BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - MODEL PERATURAN DAERAH TERKAIT PERIZINAN YANG RAMAH INVESTASI DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (Studi di Kota Surakarta) - UNS Institutional Repository

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin penting

  jika dihadapkan pada pembangunan di bidang ekonomi yang sangat mempengaruhi iklim investasi, karena hal tersebut adalah modal pembangunan daerah. Krisis ekonomi dan krisis politik sejak tahun 1997

  1

  , yang sampai saat ini masih belum pulih kembali telah memunculkan agenda baru bagi Indonesia, yaitu pemulihan ekonomi melalui peningkatan investasi serta tuntutan demokratisasi di berbagai bidang.

  2 Dalam hal ini, ketidaksinkronan

  kebijakan Daerah dengan pusat dinilai sebagai hambatan dalam optimalisasi kinerja investasi di Daerah. Hal itu tercermin dari terjadinya over regulasi di Daerah melalui banyaknya peraturan hukum di Daerah yang tumpang tindih dan bertentangan karena belum adanya tertib peraturan perundang-undangan di Daerah.

  3 Secara makro, diskusi

  mengenai hal itu acapkali menunjuk kepada pertikaian kebijakan dan politik yang sering mewarnai penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di republik ini.

  4 Investasi dalam kegiatan pembangunan di suatu daerah, sangatlah diperlukan guna menunjang pembangunan daerah tersebut.

  5 Hal ini diperlukan karena terkadang suatu 1 Sebagaimana dikutip dari Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan-Menuju Indonesia Negara

Hukum Demokratis , Cet.I, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi,

2006. Hal. 9 2 Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terhadap Iklim Investasi

  ”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.5 Tahun 2003, hal 9. 3 Disharmonisasi peraturan perundang-undangan memiliki makna adanya ketidakpastian hukum dalam

pelaksanaannya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum baik secara materiel maupun formil.

  

Secara materiel terkait dengan adanya ketidaktertiban suatu masyarakat akibat adanya peraturan perundang-

undanganan yang tidak menjamin ketidakpastian hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal

  

28 D ayat (1) yang berbunyi : “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum .” Lihat: Wasis Susetio, “Disharmoni Peraturan Perundang- Undangan Di Bidang Agraria”, Lex Jurnalica Vol. 10 No. 3, Desember 2013, hal. 136. 4 Pada umumnya isu-isu yang dipertikaikan sehingga terjadi tarik-menarik antara pusat dan daerah ini

mencakup tiga hal pokok. Pertama, wewenang dan tugas daerah (expenditure assignment). Kedua, wewenang daerah

untuk memungut pajak (tax assignment). Ketiga, sistem transfer antar pemerintahan (intergovernmental fiscal

transfer ). Berbagai literatur keuangan negara memang menyebutkan ketiga hal tersebut sebagai masalah-masalah yang

krusial dalam sistem pemerintahan bertingkat (multi-level government), sebagai hasil interaksi antara pusat dengan

daerah (sub-nation). Diskusi men arik soal ini, lihat: Robert A. Simanjuntak, “Kebijakan Pungutan Daerah Di Era Otonomi”, Working Paper No.6/2003 LEM UI, 2003, hal. 2. 5 Pembangunan Daerah dan Investasi merupakan dua kata yang memiliki arti berbeda dan sekilas jika daerah tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk melaksanakan pembangunan

  6

  daerahnya. Kemandirian daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seperti pajak dan retribusi daerah dan lain-lain dan pembanguan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan

  7 sebagainya.

8 Perlunya pelibatan peran swasta ataupun investor ini dapat digambarkan dalam

  suatu skala dunia, World Development Report dimana menyebutkan bahwa 90% lapangan

  9

  kerja di dunia diciptakan oleh pelaku usaha swasta . Untuk menarik investor agar menginvestasikan modalnya di daerah, diperlukan peraturan perundang-undangan yang ramah dengan investasi dan tentunya berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, antara menjaga stabilitas ekonomi dan ekosistem lingkungan dilakukan dengan seimbang.

  Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Pembangunan Proyek PLTU di Kabupaten Batang)”, Politika, Vol. 5, No. 1, Oktober 2014, hal. 45. 6 Persoalan ini amat erat kaitannya dengan isu kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan rasio Dana Perimbangan

berpengaruh negatif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada model kemiskinan, kemandirian

keuangan daerah berpengaruh positif secara signifikan terhadap peningkatan persentase penduduk miskin,

sedangkan rasio Dana Perimbangan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap persentase penduduk miskin, indeks ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif secara signifikan terhadap

persentase penduduk miskin. Lihat selengkapnya Stannia Cahaya Suci, 2013, Pengaruh Kemandirian Keuangan

Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten , Departemen Ilmu

Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 7 Menurut Halim, ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi desentralisasi fiskal) adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus

menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Semakin

tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin baik.

  Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan kemandirian keuangan daerah yang semakin baik, diduga akan meningkatkan sehingga mendukung pembangunan daerah sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lihat: A. Halim, 2001, Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UPP YKPN. 8 Dalam sektor infrastruktur misalnya, s ektor swasta telah terbukti banyak membantu pemerintah terutama dalam penyediaan infrastruktur di negara-negara yang sedang berkembang. Sisi lain dari aspek peran

serta sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur adalah prinsip kepentingan swasta dalam menjalankan usaha,

dimana modal besar yang diinvestasikan tentu harus ada jaminan kepastian pengembalian dengan keuntungan yang

memadai. Lihat: Hilwati Hindersah , “Prospek Kemitraan Pemerintah Swasta dalam Penyelenggaraan Pelayanan Infrastruktur”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 3, No. 3, hal. 12. 9

  Kondisi yang terjadi pada saat ini terdapat kecenderungan pemben-tukan peraturan perundang-undangan di Daerah (Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota) secara berlebihan tanpa melihat dan disesuaikan dengan arah prioritas pembangunan nasional dan kebutuhan konkret masyarakat. Hal ini mengakibatkan jumlah Peraturan Daerah menjadi semakin banyak (hyper regulations). Gejala hyper regulations ini masih ditambah dengan rendahnya kualitas sebagian besar Peraturan Daerah yang ditunjukkan antara lain melalui ketidaksesuaian antara pilihan jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya, tumpang tindih, inkonsisten, pertentangan dan multitafsir antar peraturan perundang-undangan baik yang sejenis/setingkat maupun dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

  Euforia otonomi daerah yang dimaknai dengan kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, diikuti dengan upaya untuk

  10 memperoleh pendapatan sebesar-besarnya dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

  Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah yang mengatur berbagai macam pungutan (pajak daerah dan retribusi daerah) untuk meningkatkan pendapatan daerah yang sebesar-besarnya. Demikian juga kesalah pemahaman terhadap berbagai peraturan yang dibuat oleh kementerian sektoral, direspon oleh Pemerintah Daerah dengan membuat berbagai kebijakan yang tertuang dalam banyak Peraturan Daerah, terutama di bidang

  11 perizinan.

  Munculnya banyak pungutan di daerah dan panjangnya rantai birokrasi dalam penyelenggaraan perizinan di daerah telah mengakibatkan praktik ekonomi dan menimbulkan biaya tinggi. Hal tersebut membebani kegiatan usaha ekonomi masyarakat di daerah, yang tentunya bertentangan dengan pelaksanaan dan mempercepat pencapaian target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2016, dan Nawa Cita.

  Gejala over regulation yang ditunjukkan melalui pembentukan Peraturan Daerah 10 yang berlebihan telah menciptakan Peraturan Daerah yang justru mengakibatkan

  Made Warka, “Pembangunan Hukum Investasi dalam Peningkatan Penanaman Modal di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum , Volume 11 No. 21, Februari 2015, UNTAG: Surabaya Hal. 26 11 Cornella O. Rumbay, “Kajian Yuridis Jaminan Kepastian Hukum Mengenai Perlakuan dan Fasilitas

  penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di bidang ekonomi khususnya investasi menjadi

  12

  tidak efisien dan efektif. Hal itu mengakibatkan tidak adanya kepastian bagi pemerintah daerah selaku pelaksana penyelenggaraan pemerintahan serta bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi dan investasi di daerah. Kondisi demikian berakibat pada menghambat iklim investasi dan pembangunan pertumbuhan ekonomi yang diprogramkan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji permasalahan tersebut dan menawarkan model Peraturan Daerah yang berkaitan dengan perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan di Kota Surakarta.

  Evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, telah menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor: 582/476/SJ tentang Pencabutan/ Perubahan Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah Dan Keputusan Yang Menghambat Birokrasi Dan Perizinan Investasi. Instruksi ini ditetapkan pada 16 Februari 2016. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Peraturan Daerah bermasalah yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan

  13

  peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebelumnya, Laporan dari Kemendagri, sejak awal desentralisasi (2002) hingga akhir 2009, tercatat bahwa ada 1878 perda yang dibatalkan. Perda yang dibatalkan ini sebagian besar berasal dari perda pungutan (pajak dan retribusi daerah), dan sisanya adalah perda terkait penjualan minuman beralkohol, sumbangan pihak ke tiga dan perda lainnya. Sementara itu, KPPOD, menemukan bahwa dari 1.500 perda yang dianalisis, 81% perda yang dikaji memiliki permasalahan terkait aspek yuridis, 39% memiliki masalah pada aspek substansi, dan 23% bermasalah pada aspek prinsip. Permasalahan pada aspek prinsip inilah yang merupakan permasalahan paling signifikan dalam suatu perda karena pelanggaran ini akan merugikan masyarakat. Dari 23% perda yang bermasalah pada aspek prinsip, 17% perda bermasalah

  

14 12 pada indikator dampak ekonomi negatif. 13 Made Warka. Op.Cit. https://news.detik.com/berita/3238417/mendagri-publikasikan-3143-perda-yang-dicabut-atau-direvisi- pemerintah diakses pada 25 Januari 2017 pukul 21.10 14 Boedi Rheza, et.al., Evaluasi Perda Pungutan di Era UU No.28 Tahun 2009, Jakarta, Komite Pemantauan Otonomi Daerah, 2014, hal. xv. Disisi lain, pembatalan Peraturan Daerah kabupaten/kota di bidang perizinan menimbulkan masalah baru di daerah. Dengan adanya pembatalan tersebut, berpotensi menimbulkan terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan perizinan. Selain itu, pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/kota di bidang perizinan dinilai terlalu membatasi kewenangan daerah untuk meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Pembatasan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi daerah, dimana daerah diberi kewenangan dan kemandirian untuk mengurus daerahnya, termasuk dalam rangka meningkatkan PAD. Setiap daerah, khususnya kabupaten/kota memiliki ciri khas dan kondisi yang berbeda, sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota telah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Termasuk didalamnya adalah pengaturan tentang perizinan. Selain itu, dalam praktiknya, prosedur pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/kota masih belum sesuai dengan ketentuan yang

  15 ada.

  Selanjutnya, berbeda dengan tahun lalu, di tahun 2017 kewenangan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi dibatalkan oleh Gubernur atau Kemendagri. Hal itu dikarenakan terbitnya Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang telah membatalkan berlakunya aturan terkait kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam membatalkan Peraturan Daerah. Putusan tersebut disampaikan Majelis Hakim MK dalam Sidang Perkara No. 137/ PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor

  23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Rabu, 4 April 2017. Dampak dari putusan MK tersebut, kewenangan membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh

16 Mahkamah Agung. Namun, putusan ini tidak serta merta membatalkan Instruksi Mendagri Nomor: 582/476/SJ.

  Tahun 2016, ada 7 Peraturan Daerah di Surakarta yang waktu itu diusulkan untuk dihapus, dimana 3 diantaranya adalah usulan dari Pemkot Surakarta dan yang lainnya 15 adalah hasil instruksi dari pemerintah pusat:

  Dita Dwi Arisandi, Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota Di Bidang Perizinan, Universitas Airlangga: Surabaya, 2017, Hal.6 16 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58e5f4f15b574/catat-kini-pembatalan-perda-kabupaten-kota-

1. Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2003 tentang Tanda Daftar Perusahaan (Pusat); 2.

  Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2003 tentang Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, dan Tanda Daftar Gudang (Pusat); 3. Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah

  (Pemkot); 4. Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2010 tentang Pendidikan (Pusat); 5.

  Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2012 tentang Penataan dan Pembangunan Menara Telekomunikasi (Pusat); 6. Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2014 tentang izin gangguan (Pemkot);

  17 7.

  Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2014 tentang pengelolaan air tanah. (Pemkot).

  Saat ini, 3 Peraturan Daerah Surakarta yang berkaitan dengan perizinan yang menjadi fokus evaluasi adalah Peraturan Daerah pengelolaan menara telekomunikasi,

  18

  pengelolan air tanah dan tentang izin gangguan (HO). Langkah konkrit yang diambil Pemerintah Kota Surakarta dalam menanggapi Keputusan Mendagri tesebut adalah dengan menginventarisasi Peraturan Daerah Surakarta dan mengevaluasinya, terutama yang diindikasikan menghambat iklim investasi.

  Untuk mendorong kinerja pembangunan nasional maupun daerah yang lebih baik

  19

  dibutuhkan langkah-langkah deregulasi dengan mengevaluasi regulasi di Daerah untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan tiadanya tertib regulasi yang koheren dengan

  20 17 kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Dalam rangka mewujudkan tertib peraturan http://solo.tribunnews.com/2016/06/18/tujuh-perda-kota-solo-ini-akan-dihapus-karena-dianggap-hambat- investasi diakses pada 25 Januari 2017 pukul 21.10 18 http://solo.tribunnews.com/2016/04/25/tiga-perda-di-solo-ini-bisa-jadi-penghambat-investasi diakses pada 25 Januari 2017 pukul 22.40 19 Istilah deregulasi pada mulanya mempunyai arti menghapus atau mengurangi peraturan. Dalam

perkembangannya, deregulasi mengandung pengertian yang lebih luas, mencakup (i) Menghapuskan peraturan; (ii)

  

Mengurangi sejumlah peraturan; (iii) Merubah dan memperbaiki peraturan; dan (iv) Menguji isi rancangan suatu

peraturan. Dalam optik ekonomi, deregulasi dimaksudkan untuk mengurangi beban ekonomi yang ditimbulkan oleh

suatu peraturan di dalam penerapannya, dan sebagai konsekuensinya adalah campur tangan pemerintah dalam

segala hal menjadi berkurang. Lihat: Tri Hayati, “Paket Deregulasi Pasar Modal Tahun 1988: Suatu Tinjauan Terhadap Peran dan Penyempurnaannya”, Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun XXIII, 1993, hal. 342. 20 Dilihat dari aspek yuridis formal, setiap kebijakan publik memiliki kekuatan hukum untuk

diimplementasikan, karena rakyat punya kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar untuk mematuhi peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam kenyataannya ditemukan faktor-faktor pendorong dan di Daerah diperlukan evaluasi regulasi yang didefinisikan sebagai suatu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas peraturan perundang-undangan di Daerah agar terwujud tertib peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum bagi

  21 masyarakat.

  Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis Peraturan Daerah Surakarta yang berkaitan dengan perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan di Surakarta. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih mendalam dalam sebuah tesis yang berjudul “MODEL PERATURAN DAERAH TERKAIT PERIZINAN YANG RAMAH INVESTASI DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (Studi di Kota Surakarta)”.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan urutan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, agar permasalahan yang di teliti menjadi jelas dan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Apakah Peraturan Daerah di Kota Surakarta yang berkaitan dengan perizinan telah mencerminkan ramah investasi dan berwawasan lingkungan?

  2. Bagaimana model Peraturan Daerah terkait perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan di Kota Surakarta?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif

21 Perda yang baik tidak hanya memiliki kesesuaian muatan dengan kriteria-kriteria tersebut, namun juga

  

melalui proses pembuatan yang baik. Menurut Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011: Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik meliputi: (i) Kejelasan tujuan, (ii) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat,

(iii) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, (iv) Dapat dilaksanakan, (v) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, (vi)

kejelasan rumusan, dan (vii) Keterbukaan. Keterbukaan dalam pembuatan suatu kebijakan juga dijamin melalui Pasal

  

96 UU No.12 Tahun 2011 yang mengatur tentang Partisipasi Masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. Sehingga pada proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus ada keterlibatan dari seluruh unsur masyarakat, termasuk pelaku usaha. a.

  Menganalisis ketercukupan Peraturan Daerah di Kota Surakarta terkait dengan perizinan untuk ramah investasi dan berwawasan lingkungan; b.

  Memberikan model Peraturan Daerah terkait perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan di Kota Surakarta.

2. Tujuan Subjektif a.

  Menambah pengetahuan pada bidang ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Kebijakan Publik; b. Menerapkan pengetahuan serta pemahaman peneliti terhadap teori-teori dalam ilmu hukum yang telah dipelejari selama menempuh perkuliahan guna melatih kemampuan dalam menerapkan teori-teori tersebut dalam praktiknya di masyarakat yaitu dengan melakukan kajian terhadap Peraturan Daerah mengenai perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan di Kota Surakarta c. Menyusun tesis sebagai syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar

  Magister di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

  Dalam sebuah penelitian diharapkan melahirkan manfaat yang berguna khususnya bagi ilmu pengetahuan bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan oleh peneliti dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Memberikan sumbangsih untuk pengembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan hukum kebijakan publik; b.

  Memberikan kontribusi dalam dunia akademisi sehubungan dengan perizinan yang ramah investasi dan berwawasan lingkungan; c.

  Menambah wawasan dan dapat dijadikan bahan referensi karya ilmiah serta masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis a.

  Memberikan penjelasan yang bersifat preskriptif sebagai pelaku pelaku akademisi dan membagi ilmu pengetahuan di bidang hukum yang berguna bagi pengembangan kemampuan hukum penulis di bidang ilmu hukum kebijakan publik; b.

  Memberikan wawasan mengembangkan penalaran, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu melakukan penelitian yang telah diperoleh di perkuliahan ke dalam peristiwa yang ada di dalam masyarakat.