T1 712008008 Full text

(1)

I. PENDAHULUAN PERMASALAHAN

Seni musik sebagai hasil kebudayaan, telah mengambil bagian dalam setiap rongga kehidupan manusia, termasuk umat Kristiani. Karl Barth, seorang Teolog Kristen pernah menyatakan bahwa: umat Kristen merupakan umat yang bernyanyi.1 Pernyataan tersebut bermakna, bahwa musik dan kekristenan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Hal ini disebabkan karena musik merupakan sarana ekspresif bagi jemaat untuk menunjuk pengalaman imannya kepada Tuhan.

Disamping itu musik juga tidak semata-mata dipandang sebagai sesuatu yang universal belaka, namun juga disadari sebagai bagian dari yang kontekstual dan lokal. Oleh sebab itu sejalan dengan kesadaran akan perlunya iman yang kontestual dan Injili, maka diperlukan pula puji-pujian yang kontekstual. Menyadari betapa pentingnya unsur musik yang sesuai dengan konteks jemaat dalam liturgi ibadah, maka dalam persidangan sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) ke-35 tahun 2005 dalam Ketetapan Sinode GPM Nomor : 08/SND/Ke-35/2005 diputuskan untuk melakukan upaya-upaya kontekstualisasi teologi di bidang musik.2

Musik Gereja adalah seluruh musik yang terkait dan menjadi bagian dari tata ibadah, misalnya: nyanyian jemaat, paduan suara dan musik instrumental yang digunakan di dalam ibadah untuk memuji dan memuliakan Tuhan.3 Fokus penelitian ini adalah pada salah satu bentuk musik gereja, yaitu nyanyian jemaat sebagaimana yang digubah oleh Tim Nyanyian Gerejawi Gereja Protestan Maluku yang telah dibukukan, terutama dalam unsur liriknya.Lirik adalah unsur musik yang memiliki pengaruh terbesar terhadap sistem kepercayaan manusia.4

Pertama, sistem kepercayaan manusia sebagian besar dirumuskan oleh bahasa tertulis maupun lisan. Meskipun ada faktor lain yang membentuk sistem kepercayaan manusia, seperti pengalaman, namun dalam bahasa kita merumuskan keyakinan eksplisit kita terutama dari sistem kognitif. Kedua, makna dari lagu akan berbeda, jika lirik yang berbeda digunakan.

1

J. D. Engel, Liturgika – Pemahaman dan Penghayatan Ibadah Dalam Liturgi Gereja (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 38.

2 Gereja Protestan Maluku,

Salinan Ketetapan-Ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode GPM (Ambon: BPH Sinode GPM, 2005), 273-274.

3

Agastya Rama Listya, Kontekstualisasi Musik Gereja (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999), 4. 4

Danny Salim, “In Defense of Christian Heavy Metal,” Jurnal Ilmiah Seni Musik, Vol. 1, No. 1 (Jan. 2009), 4.


(2)

3

Bahkan jika musiknya tetap dipertahankan. Jadi bagaimanapun kita masih mendapatkan pesan yang sama dari lagu, terlepas dari gaya musik. Oleh sebab itu maka pesan utama lagu dapat membentuk iman Kristen, terutama yang terkandung dalam lirik.5

Secara umum wilayah pelayanan GPM mencakup gugusan kepulauan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Keberadaan klasis dan jemaat-jemaatnya di kedua provinsi tersebut pada umumnya merupakan klasis dan jemaat-jemaat - kepulauan besar dan kecil - yang terisolasi oleh laut.6 Sebagaimana tersebut di atas, maka bisa diduga Gereja Protestan Maluku sarat dengan ciri-ciri budaya lokal. Hal itu dapat ditelusuri mulai dari keanekaragaman tradisi hingga musik dan bahasa.

Dalam usaha kontekstualisasi musik gereja, Tim Nyanyian Gerejaw GPM bukan hanya memperhatikan progres ritme, melodi dan harmoninya yang sesuai dengan budaya Maluku. Mereka juga menciptakan nyanyian-nyanyian jemaat dengan mempertimbangkan dan menggunakan beragam bahasa tanah yang dimiliki dari lingkup pelayanan GPM, di samping bahasa Melayu Ambon sebagai linguafranca warga GPM sebagai lirik.7

Adapun masalah yang akan diteliti adalah pada pertanyaan, dengan alasan apa Sinode GPM, memutuskan untuk menggunakan bahasa tanah sebagai bagian dari upaya kontekstualisasi musik gereja, dalam konteks Maluku yang telah mengalami perubahan sosial dan budaya?. Hal ini dipertanyakan mengingat pergeseran budaya Maluku, khususnya dalam lingkup generasi dekade terakhir, yang cenderung tidak lagi menggunakan dan memahami bahasa-bahasa tanah. Berdasarkan alasan-alasan sebagaimana tersebut diatas maka judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah: “Sebuah Studi Kasus Tentang Alasan Penggunaan Bahasa Tanah Dalam Lirik-Lirik Nyanyian Jemaat GPM”

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan alasan penggunaan bahasa tanah dalam upaya kontekstualisasi terhadap penggunaan bahasa tanah dalam lirik-lirik nyanyian jemaat GPM. Metode penelitian yang dipakai dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti apa

5 Ibid. 6

Idem., Buku Himpunan Peraturan GPM (Ambon: BPH Sinode GPM, 2007), 203. 7


(3)

adanya. Sehingga dengan demikian memberi gambaran yang jelas tentang situasi-situasi di lapangan apa adanya.8

Proses pengumpulan data di dukung oleh teknik pengumpulan data yaitu pertama, data primer dalam penelitian ini adalah dari wawancara. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terpimpin, yaitu wawancara yang terarah dalam mengumpulkan data-data yang relevan.9 Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab.10 Kedua, data sekuder yang penulis gunakan berasal dari studi pustaka. Studi pustaka adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data atau bahan melalui studi kepustakaan dari berbagai buku dan dokumen lainnya. Selain itu, studi kepustakaan bermanfaat juga untuk menyusun landasan teori yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisis data penelitian guna menjawab persoalan pasa rumusan dan tujuan masalah.

1.2. Defenisi Istilah-Istilah

a) Musik Gereja: seluruh musik yang terkait dan menjadi bagian dari tata ibadah, misalnya: nyanyian jemaat, paduan suara dan musik instrumental yang digunakan di dalam ibadah untuk memuji dan memuliakan Tuhan.11

b)Lirik: teks atau kata-kata lagu.12

c) Bahasa Tanah: istilah yang digunakan masyarakat Maluku untuk menyebut bahasa daerah setempat.

II. KONTEKSTUALISASI TEOLOGI DAN BAHASA

Kontekstualisasi Teologi

Istilah ‘kontekstualisasi’ pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972), yakni Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi). TEF dimulai oleh International Missionary Council pada persidangannya di Ghana pada tahun 1975-58. Kemudian pada tahun 1961 International Missionary Council bergabung dengan DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia). Dibawah organisasi-organisasi ini pada tahun 1969 TEF diberi mandat

8

Widodo, Cerdik Menyusun Prosposal Penelitian, (Jakarta: Yayasan Kelopak, 2004), 46. 9 Koentjaraningrat,

Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1983), 20. 10

Moh. Nazir, Ph.D, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 234.

11

Agastya Rama Listya, Kontekstualisasi Musik Gereja (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999), 4. 12

M. Soeharto, Kamus Musik, (Jakarta: PT Gramedia Widarsana Indonesia, 1992), 72.


(4)

“memperbarui” dengan tujuan utama agar injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan sebagai tanggapan kepada:

• krisis iman yang meluas;

• masalah-masalah keadilan sosial serta pembangunan manusia; dan

• ketegangan antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradaban teknologis yang universal.13

Oleh sebab itu istilah ‘kontekstualisasi’ didefenisikan dan dipromosikan oleh TEF untuk menjawab tujuan diatas.

Untuk memperjelas makna dari istilah ini berikut uraikan beberapa pendapat dari para ahli. Menurut Y. Tomatala teologi kontekstualisasi adalah refleksi ideal dari setiap orang Kristen dalam konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus.14 Menurut Eka Darmaputra kontekstualisasi teologi adalah teologi itu sendiri maksudnya teologi hanya dapat disebut teologi apabila ia benar-benar kontekstual.15 Menurut Lesslie Newbigin berteologi kontekstual berarti setiap orang beriman menjelaskan arti imannya dalam kaitan kenyataan hidup di satu tempat atau wilayah tertentu.16 Kemudian menurut John Titaley kontektualisasi teologi adalah suatu ara untuk menuntun manusia menghayati kemanusiaan yang sejati dengan Tuhan dan sesamanya.17

Berdasarkan defenisi-defenisi diatas terungkap beberapa faktor terjadinya kontekstualisasi teologi. Stephen B. Bevans menyebutkan dua faktor mengapa teologi dewasa ini haruslah kontekstual. Pertama, faktor-faktor eksternal, terdiri dari; ketidakpuasan umum, baik di Dunia Pertama maupun di Dunia Ketiga menyakut pendekatan-pendekatan klasik terhadap teologi; adanya ciri opresif dari teologi klasik; bertumbuhnya jati diri Gereja-Gereja lokal yang memberi sumbangsih kepada pengembangan teologi-teologi yang bersifat kontekstual dan; lahirnya pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer.18 Kedua, faktor-faktor internal, terdiri dari; ciri inkarnatif agama Kristen;

13

David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontektualisasi ...¸ 48-49. 14

Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), (Malang: Gandum Mas, 1996), 2. 15

Eka Darmaputra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 9. 16 Lesslie Newbigin,

Injil dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), vii. 17

John Titaley, Materi perkuliahan Teologi Kontekstual, (Salatiga: UKSW, 2010). 18

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 13-18.


(5)

ciri sakramental dari realitas; ciri kontekstual teologi; ciri katolisasi gereja dan; pemahaman kontemporer tentang Allah sebagai Trinitas.19

Sedangkan menurut Tomatala kenyataan yang melatarbelakangi kontekstualisasi adalah Pertama, para misionaris atau penginjil dalam hakikatnya terbungkus dengan budaya mereka; Kedua, Injil itu sendiri diekspresikan dalam konteks Hebraic-Hellenistic; Ketiga, berdirilah manusia lain yang adalah objek misi penginjilan.20

Menurut Immanuel Sukardi faktor-faktor yang menimbulkan/menuntut kontekstualisasi adalah Pertama, Dominasi Budaya, kesadaran bahwa misi barat bukan saja membawa Injil, melainkan juga menuntut adopsi budaya barat dalam proses misi mereka. Kedua, Teologi Barat yang Tidak Relevan, istilahnya, agenda dan program yang dimasak di luar negeri telah disadari tidak cocok untuk situasi lain. Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditanyakan di dunia ketiga. Ketiga, Gerakan-Gerakan Nasionalisme, kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme negara-negara barat sekaligus membawa akibat nasionalisasi lembaga-lembaga, termasuk gereja. Keempat, Contoh-Contoh Alkitab, Kisah Para Rasul 15, Yerusalem mengusulkan kontekstualisasi trans-suku dengan menganjurkan agar orang-orang non-Yahudi menghindari praktik-praktik yang menghalangi terjangkaunya orang-orang Yahudi oleh Injil.21

Dengan melihat uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa teologi dewasa ini mesti berupa teologi yang kontekstual. Oleh sebab itu kontekstualisasi bukan merupakan sesuatu yang berada pada pinggiran upaya teologi. Kontektualisasi itu ada pada pusat, pada jantung-hati dari apa yang dimaksudkan sebagai ihwal berteologi di dalam dunia dewasa ini.22

Bahasa

Bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan. Bahasa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti kepada generasi baru.23

19

Ibid., 18-26. 20

Yakob Tomatala, Teologi. . ., 3 21

Immanuel Sukardi, “Prinsip-Prinsip Kontekstualisasi”, diunduh dari

http://www.sabda.org/publikasi/misi/2012/36/ pada 19 September 2102, pkl. 03.08 wib. 22

Stephen B. Bevans, Model . . ., 26. 23

Rafael Raga Maran, Manusia. . ., 44.


(6)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.24 Berdasarkan defenisi diatas maka terlihat dua faktor pendukung bahasa yaitu lambang atau tanda (sesuatu yang lazim dipergunakan dalam masyarakat yang artinya ditaati secara spontan) dan bunyi bahasa (fonem).25 Pendapat lain mengatakan bahwa “Bahasa tersusun dari perangkat-perangkat tanda yang digabungkan dengan cara tertentu, ada tanda-tanda satu demi satu seperti yang ditunjukan oleh huruf-huruf abjad, bila huruf-huruf ini digabungkan dengan cara-cara tertentu, maka sejumlah daripadanya menimbulkan apa yang dinamakan ‘kata-kata’ atau ‘istilah-istilah dasar’ bahasa.”26

Jika dilihat berdasarkan asal mulanya menurut E. Cassirer, bahasa pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi.27 Cassirer sebenarnya bermaksud mengingatkan bahwa disamping bahasa konseptual terdapat juga bahasa emosional, disamping bahasa logis atau ilmial ada juga bahasa puitis.28 Sedangkan menurut Humboldt, “bahasa bukanlah hal yang selesai, melainkan proses yang terus berlangsung. Bahasa adalah kerja pikiran manusia yang terus-menerus berulang bagi pemanfaatan bunyi-bunyi untuk mengekspresikan pikiran.”29

Berdasarkan pengertian-pengertiannya bahasa memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi komunikasi dan fungsi ekspresif.30 John C. Concon menyebutkan bahwa fungsi bahasa pada hakikatnya adalah komuniskasi artinya “satu kata atau kalimat dapat dipergunakan untuk mencapai perbagai tujuan dan mempunyai arti yang bermacam-macam, tergantung dari konteksnya serta cara mengucapkannya.”31 Ahli bahasa lainnya yaitu, George F Kneller mengidentifikasikan fungsi bahasa menjadi tiga yaitu fungsi simbolik, emotif dan afektif.32

24

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. 3. – cet. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 88. 25 Drs. Rizal Mustansyir,

Filsafat Bahasa – Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya, (Jakarta: PT. Prima Karya, 1988), 20.

26

Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1985), 41. 27 Ernest Cassirer,

Manusia Dan Kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1983), 40. 28

Ibid. 29

Ibid., 184. 30

Drs. Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa ... , 25. 31 John. C. Concon. Jr.,

Jika Manusia Berbicara Dengan Manusia, dalam Maruli Panggabean, Bahasa, Pengaruh Dan Peranannya, editor, (Jakarta: Gramedia, 1981), 18.

32

Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), 175.


(7)

Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emosi menonjol dalam komunikasi estetik.33

Sedangkan Karl Raimund Popper mengajukan empat fungsi bahasa sebagai berikut: 1) Fungsi Ekspresif: merupakan proses pengungkapan situasi dalam ke luar. Pada manusia

menjadi suatu ungkapan diri pribadi.

2) Fungsi Signal: merupakan level lebih tinggi dan sekalius mengandaikan fungsi ekspresif. Pada manusia tanda menyebabkan reaksi, sebagai jawaban atas tanda.

3) Fungsi Deskriptif: mengandaikan fungsi ekspresif dan sinyal. Ciri khas fungsi ini ialah bahwa bahasa itu menjadi suatu pernyataan yang bisa benar, bisa juga salah.

4) Fungsi Argumentatif: menambahkan keterangan pada ketiga argumen di bawahnya sebagai alasan, argumen, pembuktian yang menyatakan bahwa ungkapan yang disampaikan, dinyatakan, dikemukakan itu merupakan tanda yang benar atau salah karena alasannya memang sah atau tidak sah.34

Dengan melihat berbagai fungsi bahasa diatas maka kita akan menemukan bahwa begitu kompleksnya peran bahasa dalam kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau ide-ide namun juga dapat mempengaruhi pengalaman manusia baik secara perseptual maupun konseptual.35 Jika demikian maka kelompok masyarakat yang tidak mempunyai bahasa tadi cara hidupnya menjadi statis dan tidak teratur, karena segala tindakan yang dilaksanakan kemarin tidak pernah di modifikasi.

Menurut Ernst Moritz Arndt yang dikutip oleh Joko Yulianto mengatakan: "Tak ada elemen terluhur yang dimiliki suatu bangsa selain bahasa."36 Oleh sebab itu bahasa juga sering dikaitkan dalam fungsi sebagai identitas. "Identitas" dapat didefinisikan sebagai karakteristik khas milik individu tertentu, atau dimiliki oleh semua anggota suatu kategori sosial atau kelompok tertentu. Istilah ini berasal dari kata Perancis identité yang berasal dari kata benda Latin,-tatis. Kata benda ini sendiri pun merupakan derivasi dari arti kata sifat Latin

idem artinya "yang sama." Istilah ini pada dasarnya adalah komparatif di alam, karena

33 Ibid. 34

Hendryk Berybe, “Sikap Etis Dalam Berbahasa: Suatu Persoalan”, dalam Basis XXXIII – 6, (Yogyakarta, Mei 1984), 187.

35

Drs. Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa ... , 37. 36Joko Yulianto,

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Bangsa Indonesia;

http://pascaunesa2011.blogspot.com/2012/01/bahasa-indonesia-sebagai-identitas.html. Di unduh 16 Juni 2012, pkl. 15.00 WIB.


(8)

menekankan berbagi tingkat kesamaan atau kesatuan dengan orang lain di daerah tertentu atau pada titik tertentu.37

Arctic Indigenous Languages, sebuah website yang bertujuan sebagai sumber daya revitalisasi dan perlindungan bahasa pribumi bangsa artic menyebutkan bahwa:

“Because a language develops according to the particular needs of the people who live in a certain location at a certain period of time, who share a way of life and culture, it is clear that language is strongly intertwined with culture and identity. A certain richness of communication and connection is lost when a person is unable to speak the language of his or her ancestors. On the other hand, knowing the language of one’s ancestors provides a sense of grounding and belonging.”38

Menurut Spolsky yang dikutip oleh Karl Gibson, “Language is a central feature of human identity. When we hear someone speak, we immediately make guesses about gender, education level, age, profession, and place of origin. Beyond this individual matter, a language is a powerful symbol of national and ethnic identity.”39

Hal serupa juga dikemukakan oleh Brown dan Gilman:

“So long as the [linguistic] choice…is recognized as normal for a group, its interpretation is simply the membership of the speaker in that group. However, the implications of group membership are often very important; social class, for instance, suggests a kind of family life, a level of education, a set of political views and much besides. These facts about a person belong to his character.”40

Jadi, penutur membangun identitas mereka dengan pilihan yang cermat dari fitur linguistik yang sesuai yang akan menyampaikan informasi sosial tertentu yang mengidentifikasi mereka sebagai bagian dari masyarakat tutur tertentu.41

Andri Snær Magnason yang dikutip oleh Guðmundur Hálfdanarson mengatakan bahwa bahasa bukanlah sekedar ornamen namun merupakan dasar dari komunikasi, sumber dari saluran memori, pengalaman dan nilai, jadi jika bahasa menghilang atau berubah secara

37

Wikipedia, Identity (social science); http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_%28social_science%29. Di unduh 03 Juli 2012, pkl. 09.00 WIB.

38

Arctic Languanges, “Language, Culture and Identity”;

http://www.arcticlanguages.com/language_culture_and_identity.html. Di unduh tanggal 02 Juli 2012, pkl. 16.00 WIB

39

Karl Gibson, English Only Court Cases Involving The U.S. Workplace: The Myths Of Language Use And The Homogenization Of Bilingual Workers’ Identities, 1; http://www.hawaii.edu/sls/sls/wp.../06/Gibson.doc/. Diunduh 02 Juli 2012, pkl 16.49 WIB.

40

Polly Sterling, Identity in Language: An Exploration into the Social Implications of Linguistic Variation, (Texas: A&M University), 4; http://elisa1.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/.../identity%20in%20language.pdf. Di unduh 03 Juli 2012, pkl. 09.00 WIB.

41 Ibid.


(9)

drastis maka pengetahuan dan ide-ide dari sebuah generasi tidak akan tersalurkan dengan demikian maka nilai-nilai budaya akan hilang.42

Dengan demikian dapat saya simpulkan bahwa bahasa juga berperan penting dalam membangun sebuah identitas, oleh sebab itu keberadaan bahasa dalam kelompok penuturnya harus tetap dipertahankan.

III. BAHASA TANAH DALAM LIRIK-LIRIK NYANYIAN JEMAAT GPM

Latar Belakang Sejarah GPM

Penerimaan Protestanisme oleh orang-orang Maluku dimulai dari kedatangan organisasi Dagang Belanda yang disebut “VOC” di Ambon. Pada mulanya badan ini tidak memperhatikan usaha penyebaran Injil di daerah ini, namun ada usaha dan desakan Gereja Hervormd di Negeri Belanda, akhirnya badan ini mulai menaruh perhatian untuk mengembangkan agama Protestan disamping usaha perdagangan.43

Dalam hal ini terdapat dua faktor yang menyebabkan penguasa VOC harus bertindak demikian. Pertama, berlakunya prinsip cius regio, eius religio (agama raja adalah agama rakyat). Kedua, VOC diwajibkan untuk melaksanakan artikel 36 dari Pengakuan Iman Belanda, yaitu “memelihara gereja yang kudus, menolak dan membasmi segala bentuk penyembahan berhala dan agama palsu, memusnahkan kerajaan anti-Kristus dan memajukan kerajaan Yesus Kristus”.44

Sebagai wujud kongkrit dari perhatian yang diberikan kepada bidang agama maka sesudah pengusiran orang-orang Portugis, pihak VOC mulai memprotestankan orang-orang Maluku yang menganut Katolik-Roma dimulai sejak ibadah pertama di kota Ambon tanggal 27 Febuari 1605.45 Pada akhirnya pekabaran Injil berkembang pesat di Ambon, Lease, Banda dan pulau-pulau sekitarnya.

42

Guðmundur Hálfdanarson, From Linguistic Patriotism to Cultural Nationalism: Language and Identity in Iceland dalam Language And Identities In Historical Perspective, edited by Ann Katherine Isaacs (Pisa: Edizioni Plus – Università di Pisa, 2005), 56.

43 Gereja Protestan Maluku,

Buku Panduan Yubelium 50 tahun GPM, (Ambon, Sinode GPM, 1985), 7. 44

M. Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku (1935-1960), (Ambon, Fakultas Filsafat UKIM, 2004), 14. 45

Ibid.


(10)

Pendeta Caspers Wiltensz yang tiba di Ambon sebagai pendeta kedua dari Belanda memudahkan penyebaran Injil untuk penduduk pribumi dengan mengusahakan sedapat mungkin menguasai bahasa Melayu untuk membimbing anak-anak dan berkhotbah kepada anggota-anggota pribumi.46 Usaha tersebut semakin lebih berkembang dengan tibanya Pendeta Sebastian Daenkertsz yang mulai membuka sebuah sekolah pendidikan guru yang membantu melancarkan penyebaran Injil dalam tahun 1620. Hal ini juga berpengaruh kepada perkembangan gereja pada zaman VOC, yang tampak bukan saja dari segi jumlah orang-orang Kristen yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Maluku, tetapi juga dari segi meluasnya bidang pendidikan. Bagi Daenkertsz, sekolah merupakan tempat “pesemaian jemaat”.47 Kenyataan membuktikan bahwa banyak orang telah menjadi Kristen melalui sekolah-sekolah Gereja. Mata pelajaran yang diberikan meliputi membaca, menulis dan berhitung – semuanya dalam bahasa Belanda – dan juga menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasatitah dalam bahasa Belanda dan Melayu. Dengan demikian semakin banyak orang Maluku menjadi Kristen dengan meninggalkan bahasa asli daerahnya akibat penjajahan.

Pekabaran Injil terus berlanjut walaupun dalam situasi yang pasang surut, hingga akhirnya mendapat bentuk sebagai suatu badan atau organisasi sebagai Gereja Protestan di Maluku pada tanggal 6 September 1935.

Pergeseran Penggunaan Bahasa Tanah ke Bahasa Melayu Ambon

Sepanjang abad ke-17 bahasa-bahasa daerah Maluku masih tetap digunakan di semua kampung di Pulau Ambon.48 Jadi sampai pada akhir abad ke-17 ‘bahasa tanah’ (bahasa-bahasa daerah Maluku) masih digunakan di kampung-kampung Islam dan Kristen. Francois Valentyn yang pernah bertugas sebagai pendeta di Ambon pada akhir abad 17 dan awal ke-18, mengaku bahwa bahasa Ambon (bahasa tanah) adalah bahasa pertama (‘moeder-Taal’) orang asli Ambon. Sampai awal abad ke-18, ketika Valentyn meninggalkan Ambon, bahasa daerah (‘Ambonsche Taal’) masih merupakan bahasa pertama (‘moeder-Taal’ dalam istilah Valentyn) di Pulau Ambon.49

46

Gereja Protestan Maluku, Buku Panduan . . ., 8. 47

M. Tapilatu, Sejarah . . . , 16. 48 James T. Collins,

Sejarah Bahasa Melayu di AmbonSeminar Bahasa dan Budaya Maluku 2006: Melayu Ambon, (Ambon: Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon, 2006), 3.

49

Ibid., 4.


(11)

Namun kemudian pada akhir-akhir abad ke-17 semakin banyak orang Ambon menjadi penutur bilingual.50 Mereka tetap menggunakan bahasa daeranya tetapi sudah menggunakan bahasa Melayu juga. Kontak linguistik demikian berjalan dalam dua arah. Orang Ambon yang bilingual dipengaruhi beberapa ciri yang terdapat dalam teks gereja – seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bagian 3.1 bahwa pendidikan oleh gereja mengharuskan orang Maluku mempelajari bahasa Melayu - , dan sebaliknya mereka pula yang menyumbangkan beberapa ciri yang diwarnai bahasa daerah mereka sendiri kepada teks yang dihasilkan pendeta mereka. Pada abad berikutnya, yaitu abad ke-18, proses kontak bahasa ini berkembang sehingga banyak penutur di banyak kampung Kristen di Pulau Ambon meninggalkan bahasa moyang mereka dan memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pertama mereka.

Pertengahan abad ke-19, bahasa-bahasa asli daerah Maluku tidak digunakan lagi di Kota Ambon, kecuali di kalangan Islam.51 Seterusnya di semua kampung Kristen di Pulau Ambon, kecuali Alang, Hatu dan Liliboi, bahasa daerah Maluku juga sudah punah sama sekali, digantikan dengan bahasa Melayu. Di Pulau Saparua penggunaan bahasa daerah di kalangan penduduk Muslim memang lumrah, tetapi sangat jarang di kalangan penduduk Kristen.

Hilangnya bahasa bahasa daerah di kalangan penduduk Kristen disebabkan karena bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa gereja, sehingga terbentuk keadaan diglosia52

karena bahasa Melayu gereja berfungsi sebagai bahasa agama dan juga bahasa sekolah. Oleh sebab itu bahasa Melayu menjadi sangat terbuka dan cepat diterima dikalangan penduduk Kristen. Sedangakan di kalangan penduduk Muslim, penggunaan bahasa melayu hanya terbatas pada para cendikiawan dan pedagang elit Muslim, oleh sebab itu tidak semua penduduk muslim memahami dan bisa menggunakan bahasa melayu dan masih terus mempertahankan bahasa daerah mereka sampai saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa hampir semua kampung Kristen di Pulau Ambon melangkah masuk abad ke-19 tanpa bahasa daeranya, ditinggalkan dan digantikan dengan bahasa Melayu.53

50

Ibid., 10. 51

Ibid., 11.

52 Situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Ketiga, Balai Pustaka)

53

Ibid., 13.


(12)

Nyanyian-Nyanyian Jemaat di GPM

Nyanyian Jemaat sejak dahulu telah menduduki tempat yang penting di dalam ibadah. Dalam perjalanannya, nyanyian jemaat telah mengalami berbagai perkembangan sampai menjadi bagian dalam litrugi Gereja Protestan Maluku (GPM).

Nyanyian-nyanyian jemaat terus berkembang, namun tema dan isinya masih tetap sama yaitu berhubungan dengan perjuangan untuk mempertahankan ajaran Protestan, kematian dan kehidupan kekal. Namun sempat juga dipengaruhi oleh beberapa budaya seperti Pietisme dan Moralisme hingga akhirnya nyanyian-nyanyian ini dibawa masuk dari gereja-gereja tua di Eropa dan Amerika ke gereja-gereja-gereja-gereja muda di Indonesia pada saat itu.54

Nyanyian-nyanyian jemaat yang paling banyak dipakai oleh Gereja Prostestan Maluku, yaitu tahlil-tahlil (dalam Mazmur dan Tahlil) dan nyanyian-nyanyian rohani (dalam

Mazmur dan Nyanyian Rohani). Tahlil-tahlil yang terutama dipakai oleh Gereja Protestan di Indonesia (GMIM, GPM, GMIT dan GPIB) adalah terjemahan Schroder (1908) –dari buku nyanyian Belanda yang lama, kemudian beberapa nomor diganti dengan tahlil-tahlil lain sehingga jumlahnya tetap sama.55 Semua isi dari tahlil-tahlil ini dengan teliti diawasi sehingga tidak bertentangan dengan ajaran dari gereja Hervormd di Nederland, dan sesuai dengan Katekismus Heidelberg, pengakuan gereja dan keputusan-keputusan dari Sinode di Dordrecht pada tahun 1618 dan 1619. Dengan demikian buku nyanyian ini benar-benar bersifat Belanda.

Sedangkan nyanyian-nyanyian rohani yang juga banyak di pakai di Indonesia diterjemahkan atau disadur oleh I.S. Kijne dari “Nyanyian-nyanyian Rohani dari Perbendaharaan Jemaat Segala Abad” yang dikumpulkan oleh Jasper.56 Buku ini lebih baik dari buku nyanyian sebelumnya – tahlil-tahlil – sebab bahasanya yang lebih jelas dan sederhana, namun juga memliki kelemahan karena kurang sekali memuat nyanyian-nyanyian tentang pekabaran Injil.

Buku nyanyian jemaat lainnya yang juga di gunakan oleh GPM ialah buku Kidung Jemaat, diterbitkan oleh Yayasan Musik Gerejawi (YAMUGER) atas kerjasama dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Buku nyanyian ini sebagian besar juga

54

Dr. J. L. Ch. Abineno, Unsur-Unsur Liturgia yang dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 114.

55 Ibid. 56

Ibid.


(13)

merupakan terjemahan dari nyanyian-nyanyian yang sudah cukup populer di berbagai Gereja di seluruh bumi dan beberapa nyanyian dari Indonesia dalam konteks yang umum. Dengan demikian, selama 300 tahun sejak berdiri, GPM belum memiliki nyanyian jemaat yang benar-benar sesuai pergumulan dan konteks umat kristiani yang hidup di tanah Maluku.

Nyanyian Jemaat Khas GPM

Nyanyian jemaat dianggap penting oleh sinode GPM untuk menjadi motor pembangkit dalam ibadah-ibadah ritual jemaat GPM. Oleh sebab itu, berdasarkan Ketetapan Sidang ke-35 Sinode GPM Tahun 2005 dibentuklah Tim Kerja Nyanyian Gerejawi yang berupaya untuk membuat buku nyanyian jemaat yang kontekstual berdasarkan pergumulan dan budaya masyarakat Maluku. Buku ini merupakan wujud dari kerja sama GPM dengan Gereja Injili Maluku (GIM) di Belanda.57

Tim Nyanyian Gerejawi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 04/SKEP/SND/E.2/2/2006 tanggal 12 Febuari 2006 mengalami reorganisasi sebanyak dua kali pada tahun 2007 dan 2009.58 Namun hal ini tidak menyurutkan semangat musisi-musisi Maluku yang berupaya menciptakan nyanyian-nyanyian yang kontekstual hingga akhirnya mendapat bentuk terakhir yaitu buku Nyanyian Jemaat (NJ) Gereja Protestan Maluku yang akan diluncurkan pada pertengahan tahun 2012.

Proses pencapaian untuk mendapatkan bentuk akhir buku ini tidaklah gampang, selama kurang lebih enam tahun, karya-karya para komponis yang berasal dari berbagai daerah di Maluku dan Maluku Utara diseleksi dengan teliti. “Semua karya yang masuk kepada tim diseleksi dan dinilai berdasarkan unsur melodi dan ritme, lirik dan dasar teologis yang terkandung dari lagu tersebut”.59

Secara melodi semua nyanyian yang dimuat dalam buku Nyanyian Jemaat menggunakan jenis-jenis tangga nada yang bervariasi dan bercorak khas musik Maluku, seperti tangga nada pentatonis, tetratonis, tritonis, sektetonis dan diatonis. Sedangkan muatan teologi musik gerejawi mencerminkan pesan isi teologi nyanyian jemaat yang kontekstual.

57

Gereja Protestan Maluku, Nyanyian Jemaat Gereja Protestan Maluku, (Ambon: GPM, 2010), iv. 58

Hasil wawancara dengan Bpk. Esaf Malioy, S.Pi (Sekertaris Tim Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 19 April 2012 bertempat di Kantor Dinas Sosial Maluku.

59

Hasil wawancara dengan Dra. Monica Pariela-Parera (Ketua Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 12 April 2012 pkl 10.00-11.00 bertempat di Kantor Sinode GPM.


(14)

Lirik yang digunakan dalam buku ini terdiri dari empat jenis bahasa yaitu, bahasa Indonesia, Melayu Ambon, bahasa-bahasa daerah Maluku (bahasa tanah) serta bahasa tradisional gerejawi yaitu bahasa Ibrani dan Yunani.

Ketua Sinode GPM dalam kata pengantar buku nyanyian jemaat menyebutkan bahwa buku yang memuat 342 nyanyian tersebut diharapkan dapat membuat ibadah-ibadah ritual jemaat semakin marak dan menggairahkan orang-orang untuk datang beribadah kepada Allah, baik di kalangan GPM maupun secara oikumenis.60 Oleh sebab itu Lembaga Pembinaan Jemaat (LPJ) telah berupaya mensosialisasikan buku nyanyian jemaat lebih dulu sebelum peluncurannya, melalui liturgi-liturgi hari-hari besar gerejawi, liturgi persidangan sinode, liturgi paket natal dan paskah, bahkan dalam buku litugi jemaat GPM yang baru.61 Hasilnya adalah animo positf dari warga jemaat GPM karena merasa telah memiliki nyanyian khas mereka sendiri.

Kehadiran Nyanyian Jemaat GPM telah memberikan sentuhan baru dalam musik gerejawi di Maluku. Lagu-lagu yang dirangkum didalamnya merupakan interpretasi dari keberadaan umat Kristen yang kontekstual di Maluku, hal ini terlihat dari unsur melodi dan ritmis hingga unsur teologi yang terkandung dalam setiap lagu. Unsur ketiga yang juga tidak kalah pentingnya adalah penggunaan empat bahasa sebagai lirik lagu. Lirik adalah unsur musik yang memiliki pengaruh terbesar terhadap sistem kepercayaan manusia, melalui lirik umat merumuskan keyakinan mereka kepada Tuhan.

Salah satu bahasa yang digunakan sebagai lirik adalah Bahasa Tanah. Walaupun hampir punah namun perhatian GPM terhadap keberadaan salah satu unsur kebudayaan Maluku tersebut masih ada, terbukti dengan terwujudnya 22 lagu dalam buku nyanyian jemaat GPM yang menggunakan bahasa asli dari berbagai daerah di Maluku. Lagu-lagu tersebut di komposeri oleh tim nyanyian gerejawi yang memahami betul mengenai bahasa tanah daerah mereka masing-masing.

Menurut Pdt. Josias G. Jamlean, salah satu pencipta lagu berlirik bahasa tanah, kontekstualisasi musik gereja berarti menghadirkan nyanyian yang menyentuh kondisi umat

60 Gereja Protestan Maluku,

Nyanyian . . . , Ibid. 61

Hasil wawancara dengan Pdt. Noor. Refialy-L, M.Th (Asisten Direktur Lembaga Pembinaan Jemaat GPM), tanggal 16 April 2012 pkl 10.00-12.00 bertempat di Kantor Lembaga Pembinaan Jemaat GPM.


(15)

dimana mereka berada. “Jadi, tidak mungkin kita menyanyikan lagu berbahasa Amerika misalnya di jemaat Tawiri (salah satu daerah di Maluku) karena mereka tidak mengerti artinya,” ungkap Jamlean. Menurutnya lagu juga merupakan pemberitaan Injil. Jamlean menyatakan bahwa lagu merupakan bagian yang sangat penting dalam pemberitaan firman Tuhan, oleh sebab itu ia mengibaratkan khotbah seperti halnya masakan yang kurang bumbu jika tidak disugguhkan dengan nyanyian umum ataupun nyanyian paduan suara.62

Jamlean mengaku bahwa pihak sinode GPM telah sepakat bahwa kontekstualisasi musik gereja di lakukan dengan menyertakan bahasa tanah atau bahasa daerah sebagai salah satu unsurnya. “Alasannya adalah agar pengarang-pengarang membuat lagu yang kena mengena dengan konteks dimana orang-orang berada baik secara umum maupun secara khusus misalnya, dalam pemberitaan friman Tuhan seorang pendeta menggunakan kata solidaritas maka belum tentu umat mengetahui artinya oleh sebab itu kata solidaritas tersebut harus disalin dalam bahasa daerah yang dimengerti oleh umat,” kata Jamlean.63

Hal ini juga terkait dengan usaha membangkitkan semangat orang-orang kristen Maluku untuk beribadah karena mereka memahami dengan cepat maksud dari nyanyian tersebut. Jamlean menegaskan bahwa “Injil tidak mampu menerobosi kehidupan umat sesuai dengan konteksnya, oleh sebab itu budaya dalam hal ini bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting agar injil mampu menerobosi umat.”64

Bpk. Matias Pattisinay juga memberikan alasan yang senada dalam penggunaan bahasa tanah sebagai lirik nyanyian yaitu agar jemaat termotivasi untuk beribadah.65 Berdasarkan alasan inilah ia menciptakan lagunya dalan NY No. 134 Homa He (Datanglah), lagu ini berlirik bahasa Manusela. Masyarakat Manusela sendiri tinggal di desa terpencil di pegunungan sehingga kurang memahami bahasa Indonesia. Oleh sebab itu Pattisinay membuat lagu ini dengan harapan bisa memotivasi umat di Manusela untuk datang beribadah.66

62 Hasil wawancara dengan Pdt. Josias G. Jamlean Sm, TS, SE (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 14 April 2012 pkl 11.00-12.00 bertempat di Kantor Sinode GPM.

63 Ibid. 64

Ibid.

65 Hasil Wawancara via telepon dengan Bpk. Matias Pattisinay, S.Pd (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 16 Agustus 2012 pkl. 21.00-22.00.

66 Ibid.


(16)

Selain itu menurut Jamlean alasan penggunaan bahasa tanah sebagai lirik tidak hanya semata-mata untuk membangkitkan budaya Maluku yang pudar. “Bahasa Tanah adalah alat pemersatu, seperti halnya bahasa Indonesia sebagai identitas orang Indonesa. Dalam Bahasa Tanah terkandung keakraban orang-orang yang berasal dari satu daerah, rasa kekerabatan, rasa memiliki atau dalam bahasa Kei disebut Ai Ni Ai (artinya satu punya satu).”67

Hal yang sama juga disebutkan oleh Bartje Istia, salah satu komposer yang juga prihatin terhadap pudarnya pemahaman tentang bahasa tanah pada generasi muda Maluku, “Bahasa Tanah merupakan salah satu fondasi orang Maluku, setelah di jajah oleh berbagai bangsa, kita cenderung mengikuti kebudayaan mereka. Jadi, walaupun terlambat sudah seharusnya kita melestarikan fondasi itu.”68

Agustinus Gaspersz, salah satu pencipta lagu berbahasa tanah dalam buku nyanyian jemaat GPM juga memiliki pemahaman yang serupa dengan rekan-rekaannnya. Ia menyatakan bahwa nyanyian kontekstual terkait dalam dua hal yaitu konteks liturgi dan konteks kultur. Oleh sebab itu perayaan liturgi mesti dirayakan dalam konteks budaya setempat dimana liturgi itu diselenggarakan. Berdasarkan hal inilah Gaspersz terinspirasi menciptakan lagu gereja berkonteks Maluku salah satunya dengan menggunakan lirik berbahasa tanah.69

“Musik gereja tidak mesti kebarat-baratan, kita harus mengangkat konsep kearifan lokal ditengah-tengah westernisasi yang menguasai kebudayaan kita,” jelas Gaspersz. Ia menegaskan bahwa umat di Maluku juga bisa menemukan Tuhan dalam nyanyian berbahasa tanah. “Bahasa tanah adalah simbolis verbal yang menunjukan kejati-dirian dan hubungan antar suku oleh sebab itu masyarakat Maluku harus apresiatif terhadapnya,” kata Gaspersz.70

Selain itu, Pdt. Christian I. Tamaela juga menjelaskan bahwa pertimbangan penggunaan bahasa tanah sebagai lirik dalam nyanyian jemaat juga merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sejarah baru (history record) bagi generasi yang akan datang setelah

67

Hasil wawancara dengan Pdt. Josias G. Jamlean Sm, TS, SE. . . 68

Hasil wawancara dengan Bpk. Bartje Istia (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 18 April 2012 pkl. 18.00-20.00 bertempat di Taman Budaya Maluku.

69 Hasil wawancara via telepon dengan Bpk. Agustinus Gaspersz (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 29 Agustus 2012 pkl 13.00-14.00.

70 Ibid.


(17)

kematian-kematian tradisi atau budaya.71 Diharapkan bahwa penggunaan bahasa tanah sebagai lirik dalam nyanyian jemaat GPM dapat menjadi salah satu sarana edukasi bagi generasi muda. Buku nyanyian jemaat GPM, dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar bahasa tanah, sehingga kepunahan bahasa tanah dari generasi muda dapat diantisipasi. Dengan demikian Gereja telah berperan membantu pemerintah untuk melestarikan bahasa tanah, yang juga adalah aset budaya Maluku.72

“Kita tidak boleh alergi terhadap bahasa tanah karena itu adalah jati diri kita. Konteks kekristenan di Maluku adalah pemberian Tuhan untuk itu jadilah pemuji dan penyembah sebagai orang Maluku,” ungkap Tamaela.73 Bpk. Martinus Tomatala yaitu salah satu pencipta lagu berlirik bahasa tanah dalam nyanyian jemaat pun menyebutkan bahwa alasannya menggunakan lirik berbahasa tanah adalah untuk menunjukan ke-Maluku-annya dalam nyanyian bagi Tuhan.74

Berkaitan dengan alasan diatas Pdt. John Beay mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa tanah sebagai lirik juga didasari atas keinginan GPM Injil mengakar dalam umat di Maluku sekaligus sebagai penghayatan Injil dalam suku-suku.75 Hal ini terlihat jelas dalam lagu yang ia ciptakan NJ. No 234 Opo Geba Snulat. Nyanyian ini berasal dari bahasa suku Buru. Sebutan Opo Geba Snulat sebenarnya sebuah nama panggilan bagi penguasa tertinggi yang menciptakan langit dan bumi dalam kepercayaan suku Buru. Beay kemudian mengkontekstualisasi sebutan ini dalam diri Yesus yang ia ceritakan dalam lagunya sehingga umat di Buru juga mampu menghayati Yesus dan injilNya.76

Jadi dapat disimpulkan bahwa alasan penggunaan bahasa tanah sebagai lirik nyanyian jemaat GPM merupakan kontekstualisasi teologi sekaligus usaha revitalisasi jati diri masyarakat Maluku yang hampir hilang seiring perkembangan zaman.

71

Hasil wawancara dengan Pdt. Christian I. Tamaela, M.Th. CM, MA (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 16 April 2012 pkl 18.00-20.00 bertempat di kediamannya.

72 Ibid. 73

Ibid. 74

Hasil wawancara via telepon dengan Bpk. Martinus Tomatala, S.Pd (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 16 Agustus 2012 pkl. 18.00-19.00.

75 Hasil wawancara via telepon dengan Pdt. John F. Beay, S.Th. (Tim Kerja Nyanyian Gerejawi GPM), tanggal 13 Agustus 2012 pkl. 18.30-19.30.

76 Ibid.


(18)

Mengantisipasi jemaat mengenai ketidaktahuan arti dari bahasa-bahasa tanah yang digunakan maka dilakukan dua langkah yaitu, arti atau terjemahan dituliskan pada ayat yang kedua dalam lagu dan terjemahan ekstra ditulis pada catatan kaki maupun dalam bagian lagu. Walaupun demikian masih ada kendala-kendala yang timbul, yaitu lagu-lagu yang menggunakan bahasa tanah tidak diajarkan kepada generasi muda dan yang kedua generasi muda tidak punya motivasi untuk belajar lagu-lagu berbahasa tanah dan lebih mudah menyerap informasi dari luar.77

Salah satu lagu yang menggunakan bahasa tanah antara lain nyanyian jemaat (NJ) no. 27 O Upu Yesus, Huau Raem yang artinya O Tuhan Yesus, aku mengasihiMu gubahan Christian Izaac Tamaela. Lirik lagu ini menggunakan bahasa tradisional pulau Seram demikian:

O Upu Yesus, huau raem.O Upu Yesus, huau raem.

O Inam, au pisara manta manta.O Inam, au kantara somba Upu. O Upu Yesus huau raem, huau raem kokuanya.

artinya:

O Tuhan Yesus, aku mengasihiMu, O Tuhan Yesus, aku mengasihiMu, O Ibu, aku berkata benar-benar, O Ibu, aku menyanyi menyembahMu, O Tuhan Yesus, aku mengasihiMu, aku mengasihiMu sungguh-sungguh.

Kata Inam berati ibu atau mama, dalam lagu ini penulis lagu mengandaikan Tuhan Yesus sebagai seorang ibu yang baik.

Contoh lain dari lagu yang menggunakan bahasa tanah adalah NJ no. 308 Boloka Udan Ma Mnaur, lagu ini menggunakan tangga nada diatonis terdiri dari dua ayat digubah oleh Ots Kilanmase sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Yamdena Timur, bunyinya demikian:

1. Boloka udan ma mnaur kjaib nerar ye rafuse Ka kere ramtaut koli Mel Silai nomat bese

2. Mel Silai nomat bese ber kit na kitnin falae Norkit ma ti tait loke loke dalam mangamline

Refrein:Ka kete bit tamtaut nempa tatpur dedesar Tatpur Yesus dedesar na kitnin falae dalam.

artinya:

77

Hasil wawancara dengan Pdt. Christian I. Tamaela . . .


(19)

1. Walau hujan serta angin arus ombak bergelora Tuhanlah nahkoda bagi kita dalam pelayaran

2. Janganlah kita bimbang karena Tuhanlah nahkoda Di hentarlah kita hingga tiba diteluk yang aman

Reff: Janganlah kita bimbang, namun peluk selalu Peluk selalu dalam pelayaran kita.

Lagu diatas merupakan metafora kehidupan sehari-hari orang Kristen di Maluku yang sebagian besar dikelilingi laut begitu juga dengan kehidupan iman umat Kristen. Tuhan adalah nahkoda sejati yang mampu menyelamatkan dan memimpin kepada kehidupan yang aman dan kekal.

IV. ANALISA PENGGUNAAN BAHASA TANAH DALAM LIRIK-LIRIK

NYANYIAN JEMAAT GPM

Kontekstualisasi merupakan jantung dari teologi.78 Oleh sebab itu telah menjadi sebuah keharusan saat Injil harus mendengarkan budaya tempat ia dituju sehingga kontekstual. Injil dan budaya harus menyatu agar sampai pada umat. Hal ini juga terkait dengan media yang digunakan dalam usaha tersebut. Salah satunya adalah musik. Dalam konteks tulisan ini musik gereja telah mendapat bagian dalam upaya menyatukan konteks jemaat dengan Injil.

Kontekstualisasi musik gereja oleh GPM telah membawa teologi berada dalam konteks jemaat di Maluku. Nyanyian jemaat GPM terbentuk dari budaya/konteks umat dengan Injil. Sehingga diharapkan iman jemaat bertumbuh dan berkembang darinya. Hal ini tidak terlepas dari penggunaan bahasa tanah sebagi bagian dari lirik-liriknya. Bahasa pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi.79 Konsep ini juga berhubungan dengan fungsi musik sebagai sarana ekspresif bagi jemaat untuk menunjuk pengalaman imannya kepada Tuhan. Atau dengan kata lain musik gereja merupakan bahasa dan wahana dimana Allah dan manusia berkomunikasi.80 Dengan demikian terlihat benang merah antara musik dan bahasa. Keduanya menjadi alat untuk berelasi antara Tuhan dan manusia atau saya sebut sebagai relasi vertikal.

78 Stephen B. Bevans,

Model . . ., 26. 79

Ernest Cassirer, Manusia. . ., 40. 80

Agastya Rama Listya, Kontekstualisasi. . ., 17.


(20)

Disamping itu, nyanyian jemaat yang kontekstual dan didukung dengan lirik berbahasa tanah tersebut juga telah berhasil membangun relasi horizontal. Maksudnya, dengan penggunaan bahasa tanah sebagai lirik GPM menunjukan usahanya untuk tetap melestarikan bahkan merevitalisasi budaya Maluku.

Hal ini terkait dengan defenisi bahasa bahwa ia merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti kepada generasi baru.81 Dengan demikian maka bahasa tanah sebagai warisan budaya dan identitas sudah semestinya di jaga dan di teruskan dari generasi ke generasi.

Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau ide-ide namun juga dapat mempengaruhi pengalaman manusia baik secara perseptual maupun konseptual.82 Jadi jika bahasa tanah hilang maka warisan budaya dari para nenek moyang pun serta merta akan hilang dan tidak akan pernah menjangkau generasi muda di Maluku. Misalnya saja, jika suatu saat bahasa tanah benar-benar punah penuturnya maka generasi muda masyarkat Maluku tidak lagi mengenal kata Masohi sebagai simbol kerukunan masyarakat Maluku, atau istilah Siwalima yang selama ini berperan sebagai lambang identitas masyarakat Maluku.

Terkait dengan masalah tersebut maka Andri Snær Magnason yang dikutip oleh Guðmundur Hálfdanarson mengatakan bahwa bahasa bukanlah sekedar ornamen namun merupakan dasar dari komunikasi, sumber dari saluran memori, pengalaman dan nilai, jadi jika bahasa menghilang atau berubah secara drastis maka pengetahuan dan ide-ide dari sebuah generasi tidak akan tersalurkan dengan demikian maka nilai-nilai budaya akan hilang.83 Sinode GPM dengan jelas memperhatikan hal ini sehingga usaha kontekstualisasi musik gereja yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam rangka menyelamatkan identitas masyarakat Maluku.

Dengan demikian sampailah kita pada satu titik yaitu jika bukan orang Maluku sendiri siapa lagi yang bisa membantu mengembalikan identitas masyarakat Maluku. Oleh sebab itu gereja dalam hal ini telah berperan penting sebagai salah satu promotor sekaligus pelaksana

81 Rafael Raga Maran,

Manusia. . ., 44. 82

Drs. Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa ... , 37. 83

Guðmundur Hálfdanarson, From Linguistic ..., 56.


(21)

bagi usaha revitaliasi bahasa tanah terlepas dari berapa persen tingkat efektifitas dari usaha tersebut.

Sekali lagi, usaha untuk membangkitkan kembali bahasa tanah yang hampir kehilangan penuturnya sejak abad ke-19 inipun tidak mudah. Walaupun demikian upaya GPM dalam usaha kontekstualisasi musik gerejanya telah memberikan sumbangsih penting untuk menggerakan umat di Maluku agar menyadari pentingnya menjaga dan melestarikan bahasa tanah dikalangan umat Kristiani. Hal ini juga terkait dengan hilangnya penutur bahasa tanah dari masyarakat Maluku yang beragama Kristen akibat Pekabaran Injil.

Berkitan dengan itu teologi seharusnya berangkat dari pengalaman dan kebudayaan dari yang dituju bukannya menghilangkannya. Mengutip Stephen B. Bevans, “Sebuah teologi yang tidak memantulkan zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatinan kita yang ada sekarang ini-dan karenanya bersifat kontekstual-adalah sebuah teologi palsu.”84 Jadi, Sinode GPM telah memberikan kontekstualisasi teologi agar iman umat di Maluku terus bertumbuh melalui nyanyian-nyanyian berbahasa tanah dan sekaligus disisi lain usaha ini membuktikan bahwa gereja juga turut memperhatikan dan bekerjasama dengan kebudayaan di Maluku.

Refleksi Teologis

Bernyanyi bagi Tuhan adalah sebuah pengakuan iman atas begitu besar kasihNya dalam hidup manusia. Mazmur 96: 1 “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi Tuhan hai segenap bumi!”, dengan jelas menganjurkan bagi setiap orang percaya memuliakan Tuhan dengan puji-pujiannya. Kontekstualisasi musik gereja oleh GPM telah memberikan nyanyian baru bagi Tuhan melalui pengalaman dan budaya milik masyarakat Maluku.

Bernyanyi bagi Tuhan tidak terbatas pada satu bahasa. Pemazmur dalam pasal 96: 1 ini secara tidak langsung telah membuka kesempatan agar orang percaya menyanyikan nyanyian baru dalam bahasa mereka masing-masing. Begitu pula masyarakat Maluku dapat menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan melalui bahasa tanah.

84

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 4.


(22)

Bahasa tanah adalah pemberian Tuhan melalui pengalaman dan eksistensi masyarakat Maluku. Oleh sebab itu Tuhan juga mampu berbicara bagi umat di Maluku menggunakan bahasa tanah. Bahasa tanah sebagai identitas masyarakat Maluku sudah sepantasnya dikembalikan kepada penciptanya salah satunya dalam wujud penyembahan melalui nyanyian.

Disamping itu nyanyian baru bagi Tuhan dengan menggunakan bahasa tanah ini juga merupakan indikasi dari kesiapan hati GPM untuk memuji Tuhan dengan perasaan yang sungguh-sungguh seperti yang diungkapkan Daud dalam Mazmur 138:1 “Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku, di hadapan para allah aku akan bermazmur bagi-Mu”. Dengan demikian nyanyian jemaat GPM dalam bahasa tanah telah memberikan pengalaman yang baru dan juga sakral bagi jemaat di Maluku saat memuji dan memuliakan Tuhan dengan segenap hati melalui bahasa mereka sendiri dan merasakan Tuhan hadir dan berbicara dalam bahasa yang mereka. Hal ini tentu memiliki dampak bagi pertumbuhan iman jemaat GPM kepada Tuhan dan menumbuhkan kesadaran untuk terus melestarikan budaya di Maluku.

V. KESIMPULAN

Gereja Protestan Maluku telah melakukan kontekstualisasi musik gereja dalam rangka mewujudkan teologi yang sesuai dengan pengalaman jemaat di Maluku. Usaha ini terwujud dalam buku nyanyian jemaat GPM yang memuat 342 lagu hasil ciptaan dari musisi-musisi dari seluruh daerah di Maluku. Salah satu bahasa yang digunakan dalam buku nyanyian tersebut adalah bahasa tanah atau bahasa-bahasa daerah yang telah berkurang penuturnya sejak awal abad ke-19.

Alasan pengunaan bahasa tanah ini ialah untuk merevitalisasi budaya Maluku juga sebagai sarana edukasi bagi generasi muda sekaligus sebagai wujud dari teologi yang kontekstual dalam membangun dan menguatkan iman jemaat Tuhan di Maluku. Hal ini juga terkait dengan identitas masyarakat Maluku dalam bahasa tanah tersebut. Jati diri yang dibentuk melalui bahasa tanah membuat nyanyian jemaat tersebut memiliki kesan yang mendalam sebagai bentuk dari rasa kepemilikian bahwa Tuhan juga berbicara melalui bahasa tanah bagi jemaat di Maluku.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abineno, J. L. Ch., Unsur-Unsur Liturgia yang dipakai Gereja-Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Berybe, Hendryk., “Sikap Etis Dalam Berbahasa: Suatu Persoalan”, dalam Basis XXXIII – 6. Yogyakarta, Mei 1984.

Bevans, Stephen B., Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002. Cassirer, Ernest, Manusia Dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, 1983.

Collins, James T., Sejarah Bahasa Melayu di AmbonSeminar Bahasa dan Budaya Maluku 2006: Melayu Ambon. Ambon: Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon, 2006. Engel, J. D., Liturgika–Pemahaman dan Penghayatan Ibadah Dalam Liturgi Gereja.

Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Gereja Protestan Maluku, Buku Himpunan Peraturan GPM. Ambon: BPH Sinode GPM, 2007.

Gereja Protestan Maluku, Nyanyian Jemaat Gereja Protestan Maluku. Ambon: GPM, 2010 Gereja Protestan Maluku, Buku Panduan Yubelium 50 tahun GPM. Ambon, Sinode GPM,

1985.

Gereja Protestan Maluku, Salinan Ketetapan-Ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode GPM. Ambon: BPH Sinode GPM, 2005.

Hálfdanarson, Guðmundur., From Linguistic Patriotism to Cultural Nationalism: Language and Identity in Iceland dalam Language And Identities In Historical Perspective, edited by Ann Katherine Isaacs. Pisa: Edizioni Plus – Università di Pisa, 2005.

Hesselgrave, David J. dan Rommen, Edward., Kontekstualisasi : Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Kattsoff, Louis., Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1985.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1983. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Listya, Agastya Rama, Kontekstualisasi Musik Gereja. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999.

Maran, Rafael Raga., Manusia dan Kebudayaan Dalam Prespektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.


(24)

Mustansyir, Rizal., Filsafat Bahasa – Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta: PT. Prima Karya, 1988.

Nazir, Moh., Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Panggabean, Maruli., Bahasa, Pengaruh Dan Peranannya. Jakarta: Gramedia, 1981. Peursen, C. A. Van, Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976.

Salim, Danny. “In Defense of Christian Heavy Metal.” Jurnal Ilmiah Seni Musik, Vol. 1, No. 1 (Jan 2009).

Soeharto, M., Kamus Musik. Jakarta: PT Gramedia Widarsana Indonesia, 1992. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Tapilatu, M., Sejarah Gereja Protestan Maluku (1935-1960). Ambon, Fakultas Filsafat UKIM, 2004.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. 3. – cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Widodo, Cerdik Menyusun Prosposal Penelitian. Jakarta: Yayasan Kelopak, 2004.

Internet

Arctic Languanges, “Language, Culture and Identity”; http://www.arcticlanguages.com/language_culture_and_identity.html. Di unduh tanggal 02 Juli 2012, pkl. 16.00 WIB

Gibson, Karl., English Only Court Cases Involving The U.S. Workplace: The Myths Of Language Use And The Homogenization Of Bilingual Workers’ Identities, 1; http://www.hawaii.edu/sls/sls/wp.../06/Gibson.doc/. Diunduh 02 Juli 2012, pkl 16.49 WIB.

Sterling, Polly., Identity in Language: An Exploration into the Social Implications of Linguistic Variation, (Texas: A&M University), 4; http://elisa1.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/.../identity%20in%20language.pdf. Di unduh 03 Juli 2012, pkl. 09.00 WIB.

Wikipedia, Identity (social science);

http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_%28social_science%29. Di unduh 03 Juli 2012. Yulianto, Joko., Bahasa Indonesia sebagai Identitas Bangsa Indonesia;

http://pascaunesa2011.blogspot.com/2012/01/bahasa-indonesia-sebagai-identitas.html. Di unduh 16 Juni 2012, pkl. 15.00 WIB.


(1)

1. Walau hujan serta angin arus ombak bergelora Tuhanlah nahkoda bagi kita dalam pelayaran 2. Janganlah kita bimbang karena Tuhanlah nahkoda

Di hentarlah kita hingga tiba diteluk yang aman Reff: Janganlah kita bimbang, namun peluk selalu

Peluk selalu dalam pelayaran kita.

Lagu diatas merupakan metafora kehidupan sehari-hari orang Kristen di Maluku yang sebagian besar dikelilingi laut begitu juga dengan kehidupan iman umat Kristen. Tuhan adalah nahkoda sejati yang mampu menyelamatkan dan memimpin kepada kehidupan yang aman dan kekal.

IV. ANALISA PENGGUNAAN BAHASA TANAH DALAM LIRIK-LIRIK

NYANYIAN JEMAAT GPM

Kontekstualisasi merupakan jantung dari teologi.78 Oleh sebab itu telah menjadi sebuah keharusan saat Injil harus mendengarkan budaya tempat ia dituju sehingga kontekstual. Injil dan budaya harus menyatu agar sampai pada umat. Hal ini juga terkait dengan media yang digunakan dalam usaha tersebut. Salah satunya adalah musik. Dalam konteks tulisan ini musik gereja telah mendapat bagian dalam upaya menyatukan konteks jemaat dengan Injil.

Kontekstualisasi musik gereja oleh GPM telah membawa teologi berada dalam konteks jemaat di Maluku. Nyanyian jemaat GPM terbentuk dari budaya/konteks umat dengan Injil. Sehingga diharapkan iman jemaat bertumbuh dan berkembang darinya. Hal ini tidak terlepas dari penggunaan bahasa tanah sebagi bagian dari lirik-liriknya. Bahasa pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi.79 Konsep ini juga berhubungan dengan fungsi musik sebagai sarana ekspresif bagi jemaat untuk menunjuk pengalaman imannya kepada Tuhan. Atau dengan kata lain musik gereja merupakan bahasa dan wahana dimana Allah dan manusia berkomunikasi.80 Dengan demikian terlihat benang merah antara musik dan bahasa. Keduanya menjadi alat untuk berelasi antara Tuhan dan manusia atau saya sebut sebagai relasi vertikal.

78 Stephen B. Bevans, Model . . ., 26. 79

Ernest Cassirer, Manusia. . ., 40.

80

Agastya Rama Listya, Kontekstualisasi. . ., 17.


(2)

Disamping itu, nyanyian jemaat yang kontekstual dan didukung dengan lirik berbahasa tanah tersebut juga telah berhasil membangun relasi horizontal. Maksudnya, dengan penggunaan bahasa tanah sebagai lirik GPM menunjukan usahanya untuk tetap melestarikan bahkan merevitalisasi budaya Maluku.

Hal ini terkait dengan defenisi bahasa bahwa ia merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti kepada generasi baru.81 Dengan demikian maka bahasa tanah sebagai warisan budaya dan identitas sudah semestinya di jaga dan di teruskan dari generasi ke generasi.

Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau ide-ide namun juga dapat mempengaruhi pengalaman manusia baik secara perseptual maupun konseptual.82 Jadi jika bahasa tanah hilang maka warisan budaya dari para nenek moyang pun serta merta akan hilang dan tidak akan pernah menjangkau generasi muda di Maluku. Misalnya saja, jika suatu saat bahasa tanah benar-benar punah penuturnya maka generasi muda masyarkat Maluku tidak lagi mengenal kata Masohi sebagai simbol kerukunan masyarakat Maluku, atau istilah Siwalima yang selama ini berperan sebagai lambang identitas masyarakat Maluku.

Terkait dengan masalah tersebut maka Andri Snær Magnason yang dikutip oleh Guðmundur Hálfdanarson mengatakan bahwa bahasa bukanlah sekedar ornamen namun merupakan dasar dari komunikasi, sumber dari saluran memori, pengalaman dan nilai, jadi jika bahasa menghilang atau berubah secara drastis maka pengetahuan dan ide-ide dari sebuah generasi tidak akan tersalurkan dengan demikian maka nilai-nilai budaya akan hilang.83 Sinode GPM dengan jelas memperhatikan hal ini sehingga usaha kontekstualisasi musik gereja yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam rangka menyelamatkan identitas masyarakat Maluku.

Dengan demikian sampailah kita pada satu titik yaitu jika bukan orang Maluku sendiri siapa lagi yang bisa membantu mengembalikan identitas masyarakat Maluku. Oleh sebab itu gereja dalam hal ini telah berperan penting sebagai salah satu promotor sekaligus pelaksana

81 Rafael Raga Maran, Manusia. . ., 44. 82

Drs. Rizal Mustansyir, Filsafat Bahasa ... , 37.

83

Guðmundur Hálfdanarson, From Linguistic ..., 56.


(3)

bagi usaha revitaliasi bahasa tanah terlepas dari berapa persen tingkat efektifitas dari usaha tersebut.

Sekali lagi, usaha untuk membangkitkan kembali bahasa tanah yang hampir kehilangan penuturnya sejak abad ke-19 inipun tidak mudah. Walaupun demikian upaya GPM dalam usaha kontekstualisasi musik gerejanya telah memberikan sumbangsih penting untuk menggerakan umat di Maluku agar menyadari pentingnya menjaga dan melestarikan bahasa tanah dikalangan umat Kristiani. Hal ini juga terkait dengan hilangnya penutur bahasa tanah dari masyarakat Maluku yang beragama Kristen akibat Pekabaran Injil.

Berkitan dengan itu teologi seharusnya berangkat dari pengalaman dan kebudayaan dari yang dituju bukannya menghilangkannya. Mengutip Stephen B. Bevans, “Sebuah teologi yang tidak memantulkan zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatinan kita yang ada sekarang ini-dan karenanya bersifat kontekstual-adalah sebuah teologi palsu.”84 Jadi, Sinode GPM telah memberikan kontekstualisasi teologi agar iman umat di Maluku terus bertumbuh melalui nyanyian-nyanyian berbahasa tanah dan sekaligus disisi lain usaha ini membuktikan bahwa gereja juga turut memperhatikan dan bekerjasama dengan kebudayaan di Maluku.

Refleksi Teologis

Bernyanyi bagi Tuhan adalah sebuah pengakuan iman atas begitu besar kasihNya dalam hidup manusia. Mazmur 96: 1 “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi Tuhan hai segenap bumi!”, dengan jelas menganjurkan bagi setiap orang percaya memuliakan Tuhan dengan puji-pujiannya. Kontekstualisasi musik gereja oleh GPM telah memberikan nyanyian baru bagi Tuhan melalui pengalaman dan budaya milik masyarakat Maluku.

Bernyanyi bagi Tuhan tidak terbatas pada satu bahasa. Pemazmur dalam pasal 96: 1 ini secara tidak langsung telah membuka kesempatan agar orang percaya menyanyikan nyanyian baru dalam bahasa mereka masing-masing. Begitu pula masyarakat Maluku dapat menyanyikan nyanyian baru bagi Tuhan melalui bahasa tanah.

84

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 4.


(4)

Bahasa tanah adalah pemberian Tuhan melalui pengalaman dan eksistensi masyarakat Maluku. Oleh sebab itu Tuhan juga mampu berbicara bagi umat di Maluku menggunakan bahasa tanah. Bahasa tanah sebagai identitas masyarakat Maluku sudah sepantasnya dikembalikan kepada penciptanya salah satunya dalam wujud penyembahan melalui nyanyian.

Disamping itu nyanyian baru bagi Tuhan dengan menggunakan bahasa tanah ini juga merupakan indikasi dari kesiapan hati GPM untuk memuji Tuhan dengan perasaan yang sungguh-sungguh seperti yang diungkapkan Daud dalam Mazmur 138:1 “Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku, di hadapan para allah aku akan bermazmur bagi-Mu”. Dengan demikian nyanyian jemaat GPM dalam bahasa tanah telah memberikan pengalaman yang baru dan juga sakral bagi jemaat di Maluku saat memuji dan memuliakan Tuhan dengan segenap hati melalui bahasa mereka sendiri dan merasakan Tuhan hadir dan berbicara dalam bahasa yang mereka. Hal ini tentu memiliki dampak bagi pertumbuhan iman jemaat GPM kepada Tuhan dan menumbuhkan kesadaran untuk terus melestarikan budaya di Maluku.

V. KESIMPULAN

Gereja Protestan Maluku telah melakukan kontekstualisasi musik gereja dalam rangka mewujudkan teologi yang sesuai dengan pengalaman jemaat di Maluku. Usaha ini terwujud dalam buku nyanyian jemaat GPM yang memuat 342 lagu hasil ciptaan dari musisi-musisi dari seluruh daerah di Maluku. Salah satu bahasa yang digunakan dalam buku nyanyian tersebut adalah bahasa tanah atau bahasa-bahasa daerah yang telah berkurang penuturnya sejak awal abad ke-19.

Alasan pengunaan bahasa tanah ini ialah untuk merevitalisasi budaya Maluku juga sebagai sarana edukasi bagi generasi muda sekaligus sebagai wujud dari teologi yang kontekstual dalam membangun dan menguatkan iman jemaat Tuhan di Maluku. Hal ini juga terkait dengan identitas masyarakat Maluku dalam bahasa tanah tersebut. Jati diri yang dibentuk melalui bahasa tanah membuat nyanyian jemaat tersebut memiliki kesan yang mendalam sebagai bentuk dari rasa kepemilikian bahwa Tuhan juga berbicara melalui bahasa tanah bagi jemaat di Maluku.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abineno, J. L. Ch., Unsur-Unsur Liturgia yang dipakai Gereja-Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Berybe, Hendryk., “Sikap Etis Dalam Berbahasa: Suatu Persoalan”, dalam Basis XXXIII – 6. Yogyakarta, Mei 1984.

Bevans, Stephen B., Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002. Cassirer, Ernest, Manusia Dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, 1983.

Collins, James T., Sejarah Bahasa Melayu di AmbonSeminar Bahasa dan Budaya Maluku

2006: Melayu Ambon. Ambon: Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon, 2006.

Engel, J. D., Liturgika–Pemahaman dan Penghayatan Ibadah Dalam Liturgi Gereja. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Gereja Protestan Maluku, Buku Himpunan Peraturan GPM. Ambon: BPH Sinode GPM, 2007.

Gereja Protestan Maluku, Nyanyian Jemaat Gereja Protestan Maluku. Ambon: GPM, 2010 Gereja Protestan Maluku, Buku Panduan Yubelium 50 tahun GPM. Ambon, Sinode GPM,

1985.

Gereja Protestan Maluku, Salinan Ketetapan-Ketetapan Hasil Persidangan XXXV Sinode GPM. Ambon: BPH Sinode GPM, 2005.

Hálfdanarson, Guðmundur., From Linguistic Patriotism to Cultural Nationalism: Language and Identity in Iceland dalam Language And Identities In Historical Perspective, edited by Ann Katherine Isaacs. Pisa: Edizioni Plus – Università di Pisa, 2005.

Hesselgrave, David J. dan Rommen, Edward., Kontekstualisasi : Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Kattsoff, Louis., Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1985.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1983. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Listya, Agastya Rama, Kontekstualisasi Musik Gereja. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999.

Maran, Rafael Raga., Manusia dan Kebudayaan Dalam Prespektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.


(6)

Mustansyir, Rizal., Filsafat Bahasa – Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta: PT. Prima Karya, 1988.

Nazir, Moh., Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Panggabean, Maruli., Bahasa, Pengaruh Dan Peranannya. Jakarta: Gramedia, 1981. Peursen, C. A. Van, Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976.

Salim, Danny. “In Defense of Christian Heavy Metal.” Jurnal Ilmiah Seni Musik, Vol. 1, No. 1 (Jan 2009).

Soeharto, M., Kamus Musik. Jakarta: PT Gramedia Widarsana Indonesia, 1992. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Tapilatu, M., Sejarah Gereja Protestan Maluku (1935-1960). Ambon, Fakultas Filsafat UKIM, 2004.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia ed. 3. – cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Widodo, Cerdik Menyusun Prosposal Penelitian. Jakarta: Yayasan Kelopak, 2004.

Internet

Arctic Languanges, “Language, Culture and Identity”; http://www.arcticlanguages.com/language_culture_and_identity.html. Di unduh tanggal 02 Juli 2012, pkl. 16.00 WIB

Gibson, Karl., English Only Court Cases Involving The U.S. Workplace: The Myths Of

Language Use And The Homogenization Of Bilingual Workers’ Identities, 1;

http://www.hawaii.edu/sls/sls/wp.../06/Gibson.doc/. Diunduh 02 Juli 2012, pkl 16.49 WIB.

Sterling, Polly., Identity in Language: An Exploration into the Social Implications of Linguistic Variation, (Texas: A&M University), 4; http://elisa1.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/.../identity%20in%20language.pdf. Di unduh 03 Juli 2012, pkl. 09.00 WIB.

Wikipedia, Identity (social science);

http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_%28social_science%29. Di unduh 03 Juli 2012.

Yulianto, Joko., Bahasa Indonesia sebagai Identitas Bangsa Indonesia;

http://pascaunesa2011.blogspot.com/2012/01/bahasa-indonesia-sebagai-identitas.html. Di unduh 16 Juni 2012, pkl. 15.00 WIB.