KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016
GUSJIGANG: ETOS KERJA DAN PERILAKU EKONOMI PEDAGANG KUDUS Sumintarsih Christriyati Ariani Siti Munawaroh
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TAHUN 2016
GUSJIGANG : ETOS KERJA DAN PERILAKU EKONOMI PEDAGANG KUDUS
© Penulis Sumintarsih Christriyati Ariani Siti Munawaroh Desain Sampul : Tim Kreatif PT. Saka Mitra Kompetensi Penata Teks : Tim Kreatif PT. Saka Mitra Kompetensi Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I Yogyakarta Jl. Brigjend Katamso 139 Yogyakarta Telp: (0274) 373241, 379308 Fax : (0274) 381355 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)GUSJIGANG : ETOS KERJA DAN PERILAKU EKONOMI PEDAGANG KUDUS
Sumintarsih, dkk x + 186 hlm.; 16 cm x 23 cmISBN : 978-979-8971-56-3 Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya
penerbitan buku ini bisa dilaksanakan dengan baik. Proses hingga menjadi
sebuah buku tentu melibatkan beberapa tahapan mulai dari penyusunan
proposal, pencarian data di lapangan, pengolahan data hingga penulisan hasil
penelitan, Oleh karena itu terima kasih yang tidak terhingga diucapkan kepada
para peneliti yang telah mewujudkan kesemuanya itu.Penelitian tentang GUSJIGANG : ETOS KERJA DAN PERILAKU
EKONOMI PEDAGANG KUDUS yang ditulis oleh Sumintarsih, dkk,
mengupas tentang etos kerja pedagang Kudus yang tercermin dalam perilaku
citra diri mereka dalam kehidupan kesehariannya, yaitu mereka memiliki
karakter bagus dalam berperilaku, mempunyai kehidupan yang religius, dan
pandai berdagang. Ketiga elemen ini sebagai satu kesatuan yang menunjukkan
bahwa antara kehidupan religius dengan pekerjaan bertemali, yang akan
memberikan warna kehidupan yang ‘bagus’ secara lahiriah-batiniah.Makna ‘ji-ngaji’ dalam praktiknya melaksanakan ibadah haji, rajin
mengaji, mengikuti pengajian seperti yang umumnya dilakukan umat Islam,
baik dalam bentuk membaca Al Quran, berzakat, bersodaqoh, melaksanakan
ibadah salat, rajin ke masjid dan rajin mendatangi pengajian. Makna ‘gang-
dagang’ dalam praktiknya pengusaha/pedagang dalam mengambil keuntungan,
berpedoman ‘secukupnya’, ‘tidak berlebihan’, sesuai yang diberikan atau tidak
ngangsa, sesuai takarannya. Dalam bertransaksi dengan pelanggan dilandasi
dengan kejujuran, kepercayaan, disiplin. Dalam proses produksi makna
gusjigang ditunjukkan adanya nilai-nilai kejujuran dalam bertransaksi.Akhirnya, dengan terbitnya buku ini diharapkan bisa menambah
wawasan terutama tentang etos kerja yang masih hidup, berkembang dan
menjadi pijakan bagi warga masyarakat Kudus. Namun demikian pepatah
kata “tiada gading yang tak retak”, buku inipun jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, masukan, saran sangat diharapkan dan dengan terbitnya buku ini
semoga bisa memberikan manfaat bagi siapaun yang telah membacanya.Yogyakarta, Oktober 2016 Kepala
Dra. Christriyati Ariani, M.Hum
NIP. 19640108 1991032 001 KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL DAN DAFTAR FOTO vi
1. Profil Pengusaha/Pedagang Kudus (Jenang, Bordir, Konveksi)
77
76
INTISARI viii
69 B. Makna Gusjigang Dalam Perilaku Ekonomi (Produksi, Distribusi, dan Konsumsi)
BAB III KAMPUNG KUDUS KULON A. B. C. D. BAB IV GUSJIGANG DALAM ETOS KERJA DAN PERILAKU EKONOMI A. Gusjigang Dalam Perspektif Orang (Pedagang) Kudus
30 D.
C. Tempat-Tempat Produk Perdagangan dan Industri di Kudus
23 B.
A. Kabupaten Kudus
1 BAB II SETING KOTA KUDUS: KOTA PEDAGANG
BAB I PENDAHULUAN
60
Perusahaan Jenang Kudus Mubaroq Food 81 Perusahaan Jenang Kudus Mantaroh Sumarno 86 Pengusaha/Pedagang Kerajinan Bordir Kudus
89 100
Pengusaha/Pedagang Konveksi Kudus
2. Makna Gusjigang Dalam Produksi, Distribusi, Konsumsi Pengusaha/Pedagang Kudus 104
a. Dalam Produksi 106
Kejujuran 106 Barokah 113
118 Keterbukaan/Transparan Kepercayaan 121
b. Dalam Distribusi 127 127
Kejujuran 129 Barokah Keterbukaan/Transparan 132 Kepercayaan 135
c. Dalam Konsumsi (pemanfaatan hasil kerja) 141
3. Hubungan Kerja Antara Pengusaha Dengan Karyawan Dan Pelanggan
142
a. Hubungan Pengusaha dengan Karyawan 144
b. Hubungan Pengusaha dengan Pelanggan 149
4. Etos Kerja Dalam Berdagang 155
5. Model Berdagang Orang Arab dan Cina 158
6. Tradisi Berziarah 166
BAB V PENUTUP 169 PUSTAKA 177
PETA 184
DAFTAR TABEL DAN FOTO Daftar Tabel
Halaman
1. Jumlah Perusahaan dan Kerajinan Rumah Tangga di Kab. Kudus
34
2. Jumlah Toko / Kiosdan Warung Makan Kabupaten Kudus
35
3. Tempat Kegiatan Perdagangan di wilayah Kudus Kulon
47
4. Tiga Generasi Alat Bordir
88 Daftar Foto
1. Simbol Kudus Kota Kreek dan Kota Santri
25
2. Menara , Masjid Kudus
26
3. Gerbang Makam Sunan Muria
4. Jembatan Sungai Gelis sebagai Batas Wilayah Kudus Kulon Dan Kudus Wetan
43
5. Jalan gang di Desa Kauman dan Langgar dalem 45
6. Toko Souvenir dan Toko Makanan di Jalan Sunan Kudus dan Jalan Menara
46
7. Masyarakat Menunggu Salat Jumat di Sekitar Menara Kudus
49 8.
9. Tradisi Buka Luwur di Halaman Masjid Menara Kudus
52 10.
11.
12.
13.
14. Bordir komputer dan manual
90
15. Pedagang Cina dan Arab di Kudus Kulon 151
INTISARI
Penelitian ini ingin melihat bagaimana gusjigang yang dimiliki orang Kudus berimplementasi dalam kehidupan masyarakat Kudus. Tulisan ini berfokus pada bagaimana sebenarnya ‘gusjigang’ dimaknai oleh orang Kudus, dan apakah ‘gusjigang’ menjadi tuntunan dalam mereka menjalankan usahanya. Penelitian yang dilakukan di Kudus Kulon ini ingin memberikan sebuah gambaran perilaku berdagang yang didasari oleh ajaran-ajaran Islami yang dibingkai dalam ‘gusjigang’. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis dan metode kualitatif, observasi dan studi pustaka. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam (in-depth interwiew) yang dilakukan kepada para pedagang yang berstatus sebagai pengusaha / juragan, dan pedagang Arab, serta Cina. Sasaran usaha dipilih yang cukup dominan yakni usaha konveksi, bordir, dan jenang Kudus.
Dalam perspektif masyarakat, gusjigang dipersonifikasikan sebagai citra diri masyarakat Kudus yang memiliki karakter bagus dalam berperilaku, mempunyai kehidupan yang religius, dan pandai berdagang. Ketiga elemen ini sebagai satu kesatuan yang menunjukkan bahwa antara kehidupan religius dengan pekerjaan bertemali, yang akan memberikan warna kehidupan yang ‘bagus’ secara lahiriah- batiniah. Makna ‘ji-ngaji’ dalam praktiknya melaksanakan ibadah haji, rajin mengaji, mengikuti pengajian seperti yang umumnya dilakukan umat Islam, baik dalam bentuk membaca Al Quran, berzakat, bersodaqoh, melaksanakan ibadah salat, rajin ke masjid dan rajin mendatangi pengajian. Makna ‘gang- dagang’ dalam praktiknya pengusaha / pedagang dalam mengambil keuntungan, berpedoman ‘secukupnya’, ‘tidak
berlebihan’, sesuai yang diberikan atau tidak ngangsa, sesuai takarannya. Dalam bertransaksi dengan pelanggan dilandasi dengan kejujuran, kepercayaan, disiplin. Dalam proses produksi makna gusjigang ditunjukkan adanya nilai-nilai kejujuran dalam bertransaksi.
Dari hasil penelitian terungkap bahwa banyak yang tidak mengetahui tentang gusjigang. Gusjigang terungkap dengan baik dari tiga pengusaha yang kebetulan termasuk pengusaha tingkat menengah keatas. Data lainnya bahwa mereka yang mengetahui dan mendengar tentang gusjigang adalah pejabat di lingkungan pemda setempat, dan pengusha/pedagang level menengah keatas. Bila ini dikaitkan dengan pengertian kata ‘ji’ adalah ‘kaji’ bukan‘ngaji’, yang artinya mereka yang sudah menunaikan ibadah haji adalah mereka yang kuat dalam ekonomi, orang yang mampu atau berharta, maka yang terungkap dari hasil penelitian ini benar adanya bahwa gusjigang ada di pedagang menengah keatas. Walaupun demikian pedagang muslim di Kudus yang tidak mengetahui tentang gusjigang, dalam menjalankan aktivitas berdagang pada umumnya dituntun oleh aqidah-aqidah islami, yang sebenarnya implementasi dari gusjigang.
melakukan aktivitas untuk bekerja mencari nafkah, tak terkecuali di Indonesia. Kegiatan mencari nafkah secara garis besar kala itu masih didominasi masyarakat yang hidup di kawasan pesisiran dan pedalaman agraris. Masyarakat pedalaman agraris maupun kawasan pesisiran terutama melakukan jual-beli (perdagangan) untuk kelangsungan hidup perekonomian mereka. Aktivitas perdagangan ini kemudian memunculkan wilayah-wilayah tertentu yang masyarakatnya dikenal sebagai ‘pedagang-pedagang ulung’, seperti pedagang Minang, Banjar, Tasik, Madura, Bugis, dan pedagang-pedagang di tempat lainnya.
Merebaknya perdagangan di berbagai wilayah di Indonesia tersebut tidak bisa lepas dari peran para pedagang muslim. Para pedagang ini selain menyebarluaskan agama Islam juga mewariskan keahlian berdagang ke masyarakat, khususnya masyarakat kawasan pesisir (Agustianto, http://www.agustiantocentre.com/?p=41, diakses 10 Februari 2016). Menurut sejarawan, aktivitas perdagangan pertama muncul di suatu daerah yang memiliki pelabuhan, dermaga, maupun sungai sebagai tempat berlalulintas untuk aktivitas penduduknya. Ong Hok Ham menyebutkan pada abad 15-16 terdapat kota pelabuhan yang besar di Asia Tenggara yaitu Malaka, semua komoditas dari pedalaman dibawa ke pelabuhan tersebut, sehingga timbul jaringan perdagangan, di antaranya kapal-kapal dagang Jawa disebutkan banyak yang berada di Malaka (2002:80, Reid, 2015: 48-49). Di Jawa pangkalan dan jaringan perdagangan tersebut menurut Van Leur adalah pelabuhan pesisir utara yang dikuasai oleh para raja pedagang
seperti Sultan Banten, Sultan Demak, Sunan Giri, Panembahan Surabaya dan lain-lain (2002: 80). Kerajaan-kerajaan pesisir yang Islam seperti Demak, Kudus, Tuban, Giri Ngampel mewakili pola maritim (2002: 173), dan sekitar pertengahan abad ke-17 daerah-daerah pesisir tersebut telah mengenal pertanian (2002: 81).
Dapat disebutkan bahwa semakin tertatanya kehidupan suatu masyarakat semakin banyak ditemukan perdagangan dan pasar. Pasar petani yang dihidupkan oleh para saudagar lokal semakin berkembang, terutama sejak masuknya pengaruh Islam di Nusantara (Mestika Zed, dalam http://nasbahrygallery1.blogspot.co.id/2011/03, diakses 9 Feb 2016). Djoko Suryo menyebutkan sejak abad ke 19, terdapat tiga golongan wiraswasta yang menonjol di Indonesia terutama di Jawa: (1) golongan swasta Barat di sektor perdagangan dan perusahaan skala besar yang laku di pasaran dunia, (2) golongan wirasawasta Cina dalam skala menengah kecil, dan (3) kelompok wiraswasta pribumi dalam kelompok- kelompok kecil secara lokal maupun etnik, yang tercermin pada orang Minangkabau dan Jawa. Kebanyakan usaha mereka ini di sektor kerajinan yang kebetulan tumbuh di komunitas golongan santri. Basis-basis pengusaha santri ini berada di Pekalongan, Garut, Tasikmalaya, Yogyakarta, Surakarta, dan Kudus (http://www.kompasiana.com/jurnalgemini, diakses 4 Januari 2016).
Di wilayah pesisir utara disebutkan hubungan perdagangan telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan aktivitas perdagangan dalam kebudayaan Jawa pernah berlangsung secara intensif (Daryono, 2007: 2). Kuntowijoyo menyebutkan sekitar awal abad ke-20 terjadi sebuah perkembangan di Jawa yaitu terjadinya pertumbuhan perdagangan dan industri yang telah merangsang perkembangan kota-kota di Jawa. Implikasi dari peristiwa ini munculnya inisiator-inisiator baru dari kaum pengusaha dan cendekiawan.
Khususnya dari sisi ekonomi misalnya tampak dari menguatnya dan berkembangnya usaha masyarakat pribumi yaitu meluasnya sentra-sentra perdagangan di wilayah Yogyakarta, Laweyan, Pekajangan, Kudus Kulon, Karangkajen, dan Prawirotaman (Kuntowijoyo, dalam Yuristiadhi(http://www.academia.edu/4354517/wirausa hawan, diakses 10 Februari 2016).
Kelompok-kelompok pedagang di suatu tempat maupun dari kelompok etnik tersebut memiliki karakteristik sendiri. Tradisi (lokal) keusahawan atau kesudagaran ini menonjol, misalnya pada kelompok masyarakat Banjar dikenal dengan praktik ‘bausaha’ Sekumpul (Alfisyah, 2012), pedagang Aceh ‘Pidie’ disebut ‘Cina Aceh atau Cina hitam (Iskandar, 2005), Minangkabau disebut ‘menggalas’ (Mestika Zed, dalam http://nasbahrygallery1.blogspot.co.id/2011/03, diakses 26 Januari 2016). Di Laweyan-Surakarta usahawan atau saudagar disebut ‘mbok mase’, ‘mas nganten’ (Sumarno,dkk,2013, Baidi, 2010), masyarakat Kudus disebutkan menganut filosofi yang disebut ‘gusjigang’ (Said, 2013, Jalil, 2013). Secara garis besar semua agama dalam ajarannya menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, karena kerja keras merupakan bagian dari ibadah. Hasil dari kerja keras dengan sendirinya akan mendorong pelaksanaan ibadah-ibadah yang lain (Sairin, 2010: 323).
Dalam perilaku ekonomi para pedagang dilandasi oleh etos kerja yang masing-masing tidak sama. Dalam hal ini termasuk juga etos kerja yang melekat pada pedagang Kudus yang dikenal dengan sebutan ‘gusjigang’. Bagi masyarakat Kudus kata gusjigang memang tidak asing lagi. Fenomena dari ‘ji’ yang diartikan mengaji yang berarti berdekatan dengan kehidupan Islami, tampak dari suasana keseharian orang Kudus yang berada di Kawasan Menara Kudus – atau disebut
ngisormenara, yang merupakan bagian dari Kudus Kulon. Kata
‘gang’ – pedagang, juga tampak dari aktivitas usaha wong
Kudus, yang menonjol dalam usaha perdagangan. Namun, bagaimana etos gusjigang yang dimiliki orang Kudus ini berimplementasi dalam kehidupan orang Kudus, belum diketahui secara mendalam . Untuk keperluan itulah penelitian ini dirancang dengan judul ‘Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus’.
Tulisan ini ingin melihat bagaimana sebenarnya ‘gusjigang’ dimaknai oleh orang Kudus. Apakah ‘gusjigang’ menjadi tuntunan dalam mereka menjalankan usahanya, dalam kehidupannya, dan apakah ‘gusjigang’ tidak mereka ketahui tetapi dalam menjalankan usahanya secara eksplisit merupakan implementasi dari ‘gusjigang’.Dalam konteks ini sepengetahuan kami sepertinya belum banyak yang melakukan kajian gusjigang secara mendalam.
Berdasar paparan dalam latar belakang dapat diperoleh gambaran bahwa berdagang merupakan aktivitas ekonomi yang umum dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sejak berabad-abad yang lampau. Namun demikian terdapat kelompok-kelompok pedagang yang dianggap memiliki keunggulan, memiliki kekhasan dalam berdagang atau memiliki etos kerja yang menjadi landasan dalam berdagang. Termasuk dalam hal ini pedagang Kudus, yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian kota Kudus mendapat label sebagai kota dagang. Menarik kiranya untuk mengungkap ‘gusjigang’ dalam konteks perilaku ekonomi pedagang Kudus. Sehubungan dengan itu, tulisan ini ingin melihat tiga hal: (1) Bagaimanakah ‘gusjigang’ dimaknai dalam kehidupan pedagang Kudus. (2) Bagaimanakah ‘gusjigang’ dimaknai dalam perilaku ekonomi pedagang Kudus. (3) Bagaimanakah etos kerja pedagang Kudus dalam bingkai ‘gusjigang’.
Tulisan tentang ‘gusjigang’ ini bertujuan (1) Mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku dalam kehidupan pedagang Kudus yang berkait dengan ‘gusjigang’. (2)
Mendeskripsikan pemaknaan ajaran ‘gusjigang’ dalam perilaku ekonomi pedagang Kudus.(3) Mendeskripsikan ‘gusjigang’ sebagai etos kerja pedagang Kudus.
Penelitian ini diharapkan (1) dapat memperoleh sebuah gambaran mengenai implementasi ‘gusjigang’ yang berpotensi membentuk karakter pedagang. Dengan demikian ‘gusjigang’ bisa disebarluaskan untuk membangun etos kerja, (2) diharapkan dari penelitian pedagang Kudus ini bisa ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih komprehensif, sehingga dapat menambah khasanah budaya perilaku ekonomi pedagang, (3) hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif untuk pengembangan dan kemajuan perdagangan Kabupaten Kudus.
Tulisan yang berupa artikel maupun penelitian tentang pedagang dalam perspektif Islami sudah tak terhitung. Khusus tentang pedagang Kudus dan ‘gusjigang’ ada beberapa yang sudah mengulasnya. Said dalam bahasannya tentang ‘Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan Kudus’ menggunakan pendekatan semotika dan didukung data arkeologis, data sejarah, dan mitologi (Roland Barthes). Disebutkan istilah ‘gusjigang’ atau ‘jigang’ melekat sebagai citra diri, sebagai identifikasi watak wong Kudus (penulisnya menyebutkan tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi). Gusjigang akronim dari bagus (akhlaknya), ngaji (suka menuntut ilmu) dan dagang (bisnis), ada juga yang mengartikan ‘ji’ adalah kaji (melaksanakan ibadah haji), yang menunjukkan kemapanan ekonomi dan sekaligus memiliki kematangan spiritualitas (Said, 2013: 118, Jalil, 2013, lihat juga Panangkaran, 2014).
Menurut Said dalam konstruksi sosiologis masyarakat Kudus, Sunan Kudus adalah model figur yang turut mengkonstruksi identitas masyarakat Kudus. Sunan Kudus sebagai ‘waliyyul ilmy’ dan ‘wali saudagar’ menandai bahwa
Sunan Kudus memiliki kepekaan usaha dan etos dagang yang tinggi sehingga memberi kemakmuran masyarakat yang dipimpinnya maupun dirinya sebagai individu dan sekaligus memiliki kedalaman ilmu agama yang tinggi. Kedua predikat yang melekat pada Sunan Kudus ini memiliki hubungan paradikmatik dengan budaya ‘gusjigang’ sebagai penanda umat Islam di Kudus (Said, 2013: 122-123).
Tafsir Said tentang ‘gusjigang’ menyebutkan bahwa ‘gusjigang’ memiliki tiga kata kunci (gus – ji – gang) yang dapat melahirkan tiga nilai inti (core values) yang dapat dikembangkan menjadi basis nilai untuk membangun Kudus dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Ketiga nilai inti tersebut yaitu: (1) akhlak mulia – dari kata gus (bermakna bagus) yang dimaksudkan bagus ahklaknya kepada Allah SWT, manusia, dan lingkungannya. Manivestasi dari nilai ini tidak lepas dari kesadaran paradigmatik keteladan Sunan Kudus yang memiliki kasih sayang, empati, dan toleransi tinggi dengan sesamanya. Misalnya saja masyarakat Kudus enggan menyembelih sapi, hal ini sebagai penghormatan masyarakat Kudus atas sikap toleransi dan empati Sunan Kudus kepada sesama manusia, bahkan yang berbeda budaya dan keyakinan.
(2) tradisi ilmiah – dari kata ji - mengaji (menuntut ilmu). Dalam tradisi masyarakat Kudus menuntut ilmu dimaksudkan yaitu belajar dengan kyai kampung di masjid, langgar atau mushola. Kegiatan mengaji sarat dengan nilai-nilai spiritual keislaman.Tradisi mengaji tidak lepas dari hubungan paradigmatik dengan Sunan Kudus yang dikenal memiliki kedalaman ilmu dan perhatian dengan urusan keilmuan. Sunan Kudus dikenal ahli dalam pengobatan, berpengalaman dalam militer, arsitektur, dan sastra. (3) etos kewirausahaan
(entrepreneurship) – kata gang (dagang). Nilai utama dalam
budaya wirausaha adalah kemandirian, kreatif, inovatif. Kudus sebagai kota industri sudah sejak zaman Sunan Kudus (dikenal
sebagai wali saudagar), zaman kolonial dan sampai sekarang (Said, 2013: 123-128). Budaya gusjigang dengan tiga nilai tersebut merupakan bagian dari warisan Sunan Kudus (Said, 2013: 131). Rintisan industrialisasi local genius ini berada di kawasan Kudus Kulon, diantaranya kepeloporan industri kretek oleh Nitisemito (Asy’ari, 2014, Said, 2013, Hartaya, 1999/2000).
Penjelasan Said atas ‘gusjigang’ yang disebut sebagai bagian dari warisan Sunan Kudus dengan menyebut adanya dua predikat yang melekat pada Sunan Kudus (‘waliyyul ilmy’ dan ‘wali saudagar’) berhasil dijelaskan dengan gamblang keterkaitannya dengan ketenaran orang kudus sebagai pedagang. Fakta tersebut memiliki hubungan paradikmatik dengan budaya ‘gusjigang’ sebagai penanda umat Islam di Kudus. Hanya apakah gusjigang sudah menjadi identitas budaya umat Islam di Kudus masih perlu data-data pendukung untuk memperkuat tafsirnya atas gusjigang. Namun demikian tafsir Said atas gusjigang ini sangat penting dan membantu peneliti untuk memahami gusjigang.
Sebuah disertasi yang menganalisis tentang spiritual
entrepreneurship pengusaha Kudus (transformasi spiritualitas
pengusaha Kudus) oleh Abdul Jalil (2013) menjelaskan bahwa formasi spiritualitas pengusaha Kudus terbentuk dari unsur- unsur fisiologis, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Unsur- unsur terebut bersinergi dan membentuk keberagaman integrative. Keberagaman ini menghantarkan pengusaha Kudus pada ketakwaan yang dicirikan keseimbangan wirausaha, bersyukur, bersedekah, beristighfar, bertaubat dan bertransendensi.Tipologi keberagaman ini menurut Jalil yang telah mampu menghadirkan spiritual entrepreneurship (Jalil, 2013: 198-200). Rangkaian proses transformasi memunculkan produk berupa karakter kewirausahaan yang tercerahkan yakni: kepercayaan dalam berbisnis, berorientasi jangka panjang,
control diri, memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk menciptakan keunggulan, mensinergikan kemampuan untuk kualitas yang lebih baik, emphati terhadap lingkungan, kreatif, taktis, mengedepankan kemandirian dan belajar dari kegagalan (Jalil, 2013).
Kesepuluh karakter kewirausahaan pengusaha Kudus ini menurut Jalil menyatu dengan pandangan tentang karakter wong Kudus yang disebut ‘gusjigang’. Kepandaian mengaji diyakini warisan Sunan Kudus, sedangkan keuletan dalam berdagang karena ada percampuran darah Cina pada pengusaha Kudus yakni The Ling Sing (Kiai Telingsing), seorang Tionghoa yang ada di Kudus sebelum Sunan Kudus. Oleh karenanya, meskipun Kudus kota terkecil se-Jawa Tengah tetapi pendapatan perkapitanya tertinggi melampaui Solo dan Semarang, sektor industri menyumbang 65,3% dan perdagangan 24,9% dari total PDRB (Jalil, 2013: 113). Temuan Jalil tentang sepuluh karakter kewirausahaan yang menyatu dengan karakter wong Kudus yang disebut gusjigang, memberikan telaah bahwa karakter wong Kudus tidak murni yang disebut gusjigang. Demikian juga keuletan dalam berdagang orang Kudus menurut Jalil karena ada percampuran darah seorang pengusaha Cina The Ling Sing. Dua pernyataan ini sebenarnya dapat merangsang dilakukan penelitian lebih mendalam tentang karakter dan etos kerja pedagang Kudus.
Penempatan Sunan Kudus dengan kearifan lokalnya menjadi rujukan dalam berperilaku dan berusaha telah menjadikan masyarakat Kudus taat beribadah dan ulet berdagang. Nilai-nilai ini melalui proses yang panjang yang akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat Kudus. Secara umum karakter wong Kudus adalah sosok ‘gusjigang’. Hasil penelitian ini sekaligus membantah temuan Lance Castle yang menyimpulkan bahwa ideologi Islam tidak menyokong praktik berusaha, dan pernyataan Irwan Abdullah yang menyatakan
bahwa ideologi yang modernis-reformislah yang mampu menyuntikkan semangat kerja sehingga menjadi pengusaha sukses. Temuan Jalil menujukkan bahwa pengusaha Kudus yang mayoritas NU mampu eksis (Jalil, 2013: 265).
Panangkaran dalam penelitiannya sama sekali tidak mengaitkan tiga nilai budaya ‘gusjigang’ dengan Sunan Kudus tetapi ia mengaitkannya dengan konsep pemasaran Islami dengan pendekatan lokal yang bersinergi (Panangkaran, 2014: 17-20). Penelitian ini ingin melihat aplikasi dari ‘gusjigang’ dalam bisnis IHDINA group yaitu perusahaan tekstil dengan metode kualitatif. Dalam penjelasan kerangka teorinya kurang atau belum membahas bagaimana ‘gusjigang’ diaplikasikan untuk pengembangan bisnis berbasis syariah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa filosofi nilai ‘gusjigang’ dapat dijadikan alternatif dari beberapa model pemasaran. Dengan menyatukan konsep bisnis syariah, keseimbangan kecerdasan sebagai motivator, diharapkan filosofi ‘gusjigang’ dapat diterima menjadi gagasan baru dalam pemasaran berbasis syariah dengan mempertimbangkan local wisdom. Sayangnya hasil penelitian Panangkaran masih sebatas memberikan ide belum didukung data-data terkait.
Tesis Jalil bahwa kesuksesan pedagang Kudus dilandasi oleh ketaatan pada ajaran Islami juga ditemukan pada pedagang Sekumpul Banjar (Martapura), hasil penelitian Alfisyah (2012) tentang nilai dan pandangan keagamaan dalam praktik barusaha pedagang Sekumpul Martapura. Menurut Alfisyah dengan Islam membuat pedagang muslim Banjar mampu bertahan menghadapi berbagai tekanan yang terjadi dalam proses komersialisasi. Ajaran-ajaran Islam seperti sembahyang, berhaji, berzakat, bersedekah telah mendorong usaha-usaha untuk memperoleh kekayaan, melaksanakan ibadah haji, telah menumbuhkan etos kerja yang tinggi di kalangan pedagang. Untuk mewujutkannya para pedagang harus bekerja keras, rajin
berusaha, dan hidup hemat. Dibalik semangat dagang yang tinggi ini menurut Alfisyah ada motivasi-motivasi agama (Alfisyah, 2012: 28-29).
Sumbangan yang diberikan pedagang dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama. Nominal sumbangan menjadi penting bagi pedagang untuk menegaskan dan melegitimasi tingkat kemapanan seorang pedagang, atau dianggap sebagai pengusaha kaya dan sukses. Demikian juga dalam bersedekah dimana ada anggapan bahwa harta akan diberkati dan bertambah jika digunakan untuk kepentingan agama. Tindakan ini terkandung harapan agar mendapat balasan yang lebih banyak dari Tuhan. Dalam berzakat pun demikian pedagang kaya yang mengeluarkan zakat akan mendapat pujian dari masyarakat (2012: 29-31). Ini semua mengisyaratkan bahwa di balik praktik-praktik keagamaan yang mereka jalankan terkandung maksud-maksud dan harapan-harapan yang sifatnya eknomis. Dalam pandangan orang Banjar ukuran keberhasilan seseorang adalah kesanggupan menunaikan ibadah haji.
Dengan demikian ajaran Islam tentang berhaji, bersedekah, berzakat, dan ajaran dari Tuan Guru Sekumpul yang mengajarkan tentang keharusan mengejar kesejahteraan dunia agar dapat membuktikan ketinggian dan kekayaan agama Islam, tampak jelas bahwa Islam telah menjadi pendorong atau pembentuk etos kerja pedagang Sekumpul. Etos kerja tersebut yaitu tekun, gigih, hemat dan tidak putus asa adalah etos yang menjadi ciri dan watak pedagang Sekumpul Banjar-Martapura (2012: 37, lihat juga Filasufah, 2011). Dalam membangun jaringan mereka lebih memilih yang sudah berhaji, dan orang Banjar, mereka menyebut dengan ‘orang kita’ lebih dijamin keabsahannya. Namun, ketergantungan mereka terhadap Tuan Guru Sekumpul membuat mereka tidak membuka jaringan yang lebih luas ( 2012: 42-45). Penelitian ini dalam analisisnya banyak didukung data kualitatif sehingga paparan analisisnya
jelas. Dalam konteks penelitian pedagang muslim (di Kudus), penelitian Alfisyah dan Filasufah memberikan pemahaman adanya kesamaan dalam etos kerja pedagang (muslim).
Apabila pedagang Sekumpul dalam menjalankan usahanya atas bimbingan Tuan Guru, senada dengan itu yang terjadi pada pedagang Aceh-Pidie yang proses pembelajaran dalam bekerja ada istilah induk semang dan anak semang atau
anak kedai. Jiwa kewiarausahaan juga didasari oleh tradisi adat
yang membuat laki-laki Pidie untuk pergi merantau (berdagang) (Iskandar, 2005: 83-85). Senada dengan penelitian yang telah disebutkan bahwa di daerah-daerah yang berbasis agama (Islam), menunjukkan agama (Islam) menjadi motivator para pedagang dalam menjalankan bisnisnya seperti misalnya pedagang muslim Kadilangu Demak (Filasufah, 2011), etika berdagang pedagang muslim Pasar Wonokromo Surabaya (Azizaturrohmah dan Imron, 2014), studi tentang budaya ekonomi di kalangan pengusaha batik Laweyan (Setiawati, dkk, 2011). Kajian ini menunjukkan bahwa etika berdagang Islami menjadi penuntun para pedagang muslim dalam menjalankan aktivitas berdagang, yang secara umum menunjukkan kekhasan sebagai pedagang muslim.
Peran agama (Islam) dalam konteks kewirausahaan juga tampak dalam penelitian Raharjana tentang siasat usaha kaum santri dalam usaha konfeksi di Mlangi Yogyakarta.Para pengusaha konveksi adalah lulusan pondok pesantren yang ada di desa tersebut, dan tenagakerja konveksi sebagian dari para santri yang belajar di pondok tersebut. Meskipun Raharjana dalam bahasannya tidak secara mendalam mengaitkan semangat kerja dari sisi agama (Islam), tetapi data dalam paparannya menunjukkan hal tersebut (Raharjana, 2003). Penelitian Sarmini dengan jeli memperlihatkan bagaimana kiat pengusaha Islam membangun jaringan dengan Kiai, aparat desa, dan unsur-unsur lain di lingkungannya untuk menjaga perusahaannya dan yang
sekiranya dapat memberi pengaruh untuk kelancaran kegiatan perusahaannya (Sarmini, 2003).
Atas dasar kajian beberapa pustaka tentang ‘gusjigang’ paling tidak bisa diketahui pengertian dan penjelasan tentang ‘gusjigang’, dan ini dapat digunakan sebagai penuntun penelitian ini untuk melakukan studi tentang gusjigang. Dari data pustaka yang kami jumpai kajian tentang praktik ‘gusjigang’ dan telaah gusjigang dalam kegiatan berdagang belum banyak disentuh. Penelitian ini berusaha menggambarkan sisi hal tersebut. Beberapa kasus penelitian tentang pedagang muslim, etos kerja berdagang, menunjukkan bahwa etos berdagang yang bersumber pada ajaran Islami pada prinsipnya memiliki nilai-nilai ajaran yang sama. Sehubungan dengan itu penelitian ini ingin memberikan sebuah gambaran adanya praktik perdagangan yang didasari oleh ajaran-ajaran Islami yang dibingkai dalam ‘gusjigang’.
Perspektif Teoritis
Penelitian ‘gusjigang’ etos kerja dan perilaku ekonomi pedagang Kudus’ menjelaskan bahwa kata ‘gusjigang’ mengandung arti ‘ bagus – mengaji – berdagang’ adalah filosofi dari Sunan Kudus. Filosofi ‘gusjigang’ merupakan personifikasi Sunan Kudus agar masyarakat Kudus mempunyai budipekerti yang baik (masalah moralitas, ahklak), pandai mengaji yang berarti menuntut ilmu, rajin beribadah, dan pandai berdagang. Ada yang mengartikan mengaji adalah rajin beribadah, dan ‘ji’ ada yang mengartikan kaji (menunaikan ibadah haji) (Jalil, 2013). Ajaran ‘gusjigang’ ini ada yang menyebutkan menonjol di wilayah Kudus Kulon atau wong ngisor menoro. Ada anggapan masyarakat di kawasan ini memiliki tingkat religiusitas dan etos kerja lebih tinggi dengan mereka yang jauh dari Menara Kudus (Kudus bagian timur) (Said, 2013: 118-120).
Filosofi ‘gusjigang’ juga menyangkut etos kerja dalam berdagang. Dalam hal ini etos kerja yang didasari oleh ajaran agama (Islam). Menurut Tasmara etos kerja dalam pandangan Islam adalah rajutan antara nilai-nilai khalafiah dan ‘abd yang membentuk kepribadian seorang muslim dalam bekerja. Nilai- nilai khalafiah adalah nilai-nilai yang bermuatan positif, kreatif, produktif, dan inovatif. Nilai-nilai ‘abd adalah moral yaitu taat dan patuh pada hukum agama dan masyarakat. Dalam etos kerja Islam terlihat pada setiap perbuatan kerjanya antara lain: menghargai waktu, jujur, memiliki komitmen, istiqomah, disiplin, konsekuen, keatif, percaya diri, bertanggungjawab, memiliki harga diri, berorientasi ke depan, hemat dan efisien, mandiri, ihklas (Tasmara, 2002). Memahami etos kerja berbasis Islami ini bisa mengait dengan etika Protestannya Weber (lihat Geertz, 1992, Abdullah, 1979, Magnis-Suseno, 1978, Weber, 2000).
Menurut Weber di kalangan Protestan Calvinist menganggap bahwa kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan spiritual.Kerja keras merupakan panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan hidup. Dengan kerja keras, hidup hemat, sederhana, untuk memperoleh hidup lebih baik, mampu memfungsikan mereka sebagai wiraswasta yang tangguh dan menjadikan sebagai tulang-punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Mubyarto, dkk, 1993, lihat Magnis-Suseno, 1978, Harrison dan Samuel, 2006 ). Dalam fenomena ‘gusjigang’ bagaimana ‘ji’ dan ‘gang’ ini dapat membentuk pedagang dan wirausahawan Kudus yang berkarakter.
Penelitian ini mengacu pada pendekatan fenomenologis, yaitu pendekatan yang mempelajari gejala-gejala sosial budaya dengan memulai dari hal-hal yang mendasari perilaku manusia yakni kesadaran. Fenomenologi memandang perilaku dan tindakan manusia sebagai sesuatu yang bermakna, karena
manusia memberikan makna pada perilaku tidakan tersebut.
Makna-makna tersebut ada yang bersifat individual, sosial, kolektif, karena manusia selalu berada dalam suatu kehidupan sosial. Artinya makna-makna tersebut bersifat intersubyektif, dimiliki oleh orang lain juga. Makna kolektif terbentuk karena manusia berinteraksi, berkomunikasi satu dengan lainnya. Dalam konteks penelitian fenomenologi terdapat konsep ‘memahami’ yaitu mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma, aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut oleh individu dan dapat untuk menetapkan relasinya dengan perilaku warga masyarakat, perilaku kolektivitas, atau individu tertentu. Jadi memahami perilaku individu atau kolektivitas adalah mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, yang dijadikan sebagai pembimbing untuk mewujudkan perilakunya atau tindakannya (Ahimsa-Putra, 2012: 283-285).
Deskripsi fenomenologis menurut Husserl sebagai deskripsi, penggambaran dari segala sesuatu sebagaimana adanya, sebagaimana segala sesuatu tersebut tampil, hadir dihadapan manusia. Artinya fenomenologi bebas untuk menggeluti, menelaah, semua wilayah pengalaman manusia. Jadi tujuan utama fenomenologi adalah mendeskripsikan gejala yang ada di luar diri manusia sebagaimana gejala tersebut menampilkan dirinya di hadapan kesadaran manusia. Model yang ada dalam fenomenologi terkandung dalam asumsi dasarnya yang berkenaan dengan perilaku dan perangkat kesadaran manusia. Model di sini disebut sebagai ‘gambaran’, ‘imaji’ peneliti mengenai apa yang ditelitinya. Model di sini berkenaan dengan manusia dan perilakunya, manusia dengan jagadnya dan sarana yang digunakan untuk membuat deskripsi mengenai gejala yang diteliti (Ahimsa-Putra, 2012: 277, 284).
Dalam pendekatan fenomenologi ini peneliti berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah
orang tenang suatu konsep atau gejala. Dalam hal ini konsep utama pendekatan fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Fenomenolgi memandang perilaku dan tindakan manusia sebagai sesuatu yang bermakna, karena manusia memberikan makna pada perilaku dan tindakan tersebut (Ahimsa-Putra, 2012: 283-284).
Filisofi ‘gusjigang’ memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Kudus. Bagaimana ajaran ‘gusjigang’ ini dipahami dan merasuk dalam perilaku pedagang Kudus, sangat dipengaruhi oleh pemaknaan orang Kudus terhadap filosofi ‘gusjigang’. Dalam konteks ini makna mengacu pada pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terekspresi dalam simbol-simbol. Melalui simbol-simbol itu manusia mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan (Spradley, 1997: 120-122). Simbol adalah obyek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia.Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau obyek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi (dalam Saifuddin, 2005:301-303, Spradley, 1997: 120-124).
Dalam telaah makna ‘gusjigang’ dalam kehidupan orang Kudus, dengan memperhatikan pandangan ‘dari dalam’, yaitu dari sudut pandang tineliti (orang Kudus-pedagang) yaitu world
view orang Kudus atas etos dalam ‘gusjigang’. Dalam arti
peneliti dalam melukiskan kebudayaan masyarakat yang ditelitinya harus mengikuti pandangan atau makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan bersangkutan, di lain pihak peneliti juga memakai cara-cara yang bersifat universal (Goodenough, dalam Ahimsa-Putra, 1985). Pelukisan yang mengacu pandangan tineliti disebut dengan emik (native’s
viewpoint), dan yang mengacu pada pandangan peneliti disebut
etik (scientist’s viewpoint) (Saifuddin, 2005: 89-90).Dalam
pelukisan data emik ini peneliti menuliskan penuturan peristiwa yang disampaikan tineliti, tanpa campur tangan etik. Konstruksi penulis hanya pada ranah penataan agar data emik mampu mengungkapkan makna dibalik peristiwa tersebut. Etik hanya dipakai untuk memberi makna dari emik (El Amady, dalam 24- 144-1-PB-pdf, diakses April 2016).
Suatu telaah simbolik atau suatu tafsir terhadap simbol harus memperhatikan pandangan atau tafsir yang diberikan oleh pemilik atau pembuat simbol itu sendiri (Turner dalam Ahimsa- Putra, 2000: 404-405). Oleh sebab itu pandangan ‘dari dalam’ tentang makna ‘gusjigang’ dan simbol yang ada harus diperhatikan dan dipahami. Data yang diperoleh berupa pandangan-pandangan dari tineliti (pemilik simbol) sangat penting untuk memperkuat kebenaran tafsir yang diberikan peneliti (Ahimsa-Putra, 2000: 406) atas fenomena ‘gusjigang’ tersebut.
Dalam kerangka ini pemaknaan ‘gus- ji - gang’ pada pedagang Kudus mengandung tiga unsur nilai yang berbeda. Pengungkapan makna ‘gus’ (bagus ahklaknya) akan berbeda analisisnya dengan pengungkapan makna ‘ji’ (belajar, menuntut ilmu), dengan pemaknaan ‘gang’ (pandai berdagang). Namun ketiga unsur ini adalah satu kesatuan. Artinya, seseorang (pedagang) yang menjalankan ‘ji’ dan ‘gang’ sebagai pedagang yang menjalankan praktik berdagang dengan baik, maka dalam konteks ini seseorang pedagang tersebut dapat disebut memiliki ‘gus’ (menjalankan ibadah salat, berzakat, bersodaqoh, dan sebagainya).
Etos kerja bukan merupakan konsep yang bersifat universal. Karena sumber etos kerja dapat dilihat dari berbagai sudut dalam suatu lingkungan sosial budaya. Misal etos kerja pedagang kecil dengan pedagang besar (saudagar), etos kerja petani dengan buruh tani. Dengan demikian banyak variasi dari
etos kerja dilihat dari etnisitas, pelapisan, jenis kelamin (Tjokroaminoto, 1988). Dalam konteks ini etos kerja mengacu pada perilaku ekonomi pedagang. Dalam arti semua aktivitas berdagang yang perilakunya dalam bingkai ‘gusjigang’. Mengacu pernyataan Tjokroaminoto bahwa etos kerja berbeda antarberbagai segmen masyarakat, maka perilaku ekonomi pedagang dalam bingkai ‘gusjigang’ ini juga akan difokuskan pada pedagang yang berdagang cukup menonjol di Kudus seperti usaha konveksi, usaha kain bordir, usaha jenang kudus. Pedagang tersebut dengan klasifikasi pengusaha pemilik usaha (konveksi, bordir, jenang), pedagang penjual eceran maupun borongan (konveksi, bordir, jenang), pedagang pengusaha maupun eceran etnik Cina, Arab, dan Jawa.
Perilaku ekonomi pedagang dimaksud adalah kegiatan atau aktivitas ekonomi yang dilakukan pedagang maupun pengusaha yang bertujuan untuk kelangsungan dan kelancaran usaha dagangnya yang meliputi aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam hal ini seorang pedagang - pengusaha akan berbeda aktivitas ekonominya dalam aspek produksi, distribusi dan konsumsi dengan pedagang eceran maupun borongan. Aspek produksi akan tampak dalam proses pembuatannya, peralatannya, atau bagaimana pedagang memperoleh barang dagangannya, bagaimana model bekerjanya; aspek distribusi dapat dilihat bagaimana usaha pemasarannya; aspek konsumsi dilihat dari bagaimana pemanfaatan hasil dari usaha dagangnya, yang bisa menyangkut kegunaan untuk kelancaran usaha dagangnya dan yang tidak berkait dengan usaha dagangnya tetapi menopang kehidupan pedagang. Semuanya itu akan dilihat dalam bingkai filosofi ‘gusjigang’.
Bingkai ‘gusjigang’ juga akan dilihat dalam perilaku kehidupan pedagang. Di sini menyangkut bagaimana seorang pedagang atau pengusaha memperoleh pekerjaannya (sejarah awal mula). Bagaimana seorang pedagang/pengusaha menjalankan
perannya dalam keluarganya (pelibatan dalam keluarga, istri, anak, kerabat dalam membuat keputusan tentang usaha dagangnya, investasi, pendidikan, perkawinan), perannya dalam kehidupan bermasyarakat (bergotong royong, menghadiri pertemuan ke tetangga/masyarakat lain, berorganisasi; dan dalam menjalankan ibadah agama).
Istilah dagang, berdagang dalam arti luas suatu usaha komersial dalam dunia perdagangan, merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Dalam aktivitas dagang yang terpenting bagi dunia dagang adalah kegiatan antarmanusia, suatu komunikasi atau interaksi yang bertujuan untuk kelancaran bisnis yang memberi keuntungan kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya (Daryono, 2007: 7-8, lihat juga Geertz, 1977). Dalam membangun hubungan antarmanusia ada tindakan-tindakan untuk lebih intensif ke jalur-jalur hubungan yang berbasis pertemanan, agama, dan pekerjaan. Dalam jalur pekerjaan jalinan hubungan yang dibangun terkait dengan aktivitas pekerjaan, dalam hal ini berdagang.
Dalam konteks pandangan Marx tentang ekonomi kapitalis, pedagang Kudus atau saudagar (pengusaha konveksi, border, jenang ) bisa disebut sebagai klas majikan atau golongan masyarakat yang menguasai infrastruktur (alat-alat produksi seperti mesin, dan alat-alat produksi lainnya) dan hubungan produksi (kelas sosial, dominasi, upah, dan sebagainya). Infrastruktur adalah dasar suatu masyarakat berproduksi di bidang ekonomi, dan sebagai dasar terbentuknya suprastruktur (berupa lembaga sosial, gagasan, dan nilai). Cara produksi akan memunculkan berbagai institusi sosial, agama, politik, pendidikan dan keluarga. Di sini lembaga-lembaga tersebut mengembangkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, seperti halnya masyarakat di kawasan Kudus Kulon dalam hal menghayati agamanya, munculnya institusi-institusi keagamaan,
maupun nilai-nilai yang berkembang di masyarakat khususnya yang mengacu pada ajaran ‘gusjigang’.
Di lain pihak golongan masyarakat yang menjalankan alat-alat produksi disebut Marx sebagai kelas buruh atau pekerja. Para pekerja ini bekerja untuk mendapatkan upah dengan memberikan tenaga dan ketrampilannya kepada pemilik alat produksi atau pemilik modal. Hubungan pemilik alat produksi atau pemilik modal dengan pekerja saling membutuhkan. Pemilik modal membutuhkan tenaga untuk menjalankan produksi, sedangkan pekerja/buruh bekerja untuk mendapatkan upah atau penghasilan. Marx berpendapat dua kelas sosial yang ada di masyarakat ini memiliki relasi yang tidak setara. (http://indoprogress.com/2012/01/diunduh, 17 April 2016 ).
Dalam konteks inilah penelitian etos kerja pedagang Kudus dalam bingkai ‘gusjigang’ akan mengungkap apakah pedagang Kudus dalam menjalankan usahanya mengacu pada ‘gusjigang’, ataukah sebaliknya sama sekali tidak mencerminkan gambaran ‘gusjigang’. Demikian juga jaringan sosial yang dibangun pedagang mungkin bentuknya dipengaruhi oleh ‘gusjigang’ atau tidak ada jejaknya sama sekali.
Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, observasi dan studi pustaka. Penggunaan metode kualitatif karena aspek-aspek yang akan diungkap menyangkut tingkatan abstrak, seperti pandangan, pemaknaan, filosofi, tentang ‘gusjigang’. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam (in-depth interview) yang dilakukan kepada para pedagang yang memiliki toko, pedagang yang berstatus pengusaha/juragan, dan pedagang yang berdasarkan etnik: Jawa, Arab, dan Cina. Sasaran usaha dipilih yang cukup dominan dijalani oleh para pedagang Kudus yakni usaha konveksi, bordir, dan usaha jenang Kudus. Dengan demikian akan diperoleh varian data yang menarik dan variatif.
Pedagang yang diwawancara dipilih yang menjalankan usahanya di kawasan Kudus Kulon. Menurut sejarahnya Kudus Kulon merupakan kawasan yang warganya paling banyak dan tekun menjalankan ajaran Sunan Kudus, atau disebut ‘wong
ngisor Menara’. Kawasan ini menjadi tempat awal mula
munculnya basis-basis ekonomi, termasuk perusahaan rokok yang muncul pertama kali di Kudus. Kawasan Kudus Kulon terdiri atas Desa Kauman, Kerjasan, Langgardalem, Demangan, Sunggingan, dan Kajeksan. Usaha konveksi dan bordir, batik, banyak terdapat di Kauman, Kerjasan dan Langgar Dalem. Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap dimungkinkan penelusuran data berada di luar Kudus Kulon, misalnya sentra konveksi berada di Pedurenan, juga jenang Kudus Mubarok.