Variasi Genetik, Isotop, dan Spektra Near Infrared (NIR) Kayu Jati di Jawa

(1)

VARIASI GENETIK, ISOTOP, DAN SPEKTRA

NEAR

INFRARED

(NIR) KAYU JATI DI JAWA

AGUS KHOLIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul Variasi Genetik, Isotop, dan Spektra Near Infrared (NIR) Kayu

Jati di Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Agus Kholik


(3)

ABSTRACT

AGUS KHOLIK. Variation on genetic, isotopes and near infrared (NIR)

spectra of teak wood in Java. Under the direction of ISKANDAR Z.

SIREGAR, ULFAH J. SIREGAR and LINA KARLINASARI.

It is possible to track the origin of teak timber and its wood product using genetic and chemical fingerprinting. To enrich the available information on teak variation patterns, teak woods samples were collected from nine Forest Management Units (FMUs) representing all provinces and teak centers in Java. Sapwood’s DNA were extracted using modified CTAB method and then subjected to genetic analysis using RAPD marker. Meanwhile, mills from all parts of woods were mixed for analyses using isotopes and NIR spectra. The mills were burned under vacuum in a reactor system at 1200oC for 2 h, the resulting clean CO2 was then transferred to the mass spectrometer to determine its isotopic composition of δ13C and δ18O. The NIR measurement was carried

out on near infrared spectroscopy at wavelengths 1000-2500 nm. The generated data was then analyzed using multivariate analysis. The results showed that the genetic analysis clustered teak populations in Java into two main groups based on Nei’s (1973) genetic distance, namely Central Java group and West-East Java group. On the other hand, isotopes analysis grouped it into West Java population and mixed Central-East Java population. Chemical components of teaks in Java have broad variety of content and not grouped it by province. NIR spectra showed that teaks from West Java have higher values than those of Central-East Java. To consider wood as material for fingerprinting traded forest product, a refinement on method should be done.


(4)

AGUS KHOLIK. Variasi Genetik, Isotop, dan Spektra Near Infrared (NIR) Kayu Jati di Jawa. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR, ULFAH J. SIREGAR dan LINA KARLINASARI.

Penggunaan teknologi genetik, isotop dan near infrared (NIR) merupakan metode baru yang mungkin dapat dikembangkan dan diterapkan di masa datang untuk sertifikasi lacak balak dan pembuktian kasus kejahatan hutan, seperti

illegal logging. Penelitian terdahulu khususnya untuk DNA, masih memiliki beberapa kekurangan, menggunakan sampel berupa daun, dari sedikit lokasi dan berbasis individu sehingga kurang mewakili variasi genetik jati di Jawa dan belum cukup menyediakan informasi yang diperlukan bagi lacak balak. Analisis genetik menggunakan contoh uji kayu hingga saat ini masih jarang dilakukan. Berbagai alasan mendasari mengapa contoh uji kayu jarang digunakan karena selain memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, di dalam kayu sendiri terkandung sifat degraded-DNA yaitu DNA tidak tersebar merata pada semua jaringan kayu.

Dari hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini telah diujicobakan kayu sebagai contoh uji dalam menganalisis variasi genetik, dengan skala luas dan berbasis populasi (non individu). Analisis isotop, komponen kimia, dan spektra NIR juga telah dilakukan pada kayu jati guna mendukung hasil analisis DNA untuk mengetahui variasi karakteristik jati di Jawa. Kayu jati dari Sembilan populasi sentra jati di Jawa dikoleksi dan dianalisis. Ekstraksi DNA dilakukan pada bagian kayu gubal, transisi, dan kayu teras menggunakan metode CTAB yang dimodifikasi. Bagian kayu yang menunjukkan keberhasilan ekstraksi DNA terbaik dipilih untuk analisis genetik lebih lanjut dengan penanda RAPD. Analisis isotop menggunakan bahan komposit kayu yang dioksidasi dalam reaktor pembakaran pada suhu tinggi. Gas CO2 yang dihasilkan kemudian dianalisis dalam spectrometer massa untuk mendapatkan nilai isotop karbon (δ13C ) dan oksigen (δ18O). Analisis komponen kimia kayu

dilakukan secara gravimetri dengan menggunakan metode TAPPI. Spektra NIR diperoleh dengan melakukan scanning komposit kayu menggunakan spektroskopi NIR pada panjang gelombang 1000-2500 nm.

Hasil analisis genetik, isotop, kimia dan spektra NIR menunjukkan nilai yang bervariasi dari 9 sentra jati di Jawa. Populasi jati KPH Kebonharjo menunjukkan nilai variasi genetik yang tertinggi sebesar 0,23 dibandingkan 8 KPH yang lain. Populasi jati Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki nilai keragaman genetik lebih tinggi dari Jawa Barat-Banten. Lebih lanjut populasi jati Jawa Barat – Banten membentuk gerombol yang sama dengan jati Jawa Timur. Diduga jati yang dikembangkan di Jawa Barat-Banten berasal dari sumber benih Jawa Timur. Kayu jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki isotop karbon dan oksigen yang lebih tinggi dibanding dari Jawa Barat. Kandungan komponen kimia kayu jati sangat bervariasi antar lokasi dan


(5)

tidak menggambarkan pola variasi menurut propinsi. Spektra NIR kayu jati yang berasal dari Jawa Tengah lebih mirip dengan Jawa Timur, kecuali Kendal yang lebih mirip dengan Jawa Barat – Banten. Intensitas absorbsi NIR kayu jati yang berasal dari Jawa Barat lebih tinggi daripada kayu jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kayu jati yang dihasilkan dari beberapa sentra jati di Jawa menunjukkan perbedaan geografis menurut propinsi berdasarkan hasil analisis genetik, isotop dan spektra NIR. Hasil analisis genetik dapat membedakan kayu jati dari Jawa Tengah dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Dilain pihak, analisis isotop dan spektra NIR mampu membedakan jati Jawa Barat dengan Jawa Timur sehingga bisa melengkapi teknologi DNA guna kemungkinan aplikasinya untuk lacak balak. Teknologi DNA menunjukkan keunggulan dari segi akurasi, spektra NIR lebih praktis secara teknis dan ekonomis, sedangkan teknologi isotop menunjukkan kelayakan diantara teknologi DNA – spektra NIR.


(6)

©Hak cipta milik IPB tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

VARIASI GENETIK, ISOTOP, DAN SPEKTRA

NEAR

INFRARED

(NIR) KAYU JATI DI JAWA

AGUS KHOLIK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(8)

(9)

Judul Penelitian : Variasi Genetik, Isotop, dan Spektra Near Infrared

(NIR) Kayu Jati di Jawa Nama Mahasiswa : Agus Kholik

Nomor Pokok : E051060351

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc Ketua

Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M. Agr Anggota

Dr. Lina Karlinasari, M. Sc. F Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Variasi Genetik, Isotop, dan Spektra Near Infrared (NIR) Kayu Jati di Jawa.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc, Ibu Dr. Ulfah J. Siregar, M.Agr dan Ibu Dr. Lina Karlinasari, M.Sc.F yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. Djiono, MSi selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Kehutanan Republik Indonesia yang telah mengadakan program beasiswa pascasarjana dengan IPB dan Kerjasama Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti kepada Iskandar Z. Siregar yang telah mendanai penelitian ini. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Tedi Yulianto, S.Hut, dan M. Syukron, S.Pt yang telah mendukung dalam hal diskusi pada kegiatan laboratorium untuk menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, bapak/ibu mertua, istri, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2008 Agus Kholik


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 2 Januari 1977 putra kedua dari lima bersaudara pasangan Djumar dan Muslicha. Pada tanggal 6 Agustus 2006 penulis menikah dengan Sri Sudarti.

Penulis lulus dari SD Negeri Kepandean I tahun 1989, SMP Negeri Dukuhturi tahun 1992, dan SMA Negeri I Slawi tahun 1995. Penulis menyelesaikan program sarjana di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Sejak tahun 2002 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Departemen Kehutanan dan ditempatkan di Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda, Kalimantan Timur. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Jati sebagai Produk Unggulan Indonesia ... 4

Penanda Genetik ... 5

Penanda Kimia ... 9

Lacak Balak Kayu... 12

METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Koleksi Sampel Kayu Jati ... 14

Analisis Keragaman DNA ... 16

Analisis Isotop ... 19

Analisis Kimia Kayu... 20

Analisis Spektra NIR ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keragaman DNA Kayu Jati ... 25

Analisis Keragaman Isotop Kayu Jati ... 30

Analisis Komponen Kimia Kayu ... 35

Analisis Spektra NIR ... 39

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 49


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Rataan kelimpahan alami isotop unsur utama... 10

Tabel 2 Standar internasional dalam analisis isotop ... 11

Tabel 3 Rincian pengambilan sampel kayu pada hutan jati di Jawa ... 15

Tabel 4 Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD ... 18

Tabel 5 Kualitas pita primer dalam seleksi primer ... 26

Tabel 6 Variabilitas genetik dalam populasi jati di Jawa ... 28

Tabel 7 Kandungan komponen kimia kayu ... 37

Tabel 8 Klasifikasi komponen kayu Indonesia ... 37

Tabel 9 Perbedaan geografis jati di Jawa berdasarkan DNA, isotop, dan spektra NIR ... 42


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Distribusi global hutan tanaman jati menurut negara... 5

Gambar 2 Lokasi pengambilan contoh uji kayu jati di Jawa ... 15

Gambar 3 Cara penilaian pita dengan sistem skoring ... 19

Gambar 4 Contoh hasil ekstraksi DNA ... 25

Gambar 5 Contoh hasil PCR ... 27

Gambar 6 Frekuensi munculnya pita DNA hasil optimasi PCR ... 28

Gambar 7 Pengelompokan populasi jati berdasarkan analisis RAPD ... 30

Gambar 8 Komposisi isotop δ13C dan δ18O kayu jati di Jawa ... 31

Gambar 9 Hasil analisis PCA dari isotop δ13C dan δ18O kayu jati ... 32

Gambar 10 Hubungan antara kandungan isotop dengan garis bujur lokasi tumbuh jati di Jawa ... 34

Gambar 11 Hubungan antara kandungan isotop dengan ketinggian tempat Tumbuh jati di Jawa ... 35

Gambar 12 Kandungan komponen kimia struktural kayu jati ... 36

Gambar 13 Kandungan komponen kimia non struktural kayu jati ... 36

Gambar 14 Hasil analisis PCA dari komponen kimia struktural ... 38

Gambar 15 Hasil analisis PCA dari komponen kimia non struktural ... 38

Gambar 16 Spektra absorbsi NIR dari 45 sampel kayu jati di Jawa ... 39

Gambar 17 Spektra absorbsi NIR dari 9 populasi jati di Jawa ... 40


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil skoring pola pita DNA Jati dari hasil ekstraksi 3 bagian

kayu ... 50

Lampiran 2 Hasil skoring pola pita DNA Jati dari 9 populasi berdasarkan Primer OPO-9... 51

Lampiran 3 Hasil skoring pola pita DNA Jati dari 9 populasi berdasarkan Primer OPO-19... 52

Lampiran 4 Hasil skoring pola pita DNA Jati dari 9 populasi berdasarkan Primer OPY-13... 53

Lampiran 5 Jarak genetik jati Jawa berdasarkan metode RAPD ... 54

Lampiran 6 Hasil analisis isotop karbon dan oksigen ... 55

Lampiran 7 Hasil analisis komponen kimia kayu jati ... 56

Lampiran 8 Hasil analisis PCA komponen kimia dan isotop kayu jati... 58

Lampiran 9 Hasil analisis PCA data spektra NIR ... 59

Lampiran 10 Perbandingan teknologi penanda DNA, isotop dan spektra NIR.... 61


(16)

Latar Belakang

Sertifikasi lacak balak (chain of custody) merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik. Beberapa jenis kayu yang sedang menuju proses sertifikasi ekolabel di Indonesia adalah jati, merbau, meranti, ramin, ekaliptus dan mangium. Jati menjadi salah satu prioritas sertifikasi karena harganya yang mahal, permintaannya yang tinggi baik domestik maupun internasional serta adanya tuntutan konsumen akan produk jati yang ramah lingkungan. Sertifikasi lacak balak menuntut adanya suatu prosedur dokumentasi aliran kayu yang dapat diandalkan. Akan tetapi prosedur dokumentasi ini belum dilengkapi dengan metode pembuktian yang akurat untuk memecahkan kasus asal-usul kayu yang meragukan.

Penggunaan teknologi genetik, isotop dan near infrared (NIR) merupakan metode baru yang mungkin dapat dikembangkan dan diterapkan di masa datang untuk sertifikasi lacak balak dan pembuktian kasus kejahatan hutan, seperti illegal logging. Penanda tersebut bersifat internal yang melekat dalam materi dasar kayu sehingga sulit dimanipulasi. Teknologi genetik melalui analisis molekuler DNA telah digunakan luas dalam studi forensik di bidang kedokteran dan terbukti akurat mengungkap berbagai kasus kejahatan, meskipun mahal dan lama prosesnya (Eckert 1997). Teknologi isotop selama ini mampu menelusuri proses-proses fisiologis tanaman secara akurat, analisis yang cepat, tetapi mahal (Evans dan Schrags 2004). NIR memiliki keunggulan murah, cepat dan ramah lingkungan, namun akurasinya tergantung tingkat interpretasi spektranya. Beberapa studi menunjukkan cukup akurat dalam memprediksi sifat kayu (Yeh et al. 2005; Jones et al. 2006).

Dasar untuk mengenali asal usul kayu atau produk kayu jati yang tumbuh di Jawa adalah adanya perbedaan keragaman karakteristik kayu jati secara geografis. Langkah identifikasi ini memerlukan bank data lengkap yang dapat menggambarkan struktur tegakan hutan atau kawasan dimana kayu jati ditebang, mencakup representasi tiap-tiap individu di setiap daerah dan populasi sebagai referensi untuk pencocokan spesimen nantinya. Studi keragaman morfologi jati


(17)

2

yang dilakukan Mahfudz et al. (2004) membedakan jati menjadi jati ri (knobel), jati pring, jati gembol, dan jati kijong. Berdasarkan sifat kayunya dikenal adanya jati lengo, jati sungu hitam, jati werut, jati doreng, jati kembang, dan jati kapur. Suryana (2001) membedakan jati di Jawa dari penampakan lingkaran tahun dan kayu terasnya. Jati di daerah Jawa Tengah (Cepu dan Jepara) dan Jawa Timur (Bondowoso dan Situbondo) memiliki lingkaran tahun yang lebih artistik dan kayu teras yang lebih kuat sehingga produk kayunya tergolong kelas I. Jati dari Jawa Barat (Sukabumi) menghasilkan produk kayu kelas II-III dengan lingkaran tahun yang terbentuk kurang menarik. Pendugaan variasi genetik jati telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan bahan tanaman berupa daun. Studi NIR dan isotop belum pernah dilakukan untuk jati. Penelitian terdahulu khususnya untuk DNA, masih memiliki beberapa kekurangan, menggunakan sampel berupa daun, dari sedikit lokasi dan berbasis individu sehingga kurang mewakili variasi genetik jati di Jawa dan belum cukup menyediakan informasi yang diperlukan bagi lacak balak (Widyatmoko 1996; Widiyanto 2000; Dewi 2003; Purnamasari 2008).

Dari hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini akan diujicobakan kayu sebagai contoh uji dalam menganalisis variasi genetik, dengan skala luas dan berbasis populasi (non individu). Analisis genetik menggunakan contoh uji kayu hingga saat ini masih jarang dilakukan. Berbagai alasan mendasari mengapa contoh uji kayu jarang digunakan karena selain memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, di dalam kayu sendiri terkandung sifat degraded-DNA yaitu DNA tidak tersebar merata pada semua jaringan kayu. Analisis komponen kimia, isotop dan spektra NIR juga dilakukan pada kayu jati guna mendukung hasil analisis DNA untuk mengetahui variasi karakteristik jati di Jawa.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui variasi genetik populasi jati di Jawa. 2. Mengetahui perbedaan nilai isotop kayu jati di Jawa. 3. Mengetahui perbedaan kandungan kimia kayu jati di Jawa. 4. Mengetahui perbedaan spektra NIR kayu jati di Jawa.


(18)

Manfaat Penelitian

Inventarisasi keragaman genetik dan kandungan kimia kayu jati diperlukan sebagai penanda diagnostik untuk menunjang kegiatan sertifikasi produk hutan lestari dan lacak balak jati.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Jati sebagai Produk Unggulan Indonesia

Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India Selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis Linn. f., famili Verbenaceae.

Pohon jati dapat mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang 15-20 m, diamater dapat mencapai 220 cm, umumnya 50 cm, bentuk batang tidak

teratur dan beralur (Martawijaya et al. 1981).

Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Thailand, dan Laos. Jati diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh pendatang dari India pada abad ke-14 di beberapa tempat di Pulau Jawa. Karena kondisi tempat tumbuhnya yang cocok, jati kemudian dikembangkan luas di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Siswamartana 2005). Saat ini penyebarannya di Indonesia sudah mencapai seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung (Martawijaya et al. 1981).

Jati banyak dibudidayakan secara luas karena nilai kayunya yang tinggi. Kayu jati memiliki sifat kayu yang baik, sangat kuat, awet dan dekoratif serta mudah dikerjakan untuk berbagai penggunaan. Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal, serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah (garden furniture). Di Indonesia sendiri, jati jawa menjadi primadona. Produk-produk ekspor yang disebut berbahan

java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Saat ini jati ditanam di sekurangnya 36 negara tropis baik di benua Asia, Afrika dan Amerika dengan luas mencapai sekitar 5,7 juta ha atau 3% dari hutan tanaman dunia. Sekitar 97% dari luasan tersebut berada di Asia seperti India, Indonesia, Myanmar, Thailand dll (Bhat dan Ma 2004). Secara lebih terperinci, distribusi global jati disajikan pada Gambar 1.


(20)

Indonesia 31% Thailand

7% Myanmar

6%

Bangladesh 3%

Sri Lanka 2%

A f rika tropis 5%

A merika tropis 3%

India 43%

Data tersebut di atas menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemain penting dalam bisnis kayu jati dunia. Posisi tersebut harus tetap dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, sehingga Indonesia masih dapat memanfaatkan daya tarik jati karena harganya yang tinggi.

Di negara-negara tujuan ekspornya, terutama di Eropa, kayu jati yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (sustainable forest management, SFM) merupakan produk yang sangat diinginkan oleh konsumen walaupun dijual dengan harga mahal. Di masa datang bukan tidak mungkin bahwa hanya kayu jati dan produk olahannya dengan sertifikat SFM dan CoC atau sertifikat ekolabel saja yang bisa masuk ke pasar Eropa atau negara maju lainnya. Oleh karena itu mau tidak mau Perum Perhutani sebagai pengelola utama hutan jati di Jawa harus juga mempersiapkan hutan jatinya yang tersebar di Jawa untuk dapat disertifikasi agar nilai tambah dari kayu berkualitas tersebut dapat lebih tinggi lagi (premium price).

Penanda Genetik

Penanda genetik, biasa juga disebut dengan marker, 'marka', atau 'markah', merupakan ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Penanda genetik yang baik memiliki sifat polimorfik, multiallel, kodominan, non-epistatik, netral dan tidak sensitif terhadap pengaruh lingkungan (de Vienne 2003). Aplikasi penanda genetik sangat luas. Bidang-bidang kedokteran, pertanian, ilmu pangan, lingkungan, antropologi, sejarah, hukum menggunakannya sebagai alat analisis atau

Gambar 1 Distribusi global hutan tanaman jati menurut negara/wilayah (Bhat dan Ma 2004).


(21)

6

alat pembuktian. Beberapa penanda genetik sangat terpercaya karena bersifat lembam, tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan.

Penanda genetik terbagi ke dalam penanda morfologi, sitologi, atau penanda molekuler. Penanda morfologi memiliki beberapa kelemahan antara lain adalah sifat penurunan yang dominan atau resesif, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan memiliki tingkat keragaman (polimorfisme) rendah serta jumlah yang sedikit. Penggunaan penanda sitologi hanya terbatas pada jenis-jenis yang mempunyai kromosom dengan ukuran yang relatif besar. Penanda molekuler merupakan suatu metode yang relatif baru dan potensial digunakan untuk menganalisa keragaman genetik suatu organisme (Suryanto 2003).

Jati menunjukkan karakter yang bervariasi baik dalam populasi maupun antar populasi. Berdasarkan penampakan luarnya, terdapat beberapa perbedaan morfologi bentuk pohon, batang dan sifat kayu. Perbedaan tersebut masih dipelajari apakah karena perbedaan varietas, ras lahan, serangan penyakit atau adanya pola adaptasi yang berbeda antar individu dalam populasi. Karakter jati yang bervariasi menurut sifat kayu dan bentuk pohonnya yaitu dikenal adanya jati lengo, jati sungu hitam, jati werut, jati doreng, jati kembang, jati kapur, dan sebagainya. Menurut batangnya, jati dibedakan menjadi jati ri (knobel), jati pring, jati gembol, dan jati kijong. Berdasarkan penampakan bentuk batangnya jati dibedakan menjadi jati belimbing, jati knobel, jati boleng dan jati mulus. Oleh karena itu, karakteristik pada jati dapat digunakan untuk membangun dasar genetik yang luas bagi kepentingan program pemuliaan (Mahfudz et al. 2004).

Penanda molekuler yang berbasis pada teknik PCR (polymerase chain reaction) telah menghasilkan metode yang lebih obyektif untuk analisis keragaman genetik. Dewasa ini, berbagai macam penanda molekuler digunakan untuk analisis keragaman genetik. Dasar analisis genetik adalah materi genetik berupa DNA yang tersimpan dalam bahan tanaman seperti daun, benih, kambium dan kayu.

Secara biologis selain daun, benih dan kambium jati, bagian lainnya seperti kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA, Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel, mitokondria dan kloroplas. Ketiga genom DNA pewarisannya berbeda, DNA inti selalu diturunkan secara biparental, DNA kloroplas (cpDNA) dalam banyak Angiospermae diturunkan


(22)

secara maternal dan secara paternal dalam Gymnospermae (Hamrick dan Nason 2000), sedangkan DNA mitokondria diturunkan secara maternal tetapi dalam beberapa kelompok Gymnospermae (Araucariaceae, Cupreassaceae, dan Taxodiaceae) diturunkan secara paternal (Birky 1995).

DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Indrioko 2005; Kamiya et al. 2005; Dayandan et al. 1999), studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al.

2004; Lian et al. 2003). Baru-baru ini DNA kloroplas telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Asif dan Cannon 2005; Deguilloux et al. 2004).

Untuk dapat melakukan analisis genetik molekuler diperlukan DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi, akan tetapi ekstraksi DNA dari jaringan tanaman dengan tingkat kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh. Kesulitan dalam mendapatkan DNA dengan tingkat kemurnian yang tinggi terutama disebabkan karena komposisi dinding sel yang mengandung sejumlah senyawa karbohidrat yang komplek (Deguilloux et al. 2004). Dewasa ini metode yang umum digunakan untuk mengisolasi DNA dari tanaman yang mengandung polisakarida dan polifenol yang tinggi adalah dengan menggunakan metode CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide) yang dikombinasikan dengan ekstraksi kloroform. Metode ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode lain (SDS,

sodium dodecyl sulfate; GuSCN, guanidium isothiocyanate; dan PEX, potassium ethyl xanthogenate) yaitu mudah dilakukan, kemungkinan adanya enzim pendegradasi DNA lebih kecil dibandingkan metode lain, dapat diterapkan pada segala jenis jaringan tanaman (Milligan 1989).

Analisis genetik menggunakan contoh uji kayu hingga saat ini masih jarang dilakukan. Berbagai alasan mendasari mengapa contoh uji kayu jarang digunakan karena selain memiliki tingkat kesulitan dan kecermatan yang tinggi, di dalam kayu sendiri terkandung sifat degraded-DNA yaitu DNA tidak tersebar merata pada semua jaringan contoh uji kayu yang akan digunakan. Berbeda apabila menggunakan contoh uji daun, dimana DNA hampir tersebar merata diseluruh jaringan (full-DNA) sehingga DNA lebih mudah didapatkan dan dianalisis dengan


(23)

8

mengetahui metode ekstraksi yang cocok terlebih dahulu, khususnya pada contoh uji kayu (Deguilloux et al. 2002).

Studi keragaman genetik pada jati telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan berbagai metode dari yang paling sederhana seperti isoenzim hingga penanda RAPD (random amplified polymorphic DNA), Mikrosatelit, dan SCAR (sequence-characterized amplified region). Beberapa aplikasi penanda isozim pada jati antara lain telah dilakukan oleh Kertadikara (1996) yang menginventarisasi keragaman genetik pada 18 enzim gen lokus tanpa analisis formal genetik dari fenotip isozim yang diteliti dari 9 provenans yang berbeda pada habitat alami dan buatannya. Widyatmoko (1996) mengidentifikasi klon jati di Cepu pada 116 pohon plus dari bank klon dan kebun benih klon (KBK) berdasarkan 13 lokus dari 9 sistem enzim. Dewi (2003) mengidentifikasi keturunan pada 10 klon jati di Padangan. Sedangkan penggunaan penanda RAPD dan mikrosatelit dilakukan untuk melihat keragaman genetik pohon plus jati yang dimiliki Perum Perhutani (Widiyanto et al. 2000). Penggunaan penanda SCAR juga pernah dilakukan untuk identifikasi klon jati Perum Perhutani (Siswamartana dan Wibowo 2003).

Penggunaan penanda RAPD mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan penanda lainnya. Teknik ini lebih sederhana, mudah dalam hal preparasi, dan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif tidak terbatas, sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Pada tanaman tahunan RAPD dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi seleksi awal (Suryanto 2003).

Penanda Kimia

Studi kimia kayu dan komponen-komponennya dapat menyajikan faktor-faktor yang menentukan tidak hanya untuk penggunaannya tetapi juga kelayakan pengolahan kayunya secara ekonomi (Fengel dan Wegener 1995). Penanda kimia kayu telah banyak dilakukan untuk kepentingan tersebut dengan eksplorasi dasar komponen kimia suatu jenis kayu baik sebatas untuk keperluan identifikasi maupun pemanfaatannya.


(24)

Komponen kimia utama kayu terdiri dari komponen-komponen makromolekul yang berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu kayu juga tersusun atas zat-zat dengan berat molekul rendah, diantaranya zat ekstraktif dan zat mineral. Meskipun hanya terdapat dalam jumlah kecil, namun zat-zat dengan berat molekul rendah ini berpengaruh terhadap sifat dan pengolahan kayu.

Sifat-sifat kayu, termasuk sifat kimia kayu, berbeda antar jenis kayu, dalam satu jenis, bahkan dalam satu pohon. Faktor lingkungan, tempat tumbuh dan genetis kayu merupakan salah satu yang ikut berperan memunculkan perbedaan-perbedaan tersebut (Barnett dan Jeronimidis 2003, Bowyer et al. 1996; Tsoumis 1991). Menurut Fengel dan Wegener (1995), terdapat perbedaan komposisi kimia dalam kayu di beberapa tempat atau bagian dari suatu pohon. Secara umum, kayu gubal terutama softwood mengandung lebih banyak lignin, selulosa, dan ekstraktif dibandingkan kayu teras, sedangkan pada beberapa hardwood jumlah lignin, selulosa dan ekstraktif pada kayu gubal dan kayu teras tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Kayu akhir memiliki selulosa lebih tinggi dan kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan kayu awal.

Analisis kimia kayu untuk penandaan kimia dapat dilakukan dengan berbagai metoda. Fengel dan Wegener (1995) menyebutkan metoda-metoda tersebut dapat berbeda dalam hal ketepatan yang disyaratkan dan tujuan khusus analisis. Pada prinsipnya metoda analisa kimia kayu dikelompokkan menjadi dua, yaitu metoda destruktif dan non destruktif.

Penggunaan isotop stabil pada bahan-bahan alami tumbuh pesat sebagai sebuah pendekatan yang baik dalam mengetahui sejumlah proses fisiologis dan jaringan makanan serta interaksi lingkungan dalam ekologi, terutama dalam ekologi fisiologis. Saat ini isotop stabil telah diaplikasikan secara luas termasuk untuk fiksasi nitrogen, efisiensi penggunaan air dan studi sumberdaya air serta dapat untuk meramalkan dekade yang akan datang (Ehleringer dan Osmond 1991).

Sebagian besar unsur-unsur biologis memiliki dua atau lebih isotop stabil, meskipun hanya satu isotop yang biasanya terdapat dalam jumlah jauh lebih besar daripada bentuk yang lain. Pada Tabel 1 ditunjukan rata-rata kelimpahan unsur-unsur yang digunakan untuk studi ekologis.


(25)

10

Tabel 1 Rataan kelimpahan alami isotop unsur utama yang digunakan dalam studi lingkungan (Dawson dan Siegwolf 2007).

Unsur Isotop Kelimpahan alami

(%)

Hidrogen 1H

2H

99,98 0,02

Karbon 12C

13

C

98,89 1,11

Oksigen 16O

17 O 18 O 99,76 0,04 0,20

Nitrogen 14N

15

N

99,63 0,37

Belerang 32S

33 S 34 S 36 S 95,00 0,76 4,22 0,01

Strontium 84Sr

86 Sr 87 Sr 88 Sr 0,56 9,86 7,02 82,56

Spektrometer massa merupakan alat yang digunakan untuk mengukur rasio kandungan massa dari suatu bahan. Dalam sebuah spektometer massa, pertama kali komponen diionisasi dibawah kondisi vakum tinggi dan kemudian ion-ionnya didefleksikan terhadap medan magnet (Djiono et al. 1996). Kebanyakan spektometer massa rasio isotop hanya mampu mengukur komponen dengan berat molekul rendah (biasanya < 64). Komponen yang dimasukan dalam bentuk gas, umumnya berupa H2, CO2, N2 dan SO2 untuk pengukuran rasio isotop dari H, C, N, O dan S dalam bahan organik maupun inorganik. Komposisi isotop sampel dinyatakan dalam notasi diferensial (Ehleringer dan Osmond 1991), yaitu:

δXstd = (Rsam/Rstd – 1) 1000 [0/00]

dimana δXstd merupakan rasio isotop dalam unit delta relatif suatu standar,

sedangkan Rsam dan Rstd merupakan rasio kelimpahan isotop sampel dan standar. Perkalian dengan nilai sebesar 1000 untuk menyatakan rasio isotop dalam bagian per seribu, atau yang lebih umum dikenal per mil (‰). Notasi diferensial ini bisa digunakan untuk mengetahui perbedaan antar sampel.

Saat ini terdapat empat standar internasional isotop untuk kepentingan pengamatan biologis. Standar tersebut yaitu Standard Mean Ocean Water (SMOW) untuk hidrogen dan oksigen, PeeDee Belemnite (PDB) untuk karbon, udara


(26)

atmosfir (air) untuk nitrogen dan Canyon Diablo meteorite (CD) untuk belerang. Perkiraan rasio absolut dari standar tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Standar internasional yang digunakan dalam analisis isotop (Ehleringer dan Osmond, 1991)

Standar Primer Rasio isotop Nilai (x 10

6

)

(dengan selang kepercayaan 95%)

SMOW 2H/1H

18

O/16O

17

O/16O

155,76±0,10 2005,20±0,43 373,00±15,00

PDB 13C/12C

18O/16O 17

O/16O

11237,20±9,00 2067,10±2,10 379,00±15,00

Air 15N/14N 3676,00±8,10

Teknologi infra merah dekat (near infrared, NIR) dikembangkan sebagai salah satu metode yang non destruktif, dapat menganalisis dengan kecepatan tinggi, tidak menimbulkan polusi, penggunaan preparat contoh yang sederhana dan tidak memerlukan bahan kimia. NIR Spektroskopi menggunakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 780 - 2500 nm (Nur dan Adijuwana 1989). Teknologi ini secara luas telah digunakan pada industri pangan (Osborne et al. 1993). NIR juga telah digunakan sebagai alat yang penting pada industri pertanian, kertas, perminyakan dan farmasi (Johnson 2003).

Hipotesa yang mendasari hal tersebut adalah karena NIR menghasilkan spektrum infra merah dari senyawa organik yang kharakteristik, artinya kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali (Nur dan Adijuwana 1989). Senyawa organik yang menyerap radiasi infra merah akan mengalami rotasi dan vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda yang mempunyai spektrum absorpsi yang sama juga kecil sekali.

Di bidang kehutanan Indonesia, teknologi ini relatif baru dan masih dikembangkan. Teknologi NIR sangat potensial sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi produksi dan keuntungan selama proses pengolahan kayu, antara lain untuk pengujian kualitas kayu, monitoring kualitas kayu selama kegiatan pemuliaan, dan pengujian kayu komposit (Leung so et al. 2004a).

Banyak studi telah dilakukan berkaitan dengan penggunaan NIR untuk kayu. Yeh et al. (2005) telah mengembangkan NIR transmitan untuk menduga komposisi


(27)

12

kimia kayu solid yang hasilnya menunjukkan korelasi kuat dari nilai kimia referensinya. Leung so et al. (2004b) melaporkan NIR potensial untuk menduga jenis bahan pengawet dan retensinya pada pengawetan kayu. Johnson (2003) menyebutkan NIR layak untuk memprediksi kekuatan kayu bekas bangunan (salvaged wood). Raymond (2002) menyebutkan bahwa NIR dapat digunakan secara efektif untuk memprediksi komposisi kimia kayu pada tanaman ekaliptus untuk monitoring kualitas kayu dalam kegiatan pemuliaan pohon.

Lacak Balak Kayu

Penebangan liar (illegal logging) merupakan isu utama yang menjadi perhatian pemerintah saat ini, karena hilangnya pendapatan negara yang sangat besar, hilangnya akses terhadap pasar, adanya pasar yang tidak kompetitif, terjadinya konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan karena perlunya pembagian tanggung jawab diantara negara mitra. Masalah penebangan liar dan perdagangan ilegal kini telah diketahui secara luas, dan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan (Hidayati et al. 2006).

Istilah penebangan liar adalah apabila cara penebangan yang dilakukan di dalam hutan dan pengangkutan kayunya dilakukan dengan melanggar hukum dan peraturan yang berlaku dimana penebangan itu dilakukan. Di Indonesia kayu legal dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan Departemen Kehutanan. Untuk hasil hutan yang diekspor, verifikasi dan rekomendasi diberikan oleh Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) dengan berdasarkan kepada laporan mutasi kayu dan SKSHH.

Pasar kayu dunia saat ini semakin ketat menerapkan kebijakan produk kayu yang diterima berasal dari hutan yang dikelola dengan baik atau lestari dan sumber yang legal. Hal ini membuat produk kehutanan Indonesia mau tidak mau harus dipersiapkan ke arah sertifikasi. Melalui sertifikasi konsumen bisa diyakinkan bahwa produk yang dibeli merupakan produk yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik atau lestari. Setelah proses sertifikasi hutan dilakukan, perusahaan pengguna hasil hutan juga perlu mendapat penjaminan bahwa produk yang diproses adalah produk yang menggunakan materi dasar kayu yang diambil dari hutan yang


(28)

telah mendapat sertifikat. Untuk mendapat jaminan tersebut maka ada proses sertifikasi chain of custody/CoC (lacak balak).

Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Vogt et al. 2000). Lacak balak merupakan komponen sistem sertifikasi yang kritis karena menjadi penghubung antara unit manajemen hutan sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen hasil hutan. Masalah yang dihadapi dalam lacak balak kayu dari hutan adalah legalitas kayu melalui pengolahan dan perdagangan sampai ke pasar eceran. Faktor kunci yang diperlukan dalam sistim lacak balak adalah cara-cara praktis untuk memeriksa legalitas kayu. Pemeriksaan legalitas kayu melalui telaah dokumen aliran kayu masih terkendala dalam prakteknya, karena banyak dijumpai penyimpangan seperti penjualan dokumen SKSHH ataupun permintaan khusus SKSHH secara kolusi. Sehingga banyak sekali kayu-kayu ilegal dengan dokumen asli menjadi legal dan pelakunya bebas tidak terjerat hukum untuk melanjutkan praktek-praktek ilegalnya.

Berbagai metode pembuktian asal-usul kayu pun telah banyak digunakan, seperti metode labeling manual (stiker), anatomi, hingga teknologi terbaru, yaitu menggunakan barcode (Dykstra et al. 2002). Dari metode-metode ini, hanya sistem barcode yang dapat memberikan hasil spesifik. Meski demikian, barcode

dapat diterapkan jika perusahaan kayu memiliki tata usaha yang baik. Hal ini mengakibatkan penindakan hukum kasus pembalakan liar kerap kali masih terkendala pembuktian asal usul kayu.

Untuk efektifitas usaha pemberantasan penebangan ilegal, pihak penegak hukum seharusnya dapat menggunakan berbagai metode pembuktian lain yang lebih akurat dan spesifik. Di beberapa negara maju sudah mengembangkan penanda genetik untuk lacak balak kayu. Metode ini telah digunakan secara luas di bidang kedokteran untuk mengungkap berbagai kasus kejahatan (Eckert 1997).


(29)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Analisis genetik kayu jati dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Laboratorium BIORIN Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Analisis kimia isotop dilakukan di Laboratorium Pengujian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN, Jakarta. Analisis kimia kayu dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Analisis spektra NIR dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Ternak BPMPT DEPTAN, Bekasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2007 – Mei 2008.

Koleksi Sampel Kayu Jati

Sampel kayu diambil dari sembilan lokasi Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani yang masih produktif dan merupakan sentra jati di Jawa, yaitu Jawa Barat-Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. KPH Perum Perhutani yang dipilih sebagai populasi adalah i) Unit I Jawa Tengah: KPH Cepu, KPH Kendal, KPH Kebonharjo dan KPH Randublatung, ii) Unit II Jawa Timur: KPH Bojonegoro dan KPH Ngawi dan iii) Unit III Jawa Barat-Banten: KPH Banten, KPH Indramayu dan KPH Ciamis. Sebanyak lima individu pohon masak tebang (umur > 30 tahun) dipilih secara acak dari areal tebangan pada tiap KPH terpilih untuk diambil sampel kayunya dalam bentuk piringan.


(30)

Tabel 3 Rincian pengambilan sampel kayu pada hutan tanaman jati di Jawa dari berbagai kelas umur.

Unit Lokasi Kelas Umur

(KU)

Jumlah contoh Kayu

Letak geografis Ketinggian (dpl) Jawa

Barat-Banten

KPH Banten KU IV

(30-40 th)

5 06’36’37.4”S -

105’45’44.9”E

69 m

KPH Ciamis KU IV

(30-40 th)

5 07’20’20.3”S –

108’31’45.2”E

100 m

KPH Indramayu KU IV

(30-40 th)

5 06’36’49.0”S –

107’58’54.5”E

95 m

Jawa Tengah KPH Kendal KU V

(50-60 th)

5 07’01’19.6”S –

110’15’51.9”E

116 m

KPH Cepu KU IV

(30-40 th)

5 07’02’53.1”S –

111’32’00.8”E

169 m

KPH Randublatung KU IV

(30-40 th)

5 07’06’04.7”S –

111’26’06.7”E

128 m

KPH Kebonharjo KU VII

(70-80 th)

5 06’49’41.8”S -

111’36’02.9”E

196 m

Jawa Timur KPH Ngawi KU VI

(60-70 th)

5 07’20’38.3”S -

111’18’22.9”E

176 m

KPH Bojonegoro KU IV

(30-40 th)

5 07’19’22.1”S -

111’47’26.1”E

173 m Catatan:

KPH = Kesatuan Pemangkuan Hutan dpl = dari permukaan laut

Gambar 2 Lokasi pengambilan contoh uji kayu jati di Jawa, warna biru menunjukan wilayah Perum Perhutani Unit I; hijau muda adalah Unit II; dan putih dan hijau merupakan wilayah Unit III (www.google.com).


(31)

16

Analisis Keragaman DNA

Ekstraksi dan isolasi DNA

Ekstraksi dan isolasi DNA total dari kayu jati dilakukan dengan metode CTAB (Milligan, 1989) yang dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Kayu jati dibor dalam keadaan steril menggunakan ukuran mata bor 2,5 mm. Pengambilan serbuk dilakukan pada bagian kayu gubal sebanyak 0,2 g dan dimasukan dalam tube. Serbuk tersebut kemudian digerus dengan menambahkan 500-700 µL larutan buffer ekstrak (Tris-HCl 1M pH 8.0, NaCl 5M, EDTA 0,5M, CTAB 10%, Merkaptoetanol, PVP 1%, H2O) dan 100 µL PVP 2% di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml, kemudian divortex. Selanjutnya dilakukan inkubasi di dalam mangkok porselin berisi air yang dipanaskan di atas kompor listrik selama 45 menit pada suhu 65oC.

Stirer berukuran 5 mm dimasukan dalam tube untuk mengoptimalkan ekstraksi selama proses inkubasi. Sampel kemudian diangkat dan didinginkan selama kira-kira 15 menit, lalu ditambahkan cloroform IAA 500 µL dan phenol 10 µL, kemudian dikocok.

Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Selanjutnya, supernatan diambil dan pindahkan ke tube baru, lalu ditambahkan cloroform IAA lagi 500 µL dan phenol 10 µL, dan dikocok. Sentrifugasi dilakukan kembali pada 13.000 rpm selama 2 menit. Kemudian supernatan diambil dan pindahkan ke tube baru, lalu tambahkan isopropanol dingin 500 µL dan NaCl 300 µL dan dikocok. Selanjutnya disimpan dalam freezer selama 45 menit-1 jam. Sentrifugasi dilakukan kembali, selanjutnya cairan dibuang dan diusahakan pellet

DNA jangan sampai ikut terbuang. Tambahkan etanol 100% sebanyak 300 µL. Sentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit, buang cairan, pellet DNA jangan terbuang. Tambahkan etanol 100% sebanyak 300 µL. Sentrifugasi lanjutan dilakukan lagi dan cairan dibuang serta diusahakan agar pellet DNA tidak ikut pula terbuang. Pellet DNA yang dihasilkan disimpan dalam desikator selama 15 menit dan ditambahkan TE 20 µL kemudian dicampur dan disentrifugasi kembali.


(32)

Pengujian kualitas DNA

Selama pellet DNA dikeringkan di dalam desikator, disiapkan agar 1%, dimana untuk 15 ml buffer TAE dicampurkan dengan 0,15 g agarosa (untuk 8-12 lubang/sumur), dan untuk 33 ml buffer TAE dicampurkan dengan 0,33 g agarosa (untuk 17-25 lubang/sumur). Campuran agar 1% tersebut dikocok dan dipanaskan di dalam microwave sampai tercampur semua dan disesuaikan suhunya di atas

stirer. Selanjutnya disiapkan bak elektroforesis dan agar dituangkan ke dalam cetakan jika sudah tidak terlalu panas. Ditunggu sampai padat dan disimpan di dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE. Tiga µL blue juice 10x dan 4 µ L DNA dicampurkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di dalam agarosa dengan menggunakan pipet mikro. Bak elektroforesis ditutup dan dialiri listrik dengan tegangan 100 volt selama kurang lebih 30 menit. Pewarnaan dilakukan dengan etidium bromida 1% dan dicampurkan dengan aquades, selanjutnya pita DNA hasil ekstraksi dilihat pada UV transiluminator.

Seleksi primer

Seleksi primer dilakukan untuk mencari primer acak yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Pada kegiatan ini dilakukan survei terhadap 35 primer, yaitu primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology .

Proses amplifikasi DNA dengan teknik PCR

DNA hasil proses ekstraksi diamplifikasi dengan metode RAPD (Williams et al. 1990) yang dimodifikasi menggunakan mesin PCR MJ Research PTC-100. Sebelumnya DNA tersebut harus diencerkan dengan menggunakan aquabidest

untuk menghindari hablurnya pita DNA pada saat elektroforesis. Besarnya perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya DNA genomik hasil ekstraksi. Bahan-bahan yang dicampurkan dalam satu tube

pada proses amplifikasi adalah 2 µL DNA, 1,5 µL primer oligonukleid, 7,5 µL enzim Taq DNA polymerase, dan 2 µL H2O. Proses PCR dilakukan dengan menggunakan primer hasil seleksi.


(33)

18

Hasil proses PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis menggunakan 2% gel agarosa dalam larutan buffer 1 x TAE dan distaining didalam larutan etidium bromida. Pengaturan suhu pada mesin PCR MJ Research PTC-100 untuk reaksi PCR disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD.

Tahapan Suhu Waktu Jumlah Siklus

Pre-denaturation 950C 15 menit 1

Denaturation Annealing Extension

950C 370C 720C

1 menit 2 menit 2 menit

45

Final Extension 720C 10 menit 1

Analisis hasil PCR

Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul. Pola pita yang muncul (positif) diberi nilai 1 dan pola pita yang tidak muncul (negatif) diberi nilai 0. Proses skoring dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil perhitungan kemudian dianalisis dengan menggunakan

software POPGENE Versi 3.2. dan NTSYS Versi 2.02.

Parameter genetik yang diukur dalam penelitian ini adalah variasi genetik di dalam populasi dan antar populasi. Untuk keragaman genetik di dalam populasi parameter yang diukur adalah :

1. Persentase Lokus Polimorfik (PLP) = ((N(LP)/((N(LP) +(N(LM))) x 100% Keterangan :

N(LP) : jumlah lokus polimorfik N(LM) : jumlah lokus monomorfik

2. Jumlah alel yang diamati (na) = jumlah semua lokus/jumlah lokus yang diamati 3. Jumlah alel yang efektif (ne) = 1 / Σ(jumlah frekuensi alel (p))2

4. Heterozigitas harapan (He) = 1 - Σ(jumlah frekuensi alel (p))2

Sedangkan parameter yang diamati untuk keragaman genetik antar populasi digunakan cluster analysis untuk menduga ada tidaknya hubungan kekerabatan berdasarkan jarak genetik yang diperoleh.


(34)

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

L-1 L-2 L-3 L-4

Lokus

Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 L-2 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 L-3 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 L-4 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1

Gambar 3 Cara penilaian pita dengan sistem skoring.

Analisis Isotop

Sampel berupa serbuk kayu jati berukuran 45 - 60 mesh dalam bentuk komposit dari lima disk kayu jati dari masing-masing lokasi asalnya. Sehingga dari sembilan lokasi yang dievaluasi diwakili satu contoh uji untuk mengetahui keragaman isotop pada tiap asal kayu jati.

Preparasi gas CO2 untuk analisis isotop karbon dan oksigen dilakukan dengan metode pembakaran (Ehleringer et al. 2007). Sampel serbuk kayu jati sebanyak 70 mg dioksidasi dengan 70 mg Cu2O pada suhu 1200oC atau pada skala 120 V selama 1,5 jam dalam alat sulphate preparation line. Proses pembakaran berlangsung dalam kondisi vakum pada suhu ruangan. Sesudah reaksi sempurna, gas CO2 yang terbentuk dipisahkan dengan uap air agar tidak mengganggu pada pengukuran dengan spektrometer. Proses pemisahan dilakukan dengan metode trapping

menggunakan dry ice acetone dan nitrogen cair. Uap air yang berasal dari pembakaran tersebut akan membeku pada suhu campuran dry ice acetone (-70oC), sedangkan gas CO2 akan mengalir ke tabung discharge yang tercelup pada suhu nitrogen cair (-196oC).


(35)

20

Gas CO2 yang diperoleh dikumpulkan ke dalam botol sampel dengan tekanan gas yang terbentuk 700 mBar dalam kondisi vakum. Gas ini kemudian diinjeksikan dan diukur dengan menggunakan spektrometer massa SIRA-9 (Djiono dkk, 1996). Hasil pengukuran berupa rasio isotop 13C/12C dan 18O/16O terhadap gas CO2 pembanding yang juga dialirkan ke spektrometer massa tersebut. Selanjutnya nilai tersebut distandarkan terhadap standar Pee Dee Belemnite (PDB) dan dituliskan dengan notasi δ13C dan δ18O dalam satuan per mill (‰) dengan persamaan :

13

C/12Csampel - 13C/12Cstandar PDB

δ13Csampel (‰) PDB = x 1000 13

C/12Cstandar PDB 18

O/16Osampel – 18O/16Ostandar PDB

δ18Osampel (‰) PDB = x 1000 18

O/16Ostandar PDB

Nilai rasio isotop tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan metode

principal component analysis (PCA) dengan perangkat lunak Minitab 14 (Iriawan dan Astuti 2006) untuk melihat keragaman geografis.

Analisis Kimia Kayu

Persiapan bahan

Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar Tappi T 257 cm-85. Sampel berupa lempengan kayu dibuat serpih ukuran kecil (seperti batang korek api), dikering udarakan dan digiling menjadi serbuk dengan menggunakan hammer mill

kemudian diayak untuk mendapatkan ukuran 45 - 60 mesh. Serbuk komposit kayu yang merupakan campuran bagian kayu gubal, transisi dan teras tersebut dari masing-masing individu selanjutnya disiapkan untuk analisis kimia.

Kadar air serbuk

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan standar Tappi T 264 om-88. Penentuan kadar air serbuk diawali dengan pemanasan cawan porselen dalam oven bersuhu 103 + 2oC hingga beratnya konstan. Serbuk kayu sebanyak 1 - 2 g dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang (Bo). Berat kering tanur


(36)

(BKT) serbuk diperoleh melalui penimbangan serbuk kayu yang telah dipanaskan dalam oven bersuhu 103 + 2oC hingga beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus:

100% Bo BKT

Kadar Air x

BKT − =

Kadar holoselulosa

Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 9 wd-75. Serbuk + 2 g (a) yang telah bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Kemudian ditambahkan 150 ml air destilata, 1 g NaClO2, dan 0,3 ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan pada suhu 80oC selama 5 jam dan setiap jam ditambahkan 1 g NaClO2 dan 0,3 ml asam asetat glasial. Kemudian disaring dan dicuci dengan air panas sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan (b). Kadar holoselulosa dihitung berdasarkan rumus:

(%) b 100% Holoselulosa x

a =

Kadar selulosa

Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui sejumlah zat yang tertinggal setelah hemiselulosa diekstrak dari holoselulosa yang diperoleh sebelumnya. Prosedur ini dilakukan berdasarkan standar Tappi T 17 m-55. Serbuk + 2,5 g (a) yang sudah bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml. Kemudian ditambahkan 400 ml air panas lalu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 80oC selama 2 jam, disaring lalu dikering udarakan. Erlenmeyer 300 ml disiapkan, lalu serbuk yang sudah kering udara tadi dimasukkan kemudian ditambahkan 125 ml HNO3 3,5%, setelah itu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 80oC selama 12 jam. Serbuk kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas asam dan dikering udarakan.

Sampel yang sudah kering udara kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer

lalu ditambahkan 125 ml NaOH + Na2SO3 (20 g + 20 g dalam 1 liter larutan). Setelah itu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 50oC selama 2 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas basa dan


(37)

22

dikelantang dengan NaClO2 10% lalu dicuci hingga filtrat tidak berwarna. Kemudian ditambahkan 100 ml CH3COOH 10% dan dicuci hingga sampel bebas asam. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan (b). Kadar selulosa dihitung berdasarkan rumus:

(%) b 100% Selulosa x

a =

Kadar hemiselulosa

Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosanya, yaitu:

Kadar Hemiselulosa (%) = Holoselulosa (%) – Selulosa (%)

Kadar lignin

Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui sejumlah lignin yang tertinggal atau tidak terlarut dalam larutan H2SO4 72%. Prosedur ini dilakukan berdasarkan standar Tappi T 13 wd-74. Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 1 g (a) dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml. Kemudian ditambahkan 15 ml H2SO4 72% sambil diaduk pada suhu ruangan sekurang-kurangnya 1 menit dan ditutup dengan aluminium foil. Lalu didiamkan selama 2 jam, suhu dijaga agar tetap dengan cara mendinginkan bagian luar gelas dengan es dan diaduk sesekali. Sementara itu 300 ml air disiapkan di dalam erlenmeyer 1000 ml yang sebelumnya telah ditandai pada volume 575 ml.

Sampel dipindahkan ke erlenmeyer 1000 ml tadi, cuci dan larutkan sampel dengan air dan dilarutkan dalam air hingga konsentrasinya menjadi 3% (volume total 575 ml). Kemudian dipanaskan selma 4 jam dengan suhu 100oC dan diusahakan agar volume tetap dnegan menambahkan air panas sewaktu-waktu. Lalu didiamkan selama semalam agar bahan yang tidak larut mengendap. Setelah itu, sampel disaring dan dicuci dengan air panas sampai bebas asam. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan (b). Kadar lignin dihitung berdasarkan rumus:

(%) b 100%

Lignin x

a =


(38)

Kelarutan dalam air panas

Metode ini dimaksudkan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gula, gum atau zat warna dalam kayu, serta pati. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 2 g diekstrak dengan 100 ml air panas yang dimaksukkan dalam erlenmeyer 300 ml yang ditutup. Kemudian dipanaskan di atas waterbath + 3 jam dengan suhu 100oC dan setiap 15 menit diaduk. Setelah itu disaring dan dicuci dengan air panas sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut:

tan(%) BKTsemula BKTsetelah ekstraksi 100%

Kelaru x

BKTsemula

=

Dimana: BKT = berat kering tanur (g)

Kelarutan dalam air dingin

Metode ini dimaksudkan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gula, gum atau zat warna dalam kayu. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 2 g diekstrak dengan 300 ml air dingin dalam erlenmeyer 500 ml yang ditutup selama 2 hari (48 jam). Setelah itu serbuk disaring dan dicuci dengan air dingin sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut:

tan(%) BKTsemula BKTsetelah ekstraksi 100%

Kelaru x

BKTsemula

=

Dimana: BKT = berat kering tanur (g)

Kelarutan Kayu dalam ethanol-benzene

Metode ini digunakan untuk menentukan sejumlah zat yang terlarut, berupa material non volatil. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 10 g diekstraksi dengan larutan ethanol-benzen (1:2) sebanyak 300 ml dalam alat shoklet ekstraktor selama 6 hingga 8 jam. Setelah itu serbuk disaring dan dicuci dengan ethanol selama 4 jam lalu diangin-anginkan di


(39)

24

udara. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2oC lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut:

tan(%) BKTsemula BKTsetelah ekstraksi 100%

Kelaru x

BKTsemula

=

Dimana: BKT = berat kering tanur (g)

Analisis Spektra NIR

Penyiapan sampel NIR dan pengukuran

Alat yang digunakan untuk pengukuran ini adalah Spektroskopi merk Buchi NIRLab Model N-200 yang dilengkapi dengan perangkat komputer dan software

NIRCal V4.21. Data referensi dari analisis kimia kayu standar terlebih dahulu diset dalam komputer menggunakan software bawaan tersebut. Bahan yang digunakan adalah serbuk komposit kayu jati berukuran 45 – 60 mesh yang diperoleh dari tiap individu pohon sampel. Serbuk kayu diletakkan dalam sample holder. Penempatan sampel diatur sedemikian rupa agar volumenya minimal 2/3 dari volume sample holder dan permukaannya harus merata. Alat ini secara otomatis akan memindai (scan) setiap sampel sebanyak tiga kali pada kisaran panjang gelombang 1000 – 2500 nm.

Analisisdata

Keluaran data berupa nilai reflektan (R) berjumlah 1557 titik nilai untuk setiap sampel. Nilai tersebut dikonversi menjadi absorbsi NIR dengan log (1/R). Adanya noise menyebabkan kurva absorbsi memerlukan pemulusan yang dilakukan dengan metode running mean (Osborne et al. 1993) dengan 10 titik yang dirata-ratakan. Interpretasi spektra menggunakan ketetapan kimia absorbsi NIR (chemical assignment) yang dinyatakan Osborne et al. (1993). Data spektra NIR berupa nilai absorbsi NIR pada seluruh panjang gelombang kemudian dianalisis gerombol menggunakan metode PCA. Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Minitab 14.


(40)

Analisis Keragaman DNA Kayu Jati

Optimasi ekstraksi dan isolasi DNA

Ekstraksi dan isolasi DNA total dari kayu Jati dilakukan dengan metode CTAB (Milligan, 1989) yang dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Kayu jati diekstraksi dan diisolasi DNA-nya pada bagian gubal, peralihan gubal dengan teras dan bagian kayu teras. Kemurnian DNA hasil ekstraksi dapat diketahui melalui pengujian kualitas DNA. Kualitas DNA hasil ekstraksi dilakukan secara visual untuk menentukan perbandingan pengenceran DNA pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR. Pengenceran dimaksudkan agar pada tahap PCR, primer dapat menempel pada pita DNA. Apabila DNA terlalu banyak kotoran, maka primer tidak dapat menempel sehingga tidak akan terjadi proses amplifikasi DNA. Contoh hasil ekstraksi DNA kayu jati disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Contoh hasil ekstraksi DNA beserta pengenceran yang dianjurkan untuk proses PCR.

Hasil ekstraksi DNA seperti pada gambar di atas menunjukkan DNA kayu jati masih relatif kotor. Hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung larutan kloroform, kandungan fenol yang tinggi dan alkohol (Qiagen, 2001). Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan RNA. Sebagian besar pita DNA yang didapatkan hasilnya tebal sehingga perbandingan pengenceran yang dilakukan adalah 100x (99 µL aquabidest : 1 µL DNA).


(41)

26

Optimasi seleksi primer

Seleksi primer pada teknik RAPD yang dilakukan pada 35 primer produksi

Operon Technology didasarkan pada hasil amplifikasi konsisten dan dapat dibaca. Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa sebagian besar primer dapat teramplifikasi, akan tetapi kualitasnya beragam antara baik dan tidak baik. Rekapitulasi hasil seleksi primer dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil seleksi primer menunjukkan bahwa terdapat 3 primer yang mampu menghasilkan produk amplifikasi yang konsisten beserta polimorfismenya, yaitu primer OPO-9, OPO-19, dan OPY-13. Selanjutnya ketiga primer ini digunakan untuk analisis keragaman di dalam dan antar populasi. Tabel 5. Kualitas pita primer dalam seleksi primer

No. Primer Kualitas pita No. Primer Kualitas pita

1 OPO-1 * 16 OPO-18 **

2 OPO-2 ** 17 OPO-19 **

3 OPO-4 - 18 OPO-20 *

4 OPO-5 - 19 OPY-2 *

5 OPO-6 * 20 OPY-3 **

6 OPO-7 - 21 OPY-6 *

7 OPO-8 - 22 OPY-8 **

8 OPO-9 * 23 OPY-9 **

9 OPO-10 ** 24 OPY-11 **

10 OPO-11 * 25 OPY-12 **

11 OPO-12 ** 26 OPY-13 *

12 OPO-13 ** 27 OPY-14 *

13 OPO-14 ** 28 OPY-15 *

14 OPO-15 ** 29 OPY-16 *

15 OPO-16 * 30 OPY-17 **

Keterangan: - = tidak terdapat pita (tidak teramplifikasi)

* = terdapat pita namun teramplifikasi kurang jelas (kurang baik) ** = terdapat pita dan teramplifikasi jelas (baik)

Optimasi PCR (Polymerase Chain Reaction)

Kegiatan PCR menggunakan primer hasil optimasi, yaitu primer OPO-9, OPO-19 dan OPY-13. Pada saat dilakukan proses PCR dari kayu, sampel daun dan kontrol negatif juga diikutsertakan dalam kegiatan amplifikasi (PCR) yang berfungsi sebagai kontrol dan pembanding. Kontrol negatif hanya berisi H2O sehingga tidak menghasilkan pita. Hasil PCR dapat dilihat pada Gambar 5.


(42)

M D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 A

M D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 A

Gambar 5 Contoh hasil PCR, a) primer OPO-19, variasi tinggi dan b) primer OPY-13, variasi rendah.

Keterangan :

M=Marker, D=daun, A = air, No. 1-2 = kayu dari Cepu, No. 3-7 = kayu dari Randublatung, No. 8-12 = kayu dari Banten, No. 13-17 = kayu dari Bojonegoro, No. 18-22 = kayu dari Ngawi

Amplifikasi DNA dengan primer hasil optimasi, yaitu OPO-9, OPO-19 dan OPY-13 menghasilkan ukuran fragmen dibawah 1000 bp dengan jumlah fragmen DNA berkisar antara 1 – 5 pita. DNA pada kayu jati tidak tersebar merata, hanya terletak pada bagian sel-sel tertentu saja. Hal ini disebabkan sampel kayu yang digunakan adalah pohon-pohon yang sudah memasuki kelas umur tua dan sedang dilakukan penebangan. Frekuensi munculnya pita DNA yang tinggi dijumpai pada ukuran fragmen 300 - 400 bp berdasarkan tiga primer yang digunakan, seperti pada Gambar 6.

300 bp 700 bp 1000 bp

300 bp 600 bp 1000 bp

a


(43)

28

Gambar 6 Frekuensi munculnya pita DNA hasil optimasi PCR.

Keragaman DNA dalam populasi

Hasil analisis RAPD menunjukkan keragaman genetik seperti tercantum pada Tabel 6. Populasi jati KPH Kebonharjo menunjukkan nilai-nilai keragaman genetik yang tertinggi, yaitu : PPL=62,07%; na=1,62; ne=1,39; He=0,23, sedangkan populasi jati KPH Ciamis menunjukkan nilai-nilai keragaman genetik yang terendah yaitu : PPL=34,48%; na=1,34; ne=1,22; He=0,13. Nilai yang dicatat oleh populasi lainnya berada pada kisaran kedua populasi di atas.

Tabel 6 Variabilitas genetik dalam populasi jati di Jawa.

No Populasi N PPL na Ne He

1 KPH Banten 5 41,38 1,41 1,27 0,16

2 KPH Indramayu 5 41,38 1,41 1,27 0,16

3 KPH Ciamis 5 34,48 1,34 1,22 0,13

4 KPH Kendal 5 58,62 1,59 1,37 0,22

5 KPH Cepu 5 48,28 1,48 1,34 0,19

6 KPH Randublatung 5 37,93 1,38 1,26 0,15

7 KPH Kebonharjo 5 62,07 1,62 1,39 0,23

8 KPH Bojonegoro 5 44,83 1,45 1,30 0,18

9 KPH Ngawi 5 51,72 1,52 1,32 0,19

Rata-rata 46,74 1,47 1,30 0,18

Keterangan :

PPL = persentase lokus polimorfik na = jumlah alel yang diamati ne = jumlah alel yang efektif He = keragaman genetik Nei's (1973)


(44)

Nilai keragaman genetik rata-rata jati dari hasil penelitian ini sebesar 0,18 sedikit lebih rendah dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, seperti yang dilaporkan Widyatmoko (1996) terhadap klon jati di Cepu sebesar 0,20 (berdasarkan 7 lokus polimorfik isozim). Keragaman genetik jati di India sendiri, yang dianggap sebagai tempat asalnya jati yang dikembangkan di Indonesia memiliki nilai keragaman genetik berkisar 0,18 – 0,26 (Nicodemus et al., 2003). Namun Kertadikara dan Prat (1995) yang melakukan penelitian terhadap berbagai provenans jati (Indonesia, India, Thailand dan Afrika) menghasilkan nilai keragaman genetik yang cukup tinggi sebesar 0,35. Perbedaan-perbedaan nilai keragaman yang dihasilkan diduga karena populasi jati yang berkembang di Jawa diintroduksi dari lokasi/populasi yang sama (Widyatmoko, 1996) sehingga populasi dasar sebagai sumber gen berpeluang memiliki basis genetik yang sempit.

Populasi jati Jawa Tengah dan Jawa Timur secara umum menunjukkan nilai keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi jati Jawa Barat - Banten. Hal ini dimungkinkan karena tanaman jati diintroduksi dari India dan dikembangkan pertama kali di Indonesia adalah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-14 (Siswamartana 2005).

Keragaman DNA antar populasi

Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik yang telah dihitung berdasarkan software POPGENE versi 3.2 dengan menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software

NTSYS versi 2.02 dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 7.


(45)

30

Gambar 7 Pengelompokan populasi jati berdasarkan analisis RAPD.

Dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 7 menunjukkan pengelompokkan menurut wilayah regional populasi tersebut berada. Pengelompokkan memperlihatkan ada dua gerombol, dimana jati asal Jawa Tengah tetap membentuk gerombol yang sama, demikian halnya pada jati asal Jawa Barat - Banten dan Jawa Timur secara bersama membentuk satu gerombol. Populasi jati Jawa Barat – Banten dan Jawa Timur diduga berasal dari sumber benih yang sama. Berdasarkan nilai keragaman genetik populasi jati Jawa Timur yang lebih tinggi maka diduga populasi jati Jawa Barat – Banten dikembangkan dari sumber benih yang berasal dari Jawa Timur.

Analisis Keragaman Isotop Kayu Jati

Upaya eksplorasi isotop karbon (δ13C) dan oksigen (δ18O) dilakukan terhadap

komposit kayu jati dari tiap lokasi sentra jati di Jawa. Penggunaan komposit kayu memiliki kepraktisan tanpa preparasi sampel dan akurasi yang sama kuat dengan sampel selulosa untuk kepentingan analisis variasi isotop kayu (Loader et al. 2003). Adapun hasil pengujian terhadap sampel komposit kayu jati dari 9 lokasi sentra jati di Jawa disajikan dalam Gambar 8.

Jawa Barat - Banten

Jawa Timur


(46)

-30 -25 -20 -15 -10 -5 0 B a n te n C ia m is In d ra m a y u K e n d a l C e p u R a n d u b la tu n g K e b o n h a rj o N g a w i B o jo n e g o ro

Jawa Barat-Banten Jawa Tengah Jawa Timur

δ ¹³ C ( ‰ ) 0 5 10 15 20 25 30 B a n te n C ia m is In d ra m a y u K e n d a l C e p u R a n d u b la tu n g K e b o n h a rj o N g a w i B o jo n e g o ro

Jawa Barat-Banten Jawa Tengah Jawa Timur

δ ¹⁸ O ( ‰ )

Gambar 8 Komposisi isotop δ13C dan δ18O kayu jati di Jawa.

Secara umum nilai isotop δ13C dan δ18O pada kayu jati bervariasi antar lokasi

dimana sampel kayu diperoleh. Rasio isotop δ13C dari kayu jati lebih rendah dari

rasio isotop δ13C di atmosfer (-8‰ PDB), sedangkan untuk isotop δ18O nilainya

lebih tinggi dari rasio isotop dalam air hujan (-8‰ SMOW) yang mengindikasikan bahwa tanaman mengadakan diskriminasi atau perubahan isotop selama pembentukan kayu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh efek kinetik selama berlangsungnya fotosintensis yang menyebabkan pemiskinan δ13C pada CO2 dan

pengayaan δ18O oleh pertukaran kimia dalam sistem fotosintesis yang tertinggal

dan terkonsentrasi pada sintesa bahan organik (Djiono et al. 1996; Dawson dan Siegwolf 2007).


(47)

32

Variasi nilai isotop disajikan pada Gambar 9 yang merupakan hasil kombinasi linier nilai isotop δ13C dan δ18O dari lokasi pengambilan sampel kayu. Hubungan

yang disajikan diperoleh melalui analisis multivariat dengan metode Principal Componen Anaysis (PCA). Hasil analisis menghasilkan dua komponen utama. Komponen utama pertama (PC1) memiliki eigenvalue 1,85 yang mewakili 92,70% dari seluruh variabilitas data. Pada komponen kedua (PC2) diperoleh eigenvalue

sebesar 0,15 dengan keterwakilan 7,30% total variabilitas data.

-2 -1 0 1 2

-0.5 0.0 0.5

First Component

S

e

c

o

n

d

C

o

m

p

o

n

e

n

t

Is otop C-13 dan O-18

Gambar 9 Hasil analisis PCA dari isotop δ13C dan δ18O kayu jati di Jawa, tanda persegi

menunjukan jati dari Jawa Tengah (■ Cepu; Randublatung; Kebonharjo;

Kendal); tanda lingkaran dari Jawa Barat (● Indramayu; ○ Ciamis; ● Banten); dan tanda segitiga adalah jati dari Jawa Timur (▲ Ngawi; Bojonegoro).

Berdasarkan analisis PCA seperti disajikan pada Gambar 9 didapatkan dua pengelompokkan komposisi isotop yang dimiliki masing-masing populasi jati di Jawa. Kelompok pertama merupakan kayu jati dari Jawa Barat - Banten dan Kendal (Jawa Tengah). Sedangkan jati dari Jawa Tengah, minus Kendal dan Jawa Timur membentuk kelompok lain. Bila dikaitkan dengan data pada Gambar 8 menunjukan kayu jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur terlihat memiliki nilai isotop δ13C dan δ18O yang lebih tinggi daripada Jawa Barat - Banten.

Menurut Ehleringer dan Osmond (1991) sumber variasi isotop δ13C pada

tanaman yang tumbuh di darat secara prinsip berhubungan dengan difusi dari fraksinasi δ13C selama proses biosintesis dan perbedaan nilai δ13C dalam CO2


(48)

berbeda-beda pada setiap tempat dan kondisi berberbeda-beda. Peningkatan CO2 di atmosfer dapat diakibatkan dari aktivitas manusia dan respirasi tanaman. Terdapat dua isotop stabil karbon yaitu δ12C dan δ13C, keduanya memiliki perbedaan massa. CO2 di atmosfer

hampir seluruhnya merupakan δ12C sedangkan 1%-nya adalah δ13C. Respirasi

tanaman, perusakan hutan dan polusi akibat pembakaran bahan organik akan melepaskan isotop berupa δ12C ke atmosfer yang menimbulkan fraksinasi CO2

atmosfer yang terdiri dari δ13CO2 akan mengalami pemiskinan (depleted).

Pola umum curah hujan di Indonesia menunjukan pantai barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak dari pantai timur. Suryana (2001) menyebutkan daerah Jawa Barat memiliki curah hujan tinggi (>1500 mm/th), tanaman jati tidak menggugurkan daun. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki musim kemarau yang panjang dan tanaman jati biasanya akan menggugurkan daunnya untuk efisiensi penggunaan air dan pengaturan kelembaban selama fotosintesis. Ehleringer dan Osmond (1991) menyebutkan efisiensi penggunaan air selama fotosintesis akan menghasilkan nilai isotop δ13C dan δ18O

yang tinggi. Kayu jati dari Kendal relatif berbeda kandungan isotopnya dibanding populasi jati Jawa Tengah lainnya diduga dipengaruhi keberadaan kawasan industri Kaliwungu. Nilai isotop δ13C kayu jati Jawa Barat yang lebih miskin dibanding

Jawa Tengah disebabkan pula karena kondisi lingkungannya dekat daerah perkotaan dan kawasan industri. Aktivitas industri dan masyarakat perkotaan akan menghasilkan emisi CO2 yang miskin δ13C (Dawson dan Siegwolf 2007) yang selanjutnya diserap oleh tanaman untuk metabolisme sehingga kayu yang dibentuk memiliki isotop δ13C yang rendah.

Sumber variasi nilai isotop δ18O pada kayu jati berhubungan dengan sumber

air tanah yang digunakan selama pertumbuhan tanaman dan pembentukan kayu. Ketersediaan air tanah bagi tanaman mengikuti daur hidrologi. Menurut Djiono et al. (1989) daur hidrologi tidak merata akibat perbedaan presipitasi dari musim ke musim dan dari wilayah ke wilayah yang lain. Presipitasi merupakan uap yang terkondensasi dan jatuh ke daratan dalam rangkaian proses daur hidrologi. Faktor yang mempengaruhi ketidak-merataan presipitasi tersebut diantaranya ialah kondisi meteorologi (suhu udara, tekanan udara, dan arah angin) dan kondisi topografi. Hal tersebut mengakibatkan kandungan isotop deuterium dan δ18O bervariasi pada


(1)

Lanjutan Lampiran 7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

KPH Bojonegoro 1 8.877 46.163 70.760 24.597 24.852 7.954 4.017 7.790

2 9.314 45.271 72.470 27.199 25.954 8.169 3.760 7.404

3 9.002 45.291 72.960 27.669 26.640 8.084 3.917 8.440

4 10.405 46.928 71.940 25.012 26.628 8.525 5.176 8.813

5 9.249 46.074 73.990 27.916 27.148 7.838 4.080 6.993


(2)

Lampiran 8 Hasil analisis PCA komponen kimia dan isotop kayu jati. Nilai eigen analisis kimia dan isotop

Analisis Komponen

utama (PC) Nilai eigen Variasi Kumulatif

Komponen kimia struktural

1 2.49 0.62 0.62

2 0.98 0.24 0.87

3 0.52 0.13 1.00

4 -0.00 -0.00 1.00

Komponen kimia non struktural

1 2.22 0.74 0.74

2 0.52 0.17 0.19

3 0.25 0.08 1.00

Isotop 1 1.85 0.93 0.93

2 0.15 0.07 1.00

Nilai komponen utama analisis kimia dan isotop

Variabel PC1 PC2 PC3 PC4

Selulosa -0.61 -0.14 -0.29 0.72

Holoselulosa -0.52 0.45 -0.47 -0.55

Hemiselulosa 0.36 0.83 -0.11 0.42

Lignin 0.47 -0.31 -0.83 0

Ekstraktif air panas -0.58 0.52 0.62 -

Ekstraktif air dingin -0.61 0.23 -0.76 -

Ekstraktif alben -0.53 -0.83 0.18 -

C-13 0.71 0.71 - -


(3)

Lampiran 9 Hasil analisis PCA data spektra NIR Nilai eigen analisis NIR

Komponen utama Nilai eigen Variasi Kumulatif

1 120.94 0.78 0.78

2 32.14 0.21 0.99

3 1.82 0.01 1

4 0.50 0 1

5 0.26 0 1

6 0.16 0 1

7 0.09 0 1

8 0.03 0 1

9 0.03 0 1

10 0.02 0 1

Nilai komponen utama analisis NIR

Variable PC1 PC2 PC3 Variable PC1 PC2 PC3

2550 -0.065 0.119 -0.102 2150 -0.086 0.058 0.05

2540 -0.066 0.118 -0.107 2140 -0.085 0.063 0.031

2530 -0.067 0.116 -0.105 2130 -0.084 0.064 0.021

2520 -0.068 0.115 -0.105 2120 -0.084 0.065 0.014

2510 -0.068 0.114 -0.11 2110 -0.084 0.064 0.009

2500 -0.067 0.115 -0.112 2100 -0.084 0.063 0.009

2490 -0.066 0.116 -0.12 2090 -0.084 0.067 -0.006

2480 -0.066 0.117 -0.125 2080 -0.083 0.068 -0.017

2470 -0.066 0.116 -0.132 2070 -0.085 0.061 0.003

2460 -0.066 0.115 -0.128 2060 -0.086 0.055 0.013

2450 -0.067 0.113 -0.109 2050 -0.087 0.049 0.024

2440 -0.07 0.108 -0.082 2040 -0.087 0.044 0.033

2430 -0.073 0.103 -0.054 2030 -0.088 0.039 0.052

2420 -0.074 0.101 -0.045 2020 -0.088 0.035 0.083

2410 -0.074 0.102 -0.05 2010 -0.088 0.033 0.096

2400 -0.072 0.105 -0.058 2000 -0.088 0.034 0.098

2390 -0.071 0.107 -0.068 1990 -0.088 0.037 0.099

2380 -0.071 0.109 -0.069 1980 -0.087 0.041 0.096

2370 -0.071 0.11 -0.059 1970 -0.087 0.045 0.091

2360 -0.071 0.11 -0.053 1960 -0.087 0.048 0.086

2350 -0.071 0.109 -0.048 1950 -0.086 0.049 0.082

2340 -0.072 0.107 -0.043 1940 -0.086 0.05 0.079

2330 -0.073 0.103 -0.037 1930 -0.086 0.051 0.075

2320 -0.075 0.098 -0.028 1920 -0.086 0.052 0.072

2310 -0.076 0.093 -0.02 1910 -0.086 0.053 0.069

2300 -0.076 0.09 -0.016 1900 -0.086 0.054 0.065

2290 -0.076 0.091 -0.021 1890 -0.086 0.055 0.06

2280 -0.075 0.093 -0.03 1880 -0.085 0.057 0.055

2270 -0.074 0.096 -0.041 1870 -0.085 0.059 0.049

2260 -0.073 0.098 -0.05 1860 -0.085 0.061 0.042

2250 -0.072 0.099 -0.058 1850 -0.085 0.063 0.035

2240 -0.073 0.097 -0.057 1840 -0.084 0.064 0.028

2230 -0.076 0.089 -0.035 1830 -0.084 0.065 0.022

2220 -0.082 0.073 0.015 1820 -0.084 0.064 0.017

2210 -0.085 0.059 0.051 1810 -0.085 0.063 0.014

2200 -0.086 0.052 0.065 1800 -0.085 0.062 0.012

2190 -0.087 0.05 0.068 1790 -0.085 0.059 0.014


(4)

Lanjutan Lampiran 9.

Variable PC1 PC2 PC3 Variable PC1 PC2 PC3

1750 -0.09 0.012 0.069 1370 -0.082 -0.077 -0.01

1740 -0.09 -0.005 0.087 1360 -0.081 -0.08 -0.013

1730 -0.089 -0.018 0.098 1350 -0.08 -0.083 -0.017

1720 -0.089 -0.028 0.103 1340 -0.079 -0.085 -0.022

1710 -0.088 -0.035 0.11 1330 -0.079 -0.088 -0.028

1700 -0.088 -0.039 0.112 1320 -0.078 -0.089 -0.034

1690 -0.087 -0.045 0.113 1310 -0.078 -0.091 -0.039

1680 -0.086 -0.052 0.117 1300 -0.077 -0.092 -0.042

1670 -0.084 -0.058 0.121 1290 -0.077 -0.093 -0.046

1660 -0.083 -0.064 0.123 1280 -0.077 -0.094 -0.049

1650 -0.082 -0.07 0.122 1270 -0.076 -0.095 -0.053

1640 -0.081 -0.073 0.12 1260 -0.076 -0.095 -0.057

1630 -0.081 -0.076 0.117 1250 -0.076 -0.096 -0.061

1620 -0.08 -0.078 0.113 1240 -0.076 -0.095 -0.066

1610 -0.08 -0.079 0.109 1230 -0.076 -0.096 -0.07

1600 -0.08 -0.079 0.106 1220 -0.076 -0.095 -0.074

1590 -0.08 -0.079 0.101 1210 -0.076 -0.095 -0.079

1580 -0.08 -0.079 0.097 1200 -0.076 -0.095 -0.084

1570 -0.08 -0.079 0.092 1190 -0.076 -0.095 -0.088

1560 -0.081 -0.078 0.088 1180 -0.076 -0.094 -0.093

1550 -0.081 -0.078 0.084 1170 -0.076 -0.094 -0.097

1540 -0.081 -0.078 0.079 1160 -0.076 -0.094 -0.101

1530 -0.081 -0.077 0.074 1150 -0.076 -0.094 -0.105

1520 -0.081 -0.077 0.069 1140 -0.076 -0.093 -0.11

1510 -0.082 -0.076 0.064 1130 -0.076 -0.093 -0.114

1500 -0.082 -0.075 0.058 1120 -0.076 -0.093 -0.118

1490 -0.082 -0.073 0.052 1110 -0.076 -0.092 -0.123

1480 -0.083 -0.072 0.046 1100 -0.076 -0.092 -0.128

1470 -0.083 -0.07 0.039 1090 -0.076 -0.092 -0.132

1460 -0.084 -0.068 0.032 1080 -0.076 -0.091 -0.136

1450 -0.084 -0.067 0.024 1070 -0.076 -0.091 -0.14

1440 -0.084 -0.065 0.016 1060 -0.076 -0.09 -0.144

1430 -0.084 -0.066 0.011 1050 -0.076 -0.09 -0.147

1420 -0.084 -0.068 0.008 1040 -0.076 -0.089 -0.152

1410 -0.084 -0.069 0.003 1030 -0.076 -0.089 -0.156

1400 -0.083 -0.071 -0.001 1020 -0.076 -0.089 -0.159

1390 -0.083 -0.073 -0.004 1010 -0.076 -0.089 -0.164


(5)

Lampiran 10 Perbandingan teknologi penanda DNA, isotop dan spektra NIR.

Uraian DNA Isotop Spektra NIR

Kompleksitas pengujian :

- Skill

- Tahapan pengujian

- Optimasi proses pengujian

- Kemudahan pelaksanaan

- Residu kimia

Tinggi Kompleks Ada Sulit Banyak Sedang Sedang Ada Sedang Residu Cu dan gas buang Rendah Singkat Tidak Mudah -

Kebutuhan sample 2 gram 70 mg 50-60 gram

Waktu pengujian (per sampel) 8 – 10 jam 4 jam 10 menit

Reproduksibilitas Analisa dapat

dilakukan

ulang dengan

sampel yang

sama, sepanjang DNA tersedia

Dapat diulang bila gas CO2 belum dibuang dalam

spectrometer massa, sensitivitas berkurang

Bersifat non destruktif, sampel tetap tersedia untuk dapat dianalisa ulang

Peralatan yang digunakan - Ekstraksi

- PCR

- Elektoforesis

- Fotogel

- Preparasi gas

- Spektromete r massa - Spektrosko pi NIR Kebutuhan biaya - Peralatan - Pengujian 4 unit

Bahan kimia

ekstraksi, primer, marker, gel agarose dll

2 unit

Gas standar

kerja (CO2), oksidator (Cu2O)

1 unit -

Akurasi (Variasi) Dalam populasi

Antar populasi

Antar populasi Antar


(6)

Lampiran 11 Gambar peralatan yang digunakan dalam Penelitian.

Sampel Kayu Jati Hammer Mill Mesin Bor Tangan Microwave

Pemanas Elektroforesis Sentrifugasi PTC-100 UV Trans.