T1 232011192 Full text

PENDAHULUAN
Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang mampu memenuhi
kebutuhan pangan dari sektor peternakan, bahkan berpotensi menjadi salah satu
negara pengekspor ternak (Bamualim, 2007). Budidaya sapi potong adalah salah
satu budidaya dari sektor peternakan. Menurut BPS (2014), terjadi penurunan
budidaya sapi pada periode tahun 2000-2007, kemudian terjadi peningkatan pada
tahun 2008-2012 dengan peningkatan yang cukup pesat. Pada tahun 2008
berjumlah 34 perusahaan dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 109
perusahaan. Peternakan sapi di Indonesia dibagi menjadi dua tipe, yaitu
peternakan sapi perah dan peternakan sapi potong. Menurut BPS (2013) jumlah
populasi ternak sapi perah di Indonesia sebanyak 636.000 ekor dan sapi potong
sebanyak 16.607.000 ekor. Menurut BPTP Yogyakarta (2006) besarnya
keuntungan dari usaha ternak sapi potong sebesar Rp 143.190.000,00. Ternak sapi
potong dianggap menguntungkan karena kulit, tulang, dan limbah kandang juga
mempunyai nilai ekonomi selain daging sebagai produk jual utama. Kegiatan
usaha ternak sapi banyak ditekuni oleh masyarakat Jawa Tengah dan diperlukan
kredit usaha ternak untuk meningkatkan populasi sapi potong (Ekowati, 2012) dan
harus membuat laporan bulanan sebagai hasil perkembangan usahanya, hal ini
diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 40 tahun 2009.
Dalam kerangka konseptual Standar Akuntansi Keuangan (SAK), laporan
keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi

keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
1

Perlunya penyusunan laporan keuangan dengan pencatatan secara benar agar
memberikan informasi yang tidak menyesatkan bagi pengguna laporan keuangan
(Ahmad, 2011). Penyusunan laporan keuangan pada setiap entitas bisnis memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, terutama untuk peternakan sapi yang memiliki
aset yang unik dan berbeda dengan usaha bisnis yang lain. Pembuatan laporan
keuangan pada peternakan sapi potong diharapkan dapat sesuai dengan metode
yang sesuai dengan standar. Terutama dalam hal mengukur, menyajikan,
sekaligus mengungkapkan terutama mengenai aset tetapnya yang berupa aset
biologis. Laporan keuangan di Indonesia mengadopsi IFRS dimana IAS 41 adalah
salah satu standar IFRS yang belum diadopsi di Indonesia. Dalam IAS 41,
dijelaskan mengenai bagaimana perlakuan akuntansi untuk aset biologis pada
peternakan. Karena ada dua pengelompokan bagi aset biologis pada neraca, yaitu
sebagai aset tetap ataupun sebagai persediaan.
Aset biologis adalah salah satu aset di bidang akuntansi, termasuk tanaman
dan hewan. Salah satu contoh dari aset biologis adalah sapi potong. Tak hanya
hewan, aset biologis juga termasuk tanaman seperti sayuran, tanaman, kebunkebun anggur, pohon, dan kebun buah-buahan. Karakteristik aset biologis terus

mengalami perubahan dan perkembangan, tumbuh, dan menghasilkan. Perubahan
akibat pertumbuhan ini yang menjadikan aset biologis memiliki karakteristik
khusus. Tidak seperti aset dalam akuntansi, seperti bangunan dan peralatan yang
bisa usang dan menjadi beban sehingga membutuhkan perhitungan depresiasi
aset. Perubahan pada aset biologis bukan atas dasar depresiasi namun
pertumbuhan yang justru menguntungkan entitas bisnis. Menurut IAS 41, nilai

2

wajar aset biologis adalah jumlah yang dapat dijual kepada orang yang
berpengetahuan dan bersedia. Biasanya adalah nilai pasar dari aset biologis dalam
pasar aktif yang relevan dan dapat dihandalkan. Menurut IAS 41, aset biologis
dibedakan menjadi dua, yaitu diperlakukan sebagai aset tetap, seperti misalnya,
sapi perah yang diambil susunya, maka sapi perah ini dikategorikan sebagai aset
tetap. Kedua, aset biologis bisa dianggap sebagai persediaan, produk yang
dihasilkan dari sapi tersebut yang diperjualbelikan adalah dagingnya, jadi sapi
pedaging tersebut bisa dianggap sebagai persediaan aset biologis (Wardanti,
2011).
Di bawah ini merupakan contoh dari aset biologis sebagai persediaan, hasil
agrikultur, dan produk setelah pengolahan, menurut IAS 41 paragraf 4 (2009):

Tabel 1. Aset Biologis, Produk Agrikultur, dan Hasil Pengolahan setelah Panen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Aset Biologis
Domba
Pohon di Perkebunan
Tanaman Tebu
Sapi Pedaging
Babi
Tanaman Teh
Ayam Pedaging

Produk Agrikultur
Daging Domba

Kayu yang ditebang
Tebu yang dipanen
Daging Sapi
Daging Babi
Daun Teh
Daging

Hasil Pengolahan setelah Panen
Sosis
Kayu Gelondongan, Mebel
Gula
Sosis Sapi
Sosis, Daging Ham Kering
Teh Kering
Sosis Ayam, Nugget

Sumber: IAS 41

IAS 41 mengatur mengenai perlakuan akuntansi, penyajian laporan
keuangan, dan pengungkapan terkait dengan kegiatan pertanian yang tidak

tercakup dalam standar lainnya. Perlakuan akuntansi untuk aset biologis saat
degenerasi, produksi, dan prokreasi, serta untuk pengukuran awal hasil pertanian
pada titik panen diatur dalam IAS 41 (Farida, 2011).

3

Dengan demikian, penerapan IAS 41 pada perusahaan agrikultur
seharusnya sangat diperlukan untuk menyajikan informasi yang lebih relevan dan
informatif. Tetapi, kemungkinan banyak perusahaan agrikultur di Indonesia yang
belum menerapkan IAS 41 sebagai dasar perlakuan akuntansi mengenai aset
biologisnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kompilasi pada praktikpraktik pembuatan laporan keuangan, pengukuran serta pengakuan aset biologis
pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga menurut prinsip-prinsip yang diatur
dalam IAS 41. IAS 41 adalah sebuah kerangka konseptual yang mengatur
perlakuan dan pengakuan mengenai aset biologis yang belum diterapkan di
Indonesia. Selama ini, Indonesia telah memiliki standar akuntansi yang menjadi
acuan mengenai penerapan akuntansi di Indonesia yaitu PSAK. PSAK di
Indonesia mengacu pada standar internasional yaitu IFRS dimana IAS 41 adalah
salah satu kerangka konseptual dari IFRS yang belum dapat diterapkan
sepenuhnya di Indonesia. Oleh sebab itu, meskipun sekarang IAS 41 belum
diterapkan di Indonesia, namun Indonesia membutuhkan sebuah kerangka acuan

yang paling tepat yang akan menjadi standar untuk perlakuan dan pengakuan aset
biologis yaitu mengacu pada IAS 41.
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga adalah sebuah peternakan yang
telah melakukan pencatatan akuntansi secara sederhana sejak pertama kali berdiri,
untuk mencatat transaksi yang terjadi pada peternakan yaitu pembelian, proses
penggemukan, dan penjualan sapi potong ke pedagang di pasar. Meskipun masih
secara sederhana dalam melakukan pencatatan akuntansi, namun anak pemilik
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga telah terpilih menjadi wirausahawan muda

4

dan mendapatkan bantuan berupa tambahan modal dari Bank Indonesia. Sebagai
timbal baliknya, pemilik harus melaporkan kegiatan usaha dan perputaran
modalnya kepada Bank Indonesia secara periodik dan terus dipantau
perkembangan usahanya. Bank Indonesia juga telah memberikan format laporan
kepada pemilik untuk melaporkan hasil usahanya. Namun format yang diberikan
kepada pemilik belum mengacu pada IAS 41.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perlakuan akuntansi aset
biologis pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga, dan penyajian aset biologis

pada laporan keuangan berdasarkan IAS 41. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi untuk aset biologis berdasarkan IAS
41 pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga. Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat kepada berbagai pihak terutama dalam hal penerapan
standar dan adopsi IAS 41 untuk aset biologis di Indonesia.

KAJIAN PUSTAKA
International Accounting Standard 41

Aset Biologis
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), Aset merupakan sumber
daya perusahaan yang dikuasai sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan
manfaat ekonomi diharapkan akan diperoleh perusahaan di masa depan (Farida,
2011). Aset biologis merupakan jenis aset berupa hewan dan tumbuhan hidup,
seperti yang didefinisikan dalam IAS 41:
5

“Biological asset is a living animal or plant”
Jika dikaitkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh aset, aset biologis
berupa tanaman pertanian dan hewan peternakan diperoleh dari kegiatan masa lalu

yang dimiliki oleh perusahaan.
Aset biologis dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan ciri-ciri
yang melekat padanya, yaitu :
a.

Aset Biologis Bawaan yang menghasilkan produk agrikultur bawaan saat
dipanen namun tidak menghasilkan produk utama. Aset ini dapat
beregenerasi sendiri. Contohnya produksi wol dari ternak domba, dan
pohon yang buahnya dapat dipanen.

b.

Aset Biologis Bahan Pokok menghasilkan bahan pokok untuk diproduksi
seperti daging, padi yang menghasilkan bahan pangan beras, dan kayu
sebagai bahan kertas (Ahmad, 2011).
Aset biologis diakui pada neraca sebagai persediaan dengan kriteria bahwa

kemungkinan besar aset tersebut akan memberikan manfaat ekonomi kepada
perusahaan dimasa yang akan datang serta biaya dapat diukur secara handal. Dan
aset biologis tidak diakui pada neraca jika kemungkinan kecil atau aset tersebut

tidak akan memberikan manfaat ekonomik kepada perusahaan dimasa yang akan
datang. Pengakuan Aset Biologis diatur didalam IAS 41, entitas dapat mengakui
aset biologis jika dan hanya jika:
a.

Perusahaan mengontrol aset tersebut sebagai hasil dari transaksi masa lalu;

b.

Memungkinkan diperolehnya manfaat ekonomi pada masa depan yang
akan mengalir ke dalam perusahaan; dan
6

c.

Mempunyai nilai wajar atau biaya dari aset dapat diukur secara handal.
Aset biologis dalam laporan keuangan dapat diakui sebagai aset lancar

maupun aset tidak lancar sesuai dengan jangka waktu transformasi yang
bersangkutan. Aset biologis akan diakui ke dalam aset lancar berupa persediaan

ketika masa manfaat/masa transformasi biologisnya kurang dari atau sampai
dengan 1 (satu) tahun dan diakui sebagai aset tidak lancar jika masa manfaat/masa
transfomasi biologisnya lebih dari 1 (satu) tahun (Farida,2011).
Di dalam IFRS, pernyataan tentang pengukuran aset biologis diatur dalam
IAS 41. Berdasarkan IAS 41, aset biologis diukur berdasarkan nilai wajar. Aset
biologis harus diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal pelaporan
berikutnya pada nilai wajar dikurangi estimasi biaya penjualannya, kecuali jika
nilai wajar tidak bisa diukur secara handal. Nilai wajar aset biologis didapatkan
dari harga aset biologis tersebut pada pasar aktif. Pasar aktif (active market)
adalah pasar dimana item yang diperdagangkan homogen, setiap saat pembeli dan
penjual dapat bertemu dalam kondisi normal dan dengan harga yang dapat
dijangkau. Biaya penjualan terdiri atas komisi untuk perantara atau penyalur yang
ditunjuk oleh pihak yang berwenang melakukan penjualan, serta pajak atau
kewajiban lainnya. Biaya transportasi serta biaya yang diperlukan untuk
memasukkan aset biologis ke dalam pasar tidak termasuk ke dalam biaya
penjualan ini. Jika nilai wajar tidak dapat diukur secara handal, maka pengukuran
aset biologis dilakukan dengan mengidentifikasi semua pengeluaran untuk
mendapatkan aset biologis tersebut menjadi persediaan dan nilai dari aset biologis
tersebut (Farida, 2011).


7

IAS 41 Dalam Penerapan
Penelitian penerapan IAS 41 telah dilakukan oleh beberapa peneliti di
Indonesia. Farida (2011) dan Ridwan (2011) melakukan penelitian penerapan IAS
41 di perusahaan perkebunan Nusantana Makassar. Penelitian keduanya memiliki
kesimpulan yang sama yaitu perusahaan perkebunan mengukur aset biologis yang
dimiliki masih berdasarkan nilai perolehan, belum sesuai IAS 41 berdasar nilai wajar.
Aset biologis diukur berdasarkan nilai perolehan dan disajikan pada neraca sebesar
nilai bukunya (nilai perolehan dikurangi akumulasi penyusutan). Perusahaan juga
masih kesulitan untuk mengidentifikasi biaya-biaya yang terkait dengan penilaian
aset biologis menurut IAS 41.

Menurut penelitian Bhakir (2010) dari Malaysia, studi dari 43 entitas
perkebunan di Bursa Malaysia menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan
mengungkapkan aset biologis secara terpisah di muka neraca seperti yang
dipersyaratkan oleh IFRS 101 - Penyajian Laporan Keuangan . Namun, sangat
sedikit perusahaan yang menggunakan nilai wajar untuk mengukur aset biologis
mereka. Praktik IAS 41 belum berlaku di Malaysia karena sulitnya
megidentifikasi atribut aset biologis, nilai wajar, dan informasi yang dianggap
kurang relevan untuk pengambilan keputusan.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga. Penelitian ini dilakukan dengan

8

wawancara dengan pemilik, menggunakan laporan keuangan tahun 2013, serta
dokumen-dokumen pendukung, yaitu dokumen penjualan dan pembelian sapi
potong pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga untuk melakukan kompilasi.
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif.
Dengan metode deskriptif kualitatif, hasil wawancara dan data yang diperoleh
dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mengkaji, memaparkan, serta
menggunakan data penjualan dan data pembelian sapi potong yang diperoleh dari
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga untuk melakukan kompilasi praktik IAS 41
pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga.
Pengakuan dan pengukuran aset biologis dalam penelitian ini berupa sapi
potong menggunakan prinsip-prinsip menurut IAS 41 serta melakukan kompilasi
praktik pembuatan laporan keuangan pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
sesuai IAS 41. Penulis melakukan wawancara mengenai kegiatan bisnis dan
perlakuan sapi potong yang digemukkan sebagai kegiatan utama peternakan.
Berdasarkan hasil wawancara, penulis memperoleh informasi bahwa nilai wajar
belum dapat digunakan untuk menilai aset biologis berdasarkan IAS 41 sehingga
harga perolehan digunakan untuk menilai persediaan dan exit price digunakan
untuk menilai penjualan pada laporan keuangan. Setelah dilakukan kompilasi,
selanjutnya peneliti melakukan konfirmasi dan memberikan masukan kepada
pemilik dalam melakukan pencatatan pada usaha bisnisnya secara lebih rinci dan
sesuai periode kas masuk dan kas keluar.

9

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Aset biologis pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga berupa sapi
potong yang digemukkan dan disiapkan untuk dijual kembali. Berbeda dengan
sapi perah yang menghasilkan susu dan bisa diperanakkan, sapi potong hanya di
gemukkan dan setelah dewasa dijual dagingnya untuk konsumsi masyarakat. Sapi
potong pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga adalah jenis sapi Simental dan
sapi Limusin. Siklus bisnis dari peternakan ini adalah bermula dari pemilik
membeli bibit sapi yang telah berumur 2 tahun, kemudian digemukkan selama
rata-rata 3-4 bulan, lalu dipotong dan dijual daging dan tulangnya kepada pelaku
pasar. Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga adalah sebuah peternakan dengan
usaha milik pribadi Bapak ABC berdiri sejak tahun 1990. Pemilik tidak secara
langsung melakukan kegiatan utama bisnisnya yaitu penggemukan sapi potong,
namun pemilik menitipkan sapi yang berumur dua tahun yang dibeli di pasar
Sunggingan Boyolali dan pasar Pon Ambarawa di daerah Kopeng kepada petani
dan dengan sistem bagi hasil antara pemilik dan petani sapi.
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga telah berdiri selama 24 tahun, dan
pemilik belum membuat laporan keuangan yang sesuai standar pada usaha ternak
miliknya. Pemilik mencatat pencatatan biaya dan penghasilan secara manual pada
buku tulis, dimana terdapat dua macam buku catatan, yaitu buku catatan tenaga
tani dan buku besar (lampiran 1 dan 2). Buku catatan tani berisi catatan petani
yang memberikan jasanya untuk menggemukkan sapi potong dan berisi catatan
atas sapi yang mereka gemukkan, yakni biaya pembelian sapi, biaya penjualan
sapi dan biaya-biaya terkait penggemukan sapi yaitu biaya pakan tambahan, biaya
10

transportasi, pendapatan hasil usaha, dan jumlah bon atau hutang petani kepada
pemilik. Petani seringkali memiliki hutang kepada pemilik dan membayarnya
dengan cara pemotongan hasil upah menggemukkan sapi potong.
Pemilik memiliki catatan atas setiap petani yang bekerja dengannya. Ada
petani yang memang secara rutin menggemukkan, namun adapula petani yang
hanya beberapa kali saja bekerja kepada pemilik. Jika kinerja petani tersebut tidak
baik dan merugikan, pemilik tidak akan menggunakan jasa petani tersebut, dan
tidak lagi menggunakan buku catatan atas petani tersebut karena pencatatan atas
petani pada peternakan dicatat perbuku sesuai nama petani. Buku catatan yang
kedua adalah buku besar, buku besar ini berisi rekapitulasi atas biaya perolehan
atas pembelian sapi potong, penjualan sapi potong, dan laba serta nama petani
yang berkaitan dengan proses penggemukan sapi potong. Sitem pencatatan
kegiatan usaha peternakan dilakukan secara manual dan mencatat hal-hal yang
dianggap perlu saja, namun pemilik tidak mencatat secara rinci atas biaya-biaya
yang berkaitan dengan usaha ternaknya. Hal inilah yang menyebabkan pemilik
usaha kesulitan untuk pengajukan kredit kepada Bank untuk penambahan modal
usaha dikarenakan belum memiliki laporan keuangan.
Pada pencatatan Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga, pemilik
menggunakan harga perolehan untuk mengukur nilai persediaan aset biologisnya
yaitu harga beli pada saat terjadi transaksi. Harga beli terjadi karena penilaian dan
kesepakatan bersama antara penjual dan pembeli. Namun pemilik tidak
menghitung harga beli bersih pada persediaan secara rinci. Harga bersih ini hanya
dinilai dari nilai beli sapi potong per ekor ditambah dengan biaya yang berkaitan

11

dengan pembelian, yaitu biaya transportasi, biaya upah pembelian, dan biaya upah
untuk mengontrol sapi potong senilai Rp 300.000,00 dan nilai ini bersifat statis
selama beberapa lama dan hanya berdasarkan estimasi saja, sehingga pemilik
tidak memperhatikan berapa biaya sebenarnya pemilik keluarkan untuk menilai
persediaan sapi potongnya. Misalkan saja pemilik membeli sapi potong seharga
Rp 10.000.000,00 dari penjual sapi yang berumur 2 tahun. Maka ditambah dengan
biaya untuk mendapatkan sapi potong senilai Rp 300.000,00 maka pemilik
mencatat dan menyerahkan sapi kepada petani untuk digemukkan dinilai seharga
Rp 10.300.000,00. Padahal, biaya untuk mengontrol tidak hanya terjadi selama 3
atau 4 bulan saja, bisa saja sapi yang digemukkan siap untuk dijual kembali
dengan waktu penggemukan lebih dari 4 bulan. Sehingga nilai atau harga ini tidak
setara dengan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan pemilik.
Berbeda dengan persediaan, harga untuk menjual aset biologis yang telah
digemukkan menggunakan harga jual berdasarkan penilaian bersama antara
sesama peternak sapi potong sekota Salatiga. Transaksi ini terjadi ketika para
peternak sapi memotongkan daging dan tulang sapi yang telah dipotongkan ke
jagal, selanjutnya para peternak sapi yang berkumpul menentukan dan membuat
kesepakatan penilaian berapa harga yang tepat untuk sapi potong. Penilaian
mempertimbangkan kondisi ekonomi seperti harga pakan sedang naik, atau terjadi
kenaikan permintaan daging sapi dari masyarakat. Selanjutnya, harga berdasarkan
kesepakatan tersebut digunakan oleh pedagang sapi pasar untuk dijual lagi ke
pelanggan. Dari pihak pedagangpun masih dapat menaik turunkan harga daging

12

berdasarkan laba yang diinginkan ketika dijual ke pelanggan karena terjadi masih
saling tawar menawar antara penjual daging di pasar dan pelanggan.
Di Indonesia belum terdapat pasar utama untuk memperjualbelikan aset
biologis sapi potong secara khusus yang ada setiap hari dimana penjual dan
pembeli dapat melakukan transaksi setiap saat dan harga belum tersedia untuk
umum. Sapi potong yang ada di Indonesia tersedia untuk umum hanya dapat
ditemukan pada beberapa penjual di pasar tradisional atau penjual khusus, bukan
pada pasar utama untuk memperjual belikan sapi potong atau daging sapi. Pasar
utama untuk sapi potong tersedia hanya jika pada waktu-waktu tertentu saja.
Seperti pasar yang dibuka khusus untuk waktu tertentu yaitu pasar sapi potong
saat datang Hari Raya Idul Qurban dan hanya dibuka selama beberapa pekan saja.
Karena pasar utama untuk sapi potong tidak tersedia di Indonesia, sehingga nilai
wajar tidak bisa diukur secara handal. Disebabkan juga karena nilai tidak tersedia
untuk umum setiap saat, dan nilai sapi potong untuk setiap daerah berbeda-beda.
Belum terdapat patokan nilai wajar karena ketidaktersediaan pasar utama untuk
sapi potong, sehingga pengukuran aset biologis sapi potong didasarkan pada nilai
di pasar yang paling menguntungkan yaitu berdasarkan nilai yang ditentukan oleh
pelaku pasar. Nilai patokan untuk sapi potong juga belum ditentukan oleh Dinas
Perdagangan Kota Salatiga maupun Dinas Peternakan Kota Salatiga hingga saat
ini, sehingga harga untuk transaksi jual beli sapi masih berdasarkan harga dari
para pelaku pasar.
Menurut PSAK 68, jika tidak terdapat nilai wajar yang bisa diukur secara
handal, maka harga perolehan bisa dijadikan nilai untuk mengukur aset biologis

13

dikurangi dengan akumulasi penyusutan aset biologis. Akumulasi penyusutan
pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga benilai nol karena penyusutan sapi
potong hanya berlaku jika :
a.

Sapi dipelihara dan digemukkan selama lebih dari satu tahun. Biasanya
dipelihara sejak mulai sapi lahir hingga siap untuk digemukkan kembali.
Di Indonesia, sapi yang dipelihara sejak lahir biasanya dimiliki oleh entitas
pemerintah, sehingga pada peternak penggemukan membeli sapi setelah
berumur 2 tahun dan tidak mengakui penyusutan atas sapi. Berbeda jika
sapi dipelihara sejak lahir, entitas tidak bisa memprediksi pertumbuhan
sapi apakah baik atau tidak, sehingga harus mengakui penyusutan atas sapi
seiring pertumbuhannya.

b.

Sapi yang akan dijual dikirim ke wilayah yang berbeda dan memerlukan
biaya transportasi. Pemilik yang menjual sapi ke wilayah yang berbeda
dari lokasi transaksi harus mengakui penyusutan atas sapi, karena sapi
yang diangkut dengan alat transportasi tidak diberikan makan dan minum
selama di perjalanan. Sehingga berat sapi itu sendiri akan berkurang ketika
sapi sampai di tempat pembeli. Biasanya, berat sapi akan berkurang dari 510 kg dengan kerugian sekitar Rp 250.000,00.
Pada peternakan ini, pemilik hanya menggemukkan sapi selama rata-rata

3-4 bulan dan tidak melakukan transaksi penjualan di luar area Salatiga sehingga
akumulasi penyusutan bernilai nol atas sapi potong. Perlakuan sapi potong pada
Neracapun tidak membedakan antara sapi potong belum dewasa dan dewasa pada
akhir tahun 2013 karena sapi potong yang belum dewasa dan telah dewasa
14

merupakan kelompok aset tetap yang biasanya dibesarkan lebih dari satu tahun.
Perlakuan akuntansi pada sapi potong di Neraca diklasifikasikan sebagai Aset
lancar yaitu persediaan karena sapi pada peternakan ini hanya digemukkan selama
kurang dari satu tahun dan setelah siap akan langsung dijual ke pasar maupun
kepada pembeli langsung. Nilai sapi potong pada laporan IAS 41 dinilai
berdasarkan exit price karena nilai ini adalah nilai pasar yang dirasa paling
objektif mendekati nilai wajar untuk sapi potong.
Nilai wajar untuk sapi potong di Indonesia memang sulit ditentukan,
terutama pada daerah-daerah tertentu karena tidak semua daerah memiliki
produksi sapi potong yang sama dan tingkat permintaan yang berbeda-beda. Ada
beberapa daerah di Indonesia yang memiliki tingkat produksi sapi potong yang
banyak dan transaksi jual beli sapi potong yang terjadi setiap hari secara lancar.
Namun di Salatiga, tingkat transaksi jual beli sapi potong masih cukup rendah
sehingga Dinas ataupun pemerintah tidak bisa mematok harga khusus sebagai
nilai wajar untuk aset biologis. Harga transaksi di pasar yaitu exit price dirasa
cukup objektif karena peternak langsung menentukan harga berdasarkan
kesepakatan bersama dan kondisi eksternal selama menggemukkan sapi potong.
Kondisi eksternal di berbagai daerah di Indonesia yang berbeda-beda membuat
permintaan sapi potong juga berfluktuasi, padahal tingginya tingkat permintaan
ataupun rendahnya tingkat permintaan sapi potong juga bisa menentukan harga
sapi di pasaran. Misalkan saja ketika banyak terdapat sapi Impor dari luar negeri
maka permintaan sapi potong lokal di daerah akan menurun sehingga harga sapi
potong akan lebih rendah dari biasanya. Ataupun ketika hari raya dan permintaan

15

tinggi, maka harga sapi potong juga akan tinggi. Jika dinas ataupun pemerintah
menentukan nilai wajar tanpa memperhatikan kondisi eksternal di daerah-daerah
maka nilai tersebut tidaklah sesuai untuk pelaku pasar dan pembeli karena kondisi
eksternal tiap daerah berbeda-beda.
Laporan Laba Rugi
Laporan Laba Rugi pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
berdasarkan IAS 41 memiliki perbedaan pencatatan dengan pemilik. Jumlah laba
yang diukur berdasarkan IAS 41 lebih besar daripada laba yang dicatat secara
manual oleh pemilik. Karena pada catatan manual pemilik, pemilik tidak
mengklasifikasikan beban-beban berdasarkan kapan biaya dikeluarkan untuk
membayar beban tersebut terjadi. Beban yang dicatat secara langsung akan
mengurangi nilai penjualan Sapi potong, padahal beban tersebut adalah akumulasi
dari seluruh beban atas sapi tersebut secara langsung. Sedangkan menurut IAS 41,
beban diakui berdasarkan periode kapan biaya atas beban dikeluarkan. Pada
laporan menurut IAS 41, beban diakui pada saat beban tersebut terjadi, sehingga
pengeluaran atas beban dialokasikan berdasarkan periode masing-masing.
Pada laporan laba rugi menurut IAS 41, penjualan diakui sebesar exit price
karena nilai tersebut mendekati nilai wajar yang ada di pasar. Beban pada laporan
menurut standar IAS 41 diakui pada periode dikeluarkannya biaya untuk beban
yang berkaitan dengan aktivitas utama Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga.
Beban tenaga kerja didapat nilainya dari upah tenaga kerja petani setelah dibagi
dua dengan pemilik karena sistem bagi hasil. Beban-beban pada laporan laba rugi
menurut standar IAS 41 sebenarnya tidak semua merefleksikan beban petani atas
16

per ekor sapi, karena sebenarnya nilai bersih penjualan sapi adalah nilai exit price
per ekor sapi dikurangkan dengan seluruh beban yang dikeluarkan oleh pemilik
atas per ekor sapi. Namun jika berdasarkan IAS 41, beban dicatat sesegera
mungkin di periode saat beban memang benar-benar terjadi.
Perhitungan Laba Menurut IAS 41
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
Laporan Laba Rugi
Untuk periode Caturwulan ke IV pada 31 Oktober - 31 Desember 2013
Pendapatan
Rp 307.190.000,00
Dikurangi : HPP
(Rp 217.150.000,00)
Laba Kotor
Rp 90.040.000,00
Beban Operasi :
Beban Tenaga Kerja
Rp 27.223.000,00
Beban Obat-obatan
Rp 1.475.000,00
Beban Pembelian Garam
Rp
198.400,00
Beban Upah Kontrol
Rp
96.000,00
Beban Transportasi dan Jagal
Rp 2.100.000,00
Beban Pakan Tambahan
Rp 24.016.125,00
Total Beban Operasi
Rp 55.108.525,00
Laba Bersih
Rp 34.931.475,00

Perhitungan Laba Menurut Pemilik
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
Laporan Laba Rugi
Untuk periode Caturwulan ke IV pada 31 Oktober - 31 Desember 2013
Pendapatan
Rp 307.190.000,00
Dikurangi : Harga Pembelian
(Rp 217.150.000,00)
Laba Kotor
Rp 90.040.000,00
Beban terkait penjualan
Rp 62.817.000,00
Laba Bersih
Rp 27.223.000,00
Gambar 1. Laporan Laba Rugi menurut IAS 41 dan menurut pemilik

Terlihat perbedaan antara laba yang dicatat pemilik secara manual dengan
laba berdasarkan IAS 41. Pada catatan manual pemilik, pemilik mencatat laba
sebesar Rp 27.223.000,00 sedangkan berdasarkan IAS 41 laba pemilik tercatat
lebih besar yakni Rp 34.931.475,00.

17

Laporan Perubahan Modal
Pada laporan perubahan modal peternakan, modal awal bernilai Rp
660.527.000,00 berupa kas, piutang, dan pembelian persediaan sapi potong pada
Peternakan. Namun pemilik tidak secara rinci merencanakan berapa sapi yang
akan dibeli pada periode tertentu. Sehingga Modal akhir pada 31 Desember 2013
peternakan periode Oktober, November dan Desember tahun 2013 untuk
digunakan sebagai modal awal bulan Januari 2014.
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
Laporan Perubahan Modal
Untuk periode Caturwulan ke IV pada 31 Oktober - 31 Desember 2013
Modal awal, 1 Oktober 2013
Laba periode berjalan
Modal akhir, 31 Desember 2013

Rp
Rp
Rp

660.527.000,00
34.931.475,00
695. 458.475,00

Gambar 2. Laporan Perubahan Modal

Neraca
Neraca pada Peternakan memiliki Aset sebesar Rp 695.458.475,00 yang
terdiri dari Aset lancar berupa persediaan sapi, piutang, dan kas. Pada peternakan
ini, persediaan sapi selalu ada dan pemilik tidak pernah mencatat secara detail
atau merencanakan berapa persediaan yang akan dibeli. Jika pemilik telah
memiliki kas lagi, maka secara langsung pemilik akan menggunakan kas tersebut
untuk membeli persediaan sapi lagi. Sedangkan untuk piutang, piutang yang
dimiliki peternakan sapi ini berasal dari petani yang meminjam uang kepada
pemilik untuk membeli makanan tambahan sapi, ataupun garam tambahan untuk
menggemukkan sapi karena terkadang petani juga kebabisan uang untuk membeli
makan tambahan sehingga harus meminjam dari pemilik. Namun terkadang,
petani juga meminjam uang untuk keperluan pribadi petani namun tetap dicatat

18

oleh pemilik sebagai piutang pada bisnisnya. Sehingga pemilik belum
membedakan antara piutang petani untuk kegiatan penggemukan sapi atau untuk
keperluan pribadinya.

ASET
ASET LANCAR
Kas
Piutang
Persediaan sapi potong

Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
Neraca
31 Desember 2013
EKUITAS DAN KEWAJIBAN
EKUITAS
Rp 40.931.475,00
Modal, 31 Des 13
Rp 695.458.475,00
Rp 6.527.000,00
EKUITAS
Rp 695.458.475,00
Rp 648.000.000,00

TOTAL ASET LANCAR Rp 695.458.475,00
TOTAL ASET

KEWAJIBAN
TOTAL EKUITAS
DAN KEWAJIBAN

Rp 695.458.475,00

Rp 0,00
Rp 695.458.475,00

Gambar 3. Neraca

Laporan Arus Kas
Pada laporan arus kas peternakan sapi ini, tercatat nilai untuk kas bersih
(Rp 389.918.525,00). Hasil ini didapatkan dari jumlah kas yang diterima dari
aktivitas operasi lebih kecil dari pembelian persediaan dan pembayaran bebanbeban. Karena pemilik sebelumnya mencatat pendapatannya setiap kali ada
penjualan dan kas masuk, sehingga pemilik juga tidak merencanakan berapa kas
yang akan dikeluarkan untuk pembelian sapi potong untuk digemukkan.
Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
Laporan Arus Kas
Untuk periode Caturwulan ke IV pada 31 Oktober - 31 Desember 2013
Kas dari aktivitas operasi :
Kas diterima dari penjualan sapi
Rp
307.190.000,00
Kas dibayar untuk aktivitas operasi
Rp
55.108.525,00
Kas dibayar untuk pembelian persediaan
Rp
648.000.000,00
Kas diterima dari piutang
Rp
6.000.000,00
Kas bersih dari aktivitas operasi
(Rp
389.918.525,00)
Penurunan kas
(Rp
389.918.525,00)
Saldo awal kas
Rp
430.850.000,00
Kas pada 31 Desember 2013
Rp
40.931.475,00
Gambar 4. Laporan Arus Kas

19

Dari hasil pembuatan laporan menurut IAS 41 pada Peternakan Sapi
Potong XXX Salatiga terlihat perbedaan antara laba bersih yang didapat oleh
perusahaan. Hal ini dikarenakan pemilik tidak mencatat beban yang keluar secara
periode saat beban tersebut dikeluarkan. Sedangkan berdasarkan IAS 41, beban
harus dicatat pada periode saat beban tersebut dikeluarkan untuk aktivitas operasi
perusahaan. Pada peternakan ini, pemilik memang tidak terlalu mementingkan
untuk pencatatan akuntansi secara rinci karena pemilik masih menggunakan
prinsip kekeluargaan dengan petani sehingga pengeluaran untuk aktivitas bisnis
dengan aktivitas pribadi masih dicatat bersamaan. Tidak hanya pada beban,
namun pada pencatatan persediaan juga tidak secara rinci dicatat oleh pemilik.
Pemilik tidak benar-benar mencatat biaya secara periode dikeluarkannya untuk
mendapatkan sapi. Yaitu biaya transportasi, biaya untuk tenaga saat pembelian,
biaya sewa mobil, dan biaya pembelian bahan pakan tambahan. Beban-beban
tersebut secara akumulasi dibebankan sebesar Rp 300.000,00 pada setiap kegiatan
pembelian persediaan. Padahal seharusnya pemilik mengklasifikasikan beban
secara rinci berapa biaya yang dikeluarkan untuk pembelian sapi, sehingga nilai
persediaan sapi jelas dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
sapi.
Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian sapi potong tidak sama setiap
harinya. Hal ini tidak hanya karena harga sapi itu sendiri, namun juga bisa berasal
dari faktor eksternal yaitu biaya sewa transportasi, biaya pakan, biaya tenaga
kerja. Faktor-faktor eksternal tersebut bisa berubah karena kondisi ekonomi.
Pemilik harus melakukan pencatatan akuntansi berdasarkan harga taksiran yang

20

mendekati harga pasar. Pemilik juga harus membebankan secara akurat
berdasarkan taksiran berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk tenaganya ketika
membeli sapi. Meskipun pemilik membeli langsung persediaan sapi untuk
usahanya, seharusnya pemilik juga bisa menilai berapa biaya atas tenaganya yang
pemilik keluarkan untuk mendapatkan persediaan sapi. Karena ketika membeli
sapi, pemilik membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menilai dan memilih
sapi secara subjektif untuk dibeli dan akan digemukkan. Pemilik harus benarbenar yakin bahwa sapi yang dibelinya tersebut akan bisa digemukkan dan
memberikan manfaat ekonomi kepada pemilik setelah proses penggemukan.
Melihat karakteristik unik dari persediaan berupa aset biologis yang nilai
wajarnya belum bisa diukur secara handal di Indonesia, membuat penerapan IAS
41 belum sepenuhnya dapat diterapkan pada peternakan sapi. Namun tidak hanya
itu, dari hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa peternakan sapi adalah sebuah
bisnis yang cukup menguntungkan dan memerlukan pencatatan akuntansi secara
periodik untuk pengukuran dan pengakuan aset biologisnya. Karena jika pemilik
hanya mencatat aset biologis secara manual dan beban tidak diklasifikasikan
dengan benar maka pemilik tidak akan menerapkan prinsip Economic Entity dan
Periodicity pada perusahaannya. Karena kebanyakan dari peternakan sapi di desa

memang masih menggunakan cara tradisional (Suryana, 2009). Mereka masih
menggabungkan antara bisnis dengan penerimaan atau pengeluaran kas secara
pribadi dan tidak mencatat pendapatan serta beban pada periode yang benar. Hal
ini dikarenakan karena pemilik belum mengerti bagaimana pencatatan dan

21

pengakuan aset biologis yang benar karena usahanya masih menggunakan prinsip
kekeluargaan antara pemilik dengan petani.
Fenomena ini masih sangat sering terjadi di Indonesia. Hal inilah yang
menyulitkan pengungkapan nilai aset biologis maupun aset pada Neraca secara
objektif. Untuk menghindari hal tersebut, pemilik peternakan sebaiknya
melakukan pencatatan secara benar pada pengeluaran dan penerimaan kas yang
diterima dari aktivitas operasi peternakan yaitu dengan mencatat akun-akun
dengan cara yang sederhana serta mudah diterapkan oleh pemilik.
Usulan Pencatatan dan Pelaporan
Akun-akun pada Laporan Laba Rugi dan Neraca harus diperhatikan oleh
pemilik sebagai sarana untuk pencatatan transaksi yang terjadi pada peternakan
selama periode akuntansi yang dikehendaki oleh pemilik. Pada akun pendapatan,
pendapatan berasal dari aktivitas penjualan sapi potong kepada pedagang pasar
dengan mengakuinya pada nilai exit price. Harga ini adalah harga paling objektif
di pasar utama daerah Salatiga dan harga ini berasal dari estimasi dan kesepakatan
antara pelaku pasar dengan mempertimbangkan faktor eksternal seperti kondisi
alam, kondisi ekonomi, dan tingkat permintaan pasar akan daging sapi. Namun
harga berdasarkan taksiran para pelaku pasar pada daerah tertentu justru menjadi
salah satu faktor yang menjadi peningkatan dan melonjaknya harga daging sapi di
pasar. Karena terkadang ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kondisi
permintaan daging sapi yang tinggi untuk meningkatkan harga sapi pada periode
tersebut.

22

Jika pemilik menggunakan exit price untuk menilai dan mengakui
pendapatan, berbeda dengan persediaan sapi yang harus dinilai pada harga
perolehan sapi tersebut secara bersih. Harga perolehan bersih atas pembelian
persediaan sapi ini didapat dari berapa biaya yang dikeluarkan oleh pemilik untuk
mendapatkan aset berupa sapi potong. Harga perolehan ini didapat dari harga sapi
yang dibeli dari penjual ditambah dengan biaya transportasi dan biaya upah untuk
tenaga dalam proses pembelian. Namun biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
sapi berbeda-beda setiap harinya tergantung kondisi eksternal. Oleh karena itu,
harga perolehan sapi tidak boleh hanya sekedar diestimasi namun berdasarkan
arus kas yang dikeluarkan oleh pemilik. Tidak hanya mengakui beban untuk
proses pembelian sapi, namun beban untuk aktivitas operasi peternakan juga harus
dicatat sebesar arus kas keluar dan dicatat pada saat periode terjadinya beban.
Beban harus dicatat pada periode yang benar karena beban berkaitan dengan
berapa laba yang akan didapatkan oleh pemilik pada periode berjalan proses bisnis
peternakan.

23

Tabel 2. Pengklasifikasian Akun-Akun Pada Peternakan Sapi Potong XXX
Salatiga Pada Laporan Keuangan
Aktivitas

Akun pada Laporan Keuangan

Penjualan sapi potong yang telah
digemukkan dengan rata-rata siklus
operasinya 3-4 bulan.

Pendapatan pada Laporan Laba Rugi ;
Pendapatan dari penjualan sapi adalah
peningkatan arus masuk bruto dari aktivitas
utama peternakan.

Pengeluaran kas untuk aktivitas operasi :

Akun Beban pada Laporan Laba Rugi :

1.

Pembelian pakan katul tambahan.

1.

Beban pakan katul tambahan ; beban ini
ditanggung oleh pemilik sebagai tambahan
atas pakan rumput sapi dan menjadi beban
rutin untuk setiap persediaan sapi.

2.

Pembayaran
sewa
mobil
untuk
transportasi atas transaksi penjualan ke
pasar utama.

2.

Beban transportasi ; beban ini dikeluarkan
oleh pemilik hampir setiap hari dan
sifatnya rutin untuk proses transaksi jual
beli sapi.

3.

Pembayaran untuk upah jagal ( Pihak
ketiga yang melakukan penyembelihan
dan pemotongan sapi).

3.

Beban upah jagal ; beban ini dikeluarkan
oleh pemilik hampir setiap hari dan
sifatnya rutin.

4.

Pembayaran untuk tenaga tani yang
membesarkan sapi potong dengan sistem
bagi hasil.

4.

Beban tenaga kerja ; beban tenaga kerja ini
dilakukan dengan sistem bagi hasil dari
laba penjualan antara pemilik dengan
petani. Namun pemilik tetap harus
mengakui pendapatan petani sebagai beban
karena manfaat ekonomi tidak diperoleh
oleh pemilik.

5.

Pembayaran untuk pembelian obat-obatan
untuk meningkatkan kualitas sapi yang
sedang proses penggemukan.

5.

Beban obat-obatan ; beban ini untuk
membantu proses penggemukan sapi agar
sapi berkualitas baik ketika siap dijual.

6.

Pembayaran untuk pembelian garam untuk
pelengkap rumput selain pakan sapi selain
katul.

6.

Beban pembelian garam ; beban ini
dikeluarkan oleh pemilik karena untuk
memberi makan sapi tidak hanya butuh
rumput namun juga garam untuk
menambah nafsu makan sapi.

7.

Pembayaran jasa upah tenaga untuk
kontrol persediaan selama digemukkan
pada petani.

7.

Beban upah kontrol ; upah kontrol ini
adalah upah untuk pemilik yang secara
rutin melakukan kontrol atas proses
penggemukan sapi ke petani yang bekerja.

24

Tabel 2. Pengklasifikasian Akun-Akun Pada Peternakan Sapi Potong XXX
Salatiga Pada Laporan Keuangan
Aktivitas

Akun pada Laporan Keuangan
Beban-beban diatas termasuk dalam beban
operasi perusahaan karena beban-beban
tersebut sifatnya rutin serta dikeluarkan
untuk mendapatkan manfaat ekonomik
bagi perusahaan pada aktivitas utama
perusahaan.

Pengeluaran kas untuk pembelian sapi
potong yang berumur 2 tahun untuk
digemukkan sebagai aktivitas utama
peternakan.

Persediaan Aset Biologis – Sapi potong
pada Neraca ; Persediaan sapi ini dinilai
pada nilai bruto yang belum ditambahkan
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
pemilik untuk mendapatkan aset.

Pengeluaran kas untuk aktivitas pembelian
:

Akun untuk mengakui pengeluaran kas atas
pembelian persediaan :

1.

Pengeluaran kas untuk sewa mobil sebagai
alat transportasi.

2.

Pengeluaran kas
pembelian sapi.

1. Beban transportasi pembelian ; beban ini
menambah harga perolehan dari persediaan
sapi karena biaya ini dikeluarkan oleh
pemilik
untuk
proses
transaksi
mendapatkan sapi.

untuk

upah

tenaga

2. Beban upah pembelian ; beban ini
menambah harga perolehan dari persediaan
sapi karena biaya ini dikeluarkan oleh
pemilik
untuk
proses
transaksi
mendapatkan sapi.

Pengeluaran kas atas pinjaman dari petani
sebagai tenaga kerja.

Piutang pada Neraca ; dalam pencatatan
Piutang Usaha pada Neraca, pemilik harus
membedakan antara piutang usaha dengan
piutang pribadi para petani. Pemilik harus
membedakan antara kepentingan bisnis
dengan pribadi.

Penerimaan kas atas pembayaran piutang
oleh petani.

Kas pada Neraca ; pemilik harus mencatat
besarnya kas pada periode berjalan yang
didapat dari pembayaran hutang petani
untuk aktivitas bisnis peternakan, bukan
untuk kepentingan pribadi.

Penerimaan kas untuk modal usaha dari
pemilik.

Kas dan Modal pada Neraca ; pemilik
harus mencatat jika ada penambahan kas
untuk kenaikan modal peternakan sesuai
tanggal dan periode kas tersebut diterima.

Penerimaan kas untuk modal usaha dari
kreditur.

Kas dan Kewajiban pada Neraca ; pemilik
pada saat ini memang belum pernah
melakukan pinjaman kepada kreditur.
Namun jika suatu saat nanti pemilik akan
melakukan pinjaman, harus dicatat sebagai
kewajiban dan mencatat kas karena ada
kenaikan kas pada periode tersebut.

25

Pada penerapan prinsip IAS 41, pemilik tidak hanya harus mengakui arus
kas masuk dan keluar pada akun dan periode yang benar, namun juga proses
pencatatan dan pembukuan harus dilakukan dengan benar sesuai pada tahapan
yang diusulkan :
1.

Pemilik harus mencatat setiap transaksi pembelian sapi berdasarkan harga
perolehan sapi bersih pada Formulir persediaan sapi potong. Pada formulir
ini, pencatatan dilakukan secara manual dengan format yang sesuai agar
pemilik mudah dalam proses pencatatan transaksi pembelian sapi. Pada
formulir ini, pemilik juga mencatat nama petani yang akan bekerja kepada
pemilik untuk proses penggemukan sapi. (Lampiran 3).

2.

Pemilik harus mencatat beban-beban yang dikeluarkan selama satu periode
akuntansi pada Formulir Transaksi Peternakan. Formulir ini berisikan datadata transaksi pada aktivitas peternakan. Yaitu pencatatan beban-beban
operasi berdasarkan tanggal dan harga yang dikeluarkan atas pembayaran
beban operasi beserta data petani yang melakukan proses penggemukan dan
mendapatkan manfaat ekonomi atas biaya yang dikeluarkan oleh pemilik.
(Lampiran 4).

3.

Pemilik memiliki Buku besar untuk mencatat semua transaksi yang berkaitan
dengan kas. Rekap ini penting untuk mencatat arus kas masuk dari
pendapatan, pembayaran utang atas petani dan penambahan modal dari
pemilik atau kreditur dan arus kas keluar untuk pembayaran beban dan
pemberian utang kepada petani. Selain kas, pemilik harus mencatat piutang
petani sesuai dengan karakteristiknya. Pemilik hanya boleh mencatat piutang
26

atas petani jika petani meminjam dana kepada pemilik untuk aktivitas operasi
perusahaan. Pemilik tidak boleh mencampurkan kepentingan bisnis dengan
kepentingan pribadi petani dengan pemilik meskipun pemilik masih
menggunakan prinsip kekeluargaan pada aktivitas bisnisnya. (Lampiran 5).
4.

Tidak hanya mencatat pembelian dan transaksi-transaksi terkait dengan
aktivitas operasi, namun pemilik juga harus memiliki Formulir Petani yang
bekerja pada pemilik. Pemilik akan melakukan pencatatan atas harga
perolehan sapi, beban yang dikeluarkan, hutang petani, pendapatan petani,
dan lain-lain untuk merekonsiliasi secara manual bahwa transaksi dicatat
secara benar dan meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam proses
pencatatan berkaitan dengan penilaian akhir sapi yang siap untuk dijual.
(Lampiran 6).

5.

Setelah seluruh transaksi selama periode berjalan dicatat pada buku dan akun
yang benar, selanjutnya pemilik pemiliki Dokumen Laporan Keuangan yang
disusun secara sederhana untuk kemudahan pemilik dalam pembuatan
laporan keuangan. Terdiri dari Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan
Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Neraca (Lampiran 7). Selain memudahkan
pemilik untuk mengetahui laba pada periode berjalan, aliran kas masuk dan
keluar pada bisnis, dan jumlah aset serta kewajiban dan modal pada tanggal
tertentu, pemilik juga bisa menggunakan laporan keuangan ini sebagai bahan
penilaian dan evaluasi pada usaha bisnisnya. Pemilik juga bisa menggunakan
laporan keuangan untuk menilai aktivitas bisnisnya apakah telah berjalan
sesuai dengan prinsip IAS 41 atau belum. Dan selanjutnya bisa digunakan
27

oleh pemilik jika pemilik akan meminjam uang kepada Bank untuk
menambah modal usahanya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga, terdapat
bukti empiris bahwa IAS 41 tidak applicable di Indonesia. Hal ini terjadi karena
nilai wajar belum dapat diterapkan di Indonesia dan sulitnya mengidentifikasi
beban-beban terkait IAS 41 yang nilainya mungkin masih subjektif pada
peternakan ini. Selain itu, masing-masing aset biologis memiliki kriteria yang
berbeda pada pengukurannya sehingga sulit untuk mengaplikasikan IAS 41 secara
umum pada aset biologis yang memiliki perlakuan akuntansinya
Saran
Dari simpulan di atas maka saran kepada pemilik Peternakan Sapi Potong
XXX Salatiga adalah melakukan pencatatan akuntansi yang sesuai dengan usulan
pencatatan dan pelaporan yang telah diuraikan di atas supaya beban operasi pada
peternakan dapat tercatat secara rinci dan dapat tercover sehingga pemilik dapat
mengetahui jumlah laba yang benar secara periodik. Pencatatan atas pendapatan,
beban dan penambahan modal serta pembuatan laporan keuangan diklasifikasikan
sesuai dalam paparan usulan sehingga mengakui jumlah kas yang masuk dan
keluar pada jumlah yang tepat setiap periodenya. IAS 41 juga sebaiknya dikaji
lagi untuk penerapannya di Indonesia terutama karena nilai wajar belum dapat
dihitung secara handal di Indonesia.
28

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik., 2013. Populasi Ternak (000 Ekor), diakses dari
www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24¬a
b=12 .
Badan Pusat Statistik., Jumlah Perusahaan Ternak Besar dan Kecil Menurut
Kegiatan

Utama,

2000-2012,

diakses

dari

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_sub
yek=24¬ab=5
Bamualim, Abdullah M., 2007. Produksi Peternakan di Indonesia : Potensi dan
Kendala , Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor,

Indonesia.
Bhakir, Mohamed Iskandar Thurrun., 2010. Applying IAS 41 in Malaysia ,
University Of Malaya, Malaysia.
BTPN Yogyakarta., 2013. Analisis Usaha Tani Ternak Sapi Potong , diakses dari
www.yogya.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=526:analisis-usahatani-ternak-sapi-potong.
Ekowati, Titik., 2012. Analisis Usaha Tenak Sapi Potong dan Optimalisasi Usaha
Peternakan Berbasis Sistem Agribisnis di Jawa Tengah , Disertasi,

Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Farida, Ike., 2011. Analisis Perlakuan Akuntansi Aset Biologis Berdasarkan
International Accounting Standard 41 Pada Pt. Perkebunan Nusantara Vii
(Persero), Fakultas Ekonomi Universitas Negerti Surabaya, Surabaya.

International

Accounting

Standard,

2000.,

diakses

dari

www.iasplus.com/en/standards/ias/ias4.
Peraturan Menteri Pertanian., 2009., Nomor : 40/Permentan/PD. 400/9/2009.,
Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi., diakses dari

http://ditjennak.pertanian.go.id/download.php?file=Permentan40_2009.pdf
.

29

Ridwan, Achmad., 2011. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PT. Perkebunan
Nusantara XIV Makassar (Persero), Skripsi, Jurusan Akuntansi Fakultas

Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Suryana., 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi
Agribisnis dengan pola kemitraan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Kalimantan Selatam, Indonesia.
Wardanti, Citra Anggita., 2014. Perbandingan Akuntansi Aset Biolojik Sebagai
Persediaan Menurut IAS 41 dan PSAK 14 , Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Weygandt, J.J., Kieso, Donald E and Kimmel., 2007. Accounting Principles
Pengantar Akutansi. Edisi 7., Jakarta: Salemba Empat.

30

Lampiran-lampiran
Lampiran 1
Buku Besar Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga

31

Sapi Potong pada Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga

32

Lampiran 2
Buku Catatan atas Petani

33

Lampiran 3
Formulir Persediaan Sapi Potong
Kode
(a)

Tgl
Beli
(b)

Jenis
Sapi
(c)

Harga
Beli
(d)

Beban
Transportasi
(e)

Beban
Upah
Pembelian
(f)

Beban
Lain-lain
(g)

Jumlah
Persediaan
Masuk (h)

Total
Saldo
Perolehan
Bersih (i)

SP1
SP2
SP3
SP4
SP5

Keterangan :
(a) Kode : Kode persediaan untuk sapi yang dibeli dan menjadi persediaan.
(b) Tgl Beli : Tanggal transaksi pembelian dan saat sapi potong diakui sebagai
persediaan pada peternakan.
(c) Jenis Sapi : Jenis sapi yang dibeli sebagai persediaan, contoh : Limusin.
(d) Harga Beli : Harga pembelian sapi potong per ekor saat terjadi transaksi
pembelian dari penjual sapi.
(e) Beban Transportasi : Biaya yang dikeluarkan oleh pemilik atas sewa mobil
atau transportasi lain yang digunakan pemilik untuk mendapatkan sapi
potong.
(f) Beban Upah Pembelian : Biaya yang dikeluarkan oleh pemilik atas tenaga
yang dikeluarkan dan biaya untuk konsumsi ketika membeli sapi potong.
(g) Beban Lain-lain : Biaya yang dikeluarkan oleh pemilik selain beban
transportasi dan beban upah pembelian yang digunakan untuk mendapatkan
sapi potong.

34

Nama
Petani
(j)

(h) Jumlah Persediaan Masuk : Jumlah persediaan berupa sapi potong yang
berhasil dibeli pada tanggal transaksi. Satuan : Ekor.
(i) Total Saldo Perolehan Bersih : Jumlah total Biaya yang dikeluarkan untuk
pembelian sapi. Didapat dari penjumlahan pada kolom (c),(d),(e),(f).
(j) Nama Petani : Nama petani yang bekerja pada pemilik untuk menggemukkan
sapi dan bertanggungjawab atas sapi yang digemukkan sampai siap untuk
dijual.

35

Lampiran 4
Formulir Transaksi Peternakan Sapi Potong XXX Salatiga
BULAN : __________________
Tgl
(k)

Beban
Pakan
(l)

Beban
Garam
(m)

Beban
Obat
(n)

Beban
Kontrol
(o)

Beban
Lainlain
(p)

Beban
Tenaga
Kerja
(q)

Beban
Transpor
tasi dan
Jagal (r)

Kode
Persediaa
n (a)

Nama
Petani
(j)

Jumlah
Beban
(s)

Keterangan :
(k) Tgl : Tanggal transaksi pada bulan pada saat terjadi transaksi.
(l) Beban Pakan : Biaya yang dikeluarkan oleh pemilik untuk membeli pakan
tambahan untuk sapi selain tanggungjawab dari petani.
(m) Beban Garam : Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian garam. Garam
a