Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan
bangsa dan sumber daya manusia yang berkualitas. Sangat diperlukan pembinaan
sejak dini bagi anak yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Membentuk
suatu keluarga kemudian melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang.
Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni
kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan anak. Bagi setiap
keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling ditunggu–tunggu
kehadirannya, karena dengan hadirnya seoarang anak akan melengkapi kebahagiaan
sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah harapan bagi kedua orang tuanya.
Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa ”perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1 Menurut rumusan pasal
tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan
(anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang tua berkewajiban


1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1

Universitas Sumatera Utara

2

memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia, untuk
kepentingan itu manusia perlu melakukan pernikahan, dimana dari pernikahan
tersebut terjalinlah sebuah ikatan suami isteri yang pada gilirannya terbentuk sebuah
keluarga berikut keturunannya berupa anak-anak, dengan demikian kehadiran anak
tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan
yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia.

Lahirnya seorang anak dalam sebuah keluarga sangat ditunggu, rasanya
kurang lengkap sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam kasus
tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa
kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Dalam keadaan demikian berbagai
perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan
pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut selanjutnya
diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami isteri.
Ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural
maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak
tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak
bisa diperoleh secara alami tersebut, namun dalam setiap perkawinan tidak selamanya
dikaruniai keturunan, dikarenakan oleh suatu sebab dan lain hal. Maka dari itu bagi
pasangan yang ingin mempunyai anak namun tidak bisa melahirkan keturunan masih

Universitas Sumatera Utara

3

bisa memiliki anak dengan cara mengadopsi atau mengangkat anak. Anak yang akan
diangkat nantinya disebut sebagai anak angkat.

Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan
perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena tujuan dari
perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan,
yaitu anak. Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan
berbagai peristiwa hukum, misalnya ketiadaan keturunan data menyebabkan
perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang merupakan beberapa peristiwa
hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh
keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi perceraian,
poligami dan pengangkatan anak yang dilakukan didalam masyarakat mungkin
merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan, dikarenakan
tujuan perkawinan itu tidak tercapai.”2
Pengangkatan anak pada hakikatnya harus dipandang sebagai upaya untuk
meniru alam dengan menciptakan keturunan secara buatan atau artificial (adoption
naturam imitator), sehingga Rabel menyatakan “no institution can be designed as
adoption, unless it makes the child legitimate in relation to the adopting parent.”3
Jika pada mulanya yaitu dalam sistem dimana pengangkatan anak dipandang sematamata sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, akibat-akibat pengangkatan

2

Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali,

1983), hlm. 275
3
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, Bagian Pertama,
(Jakarta: Kinta 1969), hlm. 96

Universitas Sumatera Utara

4

demikian mendalam, hingga memutuskan hubungan antar anak angkat dengan orang
tua asalnya (adoptio plena), dengan perkembangan fungsi pengangkatan anak itu,
maka anak angkat tidak lagi dianggap seratus persen sebagai anak sendiri dari orang
tua angkatnya, melainkan dengan akibat yang terbatas, misalnya sekedar
menimbulkan hubungan pada pemeliharaan dan pendidikan saja (adoptio minus
plena).
Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak
terhadap orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan
menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap
anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Dibedakan
terlebih dahulu antara anak angkat, anak pungut dan anak asuh. Perbedaan dari

ketiganya yakni sebagai berikut:
1.

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

2.

Anak pungut adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua
yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan
untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan harta keluarga rumah
tangga.

3.

Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,


Universitas Sumatera Utara

5

karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar.4
Lembaga pengangkatan anak ini merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan
sekaligus memerlukan

suatu ketertiban dan ketuntasan dalam mekanisme

pelaksanaannya. Lembaga kemasyarakatan yang juga mempunyai fungsi sosial yang
tidak kecil artinya terhadap keluarga dan dampaknya kepada masyarakat keseluruhan,
maka eksistensi pengangkatan anak sebagai suatu lembaga hukum perlu mendapatkan
tempat yang lebih jelas. Hal ini mengingat bahwa pengangkatan anak ini disamping
telah dikenal dan dilakukan di Indonesia yang semula bertujuan untuk meneruskan
garis keturunan dalam suatu keluarga akan tetapi dewasa ini pengangkatan anak telah
dilakukan pula demi kemanusiaan, terlebih-lebih dalam perkembangan kemajuan
sekarang yang dibarengi pula efek negatifnya, maka peran lembaga pengangkatan
anak sebagai suatu lembaga hukum sangat besar artinya.

Anak merupakan generasi penerus yang sangat diharapkan dapat meneruskan
pembangunan suatu bangsa. Adanya lembaga pengangkatan anak yang minimal
melingkupi dua subjek yang berkepentingan, yakni orang tua yang mengangkat di
satu pihak dan si anak yang diangkat dilain pihak, dengan berbagai variasi latar
belakang pengangkatan anak itu sendiri adalah jelas menggambarkan bahwa
pengangkatan anak sebagai suatu lembaga yang dibutuhkan masyarakat yang padanya

4

Churry
Elmoena,
Pengertian
Anak
http://churryelmoena.blogspot.com/2013/02/makalah-masail-fiqhiyah-anak-zina-anak.html
diakses tanggal 20 Juni 2013)

Pungut,
(terakhir

Universitas Sumatera Utara


6

terdapat berbagai kepentingan. Disinilah perlunya berperan misi ketertiban dalam
berbagai kepentingan, sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan tepat.
Hukum perdata di Indonesia hingga sekarang masih mengalami pluralisme,
dimana hukum perdata masih berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia
menurut pembagian yang dilakukan oleh pemerintah hindia belanda pada masa
dahulu, dan untuk tiap-tiap golongan penduduk itu berlaku sistem hukum perdata
yang berbeda.5 Masing-masing sistem hukum yang berlaku di Indonesia mempunyai
sikap-sikap sendiri terhadap pengangkatan anak (meskipun tidak diabaikan ada juga
persamaannya), baik mengenai eksistensi, bentuk maupun isi dari lembaga
pengangkatan anak, sehingga dalam sistem hukum Indonesia soal pengangkatan anak,
terdapat peraturan yang tidak sama untuk seluruh golongan penduduk.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak memuat satu
ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanya adalah
ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I
BW Bab XII Bagian Ketiga, Pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap
anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh di katakan tidak ada sama sekali
hubungannya dengan masalah adopsi ini, oleh karena itu, KUH Perdata tidak

mengenal hal pengangkatan anak ini, maka bagi orang-orang Belanda sampai kini
tidak dapat mengangkat anak secara sah, hanya diterima baik oleh Staten Generaal
Nederland sebuah undang-undang adopsi.

5

Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 7

Universitas Sumatera Utara

7

Landasan pemikiran diterimanya undang-undang tersebut adalah bahwa
setelah Perang Dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru, orang
tua yang telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara
wajar, anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan
lahir banyak anak luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten Generaal
Nederland telah menerima baik sebuah undang-undang adopsi (adoptie wet) tersebut
yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini.6
Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termaksud perbuatan perdata

yang merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan ini melibatkan persoalan dari
setiap yang berkaitan dengan hubungan manusia. Bagaimana pun jumlah lembaga
adopsi ini mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang harus beranjak
kearah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan masyarakat walaupun KUH
Perdata. Tidak mengatur tentang adopsi ini, maka pemerintah Hindia Belanda
berusaha untuk membuat aturan yang terdiri tentang adopsi ini. Karena itulah di
keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917,
khususnya Pasal 5 sampai Pasal 15.7
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pasal-pasal yang
mengatur tentang bagian mutlak oleh undang-undang dimasukkan dalam bagian
tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair erfrecht), yaitu di dalam Pasal
913, 914, 916 dan seterusnya. Suami istri menurut undang-undang mendapatkan
6

Rosmawati, Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW, (Majalah Al-Risalah: Volume 12
Nomor 2 Nopember 2012), hlm. 222
7
Ibid., hlm. 223

Universitas Sumatera Utara


8

bagian sama besarnya dengan bagian seorang anak sah sebagai ahli waris, tetapi dia
tidak berhak atas bagian mutlak (legitieme portie), karena suami istri tidak termasuk
garis lurus, baik keatas maupun kebawah seperti halnya juga saudara-saudara dari
pewaris tidak berhak mendapatkan legitieme portie atau bagian mutlak.8
Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari
adat kebiasaan muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktik melalui
lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang-undang yang
mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, dimana pada Pasal 171
huruf h, secara definitif disebutkan bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.”
Definisi anak angkat dalam kompilasi hukum Islam tersebut, jika
diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka
9 dinyatakan bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”

8

Suriani Ahlan Syarif, Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 10

Universitas Sumatera Utara

9

Dalam proses pengangkatan anak, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang
dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencangkup jenis
pengangkatan anak, syarat-syarat, tata cara pengangkatan anak, pengawasan
pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan. Hal penting yang perlu digaris
bawahi bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum dengan
produk penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan
sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui
penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan kearah penertiban praktik hukum
pengangkatan anak yang hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa
pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak
angkat maupun bagi orang tua angkat.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan, sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.9 Suasana pluralistis hukum
kewarisan, pada kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan hukum
kewarisan di Indonesia.10 Seperti yang diketahui, sampai saat ini di Indonesia masih

9

M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan Antara Ajaran Syafi’i Dan Wasiat Wajib Di Mesir
Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan
No. 2 Thn. XII Maret 1982, (Jakarta: FH UI, 1982), hlm. 154
10
Sigit Budhiarto, Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta
Solusinya
Terhadap
Berlakunya
Hukum
Waris
Positif,
http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-Indonesia_1089.html,
(diakses terakhir tanggal 12 februari 2015)

Universitas Sumatera Utara

10

mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif, yaitu sistem hukum
waris KUH Perdata, sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris Islam. Padahal
sebagai negara yang telah lama merdeka sudah pada tempatnya apabila hukum
kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat berbentuk kodifikasi dan unifikasi.11
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pada Pasal 49 mengenai
penghapusan pilihan hukum. Adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 semakin
menambah kejelasan politik hukum nasional dengan mempertegas kewenangan dari
pengadilan agama, sehingga peta hukum waris positif di Indonesia dapat di
interpretasikan menjadi:
a.

Hukum waris perdata berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama non
Islam baik keturunan Eropa maupun keturunan Tionghoa, menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri.

b.

Hukum waris adat berlaku bagi warga negara Indonesia bumiputera atau
Indonesia asli yang beragama non Islam, menjadi kewenangan pengadilan negeri

c.

Hukum waris Islam berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa,
keturunan timur asing Tionghoa dan timur asing lainnya, bumiputera atau
Indonesia asli yang beragama Islam, menjadi kewenangan pengadilan agama.12
Wasiat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari hukum waris.

Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang

11
12

M. Idris Ramulyo, Loc. Cit.
Sigit Budhiarto, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

11

dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia.13 Wasiat yang demikian
berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah
seseorang meninggal dunia, misal seseorang berwasiat kepada orang lain agar
menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutang atau mengembalikan barang
yang pernah dipinjamnya.
Pada dasarnya wasiat merupakan kewajiban moral bagi seseorang untuk
memenuhi hak orang lain atau kerabatnya, sedangkan orang tersebut tidak termasuk
keluarga yang memperoleh bagian waris. Menurut Pasal 171 huruf (f) KHI, yang
dimaksud dengan wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah meninggal dunia.14
KUH Perdata menyebut wasiat dengan testament (kehendak terakhir), bahwa
apa yang dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia,
dan juga dalam arti surat yang memuat tentang ketetapan hal tersebut. Sehingga
testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, yang mana hal tersebut dapat
dicabut kembali.15
Pelaksanaan wasiat antara hukum Islam dan KUH Perdata terdapat berbagai
perbedaan didalamnya. Yahya Harahap mengatakan bahwa perbedaan yang timbul
antara wasiat tersebut terletak pada tertulis atau tidak tertulisnya surat wasiat

13

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 104
Amir Hamzah dan A. Rachmad Budiono, Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum
Islam, (Malang: IKIP, 1994), hlm. 180
15
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 180
14

Universitas Sumatera Utara

12

dihadapan notaris, sedangan menurut hukum Islam dapat berbentuk lisan dan
tulisan.16
Warisan adalah peninggalan benda pusaka yang memiliki nilai tawar ketika
orang telah meninggal bagi ahli warisnya. Warisan kadang-kadang menjadi akar dari
pertengkaran jika tidak dibagikan dengan baik dan seadil-adilnya. Apalagi orang yang
meninggal memiliki saudara dan seorang anak angkat yang tidak memiliki hubungan
darah. Anak angkat ini biasanya menjadi tonggak perseteruan di antara saudarasaudara orang yang meninggal. Maka dari itu, hukum kewarisan bagi anak angkat ada
bagian-bagian tersendiri yang memang mengaturnya. Misalkan wasiat wajibah oleh
yang mengasuhnya mengenai harta kepemilikannya bagi anak angkatnya. Namun di
Indonesia wasiat wajibah ini masih terasa asing.
Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau
tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini
tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki atau
tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak
memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, ditulis, atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa
wasiat tersebut harus dilaksanakan.17
Istilah wasiat wajibah ini sebenarnya penemuan baru abad dua puluh.
Sedangkan wasiat wajibah yang dikaitkan dengan anak atau orang tua angkat
16

Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), hlm. 167
17
Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah Pergumulan Antara Hukum Adat Dan Hukum Islam Di
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 118

Universitas Sumatera Utara

13

merupakan penemuan Indonesia. Dalam kasus lain, wasiat wajibah dimasukkan ke
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tapi, tujuan wasiat wajibah dimasukkan ke
dalam KHI adalah untuk melakukan pendekatan kompromi dengan hukum adat. Hal
ini dilakukan bukan hanya sebatas pengambilan nilai-nilai hukum adat untuk diangkat
dan dijadikan ketentuan hukum Islam. Pendekatan kompromi ini, termasuk juga
dalam hal memadukan pengembangan nilai-nilai hukum Islam yang sudah ada
sumber hukumnya dengan nilai-nilai hukum adat. Tujuannya agar ketentuan hukum
Islam itu lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. Hal ini dapat dikatakan
sebagai Islamisasi hukum adat sekaligus seiring dengan upaya mendekatkan hukum
adat ke dalam hukum Islam.18
Istilah wasiat wajibah pertama kali diperkenalkan oleh Ibn Hazm yang
menyatakan bahwa bagi tiap-tiap orang yang akan meninggal dan memiliki harta
kekayaan, terutama kepada kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan, karena
kedudukan sebagai hamba, kekafirannya, atau ada hal yang menghalangi mereka dari
hak kewarisan atau karena memang tidak berhak atas warisan.19 Ada beberapa hal
yang menjadi tujuan pengangkatan anak yang menyebabkan timbulnya sebuah wasiat
wajibah ini, antara lain yaitu untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu
perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat
dibenarkan, dan salah satu jalan yang positif serta manusiawi terhadap naluri
kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun dikaruniai anak.

18
19

Ibid., hlm. 163
Ibid., hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

14

Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah anggota keluarga, dengan maksud
agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, untuk mempererat hubungan
keluarga. Di sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu
terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan
pengamalan ajaran agama.20
Perkembangannya pengangkatan anak ini bukan hanya sekedar pemisahan
hubungan yuridis dengan orang tua kandungnya, namun pada saat ini permasalahan
anak angkat sudah berkembang kepada masalah pembagian harta warisan.
Keberadaan anak angkat dalam pewarisan di Indonesia pada saat ini masih menjadi
polemik yang selalu diperbincangkan, baik dalam kalangan politisi, para akademisi,
dan para penegak hukum. Simpang siurnya masalah pembagian harta dan kedudukan
anak angkat dalam hal mewarisi baik secara Islam maupun secara ketentuan hukum
perdata di antisipasi oleh orang tua angkat dengan membuat surat wasiat wajibah
dihadapan notaris untuk memberikan hartanya kepada anak angkatnya.
Perlu ditekankan bahwa dalam penelitian ini hal pokok yang akan di bahas
adalah mengenai peranan notaris dalam membuat akta wasiat wajibah yang harus
sesuai ketentuan undang-undang dan tidak boleh melakukan penyelundupan dan
penyelewengan hukum dalam pembuatan akta wasiat wajibah bagi anak angkat
tersebut, maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diberi judul “Pembuatan
Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris
Menurut Ketentuan Hukum Islam.”
20

Ibid., hlm. 30-31

Universitas Sumatera Utara

15

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang
akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait didalamnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah:
1.

Bagaimana kaidah dasar pemberian harta warisan melalui wasiat wajibah bagi
anak angkat yang beragama Islam?

2.

Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta wasiat wajibah apabila
terjadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang beragama Islam?

3.

Bagaimana akibat hukum jika pembagian harta warisan dengan wasiat wajibah
kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum khususnya hukum yang mengatur
tentang wasiat wajibah bagi anak angkat. Sesuai permasalahan yang diatas adapun
tujuan penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis kaidah dasar pemberian harta warisan
melalui wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragama Islam.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab notaris sebagai pembuat
akta wasiat wajibah apabila terjadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang
beragama Islam.

Universitas Sumatera Utara

16

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum jika pembagian harta warisan
dengan wasiat wajibah kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari
tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, yaitu:
1.

Manfaat secara teoritis dimana penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum,
khususnya pengetahuan ilmu hukum waris di Indonesia. Selain itu, diharapkan
juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2.

Manfaat secara praktis dimana diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi
bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak angkat dalam setiap proses
pewarisan yang terjadi di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat
Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam” adalah
hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut penelusuran peneliti, belum pernah
ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di
bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan

Universitas Sumatera Utara

17

demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan
fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister
kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada
beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara
lain:
1.

Penulis

: Erwansyah

Judul

: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Staatblad 1917 No. 129 (Penelitian pada
Pengadilan Agama Medan).

Perumusan Masalah:
1) Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan
Staatblad 1917 No. 129?
2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum
Islam dan Staatblad 1917 No. 129?
3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan
Staatblad 1917 No. 129?
2.

Penulis

: Adawiyah

Judul

: Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum
Islam.

Perumusan Masalah:

Universitas Sumatera Utara

18

1) Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari Hukum Islam dalam praktik
hukum di Indonesia?
3.

Penulis

: Rahmat Jhowanda

Judul

: Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada
Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat)

Perumusan Masalah:
1) Bagaimana cara dan syarat pengangkatan anak dilihat dari kultur budaya
masyarakat aceh?
2) Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya
pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?
3) Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada
masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Universitas Sumatera Utara

19

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.21 Teori berguna untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa
“keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.22
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan
secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
mengenai kedudukan harta anak angkat dalam pewarisan yang dibuat melalui surat
wasiat wajibah yang dimana aktanya dibuat dihadapan notaris.
Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori kepastian hukum. Istilah
kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang tunggal.
Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan arti
dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian
yang sempit maupun luas. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat
dijawab secara normatif, dan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

21
22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

20

jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam
artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma.23
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk
kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat
dikategorikan sebagai pendapat yang berpandangan legal positivism karena lebih
melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum
harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan
multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga
menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak
diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.
Pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum
atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur
yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang
mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.24
Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni
kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas

23

Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itukepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2014)
24
Ali Ahmad Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
287-288

Universitas Sumatera Utara

21

menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau
dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana
hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus di taati.25
Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada
prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the
persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang
mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas.
Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusanputusan terdahulu.26
Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam
pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas
ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri
(eigenrichting). Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama
adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan
perdamaian.27
Ahmad Ali memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum.
Ahmad Ali menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan:
Kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:

25

Ibid., hlm. 162
Ibid., hlm. 294
27
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
26

hlm. 22

Universitas Sumatera Utara

22

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan
putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
Peraturan tersebut tidak berlaku surut.
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
Tidak boleh sering diubah-ubah.
Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.28
Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut

Satjipto

Raharjo

hukum

melindungi

kepentingan

seseorang

dengan

cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah
yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya
hak itu pada seseorang.29
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak
sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.30
Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang

28

Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294

29

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000), hlm. 53

30

Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Thesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana:
Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

23

menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antar sesama manusia.31
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan
suatu kewajiban.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.32 Perlindungan hukum bagi seluruh
rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan
pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri negara hukum pancasila ialah:
a.
b.
c.

Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.
Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir.
31

Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Thesis,
Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14
32
Ibid., hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

24

d.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat

terhadap pemerintah diarahkan kepada:33
1) Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin
mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan
hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
2) Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat
dengan cara musyawarah.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan
hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi
sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui
hubungan acaranya. Fungsi teori perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini
adalah untuk melindungi hak-hak anak angkat dalam harta warisan mengingat
banyaknya pelaksanaan pemberian harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan UU
Perkawinan dan KHI. Selain itu dalam hal lebihnya bagian anak angkat seringkali
menjadi persengketaan dimana anak angkat digugat oleh anak kandung dari pewaris
dikarenakan isi dari suatu wasiat wajibah yang dibuat lebih banyak memuat bagian
anak angkat, yang berujung pada persengketaan antara anak angkat dan anak kandung
pewaris, sehingga dalam hal ini diperlukanlah perlindungan hukum.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

33

Teori Perlindungan Hukum, http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindunganhukum-dalam-melihat.html, (terakhir diakses tanggal 14 Mei 2014)

Universitas Sumatera Utara

25

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang di
generalisasi dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.34 Maka dalam
penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan
digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:
a.

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

b.

Orang tua adalah ayah dan atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan
biologis maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat
penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu atau ayah dapat diberikan
untuk perempuan atau pria yang bukan orang tua kandung (biologis) dari
seseorang yang mengisi peranan ini.

c.

Orang tua angkat adalah seorang suami atau istri yang ingin memiliki anak dari
orang lain yang disahkan melalui putusan pengadilan dikarenakan suami atau
istri tersebut tidak ada keturunan. Orang tua angkat berkewajiban memelihara,
merawat, memberikan pendidikan yang baik, dan memenuhi setiap kebutuhan
perkembangan anak.

d.

Pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak terhadap orang tua
angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut hukum

34

Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

26

Islam agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan
tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya.
e.

Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam
sebuah keluarga, dimana hukum keluarga diatur dalam Buku I Kitab UndangUndang Hukum Perdata.

f.

Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaiman dimaksud dalam undang-undang.

g.

Ahli waris merupakan orang yang menerima harta warisan dari pewaris, dimana
ketentuan mengenai ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris perdata,
dan hukum waris Islam memiliki konsep yang berbeda.

G. Metode Penelitian
1.

Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam
proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.35
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis
penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.
35

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

hlm. 42

Universitas Sumatera Utara

27

Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada.36 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan
untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif
analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan
manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan
yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau
efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian
dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.37
2.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang

akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis
penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

36

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 13

37

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

Universitas Sumatera Utara

28

undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi
dan regulasi.38
Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang
diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3.

Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder

yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk
mendapatkan konsep, teori dan informasi serta pemikiran konseptual.39 Data sekunder
yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
a.

Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak.

b.

Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang
relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya
tulis ilmiah, beberapa sumber internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
38

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2006), hlm. 192
39

Universitas Sumatera Utara

29

c.

Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep
dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk
memperoleh data melalui membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi,
dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan
permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat
ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan
dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.40
5.

Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah
dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

40

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

30

a.

Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan pembuatan wasiat wajibah bagi anak angkat yang
beragama Islam.

b.

Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan
sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c.

Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan
teori sebagai pisau analisis.

d.

Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk
menemukan kaidah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum
tersebut. 41
Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan

menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,
menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang
terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang
dirumuskan.42

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

42

Lexi J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

hlm. 225

Universitas Sumatera Utara