METODE KEṢAHĪHAN HADIS SUNNĪ VS METODE KEṢAHĪHAN HADIS SHĪ’AH

METODE KEṢAHĪHAN HADIS SUNNĪ VS METODE KEṢAHĪHAN HADIS SHĪ’AH

Khairul Muttaqin*

Abstract

Recently, there are two groups that always contradict in terms of ideology and methodology, namely Sunni and Shi’ah. In hadith terminology, those groups have different views. The validity method of prophet’s hadith by sunni is really different with the validity method of prophet’s hadith by shi’ah. The method used in this study is library research in which the writer investigates works related to the difference of methodologies between Sunni and Shi’ah in determining the validity of hadith. In matan and sanad hadith criticisms, there is significant difference between the both groups. The different ways make the difference in the validity of hadith and madhhab fiqh.

Keywords: method, validity, Hadith, Sunni, Shi’ah

Abstrak

Dewasa ini terdapat dua golongan yang selabu bertentangan dalam persoalan ideologi dan metodologi, yaitu golongan Sunnī dan golongan Shī’ah. Dalam terminologi hadis, kedua golongan ini memiliki pandangan yang berbeda. Metode kesahihan hadis Nabi yang didengungkan oleh golongan sunnī sama sekali berbeda dengan metode kesahihan hadis versi Shī’ah. Metode yang digunakan dalam karya ini adalah library research di mana penulis akan melakukan penelusuran terhadap karya-karya yang relevan yang berkaitan dengan perbedaan metodologis antara Sunnī dan Shī’ah dalam menentukan ṣahih tidaknya suatu hadis. Dalam kritik matan hadis dan kritik sanad hadis terdapat perbedaan yang mencolok di antara dua golongan tersebut. Perbedaan tersebut tentu saja pada akhirnya berujung pada perbedaan dalam hadis-hadis yang dianggap absah dan perbedaan dalam madzhab fiqh.

Kata kunci: Metode, Keṣahīhan, Hadith, Sunnī, Shī’ah

penerus Nabi sebagai kepala pemerintahan Dalam Islam terdapat beberapa golongan haruslah dipilih melalui konsensus dan yang saling bertentangan secara metodologis sebagian meyakini harus dari keturunan Nabi dan ideologis yang sudah ada sejak masa Muhammad sendiri yakni dari keturunan kekhalifahan Islam hingga saat ini. Diantara Fāṭimah yang menikah dengan Alī bin Abī Ṭālib. golongan Islam tersebut yang masih bertahan

A. Pendahuluan

Pergesekan tersebut memuncak ketika hingga saat ini adalah golongan sunni dan terjadi perang besar antara pasukan Alī bin golongan shī’ah.

Abī Ṭālib dengan pasukan Mu’awiyah bin Abī Ahl al-sunnah wa al-jamā’ah atau disebut Sofyan yang pada akhirnya berujung pada dengan sunnī adalah golongan yang mengikuti pembunuhan terhadap Alī bin Abī Ṭālib. al-Qur’ān dan hadits-hadits yang shahīh dengan

Konflik di antara dua golongan tersebut pemahaman para sahabat, tabi’īn dan tabi’ al- tidak saja terjadi pada ranah politik dan ideologi tabi’īn. sementara Shī’ah adalah golongan para namun juga terjadi dalam ranah metodologis, pengikut dan keturunan Alī bin Abī Ṭālib.

diantaranya adalah tentang metode kesahihan

Pergesekan antara dua golongan tersebut hadis menurut Sunnī dan metode kesahihan berawal ketika Nabi Muhammad SAW meninggal hadis menurut Shī’ah. Golongan Sunnī dunia dan tidak menunjuk salah satu sahabat memiliki metode kesahihan hadis sendiri dan untuk menggantikan posisinya sebagai kepala golongan Shī’ah juga metode kesahihan hadis pemerintahan. Sebagian meyakini bahwa sendiri yang tentu saja berbeda dengan metode

kesahihan hadis Sunnī.

* Dosen Jurusan Syari’ah dan Ekonomi STAIN Pamekasan.

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

B. Metode Keṣahīhan Hadis Menurut Sunni

2) Ulama hadis mengemukakan berbagai Hadis ṣahīh adalah hadis yang sanadnya

macam hadis yang telah dikemukakan oleh bersambung dengan dinukil dari perawi yang

para guru hadis, atau berbagai kitab, atau adil dan dhabīth dan matnnya tidak terdapat

lainnya, yang susunannya dikemukakan illat (penyakit) dan

berdasarkan riwayatnya sendiri, atau karena itu untuk menentukan hadis itu sanad

syādz (keganjilan). 1 Oleh

gurunya, atau temannya, atau orang lain, dan matn nya ṣahīh atau tidak maka harus

dengan menerangkan siapa periwayatnya dilakukan penelitian hadis.

dari para penyusun kitab, atau karya tulis Adapun langkah-langkah dalam melakukan

yang dijadikan sumber pengambilan. penelitian hadis Nabi menurut M. Syuhudi

3) Menunjukan asal-usul hadis dan Ismail adalah sebagai berikut:

mengemukakan sumber pengambilannya

1. Takhrīj al-Hadīth

dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para

a. Pengertian Takhrīj al-H{adīth periwayat yang juga sebagai penghimpun

Secara etimologis, kata takhrīj, berasal bagi hadis yang mereka riwayatkan.

dari kata kharaja,mendapat tambahan tashdīd/siddah pada ra (‘ain fi’il) menjadi 4) Mengemukkan hadis berdasarkan

kharraja yukharriju takhrījan yang berarti sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya

menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, disertakan metode periwayatnnya

menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya dan sanadnya masing-masing, serta

menampakkan sesuatu yang tidak jelas atau diterangkan keadaan para periwayatnya

sesuatu yang tersembunyi, tidak kelihatan dan

dan kualitas hadisnya.

masih samar. Penampakkan disini tidak mesti berbentuk fisik yang kongkrit, tetapi mencakup 5) Menunjukkan atau mengemukakan

non fisik yang hanya memerlukan tenaga letak asal hadis pada sumber yang asli, yakni berbagai kitab, yang di

dan pikiran seperti makna kata istikhrāj yang dalamnya dikemukakan hadis itu secara

diartikan istimbāt yang berarti mengeluarkan

2 hukum dari nash atau teks lengkap dengan sanadnya masing- Al-Qur’ān dan hadis. masing; kemudian, untuk kepentingan

Adapun secara terminologis, takhrīj adalah penelitian dijelaskan kualitas hadis yang

menunjukkan tempat hadis pada sumber-

bersangkutan. 4

sumber aslinya, dimana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya

b. Pentingnya Kegiatan Takhrīj al-Ḥadīth kemudian menjelaskan dengan derajatnya jika

Ilmu Takhrīj merupakan bagian dari ilmu diperlukan. 3 agama yang penting untuk dipelajari dan

Takhrij menurut istilah yang biasa dipakai dikuasai, karena di dalamya dibicarakan oleh ulama hadis mempunyai beberapa arti, berbagai kaidah untuk mengetahui dari yakni:

sumber hadis itu berasal. Ada beberapa hal

1) Mengemukakan kepada orang banyak yang menyebabkan kegiatan hadis itu penting dengan menyebut periwayatnya dengan untuk dilaksanakan terutama dalam kaitannya sanad lengkap serta dengan penyebutan dengan penelitian hadis, diantaranya sebagai metode yang mereka tempuh.

berikut:

1) Untuk mengetahui asal-usul riwayat

hadis yang akan diteliti. Jika suatu hadis

Teungku Muhammad Hasbi al-Shieddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009),

tidak diketahui asal-usulnya, maka hadis

hlm. 162.

tersebut sulit untuk diteliti status dan

2 Abdul Majid Khon, Ulūmul Hadīth (Jakarta: Amzah Press,

kualitasnya. Dengan demikian sanad

2010), hlm. 115. 3 Mahmud Tahhan, Taisīr Mustalah Hadīth (Bairūt: Dār Al-

4 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Qur’ān Karīm, 1979), hlm. 14.

(Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 39-40.

P-ISSN: 1978-6948

56 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176 Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

hadis ( al-takhrīj bi mathla’i al-ḥadīth), yaitu dilakukan kegiatan takhrīj.

dengan melihat lafāẓ pertama dalam

2) Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis matn hadis. Jika men takhrīj dengan cara yang akan diteliti. Jika hadis yang akan

ini peneliti harus tahu betul lafāẓ pada diteliti lebih dari satu sanad, maka untuk

awal matn hadis. Kitab-kitab yang menjadi mengetahui kualitas sanadnya terlebih

rujukan pada metode ini yaitu; dahulu harus diketahui seluruh riwayat

a) Al-Jāmi’ al-Ṣagīr, karya al-Suyutī. hadis yang bersangkutan untuk itu terlebih

b) Al-Fath al-Kabīr fi Dhammī al-Ziyādah ilā dahulu dilakukan kegiatan takhrīj.

Jāmi al-Ṣagīr, karya al-Suyuti.

3) Untuk mengetahui ada atau tidaknya

c) Jam’u al-Jawāmi’/al-Jam’u al-Kabīr, karya shāhid atau mutābi’ pada sanad yang diteliti.

Suyuti

Jika hadis yang diteliti memiliki periwayat

d) Al-Jāmi al-Azhar min Hadīth al-Nabi al- lain yang mendukung sanadnya, maka

Anwar, karya Abdu Rauf Tajudin al- periwayat pertama pada hadis terseebut

Munāwi.

(sahabat nabi) disebut sebagai shāhid.

e) Hidāyatu al-Bāri ilā Tartībi Ahādīth al- Apabila yang mendukung sanadnya bukan

Bukhāri, karya Abdu Rahīm al-Tahtāwi pada periwayat pertama (bukan sahabat),

2) Melalui pengenalan lafāẓ atau kata-kata maka periwayat itu disebut mutābi’. Dalam

yang merupakan bagian dari matn hadis penelitian sanad, shāhid yang didukung

( al-takhrīj bi alfāzi al-hadīth). Metode ini oleh sanad yang kuat dapat memperkuat

dipandang sebagai metode yang paling sanad yang diteliti. Begitu pula dengan

mudah, karena peneliti cukup mengambil mutābi’ yang memiliki sanad yang kaut,

satu atau lebih dari matn hadis, dan bisa maka sanad yang sedang diteliti dapat

dengan cepat mendapatkan hadis yang ditingkatkan kekuatannya jika didukung

dimaksud. Kitab yang dijadikan rujukan dengan mutābi’ tersebut.

pada metode ini yaitu al-Mu’jam al-Mufahras

4) Untuk mengetahui bagaimana pandangan karya Dr. A.J. Wensink, yang disusun para ulama tentang ke- ṣahīh-an suatu

berdasarkan huruf abjad. hadis.

3) Melalui pengenalan nama perawi pertama baik sahabat atau tabi’in ( al-takhrīj bi wā

c. Metode Takhrījul Ḥadīth Menelusuri hadis tidak sesulit yang

sithathi al-rawī a’lā). Untuk bisa menelusuri letak hadis ini, peneliti harus tahu betul

dipikirkan karena hampir sama dengan nama perawi pertama (

menelusuri akhīr al-sanad).

al-Qur’ān yang cukup dengan Kitab yang dijadikan rujukan pada metode sebuah kamus al-Qur’an, misalnya kitab al-

Mu’jam al-Mufahras li Al-fāzh al-Qur’ān al-Karīm ini adalah:

a) Kutub al-Aṭraf (aṭrāf al-ṣahīhain; karya yang disusun oleh Muhammad Fu’ād Abdul Abu Mas’ud Ibrahim, Aṭrāf Kutub al- Bāqi. Begitu pula dengan penelusuran hadis Sitta; karya Syamsudin,

Nabi, peneliti dapat merujuk pada sebuah kitab al-Ishrāf alā

yang dikarang oleh seorang orientalis yaitu: al- Ma’rifati al-Aṭrāf; karya Ibnu Asakir).

b) Tuhfatu al-Ashrāf, karya Jamaluddin Mu’jam al-Mufahras li Al-fāzh al-Syarīf al-Nabawy.

Akan tetapi dalam kitab itu hanya menghimpun Abu al-Hajaj al-Shāfi’i.

beberapa kitab hadis saja sehingga tidak semua Al-Naktu al-Ẓurrāf ‘alā al-Aṭrāf, karya

c)

kitab hadis, baik kitab shahīh, kitab matn, kitab Ibnu Hajar.

musnad dan sebagainya, tercakup dalam kitab Dhakhāiru al-Mawārīth, karya Abdul

d)

Ghani al-Damashq

tersebut.

Ada beberapa metode atau jalan yang dapat Kutub al-Masanīd, salah satunya adalah

e)

Musnad Ibnu Hambal. ditempuh dalam men- takhrīj hadis, yaitu: Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

4) Melalui pengenalan topik yang terkandung hadis yang akan diteliti baik dalam bentuk fi’il dalam matn hadis ( al-takhrīj bināan ‘alā maupun isim , kemudian mencari lafāẓ tersebut maudlū’i al-hadīth). Kitab yang dijadikan pada kamus hadis yang menjadi rujukan

rujukan pada metode ini banyak sekali metode ini. diantaranya adalah:

Kitab-kitab yang diperlukan untuk

a) Kanzul ‘Ummāl li Hindi metode takhrīj ini, selain kitab kamus hadis,

b) Bulugu al-Marām li Ibni Hajar juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi

c) Al-Tarhīb wa Targīb li Mundhiri rujukan dari kitab kamus itu. Kamus hadis

d) Fathu al-Qadīr li Shaukāni yang dimaksud adalah al-Mu’jam al-Mufahras.

5) Melalui pengenalan sifat hadis ( al-takhrīj Penyusunan hadis dalam kitab ini mulai dari ‘alā sifati zāhirah fi al-hadīth), misalnya al-af’āl al-mujarradah berdasarkan huruf al-

hadis Qudsi, Mashhūr, Mursal atau lainnya. mu’jam, kemudian ismu al-fā’il, ismu al-mafūl Kitab-kitab yang dijadikan rujukan yaitu;

dan seterusnya. Selanjutkan setelah lafāẓ-lafāẓ

a) Al-Maqāsid al-Hasanah li Shakhawi itu, ada petunjuk bahwa lafāẓ tersebut ada

b) Al-Marāsīl li Abi Dāwud di kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus

c) Al-Ahadīth Qudsiyah li Lajnah al-Qur’an ini lengkap dengan petunjuk kitab, juz dan wa al-Hadīth 5

bab, bahkan halamannya pada hadis yang

Dari metode tersebut, metode yang kedua dimaksud. Sedangkan kitab-kitab hadis yang dianggap paling praktis dalam melakukan menjadi rujukannya adalah Kutub al-Tis’ah.

takhrīj hadis. Alat yang dipakai dalam Kelebihan dari metode ini antara lain: metode ini adalah al-Mu’jam al-Mufahras • Dapat cepat mendapatkan hasil takhrīj li al-Fāzil al-Hadīth al-Nabawiyah karya A.J. • Dalam kitab Mu’jam al-Mufahras disebutkan

Wensink, yang diterjemahkan ke dalam hadis-hadis dimaksud lengkap dengan bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ād Abdul

petunjuk nama kitab, bab, halaman, dan Bāqī. Kitab ini disusun dengan merujuk

juznya, memudahkan dalam pencarian kepada sembilan kitab hadis induk, yaitu;

hadis.

1) Ṣahīh al-Bukhāri • Dengan satu lafāẓ saja dari matn hadis

2) Ṣahīh Muslim yang dibutuhkan bisa dengan mudah

3) Sunan Abi Dāwud mengetahui letak hadis yang dimaksud.

4) Sunan al-Tirmidzi Sedangkan kekurangannya adalah kitab

5) Sunan al-Nasāī Mu’jam al-Mufahras yang menjadi rujukan

6) Sunan Ibnu Mājah metode ini hanya terbatas pada Kutub al-Tis’ah,

7) Sunan al-Dāramī sehingga jika hadis yang diteliti tidak ada

8) Muawaṭa Mālik dalam kutub al-Tis’ah maka akan gagal dalam

9) Musnad Ahmad bin Hambil men takhrīj hadis yang dimaksud, sehingga M. Syuhudi Ismail dalam bukunya (Cara perlu dengan metode lain Praktis Mencari Hadis) mengemukakan; bahwa

Contoh takhrīj hadis, misalnya hadis dari metode takhrīj hadis ada dua macam, yakni Anas bin Malik : takhrīj al- hadīth bi lafzi dan takhrījul hadīth bi al-

mawdū’. Berikut ini dijelaskan sepintas tentang dua macam metode takhrījul al-hadīth menurut

Kalimat yang diambil misalnya بحي , lafal

Syuhudi Ismail: tersebut dikembalikan ke fi’il al-mādi mujarrad

1) Metode Takhrīj al-Hadīth bi al-Lafzi

yaitu بح , huruf h dan ba, ternyata lafal tersebut

Untuk penelusuran hadis lewat metode ada di Mu’jam al-Mufahras juz pertama halaman ini cukup mengambil sebagian lafāẓ dari matn 405. Matn hadis tersebut ditemukan di halaman

407, tertulis dalam halaman tersebut bahwa

5 Abd. Muhdi Abdul Qadir, Turuqu Takhrīj Hadīth Rasulillah

hadis yang dimaksud terdapat di beberapa

(Kairo: Dār I’tiṣām, 1986), hlm. 24.

P-ISSN: 1978-6948

58 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176 Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

a) Sahīh al-Bukhāri, kitab no. 78, bab no.12.

a) Sahīh Muslim, kitab īman, no hadis 71, 72.

b) Sahīh Muslim, kitab no.45 hadis no.16-22.

b) Sahīh al-Bukhāri, kitab īman, no. Hadis 7.

c) sunan al-Tirmidhi, kitab no.25, bab no.9

c) Sunan al-Tirmidzi, kitab Qiyāmah, no hadis 59.

dan49.

d) Sunan Nasāi, kitab īman, no. Hadis 19

d) Musnad Ahmad bin Hambal, juz2 hlm.189,484.

e) Sunan ibnu Mājah, Muqadimah no hadis 9

Juz 3 hlm.156, 229,247.

f) Sunan al-Darāmi,kitab Istidhan, 5 Untuk zaman sekarang yang serba modern,

g) Musnad Ahmad bin Hambal, juz 1 hlm. 89. Juz 3 dalam men tahrīj hadis lebih praktis lagi jika hlm. 176, 206, 251

menggunakan perangkat komputer melalui bantuan program Maktabah Shamilah, Kutub

2) Metode Takhrījul Hadīth bi al-Maudu’ al-Tis’ah atau lainnya yang sudah tercakup di

Metode ini berdasarkan topik dalamnya semua kitab hadis dan ilmu hadis.

permasalahan, misalnya hadis yang akan diteliti hadis tentang kawin mut’ah. Untuk menelusurinya diperlukan bantuan kamus

2. Penelitian Sanad Hadis

hadis yang dapat memberikan keterangan 7 a. Melakukan I’tibar dan membuat sekema berbagai riwayat tentang topik terebut.

sanad

b. Meneliti pribadi periwayat dan metode ini adalah kamus Miftāh Kunūz al-Sunnah karya

Kitab-kitab yang diperlukan untuk metode

periwayatannya

1) Mengacu pada kaidah kesahihan sanad dalam versi enggris oleh A.J. Wensink dkk

A. J. Wensink dkk. Kitab itu sebenarnya disusun

a) Bersambung sanadnya dari dengan judul a Handbook of Early Muhammadan

mukharrij sampai kepada Nabi dan diterjemahkan ke dalam bahasa oleb oleh

b) Seluruh periwayat harus adil dan Fu’ad Abdul Bāqī. Kitab itu menghimpun 14

dhabith

kitab lainnya, selain yang menjadi rujukan

c) Terhindar dari syādz (kejanggalan) dalam Mu’jam al-Mufahras lī alfādz al-Hadīth al-

dan illat (cacat)

Syarīf al-Nabawy, yang menjadi rujukan kamus

2) Meneliti kualitas pribadi periwayat tersebut ditambah lagi dengan kitab Musnad

dan kualitas intelektual periwayat. Zaid bin ‘Ali, Musnad Abu Daud al Tayalisi, Tabaqat

3) Meneliti periwayat yang ta’dīl dan

Ibn Sa’ad, Sirah Ibn Hisyam dan Magazi al Waqidi. 6 tajrīh.

4) Meneliti persambungan riwayat tahu topik permasalahn dalam hadisnya, maka

Kelebihan metode ini adalah jika peneliti

dengan melihat guru, murid dan tahun bisa langsung membuka pada kitab-kitab yang

wafatnya.

dijadikan rujukan metode ini pada bab topik 8 syādz dan ‘illat. tersebut. Sedangkan kekurangannya adalah

5) Meneliti

c. Menyimpulkan

jika peneliti kurang faham atau masih samar Hasil dari langkah-langkah penelitian akan permasalahan dalam hadisnya maka akan

sanad adalah menemukan apakah sanad menemukan kesulitan dalam mentakhrijnya.

hadis yang diteliti bersifat mutawātir atau Contoh takhrīj hadis pada metode ini,

ahad. Jika sanadnya ahad maka ditentukan misalnya hadis dari Abi Hurairah :

apakah hadis ahad itu ṣahīh, hasan atau dha’īf. Bila perlu disertakan penjelasan

apa hadis itu hasan lī dzātihī atau hasan lī

ghairihī.

Hadis tersebut topiknya adalah ماحرلاا (silaturrahmi), terdapat dalam beberapa kitab;

6 M. Syuhudi Ismail, Metodologi …………….. hlm. 44-47. 7 I’tibar adalah menyertakan sanad yang lain, baik dari Lihat juga Abu Muhammad Abdul Muhdi, Turuq Takhrij Hadith

syahīd atau mutābi’, untuk suatu hadis tertentu. Rasulillah SAW (Kairo: Dār. I’tisām, 1997), hlm. 90

8 M. Syuhudi Ismail, Metodologi …………….. hlm. 60-85

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

3. Penelitian Matn Hadis

Adapun langkah-langkah dalam melakukan

Kata matn berasal dari bahasa Arab matn penelitian matn hadis adalah sebagai berikut: yang berarti “ punggung jalan” atau “ bagian

a. Melihat kualitas sanad hadis

Dilihat dari segi objek penelitian, matn dirangkai menjadi matn al Hadith, menurut dan sanad hadis memiliki kedudukan yang al- Thibiy, seperti yang dinukil oleh Musfir al- sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti Damini, adalah :

tanah keras yang menonjol ke atas” 9 Apabila

dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis. Dalam urutan kegiatan penelitian,

يناعملا اهب موقتت يتلا ثيدحلا ظافلا ulama’ hadis mendahulukan penelitian sanad

“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk atas penelitian matn. Hal ini bukanlah berarti makna-makna” 10 bahwa sanad lebih penting dari pada matn.

Definisi ini sejalan dengan pandangan Ibnu Bagi ulama’ hadis, dua bagian hadis itu sama- Al-Atsir al-Jazari (w:606) bahwa setiap matn sama pentingnya, hanya saja penelitian matn

hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi elemen makna (konsep). 11 Dengan demikian, matn hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas komposisi ungkapan matn hadis pada memenuhi syarat. Tanpa adanya sanad, maka hakikatnya adalah cerminan konsep ide yang suatu matn tidak dapat dinyatakan sebagai intinya dirumuskan berbentuk teks. Susunan bersasal dari Rasulullah. 14 kalimat dalam

matn al-hadīth berfungsi sebagai Apabila dilakukan studi banding dengan sarana perumus konsep keagamaan versi cara menukil (mengutip) teks ayat al Qur’an, Hadis. Teks

matn al-hadīth disebut juga nash al- sepanjang menyangkut data-data Tauqīfi,

12 hadīth atau nash al-riwāyah. maka tidak diperlukan dukungan sanad. Khathīb al-Baghdādī menyatakan bahwa Perlakuan itu terjadi berkat jaminan sifat ke-

unsur-unsur yang matn hadis yang maqbūl mutawātir-an data yang melekat pada mushaf. (diterima karena berkualitas

13 ṣahīh) apabila: Sementara itu komponen mushaf yang diakui

a. Tidak bertentangan dengan akal yang tauqifi meliputi: bentuk kosa kata (mufradāt);

sehat. komponen kalimat; tata letak ayat dalam

b. Tidak bertentangan dengan hukum al- surah masing-masing dan cara tulis huruf Qur’an yang muhkam.

hijaiyah al Qur’an berpedoman pada gaya rasm

c. Tidak bertentangan dengan hadis uthmāni. Sekiranya orang ingin mengoper hal-

mutawatir. hal yang ijtihadi, karena bersifat terminologis,

d. Tidak bertentangan dengan amalan yang maka dibutuhkan dukungan sanad, seperti telah menjadi kesepakatan ulama’ masa cara baca teks al-Qur’an, aplikasi kaidah tartil lalu (ulama’ salaf).

dalam tilawah termasuk waqaf dan waṣal, cara

e. Tidak bertentangan dengan dalil yang menghitung jumlah satuan ayat dalam surat, telah pasti.

riwayat sabab nuzūl, makna mufradāt dan tafsir

f. Tidak bertentangan dengan hadis

aḥad ayat.

yang kualitas kesahihannya lebih kuat. Oleh karena peran sanad bagi hal-hal yang ijtihādi itulah, maka berlaku kriteria

qirā’ah (mutawātir, ahād dan shāz). Sanad

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut : Dar Lisan al-Arab, tt) III: hlm. 438-435

qira’ah difungsikan sebagi sarana untuk

10 Al-Damini, Maqāyis Naqd Mutūn al-Sunnah, (Riyādh: t.p,

mengondisikan landasan bagi sistem proteksi

1984) hlm. 50

bagi al Qur’an. Bukankah cara baca teks ayat,

11 Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar

karena berbeda dan mengubah I’rab atau alih

(Mesir: Isa al- Babi, 1963) Juz I, hlm. 4 12 Al-Adlabi, Manhaj naqd al-matn

bentuk kata, bisa berakibat pada perubahan

, (Beirut: Dār al-Āfāq al-

Jadīdah) hlm. 30

dari dalālāh haqīqiyah hingga dalālāh nisbiyah.

13 Khathīb Al-Baghdādī. Kitāb al-Kifāyah Fī Ilm Al-Riwāyah (Mesir: Mathba’ah al-Sa.ādah, 1972), hlm. 206-207

14 Syuhudi Isma’il, Metodologi ……………….. hal 114

P-ISSN: 1978-6948

60 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

Dalalah haqiqiyah berkecenderungan sama lebih ditentukan oleh tingkat kredibilitas pada setiap pengkaji al Qur’an sedang dalalah perawi dengan sifat kecenderungannya dalam nisbiyah bisa dipengaruhi hal-hal di luar teks.

beriwayat.

Proses periwayatan hadis memperlihatkan Hasil uji hipotesis tentang gejala shāz pada dominasi fungsi ijtihad yang melibatkan perawi matn hadis ternyata berbanding lurus dengan selaku saksi primer hingga mukharrij yang keberadaan rawi hadis (sanad) yang shāz. mendokumentasikan hadis dan fakta proses Shu’bah bin al Hajjaj (w. 160 h) sebagaimana periwayatan hadis terbesar bersifat ahad. Oleh dikutip oleh Khātib al-Baghdādī (w. 463 h) karenanya keberadaan sanad untuk penyajian dalam al kifāyah menegaskan: setiap unit hadis mutlak diperlukan.

Adapun langkah prosedural penelitian hadis berlaku keharusan mendahulukan kritik

“Tidak datang kepadamu hadis yang shādh kecuali sanad, tradisi itu didasarkan atas pertimbangan

riwayat hadis itu melalui orang yang shādh pula.” pertimbangan sebagai berikut:

Memang dalam aplikasi kaidah untuk

1) Latar belakang sejarah periwayatan menduga gejala shādh pada matn hadis, hadis sejak mula didominasi oleh tradisi harus dilakukan uji ke ḍabitan (thiqah) perawi penuturan (shafahiyah) setidaknya hingga yang merupakan bagian dari kegiatan kritik generasi Tabi’in dan amat sedikit data hadis sanad. Hasil temuan akan memunculkan yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu status berbeda. Bila perawi yang kedapatan memposisikan silsilah keguruan dalam menyimpang dalam matn hadis itu sesama

proses pembelajaran menjadi penentu orang thiqah, maka hadisnya distatuskan shāz. data kesejarahan hadis, karena kecil Tetapi bila perawi btersebut tidak thiqah, kemungkinan menyandarkan kepada maka matn hadis yang menyimpang itu dokumentasi hadis.

dikategorikan mungkar. Prosedur pendugaan

2) Upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan gejala penyimpangan (kelainan) adalah

hadis ternyata efektif bila ditempuh dengan dengan memperbandingkan antar teks matn mengidentifikasi kepribadian orang-orang dari perawi yang berbeda. yang secara berantai meriwayatkan hadis

Karena beban tanggung jawab penelitian yang diduga palsu.

matn termasuk sangat berat, maka wajarlah Proses penghimpunan hadis secara formal bila kegiatan penelitian hadis (sanad dan

memakan waktu yang lama (sejak abad ke 2 matn) dimasukkan pada salah satu kegiatan hijriyah hingga 3 abad kemudian) melibatkan ijtihad dengan segala persyaratan yang harus banyak orang dengan pola koleksi, cara seleksi dipenuhinya. Dengan memasukkan kegiatan dan sistimatika yang beragam. Namun tanpa penelitian hadis kepada kegiatan ijtihad, maka ada kesepakatan sebelumnya, telah terjadi berlakulah ketentuan umum yang menyatakan kekompakan di kalangan ulama kolektor hadis bahwa sang mujtahid akan mendapat satu dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota pahala bila hasil ijtihadnya ternyata salah dan bagi keberadaan matn, terbukti hampir seluruh akan mendapat dua pahala bila ternyata hasil kitab koleksi hadis menempatkan rangkaian ijtihadnya benar. sanad sebagai pengantar riwayat, minimal

b. Meneliti susunan lafadh yang semakna nama perawi terutama pada pola penyajian

Banyak Hadis yang memiliki matn hadis hadis mua’allaq.

yang semakna dengan sanad yang sama-sama

Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran sahihnya tersusun dengan lafal yang berbeda. ( riwāyah bi al ma’nā) yang tidak merata dan Misalnya hadis tentang Niat. Hadis itu di takhrīj diketahui sebagian perawi lebih berdislipin oleh imam Bukhārī, Muslim, Dāūd, Turmudzī, meriwayatkan secara harfiyyah (riwāyah bi al- Nasā’ī, Ibnu Mājah dan Ahmad bin al Hanbal,

lafzi), maka uji kualitas komposisi teks matn

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

hadīth yang menjadi pendukung mata rantai Dengan adanya perbedaan lafadh tersebut, sanad terdiri dari periwayat yang thiqah semua.

maka Syuhudi Ismail menawarkan metode Jika terdapat hadis yang saling bertentangan muqaranah yaitu membandingkan matn kandungan maknanya, maka harus diselesaikan yang berbeda dan sanad-sanadnya. Dengan pertentangannya. Syafi’i berpendapat bahwa melakukan muqaranah, maka akan ditemukan salah satu hadis itu ada yang mujmāl, ‘ām dan adanya ziyādah dan idrāj dalam hadis yang nāsikh sementara yang lainnya mufassar, khāṣ berbeda lafaddnya.

mansūkh. 18 Al-Qarafī menempuh jalan Ziyādah adalah tambahan lafadh atau 19 tarjīh. Al-Thahāwanī menempuh cara nasakh

dan

kalimat yang terdapat pada matn, tambahan kemudian tarjīh. 20 Al-Adlabī menempuh cara al- itu dikemukakan oleh periwayat tertentu jam’u kemudian

tarjīh. 21 Ibn al-Ṣalāh menempuh sedangkan periwayat yang lainnya tidak al-jam’u, nasakh kemudian

tarjīh. 22 Muhammad mengemukakannya. 16 Adīb Shālih menempuh al-jam’u, tarjīh lalu

Sedangkan idrāj adalah memasukkan 23 nasakh. Ibn Hajar al-Athqalanī menempuh al- pernyataan dari periwayat ke dalam matn hadis

jam’u, nasakh, tarjīh lalu tauqīf. 24 yang diriwayatkan sehingga menimbulkan

d. Menyimpulkan hasil penelitian matn dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari

Kesimpulan dari langkah-langkah penelitian Nabi, karena tidak adanya penjelasan dalam

17 matn hadis itu. matn adalah ditemukannya kualitan matn yang

ṣahīh atau yang dha’īf.

c. Meneliti kandungan matn Setelah susunan lafaẓ diteliti, maka

C. Metode Keṣahīhan Hadis Menurut Shī’ah

langkah berikutnya adalah meneliti kandungan

1. Pengertian shī’ah

matn. Dalam meneliti kandungan matn, perlu Perkataan Shī’ah secara harfiah berarti diperhatikan matn-matn dan dalil-dalil lain pengikut, partai, kelompok atau dalam arti

yang memiliki topik masalah yang sama. yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan Untuk mengetahui ada atau tidak adanya matn secara khusus, perkataan “Shī’ah” mengandung lain yang memiliki topik masalah yang sama, pengertian shī’atu ‘Aliyyīn, pengikut atau perlu dilakukan takhrīj al-hadīth bī al-maudhū’.

pendukung ‘Alī bin Abī Thālib. 25 Apabila ada matn lain yang bertopik sama, maka matn itu perlu diteliti sanadnya. Apabila

18 Syafi’I, Kitab al-Mukhtalif al-Hadīth (Beirut: Dār al-Fikr,

sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan 1983), hlm. 598-599 Muqaranah kandungan matn-matn tersebut

19 Al-Qarafi,. Syarah Tanqīh al-Fus}ūl (Beirut: Dār al-Fikr,

dilakukan.

1973), hlm. 420-425

20 Di kalangan muhaddisīn terdapat pernyataan Al-Thahāwani, Qawāid fī Ulūm al-Hadīth (Beirut: Dār al-

Qalam, 1972), hlm. 288

bahwa, “tidak berlaku keharusan bahwa sanad

21 Al-Adlabī, Manhaj……….. hlm. 273 22 Al-Harawī, Jawāhir al-Uṣūl fī ‘Ilm Hadīth al-Rasūl (Madinah:

15 A. J. Wensinck, Mu’jam al Mufahras li alfadz al hadis

Maktabah al-Ilmiah, 1373 H), hlm. 40

(Leiden, E.J. Brill, 1936) hal 35 23 Muhammad Adīb Shāliḥ, Lamahāt fī Ushūl al-Hadīth 16 Nūr al-Dīn al-Itr, Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-Hadīth

(Beirut: Maktabah al-Islamī, 1399 H), hlm. 80-81 (Damaskus, Dār al-Fikr, 1979), hlm. 425

24 Ibn Hajar al-Athqalanī, Nuzhatun Nazar (Semarang: 17 Lihat. Muhammad Ajjāj al-Khathīb, U{s}ūl al-Hadīth

Maktabah al-Munawwar), hlm. 24-25

Ulūmuhū wa Mus}thalahuhū (Beirut: Dār al-Fikr, 1975), hlm. 25 Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan 370-371 dan Mahmud al-Thahhān, Tafsīr Mus}thalah al-Hadīth

Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, (Baerut: Dār al-Qur’ān al-Karīm, 1979), hlm. 102

hlm. 125.

P-ISSN: 1978-6948

62 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

Kata Shī’ah menurut pengertian bahasa e. Muhammad bin Alī (676–743), juga dikenal secara umum berarti kekasih, penolong,

dengan Muhammad al-Bāqir. pengikut dan lain-lainnya, yang mempunyai

f. Ja’far bin Muhammad (703–765), juga makna membela suatu ide atau membela

dikenal dengan Ja’far al-Ṣādiq. seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam g. Mūsā bin Ja’far (745–799), juga dikenal

pengertian yang modern. Kata Shī’ah dengan Mūsā al-Kadzīm. digunakan untuk menjuluki sekelompok h. Alī bin Mūsā (765–818), juga dikenal dengan

umat Islam yang mencintai ‘Alī bin Abī Thālib

Alī al-Ridhā.

karramallāhu wajhah secara khusus, dan sangat i. Muhammad bin Alī (810–835), juga dikenal fanatik. 26

dengan Muhammad al-Jawwād atau Shī’ah adalah salah satu aliran dalam Islam

Muhammad al-Taqī.

yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak j. Alī bin Muhamad (827–868), juga dikenal menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi

dengan Alī al-Hādī.

Muhammad SAW adalah keluarga Nabi SAW k. Hasan bin Alī (846–874), juga dikenal sendiri (ahl al-bait ). Dalam hal ini adalah ‘Abbās

dengan Hasan al-Ashkarī bin ‘Abd al-Muththalib (paman Nabi SAW) dan l. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal ‘Alī bin Abī Thālib (saudara sepupu sekaligus

dengan Muhammad al-Mahdī. menantu Nabi SAW) beserta keturunannya. 27

3. Definisi Hadis Menurut Shī’ah

Hadis, menurut shī’ah, adalah perkataan, Golongan shī’ah mempunyai beberapa imam perbuatan, penetapan dan kebiasaan Nabi yang mereka yakini sebagai pengganti Rasūlullāh Muhammad SAW dan para imam shī’ah yang SAW, sebagaimana pemahaman shī’ah Imāmiah, berjumlah 12. Dengan demikian, apa yang

2. Imam-Imam Shī’ah

dalam hal kepemimpinan umat bukan sebagai disebut dengan hadis atau sunnah menurut Rasūl pengganti Muhammad SAW. Imam- golongan shī’ah bukan saja apa yang bersumber

imam shī’ah yang dianggap sebagai orang yang dari Nabi Muhammad SAW namun juga apa ma’ṣūm oleh golongan shī’ah dan semua yang yang bersumber dari imam-imam shī’ah yang

berasal dari mereka dianggap sebagai sebuah berjumlah 14. Tidak seperti anggapan jumhur hadis merupakan anak dari Imam sebelumnya ulama’ (ahl al-sunnah) yang berpendapat kecuali Husain bin Ali, yang merupakan saudara bahwa era wurūd al-sunnah tidak terhenti dari Hasan bin Alī. Adapun imam-imam shī’ah dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW namun

tersebut adalah sebagai berikut: 28 berlanjut terus hingga masa kegaiban besar

a. Alī bin Abī Thālib (600–661), juga dikenal Imam Muhammad bin Hasan al-Askarī pada dengan Amīr al-Mukminīn.

941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kitab-

b. Hasan bin Alī (625–669), juga dikenal kitab hadis Shī’ah ditulis dan dikodifikasikan dengan Hasan al-Mujtabā.

dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi

c. Husain bin Alī (626–680), juga dikenal itu tidak berarti bahwa kitab hadis Shī’ah baru dengan Husain aal-Shahīd.

ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang.

d. Alī bin Husain (658–713), juga dikenal Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada dengan Alī Zainal Ābidīn.

hadis Sunni.

Golongan Shī’ah tak mengenal adanya kitab

26 Abdul Mun’īm al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen ṣahīh seperti dalam tradisi sunni. Pengumpul

Syi’ah (t.t.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), hlm. 34-35.

hadis tak pernah mengklaim hadisnya ṣahīh

(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, jilid 3, hlm. atau tidak namun hanya mengumpulkan dan

Muhammad Amin Suma, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam

menyerahkan penilaian pada masing-masing

28 Haekal Siregar, “12 Imam Versi Syi’ah”, dalam “http:// pakar, terutama yang ingin berijtihad. Bahkan

haekalsiregar.wordpress.com/2007/05/23/15/#more-15” (17 Februari 2010), hlm. 1.

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

seorangpun yang jelas mengecamnya dan tidak ada pula yang secara jelas mengakui

4. Klasifikasi Hadis Menurut Shī’ah

ke- adālah-annya. Dengan demikian, hadis Hadis, menurut Shī’ah terbagi menjadi dua

mursal dan munqathi’ tidak termasuk dalam bagian hadis hasan. bagian, 32 mutawātir dan ahad. Hadis mutawātir

adalah hadis yang diriwayatkan oleh sebuah

c. Muwaththaq

jama’ah yang mencapai jumlah yang amat besar Hadis muwaththaq, atau disebut juga dengan sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan

hadis qawī adalah hadis yang diriwayatkan salah. Hadis seperti ini adalah hujjah dan harus

oleh perawi yang bukan dari kalanga dijadikan landasan dalam beramal. Sedangkan

Shī’ah, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan. hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai 33

derajat tawātur, rawi yang diriwayatkannya d. Dha’īf

adalah satu atau lebih. Kemudian, hadis ahad Hadis dha’īf adalah hadis yang tidak diklasifikasikan menjadi empat bagian. 30

termasuk dalam kriteria hadis ṣahīh, hasan

a. Ṣahīh

dan muwaththaq.

Hadis ṣahīh adalah setiap hadis yang para Ketahuilah bahwa hadis ṣahīh menurut perawinya bersambung dengan salah satu madzhab shī’ah wajib diamalkan. Sedangkan

imam yang ma’ṣum dengan perantara hadis hasan dan muwaththaq menurut pendapat perawi yang adil dari kalangan shī’ah. shī’ah yang terkenal masih bisa dijadikan Dengan demikian maka hadis mursal dan hujjah. Adapun hadis dha’īf semua sepakat untuk

munqathi’ tidak termasuk dalam bagian tidak mengamalkan dan tidak menjadikannya

hadis ṣahīh. pengarang kitab Al-Dāriyah sebagai hujjah. 34

menyatakan bahwa hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi

5. Kritik Sanad

dari golongan shī’ah yang ma’ṣūm dan a.

Klasifikasi Perawi

tidak bertemu langsung dengan sumber Klasifikasi seorang perawi yang maqbul utama hadis tersebut. Hal ini semakna

menurut shī’ah adalah: 35 dengan pengertian hadis mursal ṣahābī,

1) Islam

menurut jumhur ulama’, yang mana

2) Baligh

perawi meriwayatkan hadis Nabi SAW

3) Berakal

melalui perantara sahabat yang lain.

4) Adil

Mayoritas ulama’ shī’ah sepakat untuk

5) Dhabīth

tidak mengamalkan hadis mursal tersebut.

6) Iman (penganut maẓhab shī’ah). Sedangkan hadis munqathi’ tidak termasuk

b. Ketersambungan Sanad

dalam bagian hadis ṣahīh karena tidak Shī’ah Imāmiyah juga menekankan adanya ittiṣāl (bersambung) dengan sumber

31 utama hadis tersebut. tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma’ṣūm. Meski

b. Hasan sanad itu kemudian tidak bersambung

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung kepada Nabi SAW, sebab perkataan imam

sanadnya dan diriwayatkan oleh rawi yang itu sendiri adalah hujjah dan sunnah

sehingga tidak perlu dipertanyakan dari

Musa Kazhīm, “Shī’ah Dan Ilmu Hadis”, dalam http:// www.abna.ir/data.asp?lang=11&id=295052” (10 Februari

2012). hlm. 2. 32 Muhammad Shukrī al-Alusī. Akhbār...... hlm. 19

Muhyiddīn al-Musāwī al-Guhraify. Qawā’id al-Hadīth 33 Muhammad Shukrī al-Alusī. Akhbār....... hlm. 20 (Beirut: t.p, 1986), hlm. 24. 34 Muhammad Shukrī al-Alusī. Akhbār....... hlm. 20-21

Muhammad Shukrī al-Alusī. Akhbār al-Shī’ah Wā Ahwāl 35 Muh Ikhsan, 0022Metodologi Kritik Hadis Dalam al-Ruwwātihā (t.t: t.p, 1422 H), hlm. 11

pandangan Shī’ah Imāmiyah” (Makalah), hlm. 7-14.

P-ISSN: 1978-6948

64 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176 Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

a. Menimbang matn dengan al-Qur’an itu bersambung kepada Nabi SAW tanpa

Cara pertama yang dilakukan golongan perantaraan seorang imam, maka hadis

shī’ah dalam melakukan kritik matn semacam ini tidak dapat diterima. Ini

hadis adalah memdandingkannya dengan disebabkan oleh:

al-Qur’an. Jika matn hadis tersebut

1) Keyakinan Shī’ah Imāmiyah bahwa bertentangan dengan al-Qur’an maka pengetahuan akan ke ṣahīhan sebuah

hadis itu ditolak.

hadis sepenuhnya hanya diketahui

b. Menimbang matn dengan Hadis melalui jalur para imam.

Cara kedua yang dilakukan golongan

2) Karena Rasūlullāh SAW telah shī’ah dalam melakukan kritik matn hadis menyembunyikan sebagian sharī’at

adalah memdandingkannya dengan hadis. dan hukum kepada para imam untuk

Namun, seperti yang sudah dijelaskan kemudian disebarkan jika saatnya

sebelumnya, definisi hadis menurut shī’ah tepat nanti. 36 bukan hanya perkataan, perbuatan dan

c. Keadilan Perawi penetapan Rasūlullāh SAW namun juga Dalam menentukan keadilan seorang

perkataan, perbuatan dan penetapan para perawi, shī’ah menggantungkan pada

imam shī’ah yang ma’ṣūm. penilaian para kritikus hadis shī’ah. Jika

c. Menimbang matn dengan Ijma’ para kritikus hadis shī’ah menilai ta’dīl

Cara kedua yang dilakukan golongan seorang perawi maka hadisnya dapat

shī’ah dalam melakukan kritik matn hadis diterima. Sebaliknya, jika para kritikus

adalah memdandingkannya dengan ijma’. hadis shī’ah menilai jarh seorang perawi

Ijma menurut shī’ah berbeda dengan ijma’ maka hadis ditolak.

dalam pengertian golongan ahl al-sunnah. Diantara para kritikus hadis shī’ah yang

Ijma’ menurut shī’ah adalah kesepakatan terkenal adalah imam-imam shī’ah yang

ulama’, baik sedikit maupun banyak, yang ma’ṣūm, 6 murid al-Bāqir, 6 murid al-Ṣādiq, 6

mencakupi perkataan imam shī’ah yang murid al-Kāẓim, Muhammad Ibn Abī Umair,

ma’ṣūm.

Ṣafwān bin Yahyā, Ahmad bin Muhammad

d. Menimbang matn dengan Akal bin Abī Nashr al-Bizanty, Ahmad bin Alī al-

Cara kedua yang dilakukan golongan Najāshī, Ahmad Muhammad bin Īsā, Ja’far

shī’ah dalam melakukan kritik matn hadis bin Bashīr al-Bajālī, Muhammad bin Ismā’īl

adalah memdandingkannya dengan akal. al-Za’farānī dan sebagainya.

Seperti halnya golongan ahl al-sunnah, Sebagaimana kelompok ahl al-sunnah,

shī’ah juga memposisikan akal sebagai shī’ah juga memiliki kitab-kitab rijāl

salah satu sandarah hukum mereka. Akal yang dijadikan sebagai rujukan dalam

bisa dijadikan sebagai sandaran jika akal menjelaskan biografi seorang perawi.

tersebut tidak bertentangan dengan al- Adapun kitab-kitab rijāl tersebut dijelaskan

Qur’an, hadis dan ijma’.

pada pembahasan selanjutnya. 37

7. Kitab-Kitab Hadis Shī’ah

Dalam kalangan Shī’ah, kitab-kitab hadis Secara umum, Golongan Syiah Imamiyah yang dijadikan sebagai rujukan utama dan melakukan kritik matn hadis dengan 4 cara, berfungsi layaknya kutūb al-sittah dalam

6. Kritik Matan

yang juga sebenarnya diakui dan digunakan kalangan sunni ada sebanyak 4 kitab yaitu: 39 oleh Ahl al-Sunnah, yaitu: 38

36 Muh Ikhsan, 0022Metodologi Kritik Hadis.... hlm. 11-14. 39 “http://media.isnet.org/islam/Etc/Kattani.html”, 37 Muh Ikhsan, 0022Metodologi Kritik Hadis..... hlm. 8-11.

“Sekilas Tentang Faham Shī’ah”, dalam media.isnet.org/ 38 Muh Ikhsan, 0022Metodologi Kritik Hadis.... hlm. 14-17.

islam/Etc/Syiah03.html, (10 Februari 2012), hlm. 3.

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

Muhammad bin Ya’qūb al-Kulaynī (w.328 tentang rijāl periwayat hadis. Di antara kitab- H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: menampung sebanyak 16.090 hadis. Di Kitab al-Rijāl, karya Ahmad bin ‘Alī al-Najāshī

dalamnya sang penyusun menyebutkan (w.450 H.), Kitab Rijāl karya Shaikh al-Thūsī, sanadnya hingga al-ma’shūm. Dalam kitab kitab Ma’ālim ‘Ulamā’ karya Muhammad bin hadis tersebut terdapat hadis ṣahīh, hasan, ‘Alī bin Shahr Ashūb (w.588 H.), kitab Minhaj muwatstsaq dan dha’īf.

al-Maqāl karya Mirzā Muhammad al-Astrabady

b. Kitab Mā Lā Yahdhuruhū al-Faqīh. Disusun (w.1.020 H.), kitab Itqān al-Maqāl karya Syaikh oleh al-Shadūq Abī Ja’far Muhammad bin Muhammad Thāhā Najāf (w.1.323 H.), kitab

‘Alī bin Babawaih al-Qummī (w.381 H.). Rijāl al-Kabīr karya Syaikh Abdullāh al- Kitab ini merangkum 9.044 hadis dalam Mumaqmiqanī, seorang ulama’ abad ini dan

masalah hukum.

sebagainya. 40

c. Kitab al-Tahzīb. Kitab ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin al-Hasan al-Thūsī

D. Analisis Perbedaan Metodologis

(w.460 H.). Penyusun, dalam penulisan kitab Jika ditelaah secara mendalam antara

ini mengikuti metode al-Kulaynī. Penyusun metode kesahihan hadis versi sunnī dengan juga menyebutkan dalam setiap sanad metode kesahihan hadis versi shī’ah maka akan

sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini didapatkan beberapa perbedaan mendasar merangkum sebanyak 13.095 hadis.

dari keduanya, baik dari sisi kritik sanad hadis,

d. Kitab al -Istibṣār. Kitab ini juga disusun oleh ketersambungan sanad, ataupun pada sisi

Muhammad bin Hasan al-Thūsī, penysusun kritik matan hadis. kitab al-Tahzīb. Kitab ini merangkum

Dalam metode kesahihan matan hadis sebanyak 5.511 hadis.

tidak terdapat perbedaan mendasar di

Di bawah derajat empat kitab tersebut, antara keduanya karena baik sunnī maupun terdapat beberapa kitab Jāmi’ yang besar. shī’ah tidak sama-sama menimbang hadis

Antara lain adalah: berdasarkan pada adanya kesesuaian atau

a. Kitab Bihār al-Anwār. Disusun oleh Bāqir al adanya perbedaan dengan ayat al-Qur’ān,

Majlisī. Terdiri dalam 26 jilid. hadis-hadis Nabi, ijma’ ulama’ dan akal pikiran.

b. Kitab al-Wāfī fī ‘Ilm al-Hadīth. Disusun oleh Shī’ah menggunakan empat pertimbangan

Muhsin al Kashānī. Terdiri dalam 14 juz. tersebut untuk menentukan apakah matan Ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadis tersebut ṣahīh atau tidak. Hal ini senada

hadis. dengan metode kesahihan matan hadis sunnī

c. Kitab Tafṣīl Wasāil Shī’ah Ilā Tahsīl Ahādīth karena dalam menentukan hadis yang syādh Sharī’ah. Disusun oleh al-Hus al-Syāmi’ al- (janggal) dengan yang tidak, juga menggunakan

’Amilī. Disusun berdasarkan urutan tertib penimbangan terhadap al-Qur’ān, hadis, ijma’ kitab-kitab fiqh dan kitab Jāmi’ Kabīr yang dan akal. dinamakan Al-Shifā’ fī Ahādīth al-Muṣthafā

Namun dalam metode kesahihan susunan Muhammad Riḍā al-Tabrīzī.

sanad hadis terdapat beberapa perbedaan

d. Kitab Jāmi’ al-Ahkām. Disusun oleh di antara keduanya. Dalam menentukan Muhammad ar-Riḍā al-Thairī al-Kaẓīmī kualitas pribadi perawi yang dapat diterima

(w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan periwayatan hadisnya, Sunnī mengajukan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang beberapa lima kriteria yaitu: Islam, baligh, mempunyai derajat di bawah kitab-kitab berakal sehat, melaksanakan ketentuan agama yang disebutkan di atas. Kitab-kitab (taat beragama, tidak berbuat dosa besar, tersebut antara lain: Kitab al-Tauhīd, kitab tidak melakukan bid’ah, tidak bermaksiat ‘Uyūn Akhbār Riḍā dan kitab al-’Amalī.

40 Muh Ikhsan, 0022Metodologi Kritik Hadis.... 3-4.

P-ISSN: 1978-6948

66 e -ISSN: 2502-8650

Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176 Vol. 11 No. 1 Januari 2017 | 165-176

E. Penutup

(kehormatan diri). Sementara Shī’ah, dalam Dalam islam terdapat dua golongan yang menentukan diterimanya periwayatan seorang saling bersinggungan dan bertentangan baik

rawi, mensyaratkan enam kriteria yaitu: secara ideologis maupun metodologis. Dua Islam, baligh, berakal, adil, dhabiṭ dan iman golongan tersebut adalah golongan Ahl al-

(penganut mazhab Shī’ah). Sunnah wa al-Jamā’ah (Sunnī) dan Shī’ah.

Jika dibandingkan diantara kriteria Sejarah mencatat bahwa perseteruan golongan diterimanya riwayat seorang perawi hadits tersebut bermula sejak wafatnya Nabi maka terdapat satu perbedaan mencolok di Muhammad SAW dan beliau tidak menunjuk

antara keduanya. Shī’ah menambahkan kriteria seorang pimpinan yang akan menggantikannya khusus yaitu harus iman atau pengikut mazhab sebagai khalifah. Sebagian umat Islam meyakini Shī’ah. Artinya, jika perawi hadis berasal dari bahwa kepemimpinan harus dilanjutkan oleh

golongan lain di luar mazhab Shī’ah maka bagi keturunan Nabi Muhammad sendiri yakni dari mereka hadisnya tertolak dengan sendirinya. garis keturan Ali bin Abi Thalib atau Ahl al-

Kriteria tersebut berbanding terbalik dengan Bayt. Sementara sebagian umat Islam lainnya fakta yang ada di mana golongan Shī’ah berbendapat bahwa kepemimpinan harus

tetap menerima hadis-hadis Sunnī yang dipilih oleh tim penyeleksi. memperbolehkan nikah mut’ah padahal hadis

Keadaan semakin parah dengan terjadinya tersebut tidak berasal dari perawi hadis dari fitnah besar yang berujung pada wafatnya golongan Shī’ah.

Khalifah Uthman bin Affān di tangan Dalam menentukan ketersambungan pemberontak. Meski pada akhirnya Ali yang

sanad hadis, Sunnī dan Shī’ah mensyaratkan akhirnya didapuk sebagai khalifah keempat hadis tersebut harus merupakan perkataan menggantikan Uthman bin Affān namun

Nabi, perbuatan Nabi dan penetapan Nabi. keadaan menjadi sangat buruk saat pecah Namun Shī’ah memberikan keterangan perang saudara di antara sesama umat Islam. tambahan bahwa hadis yang bersambung Perang antara Ali dan Muawiyah yang pada

tidak hanya yang berasal dari Nabi tapi juga kahirnya berujung pada lengsernya Ali dari dari 12 imam Shī’ah. Bagi Shī’ah, definisi hadis jabatan khalifah dengan cara yang licik yang adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan dilakukan oleh juru bicara Mu’awiyah yakni

kebiasaan Nabi Muhammad SAW dan para Amr bin al-Ash. Perseteruan golongan Sunnī imam shī’ah. Selain itu, hadis ṣahīh bagi mereka dan Shī’ah bertahan hingga saat ini, salah adalah setiap hadis yang para perawinya satunya berkaitan tentang metode kesahihan

bersambung dengan salah satu imam yang hadis. ma’ṣum dengan perantara perawi yang adil dari

Dari sisi matan, tidak ada perbedaan kalangan shī’ah.

antara metode kesahihan hadis versi Sunnī

Jadi bagi Shī’ah sesuatu yang berasal dari dan metode kesahihan hadis versi Shī’ah. imam-imam Shī’ah juga disebut dengan hadis. Dalam menentukan matan yang ṣahīh Shī’ah Di dalam kitab-kitab hadis Shī’ah terdapat membandingkan matan hadis tersebut dengan banyak sekali hadis yang dipandang ṣahīh ayat al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ ulama’ oleh Shī’ah dan derajatnya hanya sampai pada dan akal pikiran. Begitupun Sunnī juga tingkatan para imam Shī’ah saja, bukan dari menggunakan empat kriteria tersebut dalam Rasūlullāh SAW. Bagi Sunnī hal itu tidaklah menentukan adanya matan yang syadz atau

disebut dengan hadis Nabi namun hanya tidak. disebut sebagai pendapat ulama’ yang bisa

Dalam menentukan kualitas perawi benar dan bisa saja salah.

yang dapat diterima periwayatannya dua golongan tersebut relatif sama yakni perawi tersebut harus Islam, baligh, berakal sehat,

Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah Khairul Muttaqin, Metode Keṣahīhan Hadis Sunnī Vs Metode Keṣahīhan Hadis Shī’ah

pandangan Shī’ah Imāmiyah” (Makalah). satu kriteria khusus yakni perawi tersebut

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis haruslah orang yang iman atau orang dari

Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007. golongan Shī’ah sendiri. Kriteria khusus tersebut kontradiktif dengan fakta bahwa Itr (al), Nūr al-Dīn, Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-

Shī’ah tetap menggunakan hadis-hadis Sunnī Hadīth. Damaskus, Dār al-Fikr, 1979. selama hadis tersebut sejalan dengan ideologi Karya, Soekama, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah Shī’ah meski hadis tersebut menurut Sunnī

dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos sudah dihapus (nasakh) ketentuan hukumnya.

Wacana Ilmu, 1996.

Sanad hadis yang bersambung pada Nabi Kazhīm, Musa, “Shī’ah Dan Ilmu Hadis”,

bagi Sunnī adalah sanad yang nyambung dalam http://www.abna.ir/data. langsung kepada Rasulullah SAW. Jadi hadis

asp?lang=11&id=295052” (10 Februari yang tidak berasal dari Rasulullah SAW tidak disebut dengan hadis. Sementara bagi Shī’ah, 2012).

tetap dikatakan hadis meski merupakan Khathīb (al), Muhammad Ajjāj, Uṣūl al-Hadīth perkataan imam-imam Shī’ah. Bagi Sunnī

Ulūmuhū wa Muṣthalahuhū . Beirut: Dār al- perkataan imam-imam Shī’ah tidak disebut

Fikr, 1975.

dengan hadis melainkan pendapat ulama’ yang Khon, Abdul Majid, Ulūmul Hadīth. Jakarta: mungkin benar dan mungkin juga salah. Wa

Amzah Press, 2010.

allāhu a’lam bī al-ṣawāb. Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab. Beirut: Dar Lisan

al-Arab, tt. Muhdi, Abu Muhammad Abdul, Turuq Takhrij

DAFTAR PUSTAKA

Hadith Rasulillah SAW. Kairo: Dār. I’tisām, 1997.

Nemr (al), Abdul Mun’īm, Sejarah dan Dokumen- dokumen Syi’ah. t.t.: Yayasan Alumni Timur

Adlabi (al), Manhaj naqd al-matn . Beirut: Dār al-

Tengah, 1988.

Āfāq al-Jadīdah. Qadir, Abd. Muhdi Abdul, Turuqu Takhrīj Hadīth Alusī (al), Muhammad Shukrī. Akhbār al-Shī’ah