MAKALAH TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN Tekno

MAKALAH TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN
“Teknologi Tanaman Perkebunan Semusim”

Disusun Oleh:
Kelas F
Kelompok 6

1. Fajar Yudha Pratama

(125040200111134)

2. Evi Dwi Asih

(125040200111159)

3. Elvrado Wega Senturi

(125040201111016)

4. Erlina Eka P


(125040201111016)

5. Fahma Sariahta Berutu (125040201111125)
Dosen Pembimbing:
Nur Azizah, SP,MP

Progam Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya
Malang
2013

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu vitamin yang banyak di perlukan oleh tubuh untuk dapat melakukan
aktivitas sehari-hari adalah vitamin C. Menurut Widya Karya Pangan Nasional NAS-LIPI,
1978, menyarankan mengkonsumsi vitamin C untuk anak-anak dan dewasa antara 20-30 mg
per hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui perlu ditambah 20 mg per hari. Vitamin C
berasal dari sayuran dan buah-buahan, terutama buah segar. Salah satu tanaman yang
memiliki kandungan vitamin C tinggi adalah tanaman rosella.

Bunga rosella dalam bentuk segar memiliki kandungan gizi yang masih utuh jika
dibandingkan dengan bunga rosella yang sudah dikeringkan. Bunga rosella yang
dikeringkan kandungan gizinya akan berkurang karena tidak semua zat gizi stabil dalam
pemanasan. Bunga rosella banyak mengandung vitamin C, vitamin A dan asam amino.
Kandungan vitamin C yang terdapat dalam bunga rosella lebih banyak dibandingkan dengan
buah-buahan lainnya. Dalam 100 gram bunga rosella mengandung 244,4 mg vitamin C,
sedangkan dalam 100 gram jeruk mengandung 48 mg, belimbing 25,8 mg dan papaya
mengandung 71 mg. Vitamin C mudah rusak karena oksidasi dan proses itu dipercepat oleh
panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi. Maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui kandungan vitamin C pada bunga rosella
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa) termasuk salah satu anggota famili Malvaceae
(tanaman penghasil serat). Rosella merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal oleh
masyarakat, karena hampir seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi kesehatan. Manfaat
tanaman rosella diantaranya dapat digunakan sebagai obat dan perawatan tubuh. Tanaman ini
juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan salad, saus, sup, teh, kopi, asinan, pudding, Permen,
sirup dan jel. Tanaman rosella merupakan tanaman semusim, sehingga selesai masa
pembungaannya tanaman akan mati dan sebahagian besar masyarakat sudah tidak dapat
memanfaatkannya lagi.
Tanaman rosella adalah sejenis tanaman dengan tangkai panjang menjuntai ke atas,
daun dengan jari-jari mirip daun singkong berujung runcing ke tepi. Bunga rosella berwarna

merah, dengan nama latin Hibiscus sabdariffa Lynn. Tinggi tanaman rosella bisa mencapai 35 meter dan akan berbunga setelah tanaman sudah dewasa (Budi Sutomo, 2007).

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas yang telah diberikan
Dosen Pembimbing, makalah ini bertujuan untuk :



Untuk mengetahui tanaman perkebunan semusim
Untuk mengetahui deskripsi dan karakteristik dari tanaman perkebunan yang
semusim.

PEMBAHASAN

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa) adalah sejenis semak (perdu) yang ada di
seluruh wilayah tropis dunia. Asal rosella Florida Cranberry adalah dari Afrika Barat.
Masyarakat pada umumnya telah mengenal kenaf atau rosella (Hibiscus cannabinus) sebagai
tanaman penghasil serat karung dan kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis). Sedangkan
bunga rosella merah (Hibiscus sabdariffa Lynn), belum begitu dikenal. Bunga rosella merah

(Hibiscus sabdariffa Lynn), dikenal di berbagai negara dengan nama yang berbeda-beda,
diantaranya

ialah, India Barat (Jamaican Sorrel ), Perancis (Oseille Rouge), Spanyol

(Quimbombo Chino), Afrika Utara (Carcade), dan Senegal (Bisap), Indonesia (Vinagreira,
Zuring, Carcade, atau asam Citrun). Dalam bahasa Melayu, tanaman ini dikenal dengan
nama asam paya, Asam kumbang atau asam susur. Tanaman rosella memiliki dua varietas
dengan budidaya dan manfaat yang berbeda, yaitu:
a. Hibiscus sabdariffa var. Altisima, rosella berkelopak bunga kuning, yang bisa
dimanfaatkan serat batangnya sebagai bahan membuat tali dan karung goni.
b. Hibiscus sabdariffa var. Sabdariffa, rosella berkelopak bunga merah yang kini mulai
diminati petani dan dikembangkan untuk diambil bunga dan bijinya sebagai tanaman
herbal dan bahan baku minuman kesehatan meskipun varietas ini juga mempunyai potensi
untuk diambil seratnya. (Comojime, 2008).
Tanaman rosella merupakan tanaman semusim, sehingga setelah selesai masa
pembungaannya tanaman akan mati dan sebagian besar masyarakat sudah tidak dapat
memanfaatkannya lagi. Pemanfaatan batang tanaman rosella merah yang juga memiliki
potensi serat dapat menambah nilai ekonomi tanaman rosella. Pertumbuhan dan
perkembangan tanaman rosella merupakan peristiwa yang sangat kompleks, yang

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor lingkungan. Dengan perlakuan dan pengaturan
volume penyiramana di harapkan dapat meningkatkan serat pada batang rosella.
a. Metodologi
Metodologi yang di gunakan pada jurnal yaitu menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu :
 Faktor pertama
Naungan I0=intensitas tanpa naungan,
I1= naungan paranet 55% dan
I2= naungan paranet 75 %.
 Faktor kedua
Volume penyiraman P1=240 mL,

P2=480 mL dan
P3=720 mL.
Dengan 5 kali pengulangan. Penentuan volume air perlakuan dilakukan berdasarkan kapasitas
lapang tanah yang akan digunakan untuk menanam. Setelah tanaman berumur 3 minggu,
perlakuan diberikan selama 95 hari. Setelah panen, dibuat preparat penampang lintang dan
penampang bujur batang dengan metode tanpa embedding dan preparat maserasi dan
diamati menggunakan fotomigrograf.


Pengukuran dimensi serat menggunakan mikroskop Olympus BH-2 dengan
pembesaran 40 X, 100 X dan 400 X. Pemilihan dimensi serat untuk pengukuran yaitu
panjang serat dan diameter serat yang utuh atau tidak patah, rusak, terlipat, pecah, terpotong
dan kerusakan lainnya.
Variabel yang diukur yaitu :


Jumlah sel serat sklerenkim batang tiap berkas



Diameter serat batang dan



Panjang serat batang serta



Intensitas cahaya, namun variabel tersebut hanya variabel pendukung. Karena

pengukurannya dilakukan setiap hari pada waktu yang sama.

b. Pembahasan
Berikut tabel jumlah sel serat sklerenkim tiap berkas yang dipengaruhi oleh naungan
dan volume penyiraman yang berbeda.

Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa, perlakuan naungan, volume
penyiraman dan interaksi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap jumlah sel serat sklerenkim batang rosella. Perlakuan tanpa naungan
menghasilkan jumlah sel serat sklerenkim yang sama dengan perlakuan naungan paranet
55% tetapi lebih banyak dibandingkan perlakuan naungan paranet 75%. Perlakuan volume
penyiraman 480 mL dan 720 mL menghasilkan jumlah sel serat sklerenkim yang sama dan
lebih banyak dibandingkan volume penyiraman 240 mL. Interaksi kedua faktor
menunjukkan tanaman pada volume penyiraman 480 mL dan 720 mL menghasilkan jumlah
sel serat terbanyak baik pada perlakuan tanpa naungan ataupun naungan paranet 55%.
Sehingga jumlah sel terbanyak dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan tanpa naungan dan
pada naungan 55% hal tersebut di sebabkan karena pengaruh cahaya terhadap pembelahan
sel melalui mekanisasi penyediaan cadangan makanan untuk proses pembelahan. Intensitas
cahaya yang tinggi pada tempat tanpa naungan akan meningkatkan proses fotosintesis
tanaman sehingga karbohidrat yang dihasilkan untuk proses pembelahan sel juga meningkat.

Hasil pengamatan perbedaan jumlah sel pada perlakuan penyiraman yang berbeda
dapat dilihat pada gambar:

Penampang lintang batang rosella pada perbesaran 400 X
dengan perbedaan volume penyiraman: A. 240 mL, B. 480 mL, C. 720 mL.
Tanaman pada perlakuan volume penyiraman 240 mL menghasilkan jumlah sel serat
sklerenkim yang lebih sedikit dibandingkan pada volume 480 mL dan 720 mL. Hal ini
dikarenakan volume penyiraman 240 mL kurang dari kapasitas lapang media, sehingga
tanaman mengalami kekurangan air. Kekurangan air pada tanaman akan menyebabkan
proses-proses metabolisme terganggu sehingga mengakibatkan proses pembelahan sel

tumbuh menjadi terhambat dibandingkan tanaman dengan penyiraman yang sesuai dengan
kapasitas lapang media tanam.
pada kombinasi volume penyiraman 480 mL dan 720 mL dengan intensitas cahaya
tanpa naungan dan naungan paranet 55% sel tanaman akan lebih banyak membelah. Hal
ini disebabkan adanya cadangan makanan untuk proses pembelahan yang lebih banyak
dari perlakuan intensitas cahaya yang tinggi juga dengan penyediaan air yang memenuhi
kapasitas media lapang dibandingkan perlakuan

naungan


paranet

75%

dan volume

penyiraman 240 mL.

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan naungan paranet 55% menghasilkan ukuran
diameter sel serat sklerenkim paling besar diikuti perlakuan naungan paranet 75% sedangkan
perlakuan tanpa naungan menghasilkan diameter sel serat sklerenkim terkecil. Perlakuan
volume penyiraman 720 mL menghasilkan ukuran diameter sel serat sklerenkim paling besar
sedangkan volume penyiraman 480 mL dan 240 mL menghasilkan diameter sel serat
sklerenkim yang sama. Interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa tanaman pada perlakuan
naungan paranet 55% pada volume penyiraman yang berbeda menghasilkan diameter sel
terbesar. Hal ini disebabkan intensitas cahaya yang tinggi pada tempat tanpa naungan akan
mengakibatkan perusakan auksin tanaman yang berperan dalam proses perluasan sel.
Tanaman pada volume


penyiraman 720 mL menghasilkan diameter sel terbesar

dibandingkan volume 240 mL dan 480 mL. Hal ini disebabkan penyediaan air yang berlebih
akan menyebabkan kondisi di dalam tanaman menjadi lebih pekat, sehingga terjadi perbedaan
gradien potensial air. Hal ini akan menyebabkan sel mengalami peningkatan pengambilan
air sehingga volume vakuola bertambah dan terjadi perluasan sel.

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan naungan paranet 55% menghasilkan ukuran
panjang sel serat sklerenkim paling panjang diikuti perlakuan naungan paranet 75%
sedangkan perlakuan tanpa naungan menghasilkan panjang sel serat sklerenkim terpendek.
Perlakuan volume penyiraman 720 mL menghasilkan ukuran panjang sel serat sklerenkim
paling panjang sedangkan volume penyiraman 480 mL dan 240 mL menghasilkan panjang
sel serat sklerenkim yang sama. Interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa panjang sel
terpanjang dihasilkan oleh tanaman dengan kombinasi perlakuan naungan paranet 55%
dan volume penyiraman 720 mL. Perbedaan intensitas cahaya memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap ukuran sel-sel serat sklerenkim pada pertumbuhan batang rosella,
baik terhadap ukuran diameter sel maupun

panjang


sel. Hal ini disebabkan

oleh

meningkatnya jumlah auksin pada tanaman yang terletak pada intensitas cahaya rendah.
Perusakan auksin karena cahaya lebih sedikit pada tanaman yang ternaungi paranet
75%.
Tanaman pada perlakuan volume penyiraman 720 mL memberikan hasil panjang
sel serat sklerenkim terpanjang. Hal ini disebabkan ketersediaan air mempunyai peranan
penting dalam proses pertumbuhan sel. Proses pemanjangan membutuhkan pemberian air
yang banyak, adanya hormon tertentu yang memungkinkan dinding-dinding sel merentang
dan adanya gula.
Interaksi kedua faktor menunjukkan bahwa panjang sel terpanjang dihasilkan oleh
tanaman dengan kombinasi perlakuan naungan 75% dan volume penyiraman 720 mL . Hal
ini disebabkan adanya kombinasi faktor pemanjangan sel antara peran auksin yang lebih
tinggi pada perlakuan naungan 75% dan potensial air yang lebih tinggi pada perlakuan
volume penyiraman 720 mL sehingga menghasilkan sel yang lebih panjang dibandingkan
kombinasi perlakuan lainnya.

KESIMPULAN
Terdapat interaksi pengaruh naungan dan penyiraman terhadap perkembangan serat
batang rosela. Perlakuan naungan pada semua volume penyiraman berpengaruh
meningkatkan diameter dan panjang sel serat rossela, sedang perlakuan tanpa naungan
dengan penyiraman pada kapasitas lapang berpangaruh meningkatkan jumlah sel serat
rosella.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Tri dan Sri Darmanti.2010. “Perkembangan Serat Batang Rosella (Hibiscus sabdariffa
var.Sabdariffa) dengan Perlakuan Naungan dan Volume Penyiraman yang Berbeda”
dalam Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XVIII, Nomor 2, (hlm. 47-55).

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tembakau merupakan jenis tanaman yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Tembakau memiliki peranan penting dalam roda perekonomian Indonesia, karena tembakau
merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Tembakau merupakan
bukan hanya sumber pendapatan bagi para petani tetapi juga memberikan pendapatan
bagi Negara. Tanaman ini tersebar di seluruh Nusantara dan mempunyai kegunaan yang
sangat banyak terutama untuk bahan baku pembuatan rokok. Tembakau dan rokok
merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk

Indonesia

tembakau berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber
devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan
lapangan kerja penduduk di perdesaan. Di dalam daun tembakau terdapat kandungan
alkaloid nikotin yang dapat digunakan sebagai insektisida, sebagai obat luka dan
sebagai

zat

pewarna

alami contohnya zat pewarna baju. Selain itu tembakau Juga

dimanfaatkan sebagai kunyahan (Jawa : susur), terutama di kalangan ibu–ibu di pedesaan.
Tanaman Tembakau termasuk dalam famili Solanaceae yang banyak dibudidayakan
di Indonesia. Tanaman tembakau merupakan salah satu tanaman tropis asli Amerika yang
digunakan pertama kali di Amerika Utara dan masuk ke Eropa melalui Spanyol. Setelah
masuk ke Eropa, tembakau menjadi semakin popular sebagai barang dagangan dan menyebar
dengan sangat cepat di seluruh Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Terdapat banyak jenis
tembakau yang ada di Indonesia. Namun, kebanyakan dari jenis tembakau tersebut hanya bisa
diusahakan pada saat musim kemarau saja, sedangkan kebutuhan air harus terpenuhi secara
cukup sehingga pemberian air harus dilakukan secara intensif.
Tujuan
Tujuan dari jurnal yaitu untuk mengetahui kelayakan penerapan metode microsprayer
secara finansial dan mengetahui nilai tambahnya bagi petani.

PEMBAHASAN
Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum Linn) termasuk dalam famili Solanaceae dan
genus Nicotianae. Tanaman ini dikenal kira-kira lima abad yang lalu, sejak ditemukan oleh
colombus (1492). Beberapa nama daerah dari Nicotiana tobacum Linn yaitu; Bengkulu dan
lampung namanya tembakau, di jawa dengan nama bako, di Aceh bakong, di Tapanuli
timbako, di Nias Fanisa. Tanaman tembakau merupakan tanaman semusim dan tingginya
dapat mencapai 2,5 m, memiliki batang berkayu yang tegak dan berwarna hijau.
Klasifikasi Tanaman Tembakau
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Tracheophyta

Klas

: Angiospermae

Ordo

: Dicotyledoneae

Famili

: Solanaceae

Genus

: Nicotiana

Spesies

: Nicotiana tobacum Linn

Alat dan bahan yang digunakan :


Pompa sentrifugal



klep pengatur tekanan,



filter, pipa PVC (1’’),



pipa LDPE (13 mm x 300 m) dan



nozel microsprayer.



tembakau varietas Jepun kenek ex Prancak,



pupuk TSP,



pupuk kandang, dan



pestisida.

Langkah Kerja :
1. Pengolahan Tanah : bajak dua kali, bedengan (lebar bawah 1.1 m, atas 0.7 m, tinggi
0.4 m, lebar drainase 0.3 m dan panjang 20 m), dan saluran
drainase keliling (lebar dasar 0.5 m, atas 1 m).

2. Tanam: pada awal, pertengahan dan akhir Juni, secara double rows, jarak dalam
baris 40 cm dan antar baris 50 cm, bibit dua tanaman perlubang diambil
yang baik.
3. Pupuk: pupuk kandang 0.5 l/lubang (7 hari sebelum tanam),pupuk N (150 kg/ha
pada 10 dan 25 hst), TSP pada saat tanam (150 kg/ha).
4. Pemeliharaan: dangir (10 hst), bumbun (30 hst), penyiraman dan pengendalian HPT.
5. Pemberian air: microsprayer (frek. 0-7 hst tiap hari, 8-50 hst tiap 4 hari selama
satu jam), petani (gembor 0-30 hst tiap hari dan tiap dua hari pada 3056 hst).
6. Panen: 20 Agustus, 4 September dan 18 September 1997.
7. Pengolahan hasil: pemeraman (3-4 hari), penggulungan, perajangan, penjemuran.
Parameter pengamatan yang dilakukan yaitu :





produksi tembakau: dalam bentuk rajangan kering yang siap dipasarkan.
Mutu: kadar gula dan kadar nikotin. harga x produksi mutu Indeks =
Biaya usahatani: sewa tanah, sarana produksi, tenaga kerja dan peralatan.
Biaya pemberian air: metode petani (iuran air, biaya tenaga siram, pembuatan
sumuran), microsprayer (iuran air, biaya penyusutan, bunga modal, pemeliharaan dan
tenaga kerja.

Hasil
a. Produksi Tembakau
Penerapan metode pemberian air antara metode microsprayer (M) dan petani (P),
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada uji BNT 5% terhadap produksi rata-rata
tembakau dan nisbah BK/BB.

Meskipun antara kedua metode tidak berbeda nyata, metode microsprayer cenderung
mampu meningkatkan produksi tembakau di daerah penelitian. Hal ini karena pemberian
airnya telah diatur sesuai kebutuhan optimum tanaman sehingga pertumbuhannya optimum
pula. Penerapan metode microsprayer ternyata mampu menurunkan nisbah gula/nikotin,

berarti ada peningkatan mutu daun tembakau. Nisbah gula/nikotin yang rendah, menunjukkan
aroma yang semakin keras dan kuat.
Metode microsprayer mempengaruhi sistem perakaran tanaman. Dimana berdasarkan
pola pancaran microsprayer yang berbentuk kabut dan bentuk pembasahan di tanah berupa
lingkaran (Karmeli and Stephen, 1977), air akan lebih banyak membasahi zone perakaran di
permukaan tanah sehingga perkembangan akar tanaman cenderung menyebar ke arah
horisontal. Hal ini menyebabkan akar tanaman bisa dengan mudah menyerap air.
Biaya upah pengairan per hektar metode microsprayer lebih murah daripada metode
petani dan biaya tahunan relatif tidak jauh berbeda. Penerimaan metode microsprayer relatif
lebih baik daripada metode petani.
b. Harga Tembakau

Harga tembakau kedua perlakuan sama, karena keduanya ditanam di lokasi yang
sama. Perbedaan harga dalam pengamatan, karena tembakau tersebut dijual tidak dalam
waktu yang bersamaan. Pada panen awal harganya masih tinggi tetapi pada panen akhir
harga menjadi rendah karena gudang mulai menutup pembeliannya.
c. Mutu dan Indeks Mutu

Rerata nisbah gula/nikotin, sebagai rasio perbandingan kadar gula dan kadar nikotin
dari metode microsprayer lebih rendah daripada metode petani. Mutu tembakau dipengaruhi
oleh kadar gula dan kadar nikotin pada daun tembakau. Kadar gula merupakan penyusun
mutu tembakau karena asap makin halus dan sebagai tembakau tipe aromatis, faktor aroma
pada tembakau madura sangat penting. Sedangkan nikotin sangat berpengaruh terhadap berat
ringannya rasa isap tembakau.
Penerapan metode microsprayer ternyata mampu menurunkan nisbah gula/nikotin,
berarti ada peningkatan mutu daun tembakau. Nisbah gula/nikotin yang rendah, menunjukkan

aroma yang semakin keras dan kuat. Penerapan metode tidak berpengaruh nyata, tetapi
indeks mutu metode microsprayer cenderung lebih tinggi daripada metode petani. Hal ini
karena produksinya lebih tinggi sedangkan harga tidak berpengaruh.
Nilai tambah yang diperoleh petani dengan penerapan metode microsprayer yaitu
petani memiliki lebih banyak waktu luang. Jadi jika selama ini petani menghabiskan
banyak waktu

untuk

menyirami

tanamannya, maka dengan metode ini petani hanya

membutuhkan sedikit waktu saja dan waktu luang yang ada bisa dipergunakan untuk
melakukan kegiatan lain seperti misalnya berdagang atau melakukan pekerjaan lain yang
bisa memberikan penghasilan tambahan.

KESIMPULAN
Metode pemberian air tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, indeks mutu
dan pendapatan tetapi berpengaruh nyata terhadap nisbah gula/nikotin sehingga tembakau

yang dihasilkan dengan metode microsprayer adalah tembakau dengan rasa dan aroma
yang lebih kuat. Biaya upah pengairan per hektar metode microsprayer lebih murah
daripada metode petani dan biaya tahunan relatif tidak jauh berbeda. Penerimaan metode
microsprayer relatif lebih baik daripada metode petani.
Secara umum baik penerapan metode microsprayer maupun metode petani
adalah tidak layak karena nilai NPV masing-masingnya lebih kecil dari 0 dan B/C rationya
labih kecil dari 1. Kalaupun petani lebih menyukai berusahatani tembakau, itu karena
mereka tidak memperhitungkan tenaga yang mereka keluarkan sehingga menganggapnya
sebagai keuntungan yang mereka peroleh setelah tembakau mereka terjual.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniati, Evi.2001. “Analisis Finansial Penerapan Metode Pemberian Air Irigasi dengan
Microsprayer pada Tanaman Tembakau Sawah (Nicotiana tabacum) di Madura”
dalam Jurnal Tekonologi Pertanian, Vol. 2, Nomor 2, Agustus, (hlm. 1-13).

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) dimanfaatkan sebagai bahan baku utama
dalam industri gula. Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting bukan saja
dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta penambahan atau
penghematan devisa, tetapi juga langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat
dan penyediaan lapangan kerja. Bagian lain dari tanaman seperti daunnya dapat pula
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan baku pembuatan pupuk hijau atau kompos.
Ampas tebu digunakan oleh pabrik gula itu sendiri untuk bahan bakar selain itu biasanya
dipakai oleh industri pembuat kertas sebagai campuran pembuat kertas.
Daun tebu yang kering (dalam bahasa Jawa, dadhok) adalah biomassa yang
mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Di pedesaan dadhok sering dipakai sebagai bahan
bakar untuk memasak; selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar
ini juga cepat panas. Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas
batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses
produksi dan pembangkit listrik.
Tanaman ini sangat dibutuhkan sehingga kebutuhannya terus meningkat seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun peningkatan konsumsi gula belum dapat
diimbangi oleh produksi gula dalam negeri.
1.2 Tujuan
Bertujuan untuk mendapatkan kombinasi akibat perlakuan komposisi media tanam
dan varietas serta mendapatkan komposisi media tanam yang tepat untuk pertumbuhan bibit
dengan teknik bud chip dari tiga varietas tebu (Saccharum officinarum L.).

PEMBAHASAN
Komoditas tebu (Saccharum L.) adalah tanaman industri yang tergolong musiman
dan termasuk keluarga rumputan (Graminae). Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan
semusim dimana di dalam batangnya terdapat suatu cairan yang memiliki rasa manis yang
disebut nira. Nira inilah yang kemudian akan diolah menjadi gula. Saccharum officinarum
adalah spesies tebu yang banyak digunakan untuk produksi gula, kelebihannya adalah
mengandung banyak sukrosa, kandungan sabut rendah, daunnya lebih lebar, dan berbatang

besar. Selain itu, Saccharum officinarum berdaya tunas tinggi pada keadaan tanah dan iklim
yang cocok, dan umumnya beradaptasi dengan baik di daerah tropis.

Kebutuhan akan tanaman tebu terus meningkat. Namun peningkatan konsumsi gula
belum dapat diimbangi oleh produksi gula dalam negeri. Penyebab rendahnya produksi
gula dalam negeri salah satunya dapat dilihat dari sisi on farm, diantaranya penyiapan
bibit dan kualitas bibit tebu. Selain permasalah dari sisi bibit, semakin sedikitnya
ketersediaan lahan menyebabkan kebutuhan lahan untuk pembibitan juga semakin sulit
sehingga di butuhkan teknologi penyiapan bibit yang sigkat.
Teknik pembibitan Bud chip adalah teknik pembibitan tebu secara vegetatif yang
menggunakan bibit satu mata. Bibit ini berasal dari kultur jaringan yang kemudian ditanam
di Kebun Bibit Pokok (KBP). Bibit yang di gunakan berumur 5 - 6 bulan, murni (tidak
tercampur dengan varietas lain), bebas dari hama penyakit dan tidak mengalami kerusakan
fisik. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil pembibitan dengan teknik bud
chip adalah media tanam. Komposisi media tanam yang digunakan pada teknik ini terdiri
dari tanah, kompos dan pasir.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi cangkul, chisel mortisier (alat
pemotong batang

tebu), hot water treatment (HWT), alat steam media

tanam,

tray,

penggaris, oven, alat tulis, kamera, leaf area meter (LAM) dan jangka sorong. Bahan yang
digunakan antara lain tanaman tebu varietas PS 92-750, VMC 76-16 dan PS 862, tanah,
pasir, kompos blotong N10, fungisida, insektisida dan ZPT.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan Faktorial yang
disusun secara acak kelompok. Percobaan ini terdapat 2 faktor,


Faktor 1 ialah varietas (V) yang terdiri dari 3 macam, yaitu: (V 1) Varietas PSJK 922,



(V2) Varietas PS 862, (V3) Varietas VMC 76-16.
faktor 2 ialah media tanam (M) dengan komposisi tanah : kompos : pasir yang
terdiri dari 3 macam, yaitu : (M 1) (10% : 70% : 20%, (M 2) (70% : 20% : 10%) , (M 3)
(20% : 10% : 70%).

Pengamatan dilakukan pada tiap tray perlakuan dengan 4 sampel non destruktif
dan 18 tanaman destruktif. Parameter pengamatan non destruktif meliputi diameter batang,
tinggi tanaman, jumlah ruas batang dan jumlah daun. Parameter pengamatan destruktif
meliputi luas daun, bobot segar total tanaman dan bobot kering total tanaman. Data
pengamatan yang diperoleh dianalis menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%.
Apabila terdapat beda nyata (F hitung > F tabel 5%), maka akan dilanjutkan dengan uji BNT
pada taraf 5%.
a. Tinggi Tanaman

kombinasi perlakuan V1 dan M1 menghasilkan rerata tinggi tanaman lebih tinggi. Hal
tersebut diduga karena pada komposisi media M1 dengan prosentase tanah : kompos : pasir
(10% :70% : 20%) mengandung aplikasi kompos blotong yang lebih banyak sehingga
kebutuhan nutrisi dan vitamin untuk tanaman terpenuhi. Menurut Brady (1990) bahwa
bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur tumbuh tanaman
yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman seperti vitamin, asam amino,
auksin dan giberelin yang terbentuk melalui dekomposisi bahan organik. Kompos blotong
adalah bahan organik yang mengandung unsur N tinggi.
b. Jumlah Daun
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan
komposisi media tanam dan tiga varietas tebu terhadap jumlah daun.

Meningkatnya jumlah daun tidak terlepas dari adanya aktifitas pemanjangan sel
yang merangsang terbentuknya daun sebagai organ fotosintesis terutama pada tanaman
tingkat tinggi (Gardner et al,1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan
umur 70,80 dan 90 hst. terdapat interaksi antara perlakuan V1 dan M1. Kombinasi perlakuan
V1 dan M1 menghasilkan rerata jumlah daun lebih tinggi. komposisi media M1 dengan
perbandingan tanah : kompos : pasir (10% : 70% : 20%) baik digunakan sebagai media
tanam karena mampu menyediakan unsur nitrogen yang dapat membantu tanaman untuk
menghasilkan fotosintat yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman.
c. Diameter Batang
Perlakuan komposisi media tanam tidak terjadi interaksi terhadap diameter batang
pada beberapa umur.
d. Jumlah Ruas Batang
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara komposisi media
tanam dan varietas terhadap jumlah ruas batang

e. Luas Daun
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa terjadi interaksi antara komposisi media tanam dan varietas terhadap luas daun
menunjukkan bahwa pada umur 80 hst,

f. Bobot Segar Total Tanaman
Tidak terjadi interaksi terhadap rerata bobot segar total tanaman pada berbagai umur
pengamatan.
Selain bobot basah total tanaman, parameter pertumbuhan tanaman juga dapat
diamati melalui bobot kering total tanaman. Terdapat interaksi pada parameter bobot kering
total tanaman terhadap varietas dan komposisi media tanam pada umur pengamatan 70 hst.
g. Bobot Kering Total Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara komposisi media
tanam dan varietas terhadap bobot kering total menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar
perlakuan pada umur 70 hst.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara komposisi
media tanam dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ruas batang, luas
daun dan bobot kering total tanaman. Hal tersebut dikarenakan sifat dan fungsi dari

komposisi media tanam berbeda. Kombinasi perlakuan V1 dan M1 nyata memiliki rerata nilai
bobot kering total tanaman lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari
kedua faktor, baik dari faktor internal dan eksternal. Media tanam M1 memiliki komposisi
tanah : kompos : pasir (10% : 70% : 20%) yang mampu meningkatkan bobot kering total
tanaman secara nyata, karena komposisi media tanam yang tepat mengandung komposisi
tanah : pasir dan kompos yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman.
pemberian blotong berpengaruh baik pada peningkatan bobot tebu. Varietas juga
memberikan pengaruh yang nyata dalam peningkatan bobot kering tanaman. Sebaiknya
pembibitan tebu (Saccharum officinarum L.) dengan teknik bud chip ditanam pada media
dengan komposisi media tanah : pasir : kompos (10% : 20% :70%) menggunakan varietas
PSJK 922.

KESIMPULAN
Terdapat interaksi antara komposisi media tanam dengan varietas terhadap tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah ruas batang, luas daun dan berat kering total tanaman.
Pembibitan tanaman tebu pada media dengan komposisi tanah : pasir : kompos (10% :
20% : 70%) menghasilkan nilai rerata diameter batang, jumlah ruas batang, luas daun,
bobot segar total tanaman dan bobot kering total tanaman lebih tinggi dibandingkan
dengan komposisi tanah : kompos : pasir

(70% : 20% : 10%) dan (20% : 10% : 70%).

Varietas PSJK 922 cocok ditanam pada media dengan komposisi tanah : kompos : pasir
(10% : 20% : 70%).

DAFTAR PUSTAKA
Putri, A. Dezjona , Sudiarso, dan Titik Islami.2013. “Pengaruh Komposisi Media Tanam pada
Teknik Budidaya Chip Tiga Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.) dalam
Jurnal Produksi Tanaman, Vol. 1, Nomor 1, Maret, (hlm. 16-23).