Skema Open Access Transmisi Listrik Mili

SKEMA OPEN ACCESS TRANSMISI LISTRIK
MILIK BADAN USAHA TRANSMISI TENAGA LISTRIK UNTUK
PENJUALAN LANGSUNG ENERGI LISTRIK PANAS BUMI
PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY (PGE)
oleh:
Argadhia Aditama (E0012056), Pramesthi Dinar Kirana Ratri (E0012301),
Danu Agus Prabowo (E0012094)
Abstrak
Pertamina Geothermal Energy (PGE) merupakan independent power
producer (IPP) yang memproduksi energi listrik panas bumi di Indonesia.
Penjualan energi listrik panas bumi oleh PGE melalui Perjanjian jual beli
listrik (PJBL) selama ini masih didominasi oleh PLN selaku pembeli. Hal
tersebut karena PGE tidak mempunyai infrastruktur kelistrikan berupa
jaringan transmisi untuk menunjang adanya penjualan langsung. Sejak
terbitnya Permen ESDM No 1 Tahun 2015, maka hambatan PGE untuk
melakukan penjualan langsung dapat diatasi. Permen tersebut memberikan
payung hukum bagi adanya open access dalam bentuk power wheeling /
pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik milik badan usaha transmisi
tenaga listrik. Dengan adanya skema open access ini maka PGE berpeluang
untuk melakukan penjualan langsung energi listrik panas bumi kepada
captive market di Indonesia.

Kata Kunci: open access, penjualan langsung
Abstract
Pertamina Geothermal Energy (PGE) is an independent power producer
(IPP) which produces geothermal electrical energy in Indonesia. Geothermal
electrical energy’s selling by PGE is based on a power purchase agreement
(PPA) and yet it’s still dominated by PLN as the buyer. Because PGE did not
have electricity infrastructure which is the transmission lines to support the
direct sales. Since The Ministry of Energy and Mineral Resources regulation
No. 1 of 2015 has been released, its barrier to do a direct sales could be
overcome. The regulation provides a legal basis for the existence of open
access in a form of power wheeling for power transmission lines owned by
electric power transmission enterprise. The open access scheme expands
PGE’s opportunity to make direct sales of geothermal electrical energy to the
captive market in Indonesia.
Keynote: open access, direct sales

1

A. PENDAHULUAN
1. Latarbelakang

Energi panas bumi atau energi Geothermal merupakan salah satu
bentuk energi alternatif yang sedang gencar dikembangkan di Indonesia.
Petursson (2011) menyatakan bahwa: “Geothermal energy is completely
domestic in supply, reliable, renewable, and sustainable.” Sedangkan
menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi, Panas bumi digolongkan sebagai sumber energi berkelanjutan.
Potensi panas bumi di Indonesia sendiri cukup besar, dengan estimasi
kemampuan energi panas bumi sebesar 28.000 MW atau setara dengan 40%
potensi energi panas bumi dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia. (Tom
Allard, 2010)
Sebagai negara hukum, kebijakan nasional di bidang panas bumi perlu
untuk mendapatkan pengaturan sebagai bentuk manifestasi penguasaan
negara atas sumber daya alam (Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945).
Pengaturan tersebut kemudian di tuangkan dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dalam hal pemanfaatan energi di
Indonesia, energi panas bumi dalam bentuk uap panas bumi (yang kering
dan bersih) sebagian besar dimanfaatkan untuk memutar turbin yang
selanjutnya menghasilkan tenaga listrik di PLTP (Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi). Di Indonesia, pemanfaatan dan pengembangan energi

panas bumi salah satunya terus dilakukan secara profesional oleh PT.
Pertamina Geothermal Energy (PGE) selaku anak perusahaan dari PT.
Pertamina. Saat ini PGE memiliki 14 wilayah Kuasa Pengusaaan
berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia tanggal 18 Juni 2012 tentang Penegasan Wilayah Kuasa dan
Perubahan Batas-Batas Koordinat Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE, 2015).
Dalam hal penjualan energy listrik panas bumi, PGE berpedoman
pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun
2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi
Untuk PLTP oleh PT. PLN (Persero). Dalam hal penjualan energi listrik,
PGE dapat di posisikan sebagai independent power producer (IPP). Saat ini
dalam laporan tahunan PGE tahun 2014, tercatat pembeli produk listrik
panas bumi PGE adalah PT PLN (Persero) dan Independent Power
Producer / IPP (PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) dan PT
Dizamatra Powerindo). Bisnis PGE saat ini masih di dominasi oleh PLN
selaku pembeli energi listrik panas bumi melalui bentuk perjanjian jual beli
listrik (PJBL). Dominasi tersebut terjadi dikarenakan PGE selama ini masih
belum dapat memasarkan produknya berupa listrik panas bumi secara
langsung kepada masyarakat ataupun kepada industri. Hal ini disebabkan


2

karena PGE tidak mempunyai infrastruktur kelistrikan berupa jaringan
transmisi maupun distribusi listrik.
Namun, dalam perkembangannya pemerintah melalui kementerian
ESDM kemudian menyusun suatu kerangka regulasi yaitu Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Alam 1 tahun 2015 tentang Pemanfaatan
Bersama Jaringan Tenaga Listrik Serta Pembelian Kelebihan Tenaga
Listrik. Pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik/ sewa jaringan
transmisi/ Power Wheeling merupakan suatu bentuk open access transmisi
listrik yang bertujuan agar aset jaringan transmisi atau distribusi sebagai
salah satu aset milik bangsa dapat dimanfaatkan secara optimal oleh semua
pelaku ekonomi dan sekaligus untuk peningkatan utilisasi jaringan transmisi
atau distribusi sebagai salah satu bentuk efisiensi pada lingkup nasional.
(Dirjen Ketenagalistrikan, 2012) Melalui regulasi ini, PGE kemudian
mempunyai peluang untuk melakukan pemanfaatan bersama jaringan
transmisi listrik milik Badan Usaha Transmisi Tenaga Listrik. Dengan
pemanfaatan bersama inilah maka PGE selaku entitas bisnis dapat
melakukan penjualan langsung.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka kemudian kami tertarik untuk
mengkaji isu hukum tersebut dalam suatu artikel ilmiah dengan judul
“Skema Open Access Transmisi Listrik Milik Badan Usaha Transmisi
Tenaga Listrik Untuk Penjualan Langsung Energi Listrik Panas Bumi
Pertamina Geothermal Energy (PGE).
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mekanisme penjualan energi listrik panas bumi Pertamina
Geothermal Energy (PGE) saat ini ?
b. Apakah skema open access transmisi listrik Milik Badan Usaha
Transmisi Tenaga Listrik dapat diterapkan untuk penjualan langsung
energi listrik panas bumi Pertamina Geothermal Energy (PGE) ?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui mekanisme penjualan energi listrik panas bumi
Pertamina Geothermal Energy (PGE) saat ini.
b. Untuk mengetahui skema open access transmisi listrik Milik Badan
Usaha Transmisi Tenaga Listrik dalam penjualan langsung energi listrik
panas bumi Pertamina Geothermal Energy (PGE).
B. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis empiris.
Penekanan pada kajian ilmu hukum berdasarkan perundang-undangan dan

hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial lain.
(Ronny Hanitijo, 1988) Metode ini mengkaji bagaimana ketentuan normatif
diwujudkan dalam praktek di lapangan. Pendekatan eksploratif dilakukan

3

dengan mengumpulkan berbagai data sekunder baik kualitatif dan kuantitatif
terkait skema open access transmisi listrik milik Badan Usaha Transmisi
Tenaga Listrik khususnya untuk penjualan langsung energi listrik panas bumi
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Dengan menganalisis data tersebut,
melalui pendekatan induktif penulis menjelaskan dan menyimpulkan hal-hal
terkait mekanisme penjualan energi listrik panas bumi Pertamina Geothermal
Energy (PGE) dan skema open access transmisi listrik milik Badan Usaha
Transmisi Tenaga Listrik. Pencarian dan pengolahan data dilakukan melalui
studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan menentukan landasan
teori dan dasar analisis penulisan, sedangkan studi lapangan menghasilkan data
berupa fakta di lapangan untuk mendukung pembahasan dalam penulisan.
pengumpulan data, diperoleh dari berbagai literatur antara lain, regulasi,
peraturan perundang-undangan, liputan media dan berbagai sumber data
sekunder yang relevan.

C. PEMBAHASAN
1. Mekanisme Penjualan Hasil Pengusahaan Panas Bumi Pertamina
Geothermal Energy (PGE)
Panas Bumi di Indonesia secara umum diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dalam undang-undang tentang
panas bumi ini terdapat beberapa konsep dan pokok-pokok pengaturan yang
diantaranya : (Dirjen EBTKE, 2014)
a. Pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan dalam pengertian kegiatan
pertambangan;
b. Panas Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di Wilayah
hukum Indonesia dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk
kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu penyelenggaraan penguasaan panas
bumi dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
c. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi dan
pemanfaatan yang dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Layanan Umum.
d. Adanya pengaturan lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi untuk
pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung;
e. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan Panas
Bumi akibat dari perubahan ini yang semula dilakukan oleh Pemerintah

Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah;
f. Pengaturan bonus produksi pengusahaan panas bumi (production bonus)
yang didasarkan kepada persentase tertentu dari pendapatan kotor sejak
unit pertama berproduksi;
g. Pengaturan ketentuan peralihan yang lebih jelas untuk pengelolaan
wilayah kerja panas bumi yang telah ada sebelum diterbitkannya
Undang-Undang ini.

4

Sebagai perusahaan milik Negara yang bergerak dibidang
pengusahaan energi panas bumi yang kemudian diolah menjadi uap dan
listrik (Steam and Electricity), Pertamina Geothermal Energi (PGE) telah
secara konsisten menjalankan perundang-undangan di bidang panas bumi.
Saat ini PGE memiliki 14 Wilayah Kuasa Pengusahaan (WKP) berdasarkan
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
tanggal 18 Juni 2012 tentang Penegasan Wilayah Kuasa dan Perubahan
Batas-Batas Koordinat Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi PT
Pertamina Geothermal Energy. Dari empat belas WKP tersebut, pada tahun
2014 kapasitas terpasang produksi panas bumi PGE sebesar 402 MW

(terpasang untuk Area Kamojang 200 MW, Area Lahendong 80 MW, Area
Sibayak 12 MW dan Area Ulubelu 110 MW). Di Indonesia PGE menguasai
28.64% pangsa pasar panas bumi dengan Laba Komprehensif yang
dibukukan sebesar US$ 87.11 juta. (PGE, 2014)
Dalam memasarkan hasil pengusahaan panas bumi, PGE
menggunakan 2 bentuk pemasaran. Pertama , PGE menjual uap panas bumi
ke PT PLN (Persero) atau Independent Power Producer lain melalui
Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) dengan jangka waktu sampai dengan 30
tahun setelah Tanggal Operasi Komersial (Commercial Operational Date /
COD). Kedua, PGE menjual tenaga listrik yang dihasilkan dari Pembangkit
Tenaga Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PGE ke PT PLN (Persero)
atau ke pemegang IPTL lain melalui Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)
dengan jangka waktu sampai dengan 30 tahun setelah Tanggal Operasi
Komersial.
Kebijakan pemasaran dan penjualan hasil pengusahaan panas bumi
oleh PGE tidak dapat dilepaskan dari adanya Permen ESDM No.17 Tahun
2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi
Untuk PLTP oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dalam Permen
tersebut, harga listrik Panas Bumi ditetapkan sebagai berikut:
(http://finance.detik.com, 2016)

Tabel Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik Panas Bumi :
Tahun
Commercial Operation
Date (COD)
Harga
Wilayah
1
Patokan
Tertinggi
Wilayah
(sen
2
US$/kWh)
Wilayah
3

2015

2016


2017

2018

2019

2020

2021

2022

2023

2024

2025

11.8

12.2

12.6

13.0

13.4

13.8

14.2

14.6

15.0

15.5

15.9

17.0

17.6

18.2

18.8

19.4

20.0

20.6

21.3

21.9

22.6

23.3

25.4

25.8

26.2

26.6

27.0

27.4

27.8

28.3

28.7

29.2

29.6

Walaupun demikian, penjualan tenaga listrik panas bumi di
Indonesia masih tergolong kecil. Di Indonesia, komposisi produksi listrik
nasional berdasarkan kelompok bahan bakar pada tahun 2015 adalah: 1.

5

BBM: 11 %; 2. Gas Alam: 27 %; 3. Batubara: 49 %; 4. PLTA: 7 %; dan 5.
Panas Bumi (PLTP): 5 %. Rendahnya peran panas bumi dalam bauran
energi listrik nasional , selain dipengaruhi oleh karakteristik pengusahaan
panas bumi sendiri, juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh
karakteristik usaha penyediaan tenaga listrik yang bersifat padat modal dan
padat teknologi. Karakter ini lah yang menciptakan hambatan alami untuk
investasi yang kemudian membatasi pelaku usaha di bidang panas bumi
untuk penyediaan tenaga listrik yang berakibat pada adanya monopoli
alamiah (natural monopoly).
Di Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, usaha penyediaan tenaga
listrik dikuasai oleh PT PLN. Selain karena karakteristik industrinya,
terbentuknya monopoli tersebut juga disebabkan oleh penugasan penyediaan
listrik untuk masyarakat dari pemerintah. Namun sejak terbitnya UndangUndang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan berimplikasi pada
berkurangnya “monopoli” usaha kelistrikan oleh PLN serta desentralisasi
tanggung jawab dan kewenangan, dengan cara membuka kesempatan seluas
luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya
masyarakat (pasal 4 ayat 1 dan 2), untuk jenis usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik (pasal 10 ayat 1). (Fabby
Tumiwa, 2012)
Peluang usaha yang paling menjanjikan bagi investasi di sektor
ketenagalistrikan adalah di pembangkitan tenaga listrik. Bisnis
pembangkitan menjanjikan tingkat keuntungan yang relatif tinggi,
dibandingkan dengan transmisi dan distribusi. Rate of return bisnis
pembangkitan tenaga listrik berkisar 15–22 %, sedangkan transmisi
biasanya hanya 5–6 %. Adanya program pemerintah berupa Proyek Listrik
35.000 mega watt pada pelaksanaanya memerlukan peran serta dari
berbagai pihak dalam hal penyediaan tenaga listrik yang tidak dapat
ditanggung sendiri oleh PT. PLN. (http://www.hukumonline.com, 2012)
Saat ini terdapat dua bentuk penyediaan listrik yang dapat dilakukan
oleh penyedia listrik selain PLN / IPP. Pertama pembangkit listrik swasta
menjual listriknya kepada PLN melalui kontrak jangka panjang dengan
harga yang disepakati kedua belah pihak yang tertuang dalam perjanjian
pembelian tenaga listrik (power purchase agreement) atau penjualan energi
(energy sales contract), atau konsep sewa (leasing) pembangkit, atau
dengan skema kemitraan publik dan swasta, dimana pihak swasta
membangun pembangkit listrik, dengan insentif dari pemerintah, yang
kemudian listriknya dibeli atau pembangkitnya dioperasikan oleh PLN.
Kedua, pihak swasta dapat menyediakan listrik di suatu wilayah sebagai
utilitas yang terintegrasi, dengan persetujuan tarif listrik oleh kepala
pemerintahan wilayah yang dilayani. Namun, untuk bentuk yang kedua ini,
pihak swasta perlu mempertimbangkan aspek modal, kemampuan teknologi,

6

sumber daya manusia, dan daya beli konsumen di wilayah yang dilayani.
Khusus untuk daya beli, pihak swasta hanya dapat berkembang apabila
konsumennya adalah captive market.
Bila melihat pada pemaparan diatas, maka PGE sebagai penyedia
tenaga listrik panas bumi di Indonesia masih dominan pada bentuk
penyediaan energi listrik yang pertama. Saat ini pembeli produk listrik
panas bumi PGE adalah PT PLN (Persero) dan Independent Power
Producer/ IPP (PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) dan PT
Dizamatra Powerindo). Bagaimanapun juga, pembangkitan tenaga listrik
panas bumi tidak dapat dipungkiri merupakan bagian dari strategi bauran
Energi Primer (Energy Mix) dalam Kebijakan Energi Nasional sehingga
perkembangan usahanya perlu untuk ditingkatkan.
2. Skema Open Access Transmisi Listrik Milik Perusahaan Listrik Negara
(PLN) Dalam Penjualan Langsung Hasil Pengusahaan Panas Bumi
Pertamina Geothermal Energy (PGE)
PGE sebagai penyedia tenaga listrik panas bumi di Indonesia saat ini
telah melakukan kontrak pembelian produk baik dalam bentuk PJBU / PJBL
dengan PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer/ IPP (PT
Indonesia Power dan PT Dizamatra Powerindo). Namun demikian, peran
PLN sebagai pembeli produk PGE cukup memegang porsi yang besar. Hal
ini kemudian menjadi kendala dalam pelaksanaan bisnis PGE dimana salah
satunya dapat di contohkan pada permasalahan penyesuaian harga jual
listrik PLTP Kamojang dengan PLN yang kemudian dapat di selesaikan
dengan amandemen kontrak di tahun 2016. (listrik.org , 2016)
PGE sebagai entitas bisnis dalam PJBL mengenakan tarif listrik
sesuai harga pokok produksi yang kemudian di tambahkan profit. Di sisi
lain, PLN yang juga sebagai entitas bisnis harus berpikir efisiensi untuk
mendapatkan harga listrik yang murah. Permasalahan sejenis ini tidak hanya
terjadi pada penyedia listrik panas bumi tapi juga pada energi baru dan
terbarukan lainnya. Untuk meminimalisir dominasi pembelian listrik pada
satu perusahaan, sebenarnya PGE dapat berekspansi bisnis dengan menjual
listrik panas bumi ke pihak lain seperti kepada kawasan industri atau kepada
masyarakat lain. Bila PGE dipaksa hanya menjual uap atau listrik ke PLN
sementara PLN tak bisa memberikan harga pasar yang lazim, maka hal ini
nantinya akan merugikan PGE sebagai entitas bisnis.
Untuk melakukan penjualan langsung listrik, PGE memerlukan
infrastruktur pendukung lain yang salah satunya adalah jaringan tenaga
listrik dalam bentuk transmisi dan/atau distribusi listrik. Namun sebagai
IPP, PGE tentu saja akan kesulitan dalam membangun infrastruktur
pendukung tersebut khususnya pembangunan jaringan transmisi. Untuk itu
kemudian Pemerintah telah menetapkan Permen ESDM Nomor 01 tahun

7

2015 tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan
Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Permen ini antara lain mengatur
kerjasama antar pemegang wilayah usaha, pemanfaatan bersama jaringan
tenaga listrik (power wheeling), interkoneksi jaringan tenaga listrik, serta
pembelian kelebihan tenaga listrik dari pemegang Izin Operasi (IO).
(Kementerian ESDM, 2015) Bentuk pemanfaatan bersama ini cukup penting
mengingat PGE sebagai pihak yang tidak mempunyai jaringan transmisi
listrik saat ini masih mengalami ketergantungan dalam hal menjual produksi
mereka ke pasar.
Gambar 2. Infrastruktur Penyediaan Tenaga Listrik Nasional
(Dirjen Ketenagalistrikan ESDM , 2012)

Dengan terbitnya peraturan ini, antar pemegang wilayah usaha dapat
bekerja sama secara langsung untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di
wilayah usahanya. Selain itu Usaha Transmisi diwajibkan membuka
kesempatan pemanfaatan bersama jaringan transmisi, sedangkan Usaha
Distribusi dapat membuka kesempatan pemanfaatan bersama jaringan
distribusi. Pemegang IO dapat melakukan interkoneksi jaringan tenaga
listrik dengan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Listrik (IUPL) yang
memiliki wilayah usaha. Sementara itu, Pemegang IUPL yang memiliki
wilayah usaha dapat membeli kelebihan tenaga listrik dari pemegang IO.
(PLN, 2015)
Dalam menjalankan konsep ini, pemegang izin usaha transmisi
dan/atau usaha distribusi wajib memberikan informasi kondisi dan
kemampuan teknis jaringan tenaga listrik dalam Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL). Selain itu dalam pemanfaatan bersama jaringan
tenaga listrik Pemegang Izin melaksanakan pemanfaatan bersama dengan
PIUPL lain, Pemegang Izin Operasi, Koperasi atau Badan Usaha lain.
Pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau distribusi dilakukan
melalui sewa jaringan transmisi dan/atau distribusi. Pemanfaatan bersama
jaringan tenaga listrik didasarkan atas kebutuhan sistem tenaga listrik
dengan persyaratan teknis yang ditetapkan dalam aturan jaringan (grid code)
dan aturan jaringan distribusi (distribution code) dan sesuai dengan

8

kemampuan kapasitas jaringan tenaga listrik serta tidak menyebabkan
terganggunya penyaluran tenaga listrik. Pemanfaatan bersama jaringan
tenaga listrik diselenggarakan secara terbuka, tidak diskriminatif,
transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sistem Operator berada di Pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik yang memiliki jaringan.
Pada dasarnya istilah pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik
(PBJT) di Indonesia dapat pula dikenal sebagai sewa jaringan transmisi atau
di literatur asing disebut sebagai power wheeling. Menurut Independent
Energy Producers Association (IEPA): (IEPA, 2016)
Power Wheeling refers to the transfer of electrical power through
transmission and distribution lines from one utility's service area to
another's. Wheeling can occur between two adjacent utilities, or
between utilities in different state.
Secara sederhana, menurut Sood, Power Wheeling adalah pengiriman daya
listrik dari penjual ke pembeli melalui jaringan yang dimiliki oleh pihak
ketiga. (Sood, Y, Raj., dkk, 2002) Sedangkan tujuan dari power wheeling itu
sendiri adalah agar aset jaringan transmisi atau distribusi sebagai salah satu
aset milik bangsa dapat dimanfaatkan secara optimal oleh semua pelaku
ekonomi dan sekaligus untuk peningkatan utilisasi jaringan transmisi atau
distribusi sebagai salah satu bentuk efisiensi pada lingkup nasional. (Dirjen
Ketenagalistrikan ESDM, 2012) Adanya wheeling dalam sistem tenaga
listrik ini menjadi landasan adanya transmission open access, dimana
jaringan transmisi dibuka selebar-lebarnya untuk setiap perusahaan
pembangkitan tenaga listrik. (Taufiq Indraputra, 2014) Transmisi tenaga
listrik harus diperlakukan sebagai objek bisnis yang terpisah dengan
pembangkitan maupun distribusi. Skema open access pada transmisi listrik
ini juga telah diterapkan dan dikembangkan di berbagai Negara seperti
Chile, Great Britain, Argentina, New Zealand, Australia, Perú, Colombia.
(Hugh Rudnick, 2015)
Skema open access yang diwujudkan dalam bentuk power wheeling /
pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) / Sewa jaringan transmisi
ini pada dasarnya dapat dimanfaatkan oleh PGE selaku penyedia tenaga
listrik di Indonesia untuk melakukan penjualan langsung energi listrik panas
bumi. Dalam pembuatan perjanjian pemanfaatan bersama antara PGE dan
Badan Usaha Penyedia Transmisi Tenaga Listrik, perlu di perhatikan hal-hal
berikut ini : (Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, 2012)
1. Transaksi
Yang meliputi Jadwal Pembangkitan dan Real Time Dispatch.
2. Imbalance Energy
Perbedaan antara besaran energi dalam kontrak dengan yang
dibangkitkan dan dikonsumsi secara real-time.

9

3. Manajemen Kongesti/Constrain
Setiap transaksi mempengaruhi yang lain, yang dapat mempengaruhi
aliran daya listrik dalam jaringan (over load-under voltage).
4. Ancillary Services
Reserve operasi (operating reserve), daya reaktif yang diperlukan agar
sistem jaringan bekerja dengan baik.
Disamping hal-hal diatas, perlu dipertimbangkan pula hal-hal lain
dalam skema open access dalam bentuk power wheeling. Pertimbangan
pertama adalah kesiapan PIUPL dan PIUPL Terintegrasi sebagai Badan
Usaha Penyedia Transmisi Listrik selaku pemilik dan pengelola jaringan
(dalam hal pertumbuhan beban dan jaringan). Kedua adalah dalam hal
permasalahan teknis seperti batasan Kapasitas Jaringan dan permasalahan
gangguan (Tegangan, Stabilitas Frekuensi, Harmonisasi, Susut Jaringan dan
lain sebagainya). Ketiga adalah model perhitungan komponen sewa (biaya)
yang lebih dikenal sebagai toll fee. Keempat adalah Grid Code dan
Distribution Code yang masih perlu direview.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, kami kemudian dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, negara membuka
kesempatan yang luas bagi perusahaan yang bergerak di bidang
pengusahaan energi panas bumi di Indonesia. Dalam undang-undang
tersebut, pengusahaan panas bumi di prioritaskan untuk pemanfaatan tidak
langsung yaitu untuk produksi listrik. PGE sebagai salah satu perusahaan
yang bergerak di bidang pengusahaan panas bumi saat ini telah
menggunakan 2 mekanisme penjualan hasil pengusahaan energi panas
bumi yaitu PJBL (Perjanjian Jual Beli Listrik) dan PJBU (Perjanjian Jual
Beli Uap).
2. Pemerintah telah menetapkan Permen ESDM Nomor 01 tahun 2015
tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama
Jaringan Tenaga Listrik. Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi listrik
(PBJT) / sewa jaringan transmisi /power wheeling dapat di golongkan
sebagai bentuk open access. PGE sebagai perusahaan yang memproduksi
energi listrik panas bumi melalui peraturan menteri ini sebenarnya telah
diberikan kesempatan untuk melakukan penjualan langsung energi listrik
panas bumi. Hal ini karena PGE termasuk dalam perusahaan yang dapat
memperoleh izin penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
(IUKU). Dalam penjualan langsung ini, PGE dapat mengadakan perjanjian
sewa transmisi dengan Badan Penyedia Transmisi Listrik.

10