FORDA - Jurnal

Daftar Isi

Daftar Isi..............................................................................................................................................................
Dari Redaksi ........................................................................................................................................................
Kontak Pembaca..................................................................................................................................................
Susunan Redaksi..................................................................................................................................................
Pengembangan Ekspor Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Tanaman Hutan .........................................
D. Martono & Djeni Hendra
HHBK Minyak Lemak, Potensi yang Perlu Dikembangkan...............................................................................
Ari Widiyanto & M. Siarudin
Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry ..............................................................
Ari Widiyanto
Mengenal Tumbuhan KRATOM (Mitragyna speciosa Korth.) ..........................................................................
Freddy J. Hutapea
Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi ................................................................................................
M. Iqbal
Pengukuran Warna Kayu dengan Sistem Cielab .................................................................................................
Krisdianto
Standar Kayu Lapis Indonesia.............................................................................................................................
Paribotro Sutigno
Apakah SNI Perlu Banyak? (Kasus Sektor Kehutanan) .....................................................................................

Paribotro Sutigno
Uji Penetrasi Boron secara Sederhana.................................................................................................................
Didik Ahmad Sudika

ii
1
1
1
2
7
18
22
24
28
32
34
36

Redaksi FORPRO menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan
artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan

kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis
font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai soft file. Redaksi
berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat
Redaksi FORPRO, atau melalui e-mail: publikasi@pustekolah.org

Cover depan: Buah Nyamplung (Calophyllum inophyllum)
ii

Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

Dari Redaksi
Pembaca yang budiman,
Keanekaragaman jenis sumberdaya hutan selain kayu pada
hutan tropis Indonesia sangat banyak jenisnya yang dapat
dijadikan sebagai komoditi untuk bahan industri maupun dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar hutan. Komoditas tersebut seperti getah, akar,
umbut, kulit, daun dan fauna yang lazim disebut hasil hutan bukan
kayu (HHBK). Dalam rangka peningkatan nilai tambah industri
HHBK sangat diperlukan inovasi dan sentuhan teknologi

sehingga menjadikan komoditas HHBK tersebut nilai dan
manfaatnya menjadi lebih meningkat dan menjadi sumber devisa
bagi negara.
PUSTEKOLAH sebagai lembaga riset senantiasa mencari
inovasi dan solusi untuk peningkatan nilai HHBK tersebut
melalui berbagai kegiatan percobaan penelitian dan pengkajian.
Beberapa informasi IPTEK tentang HHBK dikemas dalam bentuk
naskah/artikel dan kami sampaikan ke hadapan pembaca seperti
apa yang tertuang pada FORPRO terbitan edisi Vol 2, No 1 tahun
2013. Kali ini menyajikan beberapa artikel yaitu: 1.
Pengembangan Ekspor HHBK; 2. HHBK Minyak lemak, Potensi
yang perlu dikembangkan; 3. Beberapa Catatan Mengenai Hasil
Hutan dalam Sistim Agroforestry; dan 4. Mengenal Tumbuhan
Kratom. Selain itu kami sisipkan pula beberapa artikel tentang;
Pengawetan kayu, SNI, Pengukuran warna kayu dan uji penetrasi
Boron secara sederhana.
Pemuatan naskah/artikel pada edisi terbitan kali ini semoga
dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca yang akan
dan sedang melakukan kegiatan yang
serupa, sehingga

mendapatkan hasil sesuai yang di-harapkan, ataupun sebagai
tambahan informasi yang berharga bagi pembaca secara umum.
Pada tahun 2013 ini tidak terasa setahun sudah usia majalah
FORPRO ini lahir dan hadir dihadapan pembaca. Menginjak pada
usia tahun kedua ini Redaksi FORPRO berusaha untuk tetap
menyajikan IPTEK tentang keteknikan kehutanan dan
pengolahan hasil hutan, dan mempertahankan apa yang sudah
baik serta memperbaiki segala yang masih kurang berdasarkan
saran dan masukan pembaca.
Masukan dan saran pembaca terhadap terbitan edisi kali ini
sangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan terbitan
Majalah FORPO edisi berikutnya.
Selamat membaca.

Bogor, Juni 2013
Redaksi Forpro

Kontak PEMBACA
Yth.: Redaksi Majalah FORPRO
FORPRO, sebagai majalah kehutanan semi ilmiah/populer

yang penerbitannya baru menginjak 1 tahun, kehadirannya
diharapkan dapat “dinikmati” oleh masyarakat pembaca dari semua
kalangan. Berikut saran yang saya coba sampaikan demi kemajuan
majalah FORPRO.
Setiap tampilan untuk cover depan, FORPRO sebaiknya
memiliki warna dasar (back ground) tertentu yang khas sehingga
dapat mencirikan kehadirannya. Foto cover sebaiknya cukup
mensiratkan satu tema yang menggambarkan sajian artikel utama
dan tidak menampilkan banyak foto. Dalam cover depan tidak juga
perlu menampilkan semua judul maupun ulasan singkat
artikel/tajuk, karena hal ini bisa dilihat pada daftar isi. Singkatnya,
cover depan dapat dibuat semenarik mungkin dengan tampilan
yang khas, sederhana (sedikit foto/gambar) dengan menampilkan
informasi artikel utama yang sedang hangat, menarik dan mudah
untuk dibaca. Penempatan artikel/tajuk utama memerlukan
kesepakatan dan penilaian oleh dewan redaksi.
Isi, substansi tajuk utama hanya satu saja dan merupakan
“issue” utama bahasan dalam setiap kali terbitan, selebihnya bisa
berupa artikel-artikel dan rubrik-rubrik seperti pedoman/petunjuk
ringan yang terkait dengan informasi pengelolaan hasil hutan.

Agar pembaca tetap tertarik dan setia menunggu, Forpro dapat
melakukan dengan cara membuka rubrik tanya jawab seputar
informasi pengolahan hasil hutan, dan sebagai penghargaan atas
kontribusinya terhadap keberlangsungan FORPRO, sebaiknya
penulis tetap mendapatkan reward atas karyatulisnya.
Demikian... semoga segenap pengurus tetap enerjik dan
bersemangat sehingga FORPRO bertambah informatif, menarik,
mudah dan layak dibaca oleh semua kalangan.
Bogor, Juni 2013
Salam,
ANDIANTO, S. Hut, M.Si
---------------------------------------------------------------------------------------DARI REDAKSI;
Yth. Pak Andianto,
Terima kasih pak Andianto atas segala kritikan dan sarannya
yang membangun, tentu akan kami coba dan dipertimbangkan demi
peningkatan kualitas terbitan majalah Forpro yang lebih baik dan
enak dibaca oleh semua kalangan.
Untuk pemberian reward kepada penulis tentunya wajar-wajar
saja, selama tersedia anggaran dan Redaksi akan memberikan
sesuai haknya. Akan tetapi ke depan jika tidak tersedia lagi

anggaran penulisan mohon tetap untuk tidak mengurangi semangat
menulis dan mengirimkan naskah ke Redaksi Forpro, sebagai
upaya kita untuk berkontribusi dalam penyebarluasan IPTEK
sebagai wujud “ilmu amaliah dan beramal ilmiah” dan turut serta
membangkitkan industri kehutanan kita yang lebih kompetitif. Amin
Salam,
Redaksi Forpro

Susunan Redaksi
Pelindung
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan
Dewan Redaksi
Ketua
: Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Narasumber
: 1. Prof. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc
2. Prof. Ir. Dulsalam, MM
3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si
4. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

Editor
1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc
2. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

3.
4.
5.
6.
7.
8.

Drs. M. Muslich, M.Sc
Dra. Jasni, M.Si
Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc
Dra. Gusmailina, M.Si
Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc
Setyani Budhi Lestari. Ah.T


Sekretariat Redaksi
Ketua
: Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak
Lanjut Penelitian
Anggota
: 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc.
2. Drs. Juli Jajuli
3. Deden Nurhayadi, S.Hut.
4. Sophia Pujiastuti

iii

Tajuk Utama

PENGEMBANGAN EKSPOR PRODUK

HASIL HUTAN BUKAN KAYU
BERBASIS

TANAMAN HUTAN

I. PENDAHULUAN
Hutan adalah suatu ekosistem tumbuhan dan hewan
yang tumbuh dan hidup berkembang pada suatu lahan,
dimana flora dan fauna yang berada di tempat itu saling
berinteraksi secara alami tanpa ada unsur campur tangan
manusia, sehingga membentuk suatu kestabilan formasi,
biodiversitasnya dan produktivitasnya. Pada setiap
tahapan waktu secara alami sering mengalami perubahan
yang selalu berkembang dalam keseimbangan, pada setiap
tahapan ini sering disebut sere (Odum, 1964). Setiap sere
akan selalu berkembang mencapai puncaknya yang stabil
dalam perkembangan suksesinya. Pemanfaatan tanaman,
bagian tanaman, hewan atau satwa pengisi formasi hutan
oleh manusia sebagai penyangga kebutuhan natura dan
kehidupan, maka setiap waktu itu pula mengalami
d i n a m i k a p e r u b a h a n fo r m a s i m e n u j u s u a t u
kesetimbangan ekologisnya. Jika frekuensi perubahan itu
dalam waktu singkat sudah tinggi akan terjadi penurunan
formasi dan nilai biodiversitasnya, tentu akan terjadi
perubahan yang sangat drastis, bukan lagi di sebut sebagai

ekosistem hutan. Oleh karenanya dalam pengelolaan
hutan yang terkait dalam pemanfaatannya, pemerintah
menetapkan suatu kebijakan pengaturan pemanfaatannya
terutama dalam hal pemungutan material dari dalam
hutan, diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
Minyak atsiri, resin, minyak lemak, getah getahan,
madu, kulit-kulit kayu, serta rempah merupakan hasil
hutan bukan kayu (HHBK) pada awal kehidupan manusia
juga berasal dari hutan, dalam perkembangannya untuk
memudahkan pemungutan dan meningkatkan
produktivitas karena memberikan nilai komersial, oleh
masyarakat dibudidayakan yang semula dalam skala kecil
di pekarangan, kebun dan meluas menjadi suatu areal
pertanaman perkebunan yang luas. Minyak atsiri, madu,
resin, rotan dan bambu merupakan salah satu unggulan
sebagai hasil hutan bukan kayu.
Potensi hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat
besar sekali baik volume maupun ragam jenisnya. Secara
umum hasil hutan bukan kayu dikelompokkan menjadi 8
2

DOMINICUS MARTONO
& DJENI HENDRA
Pustekolah-Bogor

(delapan) kelompok komoditas sesuai Permenhut No.
35/2007 yaitu :
1. Kelompok Resin
2. Kelompok Minyak Atsiri
3. Kelompok Minyak Lemak, Pati dan Buahbuahan
4. Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah
5. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias
6. Kelompok Palma dan bambu (rotan, bambu dan
lainnya)
7. Kelompok Alkaloid
8. Kelompok Lainnya.
Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan
hutan secara lestari sangat besar terutama dalam upaya
pembangunan masyarakat sekitar hutan dan konservasi
sumberdaya alam secara bersamaan. Arnold dan Ruiz
Perez (1998) menyatakan bahwa :
a. Hasil hutan bukan kayu akan lebih banyak memberi
manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya
yang tinggal di sekitar hutan, karena hutan mampu
menyediakan berbagai keperluan kehidupan seperti
sumber makanan, obat-obatan, bahan sandang dan
perkakas rumah tangga. Di samping itu akan
mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga
kelestariannya.
b. Dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu relatif lebih
kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan
pembalakan kayu (logging).
Berawal dari pengertian dan pandangan ini berbagai
pihak memberi perhatian dan melakukan berbagai
kegiatan pengembangan maupun juga penelitian yang
bertujuan untuk pengembangan dan pemanfaatannya
untuk pengusahaan hasil hutan kayu. Kenyataannya hasil
yang diperoleh atau direkomendasikan, jika dilakukan
secara meluas sering terjadi kontradiktif yang justru
menimbulkan dampak yang merugikan, bahkan
menurunkan kualitas hutannya sendiri. Hal tersebut
terjadi karena setiap kegiatan yang dilakukan dengan
metodologi yang beragam (Ruiz Perez and Byron, 1999).
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

Kegiatan-kegiatan pengusahaan hasil hutan bukan
kayu dan pengembangannya secara umum memiliki
keterbatasan karena tanpa memperhitungkan karakteristik biofisik lokasi kegiatan serta faktor-faktor yang
sangat mungkin mempengaruhi dalam mencapai
keberhasilan pengusahaan hasil hutan bukan kayu
tersebut (Godoy et al., 1993).
Dengan keterbatasan sifat hasil hutan kayu tersebut di
atas, saran, kesimpulan ataupun rekomendasi dari hasil
suatu penelitian umumnya bersifat spesifik pada lokasi
dan keadaan di tempat penelitian itu dilakukan dan sering
berbeda jika di aplikasikan secara meluas. Pengembangan
pengusahaan hasil hutan bukan kayu, sebenarnya masalah
pelestarian masih belum sepenuhnya dipahami. Jika
pengusahaan dilakukan terus secara kontinyu, belum
tentu memberi nilai tambah dan manfaat bagi masyarakat
di tempat itu (Martono, 2010). Untuk itu masih diperlukan
suatu pendekatan lagi yang dipadukan dengan suatu
kegiatan secara holistik menyeluruh segala aspek perlu
dikaji yang lebih mendalam.
II. KONDISI PENGUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU
SAAT INI
Permasalahan dalam pengusahaan hasil hutan bukan
kayu diantaranya yaitu :
1. Regulasi dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
masih terbatas, belum dapat menjangkau untuk setiap
komoditas yang akan diatur dalam regulasinya karena
keterbatasan sumber informasi penyebaran, potensi,
dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatannya.
2. Informasi potensi dan kelayakan usaha belum
memadai, belum cukup data pendukung untuk
regulasi. Jaringan pasar komersial untuk menyerap
hasil produksi belum tersedia dan pelaku usaha masih
tidak jelas selalu berubah.

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

3. Belum optimalnya peran kelembagaan untuk mendorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
4. Dukungan teknologi pengolahan, teknik budidaya dan
rantai pemasaran hasil hutan bukan kayu belum
memadai serta keterbatasan sumber daya manusia
yang mengelolanya.
5. Standarisasi produk masih belum memadai, teknologi
pada setiap komoditas bervariasi sehingga peningkatan kualitas untuk setiap komoditas perlakuannya berbeda yang menyulitkan tenaga pembinaan lapangan
pada industri primernya.
6. Dalam meningkatkan pengembangan usaha komoditas
hasil hutan bukan kayu akses permodalan yang sulit,
tingkat teknologi pengolahan di lokasi yang terpencil
sering kesulitan mendapatkan sarana penunjang
dalam penerapan teknologinya, untuk membantu
akses pemasaran dan pembinaan pada daerah yang
menyebar luas dan terpisah pisah karena kondisi
geografis sulit dilakukan.
Berbagai tipologi pengusahaan hasil hutan bukan kayu
selalu berbeda sehingga penerapan regulasi, pembinaan,
akses bantuan kelembagaan sering terkendala masalah
geografis dukungan sarana tranportasi yang masih sangat
minim menyebabkan tersendatnya untuk mengembagkan. Unggulan komoditas hasil hutan bukan kayu dari
suatu daerah belum tentu akan berhasil jika diterapkan
pengusahaan untuk daerah lain, hal ini sangat terkait
masalah dukungan berbagai faktor yang juga mempengaruhi selain sumber daya manusianya sendiri.
Demikian juga sarana transportasi untuk aktifitas produksi
dan pemasarannya.
Pada setiap komoditas hasil hutan bukan kayu sistem
produksinya mempunyai karakter yang berbeda diantara
jenis hasil hutan bukan kayu (misal masoi, kulit kulilawan,
pakanangi, damar mata kucing, nilam, kenanga, madu)
sehingga penetapan regulasi serta pembinaannya juga
tidak sama, hal ini sering masyarakat melihatnya bahwa
aturannya tidak jelas atau berubah-ubah yang menyebabkan lambatnya pengembangan. Pada komoditas pertanaman yang menghasilkan resin, minyak atsiri, rempahrempah, minyak lemak keadaannya juga sama, pengaturan
penerapan perizinan pemungutan terutama yang berasal
dari hutan perlu dikaji untuk setiap daerah (Martono,
2010).
Kondisi sosial ekonomi suatu daerah yang terkait
dengan budaya adat setempat dalam penerapan untuk
pengusahaan hasil hutan bukan kayu, regulasi dan
pembinaannya tidak dapat disamakan secara merata sama
(general), hal tersebut sering menimbulkan kasus yang
hubungan antar masyarakat menjadi tidak sinergis. Kondisi
ini dalam penetapan kebijakan harus perlu dikaji untuk
mendapatkan solusi yang lebih baik, sebagai contoh
pengusahaan pemungutan damar mata kucing di daerah
Krui Lampung tidak sama dalam penerapan di Sumatera
Utara atau Kalimantan Barat, karena di Krui kelembagaan
antar pemangku kegiatan sudah tertata dan rantai
3

pemasaran stabil. Keadaan tersebut pada beberapa aspek
secara umum untuk setiap komoditas hasil hutan bukan
kayu mempunyai karakteristik yang berbeda, menjadikan
hambatan dalam pengembangan. Nilai tambah dalam
pengusahaan hasil hutan bukan kayu masih rendah karena
masyarakat hanya memungut atau memproduksi masih
bersifat bahan mentah, belum mengalami pengolahan
lanjutan yang dapat langsung diperlukan konsumen akhir.
Hal ini terlihat seolah-olah tidak memberi kontribusi
masyarakat yang mengusahakan untuk meningkatkan
pendapatan.
III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN HASIL
HUTAN BUKAN KAYU

pemasaran hasil hutan baukan kayu
yang belum diolah ke pasar dalam
negeri sebagai bahan baku untuk
komoditi yang bersifat komersial.
d. Peraturan Pemerintah No 59 / 1998 :
bahwa pengenaan tarif untuk hasil
hutan bukan kayu dimasukkan sebagai
Pendapatan Negara Bukan Pajak pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan besarnya
patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) diatur pada
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag No. 08/
M-DAG/PER/2/2007).

Dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu telah
diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, secara
tertulis bahwa pengusahaannya jelas dalam pengaturan
pemungutan, baik pada berbagai kondisi dan tipe hutan
sumber penghasil hasil hutan baukan kayu yaitu tertuang
pada :
1. Pasal 26 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan
pemungutan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari
dalam kawasan hutan lindung, langkah dan pengaturan
pemanfaatan yang dijinkan.
2. Pasal 27 : berisi tata aturan ijin pemungutan hasil hutan
bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan
ataupun dalam koperasi.
3. Pasal 28 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan
usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu dapat juga dilakukan pada kawasan hutan
produksi selain pemanfaatan kayunya.

Dalam pelaksanaan agar efektif pelayanannya, maka
kepada Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengatur,
membina dan mengembangkannya.
Dalam ijin usaha yang dimaksud pada Permenhut No
35/2008 (P.35/Menhut-II/2008) pengertian ijin usaha
industri primer hasil hutan bukan kayu, adalah ijin untuk
mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi satu atau
beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang
diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang
berwenang. Atas dasar tenaga kerja yang terlibat dalam
usaha ini dikelompokkan atas dasar skala usaha yaitu :
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil jika
tenaga kerja kurang dari 50 orang.
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala
menengah jika tenaga kerja 50 s/d 100 orang
Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala besar
jika tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Dari aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan secara
rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 6 Tahun 2007
yang secara rinci menyebutkan :
a. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 26 yaitu
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung,. Sedangkan pada pasal 43 pengaturan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam
produksi dan pasal 44 pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu pada kawasan hutan tanaman yang dikelola.
b. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 117 - 120
: berisi mengatur pengendalian dan pemasaran hasil
hutan melalui penataan hasil hutan secara umum.
Untuk penetapan jenis serta pengukuran volume
ataupun berat dan jumlah dilakukan oleh petugas yang
berwenang yaitu aparat kehutanan setempat yang
ditunjuk dan diserahi kewenangan setelah mendapat
sertifikasi sebagai penguji. Pengeluaran dokumen yang
menerangkan dalam Surat Keterangan tentang Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH) untuk mengiringi dalam dokumen
pengangkutan material fisik atas dasar kesesuaian dari
hasil pengukuran dan pengujian aparat yang ditunjuk.
c. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 121 :
berisi mengatur, membina dan mengembangkan

Dalam pelaksanaan berusaha setiap pemegang ijin
harus mempunyai Tanda Daftar Industri (TDI) yang
penerbitannya di lakukan oleh pihak Pemerintah Daerah
(Bupati/Walikota), mekanismenya diserahkan pengaturan
pihak pemerintah daerah setempat. Upaya pemberian ijin
usaha sebagai pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan, dalam pemberdayaan dan mensejahterakan, tumbuhkan kesadaran menyangkut untuk pemeliharaan kawasan hutan yang berada disekitar tempat
tinggal. Selain itu, meningkatkan devisa dan terciptanya
lapangan kerja, pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan
secara optimal didukung kemajuannya agar pengembangan daerah juga sejalan dengan perkembangan usaha di
tingkat pusat. Dalam kaitan pengembangan usaha hasil
hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, tentunya
perlu kejelasan pertelaan jenis-jenis tanaman hutan
sebagai penghasil produk tersebut, agar dicapai kesepakatan bagi aparat di daerah dalam pemberian ijin
usaha.
Adapun jenis-jenis tanaman penghasil minyak atsiri
disajikan pada tabel 1.
Pada hakekatnya, pemanfaatan produk hasil hutan
bukan kayu lain, misalnya kulit gemor untuk obat nyamuk,

4

Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35)
No

Nama Indonesia

Nama Latin

Produk

1.

Akar wangi

Andropogon aciculatus

Minyak akar wangi

2.

Cantigi

Gaulsharia fragantisisima

Minyak gandapura

3.

Cendana

Santalum album

Minyak cendana

4.

Cendana semut

Exocarpus latifolia

Minyak cendana

5.

Ekaliptus

Eucalyptus spp

Minyak ekaliptus

6

Gaharu

Aquilaria spp ; Gyrinops spp ; Gonystilus

Minyak gaharu

spp; Enkleia spp ; Actoxylon spp;
Wkstromia spp
7

Kamper

Cinnamomum camphora

Minyak kamper

8.

Kayu manis

Cinnamomum burmanii ; C zeylanicum

Minyak kayu manis

9.

Kayu putih

Melaleuca cayuputi

Minyak kayu putih

10.

Kembang mas

Asclepias curassava

Minyak kembang mas

11.

Kenanga

Cananga odoratum

Minyak kenanga

12.

Keruing

Dipterocarpus sp

Minyak keruing

13.

Kilemo

Litsea cubeba

Minyak kilemo

14.

Lawang

Cinnamomum cullilawan

Minyak lawang

15.

Masohi

Cryptocarya masoi

Minyak masohi

16.

Pakanangi

Cinnamomum

Minyak pangi

17.

Sintok

Cinnamomum sintok

Minyak sintok

18.

Trawas, krangean

Litsea odorifera

Minyak trawas

19.

Tusam

Pinus merkusii

Terpentin

20.

Ylang-ylang

Cananga latifolia

Minyak ylang-ylang

getah penambal lambung perahu kayu, minyak lemak,
minyak atsiri yang berasal dari tanaman hutan masih
banyak lagi namun belum tergali dan teridentifikasi serta
diperdagangkan secara luas, sehingga dalam pengembangan minyak atsiri selama ini terbatas dari usaha yang
telah dilakukan oleh masyarakat adat ataupun oleh masyarakat sekitar hutan, demikian juga madu serta minyak kayu
putih, minyak lemak kemiri, minyak krangean lokal daerah.
Sehingga pihak aparatur pemerintah hanya memfasilitasi
serta mengarahkan untuk pengaturan kelestarian sumber
daya alam agar tetap lestari. Sedangkan yang bersifat
eksploratif masih dikembangkan, namun sejauh ini hanya
terbatas pada kegiatan penelitian, belum dapat dilepas
sebagai komoditas perdagangan bebas. Demikian juga
potensi dan keragaman jenis masih banyak belum tergali
secara optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia
yang menekuni bidang hasil hutan bukan kayu, hanya
sedikit dan tersebar di beberapa daerah di propinsi.
Sehingga jalinan komunikasi untuk saling berinteraksi dan

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

tukar informasi terkendala, untuk saling memajukan
kegiatan pengembangan di bidang hasil hutan bukan kayu.
IV. PENETAPAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN
Untuk mengembangkan hasil hutan bukan kayu
mengingat jenis komoditas sangat banyak mencapai ± 565
komoditas berdasar Permenhut P.35 /Menhut-II/2007,
maka ditetapkan fokus pada jenis unggulan setiap daerah,
penetapan jenis unggulan ini tentu didasari pertimbangan
dan sumber informasi mengenai potensi, peluang untuk
pengembangan serta pelaku usaha pada komoditas
tersebut. Penetapan indikator ini didasarkan atas indikator
dan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No. P 21/Menhut-II/2009 yaitu berupa :
1. Aspek yang dinilai mencakup kriteria : ekonomi, kondisi
biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi yang tercurah dalam pengusahaannya, setiap
kriteria diberi pembobotan, pembobotan meliputi :
5

2. Kriteria ekonomi diberi pembobotan cukup tinggi yaitu
35 %, mencakup nilai perdagangan ekspor, nilai
perdagangan lokal, telah tersedia pasar internasional,
sehingga berbagai kebijakan yang mendukungnya akan
berdampak pada pemasukan devisa tinggi, maupun
peningkatan perekonomian yang mencakup wilayah
serta tenaga kerja dan pelaku usaha tersebar luas.
3. Pembobotan kriteria biofisik dan lingkungan sebesar
15%, meliputi jika komoditas ini diusahakan jaminan
kelestarian biofisik terjaga dan lingkungan yang ada
tetap mendukung jika nilai pembobotan ini rendah
maka pemulihan ekosistemnya masih dapat teratasi.
Terbaik jika masyarakat telah menbudidayakan diluar
areal kawasan hutan.
4. Kriteria kelembagaan sebesar 20%, pembobotannya
meliputi apakah alur tataniaga dan pelaku usahanya
tetap, teridentifikasi secara jelas, sebagai bentuk
badan usaha yang tetap sehingga dalam pembinaan ke
pelaku usaha dapat berjalan lancar dan baik.
5. Pembobotan kriteria sosial 15%, mencakup bagaimana
peranannya dalam tata kehidupan masyarakat
memberi pengaruh terhadap lapangan pekerjaan,
tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat serta
tidak bertentangan dengan adat setempat .
6. Pembobotan kriteria teknologi 15%, mencakup nilai
kegiatan untuk mengusahakan komoditas tersebut,
teknologi yang tercurah dalam proses pengolahannya
masih dapat terjangkau bagi pelaku usaha, baik
kemampuan sumberdaya manusia maupun modal
yang digunakan secara keseluruhan tidak lebih dari
nilai 15%, artinya tidak mempengaruhi proses secara
keseluruhan.
7. Atas dasar nilai-nilai pembobotan tersebut untuk
setiap komoditas, diberikan nilai skoring, sehingga
dapat ditetapkan jenis komoditas unggulan pada setiap
provinsi, kabupaten / kota dan lokasi.
Dalam pengembangannya sesuatu jenis komoditas
dapat menjadi sentra jika unggulan ini memberikan
manfaat dan peningkatan kemajuan perekonomian pada
lokasi daerah penghasil hasil hutan kayu unggulan. Untuk
pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan,
dibentuk klaster-klaster agar pengembangan sarana dan
infra struktur dan pembinaan lebih mudah dan terpantau
terus. Pembentukan klaster ini oleh Kementerian
Kehutanan telah ditetapkan sedikitnya memerlukan waktu
5 (lima ) tahun, dengan pengertian pada tahap I (3 tahun
pertama) persiapan infra struktur, tahap II (tahun ke 4)
tahapan produksi masal sesuatu komoditas di tempat
tersebut dan tahap III (tahun ke 5) kegiatan pengembangan
produksi dan inovasi-inovasi kemajuan produksi.
Pembentukan klaster ini akan terbentuk sentra produksi,
sehingga dapat dikembangkan one village one products
(OVOP), misal sentra madu lebah di Sumbawa, sentra
rotan di Katingan dan sentra bambu di Bangli serta sentra
gaharu di Bangka Belitung. Dalam kaitan inilah
peningkatan produksi dan kualitas dapat terfokus pada
sentra tersebut.
6

V. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK HASIL HUTAN
BUKAN KAYU UNTUK EKSPOR
Pengembangan pertanaman yang menghasilkan
minyak atsiri, resin, kulit kayu, getah maupun produk
lainnya yang berasal dari tanaman hutan, tidak terlepas
dengan program penetapan unggulan yaitu terkait dengan
kriteria, agar segala program dapat saling terkait dan
mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia,
kelembagaan yang terkait dengan penerapan teknologi
dan kelancaran berproduksi. Hal tersebut perlu didukung
permodalan, sehingga nilai ekonomi yang telah ditetapkan
dapat memberikan hasil dan dapat meningkatkan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat ditempat penghasil.
Akhirnya akan mampu berdaya saing, baik tingkat nasional
maupun internasional (Martono, 2010). Selain itu, juga
tidak terlepas keseimbangan dalam pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu agar tetap lestari dan tetap memberikan
nilai tambah. Peningkatkan diversifikasi produk lanjutan
agar tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah saja.
Namun sudah menjadi bahan antara atau dapat dipakai
oleh konsumen, sehingga perlu memacu pengembangan
variasi produk dari jenis unggulan. Kestabilan harga pasar
agar lestari perlu menyeimbangkan pasokan dan
kebutuhan. Mengingat selama ini produk hasil hutan
bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, jika
pemungutan berlebih akan menurunkan harga jual.
Pemikiran selama ini, secara umum ketersediaan di
lapangan, orang beranggapan tinggal memungut, maka
pihak aparat pemerintah setempatlah yang mengatur ijin
pemungutan, peredaran dan pemasarannya. Dengan
demikian, pemungutan akan terkendali, diikuti
peningkatan dan fasilitasi budidaya, sehingga dibentuklah
program pelatihan teknik budidaya, pelatihan pengolahan
bahan baku yang lebih efisien dan tetap sesuai standar
produk yang telah ditetapkan dalam Standard Nasional
Indonesia (SNI), misal standar gaharu, standar
gondorukem (terpentin), standar minyak kayu putih,
standar madu, standar minyak gandapura dan lainnya.
Pengembangan hasil hutan bukan kayu yang bebasis
tanaman hutan, telah ditetapkan sesuai pengembangan
kehutanan secara umum, yaitu landasan hukumnya
mengikuti Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007,
mengatur legalitas perhutanan sosial dalam kawasan
hutan negara sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilakukan melalui Hutan Kemasyarakatn (HKm),
Hutan Desa (HD) dan pola Kemitraan. Adapun kegiatan
yang berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatn mengikuti
Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut -II/2007
serta Peraturan Menteri Kehutanan pada Permenhut
No.P.18/Menhut-II/2009 dan Permenhut No. P 13/
Menhut-II/2010 yaitu dapat dilakukan pada kawasan
hutan dan diluar kawasan, baik pada kawasan hutan
produksi mapun kawasan yang dicadangkan sebagai zona
penyangga.Pada kawasan taman nasional maupun pada
kawasan hutan lindung, pemanfaatan untuk mengusahakan lahan yang diatur oleh pihak pemerintah daerah
dengan tetap sesuai program dari pusat, yaitu tetap
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

DAFTAR PUSTAKA
Arnold, J.E. and M, Ruiz Perez. 1998. The role of Non
Timber Forest Products in conservation and
development pp. 17-41 in Income from the forest
Wolenberg, E. and A. Ingles (eds) CIFOR/IUCN Bogor
Indonesia.
Badan Pusat Statistik, 2004. Perkembangan ekspor minyak
atsiri Indonesia 1999-2003. Jakarta.
Bina Produksi Kehutanan, 2009. Kebijakan pemungutan
hasil hutan bukan kayu. Seminar Sosialisasi
Pengusahaan Hasil Hutan Kayu. Direktorat Pengolahan
dan Pemasaran. Swiss Bell Hotel, Palu Juni 2009.
Departemen Pertanian, 1999. Statistik Perkebunan
Indonesia 1998-2000, Jakarta.
menjaga fungsi, tidak berubah dari fungsi sebelumnya,
dan ttap memperhatikan keterkaitan dengan masyarakat
sekitar hutan tersebut. Sebagai pelaku usaha dapat
membentuk koperasi maupun kelompok atau gabungan
dari beberapa kelompok tani, yang mengusahakan
diantara pertanaman pohon hutan (dapat berupa
tumpang sari) asalkan pada areal tersebut belum
terbebani izin pemanfaatan lain atau izin pengelolaan lain.
Selain itu dapat dikembangkan sebagai Hutan Desa yaitu
pada kawasan hutan yang kondisinya rusak tetapi dapat
dimanfaatkan untuk pertanaman usaha budidaya
tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, justru bagi
kelompok inilah yang diberi bantuan permodalan berupa
kredit ringan dengan pengembalian berjangka sesuai lama
pengusahaan. Hingga saat ini pihak pemerintah
(Kementerian Kehutanan) telah mentargetkan sebesar
400.000 hektar namun baru terealisasi, setelah di evaluasi
dan diverifikasi tahun 2010 seluas 203.573,18 Ha, pada 17
Provinsi, 46 kabupaten. Hingga tahun 2010 perluasan
tanaman hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan telah
ditetapkan berdasar SK Menhut seluas 31.879,36 ha
meliputi 88 unit pada 11 kabupaten (Ditjen RLPS, 2010).
Hal tersebut pada hakekatnya sebagai upaya
pelaksanaan program komitmen RI di tingkat
internasional, yaitu penurunan emisi sebesar 26% dan
pihak Kementerian Kehutanan sebesar 14%, dalam bentuk
pembangunan hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa,
hingga tahun 2014 target 2,5 juta hektar (Renstra
Kementerian Kehutanan). Untuk pembangunan kegiatan
ini telah ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu Perdirjen
RLPS P.01/2010. Untuk mendukung program ini telah
ditetapkan juga kebun bibit rakyat 50 ribu hektar dengan
target tahun 2010 sebanyak 8.000 desa untuk dapat
melaksanakan kegiatan tersebut. Diharapkan dengan
strategi tersebut pengembangan pertanaman penghasil
hasil hutan bukan kayu berbasis tanaman hutan juga
memacu pengembangan kehutanan secara umum dalam
pengurangan emisi nasional.

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Godoy, R. R.Lubowski and A.Markandya. 1993. A Method
for the economic valuation of Non Timber Forest
products. Econ.Bot.47 (3)220-233.
Gunther, E. 1952. The Essential Oils, Vol. IV, Van Nastrand
co, Inc. New York.
Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.48 .tentang Pembentukan Hutan
Desa.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan
No. P. 35. tentang penetapan jenis-jenis hasil hutan
bukan kayu yang dapat diusahakan.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2007. tentang Legalitas Pehutanan Sosial dalam
Kawasan Hutan Negara.
Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan
No. 37 tentang Pembentukan Hutan Kemasyarakatan.
Martono,D. 2010. Pengembangan Industri Minyak Atsiri
Berbasis Tanaman Hutan. Prosiding Konferensi
Nasional Atsiri. Dewan Atsiri Indonesia, 21-24 Oktober
2010, Bandung.
Odum, E.P. 1971.Fundamental of Ecology, 3'd
Ed.W.B.Saunders Company San Fransisco pp. 128-137,
145-195.
Rohadi, D. B. Belcher, M, Ruis Perez dan R, Achdiawan.
1999. Studi perbandingan kasus-kasus pengusahaan
hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Seminar Ekspose
Hasil-hasil Penelitian Kerja sama Luar Negeri. Badan
Litbang kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 24-25
Nopember 1999.

7

Tajuk Utama

HHBK Minyak Lemak,

Potensi Yang Perlu DIKEMBANGKAN
Oleh:
Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis
Email: ary_301080@yahoo.co.id

D

engan makin terbatasnya jumlah dan izin eksploitasi
kayu, maka produk-produk non kayu terus coba dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun sektor
swasta. Dalam perkembangannya, beberapa produkproduk non kayu, atau lebih dikenal sebagai Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) termyata memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi. Diantaranya adalah gaharu, damar, rotan,
tengkawang, kemiri, kluwek (picung) dan nyamplung.
Keluanya Peraturan Menteri Kehutanan nomor:
P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) telah menjadi payung dalam kegiatan penelitian
dan pengembangan HHBK di Indonesia. Mengacu pada
Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani
beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang
berasal dari hutan.
Salah satu HHBK yang potensial untuk dikembangkan
berdasarkan Kepmenhut tersebut adalah HHBK minyak
lemak. Secara keseluruahn ada 19 produk hasil hutan
hutan yang menghasil minyak lemak dalam Kepmenhut
tersebut dengan berbagai fungsinya. Secara garis besar,
pemanfaatan minyak lemak tersebut terbagi menjadi lima
kategori utama, yaitu sebagai bahan makanan, obat,
energi, kosmetik dan material lainnya. Berdasarkan
bagian tumbuhan yang diambil, terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu biji, buah dan daun. Berikut adalah 19 jenis
HHBK penghasil minyak lemak beserta kegunaannya.
1. BALAM ( Palaquium walsurifolium ), Famili:
Sapotaceae
Balam adalah jenis tumbuhan langka asli Indonesia
yang tersebar di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan
Kalimantan Timur. Jenis ini dikenal dengan banyak nama,
yaitu Balam, Suntai, Balam Putih, dan Balam Suntai.
Tumbuhan ini di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Beitis,
Margetahan, Nyato, Nyatoh, Nyatoh Jangkar. Nama
Nyatoh juga digunakan untuk menyebut jenis ini di
Malaysia.
Balam adalah salah satu jenis langka yang dilindungi
sejak tahun 1972 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 54/Kpts/Um/2/1972). Jenis yang
8

memiliki kayu bernilai ekonomi tinggi ini belum dibudidayakan oleh masyarakat, dan tidak termasuk dalam jenis
yang dikembangkan melalui hutan tanaman.
Biji balam mengandung minyak lemak 30-45 % tergantung dari teknik pengolahannya. Lemak dari biji balam
memiliki rasa pahit sehingga tidak digunakan untuk
makanan. Masyarakat tradisional di Bengkalis memanfaatkan lemak ini sebagai bahan bakar obor.
Pemanfaatan lain dari jenis balam adalah sebagai
bahan baku kayu pertukangan. Kayu balam termasuk jenis
komersil yang memiliki kualitas yang baik dengan kelas
awet IV dan kelas kuat II.

BALAM

2. BINTARO (Cerbera manghas). Famili: Apocynaceae
Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo
Pasifik, mulai dari Seychelles hingga Polinesia Perancis.
Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah lain selain Cerbera
manghas, yaitu Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera,
dan Odollamia manghas (L.) Raf. Sylva Telluriana.
Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai
dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Maluku. Jenis ini juga dikenal dengan berbagai nama
daerah antara lain Kanyeri Putih (Bali), Bilutasi (Timor),
Wabo (Ambon), Goro-goro guwae (Ternate), Madangkapo
(Minangkabau), Bintan (Melayu), Lambuto (Makasar) dan
Goro-goro (Manado).
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

BINTARO

Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang
cukup tinggi yaitu mencapai 54,33%. Kandungan minyak
tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk
dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap 1 kg minyak
Bintaro dapat dihasilkan dari 2,9 kg biji bintaro yang
didapat dari 36,4 kg buah bintaro tua.
Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat
dikembangkan sebagai briket arang. Cangkang pada buah
bintaro yang dapat dimanfaatkan sebagai briket arang ini
dapat berasal dari buah muda maupun tua. Setelah
cangkang di jemur, kemudian dikarbonisasi serta ditumbuk
agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk
menjadi briket dengan menambahkan perekat.
Buah bintaro tidak dapat dimanfaatkan sebagai
makanan karena mangandung racun. Nama cerberra pada
nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan cerberin
pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang
merupakan racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan
bahkan menyebabkan kematian. Oleh karenanya buah
bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan
racun untuk berburu.
Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan
pada buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya.
Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan
300 kg buah setiap tahun. Berat biji bintaro sekitar 79,7
gram dari setiap kilogram buah bintaro tua. Sejauh ini
pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan
dan belum diketahui potensi produksi buah bintaro di
Indonesia.
3. BUAH MERAH (Pandanus conoideus), Famili:
Pandanaceae
Buah merah dikenal sebagai tanaman yang banyak
tersebar di Papua dan Papua Nugini. Persebarannya di
Papua meliputi daerah Baliem Wamena, Talikora,
Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, Sorong dan
Manokwari. Tanaman ini di Wamena dikenal dengan nama
Sauk Eken atau Kuansu dan di Lembah Baliem disebut Tawi.
Buah merah saat ini telah dikembangkan di beberapa

BUAH MERAH

KEMIRI

wilayah di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan
Sumatera.
Bagian daging biji buah merah dapat menghasilkan
minyak lemak hingga 51% per berat kering kernel. Pada 3
jenis buah merah yang unggul, yaitu Mbarugum, Maler
dan Magari, ekstrak minyak yang dihasilkan cukup tinggi
dengan rata-rata 120 ml/kg buah atau rendemen minyak
15%. Berdasarkan produktifitasnya, ketiga jenis buah
merah unggul ini dapat memproduksi 5-10 butir buah per
rumpun, dengan ukuran buah cukup besar yaitu diameter
10-15 cm dan panjang 60-110 cm. Buah merah dapat
memproduksi buah mulai 3-5 tahun dengan umur buah
sampai panen 3-4 bulan.
Ekstrak buah merah dapat dimanfaatkan sebagai obat,
makanan suplemen dan bahan material. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh beberapa ahli kesehatan dan gizi
menunjukkan bahwa ekstrak buah merah mengandung
antioksidan dan senyawa lain penangkal terbentuknya
radikal bebas dalam tubuh. Minyak buah merah terbukti
secara medis dapat mengobati beberapa penyakit seperti
kanker, HIV, malaria, kolesterol dan diabetes. Selain itu
minyak buah merah juga dapat dimanfaatkan sebagai
penyedap masakan yang bernilai gizi tinggi (mengandung
beta-karoten), serta dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
alami yang tidak mengandung logam berat dan
mikoroorganisme yang berbahaya.
Ekstraksi minyak pada buah merah dapat dilakukan
dengan teknik sederhana, yaitu dengan menumbuk biji
atau menggunakan alat tekan. Sebelumnya biji buah
merah dipisahkan dari empulurnya. Bagian daging biji
buah merah inilah yang mengandung minyak. Daging biji
buah merah setelah ditumbuk diberi air secukupnya
kemudian disaring dan dimasak. Selama proses
pemasakan, dilakukan pengadukan dan penambahan air.
Minyak akan terbentuk setelah air mendidih, selanjutnya
dilakukan penyaringan 3-4 kali hingga didapatkan minyak
yang bersih.
4. CROTON (Croton argyratus), Famili: Euphorbiaceae
Croton merupakan salah satu tanaman yang dikenal di
wilayah bagian barat Indonesia. Di pulau Jawa, jenis ini
umumnya ditemukan di daerah pegunungan rendah.
Croton juga dikenal dengan beberapa nama daerah seperti
“Jarakan” (Banjarmasin), “Kayu Bulan” (Palembang), “Ki
Jahe”, “Calik Angin” (Sunda), “Prakosa”, “Tapen”, “Walik
Angin” (Jawa), dan “Pas-kapasan” (Madura).

KENARI

KETAPANG

KELOR

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

9

Masyarakat Banten pada jaman dulu menggunakan biji
croton untuk minyak lampu. Kayu croton memiliki kualitas
yang rendah, tetapi masyarakat kadang menggunakan
untuk kontruksi ringan pada bangunan rumah.
5. KELOR (Moringa oleifera), Famili: Moringaceae
Kelor merupakan tanaman yang disebut berhabitat asli
di bagian barat Himalaya. Tanaman ini banyak
dibudidayakan di daerah-daerah panas di seluruh dunia.
Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Aceh,
Kalimantan, Ujung Pandang dan Kupang.
Pohon kelor mulai berbuah pada umur 1 tahun setalh
penanaman. Pohon yang berumur 3 tahun dapat
menghasilkan 400-600 polong setiap tahunnya. Pohon
dewasa dapat menghasilkan 1600 polong per tahun.
Sementara itu beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa kadar minyak yang dihasilkan biji kelor mencapai
lebih dari 35 %.
Minyak lemak kelor memiliki potensi sebagai bahan
bakar nabati. Rendemen minyak kelor berkisar antara
21,38% sampai dengan 35,83%. Analisis pada minyak biji
kelor ini menunjukkan berat jenis sebesar 0,89-0,91 gr/ml,
kandungan asam lemak bebas (%FFA) 2,07-4,78%, nilai
angka penyabunan 8,56-107,54 mgKOH/g, bilangan asam
0,040-0,095 mgKOH/g, dan viskositas 29,36-54,99 cst.
Manfaat lain dari biji kelor adalah sebagai bahan
penjernih air. Biji kelor yang ditumbuk menjadi serbuk
dapat dimanfaatkan untuk koagulan alami dalam
pengolahan air bersih. Biji kelor dengan dosis 6 biji/Liter
dapat menurunkan kekeruhan hingga 90,46 % dan
menurunkan jumlah bakteri Coliform hingga 87,65%.
Sementara itu bagian akar, batang, buah dan daun
dikenal memiliki gizi tinggi dan menjadi sumber pangan
alternatif. Daun kelor adalah salah satu bagian tanaman
yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai lalapan. Setiap
100 gram daun kelor mengandung 3390 SI vitamin A (2 kali
lebih tinggi dari kandungan vitamin A pada bayam, dan 30
kali lebih tinggi dari buncis). Daun kelor juga mengandung
kalsium 440mg/100g dan fosfor 70mg/100g.
6. KEMIRI (Aleurites moluccana), Famili: Euphorbiaceae
Kemiri merupakan tanaman yang secara alami tersebar
di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan dan Brazil. Di
Indonesia tanaman ini tersebar hamper di seluruh daerah
mulai Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa
tenggara Timur, dan Papua. Nama Kemiri dikenal untuk

MAKADAMIA

menyebut tanaman ini oleh masyarakat suku Jawa dan
Melayu, yang kemudian sebutan ini lebih banyak
digunakan secara nasional. Namun demikian, tanaman ini
memiliki beberapa nama lokal seperti Kameri (Bali), Anoi
(Papua), Keminting (Kalimantan), Engas (Ambon), Sakete
(Ternate), Hagi (Buru), Kereh (Aceh), Hambiri (Batak),
Kemling (Lampung), Buah Koreh (Minangkabau) dan Sapiri
(Makasar).
Inti biji kemiri mengandung minyak dengan kadar
mencapai 60%. Setiap pohon kemiri dapat memproduksi
30-80 kg biji kemiri. Minyak biji kemiri ini dikenal sebagai
candlenut oil dalam perdagangan internasional. Minyak
kemiri dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu,
bahan cat dan pernis, pelapis kertas, dan bahan sabun.
Selain potensi minyak lemak, pohon kemiri yang
memiliki umur produktif mencapai 25-40 tahun ini
mempunyai beragam kegunaan pada hampir semua
bagian pohonnya. Kayunya yang cukup ringan, berserat
halus dan berwarna putih dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bakar, bahan baku pembuatan plywood, peti kemas,
korek api dan pulp. Daunnya digunakan oleh masyarakat di
Sumatera untuk obat sakit kepala dan gonnorhea.
Masyarakat Ambon dan Jawa menggunakan korteknya
(bagian tumbuhan yang terletak antara kulit luar dengan
silinder pusat) sebagai obat anti tumor, diare, sariawan dan
desentri. Buah kemiri dimanfaatkan oleh masyarakat luas
sebagai bumbu masak yang memiliki kandungan gizi dan
minyak yang tinggi. Daging biji, daun dan akar kemiri
mengandung saponin, flavonida dan polifenol.
7. KENARI (Canarium odoratum), Famili: Burseraceae
Kenari merupakan tanaman buah tropis yang tumbuh
di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia, Malaysia dan
Philipina. Di Indonesia, pohon kenari banyak terdapat di
Maluku, juga di beberapa daerah lain seperti Kangean,
Bawean, Flores, Timor, Wetar, Tanimbar, Sulawesi. Kenari
terdapat juga di beberapa kota seperti Bogor, Medan dan
Mataram yang ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir
jalan.
Satu pohon kenari dewasa dapat menghasilkan 50 kg
biji per tahun. Biji kenari pada umumnya mengandung 6070% minyak, tergantung pada varietas, tempat tumbuh
dan pemeliharaan yang dilakukan. Keping biji (kotiledon)
kenari sekitar 4,1 - 16,66% dari berat buah utuh. Kotiledon
tersebut selain mengandung 60-70% lemak, juga
mengandung sekitar 8 % karbohidrat dan 11,5-13,9%

NYAMPLUNG
PICUNG DAUN BIJI

10

Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro

SAGA POHON

LENA

NYATOH

protein.
Pohon kenari mempunyai beragam kegunaan. Kayunya
yang memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk dalam kelas
kekuatan III dan kelas keawetan IV dapat digunakan untuk
papan, bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai dan
papan dinding. Kulit batangnya mengeluarkan getah/resin
seperti damar jika diiris. Getah berwarna putih pada
awalnya, kemudian seperti lilin yang berwarna kuning
pucat dan bertekstur lunak. Minyak resin beraroma wangi
dan dapat dimanfaatkan untuk industri parfum atau
pewangi sabun meskipun hingga saat ini belum dilakukan
dalam skala luas. Minyak resin juga dapat dimanfaatkan
untuk pembersih rambut, bahan pembuatan dupa, serta
obat gosok untuk mengobati gatal-gatal. Pemanfaatan
getah/gum kenari yang lebih dikenal adalah untuk bahan
plaster farmasi daan salep serta memberikan sifat mantap
dalam vanish.
Manfaat lain yang cukup potensial dari jenis kenari
adalah pada bagian biji. Biji kenari mengandung asam
alpha-linolenic (ALA) yang merupakan salah satu tipe asam
lemak omega 3. Kandungan ALA dalam kenari lebih tinggi
dibanding sumber yang lainnya seperti kedelai, biji rami,
ikan laut dan beberapa sayuran hijau. Selain itu, biji kenari
juga mengandung zat anti peradangan (polifenol) yang
lebih tinggi daripada anggur merah, serta kaya protein
dbandingkan protein yang dikandung daging ayam.
Mengkonsumsi biji kenari diyakini dapat mencegah kanker
prostat, memperlambat dan menghentikan pertumbuhan
tumor, meningkatkan kinerja arteri, mengurangi kolesterol
buruk, meningkatkan pertumbuhan otot dan imunitas
tubuh, serta mengoptimalkan fungsi sel-sel otak.
8. K E TA PA N G ( Te r m i n a l i a c a t a p p a ) , Fa m i l i :
Combretaceae
Ketapang dikenal sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara
termasuk Indonesia, namun tanaman ini telah
dikembangkan di Australia Utara, Polinesia, Pakistan,
India, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar dan dataran
rendah Amerika Selatan dan Tengah. Di Indonesia,
tanaman ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia
kecuali di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan
yang jarang ditemukan di alam. Beberapa nama lokal
tanaman ini yang dikenal antara lain Hatapang (Batak),
Katafa (Nias), Katapieng (Minangkabau), Lahapang
(Simeulue), Ketapas (Timor), Atapan (Bugis), Talisei,
Tarisei, Salrise (Sulawesi Utara), Tiliso, Tiliho, Ngusu
(Maluku Utara), Sarisa, Sirisa, Sirisal, Sarisalo (Maluku),
Lisa (Rote), dan Kalis, Kris (Papua).
Biji ketapang dapat mengandung minyak dan dapat
dimakan. Biji ketapang memiliki rasa yang mirip dengan biji
almond dan berpotensi untuk mengganti biji almond
untuk bahan makanan kue. Biji ketapang mengandung
minyak sekitar 50% dari bobot biji kering. Minyak dari biji
ketapang berwarna kuning, mengandung asam-asam
lemak seperti palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam
linoleat, asam stearat, asam miristat, serta berbagai
macam asam amino.

FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013

Bagian lain dari pohon ketapang juga memiliki manfaat
yang beragam. Kayunya keras dan ulet, ringan sampai
sedang dengan berat jenis berkisar antara 0,47-0,68 dan
sering dimanfaatkan sebagai bahan lantai atau vinir. Di
Indonesia, kayu ketapang digunakan oleh masyarakat
pesisir sebagai bahan pembuatan perahu. Kulit batang dan
daun ketapang dapat dimanfaatkan sebagai penyamak
kulit dan pewarna alami. Daunnya dapat digunakan
sebagai oba