T1 802011009 Full text

LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA AKHIR TUNA DAKSA

OLEH
GRACE PARAMYTHIA
802011009

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA AKHIR TUNA DAKSA

Grace Paramythia
Krismi D. Ambarwati


Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

Abstrak
Menggunakan teori Locus of Control (LOC) yang dikembangkan oleh Levenson (1973),
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui LOC pada remaja akhir dengan kecacatan fisik (tuna
daksa) dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi kontrol partisipan. Levenson
mengembangkan teori unidimensional dari Rotter (1954), dimana Levenson membagi
membagi dimensi LOC menjadi tiga yaitu, internality, powerful other dan chance. Jumlah
partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki kecacatan fisik.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dimana kedua partisipan diwawancarai secara
mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara, selain itu model wawancara yang
dilakukan adalah wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan
persamaan dan perbedaan LOC pada partisipan pertama dan kedua dalam keadaan-keadaan
tertentu seperti dalam pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan terhadap keberhasilan karir

di masa depan. Partisipan pertama cenderung memiliki LOC eksternal dan partisipan kedua
cenderung memliki LOC internal. Selain itu, kedua partisipan juga mempunyai secondary
control dan mengembangkan religious coping dalam menghadapi kekurangan fisik yang
mereka miliki.
Kata kunci:Locus of Control (LOC); tuna daksa; secondary control; religious coping

i

Abstract
Using the theory Locus of Control (LOC) that was developed by Levenson (1973), this study
aims to determine LOC in adolescents with physical disabilities and other factors that influence
the participant’s perception of control. Levenson developed the Rotter’s unidimensional theory
(1954), which are divided into three dimensions: internality, powerful other and chance. The
number of participants in this study were two students who have a physical disability. The study
conducted with the qualitative method in which both participants were depth interviewed by
using interview guide and the model of interviews were interviews with general guidelines.
Results: The results showed similarities and differences LOC of both participant in certain
circumstances such as educational, social relation and expectation of the future career. The
first participants are likely has an external LOC in educational, social relation and expectation
of the future career, and the second participants likely has internal LOC in educational and

expectation of the future career, but has external in social relation. In addition, both
participants also have secondary control and develop religious coping in the face their physical
disabilities.
Kata kunci: Locus of Control (LOC); physical disabilities; secondary control;
religious coping

ii

1
PENDAHULUAN
Dalam The United Nations General Assembly yang diadakan pada pada bulan
December 2006, para penyandang cacat (People with disability) diidentifikasi sebagai individu
yang memiliki gangguan jangka panjang pada fisik, mental, intelektual, atau sensorik, memiliki
hambatan dalam berinteraksi, tidak dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat
atas dasar kesetaraan dengan orang lain (Porat dkk, 2012). Dari penjelasan tersebut salah satu
jenis dari kondisi disable adalah gangguan fisik dalam waktu yang panjang. Di Indonesia
gangguan fisik disebut sebagai tuna daksa. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang penyandang cacat, cacat tubuh atau tuna daksa dapat diartikan sebagai seseorang yang
memiliki anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir, kecelakaan, maupun
akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang bersangkutan.

Manusia normal secara fisik terdiri dari anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi
dengan baik sebagaimana harusnya, tapi di sisi lain ternyata terdapat pula manusia yang
memiliki kecacatan atau ketimpangan pada tubuhnya. Memiliki tubuh yang cacat tentunya
bukanlah suatu pilihan, karena tidak ada manusia yang ingin memiliki kecacatan yang dapat
membuat aktivitasnya terganggu, khususnya kecacatan fisik atau tuna daksa. Somantri (2006)
mendeskripsikan tuna daksa sebagai suatu kondisi rusak atau terganggu sebagai akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh
pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931; Somantri, 2006).
Dalam meningkatkan harapan hidup dari orang dewasa dengan kecacatan, perlu
diberinya perhatian khusus pada masa dewasa dan perkembangan remaja sebagai periode
transisi memasuki masa dewasa. Dengan demikian, untuk semua individu remaja dengan
kecacatan, isu solusi terhadap kemandirian menjadi tantangan khusus (Crittenden, 1990). Masa
remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani

2
masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Periode perkembangan ini terjadi pada usia 10-13
sampai 18-22 tahun (Santrock, 2007). Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik
yang sangat drastis, hal ini dipengaruhi oleh pubertas. Masa transisi ini juga membuat
terjadinya perubahan-perubahan dalam diri remaja yang membuat mereka menjadi berpikir

lebih abstrak dan idealistik (Santrock, 2011). Aspek psikologis yang terjadi dan berkaitan
dengan perubahan fisik dimana remaja menjadi sangat memerhatikan tubuhnya dan
mengembangkan citra mengenai tubuhnya itu (Mueller, 2009; Santrock, 2011). Perhatian
terhadap penampilan fisik yang dimiliki remaja sangat dipengaruhi oleh sifat egosentris.
Egosentris remaja diartikan sebagai meningkatnya kesadaran diri pada remaja, yang tercermin
dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya
mereka terhadap diri sendiri (Santrock, 2007). Sifat egosentris ini sangatlah berhubungan
dengan fisik remaja. Seorang remaja perempuan yang berjalan di keramaian mungkin
beranggapan bahwa semua mata tertuju pada bentuk badannya, warna kulitnya, tinggi
badannya, dan sebagainya. Dengan demikian, faktor dari lingkungan menjadi sangat penting
bagi remaja, remaja berusaha untuk melihat dirinya dari sudut pandang orang lain.
Egosentris remaja ini tentunya sangat berpengaruh pada kondisi kecacatan yang
dimiliki remaja. Somantri, (2006) berpendapat bahwa ketunadaksaan yang terjadi pada masa
kanak-kanak akan mempengaruhi laju perkembangannya dan tipe perkembangan seseorang.
Kondisi tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar menunjukkan efek yang lebih kecil
terhadap laju perkembangan tetapi menimbulkan pengaruh psikologi yang lebih besar.
Somantri (2006) mengatakan perlakuan dari keluarga dan kelompok teman-teman sebayanya
juga dapat menjadi sumber terjadinya frustrasi, konflik dan kecemasan, yang kadang-kadang
lebih berat dibandingkan dengan ketunadaksaannya.
Pada remaja tuna daksa, penolakan teman-temannya akan menimbulkan kejengkelan,

kemarahan dan kekecewaan (Sudarmini, 2009). Bandura (dalam Santrock, 2007) menyatakan

3
bahwa faktor perilaku, lingkungan, dan pribadi/kognitif, seperti keyakinan, dapat berinteraksi
secara timbal balik. Kondisi tuna daksa juga mempengaruhi aktivitas sosial remaja dengan
teman sebayanya karena terbatasnya kegiatan yang dapat dilakukan oleh remaja. Terbatasnya
aktivitas yang dapat dilakukan dapat membuat remaja tuna daksa memiliki masalah dalam
menyesuaikan diri, hal ini tentunya menjadi penghambat remaja tuna daksa dalam melakukan
aktivitas sosialnya bersama teman sebaya (Somantri, 2006). Faktor lingkungan dan internal
dalam diri remaja saling berhubungan erat, sehingga fisik sangat mempengaruhi kehidupan
sosial remaja dan membuat kondisi tuna daksa yang dialami oleh remaja menjadi suatu
tantangan yang berat. Terhambatnya aktivitas yang dilakukan remaja tuna daksa, dapat
membuat remaja tuna daksa merasa tidak berdaya dan membutuhkan bantuan dari orang lain
sehingga keyakinan remaja tuna daksa terhadap kemampuannya sendiri pun diuji.
Tidak hanya memiliki hambatan dalam aktivitas dan penyesuaian diri, kondisi
kecacatanyang dimiliki individu juga dapat mempengaruhi persepsi kontrol mereka. Dalam
artikelnya mengenai konsep kemandirian pada remaja tuna daksa, Crittenden (1990)
mengatakan bahwa individu tuna daksa lebih memiliki eksternal Locus Of Control (LOC)
karena mereka mengasosiasikan kondisi mereka dengan penerimaan “apa adanya” dan
penyerahan kemandirian kepada orang lain.


Banyak studi yang menunjukkan bahwa

penyandang cacat (People With Disabilities disingkat PWDs), kebanyakan anak-anak,
menunjukkan kontrol eksternal dibandingkan anak-anak tanpa kecacatan, yang mengakibatkan
efek negatif pada performa akademik (Chapman & Boerman 1979; Firth, Lunningham & Skues
2007; Roger & Sklofske 1985; dalam Owusu-Ansah, dkk 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Owusu-Ansah, dkk (2012) juga memberikan hasil
bahwa partisipan yang memiliki perbedaan kecacatan secara umum memiliki cara pandang
yang sama dalam melihat diri mereka dan bagaimana mereka mengontrol keyakinan yang
mereka miliki untuk mengontrol peristiwa penting dalam hidup mereka. Kontrol eksternal tidak

4
hanya mempengaruhi performa akademik, tetapi juga perencanaan masa depan dan finansial
penyandang cacat. Telah diketahui bahwa jutaan penyandang cacat remaja dan dewasa awal
tidak mampu mendukung diri mereka saat ini atau membuat rencana masa depan. Mereka juga
sering diberi gaji yang rendah dibandingkan rekan kerjanya, namun dalam banyak kasus,
lingkup sosial dan keluarga mereka juga memberikan mereka sedikit atau tidak sama sekali
kontrol terhadap pendapatan (income) yang mereka dapatkan untuk dikelola (Groce, 2004).
Manusia memiliki 'kebutuhan batin' untuk mengendalikan lingkungan mereka (White,

1959; dalam Erez, 1995). Oleh karena kebutuhan akan kontrol dapat memiliki pengaruh
langsung terhadap kesejahteraan individu (Erez, 1995). Literatur telah berulang kali
menunjukkan bahwa locus of control secara signifikan berkorelasi dengan tingkat
kesejahteraan subjektif (Bostic, 2001). LOC pertama diperkenalkan pada tahun 1954 dalam
teori belajar sosial Rotter (dalam Ai, 2005). Menurut Rotter (1990), LOC mengacu pada sejauh
mana seseorang percaya bahwa penguatan (reinforcement) atau hasil (outcome) yang diperoleh
berdasarkan pada pengaruh tindakan dirinya sendiri atau karakteristik pribadi versus sejauh
mana orang mengharapkan bahwa reinforcement (penguatan) atau hasil (outcome) adalah suatu
kebetulan, keberuntungan, atau nasib, berada di bawah kendali kuat orang lain, atau hanya
sesuatu yang tidak dapat diprediksi. Individu dengan LOC eksternal, cenderung percaya bahwa
peristiwa dalam kehidupan mereka dikendalikan oleh kekuatan eksternal di mana mereka tidak
memiliki kontrol, sedangkan internal LOC adalah keyakinan bahwa hasil-hasil dalam
kehidupan seseorang berada di bawah kontrolnya sendiri (Rotter, 1990; dalam Wallace, 2012).
LOC mengacu pada keyakinan individu tentang pengendalian atas apa yang terjadi pada
mereka dalam hidup maka LOC kemudian didefinisikan sebagai ciri kepribadian atau konstruk
yang mengungkapkan bagaimana individu memandang kemampuan mereka untuk mengontrol
peristiwa kehidupan atau lingkungan (April et al., 2012 dalam Shojaee, 2014).

5
Hal penting yang perlu dicatat tentang LOC adalah expectancy-value theory, di mana

sesuatu reinforcement harus bernilai untuk individu tersebut untuk menghasilkan perubahan
perilaku (Lopez, 2009). Seseorang yang berkembang melalui masa kanak-kanak, perilaku
dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement. Penguatan tersebut meningkatkan
ekspektasi bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan penguatan yang diinginkan. Sebagai
anak-anak yang berkembang, beberapa akan memiliki pengalaman dimana perilaku mereka
langsung mempengaruhi penguatan. Sedangkan untuk anak-anak lainnya, hasil penguatan akan
muncul dari tindakkan di luar diri mereka. Dengan demikian totalitas belajar spesifik
menciptakan harapan umum seseorang bahwa totalitas pengalaman belajar spesifik
menciptakan harapan umum seseorang, apakah penguatan dikendalikan secari internal atau
eksternal (Rotter, 1966).
Selain itu, Rotter (1996) juga mengatakan bahwa dimensi LOC internal-eksternal, telah
diterima secara umum sebagai aspek yang relatif stabil pada kehidupan manusia yang berarti
dapat memprediksi perilaku di berbagai situasi yang bervariasi. Ungkapan relatif stabil
digunakan karena LOC seseorang dapat berubah dalam kondisi tertentu, misalnya orang
dengan orientasi eksternal akan menjadi internal ketika mereka ditempatkan pada posisi yang
memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar. Orang yang berorientasi internal
akan bergeser ke eksternal selama masa stres ekstrim dan menghadapi ketidakpastian. Selain
itu, adalah mungkin bagi individu untuk belajar menjadi internal jika diberi kesempatan.
Mc Donald (dalam Robinson & Shaver, 1980; Tanuwijaya, 2010) menyatakan bahwa
ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan LOC. Pertama adalah episodic antecedents,

yaitu kejadian-kejadian yang relatif memiliki makna penting dan muncul dalam kurun waktu
tertentu, seperti kematian orang-orang yang dicintai, kecelakaan, atau bencana alam. Kejadian
signifikan yang tiba-tiba terjadi pada diri individu tentunya akan mempengaruhi perkembangan
orientasi kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena kejadian yang signifikan tersebut dapat

6
mempengaruhi atau bahkan merubah cara pandang atau persepsi individu terhadap
kehidupannya. Kedua adalah acumulative antecedents, yaitu faktor-faktor yang bersifat terus
menerus ada dan dapat mempengaruhi LOC, seperti diskriminasi sosial, pola asuh orang tua,
dan ketidakmampuan yang berkepanjangan seperti kebutaan atau kelumpuhan yang
menyebabkan individu pasrah karena merasa tidak berdaya.
Pada tahun 1973, Levenson mengembangkan suatu model alternatif yang berbeda
dengan konsep Rotter. Rotter melihat locus of control sebagai unidimensional (internal ke
eksternal), sedangkan Levenson (dalam Sudarmadi, 2012), menegaskan bahwa ada tiga
dimensi independen dari LOC, yaitu: Internality (I) yaitu orientasi individu yang internal
ditandai dengan keyakinan oleh kemampuan dan usaha mereka sendiri, Powerful Other (P)
yaitu orientasi individu yang cenderung berperilaku dan berpikir bahwa ada orang-orang lain
di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa, dan Chance (C) yaitu orientasi pada individu yang
berfokus pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena
takdir, nasib, atau kesempatan. Dimensi internality oleh Levenson sama dengan dimensi

internal LOC oleh Rotter dan Chance (C) dan Powerful other (P) merupakan dimensi eksternal
LOC Rotter. Menurut model Levenson, satu dimensi dapat mendukung dimensi lain dari locus
of control secara independen dan pada waktu yang sama. Sebagai contoh, seseorang mungkin
secara bersamaan percaya bahwa baik dirinya sendiri (Internality) dan Powerful other
mempengaruhi suatu hasil, tapi Chance tidak (Zawawi, 2009).
Lopez (2009) mengatakan bahwa konsep kontrol ini berhubungan dengan konsep
atribusi, explanatory style, hopelearned helplessness, optimism, self determination, self
efficacy dan self handicapping, sehingga LOC merupakan suatu topik yang mempunyai
hubungan dengan banyak konsep teori psikologi lainnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa seseorang yang memiliki internal LOC memiliki kontrol yang lebih baik terhadap
suasana hati negatif atau dapat bersikap dan memiliki perasaan positif (Klonowicz, 2001).

7
Selain itu, dalam Stocks, dkk (2012) internal LOC juga memiliki hubungan dengan kesuksesan
akademik (Gifford, Briceno-Perriott & Mianzo, 2006), memiliki motivasi diri dan kedewasaan
sosial yang tinggi (Nelson & Mathias, 1995), mengindikasikan tingkat stres dan depresi yang
rendah (Garber & Seligman, 1980), dan usia yang panjang (Chipperfield, 1993).
Individu dengan internal LOC memanipulasi lingkungan mereka, dengan mengambil
kontrol terhadap peristiwa yang terjadi dan mengubah kondisi yang tidak memuaskan. Hal ini
karena bahwa lingkungan eksternal memberikan perasaan lemah untuk mengontrol kesuksesan
dan kegagalan (Nielsen, 1987; dalam Stocks, dkk, 2012), sedangkan individu dengan eksternal
LOC tidak mampu menghindari situasi yang tidak memuaskan (Kulshresta & Sen, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Kulshrestha dan Sen (2006) juga menyatakan subjek dengan
eksternal LOC lebih mungkin untuk menjadi pasif dan defensif, daripada melakukan sesuatu
untuk mengurangi stres, mereka merelakan.
Tidak selamanya internal LOC memiliki dampak positif dan eksternal LOC memiliki
dampak negatif. Individu dengan internal LOC dapat menjadi kurang ingin untuk mengambil
tantangan atau pekerjaan dalam meningkatkan kemampuan dirinya (self-improvement). Selain
itu individu dengan internal LOC yang tidak mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk
memperoleh pengalaman kontrol, butuh memiliki pandangan realisik dari pengaruh atau halhal lain, bila tidak mereka dapat menjadi neurotic, cemas dan depresi (Lopez, 2009).
Dari pemaparan yang telah dijelaskan bahwa gangguan fisik pada remaja dapat
mempengaruhi kontrol individu terhadap hidupnya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya
persepsi akan kontrol ternyata juga mempengaruhi banyak bidang kehidupan sehingga sulit
untuk disangkal bahwa persepsi akan kontrol adalah topik yang penting. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui LOC yang dimiliki oleh remaja tuna daksa.

8
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata secara tertulis
atau lisan dari orang-orang dengan perilaku yang telah diamati (dalam Susilowati, 2007).
Penelitian kualitatif juga memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara
mendalam dan mendetail, karena pengumpulan data tidak dibatasi pada kategori-kategori
tertentu saja (Patton, 1990; dalam Purwandari, 2007).
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki karakteristik
tuna daksa yang telah ditentukan. Semua partisipan berasal dari kota yang berbeda, namun saat
ini tinggal di Salatiga untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Karakteristik partisipan dalam penelitian ini ialah remaja akhir yang mengalami kondisi tuna
daksa yang disebabkan oleh genetik atau pengaruh kelahiran sehingga mengalami kecacatan
fisik secara permanen dan fungsi tubuhnya tidak normal atau terganggu. Dalam observasi yang
dilakukan, kedua partisipan dalam penelitian ini cukup aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan
kemahasiswaan di tengah-tengah kondisinya yang tidak normal.
Partisipan pertama berinisial AB adalah seorang mahasiswi usia 21 tahun dan berasal
dari kota Medan, memiliki kondisi tuna daksa yang disebut dengan herelip atau adanya
gangguan pada bibir dan mulut yang membuatnya kesulitan berbicara dengan jelas. Partisipan
pertama telah melakukan operasi sebanyak dua kali. Operasi pertama untuk memperbaiki
bagian atas mulutnya dan operasi kedua untuk memperbaiki bagian dalam hidungnya.
Partisipan kedua berinisial GA adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun dan berasal
dari kota Tanggerang, memiliki kondisi tuna daksa yang disebut dengan club hand atau

9
memiliki tangan seperti tongkat dan jari-jari tangan yang kurang dari lima pada salah satu
tangannya.
Metode Pengumpulan Data
Metode penggalian data dalam penelitian ini ialah menggunakan metode wawancara
mendalam yang didukung oleh pedoman wawancara. Model wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini ialah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini,
peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang
harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan
eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek
yang harus dibahas, sekaligus menjadi faktor daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek
relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus
memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dan dalam kalimat
tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.
Wawancara dengan pedoman khusus ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni
wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal/aspek-aspek tertentu dari
kehidupan/pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam,
dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh
dan mendalam (Poerwandari, 2007).
Analisi dan Uji Keabsahan Data
Teknik pengorganisasian data menggunakan analisis tematik berupa open koding,
aksial koding, dan selektif koding. Selain itu, hal penting yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah member check yang
dilakukan dengan mendiskusikan hasil penelitian atau hasil pengolahan data dengan subjek
penelitian untuk mengetahui apakah ada yang harus ditambahkan atau dikurangi, serta untuk
meyakinkan partisipan bahwa data diolah dengan tepat.

10
HASIL
Hasil penelitian diperoleh tema-tema yang berhubungan dengan dimensi LOC yaitu:
internality, powerful other dan change. Selain itu juga ditemukan tema-tema lain seperti
keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup dan strategi mengatasi tekanan (coping).
1. Internality
Partisipan pertama mengungkapkan keterbatasan fisik yang membuatnya kesulitan
dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama mengalami kecemasan saat berbicara dalam
kelompok besar dan saat melakukan presentasi. Ia ragu bila dapat berbicara dengan lancar saat
mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok besar seperti di depan kelas atau dalam rapat,
namun ia berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil yang
sudah terbiasa dengannya. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya
sering mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih
memilih melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancari. Dalam pemecahan
masalah partisipan pertama mengatakan bahwa dirinya tidak mudah menyerah dalam
melakukan tugas-tugas sulit, ia berusaha untuk menyelesaikan tugasnya dengan mencari
bantuan orang lain. Pada partisipan kedua, dalam menghadapi masalah yang berhubungan
dengan tugas-tugas kuliah atau sekolah, ia mengaku tidak pernah menyerah dan menyerahkan
tanggungjawabnya kepada orang lain, karena ia yakin dengan kemampuannya.
Kedua partisipan menceritakan bahwa salah satu peristiwa penting dalam hidup mereka
adalah ketika mereka mengambil keputusan meninggalkan rumah untuk melanjutkan
pendidikan di kota lain. Dalam usaha untuk hidup mandiri selama melanjutkan pendidikan di
kota lain, kedua partisipan berusaha untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain dan juga dapat
beradaptasi di lingkungan yang baru, walaupun keduanya tidak menyukai hal-hal baru.
Keterbatasan fisiknya juga membuat partisipan pertama tidak menyukai lingkungan atau orang
baru karena hal itu membuatnya cemas mengenai cara komunikasi yang akan ia gunakan untuk

11
menghadapi orang dan lingkungan sosial baru, tapi ia mengatakan dapat beradaptasi dengan
lingkungan atau orang yang baru ia kenal walaupun membutuhkan waktu.
Partisipan kedua berpendapat, bahwa ia dapat menerima pertolongan yang orang lain
berikan padanya bila bantuan tersebut adalah sesuatu yang benar-benar tidak dapat ia dilakukan
seperti menulis dengan bagus, membuka botol dan memotong-motong. Namun partisipan
kedua menjadi kesal bila orang lain meremehkannya dalam melakukan sesuatu yang dapat ia
kerjakan sendiri. Ia tidak ingin orang lain mengasihaninya karena keterbatasan fisik yang ia
miliki. Selain itu, partisipan kedua memiliki ketidakyakinan dalam membangun relasi dengan
lawan jenis.
Partisipan pertama meragukan dirinya sendiri untuk dapat bersaing dalam dunia kerja
dan beradaptasi dengan rekan kerjanya nanti. Ia merasa kekurangan fisiknya dapat
mempengaruhi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan. Ia juga menceritakan bahwa atasan
melihat potensi yang ia miliki, namun ia belum percaya diri dalam melakukan tugasnya.
Partisipan kedua, memiliki keyakinan bahwa dengan usaha yang lebih keras ia dapat mencapai
kesuksesan yang berhubungan dengan karir dan pendidikannya. Ia berusaha untuk melakukan
aktivitas yang sulit ia kerjakan dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk
mengembangkan kemampuan lain yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam
memperoleh keberhasilan dalam karirnya kelak. Ia merasa alasan atasannya memberikan
tanggung jawab kepadanya adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas
yang dipercayakan padanya.
Partisipan I
“Em, kalau aku sih yakin dengan
kemampuanku soalnya aku mengalami
proses untuk bisa bersekolah itu sangat
panjang. Aku dari TK sampai sekarang ini,
aku itu merasa yakin kalau aku ada
kemampuan untuk menghadapi perkuliahan,
persekolahan, eh pendidikan. Itu loh, jadi ada
buktinya kalau aku bener-bener bisa
menghadapi pendidikan.

Partisipan II
“Kalau menurut aku ya, soalnya misalnya
yang lain aku bisa lakuin walaupun cuma
keadaan terbatas misalnya cuma potongpotong aku bisa, tapi kalau dekat sama
seorang cowok kayak gitu kan, kayak dia
suka sama aku tuh, kayaknya gak
mungkinlah gitu.”

12
“… motong atau buka sesuatu itu ya gak
susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan
melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya
motong-motong apa saya bisa kerjakan
melalui latihan.”

“Kalau di masa depan, memang ada sedikit
keraguan, ada sedikit kecemasan. Dari sini
aku, kecemasanku disini persaingan di
perusahaan pasti ketat ya. Tapi yang aku
cemaskan gimana pimpinan nanti sama apa
namanya rekan kerja itu mereka bisa gak “Kalau menyerah pernah, tapi kalau
beradaptasi dengan aku, kekuranganku ini.” misalnya menyerah kan kepada orang lain itu
belum pernah sih. Jadi misalnya aku nyerah
“Yang aku cemaskan itu orang baru, tempat gitu melakukan sesuatu, tapi itu nanti aku
baru, dan pemikiranku ada hal-hal yang kerjain lagi jadi nyerahnya itu beberapa saat
mungkin terkadang mereka jadi bingung mau doang.
Jadi
kalau
menyerahkan
komunikasi sama aku kayak apa. Cuma, tapi tanggungjawab kepada orang lain itu si
aku lihat dari contoh-contoh yang aku belum pernah.”
punya… eh, dari SD sampai kuliah,
walaupun memang ada butuh waktu tapi “Kalau misalnya dalam pekerjaan, saya
pasti bisa gitu, itu kecemasannya.”
yakin kalau saya berusaha lebih keras pasti
kesuksesan itu akan mengikuti seperti itu.”
“Dengan cara kayak tadi aku kuasai materiku
dengan baik itu. Tapi aku juga terkadang “… pekerjaan yang gak terjun kelapangan
kalau aku mau presentasi aku ngomong gitu yang megang apa-mengang apa kayak
sendiri di kamar.”
gitu. Terus menurut aku selama itu dikerjain
pakai pikiran dan gak terlalu menyusahkan
“Jadi kadang sih aku mengalihkan tugas aku sih bisa-bisa aja.”
yang kadang, mungkin sih aku harusnya bisa
tapi aku kasi ke orang lain-orang lain aja. “Ketika saya tadinya di rumah, itu anak
Gitu. Sekali-sekali sih.”
rumahan gak pernah keluar, yang gak pernah
tahu dunia, bukannya gak pernah tahu dunia
“Kalau itu sih bisa sih terkontrol semua sih, tahu sih, cuma lebih banyak di rumah
sesuai dengan keinginan, harapan. Tapi kalau gitu dan kayak ansos gitulah jarang
dipraktekkan itu kadang-kadang kok harapan berinteraksi dengan orang lain sedangkan
itu ada tercapai tapi kadang-kadang kok beda disini saya harus hidup sendiri dan harus
ya dengan apa yang aku pikirkan. Kadang survive gitu dengan orang lain seperti apa
tidak terkontrol sih.”
kayak gitu. Jadi itu merubah cara pandang,
cara pikir kayak misalnya harus menghargai
“Tapi kalau secara lebih luas lagi seperti di orang, gak boleh sombong, gak boleh ngiri
kelas, aku kadang agak minder sih. Tapi kayak gitu dan harus apa ya, ngertiin orang
kalau di kelompok kecil-kecil dan aku sudah lain lah istilahnya kayak gitu. Em, apa ya,
terbiasa aku berani gitu.”
masalah kita itu tidak lebih besar daripada
masalah orang lain kayak gitu.”
“… yang bikin aku berubah, ya itu tadi, aku
mau menjalankan hidupku apa harus di “Kalau memang suatu hal itu tidak bisa saya
rumah terus gak, gak apa mau bersosialisai lakukan dan orang lain bisa lakukan saya
dan gak minder dan walaupun disitu akan merasa nyaman, tapi kalau misalnya
walaupun aku punya kekurangan tapi aku saya bisa ngelakuin itu dan orang lain seperti
tetap mau berkomunikasi dengan orang lain melihat saya tuh mengasihani gitu, saya tuh
… Tapi aku merasa itu gak ada gunanya jadi eh, apa ya bukan rendah diri sih lebih ke
kalau kita introvert gitu loh, kita sama seperti yang em, gak kok saya bisa gitu, saya mau
orang-orang, sama mayat hidup…. Jadi itu, tunjukkin kok maksudnya tuh kalau kamu
ada perubahan dari aku TK dulu aku minder bisa kenapa saya gak kayak gitu, seperti itu,

13
benget sampai sekarang aku berani tapi tidak menyinggung perasaan dia gitu,
bersosialisasi sama orang jadi, seperti itu, karena mamang mungkin dia tulus gitu mau
aku berani ngomong.”
nolongin kayak gitu.”
“Jadi aku lihat yang panitia-panitia kemarin
mereka percaya kalau aku ada potensi cuma
aku belum berani melakukannya gitu
misalnya aku pikir mereka percaya kalau aku
ada potensi.”

“Karena saya bisa dipercaya dan apa ya, gak
main-main gitu loh sama suatu pekerjaan
atau suatu em, hal yang dipercayakan sama
diri kita. Gak main-main, kita berani
berkorban untuk sesuatu yang sudah
dipercayakan untuk kita gitu.”

2. Powerful Other
Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa orang lain juga turut
mempengaruhi keberhasilan yang mereka capai, orang lain yang dimaksud adalah orangtua,
teman sebaya dan atasan. Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan memperoleh
dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya. Keluarga memberikan dukungan motivasi,
kasih sayang dan finansial bagi kedua partisipan. Partisipan pertama menceritakan bahwa
keluarganya, khususnya ibunya, sangat berperan dalam hidupnya dan mempengaruhi
pengambilan keputusannya, hal ini menjadikannya bergantung pada ibunya dalam
memutuskan hal-hal penting dalam hidupnya. Ia mengaku sering bertanya-tanya atau meminta
pendapat keluarganya untuk memutuskan sesuatu.
Partisipan pertama percaya bahwa dengan menggunakan keputusan ibunya, ia akan
memperoleh hasil yang positif. Partisipan pertama berpikir tanpa dukungan sosial yang berupa
perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, ia akan menjadi depresi dan tidak memiliki
penerimaan diri. Bagi partisipan pertama, keluarga adalah sesuatu yang berpengaruh dalam
mengambilan keputusannya, keputusan yang dipilihkan keluarganya adalah yang terbaik dan
mempengaruhi keberhasilan masa depannya.
Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak ingin bergantung pada orang
lain dan tidak ingin dikontrol oleh orang lain. Partisipan kedua menceritakan bahwa dirinyalah
yang lebih berhak mengambil keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Ia mengakui bahwa

14
bila orang lain memberikan kontrol yang positif baginya, ia dapat menerimanya namun bila
kontrol yang diberikan membuatnya bergantung pada orang lain, ia menolaknya.
Dari wawancara yang telah dilakukan, partisipan kedua merasa bahwa keberhasilan
dalam membangun hubungan dengan lawan jenis tidak dapat dikontrolnya karena merasa tidak
akan didekati oleh lawan jenis. Ia mengatakan bahwa ia merasa sedih saat melihat teman-teman
perempuannya yang terlihat cantik dan memiliki tubuh normal sehingga dapat membangun
hubungan dengan lawan jenis. Melihat perbedaan fisik dirinya dan teman-temannya membuat
partisipan kedua cemas untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana ia tidak yakin
bahwa dirinya dapat diterima oleh lawan jenis. Partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa
ia kelemahan fisiknya dan kekurangannya dalam berkomunikasi, membuatnya pernah
menerima ejekan dari orang lain. Ejekan tersebut membuatnya rendah diri dan khwatir dengan
pendapat orang lain yang medengar ejekan yang diberikan padanya. Pada partisipan kedua, ia
mengungkapkan tentang perlakuan orang lain yang mengasihani dirinya, menghadapi
perlakuan tersebut, partisipan kedua memilih bersikap untuk menghargai orang yang
mengasihaninya. Ia juga mengatakan bahwa dukungan yang diterimanya dari teman sebaya,
dosen dan komunitas gereja yang ia ikuti memberinya dukungan untuk dapat melanjutkan
pendidikannya di kota lain.
Berhubungan dengan dunia pekerjaan di masa depan, baik partisipan pertama maupun
kedua berpendapat bahwa relasinya dengan orang lain juga mempengaruhi peluang
pekerjaannya di masa depan. Partisipan pertama menceritakan bahwa atasan atau pimpinan
perusahaan juga menentukan penerimaan kerjanya.
Partisipan pertama
“Kalau usaha sendiri aku kurang yakin,
soalnya kita hidupkan tidak sendirian kan
kita ada teman, ada keluarga terus ada
orang yang diatas dari kita, ini memang aku
kalau pake kekuatan sendiri gak bisa...”

Partisipan kedua
“.. soalnya kita kan, makhluk sosial tidak
bisa berdiri sendiri segala sesuatu hal itu
pasti dipengaruhi sama orang lain,
kesuksesan pun itu pengaruhi sama orang
lain juga.”

15
“Mengontrol, orang lain itu sih ada sih satu “Kadang merasa marah gitu ya, kayak em,
mamaku… Jadi aku sangat ketergantungan sebenarnya kamu tuh gak berhak
sama mamaku…”
mengontrol hidup aku karena aku sendiri
yang berhak mengontrol hidup saya gitu.”
“Soalnya keluarga inti, eh apa namanya,
masalah ini kan keluarga. Jadi aku pun “kalau memang kontrol itu baik kenapa
lebih sering bersosialisasi, lebih sering enggak gitu karena itu bisa menuntun
ngobrol, lebih sering apa, mengungkapkan kehidupan saya ke jalan yang lebih baik.
pendapat, lebih sering tanya ini tanya ini, Tapi kalau misalnya udah yang ke arahterus kalau ada masalah aku tanya ke arah negatif ditu dan itu terlalu menggaggu
keluargaku
maksudnya
pendapatnya kehidupan aku jadi aku gak bisa
mereka….”
memutuskan
sendiri
kayak
aku
ketergantungan sama dia gitu aku berusaha
“Kalau tidak ada support dari keluarga aku untuk menjauh kayak gitu. Untuk menjauhi
mungkin sudah depresi kan. Bahkan dalam hal, mungkin apa ya untuk meminta
depresi, tidak ada penerimaan diri gitu.”
saran dari dia itu gak seintens dulu kayak
“Soalnya kalau gak mamaku yang arahkan gitu. Supaya dia itu gak terlalu
ke sini dan ngomong kau harus kuliah, mempengaruhi hidup aku sehingga aku
mungkin masa depanku cuma sampai bisa memutuskan mana yang terbaik buat
SMA. Mungkin SMA aku kerja mungkin hidup aku, mana yang terbaik buat hidup
kerjanya jadi karyawan pabriklah, atau orang lain.”
tinggal di rumah lah jadi mamaku ada
manfaatnya gitu loh jadi masa depanku “Yang pastinya, orang tua ya, orang lain itu
termasuk orang tua juga mereka yang
cerah kali.”
biayain, mereka yang nyekolahin, mereka
“Sama itu pertimbangan-pertimbangan yang kuliahin seperti itu, dan satu peran
penerimaan karyawan itu, aku kuatirnya pentinglah di saat-saat kita lemah, di saatdisitu. Mungkin nanti mereka melihat aku saat kita aduh capek ya kita kuliah ginimemang ada potensi, tapi mereka kan juga gini-gini, tapi setelah mungkin kita lapor
melihat, kan perusahan pasti membutuhkan mereka, mereka kuatin kita, ayo terusin
orang untuk berkomunikasi mungkin belajar atau apa lah segala macam…”
dengan karyawan, mungkin dengan apaapa, pelanggan gitu. Aku masih bingung “Saya punya, puji Tuhan saya tuh punya
besok bagaimana menghadapinya, gitu banyak kenalan gitu dan em, apa ya,
loh.”
mereka itu, kan kalau banyak interaksi
sosial itu lebih banyak terbuka peluang
“Kalau yang lain itu sih, kadang-kadang pekerjaan”
sekali doang kok, mungkin dia gak tau
rasanya keadaan ini gitu, cuma bercanda “Teman-teman aku tuh bisa dibilang
kali. Kalau lebih sering dia lakuin aku akan cantik-cantik gitu ya, kayak normal sering
to the point (menegur) sama dia, tapi kalau dideketin sama cowok istilahnya kayak
sekali dua kali doang ma gak apa-apa gitu. Dan pernah gitu, maksudnya satu kali
mungkin bercanda kali gitu.”
itu, kayaknya aku itu gak bakal bisa kayak
apa, punya pikiran kayak gitu.”
“…. yang temanku SMA ini, dia berulangulang kan ngejek aku,…”
“Apapun gitu, mengasihani ataupun ngejek
juga ataupun berpikir pasti orangtuanya
kenapa nih waktu dulu gitukan, kayak gitugitu, entah apapun yang ada dalam

16
pikirannya menurutku sih lebih kayak
menghargai oh, ya udah.”
“Itu sih saya punya sahabat tiga orang,
bukan gang sih tapi pokoknya sahabatan
gitu terus mereka tuh ya yang kuatin juga
ya yang doain juga gitu dan banyak, itu lagi
komunitas di gereja seperti itu yang kuatin,
terus sudah itu dosen-dosen juga, mungkin
dosennya itu keras atau seperti apa gitu ya
tapi tuh buat kita tu ngerti gitu, jadi oh,
kuliah kayak gini to.”

3. Chance
Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa walaupun mereka tidak dapat
mengontrol takdir yang menyebabkan kekurangan fisik mereka, keduanya yakin bahwa usaha
mereka dapat menentukan keberhasilan mereka di masa depan. Selain itu, mereka juga
berpendapat bahwa peluang atau kesempatan memerankan peranan penting dalam kehidupan
mereka namun peluang atau kesempatan haruslah dicari. Partisipan kedua mengatakan bahwa
keberuntungan memerankan peran yang kecil dalam pencapaian keberhasilannya, sedangkan
yang paling menentukan keberhasilannya adalah Tuhan dan kerja keras.
Partisipan pertama
“Takdir menentukan aku orangnya gini,
maksudku aku punya kekurangan gini, tapi
kalau dalam kehidupan walaupun ada
takdirnya itu, kita jangan terpatok pada
takdirnya, kita harus lebih mengembangkan
dirinya kita gitu. Jangan sampai kita
terpuruk dengan nasib yang diberikan sama
Tuhan tapi kan, kita kan memang menerima,
tapi kan apa namanya kita ada usaha untuk
mengubah cara hidup kita gitu loh, supaya
tidak terlalu terpuruk dengan kekurangan
kita.”

Partisipan kedua
“Em, saya bisa ngelakuin semua yang orang
bisa ngelakuin kan kayak gitu misalnya tadi
motong atau buka sesuatu itu ya gak susahsusah baget gitulah bisa dikerjakan melalui
latihan gitu istilahnya buka apa, saya
motong-motong apa saya bisa kerjakan
melalui latihan... Kalau menurut saya bisa
karena tubuh ini bukan suatu keterbatasan
untuk kita mencapai suatu kesuksesan seperti
itu, saya masih punya yang lain yang masih
bisa saya kembangkan dari tubuh saya
gitu…. saya bisa merubah nasib saya
walaupun kondisi saya seperti ini.”

“Jadi peluang itu kita yang cari bukan kita
yang menunggu peluang. Istilahnya jangan “Kalau takdir ya, saya kan sudah bilang
kita yang menunggu bola datang tapi kita takdir itu sudah tidak bisa diubah gitu, kalau
yang mencari bolanya gitu loh.”
misalnya kayak gini kan sudah gak bisa
diubah lagi gitu istilahnya, ya bersyukur aja
sih apa yang sudah Tuhan kasi. Em, saya bisa

17
ngelakuin semua yang orang bisa ngelakuin
kan kayak gitu misalnya tadi motong atau
buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget
gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu
istilahnya buka apa, saya motong-motong
apa saya bisa kerjakan melalui latihan.
Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya
bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur
karena kalau misalnya mau ditangisin mau
dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin
juga ya, marah-marah gitukan enggak
merubah suatu hal apapun seperti itu.”
“…terus banyak-banyak cari peluang
pekerjaan… kesempatan mempengaruhi
kesuksesan ya sebenarnya sih sangat penting
sih karena kalau misalnya ketika saya ada
kesempatan untuk misanya naik pangkat gitu
ya.”
Em, kalau faktor keberuntungan dari seratus
persen menurut saya ya itu cuman paling 2030 persenlah selain itu em, karena campur
tangan Tuhan dan saya kerja keras. Faktor
keberuntungan cuma sedikit.

4. Keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup
Kedua partisipan mengungkapkan bahwa Tuhan juga berperan dalam menentukan
masa depan mereka. Partisipan pertama mengatakan walaupun dirinya diciptakan dengan
kekurangan yang membuatnya berbeda, tapi ia yakin Tuhan mempunyai rencana tersendiri
untuknya. Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa Tuhan
menentukan masa depannya. Walaupun dirinya yang mengendalikan nasib hidupnya, Tuhanlah
yang menentukan apa yang terjadi dalam hidupnya. Selain itu, partisipan kedua menceritakan
bahwa Tuhan juga ikut berperan dalam perubahan penting pada dirinya dimana saat ia
mendekatkan diri pada Tuhan, ia yakin Tuhan juga mengubah hidupnya sehingga ia memiliki
kontrol emosi yang lebih baik dan berkurangnya sifat-sifat negatif seperti rendah diri dan
mudah marah dibandingkan saat ia belum dekat dengan Tuhan.

18
Partisipan I
“Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini,
mungkin akan ada rencananya kedepannya
gitu. Karena aku pernah dengar punya
kelebihan kamu tidak malu lihat orang
berbicara walaupun nanti kamu merasa ada
yang berbeda. Jadi aku yakin besok pasti ada
jalan dari Tuhan gitu.”

Partisipan II
“Em kembali lagi kepada firman Tuhan kaya
kgitu. Balik lagi ke jalanNya Tuhan gitu,
ketika Tuhan bilang saya musti kesini ya
saya ke sini, dan itu saya yang tentukan saya
mau kesitu atau enggak itu kan hatinya saya
gitu, istilahnya kayak gitu. Jadi maksudnya
nasib memang saya yang tentukan tapi
semuanya itu balik lagi ke Tuhan, gimana
Tuhan itu mau saya berada di nasib yang
mana seperti apa, kayak gitu.”
“altar call, sudah gitu aku maju, jadi tuh
seperti Tuhan itu menjamah hati aku,
sehingga em, apa ya satu demi satu karakter
yang buruk tuh dikurangi kayak misalnya
yang emosian udah gak lagi walaupun gak
sempurnah sih, masih kadang-kadang emosi
gitu, cuma dibandingkan dengan dulu tuh
udah gak, gak seintens dulu gitu emosinya.
Terus kalau minder, udah gak pernah minder
lagi udah ya bersyukur aja apa yang udah
Tuhan kasi gitu doang.

5. Mengatasi tekanan (coping)
Partisipan pertama berusaha menghadapi ejekan yang ia terima dari teman-temannya
dengan meminta kepada orangtuanya untuk melakukan operasi pada saat ia masih di Taman
Kanak-kanak (TK). Operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki bagian mulut dan
hidungnya sehingga ia dapat bicara dengan lebih jelas.

Partisipan I:
“…ini hidungku tolong, bukan tolong sih tapi ini diperbaikilah mak teman-temanku
ngejek-ngejek terus itu kalimat yang bener-bener, satu kalimat yang mengubah hidupku
loh…”
Selain operasi, partisipan pertama berusaha menerima keadaan fisiknya dengan
mensyukuri keadaannya, berdoa ketika menghadapi ejekan orang lain serta meyakini bahwa
Tuhan mempunyai rencana terhadap hidupnya. Pada partisipan kedua, ia memilih menerima

19
keadaannya, bersyukur, membaca kitab suci dan lebih banyak berdoa dalam mengatasi
kesedihannya sehubungan dengan kekurangan fisik yang ia miliki.
Partisipan I
“Cuma memang sih aku gak ngomong
sama dia to the point, eh langsung gitu tapi
aku pendem sendiri gitu, tapi aku pendempendem cuma karena kepahitan itu, sering
doa sama Tuhan. Walaupun ada kepahitan
tapi aku apa namanya, melepaskan gitu
dengan cara mendoakan. “

Partisipan II
“Tuhan itu sudah menyiapkan kalau, em, apa
ya, kalau unik, aku tuh unik gitu…. Jadi aku
yang lebih ke berdoa sih, kalau lagi sedih
melihat mereka yang bisa normal gitu, aku
lebih banyak cari Tuhan, kayak gitu.”
“Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya
bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur
karena kalau misalnya mau ditangisin mau
dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin
juga ya, marah-marah gitukan enggak
merubah suatu hal apapun seperti itu.”

“…. mungkin besok akan ada cuma aku
pikir bersyukur aja. Mungkin Tuhan kasi
aku kayak gini, mungkin akan ada
rencananya kedepannya gitu… Jadi aku
yakin besok pasti ada jalan dari Tuhan
“tapi tuh mama selalu nguatin gitu, udahlah
gitu.”
gitu jangan terlalu dipikirin cowok itu mah
Tuhan yang kasi kayak gitu-gitu. Jodoh itu
gak kemana. Jadi tuh kuat aja gitu jadi baca
firman, baca alkitab kayak gitu-gitu. Ya itu
sih yang pertama itu ya doa.”

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua partisipan memiliki kecenderungan
kontrol internality, powerful other dan chance pada keadaan-keadaan tertentu, seperti:
keberhasilan dalam pendidikan, keberhasilan dalam lingkungan sosial, dan keyakinan dalam
keberhasilan karir di masa depan. Janelle (1992) mengatakan bahwa Locus of Control (LOC)
dapat dipengaruhi secara berbeda pada setiap tingkatan tergantung pada lingkungan, interaksi
dengan lingkungan atau dengan kepribadian individu. LOC secara kontinum menunjukkan
bahwa seseorang memiliki keyakinan internal (internality) dan eksternal (powerful other dan
chance) mengenai konsekuensi dari berbagai peristiwa hidup. Karakteristik internal dan
eksternal yang dimiliki bergantung pada perspektif LOC yang dominan.
Dalam menghadapi pendidikannya saat ini, partisipan pertama mengatakan bahwa ia
yakin dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik karena ia telah memiliki pengalaman

20
sebelumnya dalam menghadapi pendidikan. Walaupun merasa yakin dapat menyelesaikan
pendidikannya dengan baik, kelemahannya dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama
sering merasakan kecemasan saat melakukan presentasi di kelas atau berbicara dalam
kelompok besar. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya sering
mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih memilih
melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancarai.
Saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, partisipan pertama sangat
dipengaruhi oleh pihak keluarga, khususnya ibu partisipan. Ia mengungkapkan bahwa ibu,
yang lebih mengontrol hidupnya dan mempengaruhi pengambilan keputusannya, seperti kota
tempat tinggal dan jurusan yang diambilnya. Keyakinan terhadap keputusan ibu yang terbaik
disebabkan oleh reinforcement yang diberikan ibunya dimana partisipan pertama selalu puas
dengan keputusan yang dipilihkan ibunya dalam peristiwa hidup sebelumnya. Ia mengatakan
bila tidak ada bantuan dari ibunya, ia tidak akan melanjutkan study-nya ke perguruan tinggi
dan mengalami depresi karena itu sampai saat ini ia lebih banyak berkomunikasi dengan
keluarganya terhadap keputusan-keputusan yang ia ambil, ia merasa keputusan yang dipilihkan
oleh keluarganya adalah yang terbaik. Menurut Crittenden (1990), keluarga adalah konteks
penting yang dapat mempengaruhi individu mengembangkan sebuah LOC dan mempelajari
strategi untuk mengatasi tekanan. Selain itu dalam perkembangan seorang anak dalam
keluarga, perilaku dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement (Rotter, 1966).
Partisipan kedua mengatakan bahwa untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan,
ia dapat melakukan latihan untuk mengerjakannya dan berpendapat bila ia bekerja keras maka
kesuksesan akan mengikutinya. Selain itu, ia belum pernah mengalihkan tugas atau tanggung
jawab yang diberikan padanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Stocks (2012) bahwa
individu dengan internality lebih sering mengajukan dan menerima posisi untuk mengatur
karena mereka merasa nyaman mengambil alih situasi dan membuat keputusan.

21
Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa salah satu peristiwa penting
dalam hidup mereka adalah ketika mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah untuk
hidup mandiri di kota lain serta berusaha bersosialisasi dengan orang lain. Keluarga dari kedua
partisan juga mendukung keputusan partisipan dengan memberikan dukungan, seperti
dukungan finansial dan motivasi dalam belajar. Kedua partisipan mengatakan tidak menyukai
hal-hal baru sehingga mau tidak mau kedua partisipan harus berusaha hidup mandiri dan
mampu beradaptasi dengan lingkungan baru selama melanjutkan pendidikan, dalam proses
adaptasi ini kedua partisipan berusaha mengembangkan internality-nya dimana mereka
berusaha yakin dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat hidup mandiri. Keluarga
memiliki peranan penting dalam mendorong partispan untuk bisa mandiri dimana keluarga
memegang sikap yang dapat meningkatkan kemandirian anak dan mengarahkan anak untuk
bisa partisipasi dalam suatu kegiatan (Lawlor, dkk, 2006; dalam Anaby, 2013). Keluarga dapat
mengatur lingkungan rumah tangga mereka untuk memastikan anak mendapatkan kesempatan
awal untuk memilih, mengontrol, dan mempunyai privasi, sangat penting untuk pengembangan
otonomi anak (Cook, Brotherson, Weigel-Garrey, Mize, 1996; dalam Vaicekauskaite, 2007).
Selain dukungan keluarga, partisipan kedua mengatakan bahwa teman sebaya dan
komunitas gereja yang dianggotainya memberikan dukungan motivasi dan doa. Dukungan ini
sangat membantu partisipan kedua untuk menjalani kehidupannya selama berkuliah di luar
kota. McManus (2006; dalam Anaby, dkk, 2013) mengungkapkan bahwa sikap positif dari
anggota komunitas dan sekolah dapat membantu anak-anak dengan kecacatan untuk
berpartisipasi dalam kelompok. Selain itu hasil penelitian Naraiana dan Natarajan (2013)
mengenai persepsi remaja penyandang cacat di India, mengungkapkan bahwa keberhasilan
yang dialami oleh beberapa siswa penyandang cacat dalam mengembangkan persahabatan
tampaknya menunjuk ke bentuk dukungan eksternal yang bisa digunakan untuk menghadapi
kondisi sosial yang keras.

22
Dapat disimpulkan dalam lingkup pendidikan, partisipan pertama cenderung memiliki
LOC powerful other, dimana keluarganya lebih mempengaruhinya dalam pengambilan
keputusan dalam melanjutkan pendidikannya, serta ketidakyakinannya pada diri sendiri dalam
mengerjakan tugas dengan baik. Pada partisipan kedua, ia cenderung memiliki LOC internality
karena keyakinannya terhadap kemampuan yang ia miliki dalam melakukan suatu tugas.
Tidak hanya kecemasan dalam mengerjakan tugas perkuliahan, partisipan pertama juga
memiliki kecemasan terhadap keberhasilan karirnya di masa depan. Keterbatasan fisiknya yang
membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi membuatnya cemas terhadap seleksi kerja oleh
atasan dan cara berkomunikasi dengan rek