KEARIFAN BUDAYA LOKAL; Sebagai Benteng Munculnya Konfik Agama

  KEARIFAN BUDAYA LOKAL;

  Sebagai Benteng Munculnya Konfik Agama Oleh: M. Alfan Sidik

Abstract : Secara praktis agama dan budaya tak dapat dipisahkan, meskipun

dalam ranah teoritis keduanya dapat dipisahkan. Agama dapat dipraktekkan

oleh pemeluknya pastilah melalui budaya. Pada dasarnya Agama datang pada

manusia yang tidak sepi dari budaya. Jauh sebelum datangnya agama,

sesungguhnya manusia dengan akal budi serta hati nuraninya mampu

mempunyai kebudayaan yang luhur, yang saling menyelamatkan satu sama lain

dan mampu menciptakan kehidupan yang harmonis. Namun, justru di era

modern ini ketika manusia yang mengaku mencapai kebudayaan yang maju,

justru seringkali terjadi konflik atas nama agama. Agama lahir sesungguhnya

untuk menyempurnakan kebudayaan yang sudah luhur, namun kenapa justru

sebaliknya agama dan budaya lokal justru mengalami ketegangan (tension) yang

kadang memicu konflik. Manusia yang berbudaya saja pada zaman dahulu

meskipun pra-agama mampu hidup dengan harmonis. Namun justru ketika

datang suatu zaman di mana agama dan budaya sudah sedemikian

berkembangnya seringkali hidup tidak berjalan harmonis. Tulisan ini akan

membahas seputas hubungan antara agama dan budaya dalam kaitannya

dengan konflik. Serta analisis tentang adanya krisis kemodernan yang juga ikut

berperan dalam memunculkan kejumudan berfikir yang mengakibatkan

munculnya konflik.

  Kata Kunci: Agama, Budaya, Konflik, kemodernan KEARIFAN BUDAYA LOKAL;

  Sebagai Benteng Munculnya Konfik Agama

  Oleh M. Alfan Sidiq

  Pendahuluan

  Konflik agama akhir-akhir ini semakin menghawatirkan, dan penyebabnya menurut penulis adalah hal-hal yang semakin sepele dan tidak rasional. Hanya karena seseorang melakukan ziarah di suatu makam kemudian makam itu diserbu oleh sekelompok ormas Islam yang menganggap bahwa itu praktik syirik atau menyekutukan Tuhan. Konflik agama sebenarnya dapat kita deskripsikan lebih panjang sebagai konflik antar manusia yang diakibatkan satu pemahaman (baca: penafsiran) mereka terhadap doktrin agama, pemahaman agama tersebutlah yang kemudian diyakini sebagai bukan lagi pemahaman atas agama namun sebagai agama itu sendiri, sehingga Ia dianggap menjadi satu-satunya kebenaran, yang oleh M. Arkoun disebut Taqdis al-afkar al-dini (penyakralan pemikiran keagamaan), sikap semacam ini menjadi salah satu sumber eksklusivisme agama yang mengakibatkan kejumudan umat, sehingga mereka cenderung mudah melakukan takfir (pengkafiran) daripada tafkir (pemikiran). Maka sikap yang sering muncul adalah intoleransi dan berakhir pada radikalisme terhadap kelompok yang dianggap menyimpang atau sesat.

  Kita semua pasti sepakat bahwa agama diturunkan kepada manusia pastilah mempunyai suatu misi, di mana misi itu adalah agar manusia mampu mencapai kesempurnaan, baik secara individu maupun sosial. Maka seharusnya nilai-nilai sakral agama semacam ini ketika diimplementasikan oleh pemeluknya bisa memberikan perdamaian, bukan konflik destruktif yang berkepanjangan pada masyarakat. Maka bagaimanakah sesungguhnya yang terjadi dalam aktualisasi nilai-nilai sakral agama tersebut?

  Di zaman pra-Islam, setiap wilayah khususnya di Nusantara, sudah mempunyai sistem kepercayaan dan budaya tertentu, yang pastinya memiliki keluhuran, kearifan, dan bermuatan spiritual yang tinggi. Di Melayu misalnya, suku tertua Melayu, Melayu tua (proto Melayu) sudah mendiami tanah Melayu sekitar tahun 3000-2500 Sebelum Masehi.

  Kemudian Melayu muda (Deutro Melayu) tiba sekitar tahun 300-250 Sebelum Masehi, perjalanan sejarah yang panjang itu, tidak mungkin tidak memiliki budaya yang jauh lebih luhur, bahkan lebih luhur dari budaya modern sekarang ini. Pemimpin adat mereka disebut Patih, Batin dan Datuk Kaya, amat besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas kehidupan. Mereka selalu hidup harmonis, bukan hanya sesama manusia namun juga dengan alam, oleh karena itu mereka memperlakukan alam sebagai partner yang memiliki jiwa yang halus. Makhluk yang menghuni tanah disebut Jembalang, yang mengawal binatang dan burung disebut Sikodi, yang menghuni hutan disebut Mambang. Bahkan jiwa-jiwa yang 1 menampakkan wujudnya sebagai wanita cantik disebut Peri.

  Begitu juga di daerah lain nusantara, di Jawa misalnya mempunyai filosofi hidup Mamayu hayuning bawono yang artinya mengusahakan keselamatan hidup di seluruh alam, yang semangatnya hampir sama dengan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), juga mirip dengan spirit filosofi negara Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu jua).

  Bangsa Nusantara melalui pengalaman hidupnya, mampu mempunyai filosofi yang luhur semacam itu, mungkin membutuhkan penelitian secara historis dan antropologis. Namun, setidaknya kita mampu melihat bahwa manusia dengan sisi kebudayaanya yakni dengan tradisi yang berakar dari akal budi dan hati nuraninya dalam merenungi kehidupan

  —bahkan untuk tidak mengatakan tanpa agama, sebenarnya telah mampu mencapai kearifan-kearifan lokal yang tinggi, yang mampu menciptakan kehidupan damai sejahtera dan saling menyelamatkan satu sama lain. 1 UU Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya Di Riau, (Pekanbaru: Bilik Maka tulisan ini akan membahas munculnya api konflik atas nama agama, namun bukan dari sudut pandang agama, melainkan dari sudut pandang bahwa manusia sebelum dia menjadi pemeluk suatu agama, ia sudah memiliki budaya yang luhur, yang menjunjung tinggi perdamaian, lantas kenapa ketika memasuki abad modern ini ketika ia beragama justru ia cenderung mudah marah dan berkonflik. Maka tulisan ini akan mencoba agak flashback ke belakang, yakni membicarakan manusia dan budayanya sebagai bekal untuk memberikan kedamaian bagi kehidupan. Sebelum dia mempelajari ilmu-ilmu agama.

  Domain dalam tulisan ini tidaklah ingin membuktikan bahwa manusia dengan budayanya tidak membutuhkan agama untuk hidup damai di alam semesta sebagaimana kelompok agnotis, bahkan ateis. Dalam pandangan penulis sendiri, Agama sangat penting bagi manusia karena dia dapat membawa manusia pada kesempurnaannya, manusia

  — kalau boleh dikatakan tanpa agama sekalipun, itu mampu untuk sekedar mempunyai sikap toleran, rasa ibah dan tidak tega untuk menyakiti sesama manusia hanya dengan hati nuraninya.

  

Gagalnya memahami Makna Budaya dalam Kaitannya dengan Agama

  Secara historis, Agama dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses dinamika sejarah dan budaya. Agama dan budaya meskipun dalam wacana teoritis dapat dipisahkan, namun tak pernah terpisah dalam ranah praktis. Agama secara normatif itu sakral, namun ketika agama dijalankan oleh pemeluknya atau secara historis, akan memunculkan pengalaman keagamaan, dia menjadi profan dan mau tidak mau agama akab menjadi bagian dari budaya.

  Segenap masyarakat yang mendiami suatu daerah mempunyai kebiasaan (habbit) tertentu. Kebiasaan tertentu itu apabila dilakukan secara terus menerus kemudian menjadi sebuah tradisi atau adat. Dalam perjalanan selanjutnya, tradisi itu kemudian menjadi budaya, yaitu ketika tradisi-tradisi itu sudah tersaring dengan nilai-nilai kerohanian yang dianut oleh masyarakat. Jadi budaya adalah suatu tradisi yang sudah bernilai rohaniah; artinya sudah bernilai bukan hanya indah namun juga bernilai luhur. Hal ini sejalan dengan akar kata budaya itu sendiri, yang

  2

  budi dan akal manusia. Maka kebudayaan dapat juga diartikan sebagai hasil dari kegiatan (cipta, karya, karsa) manusia. Itu dapat berupa kepercayaan, kesenian dan tradisi-tradisi lainnya.

  Agama hadir di dunia yang setiap jengkal wilayahnya mempunyai budaya yang tak mungkin sama, karena dipengaruhi oleh perbedaan kondisi alam, iklim dan cuacanya. Bahkan di satu jengkal wilayah, mempunyai keragaman budaya. Misalnya Islam lahir di Arab, yang ternyata juga memiliki keragaman budaya, antara Mekah dan Madinah, pada masa itu keduanya mempunyai budaya yang berbeda meskipun tidak terlalu jauh perbedaannya. Masyarakat Mekah penduduknya memiliki naluri dagang yang kuat karena tanah mereka tandus tidak bisa ditanami. Sementara penduduk Madinah suka menanam karena tanah mereka relatif subur. Oleh karena itu sektor pertanian memperoleh perhatian utama Nabi dalam membangun ekonomi Madinah. Beliau tahu benar bahwa karakteristik tanah dan penduduk Madinah berbeda dengan Mekah.

  Dari uraian di atas, dapat ditarik salah satu contoh kecil dari polemik antara agama dan budaya. Bahwa; karena Nabi sendiri awalnya adalah seorang pedagang. Maka ada yang mengatakan bahwa Islam itu agama dagang. Bahwa Nabi ketika muda adalah seorang pedagang yang sukses, namun bukan berarti dapat menyimpulkan bahwa Islam adalah agama dagang, kemudian menganjurkan pemeluk Islam untuk berdagang. Karena jika dilihat dari aspek budaya, Nabi berdagang karena Nabi hidup di Mekah yang saat itu mayoritas penduduknya adalah pedagang. Ketika Nabi berada di Madinah Nabi tidak menyuruh penduduk Madinah untuk berdagang namun bertani.

  Bahkan pernah suatu ketika Nabi ditanya oleh petani perihal

  umuriddunyakum 2 ‘ (kalian lebih tahu tentang urusan duniamu).

  Ahmad Fuad Efendy, Sejarah Peradaban Arab & Islam, (Malang: Misykat Indonesia, 2012), hlm. 31

  ―Umuriddunyakum‖ mempunyai cakupan makna yang luas, maka tidak berlebihan jika ―umuriddunyakum‖ dapat juga dimaksudkan sebagai budaya. Dalam hal kebudayaan kita memiliki ‗kebebasan‘ asalkan itu sesuai dengan Agama. Dengan istilah lain, dalam praktek kebudayaan Islam atau Islam dari sisi historisitas seharusnya tidak lagi memiliki ketegangan (tension) dengan Agama dari sisi normativitasnya. Karena sisi historisitasnya kata Nabi adalah ‗antum a’lamu bi umuriddunyakum‘ tadi sebagaimana di atas.

  Agama dan budaya lokal adalah bagian yang tak terpisahkan dalam praktiknya, agama mengajarkan sholat dengan berbagai syarat dan ketentuannya, namun dalam prakteknya shalat itu juga membutuhkan budaya, dalam artian bahwa orang sholat menggunakan pakaian yang sopan, peci, sajadah, masjid, Mikrofon dan lain sebagainya, yang semua itu tidak lain adalah produk dari budaya. Yang setiap daerah memiliki keragaman dengan daerah lainnya. Secara praktis, kebutuhan Agama kepada budaya adalah bagian dari sendi-sendi kehidupan atau sebuah keniscayaan hidup (min lawazim al- hayah) kata pepatah Arab, sehingga tinggal bagaimana kita me-manage keduanya sehingga tidak terjadi ketegangan (tension) bahkan konflik.

  Kemanusiaan, Krisis Modernisme dan Posmodernisme

  Yang juga ikut berperan dalam munculnya konflik agama ini adalah termasuk krisis yang terjadi di era modern dan postmodern ini. Krisis ini membuat manusia melupakan kebudayaannya sendiri yang jauh lebih luhur, manusia yang mengalami krisis kemodernan ini, ketika mempelajari ilmu agama atau suatu doktrin agama ia justru kehilangan rasa kemanusiaan itu dan cenderung menjadi anarkis.

  Dalam bukunya Megatrend 2000, John Naisbitt pernah meramalkan apa yang akan terjadi dalam milenium kedua ini bahwa dalam waktu yang kacau, banyak perubahan, manusia bergerak menuju 3 dua arah ekstrem; fundamentalis atau pengalaman spiritual personal. 3 John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000, Sepuluh Arah Baru untuk Dua ekstrem ini sekarang cenderung lebih diminati oleh banyak orang bahkan di beberapa tempat kemudian menjadi gerakan yang mainstream.

  Memang di era posmodern ini, manusia mengalami chaos kehidupan. Terjadinya krisis sosial dan krisis kemanusiaan, sebenarnya adalah salah satu akibat kompleksitas dari warisan krisis modernitas, yang dimulai sejak era renaisans di Barat. Di era itu muncul semangat- semangat kemanusiaan, ini bisa kita lihat dengan munculnya paham antroposentrisme sebagai sikap kritisnya terhadap teosentrisme Abad Pertengahan. Muncul juga ideologi humansime yang dapat dipandang sebagai upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan 4 keterlibatan manusia di dalam dunianya.

  Kesadaran kemanusiaan semacam inilah yang kemudian melahirkan kaum agnotis, the deits, ataupun ateis pada masa itu, mereka banyak menulis buku-buku kontroversial mencoba meyakinkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi dapat dilacak pada mukjizat-mukjizatNya, melainkan pada alroji semesta yang mencerminkan suatu desain Tuhan. Karena itu mereka beranggapan bahwa moralitas tidak harus diturunkan dari wahyu Tuhan, melainkan cukup disimpulkan dari asas akal budi kita sendiri dan mekanisme alam, yang terinspirasi dari Isaac Newton (1643- 1727) dengan fisikanya ia memberi kita suatu keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti alroji, dan akal budi manusia dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses 5 alamiah.

  Meskipun kesadaran kemanusiaan itu pada akhirnya memberikan kemajuan teknologi namun manusia sudah melupakan kebudayaannya sendiri. Ia tidak lagi menjunjung tinggi keharmonisan dengan alam, ia tidak lagi menganggap alam adalah partner tapi alam adalah lahan ekologi yang tak lain disebabkan eksploitasi alam secara berlebihan terutama pasca perang dunia, di mana banyak kerusakan yang diakibatkannya. Namun, yang tak kalah berbahaya dari krisis tersebut 4 5 F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, (Jakarta: KPG, 2012), hlm. 27

  adalah krisis eksistensial, karena di era teknologi manusia harus bersaing dengan mesin bahkan ia harus berjalan sebagaimana mesin

  • –sebagaimana pandangan dunia mekanistis ala Newton — yang digerakkan oleh para kapitalis. Ia kemudian menjadi manusia ‗mekanistis‘ hanya berfokus pada objek-objek material ansich tanpa penghayatan. Maka manusia yang mengalami krisis eksistensial. Ia merasa teraleniasi dari dirinya sendiri sebagai subjek pemberi makna. Hidupnya menjadi hampa tanpa makna.

  Manusia pada level ini, tak kunjung juga mendapatkan kedamaian dalam hatinya, akhirnya ia kecewa dengan abad modern, sebagaimana kata Nasr dalam The Plight of Modern Man yang dikutip Haidar Bagir, bahwa krisis-krisis eksistensial semacam ini bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan, mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan seperti yang dijanjikan oleh Renaisans, Abad 6 pencerahan, Sekularisme, Sains, dan Teknologi itu. Maka krisis eksistensial ini sesungguhnya lahir juga dari matinya kebudayan, manusia lupa dengan kearifan budayanya sendiri.

  Puncaknya adalah pada awal abad 21 ini, penanda lain yang mendesak kita untuk memikirkan ulang tentang hubungan kemodernan dan agama (nalar dan iman) adalah peristiwa 11 september 2001 atau dikenal dengan 9/11. Manusia mengalami Relativisme dan nihilisme yang dibawa oleh rasio sekular, justru telah menyediakan ruang bagi fundamentalisme agama karena di tengah-tengah krisis dan disorientasi nilai, sikap-sikap fundamentalistis memiliki daya tarik tersendiri dalam 7 jiwa yang mencari kepastian dan koherensi.

  Ketika penganut agama bergerak ke arah fundamentalisme untuk mengatasi krisis zaman, hingga sampai penggunaan kekerasan untuk memaksaan kehendak mereka sendiri sebagaimana peristiwa 9/11 dan

6 Haidar Bagir, ―Kembali Berfilsafat, Kembali Menjadi Manusia‖. sebuah

  

pengantar, dalam Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung: Mizan 2001), hlm. xiii. 7 lain justru menjadi sinis dan mencurigai komunalisme sebagai pemicu 8 kekerasan.

  Kecenderungan-kecenderungan yang sangat negatif ini, sebenarnya adalah gejala masyarakat posmodernistik, dan salah satu imbas posmodernistik ini adalah munculnya paradoks,salah satu paradoks posmordenistik adalah dunia menjadi global, menurut Amin Abdullah menyebutnya sebagai semacam kegamangan dalam meniti kehidupan di era global, yang diakibatkan terjadinya kesimpangsiuran lalu lintas informasi tentang Islam di era borderless society, dan klaim-klaim keislaman secara sepihak-subjektif, yang semakin hari semakin membingungkan masyarakat dan semakin tak terkontrol oleh siapapun 9 dan oleh lembaga apapun, yang semakin kebal akan kritik. Kegamangan semacam inilah yang kemudian akan memunculkan pola keislaman yang fundamentalis inklusif dan pada akhirnya memicu radikalisme bahkan terorisme.

  Manusia di era posmodernistik ini adalah manusia yang hidup di zaman di mana ia berada dalam horison sangat besar. Kemudian karena beberapa sebab, misalnya segi sosiologis yang seringkali membuat seseorang mengalami semacam tekanan psikologis sehingga keyakinan menjadi goyah dan menjadi tidak berdaya. Adanya terpaan informasi, manusia tidak bisa merasa aman dengan sesuatu yang diyakininya, karena terpaan informasi itu. Hal inilah yang membuat manusia goyang. Orang semakin cenderung untuk berkumpul dengan masyarakat primordial, karena seseorang membutuhkan pegangan atau kepastian. Pegangan itu pastilah sesuatu yang stabil. Posmodernistik ini mengahasilkan goncangan yang membuat manusia tidak bisa berpegang, maka orang semakin ingin berkumpul dengan yang mempunyai kesamaan dengan dirinya, berbagai 8 A. Sudiarja, SJ, New Age : Kerohanian di Era Krisis, (Jurnal Rohani: No 3,

  Maret 2011), hlm. 2 9 M. Amin Abdullah, ―Mempertautkan Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah

  : Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global‖, dalam

Marwan Saridjo (ed), Mereka Bicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: DPP komunitas dan ormas-ormas pun bermunculan sebagai reaksi gempuran posmodernisme.

  Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu ekses negatif dari munculnya paradoks posmodernistik ini adalah munculnya kelompok- kelompok fundamentalisme dan radikalisme. Manusia Indonesia sekarang mengalami kebingungan karena ada bermacam-macam Islam, di sisi lain mereka sudah terkena krisis kemodernan, melupakan jauh identitas budayanya sendiri, mereka tidak mengenal sejarah NU atau Muhammadiyah yang sudah menjadi bagian dari sejarah dan dinamika kebudyaan Indonesia, sedangkan kelompok-kelompok Islam baru bermunculan dari luar, yang bermacam-macam jenisnya, yang masing- masing mengklaim memiliki dasar pembenaran sendiri. Kita bisa mendengar Islamnya orang Saudi, Islamnya orang di Amerika, ada

  Europian Islam, kemudian ada kelompok Salafi, baik yang takfiri maupun bukan, dan banyak sekali bermacam-macam pandangan yang berbeda.

  Yang kemudian kita tidak bisa lagi memegang Islam Nusantara kita dengan aman, sebenarnya bagi penganut muslim tradisionil gejolak seperti ini tidaklah terlalu berpengaruh besar. Yang berpengaruh adalah bagi mereka yang terkena paradoks posmodernisme yang mengalami krisis eksistensial. 10 Maka menarik, meminjam pemikiran lama dari Ernest Gellner yang membagi dua cara penghayatan Islam, pertama; Hight Islam (Islam tinggi) yaitu cara penghayatan Islam di mana kehidupan dan Islam itu masih ada kesenjangan, Islam belum menjadi bagian organik dari cara hidup seseorang, dan kedua; Low Islam (Islam rendah) yaitu Islam menjadi bagian organik dari kehidupan masyarakat. Islam yang dipahami sebagian besar orang Indonesia pada umumnya adalah low Islam dan Islamnya orang fundamentalisme adalah Higth Islam, karena dia selalu melihat jarak antara ideal Islam dan bagaimana cara orang hidup bermasyarakat, jadi selalu ada gap di antara keduannya antara doktrin agama dan realitas kehidupan. Maka yang sering terjadi adalah kekecewaan terhadap realitas, 10 Ernest Gellner, Postmodernism Reason and Religion, (Canada; Routlege, 1992), oleh karena itu fundamentalisme dan radikalisme adalah anak kandung dari paradoks posmodernistik ini.

  Fundamentalisme ini kemudian memegang ajaran agama secara literal, dan tidak mau mendengar penafsiran yang berbeda, dan berpandangan kalau bisa agama ini jangan terlalu majemuk, sikap-sikap eksklusifistik dalam agama ini kemudian yang melahirkan radikalisme, karena orang menjadi gelisah oleh gejala posmodernistik ini, dan mencari kepastian, orang menginginkan Islam yang tegas, tunggal dan tidak ruwet, oleh karena itu mereka cenderung literalistik, dan menjadi fundamentalisme, kemudian menjadi radikalisme dan ‗cucunya‘ kekerasan.

  Budaya Sebagai Solusi Timbulnya Konflik

  Jika budaya didefinisikan sebagai hasil cipta karya karsa manusia, yang berasal dari akal budi dan hati nurani manusia, maka akan kita bahas sdi sini kedua instrumen kebudayaan yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengetahuan yaitu akal dan hati yang seperti dijelaskan diatas dua alat itu cenderung diabaikan.

  Pertama,

  Akal Budi Manusia. Salah satu sebab terjadinya krisis kemanusiaan sebagaimana yang dibahas diatas adalah karena krisis nalar atau akal, karena nalar tidak lagi didasari pada fitrawi dan kemanusiaan. Padahal perbedaan utama antara manusia dengan binatang adalah terletak pada kepemilikan akal dan hati nurani, al-insanu hua hayawanu

  natiqun

  begitu silogisme terkenal dari Aristoteles, manusia tak ubahnya adalah salah satu jenis mamalia, namun ia digambarkan sebagai binatang 11 yang rasional serta memiliki pengetahuan dan agama. Manusia menurut al-

  Qur‘an adalah sebagai masterpiece, ahsani taqwim (sebaik-baik ciptaan), 12 namun di sisi lain manusia adalah asfala safilin (serendah-rendahnya), tergantung bagaimana manusia menggunakan akalnya.

  Maka dapat dikatakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukanlah al- 11 Qur‘an, melainkan akal. Karena al-Qur‘an

  

Murtadha Muthahhari, Falsafah Agama dan Kemanusiaan, Perspektif al- Qur’an , (Yogyakarta: RausyanFikr, 2013), hlm. 7. dan Rasionalisme Islam 12 hanya turun kepada umat pasca Nabi Muhammad, dan sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad lebih lama dibanding pasca Nabi Muhammad, al-

  Qur‘an bukanlah subjek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. Al- Qur‘an bukan pelaku perubahan, pembangunan, sejarah dan peradaban umat manusia. Al-

  Qur‘an itu adalah alat perubahan, dan secara sederhana dapat dikatakan bahwa al- Qur‘an akan sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai 13 manusia, yakni aktivitas akal. Dan ratusan kali Allah memfirmankan

  ―Apakah engkau tidak berfikir?‖ ―Apakah engkau tidak menggunakan 14 maka ketika Agama menjadi antagonistik versus nalar, maka ia akal?‖ menjadi agama yang menolak eksistensi dirinya sendiri. Karena agama tanpa nalar ia akan menjadi sia-sia.

  Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan.

  Ijtihad

  itu perjuangan intelektual. Sedangakan mujahadah itu perjuangan spiritual. Masyarakat Barat dan Jepang Korea China sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah 15 dekadensi dan inferioritas. Bahkan sekarang ini orang Islam justru sibuk dengan jihadnya melawan sesama orang Islam sendiri yang dianggap kafir, sesat dan harus segera diusir.

  Dengan mengaktifkan akal, yakni dengan menggunakan logika dan prinsip-prinsip epistemologi yang benar, manusia mampu memperoleh kebenaran pengetahuan, yang kemudian menjadi sebuah keyakinan. Manusia menjadi tidak mudah terjebak dalam keraguan- keraguan yang mengakibatkan ketidaktenangan secara psikologis, yang membuat seseorang secara serampangan mencari sandaran dan cenderung meninggalkan kritisisme yang kembali terjebak dalam dogmatisme abad pertengahan. Oleh karena itu akal sehat mendahului 13 Emha Ainun Nadjib, ―Masterpiece Karya Allah: Menemukan Kembali al- Qur‘an‖, dalam Demikrasi La Roiba Fih, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 248. 14 15 Ibid., hlm. 249.

  agama. Karena akan sia-sia agama bagi seseorang yang tidak menggunakan akalnya.

  Kedua,

  Hati Nurani Manusia. Intrumen yang kedua setelah akal adalah hati, kalau akal dalam terminologi epistemologi disebut ilmu

  hushuli

  , sedangkan hati ini sering dikaitkan dengan ilmu hudhuri. Jika dalam akal akan memunculkan karya, dengan akan memunculkan karsa, menciptakan rasa keindahan. Hati dalam khasanah Islam ini bisa juga 16 disebut dengan epistemologi irfani dalam terminologi al-Jabiri, yang berbeda sumber pokoknya dengan tradisi bayani, yaitu ‗teks‘ (wahyu), dan sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir. ‗Irfani adalah

  

experience (pengalaman), yang menurut Amin Abdullah exsperience ini

  mencakup segala hal, bisa berupa pengalaman sehari-hari. Termasuk juga adalah kebudayaan.

  Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya, merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah mengetahui adanya Dzat yang Maha Suci dan Maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan 17 Penyayang, orang tidak perlu menunggu teks.

  Dalam kehidupan selalu ada dunia yang kita hayati dan yang kita katakan atau persepsikan. Dunia yang kita hayati atau renungi ini adalah berupa pengalaman kita. Pengalaman ini yang menjadi medan dari pengetahuan irfani ini. Penghayatan hidup, ada istilah mengalami ‗asam- manisnya kehidupan‘ itu pasti berkaitan dengan pengalaman kebudayaan, oleh karena itu pengalaman kongkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya bisa dirasakan oleh siapa pun, tanpa harus dipersyaratkan mengetahui teks-teks keagamaan yang biasa dibacanya.

  16 Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby, (Beirut: Markaz Dirarat al- Wahidah al- Arabiyah, 1990). 17 M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif- Untuk itulah prinsip memahami keberadaan orang, kelompok dan penganut agama lain (Verstehen; Understanding Others) dengan cara menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social skill serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal reciprocity (Bila merasa sakit dicubit, maka janganlah mencubit orang lain) akan mengantarkan tradisi epistemologi Irfani pada pola pikir yang lebih bersifat unity in difference, 18

  tolerant dan pluralist.

  Dengan demikian hubungan antar ―subjek‖ dan ―objek‖ dalam epsitemologi Irfani, bukannya bersifat subjektif (seperti yang biasa terjadi dalam tradisi bayani) dan bukan pula bersifat objektif (seperti yang biasa ditanamkan pada tradisi burhani), tetapi lebih pada intersubjektif. Kebenaran apa pun, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial-keagamaan adalah bersifat intersubjektif. Apa yang dirasakan oleh penganut suatu kultur, ras, agama, kulit, bangsa tertentu- dengan sedikit tingkat perbedaan juga dirasakan oleh manusia dalam 19 kultur, ras, agama, kulit dan bangsa yang lain.

  Namun, jika melihat konflik yang marak terjadi sekarang ini, hati nurani ini tidak lagi digunakan oleh seseorang untuk sekedar bersikap damai, bahkan manusia sekarang ini untuk memiliki rasa ketidak-tegaan diantara manusia saja sudah sangat susah, apalagi sebagaimana para Sufi melakukan penyucian hati kemudian menjadikannya sebagai alat dan sumber pengetahuan yang Ilahaiah.

  Kesimpulan

  Salah satu fungsi agama adalah untuk menjaga manusia dan kemanusiaannya (kebudayaaanya). Namun, sayangnya fungsi ini tidak lagi tampak dan bahkan dibid'ahkan atas nama agama, dan yang terjadi adalah konflik-konflik agama, yang penyebabnya ternyata adalah pertama; gagalnya kemanusiaan yang diakibatkan oleh krisis modernisme, di mana teks suci tidak lagi dipahami secara konprehensif. Ketika nalar ditinggalkan dan nurani kemanusiaan tidak lagi menjadi panduan serta kebudayaan lokal dilupakan. Maka akibatnya kekerasan menjadi pilihan. 18 19 Ibid., hlm. 210.

  Penyebab kedua adalah adanya kesempitan berfikir, krisis kebudayaan lokal, manusia mudah sekali terjebak pada krisis eksistensial, adanya kegagalan intelektual, kebudayaan lokal tak leagi memberikan ketenangan jiwa, manusia menjadi mudah marah dan anarkis. Hal ini seharusnya membuat kita tersadar bahwa musuh kita sesungguhnya bukanlah siapa-siapa, namun musuh kita sekarang ini adalah kesempitan berpikir. Peran agama yang sesungguhnya adalah mengubah cara pandang manusia terhadap realitas. Jika sebelumnya hanya ada materi, agama memberikan ruh atau spirit padanya. Seharusnya mampu memberi pemahaman yang mendalam tentang pentingnya mencari makna dalam setiap realitas sehingga manusia tidak mudah goyah dan tergerus oleh arus zaman. Dengan bekal intstrumen kemanusiaannya yakni akal dan nurani.

  Oleh karena itu, tentang konflik destruktif ini, lebih baik mundur dua langkah dahulu, tidak melulu membicarakan agama dengan terlalu

  ngotot

  , sebelum seseorang itu menggunakan akal budi dan hati nuraninya dengan benar, mengingat kembali kebudayaan nenek moyangnya yang luhur, mengetahui siapa dirinya. Lebih baik membicarakan bagaimana menjadi manusia yang baik secara budaya terlebih dahulu, yang mempunya hati, mempunyai sikap toleransi yang mampu menggunakan rasa kemanusiaannya, setelah itu barulah kita belajar mengenai ilmu agama sebagai suatu pembelajaran dengan kematangan berfikir dan kedewasaan dalam bertindak, daripada menjadi seorang yang beragama namun belum menjadi manusia karena tidak punya sikap toleransi, mudah marah, mengkafirkan, mengusir dan melakukan anarkisme kepada pemeluk agama lainnya. Maka untuk terwujudnya masyarakat yang damai menurut penulis adalah lebih mengandalkan kemanusiaan terlebih dahulu. Budaya mengajarkan manusia untuk saling mencintai dan menerima orang lain yaitu adalah dengan sikap rendah hati.

  ____________ M. Alfia Sidik adalah Dosen STAI Natuna Riau.