T1 802009013 Full text

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN YANG BELUM
MEMILIKI ANAK

Ika Agustina Murpratiwi
Krismi Diah Ambarwati
Heru Astikasari

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK
Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan sebuah
evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalani berdasarkan areaarea yang ada di dalam pernikahan, termasuk di dalamnya adalah kehadiran anak.
Ketika anak tersebut belum hadir di tengah-tengah keluarga tentunya hal ini akan
mempengaruhi kondisi rumah tangga yang selama ini dijalani. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki anak.
Partisipan penelitian adalah 2 pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak

sepanjang pernikahan mereka. Karakteristik lain dari partisipan penelitian adalah usia
pernikahan minimal lima tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menujukkan
bahwa area komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian
konflik, hubungan seksual, hubungan keluarga dan teman, dan kesetaraan peran dalam
rumah tangga dirasa sudah cukup memuaskan bagi partisipan, sedangkan area yang
masih perlu ditingkatkan dalam menjalankan kehidupan pernikahan adalah area
penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan pasangan serta pengelolaan keuangan. Kedua
pasang partisipan merasa puas dengan kehidupan pernikahan mereka berdasarkan areaarea dalam pernikahan namun tetap merasa bahwa pernikahan mereka belumlah lengkap
tanpa kehadiran anak. Hasil lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah konflik
menantu- mertua yang ternyata mempengaruhi kepuasan pernikahan pada partisipan.
Kata kunci : Kepuasan pernikahan, Pasangan yang belum memiliki anak

ABSTRACT
Fowers and Olson (1989 :1993) said that marital satisfaction is a global evaluation
about marriage life that is walked on marriage areas, include a child presence. When a
child didn’t present yet in a family, of course it will influence a walking on household
condition. The goal of this research is to find out a marital satisfaction in a couple that
not having child yet. The research participants are two couples of husband and wife
that didn’t have a child yet in their marriage. The other characteristic of the

participants is five years minimaly on marriage old. This research is done using
qualitative method which is an interview and an observation become a method to get
data from the partisipants. The result of this research shows that area of
communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual
orientation, famiy and friend relationship, and equalitarian role have satisfaction for
the participant. Meanwhile, area which need a more phase in walk on marriage life is
an acceptance area toward characteristic, couple habbit, and finance management.
Both of two participants feel satisfied with areas of their marriage life but they don’t
feel satisfied yet without a child presence. Other result of this research is child in law –
parents in law conflict also influence the marital satisfaction for the participants.

Keyword : Marital Satisfaction, a couple that not having child yet

1

PENDAHULUAN
Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap
manusia

akan


mengalami

banyak

perubahan

dan

menyelesaikan

tugas-tugas

perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia,
sampai pada kematian. Di antara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dengan
dewasa awal. Santrock (2002) mendefinisikan individu dewasa awal sebagai individu
yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam
masyarakat bersama dewasa lainnya.
Masa dewasa awal dimulai pada usia 20-40 tahun yang ditandai dengan
selesainya pertumbuhan pubertas, organ kelamin berkembang dan mampu bereproduksi.

Salah satu tugas perkembangan yang ada dalam masa dewasa awal adalah tercapainya
pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain, individu dewasa awal dituntut
untuk mempersiapkan diri untuk menyandang status sebagai orang tua (Santrock, 2002).
Pernikahan sendiri merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang
Hampir setiap orang mempunyai keinginan untuk menjalani hal tersebut. Dalam UU
perkawinan (UU No 1 tahun 1974), perkawinan (pernikahan) merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
menurut Olson (2003) pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan
emosional antara 2 orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi
tanggung jawab dan sumber pendapatan.
Pernikahan bisa berjalan langgeng selamanya atau dapat pula bercerai di tengah
perjalanannya.
pasangan.

Suatu

pernikahan yang berhasil tentulah yang diharapkan setiap

Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam mengukur keberhasilan


2

pernikahan. Kriteria itu adalah (a) awetnya suatu pernikahan, (b) kebahagiaan suami
dan istri, (c) kepuasan pernikahan (d) penyesuaian seksual, (e) penyesuaian pernikahan,
dan (f) kesatuan pasangan (Burgess dan Locke dalam Ardhianita & Andayani, n.d). Dari
sini terlihat bahwa kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan suatu pernikahan. Kepuasaan pernikahan dinilai sebagai faktor penentu
keberhasilan suatu pernikahan karena kepuasan pernikahan lebih banyak mempengaruhi
kebahagiaan hidup

bagi kebanyakan individu dewasa daripada hal lain seperti

pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman & Newman, 2006).
Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan
sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Olson
dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan dapat diukur dengan
melihat area-area dalam pernikahan yaitu komunikasi, kegiatan di waktu luang,
orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual,
keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

Dalam konteks budaya Indonesia, perkawinan yang memuaskan akan tercapai apabila
kebutuhan materi tercukupi, adanya anak yang hormat pada orangtua, hubungan yang
harmonis dengan pasangan, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, dan
hubungan yang baik dengan keluarga besar (Wismanto, 2004).
Berdasarkan pemaparan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
pernikahan

tersebut,

terlihat

bahwa

anak

merupakan

salah

satu


faktor

yang

mempengaruhi kepuasan pernikahan. Membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya
dengan masalah keturunan (Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Kebahagiaan
seringkali

diartikan

berlangsungnya

suatu

sebagai

tercapainya

tujuan


hidup,

sementara

tujuan

utama

pernikahan adalah mengembangkan keturunan (Ummi No.

3

5/XV/2003). Oleh karena itu, belum hadirnya anak di tengah-tengah keluarga seringkali
berpotensi menjadi masalah besar bagi keluarga tersebut.
Pada masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak menjadi gambaran ideal sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang budaya
dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki nilai tersendiri di dalam masyarakat,
diantaranya (1) anak memberikan status kematangan dan identitas sosial, (2) anak
sebagai fungsi reproduksi manusia, (3) kehadiran anak untuk memberikan kesempatan

kepada orang tua untuk menunjukkan tingginya moralitas, (4) anak mengukuhkan
ikatan pernikahan suami istri, (5) anak menciptakan pengalaman-pengalaman baru
(menambah

variasi kehidupan,

menumbuhkan

minat,

serta

melupakan kesulitan-

kesulitan hidup), (6) anak menjadi sarana unjuk status kekuatan antar orang tua,
misalnya bersaing dari sisi kecerdasan atau kesuksesan hidup yang diperoleh anakanaknya, (7) anak meningkatkan kepuasan hidup melalui kreativitas, kesuksean, dan
kemampuan anak, serta (8) anak sebagai tempat bergantung secara ekonomi di masa
tua (Sumapraja dalam Hidayah, n.d).
Hidayah dan Hadjam (2006) menyatakan bahwa dalam realisasinya memang
tidak semua pasangan mudah memperoleh keturunan seperti yang diharapkan. Di

tengah gencarnya pencanangan program pembatasan kelahiran (keluarga berencana) di
berbagai penjuru dunia ternyata ada kelompok pasangan suami isteri yang justru
mengalami kesulitan

untuk

memperoleh

anak

(pasangan

infertil).

Bertahun-tahun

pasangan yang mengalami infertilitas ini menikah namun tidak kunjung memperoleh
keturunan. Berbagai upaya sudah mereka tempuh, baik berobat secara medis maupun
non medis. Ada pasangan yang akhirnya memperoleh keturunan, namun banyak juga
yang belum berhasil.


4

Griel (dalam Hidayah, n.d) melaporkan bahwa ketidakhadiran anak terutama
karena

infertilitas

akan

meningkatkan

ketegangan

dalam perkawinan.

Banyak

perkawinan yang terancam ketahanannya dalam menghadapi krisis ini. Hal ini
dipengaruhi oleh ketidakmampuan dalam mengekspresikan kemarahan, rasa sakit, dan
kekecewaan sehingga menimbulkan frustrasi.
Bagi mereka yang pada akhirnya berhasil memiliki keturunan, hal ini tentunya
menjadi suatu kebahagiaan yang tidak terkira bagi keluarga tersebut. Namun bagi
mereka

yang

belum

berhasil

memiliki keturunan,

kemungkinan

hal ini dapat

menimbulkan masalah di dalam keluarga, mengingat seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa keturunan (anak) merupakan salah satu faktor utama terwujudnya
suatu kepuasan pernikahan. Ditambah lagi biasanya lingkungan memberikan tekanan
tersendiri bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, dengan terus menerus
bertanya tentang kapan pasangan tersebut akan memiliki momongan. Selain itu menurut
Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara
psikologis dan mereka akan merasa cemas memikirkan bagaimana cara untuk
mendapatkan keturunan.
Datta, Randall, Holmes, dan Karunaharan (2010) mendefinisikan infertilitas
(kesulitan memiliki anak atau sering disebut mandul) sebagai ketidakmampuan untuk
menjadi hamil setelah 1 tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Infertilitas
sendiri dibagi menjadi 2 macam, yaitu infertilitas primer, merujuk pada pasien yang
belum pernah hamil sama sekali karena adanya gangguan pada sistem/organ reproduksi,
dan infertilitas sekunder, merujuk pada pasien yang pernah hamil sebelumnya (mampu
hamil namun mengalami keguguran).

5

Menurut Sugiharto (2005) ada 5 faktor penyebab infertilitas yaitu usia, frekuensi
hubungan seksual, lingkungan, gizi dan nutrisi, serta stres psikis. Alam dan Hadibroto
(2007) menambahkan beberapa faktor infertilitas yang perlu diperhatikan, yaitu
penyakit menahun (terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup parah yang
dapat mempengaruhi kesuburan), kurang seringnya berhubungan seks dalam hal ini
hubungan seks yang dilakukan kurang dari tiga kali seminggu sperma kurang mendapat
kesempatan untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur, serta gangguan pada alat
reproduksi.
Penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai perbedaan kepuasan pernikahan
anatara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder yang
dilakukan oleh Hidayah dan Hadjam (2006) memperoleh hasil bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan wanita dengan infertilitas primer
maupun sekunder. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada obyek kesedihan.
Pada pasangan infertil primer kesedihan yang dialami tidak terfokus karena tidak dapat
dipusatkan pada seseorang maupun peristiwa tertentu. Adapun pasangan infertil
sekunder memiliki obyek kesedihan yang jelas berupa bayi yang gagal lahir ke dunia
dengan selamat.
Dalam menghadapi kesedihan ini, termasuk pengaruhnya terhadap kepuasan
perkawinan yang dijalani, semuanya berpulang kepada pasangan yang bersangkutan.
Ada yang merasa tidak puas dengan perkawinan yang dijalani karena anak yang
diharapkan tidak kunjung tiba, ada pula yang cukup puas dengan perkawinan yang
dijalani. Kelompok yang disebut terakhir ini disebut pasangan infertil yang congruence
karena pihak suami maupun isteri memiliki penilaian yang sama terhadap infertilitas
yang dialami. Hasil penelitian dari Peterson, Newton, dan Rosen (2003) menunjukkan

6

bahwa pasangan yang congruence dalam menghadapi infertilitas, tanpa memperhatikan
jenis infertilitas yang dialami, mengalami kepuasan perkawinan yang lebih tinggi
dibandingkan pasangan yang kurang congruence dalam menghadapi infertilitas.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai kepuasan
pernikahan pada pasangan suami istri yang belum memiliki anak.
METODE
Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif mengingat
tujuan

dari penelitian

ini adalah

untuk

menggali secara lebih mendalam dan

mendeskripsikan gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang tidak
memiliki anak.
Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran kepuasan
pernikahan yang dirasakan oleh pasangan suami istri yang tidak memiliki anak, maka
karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah :
1.

Pasangan suami istri yang belum memiliki anak selama mereka menjalani
pernikahan

2.

Usia pernikahan minimal 5 tahun

3.

Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang
berbeda, seperti :
Identitas

Pasangan I

Pasangan II

Nama Samaran

K (istri) & H (suami)

T (istri) & L (suami)

Tahun Pernikahan

2008

2006

7

Lama Menikah

6 tahun

8 tahun

Alamat

Salatiga

Salatiga

Usia

46 th & 47 th

34th & 40 th

Agama

Kristen Protestan

Kristen Protestan

Riwayat Kehamilan

2x Mengalami kehamilan,

Pernah diperiksa dan

dan keduanya mengalami

terdapat gumpalan di

keguguran

kandungan yang belum bisa
terdeteksi gumpalan apa,
namun pada akhirnya juga
harus luruh

a.

Partisipan yang pertama ini telah melakukan pemeriksaaan organ reproduksi
mereka, baik pada suami, maupun pada sang istri. Mereka berdua dinyatakan sehat
dan siap memiliki keturunan. Akan tetapi pasca mengalami keguguran yang kedua,
tanda-tanda kehamilan belum dirasakan lagi oleh sang istri. Di sisi lain, pasangan
ini juga memiliki pertimbangan-pertimbangan terkait dengan hadirnya anak di usia
mereka yang tidak muda lagi.

b.

Pasangan ini mengaku bahwa pada awal pernikahan, mereka sempat menunda
untuk memiliki momongan. Akan tetapi setelah masa penundaan selesai, mereka
terus berusaha untuk segera memiliki anak. Pasangan ini mengaku bahwa sejauh ini
hanya sang istrilah yang menjalani pemeriksaan organ reproduksi, sedangkan sang
suami belum melakukannya. Dari hasil pemeriksaan istri, diketahui bahwa ada kista
yang tumbuh di rahim sang istri.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang menunjang dalam penelitian kualitatif ini
adalah dengan menggunakan observasi dan wawancara. Observasi digunakan peneliti
untuk mengamati aktivitas dan perilaku dari kedua partisipan. Sedangkan metode

8

wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam
bentuk naskah wawancara atau verbatim. Wawancara yang digunakan dalm penelitian
ini adalah wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengungkap secara mendalam
hal-hal yang bersifat personal/sensitif. Kedua metode pengumpulan data ini digunakan
dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada
secara mendalam, rinci dan tuntas. Selain itu media elektronik seperti handphone
digunakan peneliti sebagai alat untuk merekam semua hasil wawancara dengan kedua
partisipan.

Peneliti juga menggunakan buku kecil dan pulpen untuk menulis semua

aktivitas yang sedang dilakukan oleh partisipan.
Proses Pengambilan Data
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal
agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi
dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang
diberikan

oleh

pihak

fakultas

ditunjukkan

kepada

partisipan

untuk

meminta

kesediaannya dalam proses pengambilan data. Pada awalnya, peneliti membangun
rapport

kepada kedua partisipan dan kemudian dilanjutkan proses wawancara

mendalam mengenai topik

yang

akan

teliti.

Proses

pengambilan data melalui

wawancara dan observasi dilakukan sebanyak lima kali terhadap pasangan partisipan
pertama dan empat kali terhadap pasangan partisipan kedua. Pelaksanaan wawancara
kepada para partisipan dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga November 2014.
Wawancara kepada partisipan dilakukan secara terpisah antara suami dan istri untuk
menghindari faking

good

sekaligus untuk

menggali hal-hal yang sifatnya lebih

mendalam dari masing-masing individu. Peneliti juga melakukan wawancara dengan

9

adik partisipan pertama dan ibu dari partisipan kedua sebagai sarana pengujian
keabsahan data (triangulasi data).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan oleh peneliti mengacu pada langkah- langkah
analisis

data

yang

dikemukakan

oleh

Poerwandari

(2007).

Pertama,

peneliti

mengorganisasikan data kualitatif dalam bentuk verbatim dengan rapi, sistematis, dan
selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode pada materi-materi
yang diperoleh (koding).

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan

mensistemasi data secara detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang
topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan menemukan tematema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema tersebut sehingga
tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun sehingga menampilkan
hubungan antar kategori. Terakhir adalah menarasikan kategori-kategori tersebut.
HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa tema seperti pola komunikasi yang
dilakukan bersama dengan pasangan, kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat
memiliki waktu luang, kehidupan beragama dalam rumah tangga partisipan, konflik
yang pernah dialami oleh pasangan,

penyelesaian konflik

dalam rumah tangga

partisipan, hubungan antara partisipan dengan keluarga baik keluarga kandung maupun
keluarga

sendiri,

hubungan

partisipan

dengan

teman-teman

mereka,

pengaturan

keuangan dalam rumah tangga, keputusan partisipan untuk berhutang pada tetangganya,
pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga, ungkapan keinginan pasangan
untuk memiliki momongan, kecemburuan yang dirasakan pasangan pada pasangan lain

10

yang memiliki anak, sifat dan kebiasaan pasangan, pembagian tugas suami dan istri
dalam rumah tangga, serta konflik menantu mertua terutama pada partisipan kedua.
Pola komunikasi yang dilakukan bersama dengan pasangan
Kedua pasangan partisipan pada penelitian ini sama- sama menggunakan prinsip saling
terbuka di dalam pola komunikasi mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam
beberapa kutipan berikut :
Tabel 1 : Keterbukaan dalam sistem komunikasi
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 “Iya….kita ini memang terbiasa aaaa
terbuka satu sama lain”
 “Yo karena kita semua apapun itu ngga
pernah ada yang ditutup-tutupi”
 “Ya, karena kita terbiasa terbuka satu
sama lainya selalu kita jujur apapun itu”
 Iya,puas…karena nggak pernah ok ada
hal- hal yang kita tutup-tutupi dari awal

Istri
 Hmmm ya ya, kalo saya orangnya
maunya trebuka ya dalam setiap
berumah tangga ya mbak, hal terkecil
maupun terbesar saya maunya terbuka.
Bagi saya nggak ada, aaaa kalo
menurut saya ya mbak ya, saya nggak
ada yang saya sembunyikan sama
suami saya. Saya inginnya aaaa
kejadian apapun itu hahahahah kadang
hal sepele pun saya bercerita dengan
dia
Suami
 Iya, pasti...Jadi kalau ada apa-apa ya
saya ngomong apa adanya gitu..

Suami
 Oooo sering…sering karena kita punya
komitmen waktu kita masih dalam taraf
perkenalan itu kita harus terbuka, jujur
Tapi yang penting kan ada komunikasi
 Nah dengan cara…aaaa apa, dengan
kita buat jujur, buat terbuka gitu kan
harus ada komunikasi

Kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat memiliki waktu luang
Kedua partisipan selalu mengisi waktu luang bersama pasangan mereka ataupun
bersama keluarga mereka, mengingat mereka belum memiliki keturunan. Hal ini
terungkap dalam beberapa kutipan wawancara kedua partisipan sebagai berikut :

11

Tabel 2 : Kegiatan yang dilakukan pada saat pasangan memiliki waktu luang
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
Istri
 ya seringlah karena kita memang butuh
 Punya, bahkan setiap satu minggu
refreshing itu….untuk mengurangi
sekali hahahahhahah
kejenuhan karena, ya kan mungkin
 Harus itu,
meskipun itu nggak
semua..semua orang ya yang
ngeluarin dana ya mbak ya, itu saya
mengalami hal- hal seperti saya
cukup keliling ke kota aja udah cukup
mungkin di rumah juga sering jenuh ya
karena cuma keluar masuk ketemu
Cuma berdua aja, jadi ya kita kadang
butuh suasana yang beda
 ya kita memang sering kalo libur, atau
kalo pas ngga ada kegiatan dan
badannya sehat itu kita sering inginnya
ya refreshing
 Seringnya beramai- ramai karena kita
enjoy beramai- ramai
 Oohhh, ada…ya sering kita berdua kalo
memang, ya kalo tiap harinya kita
apapun, kita lakukan berdua
Suami
Suami
 Kita kemana, pergi kemana yaaa….  Ya iya..biasanya kalau misalnya santaisantai seperti ini seperti udah aaaa
Mungkin itu ada hubungannya dengan
besok libur itu ya kita kadang-kadang
kita belum punya momongan kan ya,,
sepakat, “dhek besok kita jalan-jalan
kadang kita pergi berdua gitu, kadang
kemana yo dhek yo”, gitu
kita juga bosen, makanya ngajak
 Ya paling bersih-bersih bersama..
ponakan- ponakan biar rame

Kehidupan beragama dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan tentang kegiatan keagamaan rutin yang mereka ikuti dan
kegiatan keagamaan lain yang dapat meningkatkan keimanan mereka. Mereka merasa
bahwa iman mereka juga berpengaruh pada proses penerimaan pada kenyaataan bahwa
hingga

saat

ini

keluarga

mereka

belum

dikaruniai

seorang

anak.

mengungkapkan hal tersebut dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

Partisipan

12

Tabel 3 : Gambaran kehidupan beragama dalam rumah tangga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri :
 Heeeem, harus itu. selama kita itu tidak
ada kegiatan yang mendesak dan itu
penting sekali, kita utamakan beribadah
dulu
 Tapi ya wis gimana kalau itu sudah
jalan dan kehendaknya, kalau belum
diberi ya mau gimana lagi, kita harus
menjalani hidup ini ya dengan pasrah.
Walaupun saya nggak pernah berhenti
berharap dan kalaupun itu masih diberi
kesempatan yah kita siap kapan saja

Istri
 Saya sering....Itu hari Minggu, hari
Kamis, untuk ibadah sendiri itu ada,
saya wanita, suami saya pria kalau itu
kebaktian kaum pria
 Ya memang itu harus saya perlukan
mbak. Kalau saya nggak nggak seperti
itu mungkin saya nggak nggak ada
kekuatan
 Sara kan ya mbak ya??? Sara itu kan
umurnya berapa itu?Nah itu, buktinya
dikasih momongan ya? Itu...pedoman
saya itu mbak. Itu kan dia itu selalu
dihina dia itu., diejek, terus akhirnya
dia punya anak. Iya.....aku lupa
namanya ek mbak, ini aku jadi blank
ini mbak hahahahha Lha itu...itu...saya
pedomannya itu mbak. Jadi saya
percaya aja suatu saat saya pasti
dikasih
Suami
 Iya mbak.. he em..kita berdua..Kadangkadang kita hampir sering itu ke Kerep,
Ambarawa. Itu dari dulu sebelum
sebelum ada kegiatan buat rumah ini ya
hampir ya 2 minggu sekali kita ke
sana…aaaa sambil kita refreshing juga
berdoa gitu
 Iya mbak, kalau di istri itu kebaktian
wanit, itu khusus wanita, dan kalau pria
itu memang ada kebaktian pria.
 Ya saya menganggap itu bahwa itu
suatu apa ya bisa dikatakan ujian gitu
lho mbak. Bahwa berarti ada, berarti
aaaa mungkin, mungkin pelayanan
saya terhadap Tuhan mungkin kurang,
seperti itu

Suami
 Ya sering,,, sering lah ya,, kalo ada
undangan PA ya mengikuti…mengikuti
lah….
 Ya…ya itu tadi baik senang, kita kan
punya keinginan punya anak, ternyata
belum, belum ada, ya, yaaa wajar kan
kalau kita sedih….itu kan kurang bagus
ya….ya balik lagi ke ajaran agama
saya, baik senang sedih harus kita
terima

Konflik yang pernah dialami oleh pasangan
Kedua pasangan bercerita mengenai konflik yang terjadi di dalam rumah tangga
mereka, entah konflik yang berasal dari dalam keluarga mereka sendiri, maupun dari

13

pihak luar. Konflik yang muncul dalam rumah tangga pasangan dipicu oleh adanya
masalah ekonomi, faktor anak, komentar-komentar dari pihak luar mengenai keadaan
keluarga yang belum memiliki anak, serta kebiasaan-kebiasaan yang terkadang belum
bisa diterima sepenuhnya oleh pasangan masing-masing. Hal ini terungkap dalam
kutipan wawancara sebagai berikut :
Tabel 4 : Konflik dalam rumah tangga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Sebenarnya bukan masalah pribadi,
masalah keluarga…tapi ya bisa diatasi
jadi yo nggak….tpi itu ya, masalah
pribadi, ya memang sewaktu saya
mengalami aaaaa keguguran itu…kita
tidak saling menyalahkan karena kita
juga tahu sikon, tahu masing- masing
itu kita nggak tahu dan kurang bisa
berhati- hati jadi ya kita nggak saling
menyalahkan
walaupun
sampai
sekarang kita itu jadi trauma dan
menyesali kenapa kok bisa terjadi, itu
aja…kalo masalah- masalah yang besar,
saya kira ngga ada

Istri
 Hmmmm, ekonomi ya mbak ya....
kebutuhan ekonomi itu kadang sok itu
aaaa
apa
mendadak
gitu
lho
mbak...kadang aaaa ya kebutuhannya
lebih banyak daripada penghasilannya
gitu. Mungkin saya agak konfliknya di
situ
 Waktu tidur itu, pernah itu konflik.
Waktu malem itu., masalah apa aku
agak lupa, itu sakit mbak, pernah suami
saya itu seperti itu. Terus gini, “makane
kamu anu belum dikasih momongan”
 Bagi saya orang lain. Orang lain itu kan
intinya kayak menuntut. Bahkan ada
yang bilang itu mandul ada
Suami
 Biasanya keluarga, maksudnya kadangkadang juga mertua, kadang-kadang
orang tua sini, kadang-kadang saudara,
gitu mbak..itu yang menjadi konflik
kami
 “Pirang taun tokok ora, ora lek dikei,
ora lek nduwe momongan, kan gitu,
kadang gitu. Sok kadang kan ada yang
nylekit juga

Suami
 ya mungkin, kurang puasnya istri
terhadap saya, mungkin saya kurang
perlakuannya terhadap istri, mungkin
ya kebiasaan- kebiasaan, kebiasaan
sehari- hari

Penyelesaian konflik dalam rumah tangga
Konflik yang ada di dalam rumah tangga kedua partisipan selalu berusaha diselesaikan
agar tidak menjadi konflik yang besar dan berlarut-larut. Partisipan berusaha untuk

14

mengomunikasikan hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam keluarga mereka,
bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan tersebut, dan tidak segan untuk
meminta maaf kepada pasangan jika memang melakukan kesalahan ataupun sekedar
untuk meredakan suasana. Usaha partisipan untuk menyelesaikan konflik mereka
diungkapkan dalam cuplikan wawancara sebagai berikut:
Tabel 5 : Penyelesaian konflik dalam rumah tangga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Karena ngga perlu lah masalah itu jadi
permasalahn
yang
besar
sehari
misalkan, ada sesuatu yang kurang
mengenakkan
misalkan,
ya
kita
langsung ngomong misalnya om, om
itu misalnya saya kurang setuju, itu nak
saya ya langung tak tegur, bilang saya
ndak suka…ya solusinya gini, jadi ngga
pernah panjang permasalahan ituya
kadang, der der der der, tapi setelah itu,
selesai ya selesai
Suami
 Ya kita minta maaf dan dengan
legowo
kita masingmasing
menerima gitu

Istri
 Kalo aaaa sudah nggak kuat yo gitu, ya
masalah itu ya mbak, saya kalo udah
nggak kuat ya nangis sama suami saya
 Gitu ya kita sabar aja. Semua itu sabra

Suami
 Nggak mbak, kalau sudah ya udah
selesai nggak maksudnya nggak sampai
berhari-hari gitu nggak..nggak mbak..
 Iya mbak.. paling nanti saya kalau
ngomong walaupun saya nggak merasa
salah tapi terus saya ya minta maaf
mbak karena tadi udah sampe ramerame gitu, seperti itu
 Biasanya kalau mau tidur itu saya baru
ngomong biasanya mbak, misalnya
kalau kejadiannya siang sepertio itu,
terus kiok cuma diem diem diem, kan
nggak enak, terus akhirnya saya male,
“Dhek mau pie to dhek, kok bisa gini
gini gini, kok iso ngene ngene ngene ki
nopo??”, kan gitu. “Aku ki piye, mau
ngomong opo, kowe kok dadi nesu
kayak gitu”. Terus dia baru, biasane
baru cerita. Cerita cerita cerita setelah
itu ya selesai, kan gitu

15

Hubungan antara partisipan dengan keluarga
Partisipan menceritakan bagaimana hubungan mereka dengan keluarga mereka, baik
keluarga

kandung

mereka

sendiri

maupun

keluarga

pasangan

setelah

mereka

memutuskan untuk menikah. Perhatian partisipan kepada keluarga mereka masingmasing ternyata berkurang semenjak

mereka memiliki keluarga sendiri. Mereka

menyadari bahwa mereka juga harus berbagi perhatian pada keluarga pasangan serta
memberikan perhatian yang lebih bagi keluarga mereka sendiri. Partisipan pertama
mampu untuk menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar
mereka, sedangkan partisipan yang kedua mengaku memiliki masalah saat proses
masuk ke dalam keluarga pasangannya. Hal ini terungkap dalam cuplikan wawancara
berikut :
Tabel 6 : Hubungan antara partisipan dengan keluarga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Ya tidaklah ya, ya tetep yang paling
utama ya untuk keluarga sendiri
 Ya kita berusaha untuk bisa untuk
menyamakan…aaaaa itu keluargaku
adalah keluarga om, keluarga om
adalah keluargaku juga seperti itu
 Ya sepertinya begitu, ya kita kan ngga
tahu, tapi sepertinya ya begitu karena
aaa apapun aaaa masalah ataupun
apapun itu urusan dalam aaaa dalam
keluarga om, selalu tante dilibatkan dan
tahu, jadi saya ya merasa saya ya sudah
dianggap keluarga sendiri

Istri
 Sekarang ngerasa sulit ini mbak, ini
jujur aja ya mbak ya, nggak tau itu
kayak mau lepas dari orang tua saya itu
nggak bisa, nggak tau
 Emang kalau perasaan mantu itu beda
ya, anak mantu itu beda. Tapi trus
akhirnya saya berpikiran elek meneh
yaaku ya, aku jadi bisa merubah
sikapku sendiri, aku nggak nggak
nggak hidup sendiri sekarang, aku
hidupnya aaaa bersama orang lain,
yang di mana hidup itu waktu besar.
Nggak nggak dari awal kecil, besarnya
to mbak ketemunya, waktu dewasanya
saja harus gimana caranya membaur.
Akhirnya ya itu sampai sekarang ini
saya nikmati
 Bagaimanapun caranya apapun yang
orangtuanya ndak suka jadi suka.
Awalnya supaya dia bisa akrab sama
aku ya aku mencoba gimana caranya

16

Suami
 Ya tentunya perhatiannya agak
berkurang.ya kita punya keluarga ya
harus kita, nomor satukan bagaimana
pun juga harus, istri atau suami,
otomatis itu…kan harus, ya perhatian
ke keluarga kan ya otomatis berkurang.
Itu otomatis itu, nggak mungkin sama
dengan waktu kita masih belum
menikah itu bohong itu
 Tetep… tetep. Kita masing- masing ya
tetep ada waktu. Istilahnya apa ya, ya
kita menyibukkan dengan keluarga istri,
menyibukkan dengan keluarga saya ya
tetep
 Hubungannya baik- baik aja, dari istri
ke keluarga saya ya baik- baik saja.
Nggak ada masalah

lah, apapun itu. Meskipun itu nggak
nggak sesuai keinginannya pun
 Jadi nya kurang deket. Jadinya saya
yang berusaha untuk mendekat., gitu
mbak. Ini jujur aja memang Ibu saya
kurang deket dikarenakan
perekonomian
Suami
 Ya sedikit berubahlah, karena
perhatiannya juga udah lain lagi to...
 Ya yang jelas saya tetep saya datang
ke sana, istilanya, nitip awak ya mbak
ya. Nitip awak di sana, ya yang jelas
saya juga baik-baik kepada mertua,
kepada saudara-saudara istri, gitu.
Nggak nggak, saya nggak buat
masalah, seperti itu

Hubungan partisipan dengan teman-teman
Kedua partisipan memiliki kedekatan yang berbeda dengan teman-teman mereka pasca
menikah. Partisipan pertaama tetap berusaha untuk menjalin relasi dengan teman-teman
mereka dan saling mengenalkan teman-teman mereka pada pasangannya, sedangkan
partisipan kedua cenderung membatasi hubungan mereka dengan teman mereka
masing- masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut :
Tabel 7 : Hubungan partisipan dengan teman-teman
Partisipan 1
Istri
 Masih, biasa aja..Kayaknya enggak,
karena tante berusaha sebagaimana
mestinya kita apa menjaga,

Partisipan 2
Istri
 Saya malah jarang ketemu sama tementemen saya, nggak tau ya mbak ya.
Malah itu, aaaa malah semakin jauh

17

maksudnya nggak….kita dekat
dengan teman trus dengan seenaknya
kita menyampingkan keluarga
 Ya sebisanya aaa tante menempatkan
diri, maksudnya ya mengenal
lah..mengenal, kita saling
mengenalkan teman masing-masing
aaa misale gini…teman tante ke om,
gitu ya saya kenalkan ke om, “ini
teman saya paling deket” atau ya
ini,yang ini…selalu kita ngomong gitu
lho, dan missal kalo dating ke rumah,
ya kenal tante ya kenal om, gitu..
Sebaliknya juga om, teman-temannya
ya pasti dikenalkan
Suami
 Masih…masih walaupun nggak
seperti dulu ya. Mungkin sekarang
kan sudah yaaaaa sudah menyadari
punya itri yaaa harus banyak- banyak
dikurangi, gituuu, walaupun
pertemanan itu penting
 Ooohh iya…ya ya… saling menyadari
bahwa itulah. Kalo cewek ya, ya itu
tadi cewek… seperti itu gitu lho,
memang sifat- sifat cewek itu pada
umumnya seperti itu… Ya kita paling
say hello, ngomong- ngomong bentar.
Teman- temn saya cowok pun ya
kayak gitu, ya inilah cowok., namanya
cowok

saya kadang kemarin
juga mbak,
kemarin saya kangen. Saya kepingin ya
“temen-temen ku kok ra ana sing ketok
ya?? Kok wes suwe ora ketemu ya??”,
cuma gitu. Pengen aku dolan-dolan
sana, tapi kalau dolan-dolan sana ngko
mesti eneng masalah terus, aku gitu

Suami
 Sepertinya saya ingin tapi istri tu pasti
nggak mau, gitu lho. Saya ajak ke
tempat temen yang sana, kadangkadang males, ke sana males, kan gitu.
“Yo kowe nak arep dolan, dolan dewe
kono”, kan gitu mesti.
 Ya dia itu memang kalau tak jak mainmain ke temen gitu memang ini mbak

Pengaturan keuangan dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan pola pengelolaan keuangan di dalam keluarga serta
investasi yang secara khusus mereka siapkan bagi masa depan anak mereka.
Pengelolaan keuangan dalam keluarga diserahkan seluruhnya kepada istri, akan tetapi
bukan berarti istri berhak secara penuh dalam penggunaan keuangan. Suami pun juga
memiliki hak untuk memakai uang tersebut sepanjang hal itu berguna bagi rumah
tangga mereka, bukan untuk kesenangan pribadi. Partisipan pertama mampu untuk
mengatur keuangan rumah tangga mereka dengan cukup baik, sedangkan partisipan

18

kedua mengakui bahwa himpitan ekonomi membuat mereka harus berhutang kepada
tetangga mereka. Hutang ini jugalah yang membuat partisipan kedua ini memutuskan
untuk menunda memiliki anak di awal pernikahan mereka. Hal ini diungkapkan kedua
partisipan dalam kutipan wawancara sebagai berikut :
Tabel 8 : Pengaturan keuangan di dalam rumah tangga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Ini jujur
ya,
karena
om ini
penghasilannya ngga tentu, nggak
mesti, dan yang mesti itu, yang rutin
tiap bulan itu kan saya, dari om itu kan
memang semua itu diserahkan ke saya
… tapi saya juga tidak…aaaaa opo…
tidak mau kalo semua ya seharusnya
ada hal- hal yang memang itu jadi
tanggung jawab om aaaa maksudnya
aaa apa itu ehhhmmm ada dana- dana
tertentu yang harus dipegang om semua
tentang rumah tangga jadi yo, sudah
diserahkan semua ke saya tapi itu kita
bagi jadi dikelola bersama
 Seringnya…seringnya begitu kita selalu
ngomong-ngomong ya pengen beli ini
ini ini…ya terserah kalo memang butuh
opo pengen gituuu selama tentunya
kalo ada dana longgar tentunya, kita
tidak pernah memaksakan diri kok
 Ya..iya sampai saat- saat ini ya kita
masih memikirkan tentang itu, yaaa
paling nggak ya tidak di plotklan gituuu
tapi paling ndak tante punya aaa apa itu
tabungan untuk hal yang mungkin nanti
diperlukan

Istri
 Saya. Saya biasanya kalau suami saya
dapat hasilnya, itu dikasihke sama
saya. Saya nyang mengelola sendiri.
Intinya yang mengelola itu yang tau
sendiri itu Cuma saya sendiri itu nggak,
suami saya tau. Hasilnya seberapa tiap
hari. Saya mengeluarkan uang sepeser
pun dia tau
 Saya
misalnya
untuk
belanja
keseharian. Nah itu saya setiap paginya
itu saya ngomong, “mas aku tadi habis
belanja sekian...” nah tapi aku selain itu
nyisihin uang. Nyisihin uang entah itu
nanti buat apa sahya nggak tau,
pokoknya saya harus nyisihin uang,
gitu
 Itu saya bikin rumah ini itu tujuannya
saya mau kontakan. Mau saya
kontrakkan, nah setelah itu mungkin
mungkin tabungannya itu nggak saya
buat ini itu yang aneh- aneh. Mungkin
saya belikke tanah, apa apa, mungkin
un tuk kebutuhan anak saya kan bisa.
Saya memang punya tujuan rumah ini
ya untuk anak saya hahhhaha untuk
anak saya memang
 Baru nikah 1 tahun itu aaaa saya juga
pertama kali mengalami hutang ya,
saya belum pernah hutang ya waktu itu.
Saya masih muda ya jadi belum pernah
hutang.
 Kadang
memang
kalau
permasalahannya itu malah kadang gini
ahh ya itu keuangan gitu, “keuanganne

19

Suami
 Ooohhh,ke tante semua… ke tante
semua
 Heeem
yang
kontrol
tante…ya
mungkin gini,
kalo saya punya
penghasilan ya saya serahkan…terserah
mengaturnya bagaimana
 Ya kita sediakan, kita punya tabungan
ya… ya tetep sih…yang nganu
(mengelola) istri… ya buat jaga- jaga
gitu lah

kok mepet men yo??” gitu, “woh, kok
uange kok cuma sekian yo??”, ngene,
“wah sesuk nggo mbayar utang” kan
gitu. Kan punya punya kewajiban
untuk mbayar utang juga, untuk kalo
saya kan gini sama mas e, saya pernah
memberanikan diri untuk pinjam uang
mbak memang
 Nah saya ketakutan juga waktu itu
gimana ya, aku nak punya tanggungan
hutang sebanyak itu, nek ini aku punya
anak aku takut. Anakku bisa nggak tak
senengke, gitu.
Suami
 Kalau keuangan itu saya serahkan ke
istri semua mbak
 Bersama-sama, tapi kadang-kadang ada
ada yang disembunyikan oleh istri
 Dia itu diem-diem itu masih punya
simpenan gitu lho mbak
 Untuk yang lain mbak kalau saya
mbak, terutama untu rumah ini mbak,
dengan harapan nanti misalnya rumah
ini jadi, dikontrakkan kan gitu lumayan
itu untuk tabungan kan bisa, gitu
maksud’e. Jadi rumah juga punya,
nanti tabungan juga punya, kan gitu
 Pada mulanya iya mbak, tapi kan
waktu awal-awal menikah itu memang
kita kan belum siap untuk ekonomi.
Jadi kita istilahnya ya menunda dulu
lah, kan gitu. Cuma menunda 4 bulan
lah mbak sekitar itu, kan kita masih
punya tanggungan berapa ratus ribu
gitu, tapi walaupun beberapa ratus ribu
tapi waktu itu kan hitungannya juga
banyak
dan
apa
ya
karena
penghasilannya belum, belum cukup
kan jadi sepertinya itu banyak banget
kan gitu

Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga
Kedua partisipan menceritakan tentang bagaimana mereka saling memenuhi tugas dan
kewajiban mereka sebagai suami ataupun istri dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual.

20

Mereka menerapkan prinsip keterbukaan saat mengungkapkan keinginan atau bahkan
menolak

untuk

melakukan hubungan seksual.

Hal ini diungkapkan oleh kedua

partisipan dalam kutipan wawancara berikut :
Tabel 9 : Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Ya kalo menurut saya ya sudah karena
seringnya, seringya ka seorang lakilaki yang sering menuntut itu, menurut
saya kalo perempuan itu seringnya
nggak..nggak
punya
aaaa
apa
itu..keinginan seperti itu duluan itu,
pasti kan laki- laki sering menuntut hal
itu, tapi sebisanya, secapek apapun kalo
hal itu ingin dilakukan ya sebisanya
kita layani, gitu
 Yaaaa, bilang, “aku lagi capek” ya
minta maaf kadang, soalnya kan capek,
daripada nanti kecewa gitu lho
maksudnya kalo yaaa terbuka aja, kalo
kurang mood kan kita ngelayani dengan
ogah-ogahan
jadi
juga
tidak
membawakan
rasa
puas
ya
gimanalah,,,nggak membawakan rasa
senag, ogah- ogahan kayak gitu gimana
mau puas
 Ya, ya kadang sih gitu, kadang aaa
tante kan sudah, aaa mungkin kan
sudah aaaa gimana yo… aaaa yaaa apa
ya , ya memang sudah pesimis gitu ya
terkadang sok pas nganu ya kadang sok
male, aaa kadang hlo itu… Tapi ya
kalo.. kalo kita mikir itu sudah
kewajiban ya wis gimana lagi ya kita
harus tetep jalan
Suami
 Yaaa,,, normal- normal aja… kita
menjalankan bagaimana ya suami yang
normal…ya normal- normal lah
 Puas… puas…kalo nggak puas kan kita
belok sana belok sini nanti
 Hmmm ya karena “capek Bu”…ya

Istri
 mengatakan ya, kurang bebas ya, bagi
saya ya. Saya memang intinya kurang
bebass di mana di orang tua saya, orang
tua kandung saya rumahnya itu
kebetulan itu kamarnya berdekatan
 Kalo misalnya hubungan waktu kita itu
memenuhi kewajiban kita sebagai istri,
ya sebagai suami, kadang itu memang
kurang bebas mbak
 Tapi ini tuntutan ya mbak ya, saya
harus
memenuhi kewajiban saya
sebagai istri, dia juga harus memenuhi
kewajiban dia sebagai suami
 Fisik kan orang berjualan itu kan
intinya capek ya, capek. Suami saya itu
orangnya aktif. Orangnya aktif, dia
nggak mau kalo diem gitu malah nggak
enak dia. Dia malah suruh duduk gini
itu dia nggak bisa
 Jadi kan posisinya nggak nggak fit ya
mungkin ya. Mungkin dia nggak sehat,
aaaa kelelahan. Intinya kelelahan. Kan
itu juga pengaruh dengan sperma kan
 Kadang badan capek, kadang ini, terus
malem e harus memenuhi kewajiban
itu, terus bebannya itu, kan jadi kurang
enak gitu lho mbak, kurang bebas

Suami
 Iya mbak, sudah merasa puas.. jadi
nggak sepertinya nggak ada yang di
benahi lagi itu mbak
 jadi secara tidak langsung om mau
berkata bahwa aaaa tante sendiri juga
sudah
mampu
untuk
memenuhi

21

minta maaf lah, sebaliknya, dia juga
kebutuhan seksual om??
mungkin yaaa capek
ya saling
Iya...
menyadari masing- masing lah karena
Dan om sendiri juga sudah memenuhi
memang aaakita lihat sendiri karena
kebutuhan seksual dari tante??
mungkin kita capek…kita masingIya mbak...sudah memenuhi itu
masing capek, gitu…
 Sementara ini saya belum pernah
 Yaaaaa dengan kita berkomunikasi,
menolak itu mbak, malah kadangkomunikasi,,, kita sambil…yaaa sambil
kadang istri yang menolak, “mas kesel
gimana
caranya
lah
untuk
ek mas”, “yowes nak kesel yo rapopo”,
membuat…membangkitkan
gairah…
saya kan juga gitu mbak nggak akan
Ya iya… tetep harus gitu…ya nanti
memaksa, karena walaupun saya
malah kita… dia lagi capek dipaksa,
memaksa mesti dia itu juga mesti ada
kita marah, nanti tersinggung
seperti ada yang ngganjel...nggak
nggak nggak plong lah istilahe, hmm
istilahnya gitu. Ada keterpaksaan
walaupun sedikit keterpaksaan kan
tetep nggak nggak nyaman

Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak
Kedua partisipan mengungkapkan keinginan mereka untuk memiliki anak dalm rumah
tangga mereka. Mereka juga telah menempuh usaha-usaha baik medis maupun
tradisional agar segera diberi keturunan. Berikut ini adalah kutipan wawancara yang
menunjukkan bahwa kedua pasangan ini sangat mendambakan kehadiran anak dalah
kehidupan rumah tangga mereka :
Tabel 10 : Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
Istri
 Dengan keadaan kita yang sekarang ini  Kalo momongan itu iya. Itu setiap kalo
kita harus bisa aaaa berpikir positif dan
saya membicarakan itu pada waktu
kalopun kita juga tidak..tidak seganterasanya itu pada waktu tidur,
segan…tidak
bosanbosannya
terasanya itu pada waktu tidur. Ngobrol
memohon pada Tuhan kalau memang
tentang itu, tentang momongan, ya
akhirnya Tuhan menghendaki kita
angan- angan kadang trus akhirnya
diberi momongan yang sudah kita
suami bisa menghibur saya ya. Misal
damba- dambakan kita akan siap
istri, sbagai perempuan, kalo belum,
kalo belum ngasih keturunan itu kan
 Merasa tidak lengkap ya, aaaa belum
rasanya kan, rasane ati tu gimana yo
mendapatkan momongan. Ya kan
rasane hati tu sakit gitu hlo mbak. Bagi
adanya ya…ya walaupun kita adanya

22

damai damai saja tapi kan kadang kalo
pas apa itu…sendiri gitu kan merasakan
kesepian, dan rindu akan keberadaan
seorang anak ya, yang aaaa dapat
menghibur kita. Apalagi kalau pas saya
sendiri di rumah gitu kan, yaaaa merasa
sendiri…ngga ada momongan

Suami
 Ya kita terima lah Bu, jangan sedih
terus”.
Mungkin
Tuhan
belum
mempercayakan pada kita. Kemarin
mungkin ada satu peristiwa yang
mungkin kita saking pengennya itu
sampai pengen mengadopsi anak utu,
ad satu keinginan untuk mengadopsi
anak itu tapi itu ya tetep ada
pertimbangan nggak boleh grusah
grusuh
 Ya, ke dokter, udah pernah ke dokter,
terus ada program..ya tapi tetep aja
belum dikasih,, ya pakai cara- cara
medis lah kalo secara non medis belum

saya sakit ya, kalo orang itun
normalnya perempuan itu melahirkan,
eehhh mengandung baru melahirkan
ya, tapi memang saat ini saya belum
dikaruniai saya terima tapi dalam hati
saya juga nggak terima gitu hlo
 Bagi saya saya berusahanya gimana
caranya kalo saya punya momongan
nggak harus, nggak harus operasi gitu
hlo mbak. Intinya saya apapun itu akan
saya lakukan entah itu minum jamu
aaaa apa apapun itu wes to
Suami
 Ya awalnya memang sedih mbak
 Iya mbak, tapi yang jelas saya punya
keyakinan bahwa saya suatu saat nanti
bisa, kan gitu..Tapi ya itu tadi, ya
seperti tak kuatkan gitu, seperti, “ya
kita tu pasti nanti bisa, Abraham aja
bisa, kenapa kita nggak bisa
 Yang saya rasakan ya sepi gitu sih
mbak rasanya mbak
 Ya bahwa kita itu punya keyakinan
mungkin gitu mbak, bahwa suatu saat
nanti kita punya, gitu. Walaupun,
walaupun kata-kata itu mungkin 4
tahun yang lalu sampai sekarang itu
masih terucap seperti itu mbak

Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang memiliki anak
Partisipan menceritakan tentang rasa cemburu yang mereka rasakan saat mereka melihat
pasangan lain menghabiskan waktu bepergian bersama dengan anak-anak mereka.
Mereka mengungkapkan bahwa mereka juga ingin merasakan kebahagiaan yang sama
seperti yang dirasakan oleh keluarga yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan wawanara
berikat :

23

Tabel 11 : Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang
memiliki anak
Partisipan 1

Partisipan 2

Istri
 Ya…yaaa perasaannya ya cemburu,
sedih, kepingin, ya liat aja di kantor
kadang pada mbawa anaknya, ya yaaah
pengen sekali seperti mereka, pada
njemput anaknya, anaknya dibawa ke
kantor duh…rasanya yahhhh, tidak bisa
digambarkan

Istri
 Waktu itu tu dia dateng, sama anaknya,
cemburunya mungkin ya karena dia
sudah mempunyai momongan, saya
belum. Mungkin cemburunya di situ
saya. Dia ngeliatnya mantannya itu
bawa anak, dia agak gimana gitu
 Kan sering saya lihat ya sama aaaa
suami istri sama anaknya kadanag
main-main di taman saya Cuma duduk
gini berdua lihat gitu kan rasanya meri
gitu lho...gitu, saya meri memang, saya
meri itu
Suami
 Ya pengen, pengen. Apalagi kan kalau
kita ke Kerep itu kan sering, kan apa ya
aaaa areanya kan bagus itu seperti
lapangan golf gitu, kadang-kadng di
situ itu buat ini aaaa apa anak-anak
latihan jaan itu lho dirumput-rumput
biar kalau jatuh kan nggak sakit. Pada
jalan-jalan gitu kan wes, saya lihat juga
lucu gitu lho. Terus kadang-kadang
kepikiran, “dhek, besok kalau kita
punya kita bawa ke sini, seperti itu ya”,
ya gitu

Suami
 Yaaa…aaaa aku sendiri, ya, ya aku
sendiri rasanya yaaa,, apa ya boleh
dikatakan… iri…iri ya pengen gitu lho
punya ..aaahhhh aku kok pengen seperti
mereka gitu lho. Tapi ya balikin lagi
gitu, sama ya mungkin Tuhan punya
rencana lain gitu lho, ya walaupun kita
tetap berusaha dengan cara apapun ya,
,,, ya rasanya sekedar pengen gitu, ya
ngliatnya seneng, seneng, soalnya
dasarmnya memang suka sama anakanak kecil sih,,, itu lihat mereka, bapak
ibu sama anaknya pergi bersama ke
mana gitu, kadang iri…ya manusiawi
ya

Sifat dan kebiasaan pasangan
Kedua partisipan menceritakan mengenai sifat dan kebiasaan pasangannya masingmasing. Mereka mengaku bahwa mereka sudah cukup mengenal dan mampu menerima
baik kekurangan maupun kelebihan pasangan mereka. Hal ini dikemukakan oleh kedua
partisipan dalam kutipan wawancara berikut :

24

Tabel 12 : Sifat dan kebiasaan pasangan
Partisipan 1
Istri
 Om itu kelebihannya banyak, om itu
selalu mengalah, penurut, trus yang
apa, yang tadi… penurut, trus yang apa,
yang tadi…Kekurangannya?
Kekurangannya aaa agak ndableg ya
untuk masalah mengurangi rokok ,
susah om itu
 Ya kadang kalo, ya, gimana ya…
orangnya itu terlalu baik, gitu hlo,
nggak tegelan, nggak tegaan, itu kadang
sok ada, ya gimana ya rasa yang
gimana gitu, karena ya namanya orang
ya, terlalu baik itu, kalo orang yang
ngerti, kan itu seneng ya, tapi kadang
ada orang yang kenal, dia baik, itu
malah cuma dimanfaatkan aja, nggak
aaa apa itu, nggak merasa aaa perlu, ya
udah nggak di gagas lagi, kadang saya
yang kurang, kurang, kurang setuju
dengan sikapnya, orangnya sabar dan
terlalu baik
Suami
 Ya itu tadi, emosional, dia selalu, apaaa
terus terang, nggak bisa mendem, dia
memang nggak bisa mendem, seringnya
nggak bisa mendem. Kebaikannya ya
yaaaa mungkin kalo….merasa, merasa
salah gitu…dia berusaha untuk minta
maaf dengan berbagai macam cara,
yaaaa cepet melupakan kesalahan itu.
 Menyikapinya yaaaa, itulah istri saya,
harus menerima, kekurangan dan
kelebihannya. Menerima…ya saya
menerima

Partisipan 2
Istri
 Kekurangannya ya kadang sok
nyepelekke gitu. Kekuranganne
nyepelekke. Saya sering emosi kalau
dia nyepelekke hahahha emosi tingkat
tinggi
 Ya saya terima kekurangannya ya
mbak. Menurut saya kekurangan
kelebihannya dia ya memang dia
seperti itu hahahahah. Sya seperti itu.
Saya nggak menyalahkan, saya nggak
mempermasalahkan itu. Bagi saya
seperti itu

Suami
 Ya ada positifnya ada negatifnya mbak,
kalau positifnya ya banyak, tapi kalau
negatifnya itu dia itu ge er an gitu...ya
gitu mbak, jadi apa-apa langsung
dimasukkan ke hati
 Kebaikannya ya dia itu ramah, ramah
sama orang, baik gitu mbak, jujur gitu
juga mbak
 Iya he em ngeyelan...ngeyelan...kalau
punya kemauan itu sak ndang sak nyat
mbak, karena dia dari kecil memang
seperti itu, dari kecil memang kalau
punya keinginan itu ya harus, kan gitu

Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga
Kedua partisipan mengaku bahwa mereka mengerti akan tugas-tugas dan kewajiban
yang harus mereka lakukan terkait dengan peran mereka di dalam rumah tangga, baik
sebagai istri maupun suami. Meski begitu, masing- masing mereka tidak ragu untuk

25

membantu bahkan menggantikan peran pasangan mereka saat pasangannya tersebut
sedang tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Hal ini terungkap dalam kutipan
wa