BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB I DIAN APRILIANI SEJARAH'12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jeruklegi adalah sebuah kecamatan dikabupaten Cilacap, jawa

  tengah , Kecamatan Jeruklegi berbatasan langsung dengan batas Kabupaten Cilacap dengan Banyumas di sebelah Utara, disebelah timur berbatasan dengan Kec. Kubangkangkung, sebelah Selatan, berbatasan dengan Tritih Kulon, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kesugihan. Asal Usul Jeruklegi, konon katanya dahulu kala karna begitu banyaknya tanaman Buah Jeruk disekitar tempat tersebut, Jeruklegi memiliki luas sekitar 9.930,20 Ha, daerah Jeruklegi sebagian besar berupa persawahan serta sedikit pegunungan. penduduk Jeruklegi umumnya masih diduduki uenduduk asli atau pribumi dari Jeruklegi sendiri, pendatang kebanyakan mereka yang berprofesi sebagai guru, atau pedagang dari Desa ataupun kota seberang. Jeruklegi sendiri mempunyai 13 Desa yang tersebar antara Lembah, persawahan dan Perbukitan. Berikut 13 Desa yang termasuk kawasan Kecamatan Jeruklegi : 1. Brebeg, 2. Cilibang, 3. Citepus 4, Jambusari, 5. Jeruklegi Kulon, 6. Jeruklegi Wetan, 7. Karangkemiri, 8. Mendala, 9. Prapagan, 10. Sawangan, 11. Sumingkir, 12. Tritih Lor, 13. Tritih Wetan. Untuk Urusan SUmber Daya, Jeruklegi Juga tidak kekurangan akan hal ini, Jeruklegi mempunyai cukup lahan Pertanian, dan tanahnya juga gampang untuk ditanami bermacam – macam Palawija. Dan ada hal unik

  1 tentang budaya masyarakat Desa Jeeruklegi adalah melakukan pernikahan pada usia dini.

  Setiap negara di belahan dunia mempunyai peraturan mengenai pernikahan tanpa terkecuali di Indonesia. Negara Indonesia sangat ketat di dalam membuat peraturan pernikahan yang dituangkan di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Arti pernikahan menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2003: 50 – 55)

  Semenjak manusia dilahirkan sudah termasuk makhluk sosial dan kenyataannya manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, pasti memerlukan bantuan orang lain. Hal ini dapat dilihat pada seorang anak yang baru dilahirkan lalu dibesarkan di lingkungan keluarga. Kemudian semakin luas lingkungan bersosialisasinya dengan tetangga, kelompok bermain, lingkungan sekolah dan masyarakat luas.

  Makhluk sosial diartikan lebih lanjut adalah bahwa setiap manusia harus dapat bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya itu, Untuk menyiapkan menjadi anggota masyarakat yang baik perlu mengalami proses pendidikan.

  Melalui proses pernikahan secara tidak langsung seseorang masuk ke dalam dunia atau lembaran hidup baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Untuk itu sebelum melakukan pernikahan perlu dipersiapkan masalah fisik, mental, dan pengetahuan yang semuanya diperoleh melalui proses pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai sarana memperoleh pengetahuan oleh masyarakat atau manusia formal dan non-formal, yaitu pendidikan yang diperoleh di luar sekolah (keluarga atau masyarakat), pengetahuan yang diperoleh di sekolah dan masyarakat dapat berguna di dalam membina keluarga.

  Pernikahan adalah salah satu asas pokok kehidupan yang utama dalam pergaulan masyarakat yang sesuai kaidah norma dan hukum sehingga terdapat aturan, hak, serta kewajiban yang dijamin oleh hukum. Pernikahan merupakan bukan saja satu jalan yang amat mulia untuk mengatur hidup rumah tangga atau keturunannya, melainkan juga dapat dipandang sebagai pintu pertemuan dan perkenalan antara satu kaum dengan yang lainnya. Hal itu akan memperluas ikatan kekerabatan.

  Secara biologis pernikahan mempunyai tujuan untuk meneruskan keturunan dan memenuhi hasrat seksual manusia. Antara tujuan memperoleh anak dan perbuatan seksual dalam pernikahan terdapat hubungan kausalitas, dengan akibat hukum tertentu, terutama bagi kedudukan anak, sedangkan yang lebih penting dari fungsi biologis adalah fungsi sosial pernikahan. Pasangan yang baru saja melaksanakan pernikahan, hidup bersama dalam ikatan, diakui dan disetujui oleh anggota masyarakat. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan kadang-kadang dengan anggota kerabat lainnya (Hadikusuma, 2003: 55-56).

  Dengan memperhatikan pengertian dan tujuan, pernikahan bisa terwujud dan tercapai apabila pria dan wanita sudah cukup umur, sedangkan di Kecamatan Jeruklegi pada tahun 1960-1965 masih banyak terjadi pernikahan dini. Pernikahan dini terjadi di Kecamatan Jeruklegi pada tahun 1960 berjumlah 20 pasangan diperoleh dari data di KUA. sehingga membuat peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini dengan judul Pernikahan Usia Dini di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten

  Cilacap Tahun 1960-1965.

B. Rumusan Masalah

  Perumusan masalah yang dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Keadaan umum masyarakat Desa Jeruklegi pada tahun 1960-1965; ? 2. Pernikahan usia dini di Kecamatan Jeruklegi tahun 1960-1965; ? 3. Dampak pernikahan usia dini setelah menikah; ? C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Bagaiman keadaan umum masyarakat Desa Jeruklegi pada tahun

  1960-1965; ? 2. Bagaimana pernikahan usia dini di Kecamatan Jeruklegi tahun 1960-

  1965; ?

3. Dampak usia pernikahan dini setelah menikah; ? D.

   Manfaat Penelitian

  Bagi masyarakat Untuk menambah wawasan,pengetahuan dan memberikan sumbangan bagi masyarakat agar mengerti dan memahami dampak yang ditimbulkan dari pernikahan usia dini. Bagi Desa, perangkat Desa hendaknya menetapkan persyaratan dan prosedur pernikahan yang berat apabila ada pasangan yang melangsungkan pernikahan masih dibawah umur. Hal ini untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Pihak Desa dan pihak yang bersangkutan harus memberikan penyuluhan bagi masyarakat mengenai akibat dari pernikahan usia dini.

  Bagi Kantor Urusan Agama, Kantor urusan Agama harus memberikan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai pernikahan dini, karena pernikahan dini akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diharapkan misalnya perceraian

E. Tinjauan Pustaka

  Rakhmawati (2000: v) dalam skripsi yang berjudul Pengaruh

  Usia Perkawinan terhadap Kesejahteraan Keluarga di Desa Kembangan Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga, menyimpulkan bahwa usia

  perkawinan di Desa Kembangan sebagian besar dilakukan oleh pasangan usia muda yaitu pada usia 16 tahun bagi wanita dan usia 20 tahun bagi pria. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan usia muda tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan orang tua dan yang akan dinikahkan, tekanan ekonomi keluarga serta adat istiadat setempat. Usia perkawinan muda sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Artinya, semakin dewasa orang menikah akan semakin dapat membantu keluarga sejahtera.

  Rouf (2002: 72-73) dalam skripsi yang berjudul Faktor penyebab

  

Perkawinan Usia Muda dan Dampaknya di Desa Karangcegak

Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga, menyimpulkan bahwa

  perkawinan usia muda masih terjadi setiap tahun. Perkawinan usia muda terjadi karena berbagai faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah, mata pencaharian orang tua tidak mencukupi, pengetahuan agama yang kurang mendalam, terutama di bidang perkawinan dan memegang adat yang memandang aib bagi mereka yang terlambat menikah. Adapun dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan usia muda di Desa Karangcegak, meliputi dampak terhadap kesehatan ibu dan anak.

  Triyana (2003: 48-49) dalam skripsi yang berjudul Dampak

  

Perkawinan di Bawah Umur di Desa Batursari Kecamatan Sirampog

Kabupaten Brebes (Suatu Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),

  menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi adalah sikap orang tua yang ingin segera mempunyai menantu, tingkat pendidikan yang rendah dari orang tua dan si anak yang ingin dinikahkan, lingkungan masyarakat yang menganggap sebagai adat atau tradisi,

  menikahkan anak dengan jalan dijodoh kan atau akibat pergaulan bebas, sedangkan dampak perkawinan di bawah umur berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga yang kurang harmonis ditandai dengan adanya berbagai masalah yang bisa berakibat pecahnya hubungan antara anggota keluarga, kesehatan ibu dan anak. Usia perkawinan dapat berdampak terhadap kesehatan antara keduanya dan pertambahan penduduk disebabkan karena banyaknya pasangan yang menikah pada usia di bawah umur.

F. Landasan Teori Dan Pendekatan 1. Landasan Teori

a). Pernikahan

  1.) Pengertian

  Berdasarkan tinjauan sosiologis, pernikahan pada hakikatnya merupakan bentuk kerja sama antara pria dan wanita dalam masyarakat di bawah satu peraturan khusus atau khas yang memiliki ciri-ciri tertentu sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangkan yang wanita bertindak sebagai istri, keduanya dalam ikatan yang sah (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 76).

  Menurut bahasa, nikah itu berarti campur gaul, sedang menurut istilah syariat Islam, pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan itu (Abyan, 1996: 39).

  Berdasarkan tinjauan sosiologis, pernikahan pada hakikatnya merupakan bentuk kerja sama antara pria dan wanita dalam masyarakat di bawah satu peraturan khusus atau khas yang memiliki ciri-ciri tertentu sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangkan yang wanita bertindak sebagai istri, keduanya dalam ikatan yang sah (Kartasapoetra dan Kreimers, 1987: 76).

  Menurut bahasa nikah itu artinya campur gaul, sedang menurut istilah syariat Islam, pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan itu (Abyan, 1996: 39).

  Pernikahan adalah suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Ahmad Azhar, 1977 – 10).

  Pernikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita, perjanjian disini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual-beli atau sewa – menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan (Tanjung, 199: 28).

  2.) Fungsi

  Fungsi perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tujuan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur Syari’ah.

  (Tanjung, 199: 30-31).

  Perkawinan menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih, Memperoleh keturunan yang sah. Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, seperti berikut : Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia, Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan, membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang, menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab (Nadimah - Tanjung,

  199 30-31). 3.)

  Manfaat Manfaat perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan di pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.

  Menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi manfaat perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami-istri untuk mendapatkan keturunan dan menegakan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (keorangtuaan). (Soemiyati, 1982: 12).

  4.) Aturan atau hukum yang mengatur tentang pernikahan

  Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 identik dengan perkawinan menurut hukum Islam karena hukum perkawinan Islam mengacu pada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jadi antara kedua hukum tersebut saling melengkapi.

  Pernikahan dipandang sebagai suatu kontrak sosial yang harus dipatuhi dan akan mendapat sanksi bila posisi perempuan menjadi lemah apalagi kemudian dengan menyudutkan pada posisi domestik saja (Sushartami, 2002: 40-42). sedangkan pada perempuan marjinal mayoritas menikah pada usia sangat belia. Bagi mereka menikah merupakan semacam kewajiban sosial, sehingga mereka tidak memiliki otonomi sejak memasuki kehidupan perkawinan.

  Rendahnya tingkat pendidikan, dan kondisi sosial ekonomi, semakin membuat mereka terjerat dalam perkawinan usia belia. Mereka melihat bahwa melayani suami adalah kewajiban. Ini menempatkan mereka pada posisi subordinat.

  Kondisi semacam ini mentradisi dalam keluarga.

  Beberapa di antara mereka terpaksa hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah menurut agama, dengan alasan ekonomi. Pemerintah perlu melaksanakan terobosan (Widati, 2002: 25).

  Menurut Akbar (1991: 24-28) untuk menentukan seseorang melaksanakan kawin usia muda dapat dilihat dari sudut seksual, atau biologis, Seorang wanita dapat kawin bila ia sudah mulai haid. Artinya, ia sudah melepaskan sel telur yang sudah dibuahi di dalam istilah kedokteran disebut

  

menarche (haid yang pertama). Waktu itu organ tubuh sudah

  sanggup untuk menumbuhkan anak di dalam rahimnya. Pria dapat kawin dilihat dari sudut biologis bila mulai bermimpi dengan mengeluarkan air mani. Pria sudah tau kemenangan seksual (pria merasa puas disaat melakukan hubungan suami istri) itu bedasarkan kenikmatan yang dialami pasangannya (lawan jenis). Jadi, dengan memperhatikan ulasan di atas, rumah tangga yang dibina oleh pasangan seusia 18 tahun dengan usia 14 tahun dapat dikatakan kawin anak-anak atau pernikahan dini.

  Dipertegas dalam Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

  Hukum adat pada umumnya tidak mengatur batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Hal mana berarti hukum dapat membolehkan perkawinan seumur hidup. Dalam rangka memenuhi maksud Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perizinan orang tua terhadap perkawinan di bawah umur, yang memungkinkan timbul perbedaan pendapat adalah dikarenakan oleh struktur kekerabatan dalam masyarakat yang berbeda adatnya. Ada yang menganut adat kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan parental yang satu dan lainnya dipengaruhi pula bentuk perkawinan yang berlaku.

  Kedewasaan seseorang di dalam hukum adat dapat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak wanita sudah haid atau datang bulan, buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tidur dengan mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks. Jadi, bukan diukur dengan umur.

  Masyarakat Desa Jeruklegi memandang pernikahan usia muda dengan melihat usia setelah mereka menyelesaikan pendidikan SLTA yaitu antara usia 17 dan 18. Jadi, masyarakat Desa Jeruklegi membatasi usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sehingga apabila mereka pada usia tersebut melakukan pernikahan akan dikatakan pernikahan usia dini. Usia ini juga yang tercantum di dalam Undang-undang Perkawinan. Seperti dalam hukum adat, demikian pula dalam hukum Islam tidak terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya menentukan batas umur perkawinan. Jadi, berdasarkan tingkatan umur dapat melakukan ikatan perkawinan (Hadikusuma, 2003: 50-55).

b. Kebudayaan

  1.) Pengertian

  Dalam pengertian sehari-hari, Istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan.

  Kata Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. (Soerjono Soekanto, 1982: 188-189).

  Kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain perkataan, kebudayaan mencangkup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. Seorang yang meneliti kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya. (Soekanto, 1982: 189).

  Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1985: 55) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. 2.)

  Fungsi dalam masyarakat Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiritual maupun materill. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut diatas, untuk sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karena kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang memerlukan hasil ciptaanya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan. (Soekanto, 1982: 194).

  Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu: alat-alat produktif, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, dan alat-alat transpor (Soekanto, 1982: 194-195).

  Apabila manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga kalau dia telah dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai. Maka, timbulah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu untuk menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. (Soerjono, Soekanto, 1982). 3.)

  Usaha pelestarian budaya Usaha pelestarian budaya untuk mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Apabila manusia hidup sendiri, maka tak akan ada manusia lain yang merasa terganggu oleh tindakan- tindakannya. Selain itu upaya peletarian budaya juga berguna bagi manusia yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia (Soekanto, 1982: 195-196).

c. Tingkat Perekonomian Masyarakat

  1.) Pengertian

  Adanya Tingkat perekonomian masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu.

  Tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasa menjadi alasan terbentuknya tingkat perekonomian masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur berdasar senioritas, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan—alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Pada masyarakat yang hidupnya dari berburu hewan alasan utama adalah kepandaian berburu. Sedangkan pada masyarakat yang telah menetap dan bercocok tanam, maka kepandaian bercocok tanam (Soekanto, 1982: 253-254).

  Hubungan tingkat perekonomian masyarakat dengan pernikahan dini di Jeruklegi sangat berkaitan. Karena sekarang budaya pernikahan dini sudah dihindari. Oleh karena itu pada tahun 1960-1965 banyak terjadi budaya pernikahan dini, di mana pelaku pernikahan dini pada saat itu berpenghasilan pas- pasan. Hal tersebut sangat berpengaruh kepada perekonomian masyarakat di Desa Jeruklegi. Dengan perekonomian yang pas- pasan, masyarakat Desa Jeruklegi menikahkan anak-anak mereka pada usia dini, dengan tujuan agar beban keluarga berkurang. (Wawancara, Suwito tanggal 23 April 2012). 2.)

  Bentuk ekonomi masyarakat tradisional Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial, sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan di tetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonomisnya, sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas (Soekanto, 1982:: 406-407).

  Bentuk ekonomi masyarakat tradisional apabila di hubungkan dengan pelaku pernikahan yang identik dengan keluarga besar, sangat berpengaruh. Hal ini karena sebagian besar masyarakat melakukan pernikahan usia dini berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sebagian besar dari mereka berpencaharian bertani, dan masing-masing dari anggota keluarga juga mempunyai banyak anak. Dari faktor ini mereka sering menikahkan anaknya pada usia yang sangat muda.

  Dengan cara inilah sedikit beban dari keluarga mereka berkurang, karena bagi mereka apabila seorang anak yang sudah menikah itu menjadi tanggung jawab seorang suami.

  Pendekatan

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi. Pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang berdasarkan ilmu yang mempelajari sifat dan perkembangan masyarakat atau ilmu yang mempelajari tindakan manusia dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini peneliti menggunakan untuk mempelajari pernikahan usia dini, kultur budaya dan dampak dari pernikahan usia dini dengan menjelaskan sistem budaya dan simbol-simbol, serta akan memberikan gambaran yang kronologis dari perkembangan yang ada di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap, sedangkan pendekatan antropologi digunakan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari para pelaku pernikahan usia dini. Pendekatan antropologi ini berdasarkan suatu ilmu kehidupan manusia, khususnya tentang asal-usul aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat kebiasaan, budaya dan perilaku manusia (Koentjaraningrat, 1999: 115).

G. Metode Penelitian

  Dalam sebuah penelitian pasti akan menggunakan metode tertentu agar hasil yang akan diciptakan sesuai dengan tujuan awal peenelitian.

  Di dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, karena berkaitan dengan peristiwa masa lampau yang sudah terjadi. Pengertian metode sejarah di sini adalah suatu proses menguji, atau menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

  Metode sejarah sendiri merupakan sebuah proses dalam menguji dan menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau.

  Menurut Kuntowijoyo (1995 : 88-99). tahapan-tahapan dalam penelitian yang menggunakan metode historis, sebagai berikut : (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber, keabsahan sumber), (4) interpretasi, (5) penulisan (Kuntowijoyo, 1995: 89).

1. Pemilihan Topik

  Dalam pemilihan topik Kuntowijoyo (1995: 90) menyarankan sebaiknya didasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. Penelitian sejarah Pernikahan Usia Dini

  Di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap Tahun 1960-1965

  bagi penulis secara emosional karena keunikan Pernikahan

  Usia Dini Di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap Tahun 1960-1965. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang membahas tentang pernikahan usia dini di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap tahun 1960-1965.

2. Pengumpulan sumber

  Untuk mendapatkan data – data yang diperlukan dalam penelitian tentang Pernikahan Usia Dini Di Kecamatan

  

Jeruklegi Kabupaten Cilacap Tahun 1960-1965 melakukan

observasi, wawancara, dan dokumentasi.

  a.

  Observasi merupakan teknik yang dilakukan untuk mengetahui secara langsung keadaan obyek penelitian. Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis melakukan observasi di KUA, Kecamatan, Balaidesa, Pelaku pernikahan dini, dan masyarakat Desa Jeruklegi yang akan dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu Pernikahan Usia Dini Di Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap Tahun 1960-1965 .

  b.

  Wawancara merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dan fakta mengenai kapan berdirinya, bagaimana perkembangan dan sistem yang digunakan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Adapun informan yang diwawancarai oleh peneliti adalah Drs. H. Imam Haromain Asy’ari, M.Si. (kepala KUA Jeruklegi), Muslimin (Kepala Desa Jeruklegi), (tokoh masyarakat desa Jeruklegi) c. Dokumentasi merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan dokumen yang dimilki Instansi tersebut.

3. Verifikasi

  Pada langkah ini peneliti berusaha menganalisa setiap sumber yang berhasil dikumpulkan melalui kritik intern dan kritik ekstern.

  Kritik ekstern adalah menilai tingkat keaslian data, sedangkan kritik intern adalah peneliti melakukan analisa berkenaan dengan kredibilitas setiap sumber, serta membandingkan setiap informasi yang dikumpulkan.

  4. Interpretasi Dalam tahap ini penulis berusaha menafsirkan data-data yang telah di verifikasi dan kemudian dihubungkan. Hal ini bertujuan agar data-data tersebut dapat dipahami secara utuh.

  5. Penulisan Penulis mulai menyusun atau menyajikan fakta-fakta yang telah diperoleh dari lapangan dengan menempuh proses. Dalam penyajiannya disesuaikan dengan kronologi waktu karena penelitian ini merupakan penelitian sejarah.

H. Sistemtika Penulisan

  Penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab, yaitu :

  Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

  Bab II Keadaan umum masyarakat Desa Jeruklegi pada tahun 1960-1965. Bab ini memaparkan tentang kondisi masyarakat Jeruklegi dilihat dari keadaan Desa Jeruklegi, kondisi budaya masyarakat jawa tahun 1960-1965, kondisi sosial ekonomi tahun 1960-1965.

  Bab III Faktor penyebab pernikahan usia dini di Kecamatan Jeruklegi. Bab IV Saran dan Simpulan.