T1 802010710 Full text

PERBEDAAN TINGKAT RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI
ORANG TUA YANG BEDA AGAMA DAN ORANG TUA YANG TIDAK
BEDA AGAMA

OLEH
SUSANA DAIRU GENYA BIRA
802010710

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

PERBEDAAN TINGKAT RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI
ORANG TUA YANG BEDA AGAMA DAN ORANG TUA YANG TIDAK

BEDA AGAMA

Susana Dairu Genya Bira
Berta Esti Ari Prasetya
Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat religiusitas
antara remaja akhir dari orangtua beda agama dengan remaja akhir dari orangtua seagama.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan. Penelitian ini menggunakan kuesioner / skala sebagai alat

pengumpulan data utama. Instrumen yang disusun berdasarkan pendapat Azwar (2008)yang
digunakan dalam penelitian memenuhi syarat valid dan reliabel. Berdasarkan hasil uji t
diperoleh nilai uji (nilai t hitung) sebesar 2,357 dengan probabilitas sebesar 0,011. Ini berarti
bahwa ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama dengan
remaja dari orangtua seagama”, dimana remaja dari orangtua seagama memiliki tingkat
religiusitas yang lebih tinggi dibanding remaja dari orangtua beda agama.

Kata Kunci : Perbedaan Tingkat Religiusitas Remaja Akhir, Orangtua Seagama, Orangtua
Beda Agama

i

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the difference in the level of religiosity
among late adolescents of parents of different religions with teenagers end of parental coreligionists. The populationin this studyis a Christian University student Satya Wacana
Salatiga. Sampling technique used incidental sampling, the sampling technique based on
chance. This study used a questionnaire / scale as the primary data collection tool. The
instrument is based on the opinion Azwar (2008) were used in the study are eligible valid and
reliable. Based on test results obtained value t test (t value) amounted to 2,357 with

probability equal to 0.011. This means that there are differences in the level of religiosity
among adolescents of parents of different religions with teenagers from parents in religion",
where teenagers from parents religionists have higher levels of religiosity than adolescents of
parents of different religions

Keyword :Difference on level of religiosity adolescent, Parents religionists, Parents
Interfaith

ii

1

PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini
dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja
kurang stabil. Masa transisi inilah yang memungkinkan remaja dapat menimbulkan masakrisis

yang biasanya ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku-perilakumenyimpang.
Perilaku menyimpang ini bisa menyimpang dari norma hukum,norma agama dan norma yang

dianut masyarakat atau dalam istilah psikologidisebut dengan istilah kenakalan remaja atau
juvenile delinquency.Hall menyebut masa ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)”
yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara
dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri sering dan
mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan orang-orang yang dekat,
misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono 1993: 16).
Beberapa penelitian tentang perilaku kenakalan yang dilakukan oleh pelajarmenyebutkan
bahwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkandata yang diungkap oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN), kasuspenyalahgunaan narkoba terus meningkat di kalangan remaja.
Dari 2,21% (4 jutaorang) pada tahun 2010 menjadi 2,8% (sekitar 5 juta orang) pada tahun
2011.Yang berikutnya adalah seks bebas. Contoh kenakalan remaja dalam pergaulanseks bebas
akan bersangkutan dengan HIV/AIDS. Ketiga adalah tawuran antarpelajar yang belakangan ini
semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya(www.Republika.co.id,2012).Bentuk lain
dari kenakalan yang dilakukan remaja yaitu banyaknya remajayang kerap menyimpan
gambar/video porno di telepon seluler mereka,pelajar bolos sekolah dan pergi ke di warung
internet (warnet)dan game online, merokok dan minum minuman keras.
Kartono (1990) mengatakan bahwa pada umumnya kenakalan merupakan kegagalan dari
sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif; juga menampilkan ketidakmampuan
seseorang mengendalikan emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada perbuatan yang


2

bermanfaat. Dalam hal ini remaja memerlukan suatu pegangan yang dapat memberikan rasa

aman dan perlindungan sehingga remaja tidak terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang
menyimpang (Kartono, 1990). Salah satu hal yang bisa mengendalikan penyimpangan remaja
adalah nilai-nilai religi yang telah diinternalisasikan dalam diri remaja (Rahmawati, Hadjam
dan Afiatin, 2002). Internalisasi nilai-nilai norma agama dapat mendidik kaum remaja
memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan memiliki penghayatan serta perilaku yang
sesuai dengan perintah agama (Sudarsono, 2008). Religiusitas dibutuhkan untuk dijadikan
pedoman dalam melakukan suatu perbuatan. Menurut Daradjat (1992), bahwa religiusitas
atau pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari
gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang yang gelisah.
Semakin dekat orang dengan Tuhan maka akan makin tentramlah jiwanya, maka semakin
mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran hidup. Sebagai aspek penting kehidupan,
agama memang menjadi pegangan hidup manusia. Religiusitas atau keberagamaan sangat
diperlukan dalam kehidupan remaja, sebagai pedoman, penuntun dan sebagai pegangan
remaja dalam masa pencarian identitasnya.
Sejak lahir manusia telah memiliki potensi keagamaan di dalam dirinya. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, orangtualah yang mampu meletakkan dasar bagi

perkembangan dan kematangan religiusitas anak (Hurlock, 1990). Oleh karena itu, orangtua
diharapkan dapat membantu remaja dalam menyelesaikan tahap-tahap perkembangannya
termasuk perkembangan religiusitas atau keberagamaan. Namun terkadang, orangtua sering
kali menjadi sumber konflik bagi perkembangan sejumlah remaja, termasuk di
dalamnyaperkembangan religiusitas (Suryani, Lilis, Winda dan Azizah,2008). Salah satu
faktor yang menyebabkan konflik dalam perkembangan religiusitas adalah faktor keagamaan
orangtua. Pada orangtua beda agama, masalah agama adalah hal yang paling potensial
menimbulkan konflik baik dari pihak orangtua sendiri maupun dari pihak remaja. Konflik

3

tersebut selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan religiusitas anak. Remaja yang
berasal dari orangtua beda agama, dapat mengikuti keyakinan (agama) ayahnya atau ibunya,
adapula orangtua yang sudah menegosiasikan masa depan agama anaknya sejak awal akan
ikut siapa agamanya. Kondisi-kondisi tersebut baik secara langsung atau tidak langsung
tentunya akan membawa kebingungan pada remaja, karena norma dan nilai pada masa anakanak diperoleh dari kecil melalui proses imitasi, indentifikasi, asimilasi dan sosialisasi
dengan orang lain seperti orang tua, teman, guru dan orang terdekat lainnya (Monks, Knoers,
Haditomo, 2002). Thomas (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) yang menyatakan bahwa
kebanyakan remaja dari orangtua beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan
pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orangtuanya.

Djajasinga (2001) menemukan bahwa remaja dari orangtua beda agama menunjukkan
pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun
pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang baik. Viemilawati (dalam Hikmatunnisa
& Takwin, 2007) menemukan bahwa remaja dari orangtua beda agama memiliki keyakinan
terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap sesama namun jarang
melakukan ritual keagamaan. Kondisi remaja dari orangtua beda agama sebagaimana
disebutkan menunjukkan rendahnya religiusitas remaja, karena hanya sebagian dimensi
religiusitas dilaksanakan, sedangkan yang lain belum dilaksanakan atau diabaikan.
Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) mengatakan bahwa rendahnya
religiusitas remaja dalam keluarga beda agama dapat disebabkan karena kurangnya sosialisasi
pengetahuan agama dari kedua orangtua, anak juga kurang bisa meyakini karena remaja
memiliki referensi pengetahuan pembanding (agama lain) atau remaja merasa tidak enak
terhadap orangtua yang berlainan agama dengannya. Berbeda dengan remaja yang
mempunyai orangtua yang seagama, mereka memiliki religiusitas yang lebih tinggi. Hal ini
terjadi karena remaja dari orangtua seagama memberikan sosialisasi dan dukungan yang lebih

4

besar kepada remaja untuk meyakini satu agama, yaitu agama orangtuanya. hasil penelitian
yang dilakukan Viemilawati (dalam Hikmatunnisa & Takwin, 2007) yang menyatakan bahwa

anak yang kedua orangtuanya beragama sama memiliki komitmen yang tinggi terhadap
agama, sebaliknya remaja dari orangtua beda agama mempunyai komitmen yang rendah.
Adanya perbedaan temuan ini, mendorong peneliti untuk mengungkap lebih jauh tentang ada
tidaknya perbedaan tingkat religiusitas antara remaja akhir dari orangtua beda agama dengan
remaja akhir dari orangtua seagama.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Religiusitas
Pengertian religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005)
adalah komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang
dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau
keyakinan iman yang dianut. Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya
adalah religere yang berarti mengikat (Thouless dalam Bharata, 2006). Glover dalam Widari
(2011), mengemukakan bahwa religiusitas merupakan tujuan dan intensitas keyakinan
religius seseorang, termasuk keyakinan akan adanya Tuhan, hubungan antara keyakinan dan
tindakan personal, usaha religius, dan konsistensi antara keyakinan dan tindakan. Afiatin
sebagaimana dikutip oleh Firmansyah (2010) mengemukakan bahwa religere berarti
melaksanakan dengan sangat teliti atau dapat pula diartikan menyatukan diri.

Aspek-aspek Religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994) bahwa ada lima aspek
religiusitas yaitu :

5

a. Aspek Ideologi atau keyakinan, yaitu aspek dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa
yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dan
sebagainya. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar.
b. Aspek Peribadatan, yaitu aspek keberagaman yang berkaitan dengan sejumlah perilaku
yang sudah ditetapkan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan
dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.
c. Aspek Penghayatan, yaitu aspek yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami
oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam
ritual agama yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat.
d. Aspek Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang
terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya.
e.

Aspek Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-ajaran agama yang
dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.


Pentingnya Religiusitas pada Remaja Akhir
Dewasa ini perkembangan teknologi sangat gencar sekali. Hal ini terlihat dari
beberapa fenomena terkait barang dan alat-alat teknologi. Contoh paling nyata adalah
penggunaan telepon seluler atau ponsel dan internet. Perkembangan teknologi tersebut
membawa dampak yang positif, antara lain berupa kemudahan dalam berkomunikasi. Namun
di sisi lain kemajuan teknologi berdampak negatif terutama pada remaja. Untuk menghindari
dampak negatif dari perkembangan teknologi yang kian pesat ini, maka penanaman nilai
religiusitas sangat diperlukan sejak masih remaja (Harahap dalam Valentina, 2009).
Masalah

agama

merupakan

salah

satu

aspek


penting

yang

perlu

ditumbuhkembangkan dalam diri remaja. Glock dan Stark sebagaimana dikutip Widari
(2011), agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang

6

terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi. Nilai agama adalah aturan, patokan, standar baku yang berkaitan
dengan baik-buruknya sikap manusia dalam hubungannya antar sesama manusia maupun
dengan sang Pencipta (Tuhan). Berhasil tidaknya penanaman nilai keagamaan pada masa
anak akan sangat menentukan baik buruknya perilaku keagamaan seseorang pada masa
selanjutnya.
Nilai-nilai keagamaan pada remaja akan tumbuh dan berkembang pada jiwa melalui
proses pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak
memperoleh pendidikan tentang nilai-nilai keagamaan, akan menimbulkan ketidakpedulian
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan (Darajat, 1994).
Pengembangan nilai agama pada remaja akan berkisar pada kehidupan sehari-hari,
secara khusus penanaman nilai keagamaannya adalah meletakkan dasar-dasar keimanan,
kepribadian/budi pekerti yang terpuji dan kebiasaan ibadah sesuai kemampuan masingmasing. Rasa keagamaan dan nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak. Perhatian remaja terhadap nilainilai dan pemahaman agama akan muncul manakala mereka sering melihat dan tertib dalam
upacara-upacara keagamaan, dekorasi dan keindahan rumah ibadah, rutinitas, ritual orangtua
dan lingkungan sekitar ketika menjalankan peribadahan (Mardiya, 2007).

Perkembangan Religiusitas Remaja Akhir
Menurut Starbuck (dalam Jalaluddin, 1997) perkembangan jiwa beragama pada remaja
ditandai oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a. Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah
tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain

7

masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan
norma-norma kehidupan lainnya.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya banyak tergantung
dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri.
Dalam mengatasi kegalauan batin ini para remaja cenderung untuk bergabung dalam
kelompok teman sebaya untuk berbagi rasa dan pengalaman. Untuk memenuhi kebutuhan
emosionalnya, para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan estetika. Namun
demikian dalam kenyataannya apa yang dialami oleh remaja selalu berbeda dengan apa yang
mereka inginkan. Nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin
mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sikap kritis terhadap lingkungan
memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang dialami para remaja. Dalam situasi
bingung dan konflik batin menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat.
Dalam situasi yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka
lebar (Jalaluddin, 1997).
b. Perkembangan perasaan

Menurut Jones (dalam Hurlock, 1990) perubahan minat religius selama masa
remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan. Adanya perubahan
minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya keyakinan, melainkan
suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan penggunaan keyainan serta khotbah
dalam penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi.
c. Perkembangan moral
Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3) Submissive, merasakan adanya keraguan tehadap ajaran moral dan agama.

8

4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
d. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil
dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Remaja Akhir
Menurut Jalaluddin (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
religiusitas remaja adalah :
a. Peran Orangtua
Peran orangtua sangatlah menentukan dalam pembentukan sikap keagamaan.
b. Pendidikan Keluarga
Pedidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Peran keluarga sangatlah berhubungan dengan jiwa keagamaan individu. Sang
Ibu yang tidak begitu taat terhadap ajaran agama Islam juga berpengaruh terhadap sang
anak dan menjadikan anak sama seperti keagamaan sang ibu: tidak begitu kuat dan kental
ajaran agamannya,

jarang melakukan ibadah. Highes dalam Choiriyah (2009),

menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki remaja sebagian besar terbentuk oleh
pendidikan keluarga.
c. Lingkungan Institusional
Kurikulum sekolah memberi pengaruh dan membantu kepribadian anak.
Lingkungan sekolah yang mayoritas Islam beserta kegiatan keislaman memberikan warna
keislaman pada dirinya.
Menurut Alvie (2012), terdapat beberapa pendapat mengenai faktor yang
mempengaruhi perkembangan religiusitas remaja :

9

a. Faktor intern
Secara garis besarnya faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan
jiwa keagamaan antara lain:
1) Faktor kognitif, mengacu pada remaja yang memiliki mental masih abstrak, mereka
hanya mengkaji isu-isu agama dengan berpatokan pada dasar-dasar agama tanpa
memperdalaminya lebih lanjut.
2) Faktor personal, mengacu pada konsep individual dan identitas, individual maksudnya
seseorang itu selalu menyendiri sedangkan identitas maksudnya proses menuju pada
kestabilan jiwa.
3) Faktor hereditas, perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan akan menimbulkan
rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap
larangan agama maka akan timbul rasa berdosa dan perasaan seperti ini yang ikut
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
4) Tingkat usia, pada usia remaja saat mereka menginjak usia kematangan seksual
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan mereka. Tingkat perkembangan usia
dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan yang
cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.
5) Kepribadian, dalam kondisi normal secara individu manusia memiliki perbedaan
dalam

kepribadian

dan

perbedaan

ini

diperkirakan

berpengaruh

terhadap

perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
6) Kondisi kejiwaan, seorang yang mengidap schizoprenia akan mengisolasi diri dari
kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai
halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang
irasional sedangkan penderita infantil autisme (berperilaku seperti anak-anak) akan
berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.

10

b. Faktor ekstern
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan
dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut
dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi
pembentukan jiwa keagamaan. Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan
jiwa keagamaan dalam pandangan Islam sudah lama disadari..
2) Lingkungan institusional, yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa kegamaan
dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi. Kurikulum, hubungan guru dan murid serta hubungan
antar teman dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya
ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh sebab pada prinsipnya perkembangan jiwa
keagaman tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang
luhur.
3) Lingkungan masyarakat, yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keberagamaan sebab kehidupan
keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan
seperti ini akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.

Keagamaan Orangtua
Batasan Orangtua
Orangtua adalah ayah dan ibu, figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anakanaknya (Mardiya, 2010). Orangtua disini lebih condong kepada sebuah keluarga, karena
keluarga adalah sebuah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga
dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan yang formal yang terdiri dari suami, istri
dan anak-anak yang belum dewasa (Ahmadi, 1999). Khairuddin (dalam Valentina, 2009)

11

mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh
ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri,
berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial
bagi suami-istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan
merupakan pemelihara kebudayaan bersama.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa orangtua adalah
komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan
perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.

Keagamaan Orangtua
Menurut Arifin seperti dikutip Andia (2013), pengertian Agama dapat dilihat dari dua
(2) aspek yaitu :
a. Aspek Subyektif (pribadi manusia)
Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia yang dijiwai
oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat mengatur dan
mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar manusia dengan
Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya.
b. Aspek Objektif.
Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan
yang bersifat manuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan kehendak ajaran
tersebut.Poerwadarminta (2003) memberikan arti keagamaan sebagai sifat-sifat yang
terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan
keagamaan, atau soal-soal keagamaan.Indonesia adalah negara multi agama, dimana
negara mengakui kebebasan beragama warganya. Adanya kebebasan beragama tersebut
menimbulkan dampak terjadi perkawinan antar agama, sehingga terdapat keluarga beda
agama atau orangtua yang berbeda agama.

12

Orangtua Beda Agama
Terbentuknya keluarga atau orangtua beda agama disebabkan karena perkawinan
beda agama. Pernikahan antar agama menurut Rusli dan Tama dalam Eoh (1996) adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan antara dua individu yang memeluk agama berbeda disebut interfaith marriage,
mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage (Robinson, 2005).

Menurut Handrianto (dalam Djajasinga, 2004), Pernikahan Beda Agama adalah “Ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan
mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” Pengertian ini
mengandung substansi bahwa di dalam pernikahan beda agama, suami–istri mempertahankan
perbedaan agama ketika menikah dan berkeluarga.
Menurut Nasution (2011), pasangan suami istri beda agama dapat berupa:
1) Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan satu berasal dari suatu
kepercayaan etis non-teologis, misalnya antara seorang Katolik dengan seorang
Humanis.
2) Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang berasal dari
belahan bumi bagian barat dan yang satu lagi berasal dari belahan bumi bagian timur,
seperti antara pemeluk Kristen dengan pemeluk Taoisme, Hindu atau Budha.
3) Kedua belah pihak pemeluk agama yang berbeda, namun mempunyai sedikit banyak
persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli kitab, seperti antara pemeluk
Islam, Kristen dan Yahudi.

13

4)

Kedua belah pihak memeluk agama yang berbeda, namun merupakan pembagian besar
disatu agama yang sama seperti Kristen Protestan dan Kristen Katolik.

Orangtua Seagama
Definisi „orangtua seagama‟ dapat didefinisikan dari masing-masing kata yang
membentuk kalimat tersebut. Arti dari „Orangtua‟ adalah ayah ibu kandung, orang yang
dianggap tua, orang-orang yang dihormati (disegani) di kampung; tetua (Kamus besar Bahasa
Indonesia, 2000). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan orangtua adalah ayah dan ibu
kandung atau pasangan suami istri yang melahirkan anak. Kata ‟seagama‟ berasal dari
kata‟agama‟ dan diberi awalan se-. Awalan se- digunakan untuk menyatakan satu, seluruh,
sama, setelah. Dalam gabungan kata seagama, mengandung makna „sama‟ (Kamus besar
Bahasa Indonesia, 2000). Berdasarkan arti dari masing-masing kata tersebut, maka kata
„seagama‟ dapat diberi pengertian satu agama atau beragama sama. Jadi orangtua seagama
berarti suami istri yang menganut agama yang sama.
Terbentuknya keluarga seagama adalah karena pasangan suami istri dikukuhkan
dalam suatu pernikahan suatu agama. Anak yang lahir dari orangtua seagama umumnya
menganut agama yang sama dengan kedua orangtua mereka.

Implikasi Keagamaan Orangtua terhadap Kondisi Perkembangan Religiusitas
Remaja Akhir
Peran orangtua dalam menanamkan rasa keagamaan sangat penting. Kebenaran
pandangan ini disampaikan Artanto (2006) yang mengungkapkan bahwa gagasan yang
dimiliki remaja mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran.
Melalui pengajaran orangtua dan gurunya remaja memiliki gambaran tentang siapa dan
bagaimana Tuhan. Tittley (dalam Idrus, 2004) secara lebih tegas menyatakan bahwa kunci
dari perkembangan kepercayaan seseorang adalah rumah, tempat dibangkitkan dan
diterimanya kepercayaan (Iman).

14

Menurut Yob (1998), agama yang dianut seseorang berperan sebagai dasar yang
mempengaruhi nilai yang dianut, apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah oleh
orang tersebut. Remaja yang mendapat ajaran nilai-nilai agama yang cukup dari orangtuanya,
akan lebih mampu menghadapi membedakan apa yang baik dan tidak baik, apa yang patut
dan tidak patut. Remaja dari orangtua yang menganut agama yang sama cenderung lebih
sedikit mengalami konflik dalam perkembangan terutama dalam perkembangan rasa
keagamaan. Karena sejak kecil, kedua orangtua telah meletakkan dasar-dasar keagamaan.
Remaja juga secara langsung dapat meniru dan kemudian menerima nilai-nilai agama yang
ditanamkan oleh orangtua, baik melalui sikap maupun perbuatan sehari-hari.
Menurut Murtadho (2004), orangtua beda agama sering menyebabkan munculnya
kebimbangan rasa agama remaja yang terlahir dalam keluarga beda agama terutama di usia
remaja. Kebimbangan ini dapat terjadi ketika kedua orangtuanya sama-sama mengajarkan
doktrin agama masing-masing kepadanya. Berbeda dengan anak yang terlahir dari orangtua
seagama, karena keduanya mengajarkan doktrin yang sama.
Religious Doubt atau kebimbangan rasa agama akan menjurus pada munculnya

konflik dalam diri pada remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pemilihan antara mana
yang baik dan buruk, atau yang benar dan salah. Konflik tersebut dapat berupa keraguan
untuk memilih salah satu agama dan keraguan akan agama yang dipilihnya, apakah agama itu
benar atau sebaliknya (El-Minangkabawy, 2011).
Konflik lain juga yang kemungkinan akan dihadapi anak dari orangtua tidak seagama
adalah berupa konflik moral. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Belina (2007), tidak
dapat dipungkiri banyaknya tekanan-tekanan secara psikologis maupun sosial yang dirasakan
oleh anak pada pasangan beda agama. Secara psikologis anak mendapatkan tekanan dalam
dirinya. Konflik moral yang dialami anak dari orangtua beda agama antara lain
berkembangnya kesalahfahaman, ketidakpercayaan dan hubungan yang kaku dengan

15

orangtua. Perilaku ini menunjukkan rendahnya kualitas keberagamaan atau religiusitas
seseorang.

Perbedaan Tingkat Religiusitas Remaja Akhir dari Orangtua Beda Agama dengan
Remaja Akhir dari Orangtua Seagama
Fenomena global yang terjadi banyak memberikan dampak negatif bagi perkembangan
anak, Oleh karena itu penanaman nilai-nilai keagamaan dalam jiwa anak secara dini sangat
dibutuhkan. Dalam hubungan itu, keluarga diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling
dasar untuk mewujudkan pembangunan kualitas manusia dalam lembaga ketahanan untuk
mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berakhlak. Pranata keluarga merupakan titik
awal keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Harahap, 1999).
Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak dari lingkungan keluarga akan memberinya
kemampuan untuk mengambil haluan di tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat.
Orangtua yang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik generasigenerasinya untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk tindakan yang menyimpang.
Bagi orangtua yang seagama, penanaman nilai religiusitas pada anak relatif mudah,
karena anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orangtua dalam aktivitas keagaman.
Ketika rasa keagamaan itu sudah tumbuh pada diri anak, maka orangtua memberikan latihanlatihan keagamaan. Latihan yang dilakukan sejak kecil dan dengan cara yang tetap, maka
ketika anak menginjak dewasa akan memiliki kepedulian yang tinggi pada kehidupan
beragama dalam kesehariannya. Anak dengan orangtua yang seagama akan lebih mudah
memahami nilai keagamaan, karena nilai-nilai tersebut akan dipelajari dari sikap dan perilaku
keagaman orangtuanya sehari-hari (Pratiwi, 2012).
Berbeda dengan anak dari orangtua beda agama. Landis (dalam Hikmatunnisa &
Takwin, 2007) menyebutkan bahwa pasangan yang ekstrim perbedaan agamanya, seperti
Katolik–Protestan, menciptakan banyak permasalahan dalam penyesuaian pernikahan,

16

meskipun ada juga sedikit dari mereka yang sukses melewatinya. Bossard & Boll yang
dikutip Hikmatunnisa dan Takwin (2007) menyebutkan bahwa anak dengan orangtua beda
agama memiliki potensi masalah. Ketika lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama
mana dapat menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing pasangan
umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak. Beranjak usia, anak yang telah
menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Misalkan
kedua orangtua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan tidak enak hati bila
harus memilih salah satu dari agama yang dianut orangtuanya (Viemilawati, 2002).
Perbedaan orangtua dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, baik secara
psikologis maupun religius, baik itu terhadap pasangan maupun anak. Pasangan adalah
subyek dari pernikahan beda agama. Namun demikian, anak akan terkena dampaknya. Pada
prosesnya penanaman agama pada anak yang mempunyai orangtua berbeda agama,
berpengaruh dalam pemahaman awal anak mengenai agama, karena dengan perbedaan
pelaksanaan agama yang ada dapat memberikan kebingungan-kebingungan pada anak).
Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan anak dari orangtua beda agama
hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua
orangtuanya. Djajasinga (2001) menemukan bahwa anak-anak ini menunjukkan pencapaian
dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi
ritual dan eksperiensial kurang baik. Viemilawati (2002) menemukan bahwa mereka
memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap
sesama namun ritual tidak wajib dilakukan.
Keluarga adalah sumberkepribadian seseorang. Didalam keluarga dapat ditemukan
berbagai elemen dasaryang membentuk kepribadian seseorang Satiadarma (2001).Keluarga
mempunyai peran penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Karena sejak
dilahirkan anak diasuh dalam keluarga sehingga pertumbuhan dan perkembangan hidupnya

17

tidak akan terlepas dari apa yang akan disediakan atau diberikan oleh keluarga. Faktor
keluarga yang mempengaruhi perilaku anak dan remaja diantaranya adalah hubungan orang
tua, pola asuh orang tua, komunikasi dengan orang tua, juga persepsi anak tentang orangtua.
Demikian halnya mengenai tingkat religiusitas anak.
Di dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengenalnilai-nilai luhur yang diajarkan
setiap agama. Kedua orangtuanyalah yang harusmengenalkan, mengajarkan dan sekaligus
pemberi contoh penerapan nilai-nilai luhur itu bagi anak-anaknya. Jika nilai-nilai luhur
agama sudah di tanamkan sejak dinikepada anak, maka nilai-nilai itulah nantinya yang akan
membimbing danmembentuk jiwa anak tersebut. Dengan demikian perihal keberagamaan
orang tua juga turut membentuk pribadi anak termasuk religiusitas anak. Anak akan
mempersepsikan apa yang dilihat, diamati dan dicontohkan oleh orangtuanya.

Hipotesis Penelitian
”Ada perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orang tua beda agama dengan
remaja dari orang tua seagama, dimana religiusitas remaja dari orang tua seagama lebih tinggi
dibanding religiusitas remaja dari orang tua beda agama”.
Secara statistik, hipotesis yang diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H0 : µ = 0, artinya tingkat religiusitas remaja dari orangtua beda agama sama dengan (=)
tingkat religiusitas remaja dari orangtua seagama atau dengan perkataan lain, tidak
terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua beda agama
dengan remaja dari orangtua seagama
H1 : µ ≠ 0, artinya tingkat religiusitas remaja dari orangtua beda agama tidak sama
dengan (≠) tingkat religiusitas remaja dari orangtua seagama atau dengan
perkataan lain, terdapat perbedaan tingkat religiusitas antara remaja dari orangtua
beda agama dengan remaja dari orangtua seagama.

18

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif, yaitu sejenis penelitian deskriptif
yang ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab akibat, dengan menganalisis faktorfaktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu (Prastowo, 2011).

Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2010).
Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan
peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu
cocok sebagai sumber data.Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 58
orang, terdiri dari 29 orang sampel dari orangtua seagama dan 29 orang sampel dari orangtua
beda agama.

Alat Ukur
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala, yaitu Skala
Religiusitas. Skala Religiusitas disusun oleh peneliti berdasarkan teori Glock dan Stark yang
dikutip Ancok dan Suroso (1994), yaitu meliputi aspek-aspek (1) aspek ideologi atau
keyakinan, (2) aspek peribadatan, (3) aspek penghayatan, (4) aspek pengetahuan, (5) aspek
pengamalan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode try out terpakai yang artinya data
yang digunakan untuk try out juga digunakan sekaligus sebagai data penelitian. Alasan
peneliti menggunakan metode try out terpakai adalah karena sulitnya mendapat partisipan,
khususnya kelompok partisipan yang orangtuanya beda agama.

19

Pengujian daya beda item dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi
antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri. Standar nilai korelasi yang
digunakan adalah 0,30. Dengan demikian item-item yang memiliki koefisien korelasi ≥ 0,30
dikatakan memiliki daya beda yang memuaskan, sedangkan item yang memiliki koefisien
korelasi < 0,30 dikatakan memiliki daya beda yang rendah. Uji beda item dilakukan terhadap
30 item. Dari hasil uji yang dilakukan didapatkan bahwa semua item (30 item) dinyatakan
valid, dimana item yang valid memiliki nilai r yang berkisar antara 0,375 sampai 0,796.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan formula Alpha Cronbach. Hasil uji
reliabilitas diperoleh nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,919, yang menunjukkan bahwa itemitem dalam skala religiusitas mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.

Metode Analisa Data
Analisis dilakukan menggunakan metode statistik, yaitu uji hipotesis dua rata-rata.
Untuk itu teknik analisis data yang digunakan adalah t – test (Uji – t).
HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Tabel 1
Tingkat Religiusitas Remaja Akhir dari Orang Tua Seagama dan Orang Tua Beda Agama

Orangtua
seagama
Orangtua
beda agama

Skor
>93

Kategori
Tinggi

N
15

%
51,72

Min
95

Max
111

Mean
103,07

Std Dev
4,832

69-89

Sedang

13

44,83

72

88

81,46

4,841

Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2014
Tabel di atas memperlihatkan jumlah responden remaja akhir dari orang tua seagama
berdasarkan tingkat religiusitas. Kategori religiusitas tinggi, jumlah responden sebanyak 15
orang (51,72%), skor minimum 95, skor maksimum 111, mean 103,07 dan standar deviasi

20

4,832. Sedangkan tingkat religiusitas remaja akhir dari orang tua beda agama, kategori
religiusitas sedang, jumlah responden sebanyak 13 orang (44,83%), skor minimum 72, skor
maksimum 88, mean 81,46 dan standar deviasi 4,841.

Deskripsi Variabel
Tabel 2
Deskripsi Variabel
Kategori
Orangtua Seagama
OrangtuaBeda
Agama

N
29

Mean
93,517

Std. Deviation
12,76

Minimum
56

Maximum
111

29

84,621

15,82

48

110

Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2014
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa untuk kategori variabel religiusitas remaja
dari orangtua seagama, memiliki nilai mean 93,517, standar deviasi 12,76, nilai minimum 56
dan nilai maksimum 111. Sedangkan untuk kategori variabel religiusitas remaja dari orangtua
beda agama, memiliki nilai mean 84,621, standar deviasi 15,82, nilai minimum 48 dan nilai
maksimum 110.

Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Tabel 3.
Hasil Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

N
Normal Parameters a,b
Most Extrem e
Di fferences

Mean
Std. Deviati on
Absolute
Positive
Negati ve

Kolmogorov-Sm irnov Z
As ymp. Sig. (2-tailed)
a. Test di stribution is Norm al.
b. Calculated from data.

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2014

Orangtua
Seagama
29
93,52
12,758
,135
,085
-,135
,727
,666

Orangtua
Beda Agam a
29
84,62
15,824
,143
,081
-,143
,768
,597

21

Dari tabel di atas terlihat nilai uji normalitas yang dinyatakan oleh hasil uji
Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 0,727 untuk data variable orangtua seagama dengan
nilai signifikansi sebesar 0,666 dan untuk data variable orangtua beda agama nilai uji
sebesar 0,768 dan nilai signifikansi sebesar 0,597. Nilai signifikansi kedua variable > α
(0,05), sehingga data yang diuji dikatakan berdistribusi normal.

b. Uji Homogenitas
Tabel 4.
Hasil Uji Homogenitas Data
Test of Homogeneity of Variances
Skor_Angket
Levene
Statistic
,732

df1

df2
1

56

Sig.
,396

Dari tabel di atas terlihat nilai uji sebesar 0,732 dengan tingkat signifikansi 0,396
>α (0,05), sehingga data yang diuji dikatakan bersifat homogeny.
Uji t
Hasil uji t diperoleh nilai uji (nilai t hitung) sebesar 2,357 dengan signifikansi pada
pengujian satu sisi sebesar 0,011. Nilai signifikansi tersebut