yaitu Rambu Solo’ akan melapangkan
jalan bagi almarhum dalam perjalanan peralihannya dari dunia ini
ke dunia asalnya, supaya ia bersama leluhur yang sudah terlebih
dahulu di sana memperoleh kesejahteraan dengan segala
bawaannya yang dikorbankan pada ritual Rambu Solo’. Keempat,
kekeluargaan, yang mana dalam ritual Rambu Solo’ hubungan
kekeluargaan diperbaharui dan dipulihkan. Selain itu nyata bahwa
hubungan kekeluargaan tidak putus. Pada Rambu Solo’ ada reuni
keluarga supaya ikatan kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan
yang dimaksudkan di sini adalah kekeluargaan yang berdasarkan
keturunan (geneologis). Kelima, ambakan datu (persekutuan),
yang berarti kegotongroyongan. Ambakan datu adalah kesatuan
berpikir (musyawarah), kesatuan tindak, kesatuan berbakti,
kesatuan emosional, dan kesatuan kerja, sehingga Rambu Solo’
terbesar pun dapat terselenggara tanpa suatu bentukan organisasi.
Keenam, tanggung-jawab dan fungsi kosmis, yaitu saat Rambu
Solo’ berlangsung tak ada orang yang menjadi penonton, karena
mereka sudah tahu fungsinya masing-masing. Ketujuh, harga diri,
artinya keluarga berani mengorbarkan harta benda daripada
menghilangkan harga diri dan nilai persekutuan dalam keluarga.
Kedelapan,
perdamaian,
bagi
orang
Toraja
perdamaian
dimanifestasikan pada Rambu Solo’. Dalam Rambu Solo’
perdamaian dipulihkan kembali bagi seluruh keluarga dan bagi
seluruh masyarakat. Salah satu wujud perdamaian bagi orang
Toraja adalah “basse”, yaitu ikrar perjanjian perdamaian.
Kesembilan,
nilai
kepahlawanan,
misalnya
melaksanakan
ma’randing (tari perang), ma’simbuang (mendirikan menhir)
yang dilaksanakan bagi sang pahlawan dan membuatkan patung
dari kayu nangka sebagai potret dari almarhum (ma’tau-tau
nangka). Kesepuluh, nilai jasa, yaitu jasa seseorang dengan
pikiran, tenaga, dan kehadirannya pada Rambu Solo’ sangat
dihargai. Orang mengatakan hutang korban (kerbau, babi) dapat
dibayar tetapi perbuatan baik sukar dibayar. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasa tersbut, kerbau dan babi disembelih supaya rakyat
mendapat makanan. Hal ini berhubungan dengan fungsi
seseorang dalam masyarakat dan struktur masyarakat serta
pengaturan fungsi seseorang bersifat tertutup (berdasarkan
keturunan). Kesebelas, harta kekayaan berfungsi sosial, yaitu
orang Toraja meyakini bahwa manusia pada dasarnya satu
keluarga, semuanya adalah keturunan Datu Lauku. Pemilikan
harta
benda
berdasarkan
pemilikian
keluarga,
pemilikan
tongkonan. Dengan bergotongroyong bukan berarti bekerja siasia untuk orang lain. Hasilnya akan dinikmati bersama. Orang
kaya adalah tumpuan harapan orang miskin. Orang kaya harus
menjamu tamu secara besar-besaran melalui upacara Rambu
Solo’ yang didalammya seluruh keluarga bersama-sama dapat
menjamu dan dijamu. Pada kesempatan tersebut orang kaya dapat
memberi makan kepada orang banyak (umpakande tau buda).
TARIAN DUKACITA MA’BADONG
Ma’badong adalah kesenian yang paling popular pada ritual
Rambu Solo’. Ma’badong ditampilkan pada tingkat aluk yang
lebih tinggi yaitu mulai pada tingkat dipatallungbongi (upacara
tiga malam) ke atas, kecuali di daerah Banga yang sudah dimulai
pada tingkat penyembelihan seekor kerbau (satu malam saja). Isi
badong terdiri dari pembukaan yaitu pernyataan dukacita,
menguraikan
sejarah
ringkas
(menurut
mitos)
keturunan
almarhum sejak dari langit, riwayat hidupnya sejak dalam
kandungan sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara
Rambu Solo’nya dilaksanakan, perjalanan ke puya (sorga) sampai
akhirnya menjelma menjadi ilah di langit dan memberkati anak
cucunya, komoditasnya di dunia ini.
Jenis badong yang unik adalah badong pada waktu
pemakaman (badong to meaa). Badong to meaa lebih
mengungkapkan kegembiraan karena almarhum sedang menuju
ke perkampungan leluhurnya bersama-sama dengan para kekasih
pendahulunya dan yang pada akhirnya arwahnya akan menjelma
menjadi ilah di langit (Sarira, J.A., 1996). Selain itu melalui
tarian ini para keluarga dimaksudkan untuk menari sambil berdoa
agar arwah yang meninggal diterima di puya (sorga), atau alam
baka. (The Guide Magazine Toraja, 1).
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dipaparkan,
maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif
sendiri
merupakan
penelitian
yang
datanya
dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, atau gambar dan tidak
menekankan
pada
angka
statistika,
sebagaimana
yang
diungkapkan oleh Bogdan & Taylor (dalam Moleong, L.J., 2010)
bahwa metode kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur
penelitian yang menghasilkan data kualitatif, yaitu ungkapan atau
catatan mengenai orang-orang atau tingkah laku mereka yang
terobservasi.
Partisipan penelitian terdiri dari dua orang Toraja asli (RM
dan KV), kehilangan anggota keluarga akibat kematian selama
satu tahun dan hendak melaksanakan ritual Rambu Solo’. peneliti
juga menggunakan triangulasi data sebagai data pembanding
terhadap data yang diperoleh (Moleong, L.J., 2010). Triangulasi
data dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh
dari partisipan dengan hasil wawancara dari orang-orang terdekat
partisipan. Selanjutnya terhadap data wawancara yang telah
terkumpul dilakukan analisis data yang meliputi: reduksi data,
kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data, dan
kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini akan dipaparkan mengenai latar belakang dan
dukacita pada kedua partisipan yang melaksanakan ritual
pemakaman
Rambu
Solo’.
Kedua
partisipan
penelitian
merupakan turunan orang Toraja asli yang hidup di Toraja, sejak
lahir, tumbuh besar hingga menikah dan memiliki keluarga,
kecuali partisipan kedua yang setela dewasa meninggalkan Toraja
kemudian bekerja, menikah dan berkeluarga , dan menetap di
kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Partisipan pertama (RM) berusia 28 tahun. RM kehilangan
nenek yang dicintainya sejak lebih dari setahun. Selama kurun
waktu tersebut RM adalah satu-satunya orang yang tiap harinya
mengantarkan minuman bagi jenazah neneknya, dikarenakan
secara adat status sang nenek masih dikatakan tomakula’ (orang
yang sedang sakit). Semasa neneknya masih hidup RM juga turut
merawat sang nenek dibantu oleh salah satu anak dari sang nenek
yang juga merupakan ibu mertua RM. Selama neneknya masih
hidup, RM mengaku memiliki hubungan yang dekat dengan
mendiang neneknya. Saat sang nenek meninggal RM merasakan
ada yang hilang dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena
sang nenek selalu menolong RM menjaga kedua anaknya yang
masih kecil, sehingga RM dapat dengan leluasa memetik sayur
untuk diberikan kepada ternak babinya. Kepergian neneknya
membuat RM merasa kehilangan secara fungsional, karena
menurutnya tidak ada lagi yang akan menjaga anak-anaknya saat
ia hendak bekerja memetik sayur bagi ternak babinya. Setelah
lebih dari setahun merawat jenazah neneknya layaknya orang
yang masih sakit, maka tiba saatnya bagi RM melaksanakan
Rambu Solo’ bagi almarhum nenek. Selama Rambu Solo’
berlangsung RM menyambut kedatangan para tamunya dan para
tamu membawakan sejumlah hewan bagi keluarga RM. Jumlah
keseluruhan hewan yang diperoleh RM bersama sang suami
adalah 30 ekor hewan, yaitu 3 ekor kerbau dan sisanya 27 ekor
babi.
Partisipan kedua (KV) berusia 66 tahun dan merupakan anak
pertama dari almarhum nenek RM. Di hari pertama kematian
ibunya, KV tidak berada di Toraja. Informasi mengenai kematian
orang yang ia cintai, KV peroleh dari adiknya yang berada di
Toraja. Selama puluhan tahun KV merantau di luar kabupaten
Toraja dan menetap di Pinrang bersama anak dan isteriya. Selama
puluhan tahun berada di perantauan, KV jarang kembali ke
kampung halamannya di Toraja dan selama waktu itu juga KV
jarang untuk menjenguk ibunya di Toraja. Jika ia tidak sempat
mengunjungi ibunya, maka hubungan di antara mereka hanya
sebatas komunikasi lewat surat atau menanyakan kabar ibunya
lewat orang-orang terdekatnya. Hal ini terpaksa ia lakukan oleh
karena KV kesibukkan pekerjaannya di Pinrang.
Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian dukacita
pada orang Toraja yang melaksanakan ritual pemakaman Rambu
Solo’.
Kesedihan dan Rasa Marah Di Awal Peristiwa Kematian
Kedua partisipan mengalami dukacita oleh karena kehilangan
orang yang mereka kasihi. Kesedihan adalah salah satu perasaan
emosional dukacita yang dirasakan oleh kedua partisipan.
Kesedihan tersebut mereka ekspresikan dengan menangisi
kepergian orang yang dikasihi. Namun, meskipun keduanya
sama-sama menangisi kepergian orang yang dikasihi ternyata
partisipan kedua (KV) tidak menangis seperti perempuan pada
umumnya.
Partisipan
kedua
menyebutnya
dengan
istilah
“menangis dalam hati”. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Jeffreys, J.S., (2005) bahwa tidak semua individu
akan menyatakan kesedihan dengan cara yang sama. Ada orang
yang bisa merasakan kesedihan ketika kehilangan orang yang
dicintai, namun ada juga individu yang menahan rasa dukanya
karena adanya tekanan dari pihak luar atau karena individu
tersebut tidak merasa berhak untuk mengungkapkan rasa
dukanya. Selain itu jenis kelamin orang yang ditinggalkan
menentukan reaksi yang ditimbulkan. Fivush dan Buckner (dalam
Cahyasari, I., 2008) menyebutkan bahwa pria cenderung lebih
menyembunyikan perasaannya dibandingkan dengan wanita yang
lebih sering mengungkapkan perasaannya.
Tidak
hanya
mengalami
kesedihan
karena
peristiwa
kehilangan, partisipan pertama (RM) ternyata mengalami
perasaan emosional dukacita yang tidak dialami oleh partisipan
kedua. Partisipan pertama menunjukkan kemarahannya secara
langsung kepada jenazah neneknya. Seperti yang diungkapkan
oleh Jeffreys, J.S., (2005) marah adalah reaksi yang terjadi secara
alami ketika individu kehilangan orang yang dicintainya. Rasa
marah ini dapat ditujukan secara langsung kepada orang yang
meninggal, situasi, atau kepada Tuhan. Partisipan pertama
menunjukkan rasa marahnya (anger) langsung kepada almarhum
neneknya melalui ungkapkan “mengapa nenek tinggalkan saya?”.
Kemarahan yang terjadi menggambarkan suasana hati partisipan
pertama yang tidak rela kehilangan neneknya.
Rasa tidak rela kehilangan neneknya dikarenakan kedekatan
emosional yang terjalin di antara keduanya, yang disebabkan
selama empat tahun ia beserta suami dan kedua anaknya hidup
bersama dengan neneknya dan ia adalah orang yang merawat
almarhum selama sakit sampai meninggal. Kedekatan partisipan
pertama dan neneknya semakin erat juga dikarenakan sang nenek
membantunya menjaga kedua anaknya yang masih balita,
sehingga ketika sang nenek telah tiada hal ini juga membuat
partisipan
fungsional.
pertama
mengalami
kehilangan
nenek
secara
Oleh karena kedekatan yang terjalin sangat baik di antara
partisipan pertama dengan almarhum neneknya, membuatnya
sulit atau tidak rela kehilangan neneknya. Proses yang terjadi
pada partisipan pertama menunjukkan bahwa ada kesesuaian teori
yang diungkapkan oleh Aiken (dalam Cahyasari, I., 2008), bahwa
jika kedekatan suatu hubungan yang terjalin dengan baik akan
memungkinkan bagi seseorang yang ditinggalkan sulit untuk
melupakan dan melepaskan ikatan tersebut. Berbeda dengan
partisipan
pertama,
partisipan
kedua
tidak
menunjukkan
kemarahannya baik terhadap almarhum ibunya, orang-orang
terdekatnya maupun Tuhan. Sejak awal peristiwa kehilangan
partisipan kedua mengatakan bahwa ia sudah dapat menerima
kenyataan ibunya telah tiada. Perbedaan reaksi emosianal di
antara keduanya berkaitan dengan perbedaan umur kedua
partisipan yang selisih 38 tahun dan menurut Aiken (dalam
Cahyasari, I., 2008) bahwa secara umum dukacita lebih
menimbulkan stres pada orang yang usianya lebih muda.
Rindu Sengsara sebagai Perasaan Emosional Dukacita
karena Ritual Rambu Solo’
Terdapat persamaan perasaan emosional dukacita yang
dirasakan oleh kedua partisipan mulai dari awal kehilangan
sampai
dengan
Rambu
Solo’
diselenggarakan.
Perasaan
emosional ini kedua partisipan sebut dengan perasaan “rindu
sengsara”. Rindu sengsara merupakan gejolak emosional yang
dirasakan dalam waktu yang bersamaan oleh kedua partisipan.
Rasa rindu keduanya, ditujukan kepada jenazah orang yang
mereka kasihi dan perasaan sengsara sebagai penderitaan akibat
memikirkan
pelaksanaan
Rambu
Solo’
dan
bagaimana
melunaskan hutang hewan yang diperoleh.
Proses Penantian Ritual Rambu Solo’
Upacara peristiwa kematian yang dialami oleh kedua
partisipan tidak dilakukan seperti ritual pemakaman masyarakat
pada umumnya. Kedua partisipan membuat ritual pemakaman
bagi orang yang dikasihinya dengan menggunakan ritual
berkabung adat orang Toraja, yang dikenal dengan nama Rambu
Solo’. Sebelum Rambu Solo’ dilaksanakan keluarga kedua
partisipan wajib mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh
adat, yaitu bahwa sekalipun orang yang dikasihi telah dinyatakan
meninggal secara medis, namun sebelum Rambu Solo’ resmi
dilaksanakan, maka jenazah belum dapat dikatakan meninggal
secara adat. Jenazah masih dianggap sebagai orang sakit, masih
hidup, ditaruh di dalam rumah bersama dengan anggota keluarga
yang masih hidup dan para keluarga inti wajib melayani jenazah
seperti saat jenazah masih hidup, yaitu dengan membawa
makanan, minuman ataupun sirih dan rokok serta mengajak
jenazah berkomunikasi (Sarira, J.A., 1996).
Proses ritual sebelum Rambu Solo’ yang berlangsung dalam
kurun waktu lebih dari setahun ternyata memberi dampak
terhadap proses dukacita yang dialami oleh kedua partisipan.
Di awal peristiwa kehilangan kedua partisipan sempat
beranggapan bahwa orang yang mereka kasihi belum meninggal,
tetapi masih hidup. Kedua partisipan menyangkali kebenaran
yang sedang terjadi dan menjadi tidak realistis. Menurut Bowlby
(dalam Jeffreys, J.S., 2005) bahwa proses yang dialami oleh
keduanya saat peristiwa kehilangan terjadi merupakan proses
dukacita yang pertama, yaitu yang disebut dengan fase mati rasa
(numbing). Mati rasa (numbing), yaitu fase di mana individu
menutup diri (shutdown), menyangkal (denial), tidak realistis
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini juga
diungkapkan oleh Kubler Ross (dalam Santrock, J.W., 2002),
bahwa penyangkalan (denial) merupakan hal yang wajar yang
dialami oleh seseorang sebagai luapan emosi oleh karena
peristiwa kematian. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut selama
proses ritual dijalankan, terlebih khusus dialami oleh partisipan
pertama. Selama lebih dari satu tahun partisipan pertama merasa
bahwa neneknya masih hidup, apalagi di saat ia sering kali
memimpikan sang nenek. Pengalaman mimpi ini membuatnya
seperti hidup di dua dunia, di satu sisi menganggap neneknya
masih hidup, namun di sisi lain menyadari bahwa sebenarnya
neneknya telah tiada. Pemikiran ini juga semakin berakar kuat
dalam dirinya dikarenakan ia adalah satu-satunya orang yang
setiap harinya melayani jenazah, sehingga menurutnya dengan
kondisinya yang setiap hari melayani jenazah layaknya orang
masih hidup membuatnya semakin beranggapan bahwa neneknya
masih hidup.
Partisipan kedua yang juga menjalankan proses ritual selama
satu tahun justru membuatnya berpikir bahwa memang ibunya
telah tiada. Baginya ini hanya persoalan menurut apa yang
dikatakan oleh adat, sehhingga ia sendiri lebih mempercayai
tentang realita yang terjadi. Partisipan kedua juga mengakui
bahwa ia jarang melayani jenazah seperti yang dilakukan oleh
partisipan pertama, karena setiap kali ia melihat jenazah ibunya
akan membuatnya semakin rindu dan juga merasakan sakit serta
kasihan terhadap jenazah ibunya.
Kerinduan dan Attachment Behavior Sebelum Rambu Solo’
Rasa rindu yang dialami oleh kedua partisipan membawa
mereka pada proses berduka lainnya yaitu mencoba memulihkan
keadaan orang yang telah meninggal. Menurut Bowlby (dalam
Jeffreys, J.S., 2005) saat individu melalui proses ini, yaitu
mencoba memulihkan keadaan orang yang telah meninggal, hal
ini merupakan “attachment behavior”. Pada partisipan pertama,
attachment behavior ini ia nyatakan dengan tetap menjaga
komunikasi dengan almarhum neneknya. Komunikasi tersebut
terjadi setiap ia mengantarkan minuman bagi neneknya, ia selalu
menegur jenazah dengan menyuruh jenazah bangun untuk
kemudian meminum minuman yang ia bawakan. MY yang
merupakan tetangga dekat partisipan pertama juga mengatakan
bahwa jika ia dan partisipan pertama makan siang bersama, maka
tanpa ragu-ragu partisipan pertama akan memanggil jenazah dari
dapur untuk makan siang bersama-sama. Bentuk komunikasi
lainnya adalah partisipan pertama tetap senantiasa membawa
almarhum dalam doanya. Selain itu partisipan pertama sering
mengenang masa-masa ketika neneknya selama hidup begitu
menyayangi dan bersedia merawat anak-anaknya.
Partisipan kedua jarang menegur jenazah ibunya, ia
mengakui hanya beberapa kali menegur jenazah ibunya, salah
satunya di saat ia datang di awal peristiwa kematian ibunya.
Namun, ia tetap mendoakan ibunya agar diterima di sisi Tuhan.
Cara lain yang partisipan kedua lakukan adalah dengan bersabar
dan mengikhlaskan kepergian orang yang ia kasihi dan mencoba
menghadirkan sosok ibunya dalam pikirannya, yaitu dengan
mengenang
kembali
akan
pribadi
ibunya
yang
selalu
menyayanginya. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kerinduan
(yearning) terhadap sosok orang yang disayangi dapat muncul
ketika sedang teringat mengenai kenangan yang dulunya pernah
terjadi (Turner & Helmes, dalam Cahyasari, I., 2008). Meskipun
kedua partisipan sama-sama merasakan kerinduan dan mencoba
menghadirkan kembali sosok orang yang telah tiada, namun
keduanya memiliki harapan yang berbeda. Partisipan pertama
mengharapkan agar neneknya masih hidup, sehingga ia dapat
kembali melakukan aktivitas seperti saat neneknya masih hidup,
terlebih khusus ia mengharapkan agar neneknya dapat kembali
menjaga anak-anaknya dan ini terkait akan rasa kehilangan
pribadi nenek secara fungsional.
Partisipan kedua tidak berharap agar ibunya masih hidup,
tetapi ia berharap agar kelak dapat bertemu dengan ibunya di
sorga. Perbedaan intensitas pertemuaan kedua partisipan terhadap
orang yang dikasihi mempengaruhi attachment behavior di antara
mereka, sehingga memberi pengaruh terhadap perbedaan harapan
kepada sosok pribadi yang telah tiada.
Kerinduan dan kesepian yang terus dirasakan kedua
partisipan selama lebih dari satu tahun, diakui oleh keduanya
dikarenakan proses ritual yang masih mengizinkan mereka
melayani jenazah. Tinggal bersama jenazah dan merawat jenazah
dengan status tomakula’ membuat kerinduan mereka semakin
besar.
Meskipun proses ritual sebelum Rambu Solo’ membuat rasa
rindu kedua partisipan semakin bertambah besar, rasa rindu
keduanya dapat teratasi dengan adanya kehadiran anggota
keluarga lain dan para tetangga yang menawarkan diri untuk
membantu mempersiapkan Rambu Solo’. Adanya keterlibatan
orang-orang terdekat mampu menolong partisipan pertama dan
partisipan kedua dari dukacita, sehingga pemulihan tidak hanya
upaya personal namun juga keterlibatan orang-orang terdekat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Harper (dalam Cahyasari, I.,
2008) bahwa dukungan (support social) yang datang dan
diberikan kepada seseorang yang sedang berduka akan membuat
individu tersebut merasa lebih kuat dan tegar untuk menghadapi
kondisi yang sedang dialami, tanpa adanya dukungan akan
membuat individu yang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya
merasa sepi dan hampa di dunia ini.
Peran Tarian Dukacita Ma’badong
Rasa rindu juga coba diatasi oleh keduanya dengan cara
mengikuti tarian dukacita ma’badong’. Keduanya mengikuti
tarian ini sejak sebelum Rambu Solo’ sampai Rambu Solo’ resmi
dilaksanakan. Bagi partisipan pertama tarian dukacita yang ia
ikuti dapat menghibur dirinya dari rasa kehilangan yang ia
hadapi. Tarian dukacita ini lebih dirasakan manfaatnya oleh
partisipan pertama saat Rambu Solo’ berlangsung, karena tidak
hanya
menghiburnya
dari
rasa
kehilangan
namun
juga
menolongnya untuk sejenak tidak memikirkan hutang yang ia
peroleh selama Rambu Solo’. Pikiran mengenai hutang tersebut
menjadi beban pikiran bagi partisipan pertama sejak di awal
peristiwa kematian. Hutang ini dirasakan oleh partisipan pertama
sebagai hal yang mengganggu pikiran dan menambah rasa
dukacitanya. Di awal kematian partisipan kedua juga merasakan
hal yang sama dengan yang dirasakan oleh partisipan pertama.
Ada keterpaksaan dan penderitaan dalam diri partisipan kedua
untuk mempersiapkan Rambu Solo’. Oleh karena itu untuk
mengatasi
perasaan-perasaan
negatif
yang
timbul
karena
pemikiran mengenai hutang yang akan diperoleh, maka partisipan
kedua juga memilih terlibat secara aktif dalam tarian ma’badong,
karena tarian dukacita ini ia anggap sebagai hal yang dapat
menghibur dirinya setelah kehilangan orang yang ia kasihi,
membebaskannya
dari
rasa
susah
akibat
hutang
serta
keyakinannya bahwa tarian tersebut dapat menghibur jenazah
ibunya.
Dari hal ini dapat diketahui bahwa seni tari memberi dampak
yang positif terhadap dukacita yang dialami oleh kedua
partisipan.
Menurut
Sarira,
J.A.,
(1996)
kesenian
yang
ditampilkan pada Rambu Solo’ adalah ungkapan ratapan dan
penghormatan kepada almarhum. Kesenian ini tidak hanya
pengungkapan penderitaan di dunia sekarang, melainkan juga
mengungkapkan masa awal yang indah. Isi tarian ma’badong
terdiri dari pembukaan, yaitu pernyataan dukacita, menguraikan
sejarah ringkas keturunan almarhum, riwayat hidup sejak lahir
sampai wafatnya, kemudian bagaimana upacara Rambu Solo’nya
dilaksanakan dan perjalanannya ke sorga (puya). Selain itu dalam
tarian ini para penari juga menari sambil berdoa bagi arwah orang
yang mati agar diterima di negeri arwah/sorga (puya), atau di
alam baka (The Guide Magazine Toraja, 1).
Perubahan Status Jenazah menjadi Tomate
Saat Rambu Solo’ resmi berlangsung, maka saat itupula
jenazah resmi berubah status menjadi tomate (orang yang resmi
dikatakan meninggal oleh adat). Perubahan status jenazah ini
membuat kedua partisipan semakin menyadari bahwa orang yang
dikasihi benar-benar akan meninggalkan mereka. Harapan untuk
bertemu kembali seperti masih hidup semakin memudar dalam
diri kedua partisipan. Menurut Bowlby (dalam Jeffreys, J.S.,
2005) ini merupakan proses dukacita yang disebut dengan fase
kekalutan, kesedihan yang mendalam dan putus asa. Pada fase
ini, individu yang mengalaminya dicirikan dengan harapan yang
semakin memudar, mengakui orang yang dicintai tidak akan
pernah kembali serta menjadi terbiasa dengan rasa putus asa,
kelelahan, kehilangan motivasi, serta apatis. Pada partisipan
pertama selama lebih dari satu tahun ia masih berharap agar
neneknya masih hidup, saat Rambu Solo’ harapan agar neneknya
masih hidup memudar. Berbeda dengan partisipan pertama,
partisipan kedua sejak awal kematian tidak lagi mengharapkan
agar dapat bertemu dengan ibunya seperti masih hidup. Dengan
berlangsungnya
Rambu
Solo’
partisipan
kedua
semakin
disadarkan bahwa memang ibu yang dicintainya tidak ada lagi di
dunia ini dan mulai menerima peristiwa kehilangan ini adalah
nyata adanya. Namun, kedua partisipan tetap memiliki harapan
dan keyakinan bahwa kelak mereka akan bertemu dengan orang
yang dikasihi di sorga.
Kedua partisipan juga masih merasakan perasaan kehilangan
terlebih khusus saat jenazah yang mereka kasihi resmi menjadi
tomate. Secara jujur keduanya mengakui bahwa masih adanya
keinginan mereka untuk memperlakukan jenazah layaknya
tomakula’, namun mereka sadar akan ketentuan adat yang
berlaku. Akhirnya, baik partisipan pertama maupun partisipan
kedua memasrahkan hal ini kepada kuasa yang lebih besar dari
mereka, yaitu kepada kuasa Tuhan. Menurut Jeffreys, J.S., (2005)
respons dukacita individu secara khas berhubungan dengan peran
spiritual (keagamaan). Banyak orang-orang yang menderita
karena peristiwa kehilangan akan berbelok kepada sistem
kepercayaan atau sistem iman mereka untuk menolong mereka
dalam menghadapi peristiwa kematian, seperti melaksanakan
ritual-ritual maupun dukungan dari para pendoa (prayer support).
Hal ini terlihat selama Rambu Solo’, yaitu keluarga kedua
partisipan tetap melibatkan peran serta iman percaya mereka
dengan melaksanakan ibadah malam dalam bentuk liturgi agama
Katholik dan di hari pemakaman pun dipimpin oleh seorang
Frater.
Selain itu perubahan status jenazah nenek dari tomakula’
menjadi tomate memunculkan konflik batin bagi partisipan
pertama yang disebabkan karena ia setiap hari melayani jenazah
neneknya. Di satu sisi ia masih ingin mengurus jenazah neneknya
layaknya orang masih hidup, namun di sisi lain ia harus
merelakan bahwa orang yang ia kasihi telah resmi dikatakan
sebagai orang yang telah meninggal baik secara medis maupun
adat, namun ia pribadi pada akhirnya lebih memilih neneknya
dengan status tomate agar ia tidak lagi menganggap bahwa nenek
yang ia kasihi masih hidup. Dari hal ini nampak bahwa partisipan
pertama belum sepenuhnya menerima perubahan status yang
diberikan terhadap neneknya. Seperti yang juga dikatakan oleh
Turner & Helms (dalam Cahyasari, I., 2008) bahwa tidak mudah
bagi seseorang yang telah ditinggalkan untuk menyadari
seutuhnya dan menerima kematian orang yang dicintainya.
Kedua partisipan mengalami konflik perasaan lainnya, yaitu
berbaurnya rasa sepi, sedih dan bahagia selama Rambu Solo’
berlangsung. Kesepian dan kesedihan yang dirasakan oleh
keduanya merupakan manifestasi dari dukacita karena kehilangan
orang yang dicintai. Rasa sepi dan sedih tersebut semakin kuat
dirasakan keduanya oleh karena hari pemakaman yang semakin
dekat. Rasa bahagia yang dirasakan kedua partisipan oleh karena
melalui Rambu Solo’ mereka dapat berjumpa dengan keluarga
besarnya yang datang dari Toraja, khususnya di luar daerah
Toraja. Bagi kedua partisipan Rambu Solo’ merupakan salah satu
media yang berhasil mengumpulkan keluarga besar mereka,
sehingga menciptakan rasa kekeluargaan yang lebih erat di antara
mereka. Kekeluargaan itu sendiri juga merupakan salah satu
aspek penting di dalam Rambu Solo. Menurut Sarira, J.A., (1996)
dalam upacara Rambu Solo’ hubungan kekeluargaan diperbaharui
dan dipulihkan. Dalam ritual Rambu Solo’ nyata bahwa hubungan
kekeluargaan tidak putus, ada reuni keluarga supaya ikatan
kekeluargaan tetap utuh. Kekeluargaan yang dimaksudkan di sini
adalah kekeluargaan yang berdasarkan keturunan (geneologis).
Peran dan Manfaat Melaksanakan Ritual Rambu Solo’
Selain relasi dengan keluarga yang membuat kedua
partisipan merasa bahagia, kehadiran para tetangga juga turut
membantu dimulai sebelum Rambu Solo’ sampai dengan saat
Rambu Solo’ berlangsung juga membawa rasa gembira bagi
keduanya. Fakta ini kembali membuktikan bahwa tidak hanya
aspek kekeluargaan yang dirasakan oleh keduanya, tetapi aspek
persekutuan (ambakan datu) turut memberi hal positif bagi
keduanya di tengah dukacita yang dialami. Ambakan datu yang
berarti kegotong-royongan, adalah suatu pranata sosial, suatu
kesatuan regional dalam hubungan dengan kepemimpinan
struktur Tongkonan yang merupakan lambang persekutuan dari
orang Toraja, karena dengan adanya Tongkonan orang Toraja
bisa mengetahui garis keturunan melalui Tongkonan. Ambakan
datu adalah kesatuan berpikir (musyawarah), kesatuan tindak,
kesatuan berbakti, kesatuan emosional, dan kesatuan kerja,
sehingga Rambu Solo’ terbesar pun dapat terselenggara tanpa
suatu bentukan organisasi (Sarira, J.A., 1996). Semua hal ini
dianggap kedua partisipan sebagai manfaat dari ritual Rambu
Solo’.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Doka, J.K.,
(2003) bahwa ritual memiliki peran, yaitu ritual menetapkan
sebuah masyarakat atau komunitas. Ini menawarkan sebuah
kesempatan
untuk
bangkit
secara
bersama
dan
mendemonstrasikan persatuan mereka. Peran lainnya bahwa
ritual memperlihatkan rasa solidaritas kepada para korban. Oleh
karena itu, mereka yang mengalami kematian sahabat atau
anggota keluarganya, pemakaman dan ritual upacara akan
memberikan keuntungan baik secara sosial, psikologis dan
spiritual (Rando, dalam Doka, J.K., 2003).
Selanjutnya Saroengallo, T., (2010) kembali menambahkan
bahwa menurut beberapa pengamat sosial-budaya Toraja; bahwa
salah satu ciri khas masyarakat Toraja adalah ikatan kekerabatan
yang kental atau rasa persaudaraan dan persahabatan yang kuat
dan erat. Kentalnya hubungan kekerabatan dan persahabatan, atau
hubungan persaudaraan yang dirasakan dekat dan akrab ini
ditopang oleh tiga sistem sosial-budaya yaitu: kesatuan asal-usul
(seketurunan), sistem bawaan kerbau/babi pada ritual Rambu
Solo’ dan sistem passarak. Dari ketiga sistem di atas, sistem
bawaan mempunyai jangkauan dan jaringan yang luas, karena di
samping menyangkut keluarga seketurunan, juga mencakup
pertemanan atau persahabatan seperti kenalan dekat, teman
sekerja, teman seorganisasi dan sebagainya.
Rambu Solo’, Hewan Kerbau dan Babi Sebagai Simbol Strata
Sosial
Selain itu ada hal lain yang membuat partisipan kedua secara
pribadi merasa bahagia, yaitu ia dapat mengorbankan hewan bagi
ibunya sebagai syarat yang ia dan keluarganya harus penuhi
untuk melaksanakan Rambu Solo’ bagi ibunya. Bagi partisipan
kedua pelaksanaan Rambu Solo’ layak diterima ibunya karena hal
ini ia anggap sebagai bentuk balas budi terhadap apa yang telah
almarhum ibunya berikan kepadanya, meskipun ia sadar akan
adanya konsekuensi yang diterima karena melaksanakan Rambu
Solo’, yaitu hutang. Menurut Saroengallo, T., (2010) tidak ada
sanksi adat yang akan diberikan jika keluarga yang berduka tidak
melaksanakan Rambu Solo’ bagi orang yang dikasihi. Akan
tetapi, jika keluarga berduka tidak melaksanakan Rambu Solo’
apalagi jika menyandang status sebagai topuang atau tomakaka
dan
dihormati
oleh
kalangan
masyarakat,
maka
dapat
menimbulkan rasa bersalah dalam diri individu tersebut.
Rasa Kelelahan Selama Rambu Solo’
Bowlby (dalam Jeffreys, J.S., 2005) mengatakan bahwa saat
individu telah sampai pada proses berduka, yaitu kekalutan,
kesedihan yang mendalam dan putus asa, maka individu akan
terbiasa dengan rasa kelelahan (fatigue).
Kedua partisipan mengalami kelelahan fisik maupun psikis
dan puncak kelelahan yang keduanya rasakan adalah saat
penerimaan
tamu
yang
Kesibukkan
ini,
mengalami
perubahan
berlangsung
khususnya
jam
selama
membuat
tidur
tujuh
partisipan
yang
hari.
pertama
mengakibatkan
kelelahannya semakin besar. Meskipun kelelahan dalam melayani
para tamu juga dirasakan oleh partisipan kedua, namun kelelahan
yang dirasakan tidak lebih besar dari yang dirasakan oleh
partisipan pertama. Selama penerimaan tamu partisipan kedua
lebih banyak bersenda gurau dengan para tamu maupun sanak
keluarga di lantangnya. Ia jarang membawakan makanan dan
minuman bagi para tamunya, karena pekerjaan tersebut diambil
alih oleh para wanita dan para kaunan (hamba) yang datang ke
lantang miliknya. Partisipan pertama meskipun tugas di dapur
telah dikerjakan oleh kaum kaunan, namun hal tersebut tidak
membuatnya meninggalkan tugas yang selama ini melekat pada
diri perempuan, seperti membawa sirih, makanan dan minuman
bagi para tamu. Partisipan pertama tidak hanya bertugas di
lantangnya pribadi, namun ia dengan rela mau mengantarkan
makanan berupa nasi, lauk, minuman, bahkan rokok dan sirih
untuk seluruh tamu yang datang. Kesibukkan lainnya setiap pagi
ia tetap mengambil sayur bagi ternak babinya dan tetap menjaga
kedua anaknya yang masih balita, sedangkan partisipan kedua
hampir semua anaknya telah bekerja dan hanya tiga anaknya
yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan selama Rambu
Solo’ ketiga anaknya dijaga oleh isterinya, sehingga ia tidak
direpotkan
oleh
pekerjaan
mengasuh
anak
di
tengah
berlangsungnya ritual Rambu Solo’.
Dampak
Hutang
Hewan
terhadap
Keluarga
yang
ditinggalkan
Pikiran-pikiran
yang
menganggu dan
menjadi beban
dirasakan kedua partisipan sebelum Rambu Solo’, yaitu hutang
hewan, kembali mengusik pikiran keduanya khususnya di hari
penerimaan tamu. Saat penerimaan tamu adalah saat kedua
partisipan beserta keluarga besarnya mengetahui berapa jumlah
hutang hewan yang diperoleh. Dari data yang diperoleh diketahui
bahwa jumlah hutang partisipan pertama jauh lebih besar yaitu
berjumlah tiga puluh ekor sudah termasuk kerbau dan babi,
sedangkan partisipan kedua hanya memperoleh tujuh ekor.
Hewan-hewan tersebut semuanya dikorbankan oleh kedua
partisipan selama Rambu Solo’ berlangsung. Jumlah hutang yang
berbeda di antara keduanya tergantung seberapa banyak kerabat
yang datang membawakan hewan bagi kedua partisipan. Hutang
yang di satu sisi menjadi beban pikiran bagi kedua partisipan,
namun di sisi lain keduanya mengakui bahwa dengan adanya
hutang memotivasi mereka untuk bekerja dengan lebih giat dan
mencari pekerjaan tambahan agar semua hutang hewannya dapat
dilunaskan.
Perbedaan jumlah hutang di antara partisipan pertama dan
partisipan kedua memunculkan kekhawatiran yang berbeda pula.
Dapat disimpulkan bahwa partisipan pertama memiliki rasa
khawatir yang lebih besar dibandingkan partisipan kedua. Selain
karena jumlah hutang hewan yang partisipan pertama peroleh
jauh lebih besar daripada partisipan kedua, faktor lainnya adalah
karena partisipan pertama dan suaminya tidak mempunyai
pekerjaan yang menetap ditambah lagi anak-anak mereka yang
belum bekerja, sehingga tidak dapat membantu partisipan
pertama melunasi hutangnya. Oleh karena itu impian agar kelak
anak-anaknya sukses menjadi semakin lebih besar. Cara yang
partisipan pertama tempuh untuk melunasi hutang-hutangnya,
selain mengandalkan pendapatan suami adalah dengan rajin
memberi makan ternak babinya, sehingga babi-babi tersebut
dapat menjadi alat melunasi hutangnya. Hewan babi bagi orang
Toraja merupakan hewan peliharaan yang sangat penting. Selain
dagingnya yang enak dimakan, babi juga menjadi hewan penting
karena dapat digunakan sebagai persembahan dalam ritual
keagamaan. Selain itu babi dianggap sebagai aset dalam setiap
keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk kepentingan
tertentu, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anak dan sebagai
pelunasan hutang yang diperoleh saat melaksanakan Rambu Solo’
(The Guide Magazine Toraja, 1). Partisipan pertama juga
menganggap
hutang
hewan
tersebut
sangat
mengganggu
pikirannya dan membuatnya merasakan kekhawatiran yang besar
mengenai biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil di
tengah kesusahan memikirkan pelunasan hutang.
Bagi partisipan kedua, setelah mengetahui jumlah hutang
yang diperoleh ia kemudian berpendapat bahwa hutang hewan
tidak lagi dirasa sangat mengganggu pikirannya seperti saat
sebelum Rambu Solo’, namun cukup mengganggu. Hal ini
partisipan kedua katakan dengan alasan bahwa baginya ada anakanaknya yang telah bekerja yang dapat membantunya untuk
melunasi hutang-hutangnya. Di sini terlihat bahwa ketika semua
anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak) telah memiliki
pekerjaan, maka dapat meno