ANALISIS FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) PADA NEONATUS DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

Tinjauan Teori 1. Neonatus

  • – 37

  

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

  a. Pengertian Neonatus adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir. Neonatus dini berusia 0-7 hari dan Neonatus lanjut berusia

  7-28 hari. Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram (Muslihatun, 2010).

  b. Perubahan Fisiologis Pada Neonatus Perubahan fisiologis pada neonates menurut Muslihatun (2010), meliputi: 1) Pernafasan

  Pola respirasi agak menyimpang selama beberapa jam pertama setelah dilahirkan dengan frekuensi antara 40 dan 60 kali per menit.

  Sesudah dua jam, frekuensi respirasi menurun dan berkisar di sekitar 40 kali per menit ketika bayi dalam keadaan tidur. Frekuensi respirasi dihitung dengan mengamati naik turunnya abdomen (Farrer, 2010). 2) Suhu

  Sesaat sesudah bayi lahir ia akan berada di tempat yang suhunya lebih rendah dari dalam kandungan dan dalam keadaan basah, suhu tubuh bayi yang normal sekitar 36

  o

  C

  o C (Wiknjosastro, 2009).

  3) Kulit Bayi harus berwarna merah muda yang bersih, mungkin terdapat sedikit sianosis pada kaki dan tangan selama 24 jam pertama (Farrer,

  2010). 4) Urine

  Bayi berkemih hanya sesekali atau dua kali selama 24 jam pertama. Urine sering disekresikan pada saat lahir dan kejadian ini mungkin tidak diketahui sesudah hari pertama, ekskresi urine akan terjadi dengan sering yaitu sekitar 10-12 kali per hari. Mungkin urine berwarna agak kemerahan akibat kandungan urat di dalamnya (Farrer, 2010).

  5) Feses Feses yang berbentuk mekonium berwarna hijau tua yang telah berada di saluran pencernaan selama janin berumur 16 minggu, akan mulai keluar dalam 24 jam. Pengeluaran ini akan berlangsung sampai hari ke 2-3. Pada hari ke-4 sampai hari ke-5 warna tinja menjadi coklat kehijau-hijauan (Wiknjosastro, 2009). 6) Tali pusat

  Pada umumnya tali pusat akan puput pada waktu bayi berumur 6-7 hari. Bila tali pusat puput (lepas) maka setiap sesudah mandi tali pusat harus dibersihkan dan dikeringkan. Caranya adalah dengan membersihkan pangkal tali pusat yang ada di perut bayi dan daerah sekitarnya dengan kassa kering (Depkes RI, 2009).

  7) Refleks Refleks yang terdapat pada neonatorum normal menurut Farrer

  (2010), yaitu reflek morro (reflek peluk), reflek tonicneck, reflek

  rooting , reflek sucking (menghisap dan menelan), reflek grasping (genggaman, darwin), reflek babinsky dan reflek stapping.

  c. Penatalaksanaan Pada Neonatus Penanganan segera bayi baru lahir menurut Saifuddin (2009) adalah:

  1) Membersihkan jalan nafas Apabila bayi baru lahir tidak langsung menangis, penolong harus segera membersihkan jalan nafas. Bila bayi setelah 1 menit tidak bisa bernafas spontan maka penolong melakukan resusitasi. 2) Memotong dan merawat tali pusat

  Sebelum tali pusat dipotong penolong memastikan bahwa tali pusat diklem dengan baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.

  3) Mempertahankan suhu tubuh bayi Pada waktu bayi baru lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu tubuhnya dan membutuhkan pengaturan dari luar untuk membuatnya tetap hangat. 4) Memberi vitamin K

  Untuk mencegah terjadinya perdarahan karena defisiensi vitamin K maka semua bayi baru lahir normal diberi vitamin K per parenteral dengan dosis 0,5 mg-1 mg IM. d. Masalah pada Neonatus Masalah yang sering timbul menurut Manuaba (2010), adalah:

  1) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) Adalah bayi baru lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram.

  2) Asfiksia adalah kegagalan bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir 3) Infeksi adalah penyakit yang disebabakan karena masuknya bibit penyakit.

  4) Cacat bawaan adalah cacat yang dibawa sejak lahir, cacat sejak dalam kandungan.

  5) Trauma jalan lahir: chepalhematoma, caput succedaneum

  e. Kematian Pada Neonatus Menurut Mazzucco, Cusimano, & Macaluso (2011) penyebab kematian pada neonatus antara lain:

  1) Faktor Bayi

  a) Tetanus Neonatorum Penyakit Tetanus Neonatorum adalah penyakit toksemik akut dan fatal yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 28 hari) yang disebabkan oleh clostridium tetani, yaitu bakteri yang mengeluarkan toksin dan menyerang sistem saraf pusat dengan tanda utama spasme tanpa gangguan kesadaran (Rukiyah, 2010). b) Sindrom Gawat Napas (Respiratory Distress Syndrome) Sindrom gawat napas dikenal juga sebagai penyakit membran hialin, hampir terjadi sebagian besar pada bayi kurang bulan.

  Gangguan napas dapat mengakibatkan gagal napas akut yang mengakibatkan hipoksemia dan/atau hipoventilasi. Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan (Maryunani, 2009).

  c) Asfiksia Neonatorum Asfiksia Neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2. Bila proses ini berlanjut terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya (Owais, 2013).

  d) Sepsis Neonatorum Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang terjadi akibat invasi mikroorganisme ke dalam aliran darah, dan timbul pada satu bulan pertama kehidupan. Sepsis Neonatorum paling sering disebabkan oleh Streptococcus Grup B, kemudian organisme enterik gram-negatif, khususnya escherichia coli, listeria dan haemophilus influenzae.

  monocytogenes, staphylococcus,

  Sepsis neonatorum dibedakan atas 2, yaitu Sepsis Neonatorum

  Awitan Dini (SNAD) dan Sepsis Neonatorum Awitan Lambat (SNAL) (Sastroasmoro, 2007).

  e) Berat Badan Lahir Berat bayi yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir. Secara global, pada tahun 2000 WHO memperkirakan lebih dari 20 juta bayi di dunia (15,5%) lahir dengan kondisi BBLR. Jumlah ini terkonsentrasi di wilayah Asia (72%) dan Afrika (22%). Di Indonesia, menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2005, kematian neonatus yang di sebabkan oleh BBLR sebesar 38,85%. Angka kejadian BBLR di Indonesia berkisar 9- 20% bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Sebanyak 25% bayi dengan BBLR meninggal pada saat baru lahir dan 50% nya meninggal saat bayi (Maryunani, 2009).

  f) Kelainan Kongenital Kelainan kongenital juga dikenal sebagai cacat lahir, kelainan bawaan, atau cacat bawaan. Didefinisikan sebagai kelainan struktural atau fungsional, termasuk gangguan metabolisme, yang muncul pada saat kelahiran. Kelainan kongenital diperkirakan terjadi pada 1 dari 33 bayi dan menyebabkan 3,2 juta kelahiran cacat setiap tahun. Diperkirakan 270.000 neonatus bayi meninggal selama 28 hari pertama kehidupan disebabkan kelainan kongenital setiap tahunnya (WHO, 2014).

  2) Faktor Ibu

  a) Umur Ibu Umur dan paritas ibu berkaitan dengan risiko meningkatnya masalah pada neonatus, seperti Intrauterine Growth Restriction

  (IUGR), prematuritas, dan kematian neonatus. Pola kematian bayi dihubungkan dengan usia ibu, ditunjukkan dengan grafik berbentuk huruf “U” dimana kematian bayi tertinggi terjadi pada kelompok ibu yang berusia <18 tahun dan yang berusia > 35 tahun (Kozuci, 2013).

  Kehamilan pada ibu yang berusia > 40 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian neonatus, maupun komplikasi obstetrik, dan risiko ini di pengaruhi oleh paritas. Sebuah studi yang dilakukan di Turki menemukan insiden Pre-eklamsia, DM Gestasional, Plasenta Previa, kematian janin, Abruptio Placentae, kelahiran prematur, dan IUGR lebih tinggi terjadi pada ibu yang berusia > 40 tahun disbanding ibu yang berusia 20

  • – 30 Tahun (Baser, 2013).

  Ibu hamil dengan usia > 35 tahun meningkatkan risiko kelahiran prematur. Kelahiran prematur dapat dikaitkan terhadap insiden kelainan kromosom atau kelainan kongenital yang lebih tinggi. Selain masalah sosial ekonomi, di negara berkembang ibu- ibu yang sudah berumur lebih dari 35 tahun umumnya mempunyai anak yang lebih banyak. Ibu yang melahirkan dengan umur di atas

  35 tahun sering dijumpai faktor penyulit dalam persalinan dan mempunyai risiko komplikasi kehamilan terutama disebabkan karena adanya proses menua jaringan reproduksi dan jalan lahir. Pertambahan usia juga ikut mempengaruhi organ vital seperti sistem kardiovaskular dan ginjal. Ibu yang melahirkan pertama kali di atas usia 35 tahun terdapat penyulit karena kekakuan jaringan panggul yang belum pernah dipengaruhi oleh kehamilan dan persalinan (Fitriana, 2013)

  b) Paritas Paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup, yaitu kondisi yang menggambarkan kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok wanita selama masa reproduksi (BKKBN, 2010). Paritas telah terbukti memiliki hubungan terhadap gangguan kesehatan ibu baik saat hamil maupun bersalin, di mana faktor tersebut akan turut berpengaruh pula pada kesehatan bayi yang dilahirkan (neonatus) (Sugiharto, 2010).

  Sebuah penelitian menunjukkan ibu yang merupakan Nulipara (Nulipara: wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali, atau wanita yang belum pernah melahirkan bayi hidup) dan berusia < 18 tahun serta ibu yang memiliki paritas > 3 dan berusia > 35 tahun meningkatkan risiko kematian neonatus. Hal ini sejalan dengan SKRT 2001 yang menyatakan bahwa kematian neonatus banyak terjadi pada ibu dengan paritas > 3 (Sugiharto, 2010).

  Nulipara juga berhubungan terhadap risiko komplikasi selama kelahiran, seperti partus macet, sedangkan paritas tinggi juga meningkatkan risiko Hipertensi, Placenta Previa, dan Uterine

  Rupture . Grande multipara merupakan faktor risiko dimana

  komplikasi kehamilan dan persalinan lebih sering terjadi setelah ibu mengalami kelahiran di atas empat kali dan bayi yang dilahirkan setelah mempunyai risiko lebih tinggi untuk dilahirkan premature atau mati perinatal (Fitriana, 2013).

  c) Komplikasi Obstetrik Risiko kematian neonatus meningkat 81% pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang memiliki riwayat komplikasi selama persalinan, seperti pendarahan, demam, dan kejang. Pada bayi dengan ukuran lebih kecil dibanding ukuran normal, risiko meninggal berkisar 2,8 kali dibanding bayi yang lahir dengan ukuran normal (Titaley, 2008).

  a. Pengertian

  Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres

  Pernapasan adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2009). Sindrom distres pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi & Yulianni, 2010).

  Sindrom distres pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas (Bobak, 2009). Respiratory

  

distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan

  hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009). Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).

  Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.

  b. Anatomi Fisiologi Paru Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur- struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior.

  Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior (Suriadi & Yulianni, 2010).

  Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus akan sepenuhnya berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas sepanjang trimester kedua dan ketiga.

  Ketidak matangan paru

  • –paru akan mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem kapiler paru-
paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan pertama seorang bayi berfungsi untuk: 1) Mengeluarkan cairan dalam paru. 2) Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali.

  Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu. Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru- parunya. Pada saat bayi melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru-paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio sesaria kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat menderita paru- paru basah dalam jangka waktu lebih lama. Dengan sisa cairan di dalam paru

  • –paru dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan darah. Semua alveolus paru-paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu (Suriadi & Yulianni, 2010).
c. Etiologi Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang.

  Pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang (Hasan, 2010).

  Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat suatu substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah suatu substansi molekul yang aktif dipermukaan alveolus paru dan diproduksi oleh sel-sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan permukaan paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu dan dapat ditemukan pada cairan ketuban.

  Pada usia kehamilan 35 minggu, sebagian besar bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang cukup (Maryunani, 2009).

  Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS yaitu: 1) Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.

  2) Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.

  3) Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag. 4) Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram. 5) Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH). 6) Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

  d. Patofisiologi Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.

  Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.

  Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD) (Suriadi & Yulianni, 2010).

  e. Manifestasi klinis Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu: 1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

  2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. 3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram f. Komplikasi Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) komplikasi yang kemungkinan terjadi pada RDS yaitu:

  (Pemeriksaan Gas Darah Harus Dilakukan) Sumber: Mathai (2010)

  2 Air entry Udara masuk Penurunan

  Gangguan Pernafasan Sedang Skor > 7 Ancaman Gagal Nafas

  Skor < 4 Gangguan Pernafasan Ringan Skor 4

  Skor Keterangan

Tabel 2.2 Evaluasi Respiratory Distress Skor Downes

  Sumber: Mathai (2010)

  Dapat didengar tanpa alat bantu Skor > 6 : Ancaman gagal nafas

  Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan stetoskop

  ringan udara masuk Tidak ada udara masuk

  walaupun diberi O

  udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat Tanda dan gejala yang muncul dari RDS adalah: pernapasan cepat, pernapasan terlihat parodaks, cuping hidung, apnea, murmur dan sianosis pusat

  2 Sianosis menetap

  Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang dengan 0

  Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

  napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit

  2 Frekuensi

  1

  Pemeriksaan Skor

Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

  • – 6

  1) Kebocoran alveoli Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap. 2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

  3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular, perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik. 4) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

  Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

  5) Retinopathy premature Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

  g. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada respiratory distress syndrome menurut Warman (2012), antara lain:

  1) Tes Kematangan Paru

  a) Tes Biokimia Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru.

  b) Test Biofisika Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion: ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin.

  Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.

  2) Analisis Gas Darah Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas terminal. 3) Radiografi Thoraks

  Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat

  h. Penatalaksanaan Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi:

  1) Ventilasi Mekanis Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired

  

oxygen ) yang minimal, serta tekanan ventilator atau volume tidal yang

minimal.

  2) Terapi surfaktan Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru- paru sapi atau dari bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010). 3) Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)

  Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan

  suatu alat untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan episode sianotik (Effendi & Ambarwati, 2014).

  4) Extracorporeal Membrane Oxygenation

  Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat

  yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator (Effendi & Firdaus, 2010).

  Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory e adalah:

  distress syndrom

  1) Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau terapi medis, serta pantau PaO

  2 . Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.

  2) Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor, membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.

  3) Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setiap 24 jam, mempertahankan gula darah dengan memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output, memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.

  4) Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.

  5) Pemberian antibiotik. Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari (Hidayat, 2008). i. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respirasi Distress Syndrome (RDS)

  Faktor yang mempengaruhi kejadian Respirasi Distress Syndrome (RDS) antara lain (Marfuah, 2013):

  1) Kehamilan ganda Ada hubungan kehamilan ganda dengan kegawatan nafas neonatus, dan kehamilan ganda mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami gawat nafas dibandingkan bayi tunggal. Kehamilan ganda menjadi faktor risiko meningkatkan kegawatan nafas neonatus telah terbukti pada penelitian Neilsen (2007) yang membandingkan antara kehamilan tunggal dan gemelli pada usia kehamilan 24-26 minggu, 27

  • – 29 minggu dan 30 - 32 minggu dengan hasil bahwa bayi dengan kehamilan multipel atau ganda untuk terjadinya kegawatan nafas jumlah hampir sama, namun pada umur kehamilan 30
  • –32 minggu terjadinya kegawatan nafas lebih banyak pada kehamilan multipel. Penelitian lain dilakukan Mieth et al (2011) juga menjelaskan bahwa insiden kehamilan ganda semua bayi terlahir secara prematur dengan usi
  • – 32 minggu, dan angka morbiditas dan mortalitis disebabkan karena kegawatan nafas.

  Indiarti (2009) menyatakan bahwa teori persalinan yang salah satunya adalah teori distensi abdomen kapasitas elastisitas uterus atau abdomen lebih rendah pada saat menampung jumlah janin 2 atau lebih, sehingga sebagian besar bayi yang lahir kembar baik gemelli, tripel atau lebih dalam usia kehamilan 28

  • – 32 minggu atau prematur, sehingga sistem pernafasan immatur, sehingga terjadi defiensi surfaktan yang menyebabkan paru bayi tidak mampu mengembang dan penyakit membran hialin sebagai penyebab utama gawat nafas
banyak terjadi pada bayi prematur. Untuk itu kehamilan ganda berisiko untuk lahir prematur sehingga mempunyai risiko gawat nafas lebih besar. 2) Asfiksia

  Penelitian Lee et al (2009) menjelaskan bahwa nilai Apgar Skor < 7 pada menit pertama mempunyai hubungan yang bermakna dengan

  

Respiratory Distress Syndrome (RDS ) neonatus dan AS < 7 pada

  menit ke-5 juga mempunyai hubungan yang bermakna antara AS< 7 menit ke-5 dengan terjadinya RDS neonatus. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2 meningkat) dan asidosis (Sylviati, et al., 2008). Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Hermiyanti, et al., 2011).

  Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia adalah keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang, akibatnya terjadi gawat janin. Selain itu juga akibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia atau dari kondisi bayi tersebut yang sudah mengalami asfiksi di dalam kehamilan seperti kehamilan ganda, prematur, aspirasi mekonium (Hermiyanti, et al., 2011). Asfiksia dimulai periode apneu disertai dengan penurunan frekuensi jantung, selanjutnya bayi menunjukkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti dengan pernafasan teratur, namun pada asfiksi berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apneu kedua dan jika terlambat dilakukan resusitasi, maka gawat nafas dapat terjadi (Hasan, et al., 2007).

  3) Usia Kehamilan Penelitian Meith et al (2011) menjelaskan bahwa risiko kegawatan nafas terjadi pada bayi <38 minggu, yaitu pada usia kehamilan <26 minggu risiko kegawatan nafas sebanyak 200/287 (69,7%), usia kehamilan 26

  • –28 minggu terjadi kegawatan nafas 6/6 (100%), usia kehamilan 29
  • –31 minggu sebanyak 28/28 (100%) dan usia kehamilan 32 –36 minggu sebanyak 64/69 (92,8%).

  Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan <38 minggu, maka bayi lahir dalam keadaan prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana paru-paru bayi belum cukup untuk berkembang dengan penuh, ini terjadi kekurangan substansi perlindungan yang disebut surfaktan, yang membantu paru mengembang karena udara dan melindungi kantong udara dari kollap paru sehingga terjadi kegawatan nafas neonatus, tersering kasus pada bayi lahir kurang 28 minggu, dan sangat jarang pada bayi yang lahir aterm atau 40 minggu (Cloherty,

  2008). Clair, et al., (2008) menjelaskan bahwa pada bayi tanpa RDS, rata-rata ratio L/S(lechitin/Sphiomyelin) lebih tinggi pada bayi dengan RDS. Ini menunjukkan bahwa resiko terjadinya RDS karena rendahnya kadar rasio lechitin dan sphingomyelin yang banyak terjadi pada bayi prematur dan usia kehamilan yang kurang bulan. 4) Paritas

  Penelitian yang dilakukan oleh Ziadeh (2012) dengan retrospektif pada nullipara dengan umur > 35 tahun, didapatkan wanita nullipara > 35 tahun dan usia antara 25

  • – 29 tahun. Korelasi nullipara dengan komplikasi kehamilan dan kelahiran yaitu pada usia kehamilan, berat lahir, prematur, SGA, BBLR, fetal distress, AS rendah atau asfiksia. Ini menunjukkan bahwa risiko kegawatan nafas terjadi pada nullipara lebih besar daripada multipara. Penelitian Beydoun et al (2009) menjelaskan bahwa ibu nullipara, 5,4% melahirkan bayi prematur dan 5,2% dengan kondisi berat badan lahir rendah.

  5) Hipertensi pada ibu Teori yang dikemukakan oleh UCSF (2009) bahwa stress intra uteri yang kronik seperti hipertensi pada ibu atau toksemia, ketuban pecah dini dan agen tokolitik merupakan faktor yang menurunkan kegawatan nafas. Begitu juga pendapat yang dijelaskan oleh Lee et al (2009) bahwa hipertensi sebagai faktor terjadinya kegawatan nafas masih menjadi kontroversial, karena dijelaskan secara tradisional bahwa stress kronik intra uteri termasuk preeclampsia dan ketuban pecah dini yang berkepanjangan dapat mempercepat maturitas paru janin.

  Menurut penelitian Chiswick (2008) menjelaskan bahwa kegawatan nafas neonatus (RDS) signifikan pada bayi dengan ibu hipertensi sebelum dikoreksi efek dan variabel confounding atau perancu. Ibu hamil dengan hipertensi dan menjadi pre eklampsia menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi tidak baik dan mengganggu sirkulasi darah termasuk sirkulasi uteroplasentra, sehingga perfusi ke janin berkurang sehingga beresiko untuk terjadi gawat nafas seperti asfiksia dan TTN. Selain itu pada pre eklampsia cenderung dilakukan SC emergensi untuk penyelamatan bayi atau ibu, sedangkan pada persalinan SC tidak ada penekanan pada dinding dada dan jalan nafas tidak ada rangsangan oleh kompresi dinding dada sebagaimana pada persalinan pervagina, dan juga dapat terjadi aspirasi cairan ketuban dari muntah yang berisi cairan lambung.

  Namun jika hipertensi yang diderita terjadi sejak sebelum kehamilan dan hipertensi kehamilan telah dikoreksi dengan mendapat terapi kortikosteroid selama hipertensi kehamilan, maka dapat mempercepat maturitas paru, sehingga dapat menurunkan kejadian kegawatan neonatus. Faktor risiko yang menurunkan kegawatan nafas neonatus adalah stress intra uteri kronik, PROM, hipertensi maternal atau toksemia, penggunaan kortikosteroid, agen tokolitik, penyakit hemolitik karena hal tersebut diatas menyebabkan paru bayi matur lebih awal (UCSF

  Children’s Hospital, 2009)

B. Kerangka Teori

  Neonatus

  Etiologi RDS

  a. Ketidakmampuan paru untuk mengembang b. Alveoli masih kecil Kematian Neonatus c. Membran hialin berisi debris

  d. Berat badan bayi lahir

  e. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru Faktor-Faktor Penyebab Kematian

  f. Bayi prematur Neonatus:

  a. Tetanus Neonatorum b.

Sindrom Gawat Napas

  Respiratory Distress Syndrome (Respiratory Distress Syndrome)

  c. Asfiksia Neonatoru

  d. Sepsis Neonatorum

  Faktor Risiko Respiratory Distress

  e. Berat Badan Lahir

  Syndrome

  f. Kelainan Kongenital

  1. Kehamilan ganda

  2. Faktor Ibu

  2. Asfiksia

  a. Umur Ibu

  3. Usia Kehamilan

  b. Paritas

  4. Paritas

  5. Hipertensi pada ibu

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Sumber: Jamil (2017), Mazzucco, Cusimano, & Macaluso (2011), Suriadi & Yulianni (2010), Marfuah (2013)

C. Kerangka Konsep

  a. Ketidakmampuan paru untuk

  = tidak diteliti

  f. Bayi prematur

  dan di luar paru

  e. Adanya kelainan di dalam

  Berat badan bayi lahir

  c. Membran hialin berisi debris d.

  b. Alveoli masih kecil

  mengembang

  Kerangka konsep atau kerangka berfikir merupakan dasar pemikiran pada penelitian yang dirumuskan dari fakta-fakta, observasi dan tinjauan pustaka. Kerangka konsep menurut teori, dalil atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar untuk melakukan penelitian (Saryono, 2011).

  

Variabel Independent Variabel Dependent

  = arah penelitian

  e. Hipertensi pada ibu

  d. Paritas

  c. Usia Kehamilan

  b. Asfiksia

  a. Kehamilan ganda

  Respiratory Distress Syndrome Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome

  Keterangan: = diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

  Etiologi RDS

D. Hipotesis

  Hipotesis dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian, maka hipotesis dapat benar atau salah, bisa diterima bisa ditolak (Notoatmodjo, 2012). Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan asfiksia, usia kehamilan, paritas dan hipertensi pada ibu dengan terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada neonatus di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Tidak ada hubungan kehamilan ganda dengan terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada neonatus di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

Dokumen yang terkait

DIARE PADA An. F DENGAN GASTROENTERITIS AKUT DI RUANG CEMPAKA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 12

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN PADA KEJADIAN NEONATUS DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA DI RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 16

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GENGGAM JARI UNTUK MENURUNKAN NYERI SAAT INSERSI INTRAVENA PADA PASIEN DI RUANG IGD RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

1 1 16

PERBEDAAN KEPUASAN ANTARA PASIEN BPJS KELAS I DENGAN KELAS III TERHADAP MUTU PELAYANAN KESEHATAN DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R DENGAN BRONKHOPNEUMONIA DI RUANG KENANGA RSUD Dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 14

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KECEMASAN IBU PADA HOSPITALISASI ANAK DI RUANG CEMPAKA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. B DENGAN TYPHOID DI RSUD Dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 14

PERBEDAAN EFEKTIVITAS TERAPI MUROTAL DAN AROMATERAPI LAVENDER TERHADAP PENURUNAN GEJALA KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 16

ANALISIS FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) PADA NEONATUS DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

1 5 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - ANALISIS FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) PADA NEONATUS DI RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 9