POSISI PEREMPUAN MINANGKABAU DALAM SISTEM ULAYAT MENURUT ADAT MATRILINEAL DAN SYARAK
POSISI PEREMPUAN MINANGKABAU DALAM SISTEM ULAYAT MENURUT ADAT MATRILINEAL DAN SYARAK
Oleh: Iza Hanifuddin*
Abstract: In matrilineal system of Minangkabau, women gain strategic position. Beside the central
line of generation, females also act as ‘bundo kanduang’ who have the right to inherit the tribal heritage from the ancestors and have the authority for the tribal land (tanah ulayat). This position needs to be reconsidered in terms of implementation whether it is still relevant to the principles suggested by the genuine tradition since the concept of inheriting the heritage last forever. The Islamic law (syarak) referred by the tradition points out that the women’s position in the doctrine of fiqh (Islamic jurisprudence) should be respected and has equal rights to men in respect to land ownership and authority.
Kata kunci: matrilineal, ulayat, komunal, himâ, al-dharûrah al-khamsah
PENDAHULUAN
langsung lama (Abbas bin Haji Ali, 1953: 79).
P ada zaman purbakala, masya-
Pemusakaan secara komunal rakat sudah memiliki dan me-
dan turun temurun ini juga terjadi nguasai tanah dengan cara meng-
pada masyarakat Minangkabau, bah- akui sebuah kawasan sebagai milik-
kan sampai saat ini. Tanah pusaka nya. Mereka meletakkan suatu tanda
alam sebagai bukti batas tanah yang yang diwarisi secara turun temurun dimilikinya. Penguasaan tanah ter-
ini akhirnya dimiliki secara bersama jadi tanpa harus berbagi karena
oleh seluruh anggota suku dan kaum tanah masih sangat luas. Pada saat
di mana oleh sistem adat tidak boleh ini, terjadi peraturan untuk orang
dijual dan digadaikan. Tanah de- ngan sistem pemilikan dan pemu-
lain supaya tidak menguasai tanah sakaan sedemikian ini diistilahkan
miliknya tersebut. Biasanya, pemilik sebagai tanah ulayat. Istilah ini ke-
akan mewariskan (mempusakakan) mudian dipakai untuk menyebut
tanahnya kepada anak keturunan keseluruhan sistem tanah adat di
mereka secara komunal (bersama) Indonesia. Hakekat pemu-sakaan
dan turun temurun di mana mereka akan memiliki dan menempati tanah
tanah ulayat secara komunal dan tersebut sesuai tanda-tanda alam
turun temurun ini adalah untuk yang telah dibuat sebagai bukti
menghalangi terjadinya pemilikan bahwa pemilikan itu telah ber-
oleh individu. Secara geoekonomi, Sumatera Barat merupakan propinsi
* Penulis adalah Lektor Kepala dalam Mata kuliah Fiqh pada STAIN Batusangkar
95 Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
yang mempunyai aset ekonomi sip garis keturunan suku dan kaum paling sedikit, baik dari dalam bumi
dengan kekuasaan mewarisi kese- maupun dari permukaan tanahnya.
luruhan tanah ulayat tersebut. Bagai- Secara topografi, tanah di sini dapat
mana posisi sesungguhnya perem- dianggap sempit karena permukaan
puan ini menerusi adat dan syarak tanahnya dipenuhi oleh lembah,
akan cuba dihuraikan dalam kertas perbukitan, dan jalan berliku. Ke-
kerja ini.
adaan ini turut memberi kesan ke atas lahirnya sistem adat ulayat
MAKSUD SISTEM komunal ULAYAT DI untuk memberi kesempatan
MINANGKABAU
kepada sesama anggota masyarakat dan generasi masa depan supaya
Sejarah tradisional Minang- turut memperoleh kesejahteraan dari
kabau menyebutkan bahwa dengan aspek tanah. Tidak dapat dibayang-
prinsip garis keturunan kepada kan seandainya aset tanah yang
pihak ibu (matriarchaat/matrilineal), sempit dan sedikit nilai ekonominya
satu payung, satu nenek, satu perut, ini dikuasai oleh beberapa individu
nenek moyang dahulu membuka saja melalui pemilikan pribadi. Oleh
tanah dengan cara: “mencancang karena itu, suatu hal yang wajar jika
melateh, membuka kampung dan
A. P. Parlindungan dalam kertas halaman ” dan dengan semakin ba- kerjanya mengatakan bahwa ben-
nyak jumlah anak keturunan, nagari teng terakhir pertahanan hak ulayat
pun diperluas (bakalebaran). Sejak itu, adalah
muncul istilah suku yang tidak boleh (Hermayulis, 2000). Tanah adalah
di Sumatera
Barat
dipisahkan dengan sako (gelar ke- sesuatu yang utama menurut adat
sukuan). Untuk menjamin kehidup- masyarakat Minangkabau.
an anak sepersukuan, mereka me- Pemilikan tanah wujud pada
netapkan adanya pusako (harta pu- masyarakat adat secara komunal di
saka) dengan prinsip pemilikan mana setiap anggota suku atau
komunal . Pada harta pusako yang kaum pemilik tanah hanya berhak
berupa tanah ditetapkan bahwa untuk memanfaatkannya, bukan
tidak boleh dijual dan tidak boleh memilikinya secara pribadi. Biasa-
digadai, “dijual indak dimakan bali, nya, tanah sawah akan dimanfaatkan
digadai indak dimakan sando (dijual secara bersama, manakala tanah ke-
tidak dimakan beli, digadai tidak ring akan dimanfaatkan secara pri-
dimakan sandera)”. Mamak (saudara badi atau oleh orang luar suku
ibu yang laki-laki) ialah penjaga setelah memperoleh kebenaran baik
tanah wilayah yang dikenali sebagai untuk perkebunan, peternakan, per-
tanah ulayat ini, ibu ialah pemegang ikanan, industri, atau pun perniaga-
kunci ampang puruik dan lumbung an (A. A. Navis: 1986: 150). Pola pe-
(tempat cadangan harta dan bahan milikan, penguasaan, pewarisan,
makan) yang tidak boleh dibuka pemanfaatan, dan keseluruhan sis-
kecuali diakui oleh adat, yaitu rumah tem berkenaan tanah ulayat ini diatur
gadang katirisan (bocor), adat pusaka oleh sistem adat matrilineal di mana
tidak berdiri, mayat terbujur di tengah perempuan diletakkan sebagai prin-
rumah, dan gadis besar belum berlaki
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
sep ini, setiap suku di Minangkabau Menurut A. A. Navis, alam pasti mengenal istilah sako, pusako,
pikiran Minangkabau memiliki kon- dan sangsoko sebagai gambaran utuh
sep tentang harta di mana harta konsep adat tentang harta yang
selalunya dimaksudkan sebagai mereka jadikan praktek kehidupan
barang tak bergerak saja, yaitu beradat dalam sebuah sistem ulayat.
tanah, sawah, dan ladang (A. A. Amir Syarifuddin mengartikan
Navis, 1986: 157). Dulu, di Minang- harta pusaka ialah sesuatu yang
kabau hanya dikenali istilah harta bersifat material (benda) yang ada
pusaka saja, tidak ada yang lain. pada seseorang yang mati dan dapat
Pusaka dimaksudkan ialah barang beralih kepada orang lain disebab-
sako dan harta pusako tersebut kan kematiannya. Dikatakan bersifat
(Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, material (benda) juga karena ter-
1967). Akhir-akhir ini, Sidi Bandaro dapat sako yang dapat dipindahkan
menjelaskan perkembangan harta dari orang yang mati kepada yang
pusaka. Harta pusaka pun kemudian hidup. Sako ini bukan bersifat benda,
dibagi menjadi dua, yaitu pusako tapi berwujud gelar yang dipusakai.
tinggi (pusaka tinggi) dan pusako Dikatakan dengan sebab kematian
randah (pusaka rendah). Pusaka bisa terjadi peralihan harta pusaka,
tinggi adalah semua harta pusaka maka gelar pusaka juga turut
yang sudah lama diwarisi, salin berpindah kepada waris seperti hibah
bersalin, turun temurun dalam ke- juga dapat dialihkan, tetapi semasa
adaan yang selalu sama, yaitu hidup (Amir Syarifuddin, 1984: 212).
diturunkan dari mamak kepada Antara sako dengan pusako tidak
kemenakan (anak-anak dari saudara dapat
dipisahkan dan terjadi perempuan) sebagaimana disampai- ketentuan adat hak berpunya (sako),
kan dalam banyak ungkapan adat, harta bermilik (pusako) (Amir MS.,
yaitu: “Birik-birik terbang ke sasak, dari 2003: 93). Dalam ungkapan lain
sasak turun ke halaman, dari ninik disebutkan hak bapunyo, harato
turun ke mamak, dari mamak ke bamilik, ganggam bauntuk. Pemegang
kemenakan”. Lihat kisah tambo ten- gelar kebesaran adat (sako) akan
tang asal usul penurunan pusaka diserahkan amanat untuk menjaga
kepada kemenakan ini dalam berbagai dan mempertahankan keutuhan dan
rujukan (Datoek Batoeah Sango, sifat komunalistik harta pusako untuk
1955: 53; Tsuyoshi Kato, 1982: 50; selamanya, terus menerus, dan turun
Amir Syarifuddin, 1984: 240; Datuk temurun yang diistilahkan dengan
Sangguno Dirajo, 1987: 112). pusako bersalin (Amir M.S., 2003: 93).
Pusako tinggi (pusaka tinggi) Dalam berbagai buku dan per-
ialah harta pusaka berupa tanah cakapan sehari-hari banyak dijumpai
ulayat , sawah, ladang, tanah kubur- perkataan “sako” ini ditulis atau
an, dan rumah gadang yang diwarisi disebut dengan “gelar pusako”. Hal
dan dimiliki secara bersama oleh ini bermaksud bahawa antara sako
beberapa keluarga (periuk) dalam dengan pusako itu memang tidak
satu jurai (satu garis kekeluargaan) dapat dipisahkan.
sebuah kaum atau suku dalam garis matrilineal (Amir, MS., 2007: 1; Sjafnir
97 Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
26). Sedangkan Pusako randah (pu- saka rendah) adalah segala harta pusaka yang diterima oleh kemenakan dari mamak kandung atau tungganai rumah yang diperoleh dari peker- jaannya, bukan hasil dari pusaka tinggi. Dalam perkembangannya, pusaka rendah diartikan sebagai harta yang diberikan melalui cara hibah, pewarisan oleh orang tua kepada anak-anaknya yang diperoleh dari harta perkawinan atau pencarian kedua orang tua (Sofjan Thalib, 1999: 255). Harta pencarian suami isteri ini dapat berbentuk sawah ladang yang dibeli atau hasil tebusan tanah adat yang tak mampu ditebus oleh kaumnya (Julius Dt. Malako Nan Putiah, 2007: 119), rumah, kedai, pabrik, kendaraan, dan sebagainya. Semua pusaka rendah itu disebut sebagai tembilang emas (golden spade) dalam istilah adat. Sawah ladang hasil pembukaan hutan ulayat kaum yang kemudian di-taruko termasuk kategori harta pusaka rendah dalam masa yang tidak lama. Setelah di- wariskan dalam dua keturunan harta tersebut akan berubah menjadi pu- saka tinggi kembali. Termasuk da- lam hal ini ialah tanah yang dalam status pagang gadai (gadai adat) (Julius Dt. Malako Nan Putiah, 2007: 117).
Hakikatnya, adat Minangkabau hanya mengenal harta pusaka saja yang dimiliki secara bersama oleh kaum dalam adat matrilineal dan tidak mengenal istilah harta pencari- an. Munculnya istilah harta pen- carian bermula dari hubungan da- gang yang semakin rapat antara orang Minangkabau dengan sauda- gar India di kawasan pesisir barat Sumatera Barat pada abad ke-17.
Pada tahun 1761, ajaran Islam yang dianuti oleh orang-orang pesisir mula digunakan untuk menyelesai- kan masalah waris berkaitan harta perniagaan ini. Bagaimana pun harta pencarian masih bisa berubah men- jadi harta pusaka (pusaka tinggi) setelah melalui proses pewarisan. Caranya, tahap yang berlaku ber- mula dari harta pusaka rendah, harta susuk , dan akhirnya menjadi harta pusaka tinggi (Amir, MS., 2007, 1; Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo, 2008: 26). Harta pencarian bukanlah produk lembaga adat Minangkabau. Amalan ini mulai dikenal sejak hadirnya ekonomi uang yang eksis melalui perniagaan dan jasa per- buruhan. Akibatnya, hubungan ke- kerabatan pun mengalami per- ubahan. Hubungan ayah-anak pada masa ini menjadi rapat dalam sistem keluarga inti. Di mana-mana timbul keinginan ayah untuk mewariskan harta pencariannya ini kepada anak dan istri, bukan kepada kemenakan. Perubahan sosial inilah yang akhir- nya menimbulkan perselisihan inter- nal yang cukup lama karena feno- mena ini dirasakan oleh banyak tokoh adat dan agama (A. A. Navis, 1986: 164).
Manakala sangsoko atau sang- sako ialah gelar kehormatan yang diberikan berprinsipkan persetuju- an para penghulu dalam kerapatan adat (musyawarah adat) kepada seseorang disebabkan oleh jasa dan peranan besar yang diberikan ke- pada suku atau kaum. Ketentuan adat menyebutkan adat sangsako pakai mamakai, manurut barih balabeh, serta mungkin dan patut yang bermaksud gelar ini hanya dapat diberikan kepada orang yang secara adatnya
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
Hakimy Datuk Rajo Penghulu, 1982: digunakan oleh orang tersebut tanpa
41 dan 64). Sebagian pihak telah dapat diwariskan kepada generasi mempersoalkan gelar sangsoko yang
berikutnya. Ungkapan adat menye- diberikan kepada beberapa tokoh
butkan, lapuk tangguk lapuklah bing- nasional bernuansakan politik. Sang-
kai, mati ayam matilah hama yang soko hari ini lebih dijadikan sebagai
bermaksud dengan matinya pene- alat untuk memperkuat feodalisme
rima gelar, habis pula pemakaian di Minangkabau yang secara filsafat
gelar (Soewardi Idris Dt. Bandaro adat tidak dikenal. Selain itu, ter-
Panjang, 2004: 11). Menurut cerita- dapat sebagian penguasa yang me-
nya, Nagari Sulit Air Solok sudah nerima sangsoko sebagai usaha meng-
sejak dahulu biasa memberikan gelar ikatkan dirinya kepada keturunan
adat ini kepada warga yang ber- Pagaruyung hanya untuk memper-
pengaruh dan berprestasi sebagai- tahankan kedudukan politiknya
mana pernah diberikan kepada (Herwandi & Zaiyardam Zubir,
Mahjoedin pada tahun 1904 dengan 2006: 118). Menurut Amir M. S.,
gelar Datuk Sutan Maharajo dan (2007: 81) sangsoko sebaiknya tidak
terkenal dengan panggilan Datuk diberikan oleh masing-masing kera-
Bangkit, seorang tokoh Kaum Adat patan adat. Oleh itu, perlu dibentuk
yang dikenal sebagai sebagai Bapak suatu organisasi supra nagari untuk
Wartawan Indonesia (Soewardi Idris menggantikan LKAAM (Lembaga
Dt. Bandaro Panjang, 2004: 22). Kerapatan Adat Alam Minangkabau)
Bagaimana pun, pemberian gelar yang hakekatnya dibentuk oleh pe-
sangsoko ini dapat dianggap sebagai merintah
bekerjasama KODAM simbul kekuasaan dalam sebuah (Komando Daerah Militer) setelah
sistem pemerintahan adat yang perang PRRI (Pemerintah Revolu-
otonomi.
sioner Republik Indonesia), bukan Meskipun uraian di atas men- oleh masyarakat adat yang diwakili
jelaskan keseluruhan sistem ulayat, oleh KAN (Kerapatan Adat Nagari).
namun ulayat sendiri hakekatnya Sangsoko juga disebut dengan
lebih sering didefinisikan untuk istilah adat gadang balega atau adat
tanah saja. Ungkapan adat yang giliran kepemimpinan pada suku-
mengakui berlakunya sistem tanah suku pecahan, khususnya orang-
ulayat di Minangkabau ini adalah: orang besar atau orang-orang pen-
“Tanah nan sabingkah, capo nan ting dalam suku tersebut (Norhalim
sebatang, kasiak nan saganggam peng- Hj. Ibrahim, 1993: 72). Gelar urang
hulu nan bapunyo . Maksud nan kayo nan bakabasaran juga dapat
bapunyo adalah bukan dimiliki oleh dianggap sebagai gelar sangsoko yang
pribadi mamak/penghulu, tetapi di- diberikan kepada orang yang peduli
miliki secara komunal (bersama). terhadap adat dan keadaan sosial
Mamak atau penghulu di dalam masyarakat. Penerima gelar ini
keluarga suku atau kaum hanya ber- biasanya orang kaya yang mau
fungsi sebagai pengurus pengelolaan memberikan sumbangan besar un-
dan pengusahaan tanah, baik fungsi tuk kesejahteraan masyarakat adat
ke dalam suku/kaumnya maupun dengan ikhlas. Gelar ini dapat
fungsi ke luar. Bahkan, keseluruhan
99 Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
juga diakui sebagai hak milik sebagai harta individu meskipun komunal , yaitu berstatus milik ber-
berbentuk tanah.
sama, baik orang Minangkabau itu akan berpindah tempat maupun
PEREMPUAN DALAM SISTEM
tidak. Perpindahan tempat tinggal
TANAH ULAYAT
bukan berarti bisa terjadi perubahan status ulayat dari komunal kepada
Perempuan Minangkabau di- individu (Othman bin Haji Ishak,
gambarkan sebagai pribadi yang 1997: 107).
mulia dalam legenda Cinduo Mato. Perkembangan sistem tanah
Sosok Bundo Kanduang dinyatakan ulayat hari ini menunjukkan bahwa
sebagai rajo usali (raja asli) Minang- banyak tanah yang semula merupa-
kabau. Dang Tuanku, anak Bundo kan tanah ulayat akhirnya habis
Kanduang raja alam Minangkabau dibagikan dalam kuasa pemilikan
telah menjadikan Bundo Kandung individu. Peraturan apapun, baik
sebagai sumber pengetahuan, hik- adat, agama, maupun negara nam-
mah, dan adat istiadat dalam meng- paknya hanya berfungsi sebagai
urus kerajaan sehari-hari. Bundo penghalang dari terus kehilangan
Kanduang dipercayai sebagai rajo tanah dalam kuasa individu ter-
usali yang hadir bersama lahirnya sebut. Hal serupa juga terjadi di
alam Minangkabau Minangkabau. Berbagai latar bela-
penciptaan
(Azyumardi Azra, 2003: 1). Ungkap- kang telah menjadi sebab terjadinya
an adat menyebutkan bahwa: Bundo pemilikan individu atas tanah
kanduang limpapeh rumah gadang, komunal ini. Hal ini sekaligus men-
amban puruak pegangan kunci (pamacik jadi bukti bahwa telah terjadi per-
kunci nan arek, panyimpan puro nan ubahan dalam masyarakat adat
taguah), amban puruak alung bunian, berkaitan sistem penguasaan tanah
pusek jalo kumpulan tali, hiasan dalam ulayat komunal . Secara umum, indi-
nagari, nan gadang basa batuah, kok vidualisme global secara tidak lang-
hiduik tampek banasa, kok mati tampek sung dianggap turut memberi kesan
baniat, ka unduang unduang ka buruk kepada adat Minangkabau.
Madinah, ka payuang panji ka sarugo Pemilikan individu mula mendapat
(Amir, MS., 2007: 50). tempat dalam kehidupan masyara-
Mereka ialah sumber sekaligus kat sejak dikenalkannya harta pen-
pengajar ilmu pengetahuan adat carian sebagai harta individu pada
tentang pengelolaan harta pusaka masa datangnya Islam ke Minang-
tinggi dan pelaksana teknis alek kabau. Harta pencarian yang semula
gadang (pesta-pesta adat). Posisi bermaksud bukan tanah kemudian
perempuan begitu kuat dalam adat berkembang menjadi harta pencari-
matrilineal. Sebutan Bundo Kanduang an berupa tanah yang diperoleh me-
bermaksud ibu sejati yang mem- lalui cara manaruko hutan ulayat.
punyai sifat-sifat keibuan dan kepe- Konsep hibah dan waris yang
mimpinan. Sifat ini sengaja diajarkan dibawa oleh Islam ke dalam lembaga
dalam sistem adat matrilineal supaya adat dianggap juga turut memper-
anak keturunan mau menghormati kuat posisi harta pencarian ini
orang yang berjenis sama dengan ibunya (perempuan) dan tidak
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
berbuat hal yang tidak baik kepada- sebagai bundo kanduang dengan nya. Menurut adat, berbuat tidak
tugasnya yang tidak kalah penting baik kepada ibu merupakan kesalah-
berbanding dengan laki-laki (Julius an besar dan hina (Norhalim Hj.
Dt. Malako Nan Putiah, 2007: 48). Ibrahim, 1993: 46).
Bagaimana pun, keberadaan Adat matrilineal Minangkabau
laki-laki di Minangkabau secara tidak selalu mengekalkan garis ke-
umum dikatakan kurang mendapat turunan dari pihak ibu, tetapi juga
tempat di dalam rumah gadang. Oleh mengandung struktur kepimpinan
karena itu, berlaku tempat-tempat adat, perhimpunan masyarakat, dan
yang sering diakui sebagai tempat pemilikan bersama ke atas harta
berkumpulnya kaum laki-laki, yaitu ulayat . Falsafah alam takambang jadi-
surau, lapau (kedai makan), dangau, kan guru mengajarkan prinsip
balai, dan masjid. Seorang laki-laki matrilineal bahwa bakal tumbuhan
yang berkedudukan sebagai peng- dan anak-anak haiwan sentiasa hi-
hulu akan mendapatkan banyak dup dan dewasa di bawah jagaan
kehormatan, yaitu diakui sebagai induknya. Setelah datangnya Islam
orang kaya dengan penghasilan ke Minangkabau, syariat juga men-
sawah panggadangan yang secara dukung posisi perempuan ini me-
khusus diterimanya dari bagian lalui doktrin bahwa penghormatan
ulayat , dikenali sebagai ahli ilmu terhadap ibu itu tiga kali lipat
adat, istimewa, dan mempunyai dibanding ayah. Dalam pelaksanaan
kekuatan politik dan hukum. Selain sehari-hari, perempuan ialah pemilik
itu, penghasilan lain penghulu ialah harta yang berperan sosial secara
cukai dari berbagai pihak yang mendalam, sedangkan laki-laki pe-
mengusahakan tanah ulayat, tanah mimpin yang berperan politik secara
pertanian baharu, hak menebang luaran (Julius Dt. Malako Nan
pokok di hutan, dan hak mendulang Putiah, 2007: 20-29). Meskipun pe-
emas di sungai (Tsuyoshi Kato, 1982: rempuan dihormati secara adat
62 dan 65). Dalam perkembangan matrilineal , adat tidak membenarkan
hari ini, cadiak pandai telah meng- mereka menjadi pimpinan adat atau
geser posisi penghulu melalui ilmu penghulu adat dengan gelar datuk.
pengetahuannya sementara orang Hal ini sesuai dengan firman Allah
kaya menggeser posisinya melalui s.w.t. yang bermaksud: “Wahai
kekayaan dan pemilikan pribadinya. orang-orang yang beriman, janganlah
Para penghulu kini hanya kaya kamu jadikan ayah-ayahmu dan
dengan tanah, tetapi miskin ulayat. saudara-saudaramu menjadi pemim-pin
Hakekatnya, adat Minangkabau (wali) jika mereka lebih menyukai
yang matrilineal ini tidak menganut kekufuran daripada keimanan. Barang-
sistem matriarchaat dalam hal ke- siapa yang menjadikan mereka sebagai
kuasaan, yaitu perempuan sebagai pemimpin (wali), maka mereka itulah
satu-satunya yang berkuasa. Perem- orang-orang yang zalim” (Alquran, al-
puan dan laki-laki sama-sama mem- Tawbah 9: 23). Hal ini meng-
punyai tugas dan peranan penting isyaratkan pesan bahwa pemimpin
dalam membina adat (Azyumardi harus laki-laki. Perempuan berposisi
Azra, 2003: 2).
Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
Perempuan dalam adat Mi- Minangkabau hanya berperanan ke nangkabau merupakan inti keluarga
dalam adat (Julius Dt. Malako Nan matrilineal dan pemegang hak pusa-
Putiah, 2007: 24-174). Di Indonesia ka atas harta ulayat. Tapi, karena
sendiri ternyata juga terdapat se- prinsip pemilikan dalam adat ialah
kumpulan masyarakat yang meng- pemilikan bersama (komunal), maka
anut sistem matrilineal, yaitu masya- status pemilikan perempuan terha-
rakat kawasan antara Pasemah de- dap harta ini bersifat pemilikan tidak
ngan Komering di Sumatera Selatan. sempurna di mana mereka hanya
Mereka mengaku bahwa mereka bu- mempunyai hak untuk memanfaat-
kan berasal dari keturunan Iskandar kan harta pusaka ulayat saja (Julius
Zulkarnain dan juga tidak mengenali Dt. Malako Nan Putiah, 2007: 113).
Datuk Katumanggungan dan Datuk Kuatnya posisi perempuan dalam
Perpatih Nan Sabatang (Soewardi hal pusaka tinggi/ulayat bukan
Idris Dt. Bandaro Panjang, 2004: 6). untuk mengabaikan hak laki-laki
Sejarah matrilineal Minang- dalam adat. Bungo kayu, bungo
kabau juga tidak sama dengan seja- ampiang, bungo karang, bungo pasie,
rah matrilineal Arab yang digam- bungo tanah, padi abuan merupakan
barkan oleh Montgomery Watt. Di- berbagai bentuk pendapatan dari
jelaskan bahwa beberapa kawasan di cukai adat yang diambil oleh para
Arab dahulu merupakan penganut laki-laki, yaitu para datuk/penghulu
sistem matrilineal sebelum Islam. untuk kepentingan bersama. Semua
Bahkan, terdapat suatu kabilah yang datuk/penghulu di Minangkabau
secara penuh menjadikan silsilah ke- ialah laki-laki dan tidak ada perem-
turunannya dari pihak perempuan. puan yang menjadi datuk sebagai-
Sejarah matrilineal Arab bermula dari mana di Malaysia (Amir, M. S., 2002:
amalan jâhiliyyah di mana perem- 36).
puan berkawin dengan banyak laki- Merujuk kajian Muchtar Naim,
laki karena perempuan tidak bisa adat matrilineal juga dipraktekkan
menolak siapa saja laki-laki yang oleh suku bangsa lain selain
mendatanginya dari kalangan mere- Minangkabau, yaitu masyarakat di
ka. Akhirnya, banyak anak-anak sekitar danau Nyasa Ghana, pantai
yang lahir tanpa secara jelas dike- Malabar India, suku Goras dan
tahui siapa ayah mereka. Akibat Khasis di Dahome dan Formosa,
sosialnya ialah anak-anak lahir, be- serta suku Minangkabau di Negeri
sar, dan bernasab kepada ibu saja Sembilan Malaysia. Di pulau Mala-
(Amir, M. S., 2002: 36). Kasus ini gasi Madagaskar yang kononnya
dijadikan dasar penetapan nasab pernah dikunjungi oleh Prof. Mr.
untuk anak yang lahir akibat pemer- Muhammad Yamin, negarawan ma-
kosaan, yaitu dinasabkan kepada sa kemerdekaan Indonesia, juga ter-
pihak ibu. Cara ini pun diakui oleh dapat sebuah suku yang mempunyai
fiqh untuk tujuan menetapkan adat yang sama dengan adat
perempuan sebagai pusat nasab. Minangkabau. Perbedaannya ialah
Penetapan nasab kepada ibu di- perempuan di pulau Malagasi Mada-
sebabkan oleh tidak jelasnya kedu- gaskar berperanan ke dalam dan ke
dukan ayah yang sebenarnya bagi
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
calon anak atau bayi yang akan lahir. Muhammad s.a.w. Alquran mene- Masalah ini terjadi disebabkan oleh
gaskan supaya Zayd tetap dipanggil berbagai kasus, yaitu nikah fâsid,
dengan nasab ayahnya, yaitu Zayd mulâ’anah/liân , pemerkosaan, dan
bin Hârithah (Alquran, al-Ahzâb 33: sebagainya. Pihak ibu biasanya akan
5 dan 37). Setelah bercerai, Nabi menanggung semua beban dan
Muhammad s.a.w. pun menikahi tanggung jawab hadhânah, radhâ’ah,
Zaynab, bekas isteri kepada anak dan pendidikan anak. (Muhammad
angkatnya untuk memastikan status Yusuf Musa, 1967). Anggapan
hukumnya bahwa anak angkat tidak jâhiliyyah bahwa perempuan tidak
mempunyai hubungan nasab kepada berguna dalam perang dan hanya
ayah angkat. Peristiwa ini sering mendatangkan malu sehingga ba-
dijadikan dalil oleh banyak orang nyak anak perempuan dibunuh
untuk menghapuskan adat matri- merupakan penyebab keadaan sosial
lineal dan mengukuhkan ajaran di atas. Keadaan ini terus berlanjut
patrilineal, meskipun secara praktek hingga datangnya Islam. Kisah
masih terjadi adat matrilineal di Umar ibn al-Khattab yang mengu-
dalam kekerabatan patrilineal, khu- bur anak perempuannya hidup-
susnya dalam hal adat pusaka hidup merupakan bukti sejarah
(Othman bin Haji Ishak, 1997: 19). jâhiliyyah . Jumlah perempuan men-
Sejarah matrilineal Minang- jadi sedikit. Seorang perempuan
kabau yang ditulis dalam berbagai kadangkala berkawin dan bercerai
buku menyebutkan bahwa adat beberapa kali. Dalam keadaan pe-
matrilineal Minangkabau dilandasi rang, meskipun garis keturunan ber-
oleh falsafah alam takambang jadi guru pihak kepada perempuan, harta
dan penghormatan kepada perem- komunal setiap kabilah dikuasai oleh
puan. Sejarah matrilineal Minang- laki-laki. Perempuan dan anak-anak
kabau tidak disebabkan oleh etos tidak mendapat bagian apa-apa.
perang yang hakekatnya tidak di- Bahkan, para perempuan itu pun
kenal dalam adat Minangkabau. dianggap sebagai harta yang dapat
Bahkan, penaklukan Minangkabau diwariskan, termasuk oleh anak-
oleh Adityawarman juga bukan me- anak mereka (Othman bin Haji
lalui perang. Pembunuhan bayi pe- Ishak, 1997: 12).
rempuan di Minangkabau pun tidak Melalui Islam, adat matrilineal
pernah ditulis oleh para ahli sejarah. ini diubah menjadi patrilineal dengan
Jumlah perempuan pun tidak se- konsep ‘iddah. Kelahiran seorang
dikit, bahkan mereka berkuasa. Hal anak akan dapat dipastikan siapa
ini berarti bahwa prinsip matrilineal ayahnya yang sebetulnya dengan
Minangkabau berbeda dengan matri- wujudnya masa ‘iddah ini (Othman
lineal kuno yang dianggap orang bin Haji Ishak, 1997: 6). Patrilineal
sebagai hubungan kekerabatan pa- Islam juga diperkukuh oleh larangan
ling tua dalam sejarah peradaban menghapus nasab ayah yang sebe-
manusia. Keadaan seperti yang narnya kepada ayah angkat pada
digambarkan di atas tidak terjadi kasus Zayd bin Muhammad karena
dalam adat matrilineal Minangkabau. dijadikan anak angkat oleh Nabi
Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
Sayangnya, perempuan Mi- the house ) (Joke van Reenen, 1996: nangkabau yang dikenali sebagai
35). Mungkin inilah rahasia mengapa penjunjung demokrasi tradisional,
buku-buku Minangkabau lama me- tidak mendapatkan tempat resmi di
nulis “matriarchat” dan buku-buku dalam lembaga adat hari ini. Tidak
tentang Minangkabau baru menulis terdapat perempuan yang duduk
“matrilineal” yang menggambarkan sebagai anggota Kerapatan Adat
bahwa dahulu perempuan Minang- Suku atau Kerapatan Adat Nagari.
kabau begitu berkuasa dan sekarang Meskipun mereka turut dilibatkan
sudah tidak berkuasa lagi (Joke van sebagai bundo kanduang, peranannya
Reenen, 1996: 34).
hanya di belakang pentas dan tidak Perempuan Minangkabau hari resmi. Demokrasi Minangkabau me-
ini merupakan perempuan konser- rupakan demokrasi tanpa perem-
vatif yang tidak begitu menyukai puan sebagaimana pernah terjadi di
pembaharuan (B. J. O. Schrieke, 1973: Yunani pada zaman dahulu, yaitu
40). Dalam berbagai gerakan yang pusat
terjadi di Minangkabau, perempuan Zulkarnain, seorang raja yang di-
kekuasaan
Iskandar
jarang dijumpai menunjukkan pe- anggap sebagai nenek moyang asal-
ranan dan pemikirannya yang usul orang Minangkabau. Perem-
brillian. Padahal, persoalan tanah puan hanya digunakan sebagai pe-
hakekatnya merupakan persoalan nyambut tamu agung dengan pakai-
utama perempuan menurut posisi- an adat ber-seluk tanduk kerbau di
nya dalam institusi dan perspektif kepalanya. Suatu hal yang aneh ada-
adat. Memetik pendapat Schrieke, lah ternyata tidak ada pihak perem-
adat matrilineal Minangkabau sudah puan yang memprotes keadaan ini.
mulai kehilangan nilai disebabkan Masyarakat justru mendukung ke-
oleh kesan individualisme dalam adaan ini dengan mengatakan bah-
kehidupan sehari-hari yang diwu- wa indak ado nan manyabuang induk
judkan oleh kecenderungan orang ayam (Soewardi Idris Dt. Bandaro
Minangkabau untuk menganut sis- Panjang, 2004: 104). Oleh itu, Joke
tem keluarga inti di dalam rumah van Reenen mempersoalkan hal ini
tangga mereka. Lebih lanjut, Joke dalam bukunya bahwa apakah adat
van Reenen mengatakan bahwa matrilineal Minangkabau telah ber-
sistem keluarga inti telah menjadi- hasil membuat para perempuan
kan posisi perempuan berada di setara secara gender dengan laki-laki
bawah kekuasaan suami (Joke van atau lebih baik dibanding dengan
Reenen, 1996: 20).
perempuan lain di tempat berbeda Dalam sejarahnya, seiring de- (Joke van Reenen, 1996: 17). Jelasnya,
ngan menurunnya kredibilitas dan perempuan Minangkabau hanya
martabat mamak/ penghulu dalam kuat suaranya ketika musyawarah
kaum dan suku, para perempuan harta pusaka ulayat di dalam rumah
mulai berani mengatur dan mem- gadang . Suara itu tidak kuat lagi
bagikan tanah dan harta kaum ketika sudah berada di dalam balai
secara perorangan tanpa melibatkan adat. Perempuan benar-benar lim-
mamak (Joke van Reenen, 1996: 98). papeh rumah gadang (at the top within
Akibatnya, banyak dijumpai terjadi
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
penjualan tanah ulayat di berbagai tersebut kepada mereka dan men- tempat di Minangkabau atas izin
jadikan tanah sebagai milik bersama perempuan. Akibatnya, tidak sedikit
di antara kaum muslimin yang tanah ulayat yang berubah menjadi
diusahakan kembali oleh pemilik tanah milik individu.
asal dengan kewajiban membayar kharraj . Selain amalan ini, wakaf juga merupakan petunjuk wujudnya ajar-
PERBINCANGAN FIQH TEN- TANG TANAH
an Islam tentang hak bersama atas
ULAYAT DAN ISU POSISI PEREMPUAN DALAM
tanah. Wakaf tanah cenderung ber-
tambah dan berkembang di seluruh
SISTEM ADAT
MATRILINEAL
dunia Islam dan dipastikan tidak Konsep adat berkaitan tanah
berkurang karena mulai diusahakan ulayat diakui oleh fiqh melalui
dengan pengurusan yang baik. pemikiran tentang hak bersama dan
Pembatasan hak milik pribadi demi kemaslahatan bersama. Pemikiran
kepentingan bersama merupakan ini ditegaskan melalui amalan himâ
petunjuk bahwa kepentingan ber- jâhiliyyah sebagai amalan adat yang
sama lebih diutamakan dalam Islam. dibenarkan dan diperkukuhkan oleh
Pelucutan hak milik pribadi (naz’u Rasulullah s.a.w. sebagai ajaran
al-milk ) untuk kepentingan bersama Islam dengan menetapkan Naqî ’/
seperti pembuatan jalan, pembinaan Baqî’ sebagai himâ Rasulullah s.a.w.
masjid, kemudahan bersama, pe- untuk kuda perang kaum muslimin.
nambahan jumlah cukai ke atas harta Meskipun himâ Baqî’ ini terjadi
orang kaya merupakan hujah lain untuk masyarakat umum, namun
tentang wujudnya ajaran pemilikan ketentuannya adalah tidak boleh
bersama dalam fiqh. ‘Umar ibn al- menyempitkan kawasan kaum mus-
Khattâb telah mencabut paksa hak limin dan mendatangkan bahaya
pemilikan tanah para sahabat karena kepada mereka. Pemilikan bersama
sebagian mereka tidak mau menye- mesti menjaga kepentingan dan
rahkan tanah untuk perluasan kemaslahatan bersama yang lebih
Masjid al-Harâm. Cara yang beliau besar lagi (Fathî al-Durayniyy, 1965,:
tempuh ialah dengan membeli dan 150-151). Bahkan, Rasulullah s.a.w.
memberi uang pengganti yang di- menegaskan bahwa himâ adalah
letakkan di dalam lemari ka’bah dan milik Allah s.w.t dan Rasul-Nya.
terus membongkar rumah-rumah Praktek ini pun diikuti oleh para
para sahabat tersebut secara paksa. khalifah selepasnya dengan mene-
Hal ini juga pernah terjadi pada tapkan beberapa kawasan lain se-
masa ‘Uthmân bin ‘Affân di mana bagai himâ khalifah untuk kepen-
terdapat sebagian sahabat yang di- tingan bersama.
tahan karena berusaha menentang- Syariah juga menegaskan pe-
nya. Tetapi, mereka pun dibebaskan milikan bersama atas tanah dibo-
setelah memperoleh jaminan dari lehkan dalam Islam. Sejarah ‘Umar
pihak ‘Abd Allâh bin Khâlid bin ibn al-Khattâb menjelaskan ketika
(Muhammad Mustafâ terjadi kecenderungan penguasaan
Usayd
Shalabiyy, 1983: 404). tanah secara individu oleh tentera,
Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
Dalam sejarah Turki ’Usmaniyy negara kecil yang merdeka dan juga terjadi pemilikan bersama
otonomi. Dalam fiqh, negara boleh (komunal) yang dapat disamakan
menjadi satu-satunya penguasa atas dengan sistem ulayat yang menjadi
tanah. Negara boleh berbuat yang sebagian perbahasan dalam berbagai
terbaik atas tanah termasuk menye- kitab fiqh. Fiqh menyebut tanah
wakannya. Tentunya, hasil sewa komunal ini dengan istilah musyâ’
harus dijadikan sebagai harta untuk (communal land, tribal land). Tanah
kesejahteraan bersama umat Islam. musyâ’ biasanya merupakan tanah
Pandangan ini dipegangi oleh pertanian rakyat yang dimiliki secara
Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, komunal di mana adat menghalang
‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Aliyy bin Abî terjadinya pemilikan tanah oleh indi-
Tâlib dengan tidak membagikan vidu dan menjadikannya sebagai
tanah rampasan perang kepada hak adat komunal untuk kepentingan
tentera. Oleh itu, Imâm Abû Hanîfah bersama (for shared land). Definisi
menyatakan bahwa tanah ialah harta musyâ’ diperluaskan oleh penjajah di
negara (Afzal Ur-Rahman, 1991: Jil. kawasan Timur Tengah untuk meng-
2, 246). Abû Yûsuf juga menegaskan gambarkan sistem pertanian umum
bahwa semua bagian negara Islam di tanah subur yang hasilnya senan-
berada di bawah kekuasaan orang tiasa dibagi secara bersama dan
Islam (al-Qâdî Abû Yûsuf Ya’qûb Ibn dikelola secara bergantian dengan
Ibrâhîm, 1397 H.: 253-258). sistem lot dalam masa tertentu (Siraj
Wilâyah/wilâyât juga mempu- Sait & Hilary Lim, 2006: 15).
nyai definisi penguasaan terhadap Ulayat juga diyakini berasal
suatu urusan atau perbuatan yang dari bahasa Arab, yaitu wilâyât atau
dilakukan atas nama orang yang wilâyah (A. A. Navis, 1986: 151).
diurus. Konsep wilâyah/wilâyât dalam Dalam teks-teks fiqh, perkataan ini
fiqh sentiasa berhubungkait dengan senantiasa dikaitkan dengan kekua-
sultah (kemampuan atau kekuasaan) saan, baik kekuasaan wilayah mau-
terhadap jiwa, harta, dan perwakil- pun kekuasaan jabatan, seperti
an. Oleh itu, wilâyah dibagi menjadi wilâyah al-qadâ’ , wilâyah al-mazâlim,
dua, yaitu wilâya terhadap jiwa dan dan sebagainya dalam hal peradilan
wilâya terhadap harta. Setiap ayah Islam. Perkataan ini sekaligus mem-
adalah wali untuk anak-anaknya, beri informasi bahwa dahulunya
baik jiwa atau pun hartanya. Jika Minangkabau telah mempunyai sis-
seseorang mengamanatkan perwa- tem pemerintahan dalam bentuk
kilannya kepada orang lain, maka wilayah-wilayah otonomi. Dengan
orang lain tersebut akan menjadi demikian, ulayat merupakan wilayah
wali baginya karena amanat per- kekuasaan otonom yang tidak boleh
wakilan yang diberikan berhu- diganggu oleh pihak asing/luar,
bungkait dengan harta dan jiwa apalagi dijual. Wilayah tersebut di-
pula. Wakil ialah wali amanat bagi si miliki oleh sebuah sistem kekuasaan
pemberi wakâlah, wasiyy ialah wali (keluarga) yang boleh disamakan
amanat bagi si pemberi wasiat, imâm dengan negara. Oleh itu, Minang-
atau qâdî ialah wali bagi rakyat yang kabau lama adalah seperti negara-
mengamanatkannya, dan sebagai-
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
nya. Amanat yang mesti dipegang ‘aqd atau pun tasarruf (‘Abd al- adalah menjaga jiwa dan harta
Hamîd Mahmûd al-Ba’liyy, t.th.: 193- mereka
194). Dalam konteks Minangkabau, Shalabiyy, 1983: 519-520). Oleh itu,
(Muhammad
Mustafâ
wilâyah dalam maksud ini lebih ulayat dalam konsep Minangkabau
banyak berfungsi sebagai terjadinya adalah selari dengan ajaran fiqh ini,
jaminan tanggung jawab keluarga di mana tanah ulayat tidak dapat
dan kerabat dalam adat matrilineal dipisahkan dari suku (jiwa/pen-
Minangkabau oleh para pemangku duduk), sako (wali/pemerintah), dan
adat atau para datuk dan se- pusako (harta/wilayah). Jika salah
bagainya.
satu hilang, konsep adat ulayat pun Menurut Islam, adat matrilineal boleh dikatakan akan hilang. Secara
Minangkabau yang berprinsipkan makro, adat ulayat juga berhu-
kepada pihak perempuan tidak bungkait dengan urusan peme-
hubungan dengan rintahan (wali al-amr) karena ulayat
mempunyai
penghapusan nasab kepada ayah. dapat didefinisikan dengan kekuasa-
Adat Minangkabau tidak mengabai- an untuk mengatur wilayah yang di
kan ayah sebagai pusat nasab anak, dalamnya terdapat anak, kemenakan,
meskipun garis keturunan suku dan suku, kaum, paruik, dan sebagainya.
kaum berada di pihak ibu. Oleh itu, Selain itu, wilâyah juga di-
adat matrilineal dapat dianggap definisikan dengan perwalian, yaitu
sebagai adat baharu yang tidak di- kekuasaan syarak (sultah) untuk
perincikan oleh nas Alquran dan memberi kuasa kepada seseorang
Sunnah. Adat ini dilihat tidak ber- supaya melakukan kontrak (al-‘aqd),
canggah dengan Islam. Memetik transaksi (tasarruf), pelaksanaan ke-
pendapat Muhammad al-Shaybaniyy dua-duanya, dan berjaga-jaga ke atas
tentang al-‘urf, meskipun ‘urf ‘am akibat yang mungkin muncul dan
yang terjadi dalam masyarakat ialah memberi kesan buruk pada dirinya
adat patrilineal, adat matrilineal tetap pada bila-bila masa. Wilâyah seperti
dianggap sebagai ‘urf khas (Othman ini ada dua jenis, yaitu wilâyah
bin Haji Ishak, 1997: 32-33). Meski- zâtiyyah atau wilâyah bi al-ashâlah dan
pun ramai orang mengatakan bahwa wilâyah ‘ala al-ghayr. Wilâyah zâtiyyah
fiqh menganut sistem patrilineal , ialah perwalian terhadap diri sendiri
tetapi penetapan nasab oleh fiqh secara mutlak karena dia telah
biasanya akan didasarkan pada prin- dianggap mempunyai kecekapan
sip-prinsip matrilineal, yaitu hubung- yang sempurna. Wilâyah ‘ala al-ghayr
an darah, kelahiran, dan hubungan ialah perwalian bagi anak kecil ka-
sesusuan di mana perempuan lebih rena dipandang belum cukup sem-
sesuai untuk diakui dalam dasar ini. purna kecekapannya. Ayah, datuk,
Selain itu, penjagaan kanak-kanak dan seterusnya ditetapkan oleh sya-
(hadhânah) oleh perempuan selepas rak sebagai wali bagi anak kecil
terjadi perceraian seakan menegas- tersebut. Mereka berperanan meng-
kan bahwa sistem patrilineal tidak awasi dan mendidik mereka se-
dapat dipisahkan begitu saja dari hingga memasuki masa perkawinan
tabiat semulajadi perempuan dalam dan mengawal anak dalam mem-
107 Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
sistem matrilineal (Othman bin Haji Ishak, 1997: 38-39).
Perempuan di dalam Islam di- benarkan memperoleh harta dengan status hak milik. Secara tradisional, amalan tentang harta pencarian merupakan bukti dalam hal ini. Secara syarak, hal ini juga tidak bertentangan dengan Alquran di mana setiap laki-laki dan perempuan diberi kelebihan masing-masing. Laki-laki akan mendapatkan apa saja yang diusahakannya dan demikian juga perempuan akan mendapatkan apa saja yang diusahakannya (Al- quran, al-Nisâ’4: 32). Fiqh menyebut harta pencarian dengan istilah matâ’ li al-bayti atau mâl al-zawjayni (Ibn al- Qayyim al-Jawziyyah, 1961: 24). Namun, fiqh telah mengkategorikan harta pencarian itu pada aspek ru- mah, perabot rumah, dan kendaraan saja. Jika terjadi perceraian, harta pencarian ini akan dibagi secara sama rata. Dato’ Ibrahim Lembut memberi saranan supaya mahkamah membagi mengikut tahap sumbang- an yang telah dibuat oleh tiap-tiap satu pihak, baik dalam bentuk uang, harta, atau pun kerja dalam memper- oleh aset-aset harta pencarian ter- sebut (Dato’ Haji Ibrahim Lembut, 2007: 12). Fiqh membedakan antara mâl al-zawjayni dengan ikhtilât mâl al- zawjayni dalam hal harta pencarian. Dalam mâl al-zawjayni harta pen- carian masih mungkin dipisah dan diketahui jumlahnya masing-masing, manakala dalam ikhtilât mâl al- zawjayni sudah terjadi percampuran harta sehingga sukar dipisah dan diketahui jumlah milik semula untuk masing-masing (al-Sayyid ‘Abd al- Rahmân bin Muhammad bin Husayn bin ‘Umar Ba’lawiyy, 1994:
363-364). Oleh karena itu, mâl al- zawjayni dapat diartikan sebagai harta pencarian dan ikhtilât mâl al- zawjayni lebih sesuai disebut sebagai harta bersama atau musyâ’ yang pewarisannya adalah kepada ahli waris secara bersama pula (Dato’ Haji Ibrahim Lembut, 2007: 19). Dalam konteks Minangkabau, hal ini dapat dijadikan dasar pewarisan adat komunal karena harta bersama di Minangkabau adalah turun te- murun dan sukar dipisahkan lagi. Meskipun secara adat harta dipu- sakakan kepada kemenakan, tetapi pada hakekatnya dimiliki secara ber- sama oleh keluarga besar suku/ka- um dalam garis keturunan pihak ibu. Pemilikan mereka hanya bersifat milk al-manfa’ah, bukan milk ‘ayn. Peralihan harta ulayat atau harta bersama hanya boleh dalam konteks manfaatnya saja, bukan peralihan aset tanah secara hakiki.
Sistem penguasaan ulayat sa- ngat penting untuk menjaga ke- utuhan hubungan-hubungan adat antara perempuan, sistem keke- luargaan (kekerabatan) dan harta ulayat . Dalam Islam, cara fiqh men- jaga keutuhan sistem kekeluargaan Islam supaya tetap kuat, yaitu melalui prinsip hifz al-nasal/al-nasab (menjaga keturunan), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-mal (menjaga harta). Berbagai kajian fiqh menyebut perkara ini dengan istilah al-dharûrah al-khamsah, al-maqâsid al-sharî’ah , atau al-maqâsid al-khamsah , yaitu hifz al-dîn (menjaga agama), hifz al-nafs (men- jaga jiwa), hifz al-‘aql (menjaga akal), hifz al-nasal/al-nasab (menjaga ketu- runan), dan hifz al-mâl (menjaga harta). al-Ghazaliyy sendiri menye- butnya dengan istilah al-usûl al-
JURIS Volume 10, Nomor 2 (Desember 2011)
khamsah (Abû Hamîd Muhammad dalam setiap pemilikan, baik pe- bin Muhammad al-Ghazâliyy al-
milikan pribadi, bersama, maupun Tûsiyy, 1997: 417). Hasil Bahth al-
negara pasti terdapat maslahah Masâil organisasi Nahdlatul Ulama
’âmmah atau maslahah kulliyyah di (NU) menambahkan satu jenis lagi,
dalamnya. Dalam fiqh, maslahah yaitu hifz al-‘ird (menjaga kehor-
c ammah mesti diutamakan daripada matan). Bahkan, kemudiannya NU
maslahah khassah , maslahah kulliyyah juga menambahkan hifz al-bî’ah
mesti diberi perhatian lebih daripada (menjaga alam sekitar) sebagai bagi-
maslahah juz’iyyah (Nur al-Din al- an perbahasan ini (Imam Ghazali &
Khadimiyy, t.th.: Jil. 1, 193). Oleh itu,
A. Ma’ruf Asrori 2004: xxxi, xxxii, jika maslahah khassah atau maslahah 658, li, dan lii). Oleh itu, pemikiran
juz’iyyah berlawanan dengan masla- para akademisi yang menggugat sis-
hah c ammah atau maslahah kulliyyah, tem kewarisan Islam karena meng-
maka yang diakui ialah maslahah anggapnya tidak adil dan tidak ber-
’âmmah atau maslahah kulliyyah-nya, pihak kepada perempuan dirasakan
bukan maslahah khâssah atau maslahah telah menggugat keseluruhan sistem
juz’iyyah -nya (’Abd al-Rahmân bin kekeluargaan dan kekerabatan Islam
Shâlih al- ’ Abd al-Latîf, 2003: Jil. 2, yang kukuh. Pemikiran ini dikha-
579). Sebab, dalam fiqh pengakuan watirkan akan mempersoalkan as-
terhadap maslahah ’âmmah sudah pek lain, seperti persoalan nafkah,
tentu akan mencakupi maslahah kepimpinan laki-laki, hak pengasuh-
khâssah (Abû Muhammad ’Izz al-Dîn an dan penyusuan anak, dan se-
’Abd al-’Azîz bin ’Abd al-Salâm al- bagainya. Pada saat ini, hakekatnya
Dimashqiyy, t.th.: Jil. 2, 160). Istilah prinsip al-dharûrah al-khamsah juga
maslahah ’âmmah mempunyai sudut sedang digugat. Hendaknya hal
persamaan dengan hâjah. Kadang- seperti ini tidak terjadi di Minang-
kala hâjah dimaksudkan sebagai kabau.
maslahah dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana pun, meski terdapat
Oleh itu, c Izz al-Din ibn c Abd al- sumber yang dapat digunakan se-
mengistilahkan maslahah bagai dasar berlakunya sistem ulayat,
Salam
sebagai hâjah’âmmah dan maslahah namun Islam masih menuntut su-
’âmmah sebagai dharûrah khâssah paya terjadi keseimbangan antara
(Muhammad ’Uthmân Shâbir, 1420 pemilikan pribadi dengan pemilikan
H: Jil. 1, 85; Abû Muhammad ’Izz al- bersama. Bahkan, Islam menuntut
Dîn ’Abd al-’Azîz bin ’Abd al-Salâm wujudnya batas keseimbangan an-
al-Dimashqiyy, t.th.: 326). Berdasar- tara pemilikan pribadi, bersama dan
kan uraian ini, meskipun dalam negara. Idea pemilikan bersama
pemilikan individu terdapat masla- yang tidak ada batas kepentingan
hah, ia tidak boleh menghilangkan bersama, jelas bukan datang dari
status pemilikan bersama yang Islam (Ahmad Zaki Yamani, 1974:
sudah ada secara tetap karena di 53). Istilah kepentingan bersama ini
dalamnya terdapat prinsip maslahah dalam fiqh diistilahkan sebagai
’âmmah.
maslahah ’âmmah atau maslahah kulliyyah. Hal ini bermaksud bahwa
Iza Hanifuddin, Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat …
PENUTUP
tidak boleh diteruskan lagi pada Sistem tanah ulayat di Minang-
masa depan. Posisi perempuan da- kabau mesti diperkuat kembali oleh
lam adat yang cukup strategis masyarakat adat dengan memper-
semestinya digunakan untuk mem- timbangkan bahwa ia dapat disa-
pertahankan tanah ulayat dalam sistem adat yang telah memberi
makan atau diserupakan dengan kemaslahatan lebih luas sebagai-
sistem wakaf dan himâ yang diakui mana yang dituntut oleh syarak.
oleh Islam. Posisi perempuan juga Demikian kesimpulan yang dapat
mesti diletakkan kembali sesuai diambil dari kertas kerja sederhana
peranan dan fungsinya dalam sistem ini. Berbagai kekurangan harap
adat ulayat. Meskipun dalam per- kembangannya perempuan telah
dapat ditindaklanjuti dalam berbagai turut memindahkan tanah ulayat
kajian lain yang lebih membe- dalam pemilikan individu, hal ini
rangsangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’ân al-Karîm. Ahmad Zaki Yamani. 1974. Syariat Islam yang Abadi, Menjawab
A. A. Navis. 1986. Alam Takambang Tantangan Masa Kini. Terj.
Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Mahyuddin Syaf. Bandung: Al-
Pustaka Grafitipers.
Maarif.
Abbas bin Haji Ali. 1953. Rembau, Amir Syarifuddin. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam
Sebuah Daripada Luwak-luwak yang Sembilan, Sejarah, Per-
Lingkungan Adat Minangkabau. lembagaan, dan Adat Istiadatnya
Jakarta: PT. Gunung Agung. (tulisan Arab Jawi). Rembau:
Amir, MS. 2002. Tanya Jawab Adat Jabatan Undang dan Per-
Minangkabau, Hubungan Mamak lembagaan Adat dan Istiadat
Rumah dan Sumando. Jakarta: Melayu Rembau.
PT. Mutiara Sumber Widya. ‘ Abd al-Rahmân bin Shâlih al-‘Abd
Amir MS. 2003. Adat Minangkabau, al-Latîf. 2003. al-Qawâid wa al-
Pola dan Tujuan Hidup Orang Dawâbit
Minang. Jakarta: PT. Mutiara Mutadamminah li al-Taysir . Arab
al-Fiqhiyyah
al-
Sumber Widya. Saudi: ‘Imâdah al-Bahth al-
Amir, MS. 2007. Masyarakat Adat Ilmiyy bi
al-Jâmi’ah al-
Minangkabau Terancam Punah. Islâmiyyah al-Madînah al-
Jakarta: PT. Mutiara Sumber Munawwarah.
Widya.