PENGARUH METODE BERPIKIR BERPASANGAN BERBAGI (THINK PAIR SHARE)PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA (STUDI EKSPERIMEN DI KELAS VIII SMP NEGERI 1 SEYEGAN) - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran Menurut Sudjana (1987: 17) belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan

  adanya perubahan pada diri seseorang yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kemampuan dan aspek lain yang ada pada diri individu. Oleh karena itu, belajar merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Jika demikian, maka berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses yang dialami siswa, baik ketika siswa berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 1997: 89).

  Kegiatan belajar diharapkan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku karena dalam belajar tentunya memperoleh pengetahuan baru. Hal tersebut senada dengan pendapat Joyce & Weil (1996: 49):

  “Knowledge lives in the consciousness of

  the minds that inhabit the planet and those mindschave a life of their own . Artinya,

  belajar adalah proses membangun pengetahuan sedikit demi sedikit yang dapat memberikan suatu makna sesuai dengan pengalaman yang dialami. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan pastinya sudah ada di dalam kesadaran dan pikiran individu.

  Nocilich dan Woolfolk (1984: 161) mengatakan bahwa: “Learning is an internal change in a person, the formation of new associations,

  or potensial for new respons. Learning is relatively permanent change in a person’s capabilities

  Artinya, belajar adalah perubahan dari dalam diri seseorang yang berupa penemuan pengetahuan baru atau potensi untuk menanggapi hal-hal yang baru. Belajar adalah perubahan yang tetap pada kemampuan seseorang secara relatif. Lebih lanjut Nocilich dan Woolfolk (1984: 161) berpendapat bahwa

  “Learning always involves a change in

  

the person who is learning. The change may be for the better or for worse, deliberate

or unintentional . Artinya, belajar selalu membuat perubahan baru pada diri sesorang

  yang mempelajarinya. Perubahan tersebut dapat membuat seseorang menjadi lebih baik atau lebih buruk, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

  Berdasarkan beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dari dalam diri seseorang untuk menanggapi hal-hal yang baru.

  Pengertian pembelajaran menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 20 adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Ada lima jenis interaksi yang berlangsung menurut Miarso (Argikas, 2015: 9) yaitu:

  1. Interaksi antara peserta didik bersama pendidik dengan peserta didik.

  2. Interaksi antara sesama peserta didik atau antar sejawat.

  3. Interaksi peserta didik dengan narasumber.

  4. Interaksi peserta didik bersama pendidik dengan sumber belajar yang sengaja dikembangkan, dan

  5. Interaksi peserta didik bersama pendidik dengan lingkungan sosial dan alam.

  Menurut Horsley (1990: 59) ada empat tahap yang umumnya seseorang alami saat proses pembelajaran berlangsung, yaitu: (1) tahap apersepsi, tahap ini berguna untuk mengungkapkan konsep awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa; (2) tahap eksplorasi, tahap ini berguna untuk mediasi pengungkapan ide-ide atau pengetahuan dalam diri siswa; (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa diupayakan untuk bekerjasama dengan teman- temannya, berusaha menjelaskan pemahamanya kepada orang lain, bahkan menghargai penemuan temannya; (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep, tahap ini adalah tahap untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu konsep dengan menyelesaikan permasalahan.

  Berdasarkan beberapa paparan mengenai pengertian pembelajaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi yang dilakukan antara guru dengan siswa, lingkungan, dan sumber belajar supaya siswa dapat belajar melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian yang dilakukan oleh guru, dimana perencanaan tersebut meliputi pembuatan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sedangkan proses pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan merupakan implementasi dari perencanaan yang telah disusun dalam RPP tersebut.

B. Pembelajaran Matematika

  Menurut Harta (2006: 4) pembelajaran matematika ditujukan untuk membina kemampuan siswa diantaranya dalam memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan gagasan, dan memiliki sikap menghargai terhadap matematika. Terkait Matematika, Chambers (2008: 9) menyatakan bahwa: “Mathematics is the study of patterns abstracted from the world araound us-so

  anything we learn in maths has literally thousands of applications, in arts, sciences, finance, health and recreation

  ” Artinya, matematika merupakan studi tentang pola yang diabstraksikan dari dunia disekitar kita, jadi segala sesuatu yang kita pelajari di matematika mempunyai banyak aplikasi dalam bidang seni, ilmu, keuangan, kesehatan dan rekreasi.

  Menurut Suherman (2001: 55) dalam pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan demikian, pembelajaran matematika hendaknya dapat membuat siswa mengembangkan pola berfikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar, selain itu diharapkan pula dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan suatu permasalahan yang akan dihadapi, baik saat pembelajaran berlangsung maupun dalam kehidupan sehari-hari.

  Lebih lanjut Suherman (2003: 3) menyatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya tidak hanya belajar untuk mengetahui, tetapi juga belajar melakukan, belajar menjiwai, belajar bagaimana harusnya belajar dan belajar bersosialisasi. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan dapat berperan aktif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Sehingga, pembelajaran matematika yang diterapkan diharapkan dapat membuat siwa mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk mendukung terlaksana pembelajaran yang sesungguhnya.

  Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara guru, siswa dan bahan ajar yang melibatkan pengembangan pola berfikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja diciptakan oleh guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa melakukan kegiatan belajar secara efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang memenuhi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang berlaku.

  SK dan KD biasanya digunakan untuk sekolah yang menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, dikarenakan penelitian ini dilakukan di sekolah yang menerapkan kurikulum tersebut, yaitu di kelas VIII SMP Negeri 1 Seyegan pada pembelajaran Matematika, maka terdapat SK dan KD yang harus dicapai. Berikut adalah SK dan KD dalam penelitian ini:

  

Tabel 2

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Penelitian

  Standar Kompetensi (SK) Kompetensi Dasar (KD)

  1. Teorema

1.1 Menggunakan Menggunakan Teorema Phytagoras untuk

  Phytagoras dalam menentukan panjang sisi-sisi segitiga siku-siku Pemecahan Masalah

  1.2 Memecahkan masalah pada bangun datar yang berkaitan dengan Teorema Phytagoras

C. Metode Pembelajaran Konvensional

  Djamarah (Iyas, 2010: 1) mengemukakan bahwa model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan siswa dalam proses belajar dan pembelajaran. Pembelajaran konvensional cenderung meminimalkan keterlibatan siswa sehingga membuat guru menjadi lebih aktif dan suasana belajar di kelas menjadi sangat monoton dan kurang menarik. Sehingga, paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran konvensional ini adalah paradigma mengajar karena kegiatan belajar mengajarnya didominasi oleh guru.

  Menurut Subaryana (2005: 9) pembelajaran dengan pendekatan konvensional menempatkan pengajar sebagai sumber tunggal. Hal tersebut menyebabkan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran sangat berkurang, siswa kurang inisiatif, kurang memiliki minat untuk mengetahui sesuatu hal dengan lebih mendalam, dan siswa menjadi bergantung pada guru. Walaupun demikian, pembelajaran konvensional dalam proses belajar mengajar dapat dikatakan efisien tetapi hasilnya belum memuaskan (Subaryana, 2005: 9).

  Dikarenakan hal tersebut maka metode pembelajaran konvensional ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam implementasinya. Menurut Purwoto (2003: 67) kelebihan metode pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut: 1.

  Dapat menampung kelas besar, tiap murid mendapat kesempatan yang sama untuk mendengarkan dan karenanya biaya yang diperlukan menjadi relatif lebih murah.

  2. Bahan pengajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru.

  Konsep-konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar pada siswa.

  3. Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting, sehingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin.

  4. Isi silabus dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena guru tidak harus menyesuaikan dengan kecepatan belajar siswa.

  5. Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak menghambat dilaksanakannya pelajaran dengan metode ini. Sedangkan kelemahan metode konvensional menurut Purwoto (2003: 67) adalah sebagai berikut:

  1. Pelajaran berjalan membosankan dan siswa menjadi pasif, karena tidak berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Siswa hanya aktif membuat catatan.

  2. Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat siswa tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.

  3. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini lebih cepat terlupakan.

  4. Ceramah menyebabkan belajar siswa menjadi “belajar menghafal” (rote learning ) yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian.

  Berdasarkan beberapa paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah suatu pembelajaran yang mengutamakan hafalan, pemahaman konsep-konsep materi, dan hasil dari pembelajaran yang mana pada prosesnya lebih berpusat kepada guru (teacher center) dan meminimalkan peran aktif siswa, sehingga dapat dikatakan guru adalah tokoh utama dalam pembelajaran.

  D.

  

Metode Pembelajaran Berpikir Berpasangan Berbagi (Think Pair Share)

  Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) menurut Adams & Hamm (1994: 47) adalah:

  “Cooperative learning is a natural vehicle for promoting multicultural

  understandings. Positive interdependence, shared responsibilities, social skill development, and heterogeneity result when students at various ability level cluster together, discuss topics, and learn to take charge of their own learning

  ” Artinya, cooperative learning atau model pembelajaran kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain pada satu kelompok dalam mengerjakan suatu tugas. Pembentukan kelompok tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antar-siswa. Interaksi inilah yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan sosial dan kemampuan akademis siswa. Lebih lanjut Artz dan Newman (Huda, 2012: 32) mendefinisikan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) sebagai

  “Small group of learners working together as a team to slove a problem, complete a task, or accomplish a common goal

  ”, artinya, kelompok kecil yang dibentuk dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning) akan membuat siswa bekerjasama dalam satu tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama. Dengan demikian, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencapai apa yang hendak dicapai dengan bekerjasama antar anggota kelompok.

  Hal tersebut senada dengan pendapat Widyantini (Rosmayati, 2005: 21), dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. Dalam pembelajaran kooperatif siswa dikelompokkan berdasarkan heterogenitas (kemacamragaman). Kelompok heterogenitas dapat dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.

  Berdasarkan beberapa paparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kelompok yang mengutamakan kerjasama antar anggota kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, adapun kelompok yang dibuat adalah heterogen (bermacam-macam).

  Salah satu contoh metode kooperatif yang digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas adalah metode Berpikir Berpasangan Berbagi (Think Pair

  

Share /TPS). Hal senada diungkapkan Lie (2004: 57) bahwa Think Pair Share (TPS)

  sebagai struktur kegiatan cooperative learning. Pendekatan struktural think pair share memberikan siswa waktu untuk berfikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain, dan merupakan salah satu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.

  Menurut Arends (2008: 15-16) langkah-langkah dalam menerapkan teknik

  think pair share adalah sebagai berikut: 1.

  Seperti namanya ‘Thinking’ pembelajaran ini diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan oleh peserta didik. Guru memberi kesempatan kepada mereka memikirkan jawabannya.

  2.

  ‘Pairing’, pada tahap ini guru meminta peserta didik berpasang-pasangan. Beri kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk berdiskusi. Diharapkan diskusi ini dapat memperdalam makna dari jawaban yang telah dipikirkannya melalui intersubjektif dengan pasangannya.

  3. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan hasilnya dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Tahap ini dikenal dengan

  ‘Sharing’. Dalam kegiatan

  ini diharapkan terjadi tanya-jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif. Peserta didik dapat menemukan struktur dari pengetahuan yang dipelajarinya. Menurut Lie (2008: 46) kelebihan metode think pair share adalah: 1.

  Meningkatkan partisipasi.

  2. Cocok untuk tugas sederhana.

  3. Lebih banyak kesempatan untuk konstribusi masing-masing anggota kelompok.

  4. Interaksi lebih mudah.

  5. Lebih mudah dan cepat membentuknya. Sedangkan kekurangan dari metode think pair share menurut Lie (2008: 46) adalah: 1.

  Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor atau dibutuhkan cukup banyak sumber daya manusia untuk memonitor kelompok belajar dalam TPS.

  2. Lebih sedikit ide yang muncul.

  3. Jika ada perselisihan, tidak ada penengah.

  Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) adalah metode diskusi berpasangan sebangku-bangku (think pair) untuk selanjutnya dipresentasikan (share) kepada kelompok diskusi lain yang bertujuan untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan tujuan pembelajaran yang sesungguhnya.

E. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

  Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam pembelajaran Matematika. Terkait dengan pembelajaran Matematika, Primta (2009: 381) menyatakan bahwa:

  “Mathematical problem is tool used as not only to help students develop their

  thinking ability but it also helps to develop their basic skills of solving the problem especially a problem in the daily life

  ” Artinya, masalah matematika adalah alat yang digunakan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir dan keterampilan dasar untuk memecahkan suatu permasalahan, terutama permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

  Sukirman (2005: 4) menyatakan bahwa masalah matematika dapat diklarifikasikan dalam dua jenis, yaitu:

  1. Masalah mencari (problem to find), yaitu mencari, menentukan, atau mendapat nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition), dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.

  2. Masalah membuktikan (problem to prove), yaitu untuk menentukan apakah suatu pertanyaan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri dari hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dan hipotesis menuju kesimpulan, sedangkan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak benar, cukup diberikan contoh penyangkalannya sehingga pernyataan tersebut menjadi tidak benar.

  Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin (Suherman, 2001: 83). Untuk menyelesaikan masalah seseorang harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakan dalam situasi baru. Oleh karena itu, masalah yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan dan kesiapannya serta proses penyelesaiannya tidak dapat dengan prosedur rutin.

  Menurut BNSP (2006: 140) ada empat indikator kemampuan pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah; (2) merancang model matematika; (3) menyelesaikan masalah, dan (4) menafsirkan solusinya. Selain itu, terdapat empat faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah siswa menurut Siswono (2008: 35) yaitu: 1.

  Pengalaman Awal Pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal aplikasi.

  Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika dapat menghambat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

  2. Latar Belakang Matematika Kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbeda-beda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

  3. Keinginan dan Motivasi Dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang menarik, menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan masalah.

  4. Struktur Masalah Struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan masalah), seperti format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat kesulitan soal), konteks (latar belakang cerita atau tema), bahasa soal, maupun pola masalah satu dengan masalah yang lain dapat mengganggu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

  Siswono (2008: 36) menyebutkan bahwa dalam memecahkan masalah perlu keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki, yaitu: (1) keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran); (2) keterampilan aplikatif untuk menghadapi situasi yang umum (sering terjadi); (3) keterampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar). Agar keterampilan tersebut optimal maka perlulah diterapkan langkah-langkah untuk memecahkan suatu masalah. Dalam hal ini, Polya (1973: 5) telah menyusun langkah-langkah dalam pemecahan suatu masalah, sebagaimana dijelaskan:

  “In order to group conveniently the questions and suggestion of our list, we

  shall distinguish four phases of the work. First, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. Second, we have to see how the varians item are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. Third, we carry out our plan.

Four, we look back at the completed solution, we review and discuss it

  ” Artinya, langkah-langkah dalam pemecahan masalah untuk memberikan pertanyaan dan saran yang tepat ada empat. Pertama, memahami masalah; kita harus melihat dengan jelas apa yang dibutuhkan. Kedua, menyusun rencana; kita harus mencari hubungan dari inforomasi yang ada dengan yang tidak diketahui dalam rangka menghasilkan ide dan sebuah solusi untuk membuat rencana. Ketiga, melaksanakan rencana. Keempat, melihat kembali solusi yang telah diselesaikan, dengan meninjau dan mendiskusikannya.

  Menurut Nuryadi (2014: 8) empat tahap pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan satu kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan. Lebih lanjut Nuryadi (2014: 8) memaparkan bahwa salah satu cara mengembangkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah adalah melalui penyediaan pengalaman pemecahan masalah yang memerlukan strategi yang berbeda-beda dari satu masalah ke masalah lain.

  Berdasarakan uraian yang telah dipaparkan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemecahan masalah adalah aktivitas terpenting dalam pembelajaran matematika yang membuat siswa berfikir kritis dan logis untuk dapat memproses informasi yang ada dan mencari solusi untuk menyelesaikannya dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) memahami masalah; (2) menyusun rencana; (3) melaksanakan rencana, dan (4) menyimpulkan.

F. Keaktifan Belajar Siswa

  Keaktifan belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari dan dikembangkan oleh setiap guru dalam proses pembelajaran. Hal tersebut sependapat dengan Nasution (2010: 86) yang menyatakan bahwa keaktifan belajar merupakan asas yang terpenting dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut Nasution (2010: 88) menegaskan bahwa dalam pendidikan anak-anak sendirilah yang harus aktif. Artinya anak sendirilah yang harus berbuat, karena saat ini keaktifan siswa juga dijadikan indikator dalam pendidikan. Terkait dengan keaktifan, Klesse (2004: 1) mengemukakan bahwa:

  “Student activities are education in nature, based on genuine student interest

  areas, usually conducted during student time rather than on school time, student led, opportunities for student to learn through feedback and evaluation, centered in the purpose of education and a process in which the final product in sometimes not as educationally important as the pocess of achieving it and the learning outcomes for each participant

  ” Artinya, pendidikan adalah aktivitas siswa yang muncul secara alami, hal tersebut dikarenakan kesungguhan dan ketertarikan siswa terjadi selama waktu belajar jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang dilakukan disekolah, kemudian timbal balik dari belajar tersebut adalah evaluasi yang dapat mengukur kemampuan siswa dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus meningkatkan hasil belajar, walaupun demikian, aktivitas siswa dapat dilihat saat proses pembelajaran berlangsung, sedangkan hasil akhir terkadang tidak dipentingkan.

  Aktivitas siswa digolongkan menjadi delapan tipe dalam pembelajaran. Delapan tipe tersebut dipaparkan oleh Paul B. Dierdich (Nasution, 1995: 91) yaitu: 1.

  Visual Activities yaitu membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, dsb.

  2. Oral Activities yaitu menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan: wawancara, diskusi, interupsi, dsb.

  3. Listening Activities yaitu mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato, dsb.

  4. Writing Activities yaitu menulis: cerita, karangan, laporan, tes, angket, menyalin, dsb.

  5. Drawing Activities yaitu menggambar, membuat grafik, peta, pola, diagram, dsb.

  6. Motor Activities yaitu melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, memelihara binatang, berkebun, dsb.

  7. Mental Activities yaitu menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dsb.

  8. Emotional Activities yaitu menaruh minat, merasa, bosan, gembira, berani, senang, gugup, dsb.

  Daya keaktifan yang dimiliki siswa secara kodrati akan dapat dikembangkan ke arah yang positif saat lingkungannya memberikan ruang yang baik untuk perkembangan keaktifan tersebut. Namun, masing-masing peserta didik tentunya memiliki kadar keaktifan yang berbeda-beda.

  Sudjana (2012:72) berpendapat bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar dapat dilihat dalam:

  1. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

  2. Terlibat dalam pemecahan masalah.

  3. Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.

  4. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.

  5. Melatih diri dalam memecahkan masalah atau soal.

  6. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh.

  Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa keaktifan belajar adalah kegiatan siswa yang bersifat fisik maupun mental untuk berbuat, berfikir dan mengkontruksikan pemahaman mereka sendiri sebagai suatu rangkain proses pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, kegiatan siswa tersebut dapat berupa visual activities (membaca, memperhatikan), oral

  

activities (mengeluarkan pendapat, berdiskusi), listening activities (mendengarkan),

writing activities (mencatat), drawing activities (menggambar pola) dan mental

activities (memecahkan soal, menganalisis).

G. Kajian Penelitian yang Relevan

  Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti tentang metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) yaitu:

  1. Penelitian Azizah (2011: 65) memaparkan bahwa siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

  2. Penelitian Husna, Ikhsan & Fatimah (2013: 88) memaparkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional jika dilihat secara keseluruhan siswa, akan tetapi secara kategori peringkat siswa hanya pada peringkat siswa tinggi saja peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Think Pair Share lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

  3. Penelitian Nisa, Musdi & Jazwinarti (2014: 28) memaparkan bahwa dari penelitian yang telah dilakukan di Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Padang Pajang dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share lebih baik dari pada hasil belajar matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional di kelas XI IPS SMA Negeri 2 Padang Panjang.

  Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pembelajaran matematika di SMP, maka dibuatlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) terhadap kemampuan pemecahan masalah dan keaktifan belajar siswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa dalam penelitian ini akan dicari tahu pengaruh metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa dan keaktifan belajar siswa di kelas VIII SMP Negeri 1 Seyegan Tahun Ajaran 2016/2017.

H. Kerangka Berpikir Penelitian

  Salah satu indikator keberhasilan siswa ditentukan dengan kemampuan memecahkan masalah. Siswa yang berhasil adalah pemecah masalah terbaik.

  Meskipun masalah yang dihadapi setiap siswa berbeda, tetapi ada elemen-elemen yang sama dan suatu struktur utama yang dapat membantu untuk mendukung pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan inti matematika karena memerlukan kemampuan berpikir kritis dan memerlukan peran aktif siswa (keaktifan siswa) selama pembelajaran berlangsung.

  Pada kenyataannya, kemampuan pemecahan masalah siswa di kelas VIII SMP Negeri 1 Seyegan masih rendah, hal ini disebabkan karena keaktifan siswa saat pembelajaran berlangsung juga rendah. Pembelajaran yang biasa diterapkan adalah pembelajaran konvensional yang lebih berpusat pada guru. Hal ini menyebabkan siswa kurang aktif dalam pembelajaran sehingga berpengaruh pada kemampuan pemecahan masalah siswa. Untuk membuat siswa menjadi lebih aktif dapat dilakukan apabila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara bervariasi, baik melalui metode maupun media pembelajaran. Dalam hal ini, peneliti akan menerapkan suatu metode untuk membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan membuat siswa mampu memecahkan suatu permasalahan matematika. Metode disini berarti suatu cara/prosedur bersistem dalam memudahkan pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe berpikir berpasangan berbagi (think pair share) di kelas eksperimen. Dengan penerapan metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan keaktifan belajar siswa. Metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) ini berbeda dengan metode diskusi lainnya. Hal tersebut dikarenakan metode ini dilakukan dengan cara guru menyajikan materi klasikal. Setelah materi tersebut disampaikan, guru memberikan persoalan kepada siswa.

  Masing-masing siswa diharuskan untuk memikirkan solusi dari persoalan yang diberikan guru (think) secara individu. Setelah itu, guru meminta siswa untuk berkelompok satu meja (pair) dan mendiskusikan hasil pemikiran siswa dalam kelompok tersebut. Kelompok yang sudah selesai mendiskusikan persoalan secara berpasangan diminta untuk mempresentasikan (share) didepan kelas. Setelah beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi tersebut, guru memberikan tugas individual untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah siswa terkait materi yang sudah disampaikan untuk kemudian guru membuat skor perkembangan tiap siswa. Penerapan metode kooperatif tipe berpikir berpasangan berbagi (think pair share) ini diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa dan keaktifan belajar siswa.

  Sedangkan untuk kelas kontrol, peneliti menerapkan metode pembelajaran konvensional yang sudah biasanya digunakan oleh guru mata pelajaran Matematika saat menyampaikan materi. Sehingga, kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

  Observasi Observasi

  Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

  

Pretest dan Lembar Pretest dan Lembar

  Observasi Keaktifan Observasi Keaktifan Pembelajaran dengan Metode Pembelajaran dengan Metode

  Konvensional Think Pair Share (TPS)

  

Posttest dan Lembar Posttest dan Lembar

  Observasi Keaktifan Observasi Keaktifan Membandingkan perbedaan pengaruh kemampuan pemecahan masalah dan keaktifan belajar siswa

  

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

I.

   Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan tinjaun pustaka dan kerangka berfikir di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitiannya adalah:

  1. Penerapan metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.

  2. Penerapan metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) berpengaruh terhadap keaktifan belajar siswa.

  3. Penerapan metode berpikir berpasangan berbagi (think pair share) lebih berpengaruh daripada penerapan metode konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah dan keaktifan belajar siswa.

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING BERBANTUAN KARTU SOAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 ULUJAMI

0 0 11

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA KELAS VII A SMP PLUS AL-AMANAH BOJONEGORO

0 0 8

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE SISWA KELAS VIII D SMP N 1 PLERET

0 0 8

UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH SISWA KELAS VIID SMP NEGERI 1 ALIAN

0 0 8

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 6 KEBUMEN

0 0 8

PROSES BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH 1 SURABAYA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA SKRIPSI

0 0 16

Page | 1 ARTIKEL ILMIAH PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH SOLSO TERHADAP KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DIKELAS VIII SMP NEGERI 7 KOTA JAMBI

0 2 8

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INVESTIGASI KELOMPOK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TAROWANG KABUPATEN JENEPONTO

0 8 96

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SERTA MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP - repo unpas

0 1 24

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII A SMP NEGERI 17 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016 - UNS Institutional Repository

0 0 19