PERDIS – Asas, Rukun dan Syarat Perkawinan Islam

  ASAS ASAS RUKUN DAN SYARAT

HUKUM PERKAWINAN

  ISLAM Hukum Perdata Islam

18 September 2013

  ASAS ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM ASAS-ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM

  1. Asas kesukarelaan

  2. Asas persetujuan

  3. Asas kebebasan

  4. Asas kemitraan suami-isteri

  5. Asas untuk selama-lamanya

  6. Asas kebolehan atau mubah

  7. Asas kemaslahatan hidup

  

8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat

1. Asas kesukarelaan

   Merupakan asas terpenting perkawinan Islam.

   Kesukarelaan antara kedua calon suami isteri, juga antara kedua orang tua kedua belah pihak.

2. Asas persetujuan

   Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas kesukarelaan.

   Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.

  

Pasal 16-17 KHI:

   Perkawinan atas persetujuan calon mempelai. 

  Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan, lisan atau isyarat yg mudah dimengerti atau diam.

   Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan

3. Asas kebebasan

   Asas kebebasan memilih pasangan dengan tetap memperhatikan larangan perkawinan.

  

  

Pasal 18 (tidak terdapat halangan

perkawinan), 39-44 KHI (larangan

perkawinan).

4. Asas kemitraan suami-isteri

  

Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan

yang sederajat hak dan kewajiban Suami Isteri: (Pasal 77 KHI)

   Suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda

karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan).

  

(Q.S. an-Nisa (4) : 43 dan al-Baqarah (2) ayat 187.

   Kemitraan menyebabkan kedudukan suami-isteri

dalam beberapa hal sama, dan dalam hal yang lain

berbeda.

5. Asas untuk selama-lamanya.

   Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. ar-Rum (30) : 21).

  

  Pasal 2 KHI akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan

6. Asas kebolehan atau mubah

  • Asal hukum melakukan perkawinan jika di hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah kebolehan atau ibahah.
  • Q.S. An-Nisa (4): Ayat (1) Ayat (3): Ayat (24)

  • Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi sunnah, meningkat menjadi wajib atau dapat

    juga turun menjadi makruh ataupun haram.

7. Asas kemaslahatan hidup

   Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga dalam rumah tangga yang ma’ruf (baik), sakinah

(tentram), mawaddah (saling mencintai),

dan rahmah (saling mengasihi).

   Q.S An Nisa:1

  

Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk

8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat

   Tujuan perkawinan adalah mencegah melakukan perbuatan yang keji dan munkar.

   Ada pencegahan perkawinan (Pasal 60-69

KHI) dan pembatalan perkawinan (Pasal

70-76 KHI)

9. Asas Kepastian Hukum

   Hadits Rasul: Perkawinan harus diumumkan dengan mengadakan walimah

  

Pasal 5-10 KHI

   Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

   Isbath Nikah di Pengadilan Agama

   Rujuk dibuktikan dgn kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah.

10. Asas Personalitas Keislaman

   Q.II : 221 Q. V : 5 Larangan Perkawinan

   KHI Pasal 40 huruf c  wanita non- muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki muslim

   KHI Pasal 44: Wanita Muslim dilarang melangsungkan perkawinan dgn pria yang tidak beragama Islam

11. Asas monogami terbuka

   Q.S.an-Nisa’ (4) ayat 3: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim

(bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain)

yang kamu senangi: dua, tiga atau empat tapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

   Q.S. 4:127:”Dan mereka meminta fatwa kepadamu ttg perempuan. Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu ttg

mereka dan apa yg dibacakan kepadamu dalam al Qur’an (juga

memfatwakan) ttg para perempuan yatim yg tidak kamu memberikan sesuatu (mas kawin) yg ditetapkan utk mereka,

  Asas monogami terbuka…

  Q.S. An Nisa 129: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri2

mu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah

kamu terlalu cenderung (kepada yg kamu cintai) sehingga kamu biarkan

yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu melakukan perbaikan dan

memelihara diri dari kecurangan maka sungguh Allah Maha Pengampun

dan Maha Penyayang”.

  

Pasal 55-59 KHI: Syarat poligami:

   terbatas hanya sampai empat isteri.  suami harus mampu berlaku adil

   mendapat izin dari Pengadilan Agama, krn isteri :

   tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

   mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan Persyaratan dan pembatasan Poligami:

  1. Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari

  empat orang  (Q.S. 4 : 3 dan hadits nabi riwayat An- Nasai): nabi menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi, seorang musyrik Mekah yang baru masuk Islam dan beristeri sepuluh orang, agar menceraikan isteri-isterinya yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.

  2. Sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya.

  Barangsiapa belum mampu berbuat adil, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang (Q.S. 4:129).

  Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup Persyaratan dan pembatasan Poligami:

  3. Wanita yang akan dikawini lagi seyogyanya perempuan

  yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim, yaitu wanita yang mempunyai anak yatim, agar anak yatim itu berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut (Q.S. 4:3 jo Q.S. 4:127).

  4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan

  saudara atau dengan wanita yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan isteri (Q.S. 4:23).

  5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau

  

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975

  

Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Indonesia

menganut asas Monogami (Pasal 3 ayat 1).

   Namun seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini.

   Syarat-syarat berpoligami  Pasal 3 ayat (2) beserta penjelasannya : a) Harus ada izin dari Pengadilan Agama,

  b) Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan

  

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 

  Izin dari pengadilan, khusus bagi yang beragama Islam wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon (Pasal 4 ayat (1) UUP jo. Pasal 40 PP No. 9/1975).

  

  Harus dipenuhi syarat dan alasan tertentu yang dapat dibenarkan Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) UUP jo. Pasal 41a PP No. 9/1975 yang ditentukan secara limitatif, :

  a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,

  b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

  Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 

  

Ketika memajukan permohonan izin berpoligami,

harus pula memenuhi seluruh syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUP, yaitu:

  a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri terdahulu,

  b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak- anak mereka,

  PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL JO PP NO 45 TAHUN 1990 TTG

  PERUBAHAN PP 10/1983

  

  Perkawinan pertama wajib diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat di atasnya: Pasal 2(1).

  

  Perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dulu dari Pejabat: Pasal 3 (1) PP 45/1990

  

  PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 4(1) PP 45/1990

  

  PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/

  

Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam

(INPRES NO. 1 Tahun 1991)

 Bab IX Pasal 55- 59.  Isi dari pasal-pasal ini sesuai dengan UUP dan PP No.

  9/1975.

   Syarat berpoligami:

  1. Jumlah isteri maksimal 4 orang isteri;

  

2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri

dan anak-anaknya. Merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi;

  3. Suami harus mendapat ijin dari PA.

  4. Apabila isteri tidak setuju, maka PA dapat menetapkan

  

Asas-asas Perkawinan menurut

UU No. 1 Thn 1974 (penjelasan butir 4)

  

a. Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal

  

b. Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaan, perkawinan harus (wajib) dicatat menurut peraturan perUUan yg berlaku.

  

c. Monogami, namun bila dikehendaki krn hukum

  Asas-asas Perkawinan menurut UU No. 1 Th 1974 (penjelasan butir 4) d. Suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

  e. Mempersukar perceraian.

  f. Hak dan kedudukan istri seimbang dgn hak dan kedudukan suami dlm kehidupan rumah tangga, dalam pergaulan masyarakat g. Perkawinan berikut segala sesuatu yg berhubungan

  

RUKUN DAN SYARAT

PERKAWINAN

  Hukum Perorangan & Kekeluargaan Islam

  Perkawinan

  Dalam melaksanakan perkawinan harus

memenuhi ketentuan rukun dan syarat

perkawinan

   Tidak terpenuhinya ketentuan rukun dan syarat perkawinan mengakibatkan tidak sahnya suatu perkawinan

   Dasar hukum yang digunakan adalah syari’ah, UU Perkawinan, dan KHI

  Rukun Perkawinan 

  Rukun ialah unsur pokok (tiang) 

  

Syarat merupakan unsur pelengkap

dalam setiap perbuatan hukum.

  

Rukun nikah merupakan bagian dari

hakekat perkawinan, artinya bila salah satu rukun nikah tidak terpenuhi maka

  Rukun Perkawinan

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI):

   Calon suami dan isteri

   Wali

   Saksi

   Ijab Qabul

  Syarat Perkawinan 

  Menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah.

  

  Syarat Perkawinan terdiri dari dua bagian yaitu Syarat Umum dan Syarat Khusus.

A. Syarat Umum

  Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam al-Qur’an yang termuat dalam Q.S. al- Baqarah (2) : 221 tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama, Q.S. an-Nisaa (4) : 22, 23, 24 tentang larangan perkawinan karena hubungan darah,

SYARAT KHUSUS

1. Calon Suami dan Isteri

  

  Beragama Islam

  

  Menyetujui perkawinan tersebut. Calon mempelai harus bebas dalam menyatakan persetujuannya, tidak dipaksa oleh pihak lain. Persetujuan menyatakan kehendak ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berfikir, dewasa atau akil baligh. (Pasal 16-17 KHI)

  

  Dewasa jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 15 KHI)

  

  Tidak terdapat halangan dan larangan perkawinan:

  Syarat Calon Suami dan Isteri Syarat bagi calon suami:

  a. Terang laki-lakinya (bukan banci)

  b. Sekurang-kurangnya berusia 19 tahun c. Tidak beristeri lebih dari empat.

  

d. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal

isterinya.

  e. Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahinya.

  Syarat bagi calon isteri: a. Terang perempuannya (bukan banci).

b. Sekurang-kurangnya berusia 16 tahun

2. Syarat Perkawinan: Wali

   Hadis Rasulullah

  

  “Barangsiapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”

   Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni

  

  “Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri” Syarat Perkawinan: Wali 

  Mazhab Syafi’i berdasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

dari Siti Aisyah, bahwa Rasul pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali.

   Mazhab Hanafi: wanita dewasa tidak perlu wali bila akan menikah.

 Calon isteri harus mempunyai wali yang bertindak untuk menikahkannya (Pasal

19 KHI)

   Syarat-syarat wali adalah (Ps 20 ayat (1) KHI):

   Muslim

   Aqil  Baligh

   Tidak tuli, bisu, atau uzur (Ps 22 KHI)  Laki-laki,

   Adil  dan tidak sedang ihram atau umroh.

  Macam-macam Wali

1. Wali Nasab (Ps 21 KHI)

  

  Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya

  

  Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka

   Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki

  kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka

  

  Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, Macam-macam Wali

  2. Wali Hakim (Pasal 23 KHI) 

  Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama.

   Wali hakim baru dapat menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin

menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau adlal (enggan) Macam-macam Wali

  3. Hakam Hakam adalah seseorang yang masih termasuk anggota keluarga calon mempelai perempuan namun bukan wali nasab dan mempunyai pengetahuan agama sebagai wali yang cukup.

  4. Muhakam Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga calon mempelai perempuan dan bukan dari penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan agama yang baik dan dapat menjadi wali perkawinan.

3. Syarat Perkawinan: Saksi

  

  Hadis riwayat Ahmad

   “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang

  adil”

  

  Syarat-syarat menjadi saksi (Ps 25 KHI)

  

  Laki-laki

  

  Muslim

  

  Adil

   Aqil Baligh  Tidak terganggu ingatan 

  Tidak tuli

   Tidak menjadi wali.

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul

   Ijab :

   penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami

   suatu pernyataan penyerahan  dilakukan oleh wali nikah (Pasal 28 KHI)

   Qabul:

   penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki.

   suatu pernyataan penerimaan  dilakukan oleh calon suami (Pasal 29 ayat 1 KHI)

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul

   Pelaksanaan antara pengucapan ijab dan kabul tidak boleh ada antara waktu, harus segera dijawab. (Pasal 27 KHI)

   Hadis riwayat Muslim:

   “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan

  Mahar  Dalam perkawinan harus ada Mahar atau sadaq.

  Dasar Hukum: An Nisa ayat 4: 

  

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan” 

  An Nisa ayat 20: 

  “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali.”

   An Nisa ayat 25:

  

“Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk

menikahi perempuan merdeka yang beriman maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu sebagian dari kamu adalah sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam/Hawa). Karena itu

  

  Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isteri (Pasal 30 KHI)

  

  Jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua pihak dengan anjuran kesederhanaan dan kemudahan dalam mewujudkannya (Pasal 31 KHI)

   Biasanya diberikan pada waktu akad nikah

  dilangsungkan, sebagai perlambang suami dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk menafkahi isterinya

  

  Mahar boleh dibayar tunai atau ditangguhkan sebagian atau seluruhnya asal disetujui oleh calon isteri dan menjadi utang calon suami (Pasal 33 KHI)

 Kewajiban menyerahkan mahar bukan rukun perkawinan. Macam Mahar 

  Mahar Musamma 

  Mahar yang telah disepakati oleh calon suami dan calon istri 

  Mahar Mitsil 

  

Mahar yang belum ditentukan jumlah dan bentuknya pada saat ijab kabul Ketentuan pembayaran mahar

  Al Baqarah ayat 237

  

  “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya itu, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”

  Pasal 35 KHI

  

  Suami yang mentalak isterinya dalam keadaan qobla

  

dukhul, ia wajib membayar setengah mahar yang telah

  ditentukan dalam akad nikah

  

  Suami yang meninggal dunia dalam keadaan qobla dukhul, seluruh mahar menjadi hak isterinya Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

  • Pasal 2 ayat (1): perkawinan adalah sah

    apabila dilakukan menurut hukum masing-

    masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  • Penjelasan Pasal 2: tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

  Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6).

  

2. Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan

berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 7).

  

3. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali

dalam hal yang diizinkan (Pasal 9).

4. Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun

  harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat (2)).

  Menurut Hukum Islam 

  Tidak ada ketentuan yang jelas di al Qur’an dan Hadits Rasul tentang pencatatan perkawinan 

  

Tidak diatur secara tegas kewajiban mencatat

perkawinan (nikah) dalam kitab fikih; 

  

Q.S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan tentang

bermuamalah secara : “….Jika kamu bermuamalah, maka catat dan hadirkan 2 orang saksi…..”

  Menurut Hukum Islam 

  Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya perkawinan sesuai dengan analogi (qiyas) ketentuan dalam Q. S. 2: 282.

   Namun sebagian ahli berpendapat bahwa ayat ini hanya untuk utang piutang.

   Perjanjian utang piutang yang bersifat sementara saja diatur apalagi akad nikah yang seumur hidup.

   Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan hanya proses administrasi saja, tidak

  Menurut Hukum Islam 

  

Hadits Rasul, yang diriwayatkan oleh al-

Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah: “I’lanun nikaaha wadhribu alaihi bil gaarbaali”, artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan pukullah gendang dalam hubungan dengan pengumuman itu”

   Manfaatnya untuk memberi tahu masyarakat bahwa telah terjadi UU Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk 

  UU No. 22 tahun 1946 yang mulai berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2 Nov. 1954 melalui UU No. 32 tahun 1954:

  

  Pasal 1 ayat (1): nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.

  

Pasal 3 ayat (1): yang melakukan akad nikah

  SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953 No. 23 

  Bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak

didaftar maka nikah tersebut adalah sah,

sedang yang bersangkutan dikenakan denda karena nikah tidak didaftar

UU PERKAWINAN

  

  Pasal 2 ayat( 2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  

  Penjelasan Umum UU Perkawinan:

  

  Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  

  Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan

UU PERKAWINAN

   Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.

   Namun UU Perkawinan menempatkan pencatatan suatu perkawinan pada tempat (kedudukan) yang penting sebagai pembuktian telah diadakan perkawinan

  Kompilasi Hukum Islam

Pasal 5-7 menjelaskan bahwa:

   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat

   Pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN sebagaimana diatur dalam UU No 22 tahun 1946 jo.

  UU No 32 tahun 1954 

  Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN 

  Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN

  Wassalam Terimakasih