T1 802011601 Full text

HUBUNGAN POLA ASUH PERMISIF DENGAN SCHOOL REFUSAL
PADA SISWA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRISTEN SALATIGA

OLEH
BAYU YOGI STYAJI
802011601

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program StudiPsikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

HUBUNGAN POLA ASUH PERMISIF DENGAN SCHOOL REFUSAL
PADA SISWA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRISTEN SALATIGA

Bayu Yogi Styaji

Ratriana Y.E.Kusumiati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif dan
signifikan antara pola asuh permisif dengan school refusal siswa di Sekolah Menengah
Kejuruan Kristen Salatiga. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Kejuruan Kristen
dengan subjek pelajar akktif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pengkhususan
batasan tertentu. Selanjutnya, sampel penelitian berkisar 90 orang dengan pertimbangan
bahwa jumlah sampel merupakan merupakan siswa yang berada di kelas 2. Untuk mengukur
school refusal akan diukur menggunakan pengukuran menurut Setzer & Salzhauer (2001)
yaitu menghindari objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah, menghindari situasi
yang mendatangkan rasa tidak nyaman dalam berinteraksi dengan teman sebaya, mencari

perhatian dari luar sekolah, dan mengejar kesenangan di luar sekolah. Sementara untuk
mengukur pola asuh permisif (dalam Kang & Moore, 2011) yang mencakup rendahnya
tutuan terhadap anak dan kecendrungan menuruti keinginan anak. Dari penelitian ini
diperoleh hasil korelasi sebesar r it = 0,629 (p > 0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa ada
hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dan school refusal siswa di
Sekolah Menengah Kejuruan Kristen Salatiga.
Kata kunci: Pola asuh permisif, School Refusal

Abstact
The objective of the study is to observe the relationship between permisif parenting and
school refusal among Christian Vocation High School students Salatiga. The research is
conducted in Chirstian Vocation High School, while the respondents are the active students.
The sample of the research use purposive sampling, in which determine the sample according
to certain characteristics. Furthermore, sample of the study are 90 of 2nd grade students.
School refusal schale use school refusal scale according to Setzer & Salzhauer (2001) such
as; object or situation related to school avoidance, avoid the situation which encourage
uncomfortable feeling in establishing relationship withe peers, seeking attention outside
school, and pursuit of pleasure outside school. While to measure permisif parenting used
permisif parenting scale (Kang & Moore, 2011) including: the low demand to children and
and i nclined to grant the wishes of children. The result of the study shows that correlation

value r it = 0,629 (p > 0,05). It measn that there is a positive significant relationship between
permisif parenting and school refusal among Christian Vocation High School students
Salatiga.

Key Words: Permisif Parenting, School Refusal

1
PENDAHULUAN
Sekolah

sebagai

institusi

pendidikan

secara

berkesinambungan


berupaya

mengembangkan serta menumbuhkembangkan sifat pengendalian diri pada diri siswa,
sehingga perbuatan siswa selalu berada dalam koridor disiplin dan tata tertib sekolah. Sebagai
salah satu lembaga pendidikan formal di kota Salatiga, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
juga memiliki peran memajukan pendidikan bagi masyarakat di kota Salatiga dan sekitarnya
juga (seperti wilayah kabupaten Semarang) dengan berlandaskan iman Kristiani.
Namun dalam upaya memajukan pendidikan tersebut, terjadi beberapa kendala di
SMK Kristen Salatiga. Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah dan guru bimbingan
konseling serta pengamatan penulis yang dilakukan secara nonformal pada awal tahun 2014,
maka diketahui bahwa ada beberapa konotasi yang beredar terkait dengan tingkat
kedisiplinan sekolah menengah kejuruan yang kurang mendapat perhatian dibandingkan
sekolah menengah umum, sehingga untuk mencapai siswa yang berkualitas menjadi kurang
maksimal.
Fenomena kedisiplinan yang minim sangat mungkin terjadi jika proses pendidikan
tanpa dukungan dari lingkungan yaitu keluarga, masyarakat, sekolah, dan kelompok teman
sebaya meskipun di sekolah telah ada tata tertib yang mengajarkan untuk berdisiplin, tetapi
masih saja ada siswa yang melanggarnya. Hurlock (2008) mengatakan bahwa disiplin
merupakan cara masyarakat mengajar anak berperilaku moral yang disetujui kelompok.
Adapun fungsi atau manfaat disiplin menurut Hurlock (2008) diantaranya: 1) untuk mengajar

anak bahwa perilaku tertentu selalu diikuti hukuman, namun yang lain akan diikuti pujian, 2)
untuk mengajar anak suatu tingkatan penyesuaian yang wajar tanpa menuntut konformitas
yang berlebihan, 3) membantu anak mengendalikan diri dan pengarahan diri sehingga mereka
dapat mengembangkan hati nurani untuk membimbing tindakan mereka.
Terkait dengan penegakan disiplin, ada suatu permasalahan yang telah ada dan
berkembang sejak beberapa dekade terakhir ini, salah satunya adalah school refusal yang
telah menjadi tradisi di kalangan pelajar. Fenomena ini terlihat saat banyak pelajar yang
dijumpai di luar kelas saat jam pelajaran. Bukan hanya berada di lingkungan sekolah saja,
namun bahkan sampai ada yang meninggalkan sekolah. Menurut Kearney (2006) anak usia
sekolah dapat mengalami school refusal jika: sama sekali meninggalkan sekolah (absen
terus‐menerus); masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah
usai; mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi ke sekolah,

2
misalnya mengamuk (tantrum); pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di
sekolah berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin).
Kasus school refusal pada remaja umumnya dilatarbelakangi oleh kondisi kejiwaan yang
memicu. Pada penelitan terkait maka diketahui bahwa ada hubungan antara school refusal
dengan kemiskinan, ukuran keluarga, hidup dengan orang tua tiri, orang tua tanpa ijazah
sekolah tinggi atau menganggur, tinggal di berbahaya lingkungan, gaya pengasuhan atau

konflik, depresi ibu, atau orang tua dengan riwayat keyakinan pidana (Egger,dkk., 2003).
Selain itu, munculnya school refusal biasanya dikaitkan dengan faktor keluarga yang di
antaranya adalah: pola interaksi yang kurang sehat di dalam keluarga, misalnya adanya
ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah
pembagian peran dalam keluarga (Fremont, 2003; Hogan, 2006). Sementara perilaku school
refusal juga dipengaruhi pola interaksi dalam keluarga (Kearney & Silverman, 1995). Pada

penelitianya Kearney & Silverman (2002) juga mengungkapkan bahwa kurangnya kendali
orang tua atas fungsi kebebasan atau penjaringan yang minim berpotensi menimbulkan
perilaku school refusal.
Selain itu, dalam penelitiannya Manurung (2012) menemukan bahwa school refusal pada
anak sekolah dasar disebabkan oleh pengalaman sebelumnya dari individu yang
bersangkutan. Sementara, fenomena school refusal di sekolah pada akhir-akhir ini juga
terbawa dan nampak hingga dewasa, yang terlihat pada kalangan pemerintahan seperti pada
para pegawai negeri maupun wakil rakyat yang seharusnya menjalankan tugas dan
kewajibannya secara optimal, dan masih banyak peristiwa lainnya. Selanjutnya, sebagaimana
diungkapkan oleh Bernstein, dkk (2001) bahwa secara umum perilaku school refusal di
antara anak laki-laki dan perempuan seimbang namun perilkau School Refusal pada anak
perempuan mungkin didasarkan oleh rasa cemas dan takut, sementara perilaku school refusal
pada anak laki-laki mungkin lebih didasarkan untuk keinginan yang kuat untuk memberontak

atau melakukan perlawanan. Akhirnya melalui fenomena-fenomena tersebut serta penelitian
terdahulu maka diketahui bahwa peran pola asuh orang tua dalam menegakan kedisiplinan
berperan aktif terhadap terbentuknya perilaku suatu individu. Dengan kasus-kasus yang telah
ada di atas dan fenomena yang terjadi di kalangan remaja mengenai school refusal khususnya
di lingkungan sekolah menengah atas, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada
hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal remaja pada para siswa Sekolah
Menegah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga.

3
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan rumusan masalah yaitu apakah
ada hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal siswa di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga?
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi School Refusal
School refusal dapat diartikan sebagai perilaku menghindari sekolah karena adanya

tekanan emosi, perasaan takut dan cemas menghadapi sekolah. Mereka biasanya merasa
bersalah dengan meninggalkan sekolah dan rasa bersalah ini membuat mereka semakin
tertekan (Wenar, 1994; Fremont, 2003). Meskipun, Gelfand & Drew (2003) berpendapat

bahwa kini semakin sulit untuk membedakan kedua bentuk di atas karena semakin banyak
bukti bahwa anak ternyata bisa saja mengalami gangguan kecemasan (yang berasosiasi
dengan school phobia ) dan gangguan perilaku agresif (yang berasosiasi dengan truancy)
secara bersamaan.
Selanjutnya, Kearney (2006) menambahkan bahwa anak usia sekolah dapat
mengalami school refusal jika: sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus‐menerus);
masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai; mengalami
perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi ke sekolah, misalnya
mengamuk (tantrum); pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah
berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing, ke toilet, berkeringat dingin). School
refusal pada remaja umumnya dilatarbelakangi oleh kondisi kejiwaan yang memicu seperti:

kemiskinan, ukuran keluarga, hidup dengan orang tua tiri, orang tua tanpa ijazah sekolah
tinggi atau menganggur, tinggal di berbahaya lingkungan, gaya pengasuhan atau konflik,
depresi ibu, atau orang tua dengan riwayat keyakinan pidana (Egger et al., 2003).
Jenis School Refusal
Menurut Gelfand & Drew (2003) school refusal terbagi menjadi dua jenis yaitu:
(1) Jenis I (tipe akut), tipe ini puncaknya terjadi pada anak sekitar umur 5‐8 tahun. School
refusal akut terjadi dalam kurun waktu antara 2 minggu sampai satu tahun. Tipe ini


memiliki prognosis yang lebih bagus
(2) Jenis II (kronis), yang terjadi selama 2 tahun ajaran atau lebih. Tipe ini puncaknya
terjadi pada anak tingkat SLTP atau SLTA dan memperlihatkan kesulitan yang lebih
serius. Tipe ini memiliki prognosis yang kurang bagus. Onset school refusal biasanya

4
mengikuti suatu pola yang cukup universal. Gangguan biasanya mulai timbul saat
bangun pagi. Saat harus bersiap‐siap untuk berangkat ke sekolah, anak akan mengalami
berbagai simtom seperti mual, muntah, sakit perut, diare, pusing, dan sebagainya.
Hal‐hal kecil membuatnya marah (Wenar, 1994; Gelfand & Drew, 2003).

Indikator School Refusal
School refusal bervariasi, namun secara umum Setzer & Salzhauer (2001)

menyebutkan empat indikator untuk menghindari sekolah yaitu:
(1) Menghindari objek‐objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress
(2) Melarikan diri dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi
dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik
(3) Mencari perhatian dari pihak pihak terkait di luar sekolah

(4) Mengejar penghargaan atas perilaku mencari kesenangan di luar sekolah.

Munculnya school refusal biasanya dikaitkan dengan faktor keluarga. Terjadinya
school refusal pada anak telah ditemukan berhubungan dengan berbagai pola interaksi yang

kurang sehat di dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang berlebihan antar
anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah pembagian peran dalam keluarga
(Fremont, 2003; Hogan, 2006).
Pola Asuh Permisif
Menurut Hurlock (2008) pada hakikatnya pola asuh merupakan upaya untuk mendidik
serta mempersiapkan anak agar dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan sosial.
Selanjutnya, Baumrind (1991) mendefinisikan pola asuh permisif sebagai parental control
(kontrol orang tua terhadap anak-anaknya) yang disertai sikap orang tua yang terlampau
bermurah atau berbaik hati dalam mendidik anak-anaknya dan terkadang lebih cenderung
untuk memenuhi permintaan anak-anak. Pada pola asuh permisif, orang tua menganggap
serta memperlakukan sebagai teman bagi anak-anaknnya sehingga sangat jarang menerapkan
pendisiplinan kepada anak-anaknya karena mereka memiliki harapan kematangan dan
pengontrolan diri yang relatif rendah, bahkan pola asuh seperti ini mendorong orang tua
untuk lebih responsif dibandingkan dengan menuntut perilaku tertentu dari anak-anak
mereka. Baumrind (dalam Mussen, 1989) mengatakan bahwa pola asuh permisif merupakan

pola asuh yang tidak mengendalikan, tidak menuntut dan hangat, mereka tidak terorganisasi

5
dengan baik. Atau tidak efektif dalam menjalankan rumah tangga, lemah dalam
mendisiplinkan dan mengajar remaja, hanya menutup sedikit perilaku dewasa dan hanya
sedikit memberi perhatian dalam melatih kemandirian dan kepercayaan diri. Orang tua
dengan gaya pengasuh permisif memberikan sedikit tuntutan dan menekankan sedikit
disiplin.
Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif akan memiliki tingkat kontrol yang
rendah dan tingkat responsif yang tinggi (Bornstein & Bornstein, 2007). Mereka seringkali
lebih menerima dan menyetujui perilaku-perlaku anak-anak mereka dan percaya terhadap
pendekatan tanpa pemberian hukuman. Mereka seringkali menghindari konfrontasi dan tidak
menutut adanya ketaatan (Baumrind, 1991).
Selanjutnya Baumrind (dalam Kang & Moore, 2011) Pola Asuh Permisif sebagai pola
asuh dengan karakteristik orang tua yang tidak terlalu menuntut anak dan cenderung menuruti
keingianan anak. Kebebasan diberikan secara penuh dan remaja diijinkan membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Tanpa peraturan orang tua dan boleh berkelakuan menurut
apa yang diinginkannya tanpa adanya kontrol dari oran tua.
Dari beberapa pendapat tersebut maka diketahui, bahwa pola asuh yang tepat
merupakan faktor yang penting dalam pendidikan anak. Berdasarkan hasil penelitian, maka
diketahui bahwa anak-anak yang dididik dengan pola asuh permisif akan cenderung memiliki
tingkat kematangan serta dorongan untuk melakukan kontrol diri yang rendah (Cummings,
Braungart-Rieker, & Du Rocher-Schudlich, 2003) .

Ciri Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif ini memiliki beberapa karakteristik seperti: orang tua memberikan
kebebasan seluas mungkin kepada anak. Orang tua (ayah maupun ibu) memberikan kasih
sayang yang banyak dan bersikap sangat longgar. Dengan kata lain anak tidak dituntut untuk
belajar bertanggung jawab, anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa. Anak diberi
kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Orang tua tidak banyak
campur tangan dalam mengatur dan mengontrol anak-anaknnya serta diberi kesempatan
untuk mandiri dengan menyeimbangkan kontrol internalnya sendiri (Baumrind, 1971).
Baumrind (dikutip Mahmud 2003), mengungkapkan ciri-ciri pola asuh permisif:
a. Orang tua kurang sekali terlibat dalam mengontrol remaja
b. Orang tua tidak menerapkan hukuman pada remaja.
c. Orang tua tidak membentuk peran remaja dalam keluarga
d. Orang tua kurang menggunakan haknya untuk membuat aturan kepada remaja.

6
Sementara Hurlock (2008), menyebutkan ciri-ciri pola asuh permisif, antara
lain: tidak ada pengendalian atau kontrol serta tuntutan orang tua kepada anak,
komunitas kurang hangat karena orang tua bersifat masa bodoh, disiplin yang bersifat
permisif sehingga tidak membimbing anak ke arah pola perilaku yang disetujui secara
sosial, juga tidak adanya hukuman atau hadiah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh
permisif adalah pola asuh yang tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat, bimbingan
jarang diberikan sehingga tidak ada pengendalian, pengontrolan serta tuntutan kepada
anak.

Remaja Tengah
Menurut Hurlock (2000), remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya
adolescentra yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang

mengalami kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Jadi masa remaja adalah usia di
mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa
di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Selanjutnya Hurlock (2000) menyatakan 13-18
tahun untuk remaja wanita dan 14-18 tahun untuk remaja pria, dan apabila remaja itu
bersekolah mereka adalah duduk di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah
umum (SMU).
Sedangkan menurut Monks (2002) batasan usia remaja antara 12-21 tahun, dan masa
remaja dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Masa remaja awal

: 12-15 tahun

b. Masa remaja tengah

: 15-18 tahun

c. Masa remaja akhir

: 18-21 tahun

Dari beberapa pendapat penulis mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Monks
(2002), yaitu bahwa batasan usia remaja tengah adalah dimulai dari umur 15-18 tahun.
Menurut Hurlock (2000) masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya
dengan perilaku sebelum dan selanjutnya. Ciri-ciri tersebut akan dijelaskan secara singkat di
bawah ini:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya
perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja, semua

7
perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya
membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang terjadi
sebelumnya, melainkan lebih-lebih sejumlah peralihan dari satu terhadap
perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya
akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka
perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat.
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa peranan dalam masyarakat.
Hubungan Pola Asuh Permisif dengan School Refusal siswa
Remaja yang kurang mendapat pemenuhan kebutuhan psikis dari lingkungannya dapat
mengakibatkan remaja bersangkutan tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah
dan susah tidur, lebih gugup dan agresif (Shapiro dalam Sari, 2005). Pada kondisi ini, remaja
menjadi rentan untuk terlibat pada kasus-kasus kriminalitas akibat pengaruh kekuatan yang
tidak baik dalam lingkungan sosialnya, seperti tidak bertanggung jawab pada diri dan
pemenuhan tugas serta kewajibannya (Gottman & DeClaire dalam Sari, 2005). Agar
seseorang berperilaku baik tentu saja harus didasari adanya kemampuan untuk menyesuaikan
dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia tinggal, sedangkan bila seseorang gagal dalam
mengadakan penyesuaian diri akan dimanifestasi dalam kelainan tingkah laku yang
dimunculkan dalam bentuk tingkah laku keinginan melanggar peraturan dan norma yang
berlaku di lingkungan sosialnya (Daradjat, 1985).
Pola asuh permisif sangatlah berpengaruh bagi perilaku, karena Pola asuh orang tua
permisif bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa
adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Sedikit banyak orang tua perpendapat
bahwa pengasuhan yang sangat melongarkan anaknya akan mempengaruhi kedewasaan
anaknya dengan baik, tetapi kadang orang tua juga salah, karena dampak dari pola asuh
permisif yang mereka terapkan itulah seorang anak, kususnya remaja akan berbalik dengan
perilaku agresif. Anak tersebut akan merasa sangat bebas bertindak dengan tidak adanya

8
tekanan yang diberikan orang tuanya. Dengan adanya pola asuh permisif yang bersifat bebas
tersebut, seorang anak akan terbiasa merasa tidak ada halangan supaya dia dapat bertindak
sesukanya tanpa adanya hukuman atau sangsi, karena orang tua sendiri tidak memberlakukan
hukuman atau sangsi dan ketegasan.
Melalui pola asuh permisif ini, maka seorang siswa atau siswi juga memberanikan diri
untuk menampilkan perilaku school refusal, di mana individu yang bersangkutan berupaya
menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Pada prinsipnya
perilaku school refusal berkepanjangan akhirnya akan berdampak prestasi akademik (Egger,
Costello, & Angold, 2003). Oleh karena

itu, maka perilaku school refusal

ini, perlu

mendapatkan perhatian dan penanganan yang khusus dari pihak orang tua dan sekolah. Dari
pola asuh permisif yang diterapkan itulah seorang remaja akan terbiasa melakukan proses
yang semaunya sendiri dan menjadikan dirinya sebagai pemberontak dan menjadi sangat
agresif di dalam lingkungannya, salah satunya adalah pertengkaran, perkelahian, atau
perbuatan kriminal yang bila mana orang tua dapat mengontrolnya akan dapat di
tanggulanginya.
Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang ada, maka rumusan hipotesis yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah adanya hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal pada
para siswa SMK Kristen Salatiga.

METODOLOGI PENELITIAN
Variabel Penelitian
Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel terikat

: School refusal

Penelitian skala school refusal menurut Setzer & Salzhauer (2001) yaitu:
(1) Menghindari objek‐objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress
(2) Menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi
dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik
(3) Mencari perhatian dari significant others di luar sekolah
(4) Mengejar kesenangan di luar sekolah.

9
2. Variabel bebas

: Pola asuh permisif

Selanjutnya, pengukuran pola asuh menggunakan skala pola asuh menurut Baumrind (dalam
Kang & Moore, 2011) yaitu rendahnya tuntutan terhadap anak dan cenderung menuruti
keingianan anak.

Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi adalah semua individu atau sejumlah individu yang paling sedikit mempunyai
sifat dan ciri yang sama sehingga kenyataan yang akan diperoleh tersebut akan dapat
digeneralisasikan. Generalisasi ini berarti dapat diasumsikan ciri sifat atau karakteristik
kelompok yang bersangkutan dapat mewakili sifat-sifat individu secara umum (Hadi, 1991).
Dalam penelitian ini sebagai populasi adalah 300 siswa dan siswi remaja tengah yang
bersekolah di sekolah menengah kejuruan SMK Kristen Salatiga. Adapun pemilihan subjek
ini dikarenakan subjek masuk dalam kategori remaja tengah (usia antara 15-18) tahun. Selain
itu fenomena school refusal secara umum lebih sering terjadi di sekolah kejuruan di
bandingkan dengan sekolah menengah atas pada umumnya.

Sampel
Sampel adalah bagian yang hendak dipelajari serta diselidiki dari penelitian dan minimal
memiliki satu pengkhususan. Terkait dengan pengumpulan data, maka penelitian yang
dikembangkan oleh penulis menggunakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan
dengan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Hal ini berarti subyek penelitian diperoleh peneliti melalui pengkhususan dengan
batasan-batasan tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Hadi, 1991).
Karakteristik sampel yang diambil oleh penulis, yaitu: Subjek merupakan remaja tengah yang
berusia antara 15-18 tahun. Pada penelitian ini penulis menggunakan sampel sebanyak 90
siswa dan siswi Sekolah Menengah Kejuruan Kristen Salatiga.

Metode Pengumpulan Data
Penelitian mengenai hubungan antara pola asuh permisif dengan school refusal pada para
siswa di Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Kristen Salatiga yang penulis lakukan
menggunakan angket. Metode angket merupakan suatu metode penyelidikan yang
menggunakan daftar pertanyaan yang berisi aspek-aspek yang hendak diukur dan yang harus
dijawab atau dikerjakan oleh orang-orang yang menjadi subjek penelitian (Suryabrata, 2003).

10
Menurut Warsito (1995), mengatakan bahwa angket bertujuan untuk mendapatkan informasi
yang lengkap mengenai suatu masalah.
Angket yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang bersifat langsung.
Nawawi (1995) menyatakan bahwa angket yang bersifat langsung adalah angket yang
langsung diberikan kepada responden. Selain itu, angket yang digunakan dalam penelitian ini
adalah angket tertutup. Arikunto (2002) menyatakan bahwa angket tertutup adalah angket
yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa, sehingga responden tinggal memberikan tanda
centang (√) pada kolom atau tempat yang sesuai.
Uji Validitas dan uji reliabialitas
Uji Validitas
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Pengujian alat ukur ini menggunakan teknik Product Moment
N it   i t 

dari Karl Pearson dengan rumus sebagai berikut :
rit 

Ni

2

 t 

2

Ni

2

 t 

2



keterangan :

rit = koefisien korelasi antara skor item dan skor total

i = jumlah skor masing-masing item
t = jumlah skor seluruh item total
it = jumlah nilai hasil kali skor item dan skor total
N = jumlah subjek yang diteliti
Kriteria validitas item didasarkan pada besarnya korelasi yang diperoleh.

Menurut Azwar (2000) yaitu suatu item dikatakan valid jika koefisien korelasinya ≥ 0,25.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur menyatakan seberapa hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat
dipercaya. Reliabilitas alat ukur menunjuk kepada sejauh mana perbedaan-perbedaan skor
perolehan itu mencerminkan perbedaan-perbedaan atribut yang sebenarnya (Suryabrata,
2000). Penentuan reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach.
Perhitungan teknik analisis varians menggunakan bantuan komputer paket SPSS for windows
versi 17, dengan rumus :

2
2
 N   S  Si 
 


S2
 N  1 

Keterangan

11

  koefisien Alpha Cronbach
N  jumlah item pada kuisioner
S 2  varians seluruh skor tes
Si 2  varians tiap item
Uji reliabilitas dalam penelitian ini mengikuti standar yang dikemukan oleh
Awar (2000):
α < 0.7

= tidak reliabel

0.7 < α < 0.8

= cukup

0.8 < α < 0.9

= bagus

0.9 < α < 1

= sangat bagus

Analisa Data
Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan teknik korelasi Product
Moment dari Pearson yang berfungsi untuk mencari korelasi antara dua variabel yaitu
variabel bebas dan variabel terikat yang masing-masing bergejala interval atau rasio
(Sugiyono, 2009). Untuk menentukan signifikansi koefisien korelasi peneliti menggunakan
program SPSS for windows versi 12.Rumus :


=

Keterangan :





2

− ∑

− ∑ . ∑

2

. �. ∑

2

− ∑

= Koefisien korelasi antara x dan y





�. ∑

� ∑

= Jumlah skor
= Jumlah skor Produktivitas kerja
2

= Jumlah kuadrat skor

2

= Jumlah kuadrat skor variabel y





HASIL

= Jumlah hasil perkalian skor variabel x dengan skor variabel y
= Jumlah subjek

2

12
Analisis Deskriptif
Analisa deskriptif dilakukan untuk melihat hasil penelitian berdasarkan rata-rata
(mean), standart deviasi, nilai maksimal dan minimal. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, maka didapat rata-rata dari masing-masing variabel, sebagai berikut:

a. Pola Asuh Permisif
Berdasarkan angket Pola Asuh Permisif terdapat 26 item valid. Berdasarkan hasil
analisa dari angket Pola Asuh Permisif di dapat skor tertinggi adalah 104 dan skor terendah
adalah 27 Berikut adalah rumus pengkategorian tinggi rendahnya atau interval Pola Asuh
Permisif:
Interval 



Jml skor tertinngi  Jml skor terendah
Jml Kategori

104  26
= 15,6
5
Tabel 4.2
Pola Asuh Permisif

Skor
Kriteria
26 ≤ x < 41,6
Sangat rendah
41,6 ≤ x < 57,2 Rendah
57,2 ≤ x < 72,8 Sedang
72,8 ≤ x < 88,4 Tinggi
88,4 ≤ x ≤ 104
Sangat tinggi
Jumlah

F
4
43
23
14
6

%
4,44%
47,78%
25,56%
15,56%
6,67%
100

Min
27

Max

Mean

60,3778
104
SD = 15,40435

Dari tabel di atas, diketahui bahwa sebanyak 20 siswa beranggapan bahwa mereka
tumbuh dan berkembang dalam Pola Asuh Permisif. Sedangkan sebanyak 47 siswa
menganggap mereka tidak diasuh dalam Pola Asuh Permisif. Skor tertinggi pada kategori
sangat tinggi dan skor terendah berada pada kategori sangat rendah. Selengkapnya dapat
dilihat pada tabel di atas.

b. Perilaku School Refusal
Angket Perilaku School Refusal disusun berdasarkan 33 item skala school refusal
menurut Setzer & Salzhauer (2001). Pengkategorian tinggi rendahnya Perilaku School
Refusal berdasarkan skor tertinggi dari penilaian Perilaku School Refusal adalah 98 dan skor

13
terendahnya adalah 37, dengan 5 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan
sangat rendah. Berikut adalah tabel hasil pengkategorian:

Tabel 4.3
Interval Perilaku School Refusal
Skor
Kriteria
27 ≤ X < 43,2
Sangat rendah
43,2 ≤ X 0,05. Hal ini
berarti data responden tidak berdistribusi normal. Hasil uji normalitas dan
grafik uji normalitas dapat dilihat pada lampiran.
Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk melihat data linear atau tidak. Uji
linearitas dilakukan dengan melihat nilai F. Nilai F = .1,751 (p < 0,05), hal ini
berarti uji linearitas tidak terpenuhi.
Uji Korelasi
Dari hasi uji normalitas dan uji linearitas data, didapat hasil data tidak
berdistribusi normal dan data tidak linear. Jadi, perhitungan korelasi yang dilakukan
adalah menggunakan korelasi sperman rho. Berdasarkan pada perhitungan Uji

14
korelasi sperman rho dari output SPSS terlihat bahwa nilai r = 0,629 (p < 0,05).
Melihat hasil perhitungan tersebut Hi diterima dan H0 ditolak. Ini berarti disimpulkan
bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Permisif dengan
Perilaku School Refusal siswa SMK Kristen Salatiga. Hasil perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran.

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian korelasi sperman rho sebesar 0,629 (p < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dan
perilaku School refusal siswa SMK Kristen Salatiga. Adapun temuan ini dimungkinkan
terjadi, karena remaja yang berada dalam lingkungan dengan pola asuh permisif cenderung
mendapatkan kebebasan bersikap dan berperilaku tanpa adanya kontrol dan evaluasi atas
sikap nya akan berperilaku school refusal bersikap dan berperilaku. Pada pola asuh permisif
orang tua lebih mengutamakan pengembangan aplikasi kompetensi yang dimilikinya. Hasil
temuan tersebut juga mengindikasikan bahwa secara umum bahwa agar seseorang bersikap
dan berperilaku sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar tentu saja harus
didasari adanya kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungan
sekolahnya baik dalam belajar maupun dalam bersosialisasi, sedangkan bila seseorang gagal
dalam mengadakan penyesuaian diri akan dimanifestasi dalam sikap dan tingkah laku
melanggar peraturan dan norma yang berlaku di lingkungan sekolahnya.
Pada hakikatnya pola asuh permisif sangatlah berpengaruh bagi perilaku, karena Pola
asuh orang tua permisif bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap
anak tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Dengan adanya pola asuh
permisif yang bersifat bebas tersebut, seorang anak akan terbiasa merasa tidak ada halangan
supaya dia dapat bertindak sesukanya tanpa adanya hukuman atau sangsi, karena orang tua
sendiri tidak memberlakukan hukuman atau sangsi dan ketegasan.
Melalui pola asuh permisif ini, maka seorang siswa atau siswi juga memberanikan diri
untuk menampilkan perilaku school refusal, di mana individu yang bersangkutan berupaya
menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Pada prinsipnya
perilaku school refusal berkepanjangan akhirnya akan berdampak prestasi akademik (Egger,
Costello, & Angold, 2003).

15
Penelitian ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan Hurlock (2008) bahwa melalui
pola asuh yang merupakan upaya untuk mendidik serta mempersiapkan anak agar dapat
menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan sosial. Namun upaya tersebut tidak dapat
memenuhi tujuan pendidikan dasar dalalm keluarga, karena adanya kontrol dari orang tua
yang minim. Seperti diungkapkan Baumrind (1991) bahwa melalui pola asuh permisif
sebagai parental control (kontrol orang tua teerhadap anak-anaknya) yang disertai sikap
orang tua yang terlampau bermurah atau berbaik hati dalam mendidik anak-anaknya dan
terkadang lebih cenderung untuk memenuhi permintaan anak-anak, berakibat pada
pendisiplinan yang rendah dengan kematangan dan pengontrolan diri yang relatif rendah,
bahkan pola asuh seperti ini mendorong orang tua untuk lebih responsif dibandingkan dengan
menuntut perilaku tertentu dari anak- anak mereka.
Secara umum melalaui pola asuh permisif dengan karakteristik pemberian kebebasan
seluas mungkin kepada anak, memberi kasih sayang yang banyak dan bersikap sangat
longgar maka mengakibatkan seorang remaja menjadi pribadi yang tidak dituntut untuk
belajar bertanggung jawab. Sementara berdasarkan besarnya korelasi / nilai r maka diketahui
bahwa pola asuh permisif memilki sumbangan efektif sebesar 0,395 terhadap perilaku school
refusal, dimana melalui pola asuh permisif dengan karakteristik sikap terlalu lunak, tidak

berdaya, memberi kebebasan terhadap remaja tanpa adanya norma-norma yang harus diikuti
oleh remaja yang bersangkutan dapat memicu remaja utuk mengutamakan kebebasan dalam
bertindak dengan tidak adanya tekanan yang diberikan orang tuanya. Selain itu remaja yang
bersangkutan juga terbiasa merasa tidak ada halangan dalam bertindak sesukanya tanpa
adanya hukuman atau sangsi, meskipun menampilkan perilaku school refusal, di mana
individu yang bersangkutan berupaya menghindari tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pelajar di sekolah. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif
berhubungan dengan Perilaku School Refusal.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa data penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan school refusal
siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga. Hal tersebut berarti
semakin tinggi pola asuh permisif maka semakin tinggi perilaku school refusal
remaja. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah pola asuh permisif dengan school

16
refusal semakin rendah pula perilaku school refusal siswa di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga
2. Alat ukur perilaku school refusal memiliki nilai rata-rata sebesar 61,8778 sehingga
dapat dikatkan bahwa perilaku school refusal siswa di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Kristen di Salatiga Salatiga termasuk dalam kategori sedang.
3. Alat ukur pola permisif memiliki rata-rata sebesar 60,3778 yang menunjukan bahwa
siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen di Salatiga berada dalam
keluarga dengan pola asuh permisif dalam kategori sedang.
4. Sumbangan efektif pola suh permisif terhadap perilaku school refusal sebesar 0,395 %

B. Saran
Dengan hasil penelitian di atas, maka peneliti mengajukan saran bagi beberapa pihak
sebagai berikut :
1. Bagi Keluarga
a.

Dapat memperbaiki pola asuh terhadap remaja dan menyesuaikan dengan
karakteristik anak sehingga para remaja dapat lebih memahami tugas dan
tanggungjawab sebagai seorang individu (baik sebagai pelajar maupun anak di
dalam keluarga, dan anggota masyarakat).

b.

Lebih memantau sikap dan perilaku anak dan memberikan kontrol serta feedback
terhadap sikap dan perilaku yang ditampilkan anak.

c.

Memantau kegiatan akademis remaja dan evaluasi terhadap sikap dan perilaku
siswa baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, sehingga
menciptakan

situasi

dan

kondisi

yang

lebih

kondusif

dalam

upaya

mengembangkan tanggung jawab remaja.

2. Bagi Siswa
a.

Mengembangkan kompetensi dan keahlian akademis dan non akademis secara
lebih maksimal agar dapat mencapai target hasil atau output dari proses belajar
secara maksimal.

b.

Lebih menjaga pergaulan baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar
lingkungan sekolah yang memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan
untuk berperilaku di kalangan remaja.

c.

Memilih kegiatan ekstra kulikuler atau tambahan di sekolah yang dapat
mengembangkan kompetensi sisiwa secara akademis maupun non akademis.

17
d.

Terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat (karang taruna) dan komunitas
(perkumpulan keagamaan).

3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dengan meneliti faktor-faktor lain yang memiliki hubungan yang erat dengan perilaku
school refusal siswa di Sekolah selain pola asuh permisif. Faktor-faktor tersebut

seperti: faktor komponen metode tugas dalam belajar, lingkungan sosial, orientasi
siswa yang bersangkutan dalam belajar, latar belakang keluarga (sosial, ekonomi dan
pendidikan), dan lain sebagainya

18
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar. (2000). Reliabilitas dan Validitas (edisi ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baumrind (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and
Substance Use. Journal of Early Adolescence. 11(1), 56-95.
Bernstein, Borchardt, C., Perwien, A., Crosby, R., Kushner, M., Thuras, P., Last, C. (2001).
Imipramine plus cognitive-behavioral therapy in the treatment of school refusal.
Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 39(3), 276-283.
Dodge, K. A., & Frame, C. L. (1982). Social cognitive biases and deficits in aggressive boys .
Child Development. 53, 620–632.
Egger, Costello, & Angold. (2003). The Development Epidemiology of Anxiety Disorder:
Phenomenology, Prevalence, and Comorbidity. Journal. 14 (631-648). Adolescent
Psychiatric Clinic of North America.
Fremont (2003). School refusal in children and adolescents. American Family Physician, 68,
1555–1560, 1563–1564.
Gelfand, D. M. & Drew, C, J. (2003). Understanding Child Behavior Disorders. 4th edition.
Australia: Thomson Wadsworth.
Ghozali. I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. (edisi ke 4).
Semarang: Badan Penerbit Unversitas Diponegoro
Hadi, S. (1991). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi
UGM.
Hadi, S. (1995). Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset.
Hogan, M. (2006). School Phobia . Diambil dari www.school phobia.htm, pada 10 November
2014.
Hurlock, E. B. (2008). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Terjemahan (sedisi ke 5). Jakarta: Erlangga.
Kang, Y. & Moore, J. (2011). ‘Parenting style and adolescents’ school performance in
mainland China’. US–China Education Review, B (1), 133–138.
Kearney& Silverman (1995). Functionally-based prescriptive and nonprescriptive treatment
for children and adolescents with school refusal behavior . Behavior Therapy, 30,
673−695.

19
_________________ (2002) School refusal behavior . In R. B. Mennuti, A. Freeman, & R.
W. Christner (Eds.), Cognitive–behavioral interventions in educational settings: A
handbook for practice (hlm. 89−105). New York: Brunner-Routledge.
Kearney, C.A. 2006. Casebook in Child Behavior Disorders. 3rd edition. Australia: Thomson
Wadsworth.
Medinnus, G.R., & Johnson, R.C. (1976). Child & Adolescent Psychology, 2nd edition.
Canada: John Wiley & Sons, Inc
Monks, dkk, (2002). Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Nawawi. H. (1995). Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada
Press
Papalia, D., dkk. (2001). Human Develompment. New York: Mc Graw Hill.
Santrock, J. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup, edisi 5, jilid 1 .
Jakarta : Erlangga.
Sears, D, O. Freedman, J, L & Peplau, L, A. (1985). Psikologi sosial. edisi kelima, jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Setzer, N. & Salzhauer, A. (2001). Understanding School Refusal. NYU Child Study Center
Source: Journal of Youth and Adolescence, February (2009). (diterjemahkan dari
http://news.yahoo.com/s/nm/20081126/tv_nm/us_teen_violence;_ylt=AgOmYvjngUx
DmT8yin3LuObLLJ94)
Soemantrie. H. (2010). Perkembangan Kurikulum Sekolah Madrasah Aliyah di Indonesia:
Suatu Perspektif Historis dari Masa ke Masa. (edisi pertama). Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Sukadji. (1988). Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan. Diambil tanggal 3 April 2010 dari
http://one.indoskripsi.com/content/faktor-penyebab-perilaku-agresi.
Sumadi, S. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali
Sumadi, S. (2000). Metode Penelitian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suryabrata, S. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Trijono, Lambang. 2001, Keluar dari Kemelut Maluku. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Warsito. H. (1995). Pengantar etodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winkel, W. S. (2004). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar . Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

20

http://psikologi-unissula.com/article/88565/agresivitas-anak--suatu-studi-kasus.html
Orgs/Rts (2002,July 18).siswi SMU 82 Lapor ke Polisi karena Dianiaya Senior.Kompas
diambil dari: http://www.Kompas.com
Seminar Nasional Fungsionalisasi Lembaga Pendidikan sebagai Upaya Penanggulangan
Kenakalan Remaja. Wawasan. 2001. Koran Jawa Tengah. Tanggal 9 Februari