KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN NEGARA H

KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN, NEGARA HUKUM DAN TRANSISI POLITIK DI INDONESIA

  Ibnu Sina Chandranegara 1

Prolog

  Studi mengenai konsep negara hukum maupun unsur-unsurnya dalam bidang hukum tata negara, pada umumnya merupakan suatu studi yang cenderung bersifat teoritis dan dogmatis. Namun tidaklah dapat dipungkiri, bahwa hingga saat ini kajian- kajian yang meneliti mengenai konsep negara hukum maupun unsur-unsurnya melulu menggunakan pendekatan yuridis-normatif, sedangkan penelitian yang meneliti melalui pendekatan sosio-politis berkenaan dengan konsep negara hukum

  maupun unsur-unsurnya masih bisa digolongkan langka. 2 Padahal pendekatan

  semacam ini sesungguhnya akan bermanfaat, dikarenakan akan dapat menjabarkan secara komprehensif serta mengkaji secara luas mengenai bagaimana karakter penerapan konsep negara hukum yang dianut disuatu negara tertentu maupun waktu tertentu apabila dikaitkan dengan suatu konfigurasi dan interkasi-interaksi politik

  1 Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhamamdiyah Jakarta, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Anggota Asosiasi Pengajar HTN-HAN se Indonesia, Managing Partner

  Chandranegara Prasetya: Solicitor, Counselor, Atorney at Law

  2 Tulisan-tulisan yang membahas secara komprehensif mengenai konsep negara hukum antara lain: A.V Dicey, Introduction to The Study of The Law and Constitutions, (London: Macmillan And Co

  Limited, 1952); Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel Russel, 1961), Friedrich Julius Stahl, Philosophie des Rechts (1878); John Locke, Two Treatise of Civil Government, (New York: Mentor Book, 1963); Montesqiueu, The Sprit of Laws, (Canada: Batoche Books, 2001); Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, (London: Cambridge University Press, 2006); J.J Von Schmid dengan dua bukunya yaitu (i) Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum terjemahan R. Wirantno, (Jakarta: Erlangga, 1979) dan (ii) Pemikiran Tentang Negara dan Hukum dalam Abad Kesembilan Belas, Alih Bahasa Boentarman (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962) ataupun yang ditulis oleh ahli hukum Indonesia, antara lain: Tahir Azhary dalam disertasinya yang telah dibukukan berjudul Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini (Jakarta: Prenada Kencana, 2007); Azhary di dalam disertasinya yang telah dibukukan berjudul Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta: UI-Press, 1995); Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2006); Abdul Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: In-Trans, 2003); Ramly Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985); dan lain sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut merupakan karya yang menjadi patron dalam membahas mengenai konsep negara hukum yang pembahasannya dilakukan dengan pendekatan teoritis dan yuridis normatif.

  yang sedang berlangsung. 3 Sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945

  hingga memasuki masa reformasi ini, dinamika politik yang terjadi kerapkali mengaburkan sistem ketatanegaraan Indonesia. Peristiwa-peristiwa politik seringkali mengaburkan sistem ketatanegaraan Indonesia dan suatu bentuk negara hukum Indonesia, seperti munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, seringnya terjadinya perubahan UUD melalui praktek tanpa melalui prosedur perubahan yang telah diatur di dalam UUD, adanya pembentukan Dewan Nasional, pengangkatan presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, Munculnya prosedur referendum dalam perubahan undang-undang dasar, dan proses pemberhentian dua Presiden Indonesia yakni Soekarno pada tahun 1967 dan Abdurahman Wahid pada tahun 2001. Peristiwa- peristiwa semacam ini seringkali dianggap tidak mencerminkan suatu negara hukum sebagaimana yang digariskan oleh konstitusi dikarenakan beragam alasan yuridis. Melihat kenyataan dan kecenderungan sebagaimana dikemukakan di atas, maka keadaan semacam itu seringkali diungkapkan oleh Padmo Wahjono sebagai “Staatslehre Ohne Staat” yaitu suatu teori atau konsep tentang negara tanpa ada

  kenyataannya. 4 Atas pemikirannya tersebut, Padmo menyatakan bahwa,

  3 Barents sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, ibarat tubuh manusia maka ilmu hukum tata negara diumpakan sebagai kerangka tulang belulangnya, sedangkan ilmu politik

  diibaratkan daging-daging yang melekat di sekitarnya, oleh sebab itu, dengan mengkaji ilmu hukum tata negara dari sudut pandang sosio-politis, maka akan dapat diperoleh pemahaman yang jauh lebih luas mengenai apa yang ada dibalik daging-daging di sekitar kerangka tubuh manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini, negara dan hukum sebagai suatu objek studi hukum tata negara dan ilmu politik adalah kacamata lainnya dalam menilai dan meneliti suatu hukum tata negara atau dikatakan daging dari tulang belulangnya. [Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Jakarta: Konpress, 2006) hlm 44-45]

  4 Mengenai Staatslehre Ohne Staat ini Padmo mengemukakan bahwa teori atau konsep adalah mengenai sesuatu yang ideal, dan dapat dipahami karena manusia pada umumnya mengejar

  kesempurnaan berdasarkan pengalaman dan cita-citanya. Dengan demikian tidak terrealisirnya suatu konsep atau teori dapat pula menumbuhkan kecenderungan untuk berkesimpulan yang sama yaitu Staatslehre Ohne Staat atau dalam kaitannya dengan suatu konsep negara hukum yang hanya sekedar lamunan belaka (utopia). Oleh karena itu, dengan mengabungkan pengalaman-pengalaman dan cita- cita maka sepanjang sejarah ketatanegaraan (khususnya Indonesia), maka akan dihadapkan dengan usaha yang berkesinambungan bahkan suatu perjuangan menuju suatu negara hukum sesuai dengan pandangan hidup masing-masing kelompok manusia ataupun bangsa. Bukan mustahil bahwa di dalam mengamati usaha yang berkesinambungan tersebut kita mengambil, menerapkan atau menarik pelajaran dan pengalaman dengan menyesuaikan dengan cara pandang kita. Dengan demikian menjadi suatu hal yang relevan untuk memahami sejarah pemikiran tentang negara hukum sebelum sampai kepada suatu negara hukum Indonesia. [Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Indo Hill co, 1989) hlm 149]

  “Perkembangan hukum tata negara pada umumnya, menunjukkan adanya kesinambungan pemikiran dalam arti ada persamaan-persamaan, namun di samping itu ada pula perbedaan-perbedaan karena ada penyesuaian- penyesuaian dengan cara pandang, falsafah maupun keadaan-keadaan yang khusus ada. Dengan demikian akan tidak adil atau menghindari kenyataan apabila kita berpendapat bahwa diseluruh dunia hanya ada satu teori mengenai negara hukum atau kita (secara naif) wajib meniru teori negara hukum dari

  suatu negara lain.” 5

  Oleh karena peristiwa dan anggapan yang demikian itu, maka timbulah permasalahan mendasar dalam kerangka berpikir memahami konsep negara hukum dan konsep negara hukum Indonesia. Permasalahan mendasar tersebut, antara lain seperti apakah suatu konsep negara hukum yang digariskan di dalam konstitusi itu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya?, bagaimanakah konsep negara hukum itu dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara?, apakah interaksi politik dapat mempengaruhi pelaksanaan konsep negara hukum?, bagaimanakah relasi konfigurasi dan interaksi politik terhadap pelaksanaan suatu konsep negara hukum?. Apabila akan membahas mengenai negara hukum, maka kekuasaan kehakiman merupakan merupakan salah satu poros yang dapat menjadi salah satu variabel dalam meneliti konsep negara hukum. Hal ini disebabkan kekuasaan kehakiman adalah salah satu unsur yang kerapkali dipersyaratkan dalam beberapa konsep negara hukum, namun khusus mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman justru tidak selalu menjadi faktor penentu dalam pengkualifikasian suatu negara sebagai negara hukum. sebagai contoh, konsep sosialist legality jelas tidak mensyaratkan adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam suatu negara, konsep ini justru menekankan bahwa kekuasaan kehakiman adalah alat dari hukum sedangkan hukum adalah bentukan pemerintah oleh karena itu, apabila kekuasaan kehakiman tidak berpihak kepada

  pemerintah maka tujuan negara akan sulit terealisasikan. 6 Konsep ini jelas berbeda

  5 Ibid

  6 Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bahder Johan yang mengutarakan bahwa konsep socialist legality merupakan suatu konsep sosialis yang terselubung walaupun konstitusi

  menyatakan sebaliknya. Hal ini dapat dicontohkan pada negara-negara yang menganut konsep ini negara eks Uni Soviet dan beberapa negara komunis lainnya terutama di negara-negara Amerika Latin dan sebagian Asia yang kini tetap eksis. Pada negara-negara tersebut, memang ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman diatur di dalam konstitusi, namun kekuasaan kehakiman yang diatur tersebut didesain untuk tunduk kepada kebijakan rahasia dari penguasa, perintah-perintah pejabat partai, ataupun penguasa-penguasa yang menduduki tampuk kekuasaan di negara yang menganut konsep yang demikian ini. [Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2011) hlm 27-28] menyatakan sebaliknya. Hal ini dapat dicontohkan pada negara-negara yang menganut konsep ini negara eks Uni Soviet dan beberapa negara komunis lainnya terutama di negara-negara Amerika Latin dan sebagian Asia yang kini tetap eksis. Pada negara-negara tersebut, memang ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman diatur di dalam konstitusi, namun kekuasaan kehakiman yang diatur tersebut didesain untuk tunduk kepada kebijakan rahasia dari penguasa, perintah-perintah pejabat partai, ataupun penguasa-penguasa yang menduduki tampuk kekuasaan di negara yang menganut konsep yang demikian ini. [Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2011) hlm 27-28]

  tersebut 7 Apabila ditinjau, sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia memberikan

  bukti bahwa kekuasaan kehakiman pernah diletakkan menjadi bagian dari kekuasa an pemerintahan negara, hal ini berarti kemerdekaan kekuasaan kehakiman menjadi sesuatu ilusi yang tak pernah terrealisasi. Indikasi tersebut dapat dilihat ketika Presiden Soekarno menetapkan kembali ke UUD 1945 melalui Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 atau yang biasa dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945 secara mutatis mutandis melahirkan suatu sistem politik demokrasi terpimpin yang konsekuensinya adalah kekuasaan kehakiman melekat menjadi satu dengan kekuasaan pemerintahan negara, bahkan

  menjadi bagian kepentingan revolusi. 8 Namun, setelah perubahan UUD 1945 oleh

  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada kurun waktu 1999-2002, kekuasaan kehakiman menjadi terpisah dari kekuasaan pemerintah bahkan menjadikan kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi dua poros setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukan bahwa konsep negara hukum yang dikemukakan para ahli yang menyatakan bahwa adanya suatu peradilan yang bebas menjadi lebih terealisasi.

  Dinamika inilah yang menciptakan konsep negara hukum khususnya konsep negara hukum Indonesia menjadi terkesan ambigu, walaupun beberapa ahli sendiri

  mengemukakan bahwa konsep negara hukum sebagai ambiguous concept. 9 Salah satu

  7 Diskusi mengenai pembatasan kekuasaan negara kerapkali diistilahkan dengan pemisahan kekuasaan, pembagian kekuasaan dan pemencaran kekuasaan. Istilah pemisahan kekuasaan

  merupakan istilah yang digunakan Montesquieu mengenai gagasannya tentang separation of power. Lalu menurut Ismail Sunny, istilah yang kedua yakni pembagian kekuasaan (division of power) merupakan arti formal dari pemisahan kekuasaan ala Montesqieu (separation of power) yang disebutnya sebagai arti materiil. Lalu, mengenai pemencaran kekuasaan adalah istilah yang dipakai oleh Moh. Mahfud MD dikarenakan menurutnya istilah itu lebih tepat dipergunakan karena maknanya meliputi baik pemisahan maupun pembagian kekuasaan.[Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1985) hlm 1-4] dan [Muhammad Alim, Trias Politica dalam Negara Madinah, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MKRI, 2008), hlm 5, catatan kaki no 9]

  8 Hal ini terindikasi melalui Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Untuk menegakkan hukum sebagai

  alat revolusi danatau untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Penuntut Umum berhak meminta….mengenai perkara-perkara kejahatan tertentu yang ditetapkan di dalam Undang-Undang.”

  9 Ambiguisitas ini akan tampak dalam penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD. Di dalam setiap penegakan hukum di Indonesia, kerapkali antara satu lembaga penegak

  hukum dan lembaga penegak hukum lainnya menggunakan acuan yang berbeda sehingga dalam hal yang jelas-jelas bertentangan. Namun, kesemuanya mengklaim bahwa pendapat dan sikapnya hukum dan lembaga penegak hukum lainnya menggunakan acuan yang berbeda sehingga dalam hal yang jelas-jelas bertentangan. Namun, kesemuanya mengklaim bahwa pendapat dan sikapnya

Anatomi Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

  Salah satu alasan mengapa dipisahkannya kekuasaan kehakiman sebagai cabang kekuasaan negara adalah adanya kehendak untuk tersedianya cabang kekuasaan negara yang merdeka dan independen dalam menyelesaikan sengketa antar individu ataupun antara negara dan warga negaranya. Perihal kemerdekaan peradilan tersebut dimaksudkan sebagai tidak adanya campur tangan lembaga- lembaga di luar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan legislatif. Namun, koridor hukum berupa pengaturan undang-undang bagi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tidak terbatas merupakan salah satu cerminan pembatasan pelaksanaan fungsi peradilan yang terlihat pada pengaturan kompetensi peradilan dan wilayah yurisdiksi pengadilan, yang dilakukan untuk kepentingan perlindungan hak-hak para pihak yang berhendak menyelesaikan kepentingannya di peradilan. Dalam konteks pembatasan tersebut di atas, A.V. Dicey kemudian mengatakan bahwa

  pengadilan tidak memiliki posisi independen yang sempurna. 10 Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka. 11

  Pertama, kekuasaan kehakiman di semua negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana pengadilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Hakim bahkan dikatakan masih dalam koridor pelaksanaan tugasnya, jika ia dalam memutuskan suatu perkara menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Namun, jika hakim menolak menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum dimana dia tidak dalam kondisi memeriksa suatu perkara, maka ia dapat dihukum atas dasar

  didasarkan pada prinsip negara hukum. [Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm 125-126

  10 A.V. Dicey, Introduction to the study of Law of the Constitutions, (London: MacMillan and

  Co. Limited, 1952), hlm 185

  11 Alexis de Tocqueville, Democracy in America, (London: David Campbel Publishers, 1994), hlm

  Independensi maupun kemerdekaan kekuasaan kehakiman bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi begitu saja, karena kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan

  memiliki potensi mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan. 12 Sejarah dunia

  membuktikan, bahwa pemerintahan di Prancis sebelum terjadinya revolusi Prancis

  1789, dimana peradilan merupakan bagian dari kekuasaan yang absolut. 13 Maka

  keberadaan kekuasaan kehakiman yang tidak Independen dan tidak merdeka sangatlah berbahaya, karena proses peradilan akan secara mudah dimanipulasi untuk mencegah pengadilan mempertanyakan konstitusionalitas tindakan-tindakan

  inkonstitusional atau semena-mena oleh pelaksana kekuasaan negara. 14 Namun,

  apabila terdapat kekuasaaan kehakiman yang terjamin kemerdekaannya, maka diyakini pengadilan akan menjadi suatu mekanisme yang sangat kuat untuk

  mempertahankan konstitusi dan keadilan. 15 Berdasarkan uraian tersebut maka

  tampaklah adanya hubungan korelasi dan sebab-akibat antara fungsi pengadilan dan proses demokratisasi, dimana pembentukan dan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman seharusnya diciptakan secara aktif oleh para sarjana hukum dan para politisi sebagai suatu keniscayaan yang harus diwujudkan, terutama bagi negara- negara yang sedang tahap demokratisasi ataupun menata corak demokrasi apa yang sesuai bagi perkembangan negara tersebut.

  Kekuasaan kehakiman dapat diuji melalui dua hal, yaitu perihal ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik

  (political insularity). 16 Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim

  akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta persidangan, bukan atas keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah di deteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari

  12 Christoper M. Larkins, "Judicial Indepence and Democratization: A Theoritical and Conceptual Analysis", (The American Journal of Comparative Law 4, Vo. XLIV, 1996), hlm 606

  13 Erhard Blankrnburg, "Changes in Political Regimes and Continuity of the Rule of Law in Germany", dalam Herbert Jacob, et. al, Courts, Law and Politics In Comparative Perspective, (London:

  Yale University Press, 1996), hlm 250

  14 Ibid 15 Ibid 16 Ibid, 14 Ibid 15 Ibid 16 Ibid,

  dalam konteks hubungan sosial maupun hubungan politik. 17 Jeremy Bentham

  mempunyai pendapat yang lebih lugas mengenai apa yang disebutnya sebagai Imprasialitas hakim, yaitu: "where is the caue of in which any the slightest departure from the rule of impartiality is, in the eye of justice and reason , anything else the

  criminal on the part of the judge?". 18 Oleh karena itu, Imparsialitas proses peradilan

  hanya dapat dilakukan, jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berpekara. Karenannya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika dia melihat adanya potensi imparsialitas. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan darah atau semenda dengan salah satu pihak yang berpekara atau diperiksa di muka pengadilan.

  Pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim, sikap demikian menjadi penting mengingat agar posisi dia tidak dijadikan alat untuk

  merealisasikan tujuan-tujuan politik. 19 Lain halnnya dengan pandangan Montesquieu

  melihat apa yang dikenal sebagai kemerdekaan kekuasaan kehakiman maupun independensinya, Montesquieu berpandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak lain merupakan "mulut undang-undang", sehingga putusan hakim merupakan suatu

  putusan hukum, bukan dipandang sebagai putusan politik. 20 Putusan Pengadilan

  semata merupakan konkretisasi apa yang dimuat dalam undang-undang, bukan lahir dari tekanan ataupun lobi politik. Oleh Karena itu, penting artinya keterputusan relasi dengan dunia politik dari seorang hakim yang nantinya juga sangat mendukung imparsialitas proses peradilan. Syarat keterputusan dengan dunia politik ini merupakan sesuatu yang masuk akal, karena seorang hakim diasumsikan menjadi bagian dari partai politik tertentu atau menjadi pemilih partai politik tertentu dalam pemilihan umum. Karena itu, keterikatan seorang calon hakim dengan partai politiknya harus dilepaskan ketika dia diangkat menjadi hakim.

  Max Webber melihat imparialitas sebagai nilai anutan utama bagi pejabat-

  pejabat publik. 21 Birokrasi, menurut Webber, ditandai dengan semangat formalistik

  yang impersonal, atau sine ira et studio. 22 Seorang birokrat dalam menjalankan

  tugasnya diasumsikan bertindak tanpa sifat-sifat benci atau senang, dan bahkan

  17 Christoper M. Larkins, "Judicial Indepence.....Op. Cit, hlm 609 18 Brian Barry, Justice as Impartiality, (Oxford: Clarendon Press, 1995) hlm 13 19 Christoper M. Larkins, "Judicial Indepence.....Op. Cit, hlm 609

  20 Erhard Blankrnburg, "Changes in Political Regimes.......Op. Cit. 21 Brian Barry, Justice as .....Op. Cit

  22 Ibid 22 Ibid

  tugas birokrasi dilakukan tanpa pertimbangan-pertimbangan pribadi. Karena itu, dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas peradilan, seorang hakim harus melepaskan dirinya dari pertimbangan pribadi atau kepentingan kolegial ataupun aosiasi politik. Tentunya penerapan yang ideal tersebut tergantung pada mekanisme penerapan nilai-nilai tersebut, karena tidak dapat dibebankan hanya pada komitmen individual. Melanjutkan Pembahasan konsep kemerdekaan kekuasaan kehakiman, Joel G Verner

  mengatakan: 24 " .....[the ability] to decide cases on the basis of established law and the merits of

  the case', without substansial interference from other political or goverment agents"

  Intervensi substansial tersebut dapat dilihat pada adanya tekanan kepada hakim mulai dari proses penunjukan hakim sampai kepada proses persidangan suatu kasus. Tekanan kepada hakim dapat berupa intimidasi atau ancaman fisik sampai kepada tekanan melalui media masa. Tekanan dapat datang baik dari kelompok politik ataupun pihak-pihak yang diperiksa di pengadilan. Tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi ketidak netralan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Hakim pada akhirnya menjatuhkan putusan bukan didasarkan pada fakta-fakta dalam persidangan, tetapi lebih pada keberpihakan pada salah satu pihak sebagai upaya menyelamatkan diri. Berangkat dari potensi gangguan terhadap pelaksanan tugas peradilan, maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman dapat dirumuskan sebagai

  berikut, yaitu: 25

  "Judicial indepence refers to the existenxe of judges who are nit manipulated for political gain, who are impartial toward the parties of a diputes, and who form a judicial branch which has the power as an institution to regulate the legality of government behaviour, enact "neutral" justice, and determine significant constitusional and legal values"

  Penegakan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sesungguhnya telah menjadi masalah internasional. Dalam konferensi tahunan sembilan belas di New Delhi, pada 22

  23 Ibid 24 sebagaimana dikutip oleh, Christoper M. Larkins, "Judicial Indepence.....Op. Cit, hlm 610 25 Ibid, hlm 611

  Oktober 1982, International Bar Asociation (IBA) merumuskan "code of minimun

  standards of judicial independence", antara lain, yaitu: 26

  1. (a) individual judge should enjoy personal independence and substantive independence; (b) Personal Independence means that the terms and conditions of judicial service are adeuately secured, so as to uensure that individuals judges are not subject to executive control; (c) Substantive Independence means that in the discharge of his judicial function, a judge is subject to nothing but the law and commands of his conscience.

  2. the judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective indepence vis-a vis the executive

  Kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak hanya dimanifestasikan dalam tiga prinsip- prinsip tersebut, yang masih berbentuk suatu konsepsi yang ideal. Konsep ideal

  tersebut masih harus dijabarkan ke dalam konsep operasional, yaitu: 27

  1. (a) Participation in Judicial appoinment and promotions by the executive or legislature is not inconsistent with judicial indepence, provided that appointment and promotions of judges are vested in judicial body, in which members of judiciary and the legal professions form a majority; (b) Appointments and Promotions by a non-judicial body body will not be considered inconsistent with judicial independence in country where, by long historic and democratic tradition, judicial appointments and promotion operate of the executive.

  2. (a) the executive may participate in the discipline of judges, only in referring complaints against judges, or in the initation of disciplinary proceedings, but not the adjudication of such matters. the power of discipline or remove a judge must

  be vested in an institution which is independent of the Executive; (b) the power of removal of a judge should preferably be vested in judicial tribunal; (c) the legislautre may be vested with the power of removal of judges, preferably upon a recommendation of a judicial commision.

  3. the executive shall not have control over judicial functions

  4. Rules of procedures and practive ahall be made bya legislation or by the judiciary in cooperation with legal profession, subject to parliament approval.

  26 Shimon Shetret dan Jules Deschenes, Judicial Indepence: In Contemporary Debate,

  (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1985) hlm 388.

  27 Ibid

  Penegasan bahwa penunjukan maupun promosi hakim dapat menjadi tolak ukur seberapa jauh kemerdekaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara universal, karena pada tingkat teknis penunjukan maupun promosi hakim membuka celah bagi

  intervensi cabang-cabang kekuasaan kehakiman. 28

  Transisi Politik dan Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman

  Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 politik hukum pembentukannya memang menghendaki dikemudian hari disusun maupun

  ditetapkan UUD yang bersifat tetap dan tidak bersifat sementara. 29 Namun dalam

  pelaksanaannya justru UUD 1945 pernah disakralisasi maupun dijadikan senjata bagi pemikiran politik penguasa maupun legalisasi kekuasaan yang absolut. Kondisi yang demikian tidak lantas menjadikan UUD 1945 ditinggalkan atau dilakukan pembaruan meskipun pada era-era tertentu UUD 1945 pernah ditinggalkan, namun kenyataannya kehendak politik untuk menggunakan dan melakukan perubahan terhadap UUD 1945

  secara 4 (empat) tahap menjadi tidak terelakkan. 30 UUD NRI Tahun 1945 yang

  sejatinya melengkapi atau menyempurnakan sistem yang telah dibangun dalam UUD 1945 namun ternyata kerapkali menuai nada sarkasme dari para sarjana dalam melihat hasil perubahannya, meskipun masih menggunakan tahun 1945 dalam perubahan hasil UUD, namun secara keseluruhan perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang menjurus kepada pembaruan UUD (renewal) sehingga RM. AB Kusuma

  menyatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 seharusnya bernama UUD 2002. 31 Dibalik

  pro dan kontra mengenai hasil dan prosedur perubahan UUD 1945, salah satu poin yang penulis anggap sesuatu yang positf adalah konsistensi pembentuk UUD untuk merumuskan kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman dan kemerdekaan atas kekuasannya, baik dalam kerangka normatif UUD 1945 dan UUD NRI Tahun 1945. Jaminan dalam konstitusi ini menunjukan bahwa arah politik hukum dari cabang

  28 F. Andres Hanssen, The Effect of Judicial Institutions on Uncertain and The Rate of Litigation:

  The Election versus Appoinment of States Judges, (New York: Journal Legal Studies, Vo. XXVIII, Januari, 1999), hlm 211

  29 J.C.T. Simorangkir, Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata

  Negara Indonesia, (Jakarta: Guning Agung, 1984), hlm 201

  30 Penggunaan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sesungguhnya didasari atas bentuk negara yang berbentuk serikat, sedangkan UUDS 1950 merupakan UUD transisi dan masih bersifat sementara

  dikarenakan masih menganut sistem parlementer dalam konfigurasi politik yang demokratis dan libertarian.

  31 RM.AB. Kusuma. Sistem Pemerintahan "Pendiri Negara" versus Sistem Presidensiel "Orde Reformasi", (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm 203-204 31 RM.AB. Kusuma. Sistem Pemerintahan "Pendiri Negara" versus Sistem Presidensiel "Orde Reformasi", (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm 203-204

  Perumusan UUD 1945 tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman sesungguhnya memang tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi kekuasaan kehakiman dengan organisasi kekuasaan pemerintahan negara maupun organisasi kekuasaan legislasi. UUD 1945 melalui Pasal

  24 dan Pasal 25 hanyalah menegaskan prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka dan itu dapat diartikan berlaku bagi fungsi peradilannya. Oleh sebab itu, sejak kemerdekaan pada saat pembentukan kabinet pertama (2 September 1945) di lingkungan eksekutif telah dibentuk Departemen Kehakiman yang eksistensinya berlanjut sampai orde baru. Keadaan demikian mungkin disebabkan situasi revolusi dan pengalaman bernegara yang baru dimulai, maka meskipun ketika itu ada Departemen Kehakiman disamping Mahkamah Agung, dapat dikatakan tidak ada yang mempersoalkan khususnya apabila dikaitkan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945 tidak dibingkai dengan struktur organisasi tertentu. Keadaan itu berlangsung tanpa membawa kontroversi yang berarti.

  Namun Konfigurasi politik yang berubah khususnya sejak kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan 1967, Pemerintah dibawah doktrin demokrasi terpimpin menerbitkan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan dan Mahkamah Agung. Dengan disebutkan secara terang- terangan pada Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 bahwa pembinaan teknis administratif dan finansial para hakim dilakukan oleh Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen di Lingkungan ABRI Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 juga ditentukan bahwa kekuasaan pemerintahan negara boleh mencampuri kekuasaan kehakiman atas tafsir bebas Presiden terhadap keadaan yang sangat mendesak. Oemar Seno Adji mengutarakan bahwa UU No. 19 Tahun 1964 berhadap secara diametral dengan Prinsip UUD 1945 yang justru menghendaki adanya kekuasaan

  kehakiman yang bebas dan merdeka. 32 Apalagi Penjelasan Pasal 19 UU No. 19 Tahun

  1964 menyebutkan bahwa "Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang". Keadaan ini senada dengan

  32 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm 78-79

  Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 UU No. 13 Tahun 1965 yang memuat materi bahwa “Dalam hal di mana presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan”. Materi tersebut menunjukan bahwa hukum sendiri menentukan bahwa Presiden dapat masuk ke dalam kekuasaan mengadili dan secara tidak langsung hukum menentukan bahwa kekuasaan kehakiman tidak merdeka atas kekuasaannya meskipun UUD 1945 tidak menyatakan demikian. Keadaan ini semakin memperjelas ketika dihadapkan bahwa Hakim Agung diangkat oleh Presiden atas usul DPR-GR dan Menteri Kehakiman, Maka sukar kekuasaan kehakiman dapat mencapai kemerdekaannya ketika peraturan perundang-undangan tidak menjabarkan UUD 1945 secara selaras. Oleh karena itu, jelas bahwa sejak kembali ke UUD 1945 pemerintah orde lama memproduk dua UU yang secara terang-terangan tidak memberikan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman padahal konstitusi telah mengamanahkannya.

  Setelah orde lama runtuh yang ditandai dengan dimakzulkannya Presiden Soekarno, maka Orde baru lahir dengan tema menegakkan kehidupan konstitusional atau melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Atas hal tersebut, maka upaya memberikan kemerdekaan pada kekuasaan kehakiman mulai diserukan untuk direalisasikan. Keluarnya Ketetapan MPRS No. XIXMPRS1966 dapat dianggap sebagai pernyataan bahwa kedua produk orde lama terutama menyangkut kekuasaan campur tangan yang diberikan UU kepada Presiden untuk masuk ke ranah kekuasaan kehakiman dalam mengadili adalah inkonstitusional. Namun, mengenai eksistensi Departemen Kehakiman masih menjadi persoalan, sebab dengan adanya Departemen Kehakiman dapat timbul pandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya merdeka. Untuk menjamin kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya seharusnya merupakan urusan teknis administratif dan finansial hakim tidak diletakkan di bawah Departemen Kehakiman melainkan sekaligus diserahkan kepada MA sebagai lembaga yudikatif. Agaknya tidak proporsional apabila hakim dibina oleh satu unit organisasi yang bernaung di bawah lembaga eksekutif seperti Departemen Kehakiman meskipun itu hanya menyangkut administratif dan finansial. Paling tidak timbul kesan bahwa para hakim merupakan bawahan eksekutif selain bawahan MA menjadi sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan.

  Pada awal Orde baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah menyampaikan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah MA sebagai alat Pada awal Orde baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah menyampaikan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah MA sebagai alat

  atau nama lainnya. 33 Lontaran IKAHI Jawa Tengah ini kemudian diambil alih menjadi

  sikap Pengurus Pusat IKAHI melalui putusan tanggal 16 Juni 1996 yang ketika itu mendapat dukungan dari Ketua MA dan Menteri Kehakiman sendiri. Untuk menangani Proses Peralihan itu di lingkungan Departemen Kehakiman dibentuk Ditjen badan-badan Peradilan. Pada awalnya Ditjen ini dianggap sebagai langkah awal untuk memindahkan segala urusan peradilan umum kepada MA dalam arti bahwa Ditjen ini bekerja untuk melaksanakan perintah MA.

  Namun, langkah awal tersebut ternyata harus surut ketika pada tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang ternyata masih menganut sistem pembinaan administratif dan finansial hakim oleh eksekutif. Pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara; sedangkan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa “Badan-Badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat organisatoris, administratif finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen bersangkutan”. Dengan demikian, setiap hakim pada tingkat pertama dan kedua adalah pegawai negeri sipil yang berada di bawah kekuasan satu unit eksekutif yang disebut sebagai departemen meskipun terbatas dalam urusan organisatoris dan administratif finansial. Hal ini tetap dapat menjadi persoalan jika dikaitkan dengan keinginan untuk mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Meskipun hakim berada di bawah Departemen Pemerintahan dalam bidang organisatoris dan administratif finansial, namun adanya kekhawatiran akan gangguan kebebas-merdekaan hakim menjadi beralasan, sebab bagaimanapun karier hakim akan bergantung juga kepada departemen. Meskipun secara formal hakim memiliki kebebasan dalam menangani suatu perkara (dalam kedudukannya sebagai hakim), mungkin terjadi bahwa sebagai pegawai negeri secara psikologis sang hakim tidak berani mengambil sikap atau membuat keputusan-keputusan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang merupakan Induk Korpsnya. Kekhawatiran atas terhambatnya karier atau dimutasikan ke daerah-daerah kering dapat saja mempengaruhi hakim dalam

  33 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 300 33 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 300

  Dengan peletakan hakim sebagai aparat eksekutif, secara organisatoris lebih mudah terjadi intervensi atas kebebasan hakim oleh kuatnya kekuasaan di luarnya. Karakter ini sesuai dengan watak korps dan birokrasi yang pada umumnya mempunyai ikatan-ikatan tertentu bagi anggota-anggotanya. Oleh sebab itu, keinginan agar pembinaan badan peradilan diletakkan di bawah satu atap MA menjadi desakan-desakan yang masif diserukan sebagai agenda politik hukum untuk membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka pada masa era orde baru. Namun upaya untuk mencapai suatu konsep one roof system kekuasaan kehakiman pada masa orde baru selalu menemui jalan buntu tembok sistem politik yang totaliter dan tertutup menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pengawalan konstruksi yuridis mengenai kekuasaan kehakiman yang telah digariskan melalui UU No. 14 Tahun 1970. Daniel S. Lev mencatat perdebatan di sekitar gagasan untuk melepaskan para hakim dari Departemen Kehakiman yang dikehendaki oleh para hakim sendiri, sedangkan di sisi yang lain Menteri Kehakiman Seno Adjie yang mewakili rezim Orde Baru tidak menghendaki pelepasan kekuasaan kehakiman dari Departemen Kekuasaan Kehakiman. IKAHI berpendapat bahwa pengaturan keuangan dan pengawasan oleh Dapartemen Kehakiman akan menciptakan sarana pihak pemerintah untuk menyusupkan paksaan halus terhadap para hakim. Namun demikian, gagasan IKAHI dianggap kalangan pemerintah sebagai tuntutan yang salah,

  permusuhan dan penuh dengan nuansa penghianatan. 34

  Belajar dari krisis kekuasaan di era Orde Lama, sebenarnya Soeharto ketika berbicara di hadapan peserta musyawarah nasional IKAHI di Yogyakarta tahun 1968 berjanji untuk mengembalikan supremasi hukum dengan menjamin pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas. Demikian juga ketika musyawarah nasional IKAHI di Medan pada tahun 1971, Seoharto juga berjanji untuk mengembalikan supremasi kehakiman yang lepas dari campur tangan kekuasaan di luar lembaga yudikatif. Keinginan mengembalikan supremasi kekuasaan kehakiman menjadi komitmen para

  sarjana pada waktu itu. 35 Seiring perjalanan waktu, keinginan untuk mengembalikan

  supremasi kekuasaan kehakiman menemui jalan buntu. Menjelang dekade 1970-an intervensi kekuasaan eksekutif mulai gamblang terlihat sebagai bagian dari kekuasaan

  34 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta:

  LP3ES, 1990), hlm 397

  35 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court : Fifty Years of Yudicial Development,

  (Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non Western Countries, Faculty of Law, Leiden University, 1996), hlm 60 (Leiden: Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non Western Countries, Faculty of Law, Leiden University, 1996), hlm 60

  Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Murtopo 36 sehingga organisasi IKAHI yang

  awalnya berkeras menolak intervensi kekuasaan akhirnya secara kompromistis menerima pengaturan administrasi hakim di bawah Departemen Kehakiman sebagaimana dalam Pasal 11 UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

  Kehakiman. 37 Rezim Orde Baru yang otoritarian melakukan upaya-upaya pemusatan strategi

  politik-birokratik dengan dukungan kuat dari kalangan militer. 38 Lembaga peradilan

  menjadi satu dari segian target pemusatan birokrasi di era Orde Baru. Penjinakan dunia peradilan dengan memberlakukan dualisme kekuasaan kehakiman merupakan salah satu strategi kekuasaan Orde Baru. Di tengah upaya-upaya licik kekuasaan Orde Baru, kalangan hakim yang diwakili IKAHI awalnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap strategi pemusatan dan pengebirian kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh rezim. Para hakim berjuang tidak hanya melalui sarana dengar

  pendapat di DPR-GR, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan seminar hukum. 39

  Setelah mendapatkan tekanan dan upaya penyusupan dari Operasi Khusus (Opsus) yang dikoordinasi oleh Ali Murtopo akhirnya pada seminar hukum di Yogyakarta pada 1968, ketua IKAHI yang diduga memiliki hubungan dekat dengan Ali Murtopo dipecat. Namun demikian, IKAHI pada waktu itu terlihat sudah menyerah dan mengambil jalan kompromis berkenaan dengan keinginan untuk secara penuh

  mengatur lembaga peradilan di bawah MA. 40 IKAHI juga merekomendasikan agar MA

  mengusahakan penempatan seorang hakim senior sebagai Dirjen Urusan Peradilan di Departemen Kehakiman yang secara administratif masih berada di lingkungan Departemen Kehakiman yang bertugas mengurusi segala urusan dan kebutuhan

  badan-badan Peradilan. 41

  36 Julie South Wood dan Patrick Flanangan, Indonesia, Law, Propaganda and Terror, (London: Zed Press, 1983), hlm 81

  37 Baskara T. Wardaya, et. al, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, (Jakarta: Elsam,

  2007), hlm 111

  38 Nur Iman Subono, Orde Baru sebagai Model Negara Organisasi Statis dengan Strategi

  Korporatisme, (Majalah Bulanan Ilmu dan Budaya No. 7April 1985), hlm 518

  39 Andi Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, (Jakarta,

  Elsam, 2004), hlm 9

  40 Luhut Pangribuan dan Paul S. Baut (Ed), Loekman Wiriadinata, Keindipendenan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hlm 70

  41 Ibid, hlm 71

  Rekomendasi IKAHI untuk menempatkan hakim senior pada jabatan tersebut telah dianggap sebagai langkah kompromis dan mengakhiri perdebatan panas selama

  27 bulan antara pihak IKAHI dan pemerintah dalam merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU setelah disahkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum juga tidak memberi ruang gerak sama sekali bagi hadirnya

  kekuasaan kehakiman yang lepas dari pengaruh kekuasaan di luar kehakiman. 42

  UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas memberikan ruang intervensi bagi kekuasaan eksekutif terhadap lembaga Peradilan. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan serta hukum acara MA. Undang-Undang tersebut memiliki kelemahan karena MA hanya diberikan menguji materi di bawah undang-undang. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum mengatur tentang kedudukan susunan organisasi, kekuasaan, tata kerja dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang asasnya diatur UU No. 14 Tahun 1970. UU ini mempertegas terhadap dualisme kekuasaan kehakiman dengan tetap mempertahankan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan oleh Departemen Kehakiman,

  sedangkan MA mengurusi pembinaan teknis peradilan. 43 Di samping itu, terlihat

  dominasi eksekutif terhadap pemangku kekuasaan yang lain sehingga bisa dipastikan

  kelembagaan di bawah subordinasi kekuasaan eksekutif. 44 Dualisme kekuasaan di

  tubuh lembaga kehakiman dan dominannya kekusaan eksekutif mendorong pada tidak independennya putusan hukum para hakim. Putusan hakim akhirnya menjadi tangan kanan putusan penguasa. Tidak satupun hakim di Indonesia yang memutus perkara berdasarkan kehendak-kehendak otonomi moral personalnya, karena hakim terikat dengan derajat resistensi politik yang sangat ketat dari rezim politik. UU tidak lagi menjadi pijakan utama bagi hakim untuk memutuskan perkara, akan tetapi akan

  sangat tergantung pada kehendak politik penguasa. 45

  Selama masa perumusan RUU Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang nantinya kelak menjadi UU No. 14 Tahun 1970, banyak pandangan yang menentang konsep dualisasi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang

  42 Andi Muhammad Asrun, Krisis Peradilan ….. op.cit, hlm 13 43 Ibid, hlm 13-14

  44 Muhammad Busyro Muqaddas, Kasus Komando Jihad Ditinjau Dari Perspektif Independensi dan Transpransi Kekuasaan Kehakiman, Ringkasan Disertasi Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum

  Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2010, hlm 67

  45 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, LP3ES, Jakarta, 1989,

  hlm 13 hlm 13

  Pokok Kekuasaan Kehakiman meninggalkan semangat Pasal 24 UUD 1945, dimana ruu tersebut menurutnya tidak lagi menempatkan MA sebagai puncak dan pucuk pimpinan dari semua lingkungan peradilan dengan adanya pengaturan organisasi, administrasi dan finansial di bawah departemen-departemen teknis yang tidak lain

  merupakan elemen-elemen kekuasaan eksekutif. 47 Selain itu Kuntjoro Jakti juga

  menilai bahwa ketentuan Pasal 32 tentang Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang memberikan peluang pemerintah untuk turut terlibat dalam pembuatan keputusan dan akan membuka peluang mempengaruhi pelaksanaan

  kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. 48

  Kehadiran Pasal 32 dalam Perumusan RUU Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menimbulkan kerancuan mengenai kedudukan dan fungsi MPPH, salah satunnya adalah masalah kedudukannya yang sesungguhnya adalah "non-govermental body" namun dapat berubah menjadi "decision-making body", kondisi yang demikian ini jelas dapat mengkooptasi kekuasan kehakiman yang padahal dirumuskan menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman haruslah dijamin kemerdekaannya. Kedudukan dan fungsi MPPH dalam Pasal 32 RUU Pokok Kekuasaan Kehakiman juga dapat ditafsirkan lebih jauh bahwa MPPH berdiri di atas MA dan Departemen Kehakiman, karena keputusan yang dibuatnya bersifat imperatif, bukanlah bersifat fakultatif.

  Selain mengenai masalah dualisme kekuasaan kehakiman dan kedudukan dan fungsi MPPH yang mengkebiri kemerdekaan kekuasaan kehakiman, masalah pelaksanaan kewenangan judicial review sebagaimana yang telah ditentukan oleh UU No. 14 Tahun 1970 menunjukan bahwa keengganan kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk memberikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal itu disebabkan oleh ketentuan Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 itu sendiri yang memang tidak memungkinkan dilaksanakannya kewenangan judicial review tersebut. Menurut Pasal

  26, kewenangan melakukan pengujian legalitas suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dengan undang-undang hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan di tingkat kasasi, artinya harus ada perkara atau gugatan lebih dahulu ke pengadilan. Apabila dicermati, bahwa pemeriksaan kasasi baru dapat dilakukan jika sudah ditempuh peradilan tingkat petama dan atau kedua. Jadi, permohonan untuk melakukan review harus disampaikan kepada pengadilan di bawah MA dulu, sebab

  46 Berdasarkan Pasal 5 UUD 1945 yang lama Presiden memegang kekuasaan membentuk UU 47 Sekretariat Jenderal DPR-GR, “Risalah Resmi Rapat Pleno”, (Jakarta: 28 Oktober 1968), hlm

  48 Ibid

  MA baru dapat memeriksa pada tingkat kasasi jika sudah diputuskan terlebih dahulu pada tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan pada tingkat banding. Kekacauan konseptual yang dirumuskan dalam UU No. 14 Tahun 1970 mengenai kewenangan pengujian legalitas juga diperburuk dengan pengertian kasasi itu sendiri apabila merujuk kepada UU No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, Dalam ketentuan tersebut menyebutkan bahwa kasasi adalah “pembatalan atas putusan-putusan

  pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum”. 49

  Sedangkan UU No. 13 Tahun 1965 mengartikan kasasi sebagai kekuasaan MA untuk

  membatalkan putusan dan penetapan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah 50 dari

  semua lingkungan peradilan dalam tingkatan terakhir. 51

  Sejalan dengan ini, Pasal 29 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa MA memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan; sedangkan Pasal 43 UU No. 14 Tahun 1985 menegaskan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh UU. Ketentuan-ketentuan tersebut memang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa “hak menguji secara material” harus melalui prosedur tersebut tetapi bagaimanapun pula rumusan kedua pasal tersebut memperkuat pengertian prosedural dan teknis yudisial dari lembaga kasasi yakni pemeriksaan pada tingkat MA setelah ditempuh peradilan-peradilan pada tingkat bawahnya. Oleh karena itu, kekuasaan menguji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah