T1 802007064 Full text

SPIRITUALITAS PADA REMAJA PANTI ASUHAN
YANG MENGALAMI KESEPIAN

OLEH
MELINDA MERMANI OCKTORA SERRA
802007064

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

SPIRITUALITAS PADA REMAJA PANTI ASUHAN
YANG MENGALAMI KESEPIAN


Melinda Mermani Ocktora Serra
Aloysius L. S. Soesilo
Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai apa yang dialami dan
dirasakan sebagai pengalaman spiritualitas yang dimaknai remaja panti asuhan yang
mengalami kesepian. Kesepian yang dialami oleh partisipan dapat ditinjau dari beberapa
aspek antara lain: perasaan yang muncul, faktor penyebab kesepian, dampak psikologis,
dan tahapan kesepian serta strategi koping yang dilakukan. Selain itu, berdasarkan
dimensi spiritualitas yang dialami partisipan juga akan meninjau mengenai pengalaman
spiritualitasnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi
kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi

partisipan (Yin, 2006). Partisipan penelitian ini ialah dua remaja perempuan dan satu
remaja laki-laki yang berusia 12-18 tahun. Hasil penelitian ini adalah partisipan
mengalami kesepian emosional dan spiritualitas intrinsik. Kesepian yang dialami
partisipan disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis. Spiritualitas dianggap oleh
partisipan sebagai pengalaman mengenai percaya kepada Tuhan yang penting dalam
proses perkembangan hidupnya dan juga strategi koping yang paling baik dibanding
strategi lainnya untuk meringankan perasaan kesepian. Bagi peneliti selanjutnya
disarankan untuk meneliti dengan lebih mendalami mengenai hubungan antara
spiritualitas ekstrinsik yang dianut individu dengan pengalaman kesepian anak panti
asuhan.
Kata kunci: Spiritualitas, remaja panti asuhan, kesepian, kesepian emosional,
spiritualitas intrinsik.

i

Abstract
This study aimed to describe about what was experienced and perceived as a spirituality
by orphanage adolescents who experienced loneliness. Loneliness experienced by
participants can be viewed from several aspects, among others: the feelings that arise,
the causes of loneliness, psychological impact, and the stages of loneliness and coping

strategies did. In addition, based on the dimensions of spirituality experienced
participants will also review about the experience of spirituality. This study is a
qualitative case study method. Data collection methods used were interviews and
participant observation (Yin, 2006). Participants of this study were two teenage girls
and a teenage boy with the age range of 12-18 years old. The results of this study were
participants experienced emotional loneliness and intrinsic spirituality. Participants
experienced loneliness caused by psychological and sociological factors. Spirituality
was considered by the participants as the experience of believing in God is important in
the development of life and coping strategies are also better than most other strategies to
alleviate feelings of loneliness. Further research is recommended to examine and further
explore the relationship between extrinsic spirituality that embrace orphans who
experience loneliness.
Keywords: Spirituality, youth orphanage, loneliness, emotional loneliness, intrinsic
spirituality.

ii

1

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa perubahan dan krisis identitas serta krisis harga
diri berdasarkan perkembangan-perkembangan secara umum dialaminya seperti
perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional. Pada perkembangan sosioemosional,
remaja mulai berusaha membentuk individualitasnya, relasi sosial, melakukan proses
sosialisasi, mengidentifikasikan orang lain dengan diri mereka dalam mencari identitas
diri dan pola perilaku berdasarkan nilai, harapan dan standar yang ditetapkan orang tua,
keluarga, dan masyarakat sekitarnya (Santrock, 1995). Namun masalah yang terjadi,
remaja seringkali merasakan kurangnya dukungan sosial keluarga di sekitar mereka.
Oleh karena itu, hal tersebut terkadang dapat memengaruhi kondisi perkembangan
identitas

dirinya

termasuk

ketika

mengalami

permasalahan


sosial

dalam

perkembangannya.
Berdasarkan hasil survei dari UNICEF Jepang berada pada urutan kedua yang
memiliki jumlah tertinggi remaja usia 15 tahun yang merasa kesepian setelah hasil
survei tersebut dilakukan di antara negara-negara industri yang sebagian besar di Eropa.
Hampir satu di antara tiga (29,8 %) remaja Jepang menyatakan setuju dengan kalimat
yang mengatakan "Saya merasa kesepian", menurut laporan hasil survei yang meliputi
24 dari kumpulan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi
Dan Pembangunan (OECD) dengan jumlah total anggotanya 25 negara (Tempo, 2007).
Permasalahan-permasalahan sosial yang dialami banyak remaja adalah ketika
mereka harus mengalami pilihan-pilihan sulit dan perubahan-perubahan diri dalam
kehidupannya yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri serta kurangnya dukungan
orang lain yang sesuai harapan mereka untuk membantu mereka mengatasi kesepian.
Hal tersebut mengganggu tugas perkembangan yang dijalani remaja tersebut. Menurut

2


Tjiptasastra (dalam Sudarman, 2011) remaja yang dihadapkan pada pilihan yang sulit
di mana individu harus berpisah dari keluarga atau menjadi yatim-piatu yang pada
akhirnya mereka dititipkan di panti asuhan. Secara khusus, kehilangan orang tua yang
dialami remaja yang tinggal di panti asuhan. Pengalaman dini akan adanya penolakan
dan kehilangan (seperti ketika orang tua meninggal) dapat menimbulkan efek merasa
kesepian yang berlangsung lama (Santrock, 2003).
Menurut Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 15 A/
HUK/2010, Tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) akan
melakukan pelayanan sosial berbasis keluarga (penjangkauan/outreach, home care
services, reunifikasi dan reintegrasi keluarga, dan lain-lain), selain tetap memberikan
pengasuhan pada anak-anak yang kehilangan asuhan dalam keluarga. Namun di sisi
lain, pengasuhan di panti asuhan menjadi pilihan yang kurang tepat karena kebanyakan
anak asuh merasakan dirinya berada pada situasi keluarga yang tidak wajar karena
kurangnya dukungan sosial mengenai peran perawatan dan pengasuhan yang
seharusnya didapat dari pihak panti asuhan selain kebutuhan secara fisik saja. Sehingga
perawatan anak di yayasan dirasakan sangat tidak baik, karena anak-anak dipandang
sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial
(Margareth, dalam Hurlock, 1995).
Kesepian yang dialami remaja dalam tahap perkembangan sangat kompleks.

Salah satunya masalah yang terjadi pada remaja yang mengalami kesepian di panti
asuhan PSAA “Filadelfia” yang terletak di Kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil
wawancara dan pengamatan awal (data diambil dari bulan Juni 2012 hingga Desember
2013) yang telah dilakukan dengan pembina panti. Saat ini terdapat kurang lebih 18
anak yang masih diasuh dengan rentang usia 5-18 tahun. Beberapa anak cenderung

3

menampilkan sikap pendiam, tidak percaya diri, tidak suka berkumpul dengan temanteman yang lain, tidak mematuhi aturan yang berlaku, menyembunyikan kehidupan
pribadinya, terlihat acuh tak acuh terhadap orang lain, dan ada juga ingin selalu
diperhatikan orang lain dengan membuat ulah atau masalah. Beberapa anak merasa diri
mereka kurang atau tidak merasa cocok bersosialisasi dengan teman lain yang berada di
panti asuhan seperti cenderung menghindari berkumpul bersama orang lain.
Di PSAA tersebut selain diurus oleh pembina panti (yang berprofesi sebagai
pendeta) juga ada beberapa orang pengurus yang membantu dalam mengurus kegiatan
dan merawat anak-anak asuh di panti yang terdiri dari dua orang yang ikut membantu.
Mereka berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup warga panti tersebut (seperti
kebutuhan fisik dan pendidikan). Pembina juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang
menunjang dalam memberikan arahan dan bimbingan rohani termasuk ketika anak
asuhnya terlihat mengalami kesulitan ataupun permasalahan sosial. Setiap hari anak

asuh di panti tersebut melakukan kegiatan-kegiatan rutin dalam hal tanggung jawab
pekerjaan rumah yang wajib dilakukan semua anak asuh panti; dan kegiatan spiritual
yang dilakukan setiap hari Minggu hingga Jumat pada pukul 04.30-05.30 WIB dan
pukul 20.00-21.00 WIB dengan mengikuti kegiatan renungan singkat dan menyanyikan
pujian.
Beberapa remaja berharap jika panti asuhan dapat menjadi solusi yang akan
mengurangi dampak stres ataupun kesepian ketika mereka harus diasuh atau dititipkan
di panti asuhan. Namun yang sering terjadi, mereka mengalami hambatan-hambatan
dalam menyelesaikan permasalahannya. Karena anak yang tinggal di panti asuhan pada
penelitian Hartini (dalam Rahma, 2011) mengalami banyak problem psikologis dengan
karakter sebagai berikut kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah

4

putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Selain itu, berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dilakukan kepada anak-anak dalam panti asuhan terutama panti-panti
asuhan yang kekurangan tenaga kerja di negara-negara yang tengah berkembang,
menderita hospitalisme dan depresi analitis (analytic depression) atau kesepian
emosional (Spitz, dalam Bruno, 2000).
Menurut


Bruno

(2000)

kesepian

dapat

didefinisikan

ke

dalam

tiga

penggolongan, yaitu: cognitive loneliness (terjadi bila seseorang hanya memiliki sedikit
teman untuk berbagi pikiran atau gagasan yang dianggap penting); behavioral
loneliness (terjadi bila individu kurang atau tidak mempunyai teman sewaktu berjalanjalan dan melakukan kegiatan-kegiatan luar rumah); dan emotional loneliness (terjadi

bila seseorang membutuhkan kasih sayang tapi tidak mendapatkannya). Bruno (2000)
juga membedakan menjadi dua jenis berdasarkan lamanya kesepian, antara lain: a.)
kesepian sementara (transient loneliness) bersifat reaktif dan situasional, datangnya
singkat dan cepat berlalu; dan b.) kesepian kronis (chronic loneliness) di mana kesepian
ini terus-menerus atau tak hilang dalam waktu lama. Sedangkan menurut Rubenstein,
Shaver, dan Peplau (dalam Miller, Perlman, & Brehm, 2007) ada empat jenis perasaan
yang dirasakan oleh orang yang kesepian, yaitu: desperation (terdiri dari merasa putus
asa, tidak berdaya, takut, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan, mudah
tersinggung); impatient boredom (antara lain menjadi tidak sabar, bosan, ingin berada di
tempat lain, cemas, marah, tidak dapat berkonsentrasi); self-deprecation (di antaranya
seperti merasa diri tidak menarik, rendah diri, merasa bodoh, malu, merasa tidak aman);
depression (di antaranya merasa sedih, tidak semangat, merasa kosong, terkucil,
menyesali diri, murung, merasa asing, merindukan seseorang yang istimewa). Sehingga
individu dapat menurunkan derajat kesepiannya dengan cara mengubah hubungan

5

sosialnya atau mengubah kebutuhan dan keinginan sosialnya (Peplau dan Perlman,
dalam Santrock, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, para partisipan mengalami kesepian emosional

karena adanya kehilangan figur orang tua yang mereka sayangi dengan efek yang masih
dirasakannya walaupun bersifat reaktif dan situasional (Bruno, 2000).
Kesepian dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dapat disebabkan oleh
berbagai macam hal dalam kehidupannya. Seringkali kesepian dikaitkan dengan jenis
kelamin, hubungan kedekatan dengan orang lain, kemampuan diri dan kepercayaan diri,
latar belakang keluarga, status sosial, ekonomi, budaya, psikologis, perkembangan, serta
spiritual. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan pada aspek spiritual diharapkan
mampu digunakan sebagai strategi koping pada individu terhadap perasaan kesepian
yang dialaminya.
Selain terpenuhinya kebutuhan pada aspek ekonomi, sosial, budaya, psikologis,
dan fisiologis pada remaja panti; pemenuhan kebutuhan aspek spiritual pada dirinya
juga akan berdampak dalam mengurangi permasalahan sosial yang dialami. Memahami
keyakinan, nilai-nilai dan praktek pemuda dalam pendampingan perawatan untuk
memperkuat diri dari trauma dan ketidakpastian adalah elemen penting dari praktek
kompeten dengan budaya, terkait akan perawatan individu dalam sebuah keluarga asuh,
dukungan dalam komunitas, konseling atau kasus manajemen diri individu (Jackson,
dkk., 2010).
Menurut Singleton, Mason dan Webber (2004) spiritualitas mengandung makna
lebih dari praktek dan keyakinan; namun juga pengalaman yang dialami individu dalam
kehidupannya termasuk di dalamnya mengenai cara hidup dan cara mengerti hidup yang
didasarkan pada beberapa bentuk transendensi. Selain itu Ismail (2010) menjelaskan

6

spiritualitas itu bersifat universal, karena spiritualitas adalah perasaan yang bisa timbul
pada tiap orang yang sedang menyadari dirinya sebagai makhluk yang sedang disapa
Sang Khalik.
Sedangkan menurut Hill dan Butler (dalam King, 2011) bahwa spiritualitas
dibedakan berdasarkan faktor yang memengaruhinya, antara lain: spiritualitas intrinsik
(ialah kepercayaan yang berfokus ke dalam diri sendiri mengenai percaya kepada Tuhan
atau kekuasaan yang lebih tinggi yang memengaruhi arti kehidupan dan memberikan
panduan hidup baginya); dan spiritualitas ekstrinsik (ialah spiritualitas yang mengadopsi
perilaku ekstrinsik di mana mungkin atau tidak mungkinnya akan berwujud
kepercayaan spiritual).
Menurut Singleton, Mason, dan Webber (2004) terdapat sepuluh dimensi
spiritualitas, yaitu sebagai berikut:
1) Dimensi pertama: hubungan agama (relationship to religion) melibatkan sebuah
komitmen pada iman tertentu tentang praktek, keyakinan dan pengalaman spiritual
yang menjadi dasar kehidupan spiritualitas individu.
2) Dimensi kedua: ekspresi spiritualitas (expressions of spirituality) mengungkapkan
beberapa unsur dalam spiritualitas seperti 'sensings', intuisi, perasaan, suasana hati,
motivasi, atraksi, pertanyaan, dll.
3) Dimensi ketiga: koherensi (coherence) mengungkap ada tidaknya pertanyaan
langsung dalam jadwal wawancara yang koherensi atau sistematisasi; yang
disimpulkan dari respons partisipan untuk memberikan pertanyaan lainnya.
Spiritualitas orang-orang di awal remaja cenderung kurang terintegrasi dan koheren
daripada orang-orang muda di usia pertengahan sampai akhir dua puluhan.

7

4) Dimensi keempat: eklektisisme (eclecticism) yang terdiri dari tiga tingkatan
kualitas eklektisisme responden dalam

mendalami

spiritualitasnya dalam

menguraikan tentang pengalaman mereka: rendah (salah satu sumber yang utama,
seperti agama dunia); cukup (unsur-unsur hingga tiga sumber, tidak ada yang
mendominasi); tinggi (beberapa sumber mengalami pembauran).
5) Dimensi kelima: hal yang dianggap penting (salience) berhubungan dengan suatu
hal yang sangat menonjol sebagai hal yang menjadi penting bagi responden
berdasarkan dalam refleksi, membaca, wacana, tindakan mereka, yang hampir tidak
diperhatikan.
6) Dimensi keenam: pengaruh (influence) menjelaskan sejauh mana spiritualitas
seseorang dalam membentuk hidup, memengaruhi pandangan dunia, perasaan dan
tindakannya.
7) Dimensi ketujuh: antropologi (anthropology) melibatkan berbagai keyakinan dan
sikap untuk diri sendiri, orang lain dan masyarakat.
8) Dimensi kedelapan: otoritas (authority) mencakup hal memeriksa kedudukan
kekuasaan lain pada spiritualitas seseorang.
9) Dimensi kesembilan: perantara (medium) meneliti media utama komunikasi di
mana spiritualitas tertentu yang datang untuk diketahui dan dinyatakan.
10) Dimensi kesepuluh: perkembangan (development) berkaitan sejauh mana cara
hidup seseorang secara sadar, sejauh mana kehidupan mereka memiliki peranan
penting yang reflektif.
Lebih lanjut spiritualitas sendiri bukan lawan atau pengganti agama, melainkan sebuah
unsur untuk agama (Ismail, 2010).

8

Spiritualitas yang dialami oleh para partisipan termasuk pada kategori
spiritualitas intrinsik karena mereka mengaku keyakinan yang terfokus ke dalam diri
mengenai percaya kepada Tuhan yang memengaruhi perubahan pola hidup mereka
sebagai pemeluk agama Kristen dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik
(Hill dan Butler, dalam King, 2011).
Pada sebuah studi lebih dari 700 remaja, Pearce dan rekan-rekan (2003)
mengatakan bahwa kehadiran agama pada tingkat yang lebih tinggi, rangking
kereligiusan diri dan pengalaman keagamaan yang positif dapat dikaitkan dengan
tingkat depresi yang secara signifikan lebih rendah. Spiritualitas adalah aset
perkembangan yang memberikan kontribusi resiliensi untuk orang-orang muda yang
menghadapi kesulitan yang terkait dengan trauma, kesedihan dan kehilangan, penyakit
fisik dan mental, serta cacat (Wright, Frost, dan Wisecarver,1993; Witvliet, 2001;
Browne, 2002; Pendleton, Cavalli, Pargament, & Nasr, 2002; DiLorenzo; Nix-Early
2004; Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006; Scott, Munson, McMillen,
& Ollie, 2006; Daining; DePanfilis, 2007, dalam Jackson, dkk., 2010). Oleh karena itu,
perkembangan kepercayaan individu terutama aspek spiritual yang dimiliki individu
dapat mendukung dan memperkuatnya dalam menghadapi keadaan sulit seperti trauma
saat berada dalam pengasuhan yang tidak berasal dari keluarga asalnya. Hal ini
memungkinkan adanya pengaruh dalam diri remaja tersebut ketika menghadapi
kehidupan dengan lingkungannya.
Pertanyaan penelitian ini adalah apa yang dialami dan dirasakan sebagai
pengalaman spiritualitas yang dimaknai remaja yang mengalami kesepian yang tinggal
di panti asuhan. Adapun tujuan dari penelitian ialah untuk mendeskripsikan mengenai
pemaknaan spiritualitas dan dimensi-dimensi spiritualitas yang dialami remaja panti

9

asuhan yang mengalami kesepian. Kedua untuk mendeskripsikan dinamika pengalaman
kesepian, faktor penyebab, tahapan-tahapan kesepian yang dialami, dan strategi koping
yang dilakukan remaja panti asuhan untuk mengurangi perasaan kesepiannya.
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis dan praktis ialah memberikan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat dan informasi yang positif yang bermanfaat dan
memberikan sumbangan bagi perkembangan bidang psikologi perkembangan, psikologi
remaja, psikologi klinis, dan juga psikologi sosial, terutama mengenai spiritualitas yang
dimaknai remaja yang mengalami kesepian yang tinggal di panti asuhan sebagai bentuk
peningkatan kualitas hidup para penghuni panti asuhan bagi peneliti, disiplin ilmu dan
juga pihak/lembaga terkait terutama partisipan, pengurus/pembina panti asuhan, orang
terdekat dan pihak-pihak terkait (seperti para psikolog dan departemen sosial) supaya
panti asuhan mendapat perhatian yang lebih mendalam.

10

METODE PENELITIAN
Partisipan
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka peneliti
melibatkan dua remaja perempuan dan satu remaja laki-laki. Karakteristik partisipan
penelitian ini antara lain: individu yang masih tinggal di panti asuhan minimal satu
tahun dan berusia 12 sampai 18 tahun, serta individu tersebut mempunyai pengalaman
kesepian maksimal satu tahun. Peneliti memilih partisipan yang mengalami kesepian
berdasarkan perilaku, kegiatan yang dilakukan dan mengetahui banyaknya teman yang
dimiliki. Proses pengambilan partisipan penelitian diperoleh peneliti secara insidental
berdasarkan pemilihan dari observasi awal yang telah dilakukan sekitar delapan belas
bulan lamanya (dari bulan Juni 2012 hingga Desember 2013) serta informasi yang
diperoleh dari wawancara dengan pembina panti maupun beberapa anak panti asuhan
tersebut. Karakteristik partisipan yang dipilih, antara lain: 1) partisipan 1 memiliki latar
belakang ayah yang meninggal dan ibu menikah kembali; 2) partisipan 2 memiliki ayah
yang meninggalkan keluarga untuk menikah kembali, ibu serta kakak yang bekerja di
luar kota; dan 3) partisipan 3 memiliki orang tua yang lengkap namun terpaksa berpisah
dari orang tua. Ketiga partisipan dititipkan di panti asuhan karena berada pada kondisi
ekonomi keluarga yang berkekurangan.

Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di PSAA Filadelfia yang terletak di Dukuh Tlatar, Desa
Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Setting (lokasi
dan waktu) penelitian bersifat situasional, disesuaikan dengan perjanjian terhadap
partisipan penelitian.

11

Analisis
Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkip wawancara dengan
mendengarkan hasil rekaman dan mengetik ke dalam bentuk verbatim kata perkata serta
mendeskripsikan hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data
berlangsung. Peneliti selanjutnya melakukan proses pengodean pada transkrip
wawancara agar memudahkan dalam proses analisis data. Proses selanjutnya ialah
penentuan tema dan juga makna dibalik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan
penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti
tambahkan pada bagian kiri transkrip. Kemudian proses pengelompokan data ke dalam
aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian lalu melakukan penafsiran data dengan
membandingkan antara partisipan pertama, kedua dan ketiga.

HASIL
Relasi Di Dalam Diri dan Di Luar Diri Individu
Ketiga partisipan penelitian mengaku keluarga mereka berada pada keadaan
ekonomi yang berkekurangan dan mengharuskan mereka terpaksa diasuh/dititipkan di
panti asuhan oleh pihak keluarga supaya mereka dapat melanjutkan pendidikan hingga
lulus SMA.
Perasaan sedih, tidak percaya dan belum siap menerima dirasakan ketiga
partisipan terutama ketika terjadi perubahan kondisi dalam kehidupan P1 dan P2
tersebut menyebabkan mereka memiliki hubungan yang renggang dengan keluarganya.
Hal ini menimbulkan perasaan sedih, kecewa dan rindu dalam dirinya terhadap kasih
sayang orang tuanya serta harapannya bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

12

“….Pengin dipeluk kayak disayang sama orang tua lainnya gitu loh. Kalau dulu
kalau pas kecil…pasti juga sudah pernah. Tapi habis itu udah nggak
pernah.”(Partisipan1,2).
Kedekatan yang terjalin dengan teman dekat memengaruhi ketiga partisipan
ketika sedang menghadapi masalah. P3 cenderung akan mendekati temannya terlebih
dahulu dan memiliki harapan untuk hubungan yang dekat seperti saudara kandung
termasuk di saat mereka sedang menghadapi masalah. Hubungan yang dimiliki oleh
ketiga partisipan dengan teman dekat mereka itu baik namun mereka juga mengaku
kurang memiliki hubungan yang dekat dan tidak sesuai dengan harapan hubungan yang
mereka inginkan.
“Nggak ada sih.... terus biasanya sama orang itu ya... nggak deket gitu sama
dia. Ya biasa rasanya... cuman kadang aku mikir... kok kayak masih ya saya
pengin deket lagi sama dia.”(Partisipan 1,2,3).

Kesepian
Pengalaman kesepian yang dialami tiap partisipan berbeda-beda. Perpisahan
fisik dengan keluarga dan terlebih harus berbagi kasih sayang di antara warga panti
lainnya ketika remaja harus dititipkan di panti. Hal tersebut menimbulkan perasaan
kesepian dalam diri partisipan pada waktu-waktu tertentu karena adanya kesenjangan
antara harapan kasih sayang yang diinginkan dengan apa yang ia alami.
“....Pengin dipeluk kayak disayang sama orang tua lainnya gitu loh. Kalau dulu
kalau pas kecil... pasti juga sudah pernah. Tapi habis itu udah nggak pernah.”
(Partisipan 1,2,3).
Berakhirnya hubungan emosional yang dekat merupakan salah satu penyebab
psikologis yang paling umum yang menyebabkan munculnya perasaan kesepian pada
diri ketiga partisipan. Kesepian yang juga dirasakannya ketika ketiga partisipan tidak
dapat berkumpul dengan orang tuanya pada waktu-waktu yang diharapkan. Kerinduan

13

yang mendalam terhadap kehadiran sosok ayahnya dan keinginan untuk berkumpul
dengan orang tua dirasakan P2 ketika melihat warga panti lain yang dikunjungi oleh
keluarganya. Pemikiran mengenai dirinya yang merasa tidak berguna dan iri karena
melihat kerenggangan hubungan dan perpisahan orang tuanya tersebut menimbulkan
perasaan malu, sedih, takut, dan kecewa, serta sikap ingin mencari perhatian dengan
menjadi banyak bicara yang dirasakannya di saat ia melihat kelebihan orang lain.
Namun demikian, P2 merasa lebih senang, bersyukur, dan berusaha menerima masalah
yang dihadapinya serta ia dapat melanjutkan pendidikannya ketika ia tinggal di panti.
Sikap kurang percaya dan berhati-hati timbul dalam diri ketiga partisipan ketika
berhadapan dengan orang yang dianggap asing.
“Terus... lha ya makanya awalnya sih pasti curiga atau gimana nih... gini...
gini... gini. Apa... kan sudah pernah terjadi ya gitu... jadi kalau mau terjadi tuh
mikir-mikir dulu.” (Partisipan 1,2,3).
Ketika P2 sedang melakukan aktivitas sosial bersama orang yang baru dikenalnya,
perasaan tidak bisa akrab dan terlihat sombong tersebut timbul dalam dirinya.
“...Langsung aku... aku nggak bisa akrab gitu loh. Aku cuma masuk kamar terus
langsung keluar gitu thok. Lha kan aku pas itu nggak tau sifatnya dia gitu loh.
Lha kalau aku belum tau sifatnya dia... kayak gini...gini...gini. Aku memang
kayak sombong gitu. Tapi kalau udah tau ya biasa aja, aku kan gitu. Kan
soalnya aku lihat orang dari sifatnya dulu gitu loh.” (Partisipan 2).
Selain itu, perasaan kesepian seringkali memunculkan perasaan iri dalam diri P2 yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman dan seperti disendirikan saat berhadapan dengan
orang lain yang kurang cocok dengannya serta rasa malu dengan keadaan dirinya sendiri
terutama saat melakukan aktivitas bersama orang lain. Sikap diam juga dilakukan
ketiga partisipan ketika berhadapan dengan orang yang kurang memiliki kecocokan
dengannya.

14

Interaksi dengan keluarga secara langsung yang sulit dilakukan oleh ketiga
partisipan karena perubahan situasi juga menjadi penyebab sosiologis munculnya
perasaan kesepian. Harapan untuk dapat bersama orang tua mereka lebih kuat dalam diri
mereka pada saat tertentu. Keterbatasan aturan panti dan biaya yang mereka miliki
tersebut juga membuat mereka tidak selalu bisa berkumpul bersama keluarganya.
Walaupun ketiga partisipan diberi perhatian oleh pembina panti ataupun ditemani oleh
teman dekatnya, mereka masih tetap merasakan kekosongan dalam dirinya akibat
mereka tidak dapat bertemu langsung dengan orang tuanya. Hal ini dapat digambarkan
dalam pernyataan berikut:
“....Apa itu... pas aku berdoa itu kan karena aku kangen sama orang tuaku.... Ya
aku inginnya seperti dulu tapi kan. Tapi kan nggak mungkin sama.”(Partisipan
1,2,3).
Kenangan kebersamaan dengan keluarganya memicu timbulnya perasaan kerinduan
yang mendalam dan kehilangan figur orang-orang yang disayangi di dalam diri ketiga
partisipan. Ketiga partisipan mengalami kesepian emosional, namun perasaan kesepian
yang muncul merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada waktu-waktu tertentu.
Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang muncul saat
partisipan mengalami kesepian ialah sedih, takut, terbebani, kekosongan yang muncul
dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan tidak berguna, perasaan rindu yang
mendalam, dan timbulnya keinginan untuk bersama orang lain, terutama orang tua.
Perasaan kesepian yang dialami partisipan melalui proses secara umum dapat
disimpulkan berupa tahapan-tahapan kesepian di antaranya sebagai berikut: tahap
keterpisahan jarak antara partisipan dan orang tua membuat kesenjangan antara harapan
kasih sayang yang diinginkan dengan apa yang ia alami oleh ketiga partisipan
menyebabkan hilangnya kesempatan dalam perilaku timbal balik dengan orang tua yang

15

mereka kasihi, kemudian tahap timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna,
seperti sendiri, diabaikan yang membuat perasaan rindu yang mendalam, dan timbulnya
keinginan untuk bersama orang tua. Selain itu sikap kurang percaya, berhati-hati, sikap
curiga dan mengenal pribadi orang tersebut dilakukan para partisipan ketika berhadapan
dengan orang yang dianggap asing serta mengambil jarak dan memilih masuk kamar
dilakukannya ketika merasa kesepian.

Spiritualitas
Spiritualitas ketiga partisipan memberikan kesadaran akan kehadiran kekuatan
yang lebih besar dibanding dirinya sendiri membuat partisipan memahami pentingnya
peran Tuhan melalui pengalaman spiritualitas dalam kehidupannya.
“Ya tapi menurutku ya aku orang beragama….Ya pokoknya aku kalau
dibanding Islam sama Kristen, mending Kristen. Tapi kalau kita cuma sekedar
percaya belum tentu orang itu... misalnya iya dari depannya percaya tapi belum
tentu dari belakangnya dia bisa nggak percaya gitu loh. Misalnya aku percaya
sama Tuhan Yesus begini... aku percaya sama Tuhan gini... aku percaya sama
agama ini gitu. Tapi belum tentu dalam hidupnya dia percaya gitu loh. Kalau
cuma ngomong percaya sih, semua orang juga bisa ngomong percaya. Tapi
kalau hidup dalam Tuhan itu aku ada perubahan... yang jadi perbedaan di diri
kita. Ya Tuhan Yesus luar biasa sih. Ehmmm... apa tuh... apa... dia itu ajaib
sih.” (Partisipan 1,2,3).
Pengalaman spiritualitas yang dialami ketiga partisipan menguraikan beberapa
dimensi spiritualitas yang mereka alami di antaranya: dimensi pertama: hubungan
agama memperlihatkan pemahaman komitmen iman ketiga partisipan yang dipelihara
melalui praktek, keyakinan dan pengalaman spiritual sebagai pemeluk agama Kristen
ketika tinggal di panti. Kepercayaan ketiga partisipan kepada Tuhan yang tidak hanya
dalam praktek dan keyakinan spiritual namun juga pengalaman yang mereka alami dan

16

menganggap Tuhan sebagai bapa yang melindungi dan mengasihi mereka melebihi
orang-orang di sekitar mereka.
P2 mengaku setelah berpindah agama dari agama Islam menjadi agama Kristen
semenjak masuk ke panti. Ia juga mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang
lebih baik. Ketiga partisipan menemukan kenyamanan ketika mengenal Tuhan dan
ajaran agama Kristen yang diungkapkan juga sebagai ekspresi spiritualitas yang
merupakan dimensi kedua.
Pada ketiga partisipan bahwa aktivitas spiritual sebagai hal dianggap penting
yang merupakan dimensi kelima, yang menonjol dan sering mereka lakukan ketika
mereka merasa kesepian ataupun saat mereka sedang menghadapi masalah yang tidak
dapat diselesaikan sendiri. Dimensi kesepuluh mengenai perkembangan dalam
kehidupan spiritual ketiga partisipan melalui pengalaman spiritualitas mereka yang
semakin merubah pola hidup mereka menjadi lebih baik dan memandang masa depan
mereka indah sesuai janji Tuhan.
“Kalau menurutku... kalau Tuhan itu lebih dari segala-segalanya ya. Kalau kita
nggak bisa terbuka sama orang lain... kita bisa terbuka dengan Dia gitu. Kalau
kita punya masalah berdoa terus kayak... berdoa sama memuji Tuhan gitu...
pada saat sendiri, berdua sama Tuhan tuh kayaknya enak gitu setelah berdoa
sama Tuhan....Itu kan pas.... berani sama orang tua... suka bantah. Berani
mukul sama adikku sendiri... sama kakakku kalau udah marah. Tapi kan
sekarang aku di sini jarang nglakuinnya... aku ya sekarang nggak berani. Kan
udah jauh, sekarang udah nggak nglakukan. Dulu pas di sana, aku nakal kok.
Dulu nggak mau belajar, sekarang mau belajar....Kalau aku yakin masa
depanku tuh cerah... terus apatuh... dan menurut firman Tuhan gitu loh. Ya bisa
sukses. Walaupun nantinya bisa sukses, ya aku nggakakan pernah ninggalin
Tuhan.”(Partisipan 1,2,3).
Spiritualitas dari ketiga partisipan termasuk kategori spiritualitas intrinsik karena
mereka menerapkan spiritualitas pada keyakinan mengenai percaya kepada Tuhan
terfokus dalam diri mereka yang memengaruhi perubahan pola hidup mereka sebagai

17

pemeluk agama Kristen dan memberikan harapan masa depan yang indah sesuai dengan
janji Tuhan.

Strategi Koping untuk Meringankan Kesepian
Kesadaran partisipan terhadap perasaan kesepian yang dialami, memberikan
kesadaran mereka untuk melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan
kesepian. Saat merasa kesepian, mereka berusaha untuk melakukan sesuatu sehingga
perasaan kesepian yang dialami bisa menjadi lebih ringan. Beberapa strategi koping
yang diterapkan berbeda oleh ketiga partisipan untuk meringankan perasaan kesepian
yang mereka alami.
Sikap mendekati, meminta maaf, dan menyelesaikan dengan menanyakan
masalahnya terhadap teman yang bermasalah dengannya serta bersikap sabar biasa
dilakukan P2 sebagai strategi koping terhadap perasaan kesepian yang dialaminya.
Selain itu, ia berusaha selalu merasa senang dan mengucap syukur baik di kala ia
sedang menghadapi masalah maupun sedang tidak menghadapi masalah. Peningkatan
aktivitas sosial lain yang dilakukan oleh P2 seperti menjauh atau meninggalkan
kamarnya untuk mengobrol dengan teman dekatnya di panti, menyanyi, dan membaca
buku, yang biasa dilakukan untuk menghilangkan perasaan kesepiannya.
Ketiga partisipan menyampaikan bahwa pengalaman spiritualitasnya membuat
mereka memperoleh ketenangan batin yang tidak diperolehnya dari kegiatan yang lain.
Saat mengalami kesepian, ketiga partisipan memilih untuk berdoa dan mencurahkan apa
yang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi serta segala kekhawatiran kepada Tuhan.
Perubahan pola hidup dialami ketiga partisipan setelah mereka melakukan kegiatan
spiritual terutama bagi P2 yang berpindah menjadi agama Kristen Protestan ketika ia

18

masuk ke panti asuhan. Pada akhirnya spiritualitas menjadi strategi yang bersifat
holistik dan cenderung digunakan dalam meringankan kesepian karena bagi mereka
aktivitas spiritual dan pengalaman sangatlah penting sehingga dapat memberikan
harapan tentang masa depan mereka yang lebih baik.

19

PEMBAHASAN
Keterpisahan partisipan dengan orang tua mereka membuat mereka merasakan
keadaan diri mereka sebagai anak yatim-piatu secara sosial ataupun yatim-piatu yang
sebenarnya. Akibatnya partisipan kurang mendapat dukungan seperti perhatian atau
kasih sayang seperti layaknya ketika bersama dengan orang tuanya. Hasilnya menjawab
penelitian Cooper dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 1995) dan hal tersebut
menyebabkan terganggunya proses perkembangan identitas remaja.
Kondisi orang tua partisipan yang berkekurangan memberikan dampak negatif
bagi partisipan yang menjadi salah satu penyebab mereka mengalami kesepian. Tidak
hanya sekedar kurangnya uang yang membatasi mobilitas partisipan seperti yang
diungkapkan oleh Lake (1989) pada penelitian yang dilakukan pada orang dewasa.
Namun pada penelitian ini memberikan bukti yang memfokuskan dampak pada diri
remaja panti asuhan yang mengalami kesepian bahwa kondisi orang tua yang
mengharuskan mereka terpaksa harus hidup terpisah dengan orang tua dan
menyebabkan partisipan mengalami kerinduan yang mendalam akan kehadiran sosok
orang tuanya serta mengalami kesenjangan antara harapan kasih sayang ataupun
perhatian yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi.
Perubahan kondisi keluarga seperti akibat berpisah jarak, perpisahan, meninggal
dan keterbatasan komunikasi secara langsung dengan orang tua yang dialami partisipan
menimbulkan perasaan kesepian ketika tinggal di panti. Semua partisipan mengalami
beberapa kondisi yang memberikan dampak psikologis dalam kehidupannya.
Pengalaman dini akan adanya penolakan dan kehilangan (seperti ketika orang tua
meninggal) dapat menimbulkan efek merasa kesepian pada remaja walaupun
pengalaman kesepian yang ditemukan memiliki hasil berbeda dengan penelitian

20

Santrock (2003) karena bersifat reaktif dan situasional. Penelitian ini mengindikasikan
semua partisipan dikategorikan mengalami kesepian emosional karena ketiadaan figur
kasih sayang yang intim di saat remaja tinggal di panti asuhan yang kekurangan tenaga
kerja sehingga memperkuat penelitian sebelumnya oleh Spitz (dalam Bruno, 2000).
Hasil penelitian selarasdengan penelitian Sudarman (2010) mengenai faktor
penyebab psikologis. Di antaranya ialah adanya keterbatasan bertemu langsung dengan
orang tua, pengalaman traumatis (disebabkan oleh kematian ayah yang tiba-tiba, ibu
yang menikah kembali, dan ayah yang meninggalkan keluarga untuk menikah kembali),
kurangnya dukungan dari lingkungan (diakibatkan oleh penolakan karena anggapan
negatif dan pengabaian akan keberadaan berada di lingkungan), dan kepribadian yang
tidak sesuai (munculnya sikap patuh dan mencari perhatian dengan membuat masalah
ataupun menjadi banyak bicara menjadikan pribadi yang tidak menyenangkan). Selain
itu, sulit berinteraksi dengan lingkungan (munculnya sikap tidak akrab dan mengambil
jarak dengan orang yang dianggap asing menjadikan terciptanya hubungan yang kurang
dekat dengan lingkungan) dan sulit berinteraksi dengan keluarga (akibat perpisahan
fisik) sebagai faktor penyebab sosiologis dalam penelitian Sudarman dan hal tersebut
dialami oleh semua partisipan.
Pengalaman kesepian yang tidak sama pada setiap partisipan memunculkan
perasaan kesepian berbeda pula. Perasaan yang muncul saat partisipan mengalami
kesepian ialah sedih, takut, terbebani, kekosongan yang muncul dari ketiadaan orangorang yang dikasihi, perasaan tidak berguna, perasaan rindu yang mendalam, dan
timbulnya keinginan untuk bersama orang lain, terutama orang tua. Hal ini secara
umum sesuai dengan penelitian perasaan kesepian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Miller, Perlman, & Brehm, 2007).

21

Kesepian yang dialami oleh semua partisipan memiliki tahapan-tahapan
kesepian yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Lake (1989) antara lain
sebagai berikut: tahap keterpisahan jarak antara partisipan dan orang tua menyebabkan
hilangnya kesempatan dalam perilaku timbal balik yang dirasakan, kemudian tahap
timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna, seperti sendiri, diabaikan yang
menyebabkan perasaan rindu yang mendalam, dan timbulnya keinginan untuk bersama
orang tua. Tahap munculnya sikap kurang percaya, berhati-hati, sikap curiga dan
mengenal pribadi orang tersebut dilakukan para partisipan ketika berhadapan dengan
orang yang dianggap asing serta sikap mengambil jarak dan memilih masuk kamar
dilakukannya ketika merasa kesepian.
Permasalahan sosial yang dialami para partisipan di saat tinggal di panti
menimbulkan problem psikologis tersendiri di dalam diri partisipan ketika berhadapan
dengan lingkungan terutama orang yang dianggap asing atau yang memiliki masalah
dengan mereka. Beberapa partisipan menunjukkan sikap apatis, berpandangan negatif,
malu, curiga, hati-hati, ragu-ragu, menarik diri, tidak bisa berbuat apa-apa, bingung,
pasif, dan ketakutan. Selain itu, beberapa partisipan juga menampilkan sikap sombong
dan banyak bicara ketika berhadapan dengan orang yang baru dikenal tersebut. Sikap
sombong dan banyak bicara ini memberikan ciri baru yang melengkapi penelitian
dilakukan oleh Hartini (dalam Rahma, 2011) karena mereka tidak menjelaskan sikap ini
dan hanya membicarakan sisi negatifnya secara umum. Padahal banyak bicara dalam
penelitian ini juga memberikan dampak positif karena membangun keterbukaan untuk
berkomunikasi.
Masalah sosial yang menghimpit dapat memberikan kesadaran mereka akan
pentingnya pemahaman spiritualitas mengenai arti Tuhan di dalam kehidupan setiap

22

partisipan. Secara umum beberapa dimensi spiritualitas menurut Singleton, Mason, dan
Webber (2004) dialami oleh partisipan di antaranya: dimensi pertama: hubungan agama
memperlihatkan pemahaman komitmen iman ketiga partisipan yang dipelihara melalui
praktek, keyakinan dan pengalaman spiritual sebagai pemeluk agama Kristen ketika
tinggal di panti. Kepercayaan ketiga partisipan kepada Tuhan yang tidak hanya dalam
praktek dan keyakinan spiritual namun juga pengalaman yang mereka alami dan
menganggap Tuhan sebagai bapa yang melindungi dan mengasihi mereka melebihi
orang-orang di sekitar mereka. Partisipan mengalami perubahan sikap menjadi pribadi
yang lebih baik. Semua partisipan juga menemukan kenyamanan ketika mendekatkan
diri Tuhan dan ajaran agama Kristen yang diungkapkan juga sebagai ekspresi
spiritualitas yang merupakan dimensi kedua.
Ketiga partisipan melakukan aktivitas spiritual sebagai hal dianggap penting
yang merupakan dimensi kelima, yang menonjol dan sering mereka lakukan ketika
mereka merasa kesepian ataupun saat mereka sedang menghadapi masalah yang mereka
anggap tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Dimensi kesepuluh yang dialami semua
partisipan mengenai perkembangan dalam kehidupan spiritual melalui pengalaman
spiritualitas mereka semakin merubah pola hidup mereka menjadi lebih baik dan
memandang masa depan mereka indah sesuai janji Tuhan dalam hidup mereka.
Spiritualitas yang dimaknai partisipan memberikan gambaran Allah yang “personal”
sebagai seorang pribadi yang mengenal diri remaja secara lebih baik daripada
pengenalan diri dari individu itu sendiri; hal ini akan memengaruhi individu dalam
upaya menyusun identitas diri yang agak koheren (Fowler, dalam Cremers,1995).
Kesadaran akan pentingnya peran Tuhan baik dalam pengalaman, praktek
maupun keyakinan spiritual mereka memberikan dampak positif ketika mereka

23

menghadapi beban masalah yang berat dan sulit untuk mereka selesaikan sendiri.
Senada dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jackson dan rekan-rekannya
(2010) mengenai pentingnya pemahaman aspek spiritual partisipan dalam mendukung
perawatan untuk memperkuat diri dari trauma dan ketidakpastian kondisi kehidupan di
saat remaja tinggal di panti asuhan. Hal tersebut memberikan semangat, dorongan dan
kekuatan serta harapan pada diri ketiga partisipan untuk melanjutkan hidupnya terutama
pendidikannya dengan serius dalam memenuhi harapan mereka untuk membahagiakan
orang tua mereka. Spiritualitas dari ketiga partisipan termasuk kategori spiritualitas
intrinsik karena mereka menerapkan spiritualitas pada keyakinan yang terfokus dalam
diri mereka yang memengaruhi perubahan pola hidup mereka sebagai pemeluk agama
Kristen. Partisipan pertama dan kedua yang mengalami perubahan pola hidup setelah
mereka melakukan kegiatan spiritual, terutama bagi partisipan kedua yang berpindah
menjadi agama Kristen Protestan ketika ia masuk ke panti asuhan.
Kesadaran partisipan terhadap perasaan kesepian yang dialaminya dapat
memengaruhi mereka dalam menyadari pentingnya melakukan strategi koping yang
dapat meringankan perasaan kesepiannya. Selain meningkatkan aktivitas, ketiga
partisipan melakukan sikap memaafkan teman yang bermasalah, dan menerima
kenyataan yang terjadi sebagai strategi koping yang dilakukan. Kegiatan kerohanian
serta keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi juga dapat memberikan
ketenangan batin mereka yang mengalami kesepian melalui perasaan bersyukur yang
memberi kelegaan dan memberikan mereka harapan untuk masa depan mereka terutama
dalam membahagiakan keluarga. Pengalaman spiritualitas memberikan pemahaman
pada setiap partisipan yang memberikan manfaat positif sebagai salah satu strategi
koping yang paling baik untuk mengurangi perasaan kesepian yang mereka alami dan

24

hasil ini senada dengan studi yang dilakukan oleh Pearce dan rekan-rekan (2003).
Demikian pula hasil penelitian ini menemukan hasil yang secara umum sama dengan
hasil penelitian sebelumnya yang memaparkan pentingnya spiritualitas sebagai
kontribusi resiliensi pada remaja yang menghadapi kesulitan yang terkait perasaan
kesepian yang ketiga partisipan alami (Wright, Frost, dan Wisecarver,1993; Witvliet,
2001; Browne, 2002; Pendleton, Cavalli, Pargament, & Nasr, 2002; DiLorenzo; NixEarly 2004; Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006; Scott, Munson,
McMillen, & Ollie, 2006; Daining; DePanfilis 2007 dalam Jackson, dkk., 2010).

25

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dari masing-masing partisipan menunjukkan relasi di
dalam ataupun di luar diri partisipan berdasarkan latar belakang dan hubungan
kedekatan yang dimiliki dapat memengaruhi pengalaman kesepian dan pengalaman
spiritualitas partisipan. Perasaan kesepian yang dirasakan para partisipan cenderung
mengarah pada kesepian emosional yang disebabkan oleh ketiadaan figur kasih sayang
yang intim. Faktor utama yang menyebabkan perasaan kesepian adalah faktor
psikologis dan sosiologis. Faktor penyebab kesepian, antara lain: keterbatasan
hubungan, pengalaman traumatis, kurangnya dukungan dari lingkungan, kepribadian
yang tidak sesuai, dan sulit berinteraksi dengan lingkungan serta sulit berinteraksi
dengan keluarga. Keterpisahan jarak antara para partisipan dan orang tua menyebabkan
timbulnya perasaan kurang percaya diri, tidak berguna, seperti sendiri, rindu yang
mendalam, dan keinginan untuk bersama orang tua. Selain itu juga, memunculkan sikap
kurang percaya, berhati-hati, sikap curiga dan mengenal pribadi orang yang dianggap
asing serta sikap mengambil jarak dari orang lain ketika merasa kesepian. Sehingga
menyebabkan renggangnya hubungan yang dirasakan antara partisipan dengan orang
lain.
Spiritualitas yang dialami di dalam diri partisipan termasuk pada kategori
spiritualitas intrinsik. Secara umum beberapa dimensi spiritualitas dialami oleh
partisipan di antaranya: hubungan agama, ekspresi spiritualitas, aktivitas spiritual, dan
perkembangan. Kesadaran para partisipan akan kehadiran kekuatan yang lebih besar
dibanding dirinya sendiri membuat partisipan memahami pentingnya peran Tuhan
dalam proses perkembangan hidunya dan melalui pengalaman spiritualitasnya juga

26

digunakan sebagai strategi paling baik untuk meringankan perasaan kesepian yang
dialami. Selain itu, partisipan meningkatkan aktivitas, memaafkan teman yang
bermasalah, dan menerima kenyataan yang terjadi dan inilah strategi koping yang
digunakan.

Saran
1. Bagi pihak panti asuhan agar dapat lebih mengupayakan aktivitas sosial bersama
dengan lingkungan masyarakat dan bimbingan moral-spiritual yang dinamis
terutama ketika remaja panti asuhan menghadapi kesepian dalam menjalankan
tugas perkembangannya.
2. Bagi partisipan disarankan agar lebih mengupayakan aktivitas sosial bersama
dengan lingkungan masyarakat ataupun aktivitas spiritual yang dinamis terutama
ketika menghadapi kesepian dalam menjalankan tugas perkembangannya.
3. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti dengan lebih mendalami
mengenai hubungan antara spiritualitas ekstrinsik yang dianut individu dengan
pengalaman kesepian anak panti asuhan.

27

DAFTAR PUSTAKA
Baron, R. A., Byrne, D., Branscombe, N. R. (2006). Social psychology (11thEd). United
States: Pearson Education.
Bruno, F. J. (2000). Conquer loneliness (menaklukan kesepian): pahami kesepian anda,
buanglah untuk selamanya. Penerjemah: A. R. H. Sitanggang. Diterjemahkan
ulang: C. L. Noviatno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burns, D. D. (1988). Mengapa kesepian: program baru yang telah diuji secara klinis
untuk mengatasi kesepian. Jakarta: Erlangga.
Dawson, C. (2002). Practical research methods. Oxford: Cromwell Press.
Erol, Nese., Simsek, Zeynep., & Mu¨nir, Kerim. (2010). Mental health of adolescents
reared in institutional care in Turkey: challenges and hope in the twenty-first
century. European Child Adolescence Psychiatry, 19, 113–124.
Fowler, J. W. (1995). Teori perkembangan kepercayaan. (Alih bahasa: A. Cremers)
Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, agama, dan spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.
Hojat, M., & Crandal, R. (1989). Loneliness: theory, research, and application.
California: Sage Publication.
Hulme, W. E. (1988). Loneliness (kesepian): sumber ilham yang kreatif. Jakarta: Cipta
Loka Caraka.
Hurlock, E. B. (1995). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Ismail, A. (2011). Selamat menabur: 33 renungan tentang didik-mendidik (Cetakan Ke15). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Jackson, L. J., White, C. R., O’Brien, K., DiLorenzo, P., Cathcart, E., Wolf, M.,
Bruskas, D., Pecora, P. J., Nix-Early, V., and Cabrera, J. (2010). Exploring
spirituality among youth in foster care: findings from the casey field office
mental health study. Child and Family Social Work, 15, 107–117.
Kelcourse, F. B. (2004). Human development and faith: life-side stages of body, mind
and soul. United States: Chalice Press.
King, D. E. (2011). Iman, spiritualitas, dan pengobatan: panduan bagi tenaga
pelayanan kesehatan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Kompas.(2008). Mereka yang kurang beruntung di hari raya. Diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/09/30/1727492/mereka.yang.kurang.beru
ntung.di.hari.raya pada bulan September 2012.
Lake, T. (1986). Loneliness: kesepian. (Alih bahasa: FX. Budiyanto) Jakarta: Penerbit
Arcan.

28

McCall, R. B., Groark, C. J., Fish, Larry., Harkins, D., Serrano, G., dan Gordon, K.
(2010). A socioemotional intervention in a Latin American orphanage. Infant
mental health Journal, 31, 521–542.
Menteri Sosial Republik Indonesia. (2010). Keputusan menteri sosial
nomor15a/huk/2010 tentang panduan umum program kesejahteraan sosial anak
(pksa). Diunduh pada bulan Oktober, 2012 dari https://www.pksa-kemensos.com
Menteri Sosial Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor: 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak
Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Diunduh dari https://www.pksakemensos.com pada bulan Oktober 2012.
Miller, R. S., Perlman, D., & Brehm, S.S. (2007). Intimate relationships. United States:
McGraw- Hill Higher Education.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Myers, D. G. (1999). Social psychology (6thEd). United States: McGraw- Hill Higher
Education.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau & D.
Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current theory, research, and
therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley Interscience Publication.
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi.
Pusat Bahasa (Indonesia). (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Rahma, A.N. (2011). Hubungan efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian
diri remaja di panti asuhan. PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Copyrigth © 2011 Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman
(LP3K), 8 (2), Hal. 231-246.
Rahmawati, H. (2007). Kesepian pada remaja yatim piatu di panti asuhan. Skripsi (tidak
dipublikasikan).Salatiga: Fakultas Psi