MENGANALISIS DAMPAK SOSIAL PEMBANGUNAN.

MENGANALISIS DAMPAK SOSIAL PEMBANGUNAN
Oleh: Prof. Dr. Afrizal, MA

Dari berbagai definisi pembangunan yang ada, dapat ditarik benang merah
bahwa pembangunan merupakan upaya untuk mengubah sesuatu keadaan menjadi
sesuatu keadaan yang direncanakan. Kata kuncinya dengan demikian adalah perubahan
yang diinginkan atau yang direncanakan. Perubahan yang diinginkan dan yang
direncanakan tersebut sering pula disebut sebagai tujuan pembangunan.
Tujuan pembangunan pada dasarnya dianggap baik, pantas dan atau seharusnya
ada, menurut penyelenggara pembangunan. Dengan kata lain, tujuan pembangunan
adalah positif dari sudut pandang penyelenggaranya. Akan tetapi, dari sudut pandang
orang lain, pembangunan tersebut tidak selalu berbuah hal-hal yang positif bagi mereka.
Hal ini berarti, pembangunan dapat menimbulkan konsekunesi negatif bagi suatu
komunitas atau bagi suatu segmen dari komunitas.
Dampak negatif pebangunan tersebut tidak selalu disadari dan atau tidak selalu
tampak kepermukaan. Makalah singkat ini akan membicarakan cara menganalisis
dampak sosial pembangunan dan setelah itu akan dibicarakan beberapa dampak
pembangunan yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam setiap kajian dampak
pembangunan.

Cara Pandang Menganalisis Dampak

Perhatikan Dampak Laten
Dampak dalam Bahasa Inggris disebut impact yang bersinonim dengan effect
(akibat) atau consequences (akibat). Dalam Bahasa Indonesia dampak berarti pengaruh
kuat yang mendatangkan akibat. Berdampak mengandung arti berpengaruh. Jadi, ketika
berbicara dampak pembangunan kita berbicara akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
pembangunan. Dampak tersebut terdiri dari:
a. Dampak positif. Dampak yang dianggap baik oleh penyelenggara pembangunan
maupun oleh orang lain.

1

b. Dampak negatif. Dampak yang dianggap tidak baik oleh penyelenggara
pembangunan maupun oleh orang lain.
c. Dampak yang disadari (intended consequences). Dampak yang direncanakan oleh
penyelenggara pembangunan. Dampak ini adalah dampak yang diketahui dan disadari
akan terjadi. Dalam kepustakaan sosiologi, hal seperti itu disebut sebagai fungsi
manifes. Dampak yang disadari pada dasarnya tergolong dampak positif paling
kurang menurut pandangan penyeleanggara pembangunan. Dampak seperti ini
biasanya mudah diketahui karena disadari keberadaanya atau sering telah ditulis oleh
penyelanggara


pembangunan

dalam

proposal

pembangunannya.

Melakukan

wawancara dengan pembuat proposal atau membaca proposal itu sendiri cukup untuk
mengetahui hal tersebut.
d. Dampak yang tidak disadari (unintended consequences). Dampak yang tidak
direncanakan oleh penyelenggara pembangunan. Oleh sebab itu, dampak ini adalah
dampak yang tidak diketahui dan tidak disadari. Hal ini dalam kepustakaan sosiologi
disebut sebagai fungsi laten. Dampak seperti ini biasanya sulit diketahui karena tidak
disadari atau tidak pernah dapat ditemukan dalam proposal pembangunan oleh
penyelanggara pembangunan. Dampak yang disadari sering tergolong dampak negaif.
Dari penjelasan berbagai jenis dampak di atas, analisis dampak sosial

pembangunan harus meliputi berbagai jenis dampak tersebut. Kajian tidak hanya terpusat
pada dampak positif, tetapi yang lebih penting mengungkapakan dampak negatif. Kajian
tidak hanya fokus pada fungsi manifes, melainkan juga meliputi fungsi laten. Malah,
seharusnya fungsi laten inilah yang menjadi tekanan kejian dampak. Fokus pada fungsi
laten berarti konsentrasi pada sesuatu yang tidak tampak, tidak diharapkan dan tidak
disadari.
Untuk dapat mengungkan dampak laten, peneliti harus memiliki ketajaman
perspektif dan teori. Dengan menggunakan sudut pandang Disiplin Sosiologi,

studi

dampak sosial pembangunan semestinya menerapkan sudut pandang apa yang disebut
sebagai kesadaran sosiologis yang berarti kesadaran bahwa ada realitas sosial dibalik dari
realitas sosial. Analis sosial, oleh sebab itu, di dorong untuk melihat tembus atau milihat
dibalik, dibalik penampakan dan dibalik yang tertulis dalam dokumen-dokumen resmi.

2

Dampak Pastilah Dampak tentang Sesuatu
Kemudian, pembicaraan perihal dampak pembangunan pastilah pembicaraan

mengenai dampaknya terhadap sesuatu. Dalam hal ini, dampak sosial pembangunan
berarti dampak pembangunan terhadap manusia dalam jumlah yang banyak, bukan satu
atau dua orang. Dengan kata lain, dampak sosial pembangunan mengandung arti dampak
pembangunan terhadap kehidupan sosial anggota sebuah komunitas atau masyarakat.
Perhatikan Kelompok Marjinal
Dampak sosial pembangunan tidak sama dalam masyarakat, disebabkan oleh
anggota-anggota masyarakat berada dalam keadaan yang tidak sama secara sosial dan
ekonomi. Ketidaksamaan tersebut menyebabkan perbedaan kemampuan anggota
masyarakat untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh dampak atau beradaptasi
dengan dampak. Anggota masyarakat yang berada dalam situasi yang lemah secara
ekonomi dan sosial biasanya kelompok yang lebih merasakan dampak karena merekalah
yang memiliki berbagai rintangan untuk beradaptasi. Kelompok yang lemah tersebut
biasanya disebut sebagai kelompok marjinal. Mereka biasaya adalah lapisan masyarakat
miskin, perempuan, anak-anak dan lansia. Kelompok kaya biasanya memiliki
kemampuan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Oleh sebab itu, setiap kajian
dampak perlu mempertimbangkan keragaman masyarakat terkena dampak dengan
memberikan perhatian lebih kepada kelompok marjinal.
Pelanggaran Hak-Hak Azazi Manusia
Akhir-akhir ini banyak hal telah ditetapkan sebagai hak azazi manusia. Penetapan
ini teleh tertuang dalam berbagai dokumen resmi, baik nasional maupun internasional.

Berbagai conoth dapat disajikan: Yang paling penting untuk analisis dampak lingkungan
adalah hak-hak individu, kelompok orang dan komunitas atas lingkungan dan atas
sumber daya alam. Akibatnya, kajian dampak lingkungan mestilah menggunakan apa
yang disebut sebagai rights frameworks. Berikut ini akan disajikan hak-hak manusia yang
harus dipenuhi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit agar produksinya dapat
sesuai dengan Prinsip dan Keriteria Roundtable on Sustaniable Palm Oil (RSPO), sebuah
3

badan non-pemerntah yang didirikan oleh LSM dan Perusahaan-perusahaan perkebunan
sawit dan bermarkas di Kuala Lumpur.
Prinsip dan Keriteria Minyak Sawit Berkelanjutan menekankan kuat terhadap
penghargaan atas hak-hak manusia terhadap sumber daya alam dalam kegiatan produksi
minyak sawit. Ditekankan bahwa tidak boleh penanaman pohon sawit di atas tanah milik
masyarakat adat tanpa persetujuan tanpa paksaan dan berdasarkan informasi sebelum
pengolahan lahan

dilakukan. Prinsip ini disebut dengan prinsip FPIC (Free Prior and

Informed Consent). Kemudian ditekankan bahwa harus ada kompensasi yang fair bagi
masyarakat adat atas diambilnya tanah yang mereka punya hak. RSPO mengakui

keberadaan hak ulayat yang berdasarkan hukum adat setempat 1 (lihat juga Colchester,
dkk. 2006, hal. 03).
Berdasarkan Prinsip dan Kriteri RSPO di atas, adalah pelanggaran hak-hak azazi
masyarakat adat atau komunitas tempatan apabila hak-hak adat tidak diakui apabila pada
wilayah suatu wilayah hokum adatnya ada dan berlaku.
Dampak Sosial Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di
Sumatera Barat dan Riau: Sebuah Ilustrasi
Berikut ini akan disajikan laporan penelitian yang telah saya lakukan untuk
memberikan ilustrasi bagaimana pembangunan menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan

dan

pembangunan.

merugikan

sekelompok

penduduk


sekitar

lokasi

pelaksanaan

Diharapkan, dengan mempelajari kasus tersebut, orang-orang yang

melaksanakan studi AMDAL terinspirasi untuk memfokuskan telaahannya pada
kemungkinan dampak yang ditimbulkan seperti penduduk lokal merasa haknya terampas,
mereka merasa diperlakukan tidak adil dan aspirasi untuk mendapatkan manfaat atas
pembangunan di daerah mereka. Semua itu menyebakan protes-protes oleh anggota
komunitas tempatan yang pada akhirnya merupakan ancaman dari penduduk lokal atas
kesinambungan pembangunan.
Seperti yang terjadi di banyak provinsi di Provinsi Sumatera Barat dan Riau
pengembangan perkebunan kelapa sawit, yang telah dilakukan semenjak akhir 1980an,
telah mengakibatkan dampak negatif, yaitu timbulkan konflik yang banyak antara
1


Untuk lebih jauh silakan diakses website RSPO internasional atau RSPO Indonesia atau Sawit Watch
untuk membaca Prinsip dan Kriteria Minyak Sawit Berkalanjutan.

4

penduduk tempatan dengan perusahaan perekebunan kelapa sawit. Di kedua provinsi
tersebut penduduk nagari dan desa aktif melawan bisnis dan juga negara dan perlawanan
tersebut memuncak ketika reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1998. Konflik
terjadi di berbagai kabupaten. Hasil penelitian yang telah saya lakukan menunjukkan
bahwa perlawanan tersebut berlanjut sampai akhir tahun 2008 karena banyak yang belum
terselesaikan.
Jumlah konflik agraria yang terjadi di Sumatera Barat jauh lebih tinggi dari yang
tercatat dalam berbagai sumber. Umpamanya, data-base KPA (Konsorsium Pembaharuan
Agraria) hanya memuat 12 kasus konflik agraria di areal perkebunan besar di Sumatera
Barat sampai tahun 2001, padahal di Kabupaten Pasaman Barat saja terdapat sebanyak 16
buah perkebunan besar yang berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas lokal. 2 Ada
sebanyak 55 buah perusahaan perkebunan besar di seluruh Sumatera Barat yang
mengontrol kira-kira 119.229 ha tanah yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas
nagari.3 Semua perusahaan tersebut juga berkonflik dengan berbagai kelompok
komunitas nagari.4 Afrizal (2005, 2006 dan 2007) menemukan bahwa sebuah perkebunan

kelapa sawit berskala besar berkonflik sampai dengan tujuh kelompok dalam komunitas
nagari. Berdasarkan temuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kasus konflik antara
komunitas nagari dengan perusahaan perkebunan besar di Sumatera Barat mencapai lebih
dari 300 kasus semenjak tahun 1998 sampai tahun 2008.
Disamping itu, ditemukan pula beberapa konflik antara penduduk tempatan
dengan perusahaan non perkebunan kelapa sawit. Pertama adalah konflik perkebunan
karet. Konflik terjadi antara PT. PN III/VI sebagai perusahaan inti dengan penduduk
Nagari Gunung Malintang, Kabupaten 50 Kota dan antara PT. Purnakarya dan Korem
032 Wirabraja dengan komunitas Kapala Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman.
Disamping persoalan kebun plasma,

konflik antara penduduk tempatan dengan

perusahaan perkebunan tersebut berkenaan dengan penguasaan tanah oleh kedua
2

Wawancara dengan berbagai sumber tahun 2002 dan tahun 2008 di Pasaman Barat dan berita media.
Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2001. Hampir tidak perubahan jumlah perusahaan
perkebunan dari 2001 sampai 2008. Perubahan yang terjadi hanyalah beberapa perusahaan dibeli oleh
perusahaan yang lain dan perusahaan yang dibeli tidak beroperasi lagi.

4
Wawancara dengan berbagai sumber tahun 2002 dan tahun 2008 di Pasaman Barat, komunikasi personal
dengan Kepala Bagian Pemerintahan Nagari Kantor Bupati Solok Selatan, Sekretaris Camat Sungai
Rumbei (Kabupaten Dharmasraya) dan Kepala Tata Pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan, antara
Februari sampai Agustus 2008 serta berita media. Peneliti aktif memonitor perkembangan konflik
perkebunan kelapa sawit semenjak tahun 2002.
3

5

perusahaan (untuk mengetahui lebih deteil konflik ini baca Afrizal 2007). Disamping
itu, penduduk lokal juga beraksi melawan perusahaan yang usahanya berkaitan dengan
penambangan seperti batu kapur untuk produksi semen dan batu bara. Semuanya juga
semarak mulai pertangahan tahun 1998 dan berkenaan dengan penguasaan tanah oleh
para perusahaan (Afrizal 2005 dan 2007, Hafil 2008).
Perlawanan komunitas nagari tersebut terjadi tersebar di berbagai kabupaten,
tetapi lebih banyak terjadi di kabupaten-kabupaten dengan jumlah perusahaan
perkebunan yang banyak, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam. Hal itu menunjukan bahwa konflik
agraria semacam ini terjadi berkaitan dengan pembangunan ekonomi.

Di Provinsi Riau, provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas di
Indoensia dengan luas 1,5 juta hektar (lih. Colchester et al. 2006, p. 24), jumlah konflik
perkebunan kelapa sawit yang terjadi antara komunitas lokal dengan perusahaan kelapa
sawit berskala besar banyak. WALHI Riau mencatat, sedikitnya 400 konflik di Provinsi
Riau merupakan konflik antara masyarakat adat atau suku asli dengan berbagai
perusahaan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan tanaman indusri (Kompas, 5
April 2007). Kira-kira 50% dari konflik tersebut adalah konflik perkebunan kelapa sawit
berskala besar. Hal ini dapat diketahui dari semenjak tahun 1998 sebanyak 60 5 dari 160
buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar (atau 37,5%) berkonflik dengan
penduduk tempatan. Oleh sebab itu, jumlah konflik semacam itu kemungkinan besar
lebih besar dari yang dilaporkan oleh Tim LITBANG Data FKPMR (2007). Tim
mengatakan bahwa konflik perkebunan hanya terjadi

66 kasus antara 2003-2007.

Kalkulasi Tim hanya berdasarkan laporan kasus kepada LSM tempatan dan surat kabar.
Dari analisis suurat-suurat pengaduan dan wawancara mendalam dengan berbagai
informan diketahui bahwa banyak kasus konflik perkebunan sawit tidak dilaporkan
kepada LSM an tidak pula dciliput oleh media. Karena berbagai perusahaan berkonflik
dengan tiga sampai empat kelompok, diperkirakan konflik yang terjadi antara penduduk
tempatan dengan 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar sebanyak lebih
dari 200 kasus di Provinsi Riau.
5

Data diperoleh dengan menganalisi informasi yang dikompilasi oleh Tim Litbang Data FKPMR 2007,
surat-surat protes oleh penduduk tempatan yang dikumpulkan selama penelitian dan wawancara mendalam
dengan berbagai informan di Kabupaten Kampar.

6

Sementara itu, berdasarkan sebaran lokasi wilayah geografisnya, konflik menyebar
hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Riau. Tim Data Litbang FKPMR dalam
studinya melapoirkan bahwa kabupaten yang paling banyak dijumpai konflik pertanahan
adalah Indragiri Hulu, yakni sebesar 22,7 persen. Lalu, secara berurutan disusul oleh
Rokan Hilir sebanyak 18,2 persen, Siak sebanyak 12,1 persen, kampar sebanyak 10,6
persen, Bengkalis dan Pekanbaru masing-masing 4,5 persen, Pelalawan sebanyak 3
persen, dan dua kasus konflik lainnya tidak didapatkan data lokasinya.
Konflik perkebunan antara penduduk tempatan dengan bisnis yang terjadi baik di
Provinsi Sumatera Barat maupun Riau telah berkembang menjadi konflik yang terbuka
dan penuh kekerasan.6 Transformasi konflik tersebut akibat dari cara yang dilakukan oleh
masing-masing pihak untuk merespon aksi dari pihak lain guna menyelesaikan persoalan.
Pada awalnya, tokoh-tokoh masyarakat lokal melakukan upaya lobi dengan suratmenyurat dan tatap muka untuk memperjuangkan kepentingannya, kepentingan
kelompok-kelompok dalam komunitasnya dan kepentingan komunitas nagarinya secara
keseluruhan. Akan tetapi, karena upaya lobi ini tidak berhasil, lalu mereka melakukan
upaya mobilisasi massa dengan cara melakukan demonstrasi. Pada rentang waktu 19982004 terjadi banyak demonstrasi seperti ini di berbagai kabupaten. Kemudian, sebagian
yang lain melakukan aksi-aksi memblokade aktivitas perusahaan, merusak harta milik
perusahaan dan malah ada yang memanen buah sawit dan menyadap karet yang dikelola
oleh perusahaan.7 Aksi-aksi kolektif penduduk lokal ini ada yang ditanggapi dengan cara
kekerasan oleh polisi seperti, intimidasi dan pemukulan. 8 Dari penjelasan di atas,
kekerasan dilakukan baik oleh penduduk nagari maupun oleh aparatur negara tentunya
juga oleh pihak perusahaan karena kehadiran polisi dalam konflik tersebut tentunya
berkaitan erat dengan cara yang dipilih oleh perusahaan untuk menyelesaikan persoalan.
Di kedua provinsi, konflik semacam itu sebagian besar terus berlanjut sampai
akhir 2008. Ada beberapa kasus yang telah diselesaikan dengan mekanisme resolusi
konflik di luar peradilan dengan prinsip menang-menang, akan tetapi banyak kasus belum
6

Berbagai surat kabar lokal di kedua provinsi dan surat kabar nasional melaporkan terjadinya konflik
kekerasan baik yang dilakukan oleh penduduk lokal maupun respon perusahaan.
7
Wawancara dengan berbagai informan di Pasaman Barat, Pekan Baru dan Kabupaten Kampar tahun 2002
dan 2008 serta analissi berita media dan laporan berbagai LSM.
8
Biasanya kehadiran polisi akibat pemberitahun dari pihak perusahaan. Wawancara dengan berbagai
informan di Pasaman Barat, Pekan Baru dan Kabupaten Kampar tahun 2002 dan 2008 serta analissi berita
media dan laporan berbagai LSM.

7

diselesaikan (status quo).9 Di Provinsi Sumatera Barat, konflik yang telah diselesaikan
pada umumnya konflik berkenaan dengan pembayaran atas digunakan tanah ulayat oleh
perusahaan dan pencaplokan lahan oleh perusahaan. Sementara, di Provinsi Riau konflik
berkenaan dengan isu pencaplokan lahan oleh perusahaan pada umumnya belum
diselelsaikan.10
Penyebab Dampak: Konflik Manefistasi dari Cara Pemerintah Menjalankan
Pembangunan Ekonomi
Perlawanan komunitas nagari yang banyak terjadi semenjak pertengahan 1998
dan berlanjut sampai hari ini dengan tujuan-tujuan yang telah ditunjukkan sebelumnya
berkaitan erat dengan cara pemerintah menjalankan pembangunan ekonomi.
Sebagian konflik yang terjadi terutama yang bertujuan untuk merebut tanah bekas
hak erfpacht dan HGU berhubungan erat dengan cara pemerintah kolonial Belanda
membangun ekonomi. Sebagai respon terhadap tuntutan kapitalis di negerinya sendiri
untuk mendapatkan tanah bagi perluasan bisnis para kapitalis setempat, pemerintahan
kolonial

Belanda

mengeluarkan

hukum

agraria

pada

tahun

1870

untuk

memungkinkannya memberikan hak sewa jangka panjang (erfpacht) kepada para investor
asing (Benda-Backmann 1979, hal. 210-211 dan Harsono 1999, hal. 37-42). Ayat satu
undang-undang agraria tersebut berdampak besar terhadap masyarakat Minangkabau,
karena undang-undang tersebut memuat Deklarasi Pemilikan yang menyatakan bahwa
“semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya adalah tanah negara”.
Deklarasi Pemilikan ini diimplementasikan pada tahun 1874 di Minangkabau (Amran
1985, hal. 267 dan Benda-Beckmann dan Benda-Beckmann 2001, hal. 27). Undangundang tersebut mengingkari hukum adat Minangkabau perihal pemilikan tanah karena
Deklarasi Pemilikan itu tidak mengakui bukti kepemilikan tanah menurut hukum adat
Minangkabau (Harsono 1999, hal. 41-42). Bahkan Gubernur Sumatra Barat (pada saat itu
pantai barat), J. Ballot, berkeberatan dengan implementasi undang-undang tersebut di
Sumatera Barat dengan alasan undang-undang itu bertentangan dengan prinsip dasar
9

LSM Scale Up melakukan kegiatan mediasi dengan pendekatan renegosiasi untuk menyelesaikan konflik
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau.
10
Interpretasi ini berdasarkan analisis berita berbagai media sampai tahun 2008 dan wawanacara dengan
personil Walhi Riau dan Scale Up, Pekan Baru, Agustus 2008.

8

hukum adat Minangkabau (Kahn 1993, hal. 187-208)11, disebabkan oleh, menurut hukum
adat Minangkabau, tidak ada tanah dalam wilayah suatu nagari yang tidak bertuan, baik
tanah yang digarap maupun yang tidak adalah milik komunitas sebuah nagari (Pak 1986,
hal. 480; Dt. Perpatih Nan Tuo 1999, hal. 8; Durin 2000 dan Sjahmunir 2000).
Implementasi Deklarasi Pemilikan diatas berarti semua tanah kecuali yang digarap oleh
penduduk sebuah nagari diklaim oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai milik negara,
dan, akibatnya, dari sudut pandang hukum pemerintah kolonial Belanda sah untuk
memberikan hak pakai jangka panjang atas tanah tersebut kepada para investor asing
(Benda-Beckmann 1979, hal. 211 dan Kahn 1993, hal. 205-211). Implikasinya,
pemerintah kolonial mengeluarkan hak pakai jangka panjang (desebut erfpacht) kepada
investor-investor perkebunan di Provinsi Sumatera Barat.
Kemudian, pemerintah Indonesia merdeka meneruskan kebijakan agraria kolonial
tersebut dengan pada tahun 1960 mengeluarkan Undang-undang Agraria baru (UUPA No.
5/1960). Berbeda dari Deklarasi Pemilikan, UUPA 1960 mengakui keberadaan tanah
ulayat dan sekaligus mengakui penggunaan hukum adat untuk pengaturan dan
pemanfaatan tanah ulayat tersebut (Sumarjono 2000, hal. 55), akan tetapi, dipihak lain,
UUPA melegitimasi negaraisasi tanah ulayat yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Menurut pemerintah Indonesia, tanah yang telah dikuasai oleh seseorang
dengan hak yang telah diberikan oleh pemerintah kolonial, seperti hak erfpacht,
ditetapkan sebagai tanah Negara.12 Akibatnya, tanah tersebut pengontrolannya berada di
tangan pemerintah. Pemerintah kemudian mengalokasikan tanah tersebut bagi investor
perkebunan berikutnya dengan memberikan Hak Guna Usaha dan tanah seperti ini
dinyatakan sebagai tanah milik negara.
Konflik agraria yang lain terutama yang tujuannya mempertahankan tanah dan
menuntut kompensasi berkaitan erat dengan aparatur negara sebagai pihak pengalokasi
dan sekaligus pengorganisasi penyerahan tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh
komunitas nagari. Di Indonesia, menurut undang-undang, negara berkuasa penuh
berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA/1960 menyatakan:
11

Kejadian ini membuat Ballot dipecat sebagai Gubernur Pantai Barat oleh pemerintah kolonial pusat
(Kahn 1993, hal. 187).
12
Dijelaskan dalam ayat I-III UUPA, tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi.

9

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara-cara yang diatur
oleh undang-undang.
Badan yang hanya boleh mencabut hak-hak atas tanah tersebut adalah negara. Hal ini
juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang bukan saja mengatur orang, melainkan
juga mengatur tanah di Indonesia. Dia bukan hanya mengatur tanah miliknya sendiri,
melainkan juga mengatur tanah yang dimiliki oleh rakyatnya.

Inilah yang disebut

sebagai negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia.
Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan oleh UUPA
1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah,
sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan
tanah. Pemerintah setempat (diketuai oleh gubernur atau bupati/wali kota dan terdiri dari
pejabat dari berbagai instansi) menjadi panitia yang mengorganisasi penyerahan tanah
dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri (Parlindungan
1993, hal. 43-45). Untuk mengetahui bagaimana panitia pembebasan tanah itu bekerja di
lapangan baca Stanley (1994) dan Lucas (1997). Kemudian Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Pembangunan Umum menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan
tanah yang dibentuk oleh pemerintah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik
rakyat untuk kepentingan umum. Panitia tersebut dibentuk di tingkat provinsi dan di
tingkat kabupaten dan kota. Angggota panitia pembebasan tanah tersebut terdiri dari
pejabat-pejabat pemerintah setempat yang diketuai oleh kepala daerah.13

Artinya,

komunitas setempat tidak langsung bernegosiasi dengan investor atau dengan sebuah
instansi pemerintah yang membutuhkan tanah mereka, melainkan melalui tim
pembebasan tanah yang dibentuk oleh pemerintah setempat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintah yang
mengalokasikan lahan hutan, laut, sungai dan tanah untuk ditambang kepada para
investor dimana saja di republik ini. Sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah
diserahkan oleh negara kepada pebisnis, dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang
13

Lih. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Pembangunan Umum.

10

paling bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif dari semua itu adalah negara itu
sendiri.
Di sektor perkebunan saja, proyek pemerintah mengalokasikan tanah untuk
perkembangan perkebunan besar kelapa sawit telah menyebabkan sampai tahun 2004
seluas 6.059.441 hektar tanah di kawasan perdesaan telah dikontrol oleh perusahaan
besar perkebunan kelapa sawit di berbagai tempat di Indonesia. Kira-kira 19.840.000
hektar tanah lagi direncanakan akan dialokasikan oleh pemerintah provinsi untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar tersebut (Sawit Watch 2004, hal.
5).
Dalam melaksanakan tugasnya mengalokasikan tanah ulayat milik kaum, suku
atau nagari bagi para investor, aparatur negara tidak melindungi kepentingan-kepentingan
para pemilik tanah ulayat tersebut dengan baik. Pertama, pengembangan dan
pengkonversian (penyerahan kepada petani plasma) kebun plasma sebagai kompensasi
penyerahan tanah ulayat untuk pengembangan perkebunan berskala besar milik
perusahaan swasta maupun negara tidak dikelola secara baik seperti dalam hal luas area
plasma, pengembangan plasma itu sendiri, penerima plasma, dan penyerahan plasma.
Kedua, hak-hak pemilik tanah ulayat atas tanah mereka tidak diindentifikasi secara baik
seperti, ada tidaknya lahan garapan dan tanaman pemilik dan hukum adat tentang
pelepasan tanah ulayat. Ketiga, pemerintah tidak berusaha untuk mendapatkan
persetujuan berdasarkan informasi (informed consent) dari pemilik tanah ulayat. Pada
dasarnya, pemilik tanah ulayat tidak diberitahu konsekuensi hukum dari penyerahan
tanah ulayat mereka kepada pemerintah kabupaten/kota untuk kemudian diserahkan
kepada pebisnis.

Daftar Bacaan
Afrizal, 2007, The Nagari Community, Business and the State: The Origin and the
Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumatera, Forest People
Programmed an Sawit Watch, Bogor.
_____,2006, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Universitas Andalas Press, Padang.

11

_____, 2005a, “the Nagari Community, Business and the State: The Origin and the
Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumatera”, Indonesia, Ph.D
Thesis at the Asia Centre of Faculty of Social Sciences Flinders University.
______,2005b, Resolusi Konflik Tanah Ulayat, Sigai Jurnal Sosiologi, Vol. VI. No. 9.
______,2005c, Anggota Kaum Caniago Melawan BPN, Sigai Jurnal Sosiologi, Vol. VI.
No. 10.
______, 2005d, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Dari Pengertian Sampai
Penulisan Laporan, Labor Sosiologi FISIP Unand, Padang.
______,2002, Hukum Agraria, Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Ulayat di Indonesia:
Acuan Khusus terhadap Sumatera Barat, Working paper Sosiologi Andalas, Vol. VI,
No. 6.
Bachriadi, D., 2001, ‘Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer’, in Prinsip-Prinsip
Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, eds, Tim Lapera,
Lepera Pustaka Utama, Yogyakarta.
__________, 2002, ‘Warisan Kolonial Yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan
Pendudukan Tanah Di Tapos dan Badega, Jawa Barat’, in Berebut Tanah: Beberapa
Kajian Berspektif Kampus dan Kampung, eds, Anu Lounela and R. Yanto Zakaria,
Insist Press, Yogyakarta.
Colchester, M., dkk., 2006, Ghosts on our Own Land: Indonesian Oil Palm Smallholders
and the Roundtable on Sustainable Palm Oil, Bogor, Sawit Watch dan Forest People
Programme.
Bachriadi, D., and Lucas, A., 2001, Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan,
KPG, Jakarta.
Dt. Perpatih Nan Tuo, N., 1999, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau,
Yayasan Sako Batuah LKAAM Sumatera Barat, Padang.
Harsono, B., 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Vol. 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan,
Jakarta.
Kahn J., S., 1993, Constituting the Minangkabau: Peasants, Culture and Modernity in
Colonial Indonesia, Berg, Oxford.
Kasri, A., 2000, “Dinamika Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
dan Pembangunan Sumatera Barat”, Makalah Dipresentasikan dalam seminar
Reaktualisasi Adat Basandadi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Bukittinggi 22-23
Januari.
Sjahmunir, 2000, “Tanah Ulayat dan Masalah Pembangunan di Sumatera Barat”,
Makalah Dipresentasikan dalam seminar Reaktualisasi Adat Basandadi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Bukittinggi 22-23 Januari.
.

12

13