Makalah Regulasi Keuangan Sektor Publik

BAB I
REGULASI DAN STANDAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK
A. Dasar Hukum Keuangan Negara
Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasikan sebagai segala
bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan
pelaksanaannya.
Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup Kewajiban
antara lain :

negara

adalah

berupa

pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai

dengan pembukaan UUD 1945 yaitu :
1. Hak monopoli mencetak dan mengedarkan1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
uang

2. Hak

seluuh tumpah darah Indonesia
untuk

memungut

sumber-sumber2. Memajukan kesejahteraan umum

keuangan, seperti pajak, bea dan cukai

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa

3. Hak untuk memproduksi barang dan jasa4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
yang dapat dinikmati oleh khalayak umum, berdasarkan
yang

dalam

hal


ini

pemerintah

kemerdekaan,

perdamaian

dapat abadi, dan keadilan sosial

memperoleh (kontra prestasi) sebagai sumber
penerima negara
Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas pemerintah tersebut dapat berupa
pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV, secara
khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada BAB VIII pasal 23 yang berbunyi
sebagai berikut :
1.

Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang.

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.

2.

Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang

3.

Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang

4.

Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang

5.

Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.


Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-undang tentang APBN
untuk tahun anggaran bersangkutan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi
ketentuan konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga
sebagai dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Oleh karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi dalam UU
Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan dalam UU yang harus dijalankan oleh
Presiden/Wakil Presiden dan Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara
Lainnya.
B. Dasar Hukum Keuangan Daerah
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah otonom adalah
meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintah untuk melayani masyarakat dan
melaksanakan program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah otonom,
menurut penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5 tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD
adalah untuk:
1.

Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan

2.


Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab

3.

Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala
daerah

khususnya,

karena

anggaran

pendapatan

dan

belanja


daerah

itu

menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4.

Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah dengan cara yang lebih
mudah dan berhasil guna.

5.

Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan Keuangan Daerah didalam batas-batas tertentu

II. AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI
Kebijakan desentralisasi telah mengubah sifat hubungan antar pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, antara BUMN dengan Pemerintah Pusat; antar Pemerintah dengan
masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan. Perananan laporan keuangan
telah berubah dari posisi administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di tahun 2000.

Pergeseran peranan laporan keuangan ini telah membuka peluang bagi posisi akuntansi sektor
publik dalam manajemen pemerintahan dan organisasi sektor publik lainnya. Jadi tujuan
akuntansi sektor publik adalah untuk memastikan kualitas laporan keuangan dalam
pertanggungjawaban publik.

Sebagai perspektif baru, berbagai prasarana akuntansi sektor publik perlu dibangun,
seperti:
a.

Standar Akuntansi Sektor Publik untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah,
dan organisasi sektor publik lainnya

b.

Account Code untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun organisasi sektor
publik lainnya, dimana review terhadap transaksi yang berkaitan dapat dilakukan
dalam rangka konsolidasi dan audit

c.


Jenis Buku Besar yang menjadi pusat pencatatan data primer atas semua transaksi
keuangan pemerintah

d.

Manual sistem Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi lainnya yang menjadi
pedoman atas jenis-jenis transaksi dan perlakuan akuntansinya
Dengan kelengkapan prasarana tersebut, para petugas dibidang akuntansi dapat

melakukan pencatatan, peringkasan, dan pelaporan keuangan, baik secara manual maupun
komputasi. Akibat tidak tersedianya prasaran diatas, muncul persepsi bahwa :
a.

Akuntansi adalah sesuatu yang sulit

b.

Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam jangka waktu panjang.

III.


REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

A. Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era pra
reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II yang meliputi
kotamadya atau kabupaten. Disamping itu,ada beberapa peraturan pelaksanaan yang
diturunkan dari perundang-undangan,antara lain:
1.

Peraturan

Pemerintah

Nomor

5

Tahun


1975

tentang

Pengurusan,

Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
2.

Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD

3.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah

4.


Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD

5.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah

6.

Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan
APBD

B. Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara.
Tuntutangood governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan
kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi
masyarakat akan mendorong praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang
sesuai dengan jiwa otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua
undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas. Sebagai
penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan daerah,berbagai
peraturan perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun telah dikeluarkan.
Beberapa regulasi yang relevan antara lain :
1.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)

2.

Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952)

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan

4.

Peraturan

Pemerintah

Nomor

105

Tahun

2000 tentang

Pengelolaan

dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022)
5.

Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah

C. Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan
akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum
pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU
Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan

Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah
disahkan oleh DPR.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan
dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu :
1.

Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja

2.

Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi

3.

Pemberdayaan manajer professional

4.

Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan
Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi

daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan
Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen
pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di NKRI.
Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik
1.

UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

2.

UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

3.

UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara

4.

UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional

5.

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

6.

UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah

7.

PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

8.

PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
D. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan

16, dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena
disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban
pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita
diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan

basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum
negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang
intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis
akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun
2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran
berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun
2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun
2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah,
Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual
akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.
Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti
dengan aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk
pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada
yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010
terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis
Akrual yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran
II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya
berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera
diterapkan oleh setiap entitas (strategi pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku selama
masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan
kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali seluruh aturan yang ada
pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran
II adalah sebagai berikut:
Lampiran I


Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Perubahan Saldo Anggaran Lebih



Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan

Lampiran II



Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan
Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan

pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masingmasing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.
Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:
Lampiran I


Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan



PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;



PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;



PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;



PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;



PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;



PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;



PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;



PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;



PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;



PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi,
Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan;



PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.



PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.

Lampiran II


Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan



PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;



PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;



PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;



PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;



PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;



PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;



PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;



PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan;



PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;



PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan
Peristiwa Luar Biasa;



PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;
Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite

Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan
berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini
diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas
perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan
jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting
Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.
IV. Barang dan Jasa Publik
A. Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta
Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai oleh Negara atau
pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga
dalam skala yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya udara bersih, air
bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan barang swasta adalah barang spesifik yang
dimiliki oleh pihak swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bias dinikmati oleh mereka yang
mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan harga pasar menurut penjual,yaitu
harus untung sebesar-besarnya,misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada juga
setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik gabungan antara swasta dan
pemerintah. Seharusnya barang ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut
menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya
sekolah dan rumah sakit.

B. Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik
Suatu barang dikategorikan sebagai barang ‘swasta’ atau ‘publik’ dalam kaitannya
dengan tingkat excludability dan persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang
ditentukan dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau pelayanan bisa
memastikan bahwa orang lain tidak memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika
suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut dipergunakan secara
perorangan ; apabila daya saingnya rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah, sedangkan ‘ipod’ daya saingnya
tinggi.

1.

Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan daya saing yang
rendah. Ini berarti bahwa jika barang itu diproduksi, barang tersebut dapat
dipergunakan oleh banyak orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang,
sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.

2.

Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan daya saing tinggi. Orangorang yang memanfaatkanya jelas, sehingga mudah dikenakan biaya.

3.

Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut toll goods. Contohnya
sperti jalan tol.

4.

Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable, disebut common pool
goods. Contohnya adalah pengadaan air disebuah desa; meskipun termasuk barang
yang non-excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan mengurangi
kesempatan bagi orang lain untuk menggunakannya.

C. Penyedia Pelayanan
Barang atau pelayanan yang dibiayai secara publik dapat dikontrakkan kepada sektor
swasta misalnya, penggunaan kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau
sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima pembayaran dari orang tua murid dalam
bentuk pemakai pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja lebih efisien dan
efektif karena :
1.

Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber daya sehingga
permintaan pasar dapat ditanggapi.

2.

Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu pelayanan dengan harga yang
lebih murah bagi pelanggan.

D. Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik mempunyai tugas
mengkaji, menyiapkan perumusan kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa
nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Publik menyelenggarakan fungsi:
1.

Penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan nasional

2.

Penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan pembinaan sumber daya
manusia di bidang pengadaan

3.

Pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan rekomendasi, serta koordinasi
penyelesaian masalah di bidang pengadaan

4.

Pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan

5.

Pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa dengan teknologi
informasi

6.

Melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan
sistem pengadaan nasional

V. ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak pemegang amanah (agent)
mempunyai “kapasitas” yang menandai untuk menjalankan amanah yang didelegasikan.
Makna kapasistas disini hanya dilihat dari kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat
dari perilaku etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan para partner dan
teman kerja.
Etika sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang terwujud (tangible). Di tengah
masyarakat yang masih mempercayai symbol-simbol (symbols, tanda-tanda (signals), dan
berbagai bentuk aksesoris fisik lain, satandar etika amat diperlukan untuk menetukan perilaku
etis.
Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang dapat dikatagorikan
sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi
umumnya menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari suatu kelompok kecil,
misalnya profesi dan bidang pekerjaan tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli
filsafat sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai rasionalisasi suatu sikap
dan perbuatan yang disebut etis. Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat
mengenai etika :
1.

Socrates
Beliau berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge) dari seseorang itu
sebetulnya bersifat baik dan menjunjung nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung
pengetahuan, seseorang tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
berbudi luhur.

2.

Hume
Beliau berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit) yang beretika
sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas karakter dan kepribadian yang
bermanfaat dan diterima baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

3.

John

Beliau berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip moral seseorang
sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai pedoman etika bisa diperoleh melalui
suatu persepsi dan konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law) merupakan
sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Tiga
tipe dari hukum ini yaitu : divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan),
civil law (hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and reputation (hukum
yang berhububgan dengan opini dan reputasi).
4.

Kant
Beliau berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai pedoman umum untuk
menilai perilaku seseorang. Tetapi ia tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk
dari suatu tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.
Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan, pengkategorian perilaku etis

sebaiknya berpedoman pada etika umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran
akan hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang berkaitan dengan
Ketuhanan), memahami bahwa suatu pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban,
menyadari bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku untuk semua jenis
pekerjaan apapun.

VI.

KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial dan ekonomi dari

pemerintah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi.
Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada bidang yang lain.
Pemerintah mempunyai peran menentukan kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara
individual.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan manajemen
kualitas jasa, yakni upaya meminimasi kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan
konsumen. Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya, karena outcome
merupakan variabel kinerja yang mewakili misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik
aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu untuk
mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007). Selanjutnya, monitoring kinerja

perlu dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Langkah-langkah penting dalam monitoring kinerja organisasi layanan publik antara
lain: mengembangkan indikator kinerja yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi,
memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator kinerja diatas, mengidentifikasi
apakah kegiatan pelayanan sudah efektif dan efisien sebagai dasar pengusulan program
perbaikan kualitas pelayanan.