TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah

TASAWUF KULTURAL Fenomena Shalawat Wahidiyah

  

Penulis:

Sokhi Huda

(Staf Pengajar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya,

Diperbantukan di Fakultas Dakwah IKAHA Tebuireng Jombang)

  

Kata Pengantar:

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Surabaya)

  

Penerbit:

LKiS Yogyakarta, Juli 2008

Bedah Buku pada Hari Sabtu, 23 Agustus 2008 Di Gedung Perpustakaan Teatrikal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

  Tasawuf Kultural Senin, 21 Juli 2008 Judul : Tasawuf Kultural Penulis : Sokhi Huda Tebal Buku : xxiv + 372 Halaman

  ISBN : 979 979 1283 724 Shalawat Wahidiyah merupakan interpretasi terhadap Islam yang dilakukan secara genius oleh pendirinya dan ditransformasikan secara terus-menerus sehingga menjadi habitualisasi di dalam kehidupan sehari-hari. Ia merupakan tasawuf lokal yang menjadi ajang bagi para penganutnya untuk memenuhi gelegak keilahian dan menjadi wadah bagi pemenuhan kebutuhan spiritual yang tidak ada habis-habisnya. Ia menjadi medium untuk mengekspresikan gelegak ketuhanan dan kulminasi pengalaman keilahian yang tak kunjung henti. (Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.)

   (RINGKASAN) ABSTRAK

  Dengan ungkapan Alhamdulillah, terimakasih kepada segenap informan, partisipan, dan penerbit LKiS Yogyakarta buku ini hadir di hadapan para pemerhati yang budiman.

  

  Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan pendekatan interdisipliner (berbagai disilpin ilmu), dengan segenap kekurangan yang ada padanya. (dijelaskan pada Bab I)

  

  Buku ini berusaha menjelaskan realitas sosok dan dimensi ajaran, kesejarahan, aspek fenomenologis (pengamalan, keperilakuan, dan aneka respons seputar kewahidiyahan).

  GAMBARAN SINGKAT ISI BUKU

Dengan 5 Perspektif (Sudut Pandang)

  

Perspektif Ilmu Tasawuf

  

Perspektif Sejarah (Historis)

  

Perspektif Antropologi

  

Perspektif Sosiologi

   Perspektif Yuridis

PERTAMA: PERSPEKTIF ILMU TASAWUF (Bab I dan Bab III)

  

  Shalawat Wahidiyah (SW) merupakan salah

  satu dari tiga unsur sistem ideologi

  Wahidiyah. Dua unsur lainnya adalah ajaran Wahidiyah dan lembaga khidmah Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW) yang dibentuk oleh Muallifnya (KH. Abdoel Madjid Ma’roef dari Kediri-Jawa Timur-Indonesia)

  

  Shalawat Wahidiyah merupakan sarana batiniah untuk tercapainya kesadaran kepada Allah

  SWT dan Rasul-Nya SAW, dengan seruannya

  yang tegas “Fafirru Ilallahi wa Rasulihi SAW” yang bersumber dari al-Qur’an.

  Lanjutan

PERTAMA: PERSPEKTIF ILMU TASAWUF (Bab I dan Bab III)

  

  Seruan tersebut ditujukan untuk menembus

  segala sekat aliran dan agama, tanpa pandang

  bulu; lintas status sosial, kalangan, dan usia, ke segenap masyarakat global (jami’ al-’alamin).

  

  Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, Wahidiyah menghidupkan kembali sosok

  Rasulullah SAW, sebagai koreksi dan arah

  kemudi zaman. Karena Beliaulah yang diyakini sebagai satu-satunya makhluk/hamba Allah yang dapat bertemu langsung dengan Allah, dan tidak membeda-bedakan kalangan dan status sosial dengan misinya “rahmatan li al-’alamin”. Inilah yang mendasari seruan Ya Sayyidi Ya Rasulallah”.

  Lanjutan

PERTAMA: PERSPEKTIF ILMU TASAWUF (Bab I dan Bab III)

   Shalawat Wahdiyah dikemas sedemikian rupa secara praktis, tanpa baiat (inklusif/terbuka), dapat diamalkan oleh segala status dan usia, dan telah diijazahkan secara mutlak oleh Muallifnya.

   Sifat inklusif, ijazah mutlak, dan ijtihad ketasawufan Wahidiyah menjadi habitualisasi kultural pada relung kalbu

setiap pengamal. Ia menjiwai perilaku dalam

segala aspek kehidupan pengamal yang mewujud “fenomena kultural Wahidiyah”.

  Lanjutan

PERTAMA: PERSPEKTIF ILMU TASAWUF (Bab I dan Bab III)

  

Wahidiyah adalah aliran tasawuf yang

tidak termasuk aliran thariqah.

  Wahidiyah merupakan salah satu dari 2 aliran tasawuf produk asli Indonesia.

  Satu aliran lainnya adalah thariqah Shiddiqiyah yang dirintis oleh K.H.

  Mukhtar, Ploso-Jombang-Jawa Timur.

   Tipe tasawuf Wahidiyah adalah moderat diantara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni (Thariqah).

  Lanjutan

PERTAMA: PERSPEKTIF ILMU TASAWUF (Bab I dan Bab III)

  

  Wujud khas Tasawuf Falsafi Wahidiyah adalah pada prinsip ajaran “Lillah-Billah”, tidak seperti Tasawuf Falsafi pada umumnya yang cenderung bermuatan ajaran “Manunggaling

  Kawula-Gusti” milik Syaikh Siti Jenar dan

  Ronggowarsito, “Wahdatul Wujud” milik Ibnu Arabi, “Ittihad” milik Abu Yazid al-Busthami, atau “Hulul” milik al-Hallaj.

  

  Wujud khas Tasawuf Sunni Wahidiyah adalah pada pentingnya Mujahadah Shalawat Wahidiyah sebagai sarana batiniah untuk penerapan ajaran Wahidiyah.

KEDUA: PERSPEKTIF SEJARAH (Bab II)

  

  Shalawat Wahidiyah dalam sistem ideologi Wahidiyah lahir pada 2 tahun sebelum

  peristiwa G 30 S/PKI yang ateis (anti

  Tuhan), dan orientasi historis Wahidiyah tidak terbatas pada lokal waktu dan lokal teritorial.

  

  Wahidiyah hadir sebagai koreksi dan arah

  kemudi zaman, dengan ide dan sasaran tegas kesejahteraan lahir-batin masyarakat gobal.

  

  Berbagai ujian sejarah dan respons dialami oleh Wahidiyah, dari: para tokoh organisasi sosial keagamaan, tokoh thariqah/tasawuf, kelompok masyarakat, serta instansi pemerintah dalam dan luar negeri.

  Lanjutan

KEDUA: PERSPEKTIF SEJARAH (Bab II)

  

Selain respons-respons dari dalam negeri

(termasuk Direktorat Sospol, Pemda, dan

MUI), pada tahun 1989 (tepatnya pada tanggal 14 Pebruari) Mufti Kerajanaan

Negara Brunei Darussaslam memberikan

respons formal, yang intinya adalah “Shalawat Wahidiyah boleh diamalkan”.

   Berbagai respons dihadapi oleh para aktivis Wahidiyah dengan sikap piawai/bijaksana, patriotik, dan diusahakan efisien dan akurat.

  Lanjutan

KEDUA: PERSPEKTIF SEJARAH (Bab II)

   Misi “jami’ al-’alamin” dan sifat “inklusif” (terbuka) memperkokoh eksistensi dan gerak Wahidiyah

menembus wilayah manca negara (Timor Leste,

Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Australia,

Hongkong, Thailand, Filipina, Jepang, Arab Saudi,

Belanda, Selandia Baru, Peru, dan lainnya).

  

Ada 2 problem historis yang menonjol: pertama,

Wahidiyah teruji oleh munculnya organisasi- organisasi selain PSW yang dibentuk oleh Muallifnya. Dalam hal ini muncul ranah ijtihad dan pergeseran nilai-nilai ajaran, berdampingan dengan usaha konsistensi (istiqamah) dan berpegang teguh pada kemurnian ajaran Wahidiyah yang dilakukan oleh PSW (Problem keorganisasian).

  Lanjutan

KEDUA: PERSPEKTIF SEJARAH (Bab II)

   Problem kedua, Wahidiyah secara ajek

  berhadapan dengan tekanan agar berurusan dengan “status keabsahan” (kemu’tabarahan) Shalawatnya. Padahal status ini tidak diperlukan bagi Shalawat Wahidiyah sebagai sarana tasawuf yang bukan tarekat. (Problem politis)

  

  Di sisi lain, adanya prasangka bahwa Shalawat Wahidiyah tergolong tasawuf falsafi murni, berakibat Wahidiyah secara ajek diklaim “sesat”.

  Karena dalam sejarah ketasawufan di Indonesia, semua aliran tasawuf sunni (tarekat) memandang sesat tasawuf falsafi. (Problem

  politis)

   (Bab II dan Bab III) Shalawat Wahidiyah dita’lif sebagai pelaksanaan terhadap amanat spiritual yang diterima oleh Muallifnya (K.H. Abdoel Madjid Ma’roef) pada tahun

1963, 2 tahun sebelum peristiwa G 30 S/PKI yang

ateis.

  Wahidiyah merupakan ajaran yang mengemban Shalawat Wahidiyah sebagai sarana spiritual menuju kesadaran kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW.

  

Dengan latar belakang Muallif sebagai aktivis NU,

perkembangan Wahidiyah berawal dari kalangan Nahdliyin. Kemudian pada dekade selanjutnya sampai sekarang, Wahidiyah diamalkan oleh

berbagai kalangan mulai dari bromocorah sampai

mursyid thariqah.

  Lanjutan

KETIGA: PERSPEKTIF ANTROPOLOGI (Bab II dan Bab III)

  

  Nuansa misi “jam’ al-’alamin” (global) dan sifat “inklusif” (tanpa baiat) menjadi karakter khas Wahidiyah yang membedakannya dengan seluruh aliran tasawuf/thariqah yang ada.

  Nuansa inilah yang membuat Wahidiyah tegar menapaki eksistensinya dan menghadapi respons yang ada.

  

  Lima ajaran pokok Wahidiyah dan seluruh bimbingan Muallifnya mengarah pada usaha mencapai tiga sasaran pokok: (1) menata keyakinan yang benar, (2) menata ibadah yang benar dan terbaik, (3) menata perilaku terbaik sesuai dengan uswah (teladan) Rasulullah SAW (takhalluq bi akhlaqi Rasulillah SAW).

KEEMPAT: PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Bab IV)

   Dengan misi “jami’ al-’alamin” dan sifat

“inklusif”, Wahidiyah bergerak dengan cara

gethok tular” (multi step flow communication), retorika penyiaran, dan terorganisasi.

   Dengan 9 dimensi ajarannya, Wahidiyah menaruh perhatian besar terhadap partisipasi spiritual dan keperilakuan agar tercapai keberkahan dan kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, bangsa dan negara di mana pun tempat Wahidiyah diamalkan.

  Lanjutan

KEEMPAT: PERSPEKTIF SOSIOLOGI

(Bab IV)

  Dengan karakter khasnya, Wahidiyah meraih simpati dan empati berbagai kalangan masyarakat, aliran organisasi, bahkan lintas agama, dengan pengalamannya masing-masing. Bahkan, ada tasyafu’an di Gereja, yang berbuah sebagian warga Nasrani masuk Islam lewat pintu Wahidiyah dan menjadi pengamal Wahidiyah.

  Aneka pengalaman spiritual berbagai kelompok

sosial disajikan pada Bab IV, termasuk pengamal

dari kalangan sesepuh NU dan para Kyai, warga Muhammadiyah dan organisasi lainnya, mantan

penginjil, warga masyarakat umum/aneka status

sosial, sampai mursyid & pejabat negara.

  Lanjutan

KEEMPAT: PERSPEKTIF SOSIOLOGI

(Bab IV)

  

  Aneka respons dan kritik yang dihadapi oleh aktivis Wahidiyah disajikan secara lebih dekat pada Bab IV, termasuk respons dan kritik keperilakuan, tertulis, maupun berbentuk diskusi terbuka, khususnya peristiwa musyawarah bertajuk “Piagam Ngadiluwih” pada Bulan Oktober dan Desember 1979 (menjelang tahun 1980 M/1400 H). Dari Piagam inilah lahir konsep-konsep strategis Wahidiyah.

  Lanjutan

KEEMPAT: PERSPEKTIF SOSIOLOGI

(Bab IV)

  

  Sikap Wahidiyah terhadap aneka respons dan kritik meliputi tiga kategori: (1) tabyin (penjelasan/klarifikasi) dan tanggapan langsung berbentuk surat resmi kepada pihak kritikus, dengan kesiapan pihak Wahidiyah melakukan diskusi sacara muwajahah (tatap muka), (2) kolom tabyin dan informatif Wahidiyah yang terbit secara berkala harian pada harian “Bangsa” Surabaya (mulai April 2006), dan (3) tabyin terhadap buku dan artikel yang beredar secara luas.

KELIMA: PERSPEKTIF YURIDIS (Bab I dan Bab II)

  

  Organisasi Wahidiyah yang dibentuk oleh Muallif Shalawat Wahidiyah adalah PSW (Penyiar Shalawat Wahidiyah).

  

  Pada tanggal 16 Juni 1987 Muallif Shalawat Wahidiyah mengamanatkan kepada Ketua PSW Pusat supaya minta penjelasan kepada Dirjen Sospol Depdagri di Jakarta mengenai UU Nomor

  8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kesimpulan dari Dirjen Sospol Depdagri adalah PSW perlu didaftarkan.

  

  Pada tanggal 8 September 1987 PSW Pusat

  

secara resmi didaftarkan kepada Ditsospol

Jawa Timur, tanggal 7 September 1987.

Lanjutan KELIMA: PERSPEKTIF YURIDIS

  

  Pada tanggal 29 September 1992 terjadi

  penyelesaian masalah legalitas

  (keabsahan) keorganisasian Wahidiyah, bertempat di Kantor Jawatan Penerangan Ditsospol Jawa Timur.

  

  Kemudian, dengan perjuangan yang panjang,

  PSW secara resmi terdaftar pada

  Departemen dalam Negeri RI, dalam hal ini pada Direktorat Jenderal Sosial Politik, pada tanggal 2 September 1997, nomor pendaftaran 1334.

Lanjutan KELIMA: PERSPEKTIF YURIDIS

  

  Saat ini PSW telah menjadi organisasi sosial yang berbadan hukum, dengan Akta Notaris Khusnul Hadi, SH, Jombang, nomor: 10, 26 Januari 2007. Selanjutnya, notaris menyampaikan berkas permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, dan berkas tersebut diterima di Kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada tanggal 30 Januari 2007.