DIKA P BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Cerpen Cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu

  fisiknya dalam objek terkecil (Sumardjo, 2007: 19). Mengacu pada pemahaman tersebut maka dapat dipahami bahwa arti pendek bukan terletak pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup masalahnya. Ruang lingkup masalah sangat dibatasi, maka masalah tersebut harus digambarkan dengan jelas sehingga mengesankan pembaca. Dikarenakan bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita.

  Pendapat lain mengungkapkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang

  Thahar, 2009 kiranya tak mungkin dilakukan oleh sebuah novel ( : 175).

  Sedangkan Sumardjo (2007: 75) mengungkapkan bahwa lazimnya cerpen terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan halaman. Hal tersebut senada dengan pendapat Sayuti (2009: 13), bahwa panjang cerpen berkisar 1000-1500 kata sehingga panjang cerpen dapat dibaca dalam waktu baca yang tidak lama. Namun, keduanya mempunyai unsur yang sama yaitu alur cerita, tokoh cerita, judul, latar cerita, tema, sudut pandang, diksi dan bahasa. Hal yang membedakan adalah cerpen hanya memiliki satu konflik, satu tema pokok dan satu klimaks. Pada umumnya ide cerpen diangkat dari realitas sosial dan budaya, menjadi sebuah realita baru sesuai versi dan kepentingan pengarangnya. Selain itu cerpen juga dapat menjadi sarana merefleksikan kehidupan manusia dan juga memberikan satu wacana baru bagi pembaca.

  9 Diungkapkan oleh Sayuti (2000: 9) bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Selanjutnya Sayuti mengungkapkan bahwa sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Di samping hal tersebut, kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukan karakternya.

  Secara umum dengan membaca cerpen, seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki. Hal ini terjadi karena tokoh merupakan sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Jadi, dapat dipahami bahwa membaca cerpen tidak sekedar mengetahui jalan cerita tetapi mengetahui manusia dengan sifat-sifatnya. Karya sastra bentuk ini juga merupakan suatu alat komunikasi dari perasaan-perasaan yang dimiliki manusia.

  Melalui cerpen kita dapat mengetahui bagaimana gambaran kehidupan masyarakat suatu zaman, masalah kemanusiaan, cinta, harapan, protes, ketimpangan sosial, religiusitas, dan sebagainya.

  Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan salah satu hasil karya sastra yang ceritanya lebih ringkas. Cerpen lebih sederhana dibandingkan novel sehingga waktu yang diperlukan untuk membaca cerpen tidak terlalu lama. Cerpen dikatakan lebih sederhana karena tokoh di dalam cerpen tidak terlalu banyak dan ceritanya lebih fokus terhadap satu masalah sehingga pencitraan tokoh dapat tergambarkan dengan jelas. Cerita pendek mengisahkan kehidupan tokoh yang berada dalam satu peristiwa atau satu kejadian. Tokoh di dalam cerpen dapat berupa tokoh imajinatif atau tokoh nyata, hal ini sesuai dengan kehendak pengarang itu sendiri.

B. Ketidakadilan Gender

  Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari Bahasa Inggris. Jika dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian antara sex (seks) dan

  

gender . Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan kaitan antara konsep gender dengan

  masalah ketidakadilannya (Fakih, 2012: 7). Salah satu cara untuk membedakan konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata sex. Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks. Dalam kaitannya dengan peranan laki-laki dan perempuan di masyarakat, pengertian dari kedua konsep itu sering disalahartikan, maka untuk menghindari hal itu dan dan untuk mempertajam pemahaman kita tentang konsep gender, maka pengertian seks perlu dijelaskan terlebih dahulu.

  Istilah seks dapat diartikan kelamin secara biologis, yakni alat kelamin laki- laki dan alat kelamin perempuan. Sejak lahir sampai meninggal dunia, laki-laki akan tetap berjenis kelamin laki-laki dan perempuan akan tetap berjenis kelamin perempuan (kecuali dioprasi untuk berganti jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Pemikiran ini mengacu pada kodrat Tuhan yang dikenakan pada manusia. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki buah jakar dan memproduksi sperma.

  Di sisi lain perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, dan mempunyi alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya, artinya secara biologis tidak dapt dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin itu tidak dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan (Fakih, 2012: 8). Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis.

  Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara laki- laki dengan perempuan, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati.

  Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.

  Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bias berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Fakih, 2012: 8-9). Sedangkan menurut Illich (2007: 10) gender lebih banyak digunakan dalam pengertian sehari-hari untuk menyebut perbedaan sosial antara maskulin dan feminisme. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa gender itu dipahami berbeda sesuai dengan budaya dan kepercayaan yang diyakini suatu masyarakat.

  Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, pembagian peranan antara laki-laki dengan perempuan dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti, peran gender dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Di setiap masyarakat, memang tuntutan akan sifat-sifat yang dimiliki jenis kelamin laki- laki dan perempuan tidaklah selalu sama, tergantung pada lingkungan budaya, tingkatan sosial ekonomi, umur dan agama. Berbagai faktor tersebut akan menentukan derajat perbedaan pembagian sifat antara laki-laki dan perempuan.

  Jika mengacu pada pengertian di atas, diperoleh gambaran bahwa istilah gender berbeda dengan istilah perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis sebagai kodrat yang dibawa sejak lahir. Gender merujuk pada sekumpulan aturan, tradisi, dan hubungan sosial budaya yang menentukan kategori “feminim”, “maskulin”. Dengan demikian, feminitas dan maskulinitas merupakan bentukan sosial budaya dan bukan merupakan bawaan yang tidak dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat sebagaimana laki-laki dan perempuan yang sudah tentu secara biologis (Kuntowijoyo, 2003: 129). Kenyataan yang ada dalam masyarakat, dunia feminim dipertentangkan dengan dunia maskulin. Padahal, sesungguhnya perempuan merupakan bagian tidak terpisahkan dari laki-laki. Akan tetapi, karena semua hal diatur oleh laki-laki, perempuan mendapatkan tempat yang lebih rendah (De Beauvoir, 2003: 608).

  Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki- laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial (Tong, 2010: 1). Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturasi ke dalam inferioritas (Tong, 2010: 45). Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan (Selden, 1991: 131- 132). Gagasan patriarki menyarankan dominasi universal tanpa asal-usul dan variasi kesejarahan. Dominasi ini merupakan suatu proses kompleks yang terdiri atas berbagai unsur yang harus dihubungkan. Unsur-unsur itu meliputi organisasi ekonomi rumah tangga dan ideologi kekeluargaan yang menyertainya, pembagian kerja dalam sistem ekonomi, sistem pendidikan dan pemerintahan, dan kodrat identitas jenis kelamin dan hubungan di antara reproduksi seksualitas dan biologis (Hollows, 2000: 134).

  Menurut Fakih (2012: 12) perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).

  Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan.

  Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya yaitu subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Masing-masing bentuk ketidakadilan gender tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Subordinasi

  Subordinasi adalah pandangan yang memposisikan perempuan dan karya- karyanya lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan dipandang kurang mampu, sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah, sedangkan laki-laki mendapatkan kebebasan untuk memilih tugas yang menurutnya pantas dilakukan. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi (Fakih, 2012: 15).

  2. Stereotipe

  Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, akibatnya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Satu di antara jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya selalu terjadi pada perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut (Fakih, 2012: 16).

3. Kekerasan

  Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya sebagai berikut.

  Pertama , bentuk pemerkosaan terhadap perempuan. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).

  Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child

  

abuse ). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital

mutilation ). Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostution). Kelima,

  kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation). Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional

  harassment .

  Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Menurut Fakih (2012: 17) ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual. Di antaranya sebagai berikut.

  1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.

  2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor

  3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya.

  4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya.

  5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan. Pada dasarnya masih banyak kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan gender yang merupakan hak mereka dalam memposisikan diri sama dengan laki-laki. Hal ini terbukti bahwa kaum laki-laki khususnya yang masih berada dalam lingkungan patriarki. Kaum laki-laki lebih banyak berperan sentral dalam segala urusan memilih jalan hidup yang salah satunya adalah tentang profesi. Kaum laki-laki bebas memilih profesi yang diinginkannya tanpa ada orang lain di sekitarnya yang peduli. Menurut Gamble (2010: 38) sistem patriarki adalah satu di antara penyebab terjadinya ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan.

  Tindakan ketidakadilan gender tidak akan pernah berakhir selama sistem patriarki digunakan sebagai acuan berfikir, bersikap dan berlaku pada masyarakat terutama kaum perempuan. Karena sistem patriarki berada dalam segala bidang kehidupan sejak dari keluarga, kekerabatan, masyarakat, agama, pendidikan, pekerjaan, berbagai kelembagaan negara, bahkan dunia. Ketidakadilan yang dialami perempuan dikarenakan masih adanya kebudayaan dalam suatu masyarakat yang melestarikan konsep patriarki, sehingga segala kekuasaan dititikberatkan hanya kepada laki-laki. Hal tersebut merugikan perempuan karena perempuan selalu diposisikan sebagai pelengkap laki-laki sehingga perempuan tidak bisa berkembang dan lebih maju dari laki-laki. Dengan demikian, dalam masyarakat terdapat oposisi biner (binary opposition) antara maskulinitas dan feminitas. Pengubahan oposisi biner tersebut kemudian menjadi tujuan perjuangan feminisme, termasuk dalam studi sastra (Jackson dan Jackie Jones, 2009: 13). Feminisme dalam studi sastra menggunakan soft

  

deconstruction , yaitu dengan mengalihkan pusat perhatian konstruksi dari realitas

maskulin ke realitas feminim (Tong, 2010: 56).

C. Kritik Sastra Feminis

  Pembahasan tentang perspektif gender tidak bisa lepas dari kritik sastra feminisme. Oleh karena itu sebelum membahas tentang perspektif gender, akan dibahas terlebih dahulu kritik sastra feminisme. Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Ratna (2012: 226) berasal dari kata femme, berarti perempuan. Menurut Sugihastuti (2002: 18), feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.

  Pada hakikatnya feminisme merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga. Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia (2009: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan. Feminisme menurut Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan (2010: 140) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Sedangkan menurut Djajanegara (2003: 18) bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki- laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.

  Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang tertindas, terutama tertindas oleh budaya patriarki. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi perempuan, yaitu proses pelepasan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju. Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.

  Di sisi lain menurut Sugihastuti (2002: 135) analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui pendekatan kritik sastra feminis yang sekarang berkembang di Amerika. Pendekatan tersebut berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita. Hal ini diperkuat oleh Pradotokusumo (2008: 83) yang mengatakan bahwa kritik feminis adalah kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra terutama dalam cerpen.

  Kemudian Pradotokusumo (2008: 84) juga menambahkan bahwa inti dasar dari kritik sastra feminis adalah mempermasalahkan prasangka praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki dan tidak sedikit pun membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan. Berdasarkan pendapat tersebut, muncullah sebuah permasalahan yang utama dalam kritik feminis yakni adanya encriture feminine (karya tulis perempuan), yakni karya tulis khas perempuan dalam gaya dan bahasa.

  Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Endraswara (2011: 146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya, sehingga muncullah istilah reading as a woman (membaca sebagai perempuan), maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkat. Menurut Sugihastuti (2000: 19) membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Di dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.

  Endraswara (2011: 147) menjelaskan bahwa reading as women adalah membaca sebagai perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme. Analisis cerpen dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini munculah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra.

  Menurut Wiyatmi (2008: 113) kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Selain itu kajian feminisme juga dipahami sebagai salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2010: 7) kritik sastra feminis merupakan kesadaran membaca sebagai perempuan, yakni kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Mengacu pada sejarahnya, feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, baik dalam bidang publik maupun bidang domestik.

  Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior. Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik. Saat ini telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama laki- laki, sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan, menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laki-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya.

  Pada dasarnya label negatif tersebut tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri. Melalui feminisme, kaum perempuan menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis. Feminisme menganggap dominasi patriarki merupakan penyebab utama ketidakadilan gender perempuan. Hal itu sependapat dengan Fakih (2012: 78) pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki- laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahaman seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.

  Pada dasarnya tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara (2003: 85) adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk mencapai tujuan ini mencakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra. Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Endraswara (2011: 146) dengan sendirinya akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan masalah gender. Hal inilah yang membuat kajian feminisme selalu berkaitan dengan gender.

  Feminisme adalah sebuah paham/aliran yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2010: 86-89) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kritik feminis adalah salah satu kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra terutama dalam cerpen. Konsep penafsiran tersebut dilakukan dengan acuan dengan konsep reading is woman (membaca sebagai perempuan).

D. Pembelajaran Sastra di SMA 1. Ketidakadilan Gender sebagai Materi Pembelajaran Sastra di SMA

  Pembelajaran sastra merupakan proses belajar mengajar sastra yang dilakukan guru dan siswa dalam rangka menjadikan perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Endraswara, 2011: 7). Komponen pembelajaran sastra terdiri dari guru, siswa, tujuan, bahan pembelajaran (materi), metode, media pembelajaran dan evaluasi (Endraswara, 2011: 3). Pembelajaran sastra sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sastra yang terbaik adalah sesuai dengan hakikat sastra, sebagai seni, dan sebagai bagian dari budaya. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran seni sastra, bagian dari pendidikan seni, bagian dari pendidikan budaya. Sastra sebagai seni merupakan kegiatan kreatif dan pengalaman jiwa manusia yang dijelmakan ke dalam medium bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran sastra adalah pembelajaran kreativitas dan ekspresi.

  Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang seiring dan sejalan karena pembelajaran merupakan sebagian dari kegiatan pendidikan.

  Pembelajaran lebih menekankan pada usaha pemindahan (pewarisan) pengetahuan, kecakapan, dan pembinaan keterampilan kepada siswa. Sedangkan di sisi lain pendidikan lebih menekankan kepada usaha pembentukkan nilai-nilai hidup, sikap, dan pribadi siswa. Dengan menghayati dan memahami sastra, siswa dapat mengenal dan menghargai nilai. Nilai yang dijunjung oleh bangsa, memperoleh bandingan untuk dapat menghargai hidup, memperoleh kenikmatan dalam mengutarakan diri melalui ekspresi orang lain.

  Menurut Sayuti (2000: 21), melalui karya sastra yang mengandung berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan dalam bersikap yang diwujudkan dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Dengan memasuki “segala macam situasi” dalam karya sastra, seseorang akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas dari situasi dirinya yang nyata. Sastra memberikan pengalaman batin yang menjadikan siswa memiliki bekal dalam memecahkan persoalan yang serupa dalam dunia nyata berdasarkan realitas karya sastra yang dibacanya. Pembelajaran sastra dengan materi ketidakadilan gender dalam hal ini adalah sebuah proses pendidikan yang dijiwai oleh kesadaran adanya ketidakadilan gender yang masih sering terjadi di masyarakat dan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam pembelajaran sastra di SMA. Terciptanya pembelajaran sastra dengan materi ketidakadilan gender yang efektif, maka perlu memperhatikan pada tiga komponen yaitu kurikulum, materi yang disampaikan atau diproduksi oleh institusi pendidikan, dan strategi pembelajaran di kelas (Wiyatmi, 2008: 7). Jadi, pembelajaran bermaterikan ketidakadilan gender adalah proses belajar mengajar seni sastra yang kreatif dan ekspresif yang dijiwai oleh kesadaran adanya ketidakadilan gender yang masih sering terjadi.

  Pembahasan ketidakadilan gender yang dimasukkan ke dalam mata pelajaran, salah satunya dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menyalurkan pemahaman mengenai ketidakadilan gender kepada siswa-siswa. Hal tersebut dapat menjembatani masyarakat agar tercipta masyarakat yang berkeadilan dan memiliki kesetaraan gender. Pembelajaran sastra bermaterikan ketidakadilan gender perlu disiapkan materi pembelajaran yang menunjukkan adanya ketidakadilan gender atau mengkritisi adanya ketidakadilan gender yang terpresentasi pada karya-karya sastra Indonesia, yang menjadi bacaan dalam pembelajaran sastra. Perlu juga diperhatikan aktivitas dan karya-karya para sastrawan perempuan. Melalui pembelajaran sastra bermaterikan ketidakadilan gender, diharapkan secara pelan-pelan dapat tercipta adanya kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender dalam diri para pembelajar.

  Pemanfaatan karya-karya yang sudah ada juga sangat tepat dilakukan dalam mempersiakan materi ajar sastra bermaterikan ketidakadilan gender. Hal itu tepat dilakukan selain secara khusus dilakukan penyusunan bahan ajar sastra yang mengupas tentang ketidakadilan gender. Secara umum dapat dipilih karya-karya sastra yang sensitif gender atau karya-karya sastra yang bernuansa feminis. Salah satunya yaitu karya-karya sastra mengandung semangat keadilan dan kesetaraan gender, atau kritis terhadap ketidakadilan gender. Berdasarkan uraian tersebut maka kumpulan cerpen Yang Menunggu dengan Payung karya Zelfeni Wimra dapat dijadikan saran implementasi sebagai materi pembelajaran sastra di SMA khususnya dilaksanakan pada kelas XI semester 1 dengan menyesuaikan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sebagai berikut.

  KI 3. Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prsedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. KI 4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai dengan kaidah keilmuan. KD 3.3. Menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan. KD 4.1. Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan.

2. Strategi Pembelajaran Sastra Melalui Pendekatan Scientific

  Kurikulum 2013 sudah diluncurkan sejak pertengahan tahun ini. Secara umum tidak ada perubahan berarti di dalamnya, namun menekankan pada pendidikan karakter atau sikap. Padahal, pada kurikulum KTSP lalu pun, pendidikan berkarakter sudah diterapkan, yang berubah adalah proses dalam mengajar dan belajar, kemudian perangkat pembelajaran. Proses pembelajaran dalam kurikulum 2013, sebenarnya bukan hal yang baru bagi para pengajar. Di dalam proses KTSP dahulu sudah ada yang namanya EEK (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi). Proses pembelajaran tersebut, kini dipecah kembali yang dinamakan proses pendekatan ilmiah (scientific

  approach ) pendekatan saintifik (5M).

  Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah (Kurniasih, dan Sani Berlin, 2014: 18). Pendekatan scientific diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Di dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih halus.

  Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala. Dengan adanya metode ilmiah dapat diperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Mengacu pada pemahaman tersebut maka untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip- prinsip penalaran yang spesifik. Metode ilmiah pada umumnya memuat serangakaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi, eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.

  Menurut Waluyo (2013: 139) pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Secara umum untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat non ilmiah. Menurut Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 lampiran IV, proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman pokok, yaitu: 1) mengamati, 2) menanya, 3) mengumpulkan informasi/eksperimen, 4) mengasosiasikan/mengolah informasi, dan 5) mengkomunikasikan. Kelima pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

  

Tabel 1. Keterkaitan antara Pengalaman Belajar dengan Kegiatan Belajar dan

Maknanya.

  Pengalaman Kompetensi yang Kegiatan Belajar Belajar

  Dikembangkan

  Mengamati Membaca, mendengar, Melatih kesungguhan, menyimak, melihat (tanpa atau ketelitian, mencari dengan alat) informasi

  Menanya Mengajukan pertanyaan tentang Mengembangkan informasi yang tidak dipahami kreativitas, rasa ingin dari apa yang diamati atau tahu, kemampuyan pertanyaan untuk mendapatkan merumuskan pertanyaan informasi tambahan tentang apa untuk membentuk pikiran yang diamati (dimulai dari kritis yang perlu untuk pertanyaan faktual sampai ke hidup cerdas dan belajr pertanyaan yang bersifat sepanjang hayat hipotetik)

  Mengumpulkan - Melakukan eksperimen Mengembangkap sikap informasi/ - Membaca sumber lain selain teliti, jujur, sopan, Eksperimen buku teks menghargai pendapat

  • Mengamati objek/ kejadian/ orang lain, kemampuan
  • Aktivitas berkomunikasi,
  • Wawancara dengan menerapkan kemampuan narasumber mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar

  Pengalaman Belajar Kegiatan Belajar Kompetensi yang Dikembangkan

  Mengasosiasikan/ mengolah informasi

  • Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.
  • Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan.

  Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kempuan dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

  Mengkomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya

  Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

3. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) a. Definisi Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

  Model discovery learning didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri (Kurniasih dan Sani Berlin, 2014: 30). Metode

  

discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses

intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Mulyasa, 2013: 43).

  

Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya

  untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi (Kumano dalam Septi, 2014: 219).

  Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Di sisi lain pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa. Maka siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

  Prinsip belajar yang nampak jelas dalam discovery learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Dengan mengaplikasikan metode discovery learning secara berulang- ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode discovery learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student

  

oriented . Mengubah modus ekspositori siswa hanya menerima informasi secara

keseluruhan dari guru ke modus discovery siswa menemukan informasi sendiri.

b. Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning

  Dalam mengaplikasikan model pembelajaran Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara aktif. Sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar peserta didik sesuai dengan tujuan. Menurut Syah (2004: 244) dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar. Prosedur tersebut yakni stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data), verification (pembuktian), generalization (menarik kesimpulan/generalisasi). Berikut penjelasan mengenai prosedur-prosedur yang diaplikasikan dalam metode discovery learning.

1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

  Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta dalam mengeksplorasi bahan. Di dalam hal ini guru memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada peserta didik agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

  2) Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)

  Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004: 244). Dari tahapan tersebut, peserta didik diharuskan menemukan permasalahan apa saja yang dihadapi, sehingga pada kegiatan ini peserta didik diberikan pengalaman untuk menanya, mencari informasi, dan merumuskan masalah. Sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi. Hal ini menjadi salah satu teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

  3) Data Collection (Pengumpulan Data)

  Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004: 244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.

  Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah peserta didik belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian secara tidak disengaja peserta didik menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

  4) Data Processing (Pengolahan Data)

  Menurut Syah (2004: 244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi.

  Kemudian bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Hidayat, 2013: 22). Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

  5) Verification (Pembuktian)