BAB II LANDASAN TEORI A. Konversi Agama 1. Agama - Gambaran Proses Pembuatan Keputusan Dalam Melakukan Konversi Agama

BAB II LANDASAN TEORI A. Konversi Agama 1. Agama Agama adalah sebuah fenomena yang sulit untuk didefinisikan karena

  cakupannya yang sangat luas dan karena setiap orang yang berusaha membuat definisinya membuat sebuah pengertian berdasarkan cara pandangnya sendiri- sendiri. Pada akhirnya, definisi agama yang sering muncul adalah definisi yang terlalu luas atau terlalu sempit (Pargament, Magyar-Russell & Murray-Swank, 2005).

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.

  Menurut Gellman & Hartman (2002), agama adalah sistem kepercayaan (beliefs), praktek-praktek (ritual), dan aturan-aturan moral (ethics) yang hadir berdasarkan suatu keyakinan terhadap suatu hal Yang Suci. Maka di dalam agama, terdapat tiga hal penting yaitu: kepercayaan, ritual dan aturan moral.

  Dalam bukunya Global Philosophy of Religion: A Short Introduction, Runzo (2001) mengatakan bahwa agama adalah sebuah pencarian manusia akan sebuah makna yang melampaui hal-hal materialistis. Ia menambahkan bahwa agama memiliki tradisi yang terdiri dari seperangkat simbol dan ritual, mitos dan

  21 cerita serta kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan lagi, yang dipercayai oleh sebuah komunitas memberikan makna pokok bagi kehidupan, melalui hubungannya dengan Yang Transenden .

  Dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan agama sebagai seperangkat sistem kepercayaan terhadap Yang Suci dimana di dalamnya terdapat ritual, simbol, dan ajaran-ajaran tertentu yang mendorong individu untuk melakukan proses pencarian terhadap suatu makna yang melebihi hal-hal material.

2. Motif Beragama

  Hardjana (1993) mengatakan bahwa secara umum terdapat enam faktor utama yang mendorong manusia untuk beragama:

  1. Mendapatkan keamanan Hidup di dunia ini menarik namun tidak selalu aman. Maka di tengah- tengah kehidupan yang tidak selalu aman dan penuh ancaman, individu memohon perlindungan Tuhan untuk dijauhkan dari segala bahaya.

  2. Mencari perlindungan dalam hidup Hidup ini selain tidak aman, juga penuh dengan ketidakpastian. Dalam keadaan yang seperti ini individu lari ke agama, karena di dalam agama diyakini adanya Tuhan, Sang Penyelenggara yang dapat diandalkan.

  3. Menemukan penjelasan atas dunia dan hidup serta segala yang termaktub di dalamnya

  Dalam hidup banyak terdapat pertanyaan yang mendasar namun sulit untuk dijawab. Agama bergerak di bidang misteri kehidupan tersebut.

  Di dalam agama terdapat Tuhan yang diyakini sebagai asal dan tujuan dari kehidupan. Oleh karena itu individu mengacu pada agama untuk mencari kejelasan atas makna hidup.

  4. Memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada Dalam hidup bermasyarakat terdapat berbagai aktivitas yang baik dan berguna seperti “sopan santun”, “rajin bekerja”, dan sebagainya. Agar aktivitas ini tetap terjaga dan memiliki daya tarik, maka agama dijadikan motivasi tambahan, seperti misalnya “bekerja rajin” merupakan ibadah.

  5. Meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat Dalam masyarakat terdapat berbagai nilai kehidupan etikal dan moral.

  Dengan agama, individu memiliki kekuatan, dorongan dan pemantapan dalam melaksanakan nilai kehidupan.

  6. Memuaskan kerinduan hidup Manusia tidak pernah puas dan selalu ingin lebih. Dengan masuk dan menganut suatu agama, individu akan memuaskan hasratnya yang paling dalam yaitu menemukan Tuhan sendiri. Individu yang beragama hendak memuaskan kerinduannya akan Tuhan yang mampu memenuhi dambaan akan nilai rohaninya yang paling tinggi dan kodrati.

3. Definisi Konversi Agama

  Kata konversi yang dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai perubahan atau perpindahan, berasal dari bahasa Latin “converiere”, yang berarti menyelesaikan (resolve) atau berbalik arah (turn around) atau berjalan melalui petunjuk atau arah yang berbeda (Flinn dalam Kurt-Swanger, 2008).

  Menurut Rambo (1993), konversi agama adalah proses perubahan agama yang melibatkan dinamika dari aspek-aspek: orang yang mengalaminya, kejadian konversi itu sendiri, ideologi, institusi agama, harapan-harapan dan orientasi- orientasi. Konversi agama adalah sebuah proses yang terjadi dari waktu ke waktu, bukan merupakan sebuah kejadian tunggal.

  Konversi sering diartikan sebagai perpindahan yang dilakukan individu dari agama tertentu ke agama yang lain. Tamney (dalam Blasi, 2009) mengatakan bahwa konversi merujuk pada penemuan, pembaruan, atau transformasi diri yang terjadi pada individu baik dalam satu tradisi agama maupun dari satu agama ke agama lain.

  Menurut Hood, Hill dan Spilka (2009), terdapat dua paradigma dalam konsep konversi, yaitu paradigma klasik dan paradigma kontemporer.

a. Paradigma klasik

  Menurut paradigma klasik, konversi merupakan perubahan religiusitas dalam diri seseorang yang perubahan tersebut terjadi lebih dikarenakan oleh proses individu menemukan diri (self) yang baru, daripada karena proses pendewasaan semata. Konsekuensi dari perubahan ini bersifat radikal, diindikasikan dengan beberapa hal misalnya adanya pusat perhatian, ketertarikan dan tindakan yang jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Diri yang baru ini dirasa lebih “mulia” dan dilihat sebagai pembebasan dari dilema atau keadaan yang sulit sebelumnya.

b. Paradigma kontemporer

  Menurut paradigma kontemporer, konversi merupakan perubahan religiusitas seseorang dari satu keyakinan ke keyakinan lain, yang karakteristiknya: terjadi dalam proses bertahap, lebih melibatkan pemikiran daripada emosi semata, pelaku konversi bersifat aktif mencari orang-orang yang dapat menghubungkannya dengan agama yang baru, dan pelaku konversi melakukannya dengan sadar dan penuh pemaknaan.

  Perbandingan paradigma klasik dan kontemporer dalam konversi agama dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Perbandingan Paradigma Klasik dan Kontemporer

  Paradigma Klasik Paradigma Kontemporer Konversi bersifat mendadak Konversi bersifat bertahap Bersifat emosional Bersifat intelektual, rasional Individu bersifat pasif Individu bersifat aktif Dibebaskan dari dosa dan rasa bersalah Mencari makna dan tujuan Menekankan proses psikologis yang Menekankan proses bersifat intraindividual interpsikologis

  Sumber: The Psychology of Religion: An Empirical Research, 2009

  Dalam Encyclopedia of Psychology and Religion, konversi adalah peristiwa penting dalam hidup, yang berkaitan dengan kejadian internal dan eksternal individu, dan mengarahkan individu pada pengkajian ulang hidupnya, kemudian merubah dirinya menjadi lebih baik dan secara biografis terputus dengan masa lalunya (Beit-Hallami, 2010).

  Berdasarkan definisi-definisi di atas peneliti menggunakan dua paradigma dalam penelitian ini; klasik dan kontemporer, serta membuat kesimpulan bahwa konversi agama adalah proses perubahan identitas agama yang tampak dari agama tertentu ke agama lain yang terjadi secara dinamis dalam diri individu, baik secara mendadak atau bertahap, dan dilakukan dengan kesadaran dan pemaknaan.

4. Tipe-Tipe Konversi Agama

  Salah satu cara yang lebih baik memahami konversi sesungguhnya adalah dengan mendeskripsikan bermacam-macam tipe konversi. Rambo (1993) membuat tipologi konversi agama sebagai berikut: a.

   Apostasy atau defection Apostasy, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai murtad,

  adalah penolakan akan agama oleh individu yang sebelumnya sudah memeluk agama tertentu. Perubahan ini tidak mencakup penerimaan akan pandangan agama yang baru, namun sering mengindikasikan pengadopsian nilai-nilai dari sistem yang bukan sistem agama. Apostasy diikutsertakan dalam tipologi ini karena dinamika kehilangan iman atau meninggalkan sebuah agama tertentu merupakan bentuk penting dari sebuah perubahan pada zaman modern ini. b.

  Intensification

  

Intensificatioin adalah pembaharuan komitmen individu pada agama yang

  selama ini telah ia anut, baik secara formal maupun non-formal. Hal ini terjadi ketika individu menjadikan agama menjadi pusat perhatian dalam hidupnya. Terjadi intensifikasi peran agama yang signifikan pada kehidupan seseorang.

  c.

  Affiliation Konversi tipe ini terjadi ketika individu yang tadinya tidak memiliki atau hanya memiliki komitmen yang sangat kecil kemudian berubah menjadi memiliki keterlibatan yang tinggi dalam sebuah institusi atau komunitas kepercayaan. Konversi tipe ini ditandai dengan tampaknya peningkatan keikutsertaan individu dalam beragam aktivitas kelompok agama.

  d.

   Institutional transition

Institutional transition adalah perpindahan keanggotaan individu dari satu

  komunitas ke komunitas lain dalam satu tradisi agama. Konversi tipe ini sering juga disebut sebagai

  “denomination switching”, misalnya

  perpindahan keanggotaan gereja dari Presbyterian ke gereja Pentakosta, yang keduanya masih dalam satu tradisi Kristen Protestan yang sama.

  e.

   Traditional transition

  Konversi agama yang dimaksud dalam traditional transition adalah perpindahan individu atau sekelompok orang dari satu agama ke agama lain. Berpindah dari satu cara pandang, sistem ritual, simbol-simbol kehidupan, dan gaya hidup dari satu agama ke agama lain.

5. Motif Konversi Agama

  Motif yang mendorong terjadinya konversi agama adalah berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Lofland dan Skonovd (dalam Kurt-Swanger, 2008) memaparkan enam motif individu melakukan konversi agama: a.

  Intellectual Motif ini melibatkan pembelajaran akan suatu agama yang intensif karena adanya rasa ingin tahu yang besar. Pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan beragam media, seperti buku, internet, teman dan berbagai sumber lainnya.

  b.

  Mystical Motif ini terjadi secara tiba-tiba, dahsyat dan sulit dijabarkan dengan jelas.

  Dalam motif ini, individu biasanya mengalami mimpi atau penampakan mistis.

  c.

  Experimental Dalam motif ini, individu mengeksplorasi agama yang akan dianutnya, yang diawali dengan keikutesertaan individu pada kegiatan agama tersebut. Jika agama tersebut kemudian diketahui dapat memenuhi kebutuhan yang ada dalam dirinya, maka ia akan menganut agama tersebut. Sebelum menganut agama tersebut, individu mencoba agama tersebut dengan melibatkan diri secara langsung terlebih dahulu. d.

  Affectional Motif ini dilandasi oleh hubungan interpersonal yang baik antara individu dengan jemaah agama yang akan ia anut. Pelaku konversi merasa diterima dan dikasihi oleh pemimpin agama dan para anggota agama tersebut.

  e.

  Revivalist Dalam motif ini, perilaku anggota kelompok agama memberi pengaruh besar pada individu. Perilaku kelompok yang bersifat membangkitkan

  (estatic arousals) dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan

  menimbulkan ketertarikan pada individu, misalnya: dengan melihat mukjizat penyembuhan tertentu atau adanya kesaksian akan pengalaman hidup yang luar biasa dari penganut agama lain.

  f.

  Coercive Motif seperti ini melibatkan pemaksaan terhadap individu untuk mau menganut agama tertentu, misalnya dengan program cuci otak (brainwashing), ancaman atau tekanan dari kelompok tertentu.

B. Pembuatan Keputusan 1. Definisi Pembuatan Keputusan

  Teori pembuatan keputusan yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori pembuatan keputusan Janis & Mann (1977), namun Janis & Mann tidak menyediakan definisi tentang pembuatan keputusan. Hal ini dikarenakan teori pembuatan keputusan Janis & Mann lahir sebagai sebuah tanggapan atas teori pembuatan keputusan yang sudah berkembang luas sebelumnya.

  Sebelum kehadiran Janis & Mann lewat buku mereka Decision Making:

  

Psychological Analysis of Conflict, Analysis, and Commitment pada tahun 1977,

  ahli ekonomi, statistik, manajemen dan matematika (behavioral scientist) melihat proses pembuatan keputusan sebagai suatu aktivitas mental yang dilakukan dengan perhitungan kognitif yang rasional dan objektif serta tidak melibatkan resiko yang besar bila dilakukan. Misalnya, bagaimana cara membuat keputusan yang baik ketika seorang pengusaha dihadapkan pada pilihan menanamkan saham di perusahaan A atau di perusahaan B yang masing-masing memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut teori pembuatan keputusan yang berkembang kala itu, yakni: teori Optimizing, teori Subjective Utility Theory

  Satisficing, dan teori Satisficing oleh Herbert Simon pada tahun 1976, sebuah

  keputusan yang baik lahir dari perhitungan matematika yang detail. Bagaimana perhitungan yang ada di setiap teori tersebut, tentu saja tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena teori yang digunakan adalah teori yang lain

  • – teori pembuatan keputusan dari Janis & Mann (1977).

  Berangkat dari hasil-hasil penelitian yang ditemukan sebelumnya, Janis & Mann sampai pada satu temuan baru yaitu tidak semua proses pembuatan keputusan dapat dilakukan dengan penuh perhitungan rasional seperti yang dikatakan para behavioral scientist. Ada keputusan-keputusan tertentu yang memiliki konsekuensi-konsekuensi yang cukup berarti (consequentional

  decision) , tidak hanya berhubungan dengan kepentingan si pembuat keputusan

  sendiri namun juga orang-orang di luar dirinya, merupakan keputusan penting yang sulit untuk dibatalkan, dan yang dapat menimbulkan konflik (decisonal

  

conflict) di dalam diri individu, misalnya pembuatan keputusan untuk berhenti

  menggunakan narkoba, memilih pasangan hidup untuk berumah tangga, memilih pekerjaan tertentu, dan memilih mengikuti sebuah agama. Hal inilah yang ditegaskan oleh Janis & Mann dalam bab pertama berjudul Man, the Reluctant Decision Maker pada buku mereka.

  Dikarenakan teori pembuatan keputusan Janis & Mann (1977) merupakan sebuah komentar untuk teori pembuatan keputusan yang sudah ada sebelumnya, Janis & Mann tidak lagi memberi definisi tentang arti dari sebuah pembuatan keputusan itu sendiri. Mereka langsung memberi komentar baru atas teori yang sudah diperkenalkan oleh ilmuwan sebelumnya.

  Dengan alasan seperti itu, peneliti mencoba melihat definisi pembuatan keputusan dari tokoh-tokoh lain yang juga memberi sumbangsih dalam dunia teori pembuatan keputusan.

  Harris (1998), dalam tulisannya Introduction to Decision Maaking, mengatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu. Hal ini berarti individu memilih sebuah alternatif yang memiliki kemungkinan efektif yang paling besar dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, keinginan, gaya hidup, nilai dan lain-lain.

  Selain itu Kleindorfer, Koenrauther, dan Schoemaker (1993) mengatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses membuat suatu pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, masa sekarang dan perkiraan akan masa yang akan datang.

  Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pembuatan keputusan adalah proses penyelesaian masalah yang dilakukan secara sadar dengan cara memilih alternatif yang paling tepat diantara alternatif-alternatif yang tersedia.

2. Proses Pembuatan Keputusan

  Menurut Janis & Mann (1977) terdapat lima tahapan dalam proses pembuatan keputusan, yaitu: a.

  Appraising the Challenge Pada tahap pertama, individu mengalami kecemasan karena ia dihadapkan dengan informasi baru yang berbeda dengan pemahaman yang ia anggap benar sebelumnya. Informasi baru ini menjadi sebuah ancaman baginya. Individu ditantang untuk mengambil sikap. Informasi baru mengakibatkan kebimbangan jika individu mulai ragu untuk terus berjalan pada pemahaman yang sebelumnya ia yakini.

  b.

  Surveying Alternatives Setelah keyakinan individu yang lama diguncang oleh informasi yang ia terima, individu akan memfokuskan diri untuk mencari alternatif- alternatif yang tersedia. Individu mulai mencari alternatif, baik dari pengalamannya sendiri maupun dari anjuran dan informasi yang diberikan orang di sekitarnya tentang permasalahan tersebut. Individu akan lebih memberikan atensi pada segala informasi yang berhubungan dengan masalah yang ia alami, baik dari media massa atau sumber-sumber lainnya, walaupun informasi tersebut bertentangan dengan keyakinannya sebelumnya.

  Di akhir tahap kedua, individu akan menyeleksi alternatif-alternatif yang ia pertimbangkan hingga didapat alternatif yang paling mendekati untuk menjawab masalah individu tersebut.

  c.

  Weighing Alternatives Pada tahap ini, individu berusaha mencari, mengevaluasi dan memfokuskan diri pada keuntungan dan kerugian setiap alternatif yang tersedia agar pada akhirnya didapatkan alternatif yang paling baik. Individu umumnya menjadi sadar akan keuntungan dan kerugian tertentu yang sebelumnya tidak ia pertimbangkan.

  Ketika menyadari dengan sungguh-sungguh kemungkinan akan adanya penyesalan di masa depan, individu menjadi sangat berhati-hati menilai alternatif-aternatif yang ada.

  Ada kalanya, setelah mempertimbangkan setiap alternatif individu tidak puas dengan semua alternatif tersebut. Pada saat tertentu gejala stres menjadi akut, namun bila individu dapat menghindari keadaan kehilangan semangat, ia akan beralih mencari solusi yang lebih baik. Individu akan kembali ke tahap kedua, dalam usaha menemukan alternatif baru yang mungkin lebih baik untuk menjadi solusi daripada alternatif-alternatif sebelumnya yang sudah dipertimbangkan dengan serius. d.

  Deliberating about Commitment Pada tahap ini, individu melaksanakan dan menyampaikan maksudnya kepada oranglain. Individu menyadari cepat atau lambat, orang-orang dalam lingkup sosialnya seperti misalnya keluarga, rekan kerja, teman akan mengetahui pilihan yang ia telah tetapkan.

  Sebagai pembuat keputusan yang dipenuhi kewaspadaan, individu berkonsentrasi tentang kemungkinan penolakan yang akan ia terima.

  Sebelum membiarkan orang lain tahu tentang pilihannya

  • – khususnya jika pilihan tersebut merupakan tindakan yang kontroversial, individu akan cenderung memikirkan jalan menghindari penolakan dari keluarga, teman, dan kelompok-kelompok lainnya yang penting dalam kehidupannya.

  Individu kemudian menyadari bahwa ketika ia melaksanakan dan menyampaikan maksudnya kepada orang lain, pada saat itu juga akan lebih sulit untuk kembali ke siatuasi sebelumnya, artinya ia menjadi “terkunci” pada keputusan yang telah ia ungkapkan.

  Beberapa keputusan yang sangat penting menjadi benar-benar rahasia dalam waktu yang panjang. Individu dapat memulai memberitahukannya hanya kepada beberapa orang-orang terdekat. Individu cenderung memberitahukan pilihannya pertama-tama kepada orang-orang yang ia pikir akan menerima dan menjaga informasi tersebut sejenak dari siapapun yang dicurigainya akan sangat tidak setuju dengan pilihannya. e.

  Adhering despite Negative Feedback Sesaat setelah membuat keputusan, individu mengalami periode bulan madu (honeymoon period) dimana ia merasa sangat senang dan yakin dengan keputusan yang ia ambil dan melaksanakan keputusan tersebut tanpa rasa cemas sedikit pun. Namun seringnya, rasa puas yang meyakinkan tersebut akan berkurang kadarnya dikarenakan adanya informasi baru yang diterima. Tahap kelima ini hampir sama dengan tahap pertama, dimana kejadian-kejadian tertentu pasca pembuatan keputusan dapat mengguncang keyakinan individu akan keputusan yang sudah dibuat. Namun tahap kelima ini berbeda dari tahap pertama dimana guncangan yang dialami individu pada tahap kelima hanya bersifat sementara. Individu akan menjadi bimbang dengan keputusan yang telah ia ambil karena tanggapan negatif dari lingkungan, namun hal ini hanya berlangsung sesaat. Kemudian, individu akan segera melakukan rasionalisasi untuk menekankan keuntungan yang ia dapatkan dan meminimalisasi kerugian yang ia alami. Pada akhirnya, individu tetap berpegang pada komitmen yang ia sudah lakukan walau ada umpan balik negatif yang ia terima kemudian.

  Dalam menjalani proses pembuatan keputusan, individu tidak selalu berjalan lurus dari tahap satu hingga tahap kelima. Proses pembuatan keputusan dapat juga melakukan proses yang membentuk spiral, misalnya dari tahap tiga kembali lagi ke tahap dua, dari tahap lima kembali ke tahap satu.

  C.

  

Gambaran Proses Pembuatan Keputusan pada Individu yang Melakukan

Konversi Agama

  Secara umum manusia memeluk agama tertentu karena mengikuti orangtua mereka yang lebih dahulu memeluk agama tersebut dan memperkenalkan agama itu sejak dini kepadanya (Beit-Hallahmi & Argyle, 1997; Lamb & Bryant, 1999). Namun, melalui interaksi sosialnya, individu juga berkenalan dengan agama lain yang bukan merupakan agama yang ia anut.

  Beberapa individu mulai berkenalan dengan agama lain di luar agamanya, entah itu sekadar mengetahui kebiasaan perilaku beragama teman sebaya yang berlainan agama, mulai mempelajari perbedaan-perbedaan antara agamanya dengan agama lainnya atau mempelajari agama lain sebagai usaha untuk memahami hal-hal transendental dan makna akan kehidupan yang ia jalani. Perkenalan sedemikian rupa dengan agama lain, dalam proses berangsur-angsur (gradual process) dapat membuat individu pada akhirnya melepaskan agama yang ia anut sebelumnya dan memeluk agama yang lainnya, yang dikenal sebagai peristiwa konversi agama (Hood, Hill & Spilka, 2009).

  Rambo (1998) mengatakan bahwa konversi agama adalah sebuah topik yang kontroversial, karena hal tersebut sering kali mengusik kehidupan orang- orang secara umum, dan lingkungan terdekat dari individu yang melakukan konversi tersebut secara khusus. Seperti apapun kelompok masyarakat tempat tinggalnya, jika seseorang melakukan konversi agama, yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang lebih luas, kebanyakan orang akan bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat mempercayai agama baru tersebut dan bagaimana hal yang sedemikian asing itu dapat terjadi. Bagaimanapun, konversi agama bukanlah hal yang umum terjadi.

  Tidak hanya bertanya-tanya tentang konversi yang terjadi, lingkungan masyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya juga memberikan reaksi negatif dengan keinginan konversi ini, misalnya menjauhi dan memperlakukan individu secara diskriminatif. Maka dalam diri individu timbullah konflik antara keinginan untuk konversi dengan keinginan tidak konversi dengan masing-masing konsekuensi yang mengikutinya. Keadaan seperti ini menimbulkan tekanan stres pada individu yang sedang berada dalam proses pembuatan keputusan melakukan konversi agama.

  Pembuatan keputusan adalah proses mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif berdasarkan nilai dan ketertarikan individu (Harris, 2009).

  Pembuatan keputusan melakukan konversi agama sendiri bukanlah sebuah pembuatan keputusan ringan yang hanya berpusat pada ketertarikan individu.

  Meminjam istilah Ullmann-Margalit (2006), pembuatan keputusan melakukan konversi agama adalah sebuah big decision, yaitu sebuah pembuatan keputusan yang besar. Keputusan seperti ini, menurut Ullmann-Margalit (2006), merupakan keputusan yang bersifat personal dan transformasional, keputusan yang menjadi titik penting dan sangat berarti dalam hidup seseorang, tidak dapat dibatalkan bila telah dilakukan dan dilakukan dengan kesadaran penuh.

  Pembuatan keputusan yang besar (big decision) sering dilihat sebagai pekerjaan yang sulit, sarat dengan emosi dan memicu stres pada kebamnyakan orang. Pembuatan keputusan dengan karakteristik seperti inilah yang dijelaskan oleh Janis & Mann (1977) dalam teori Decision Making mereka yang terdiri dari rangkaian lima tahap.

  Tahap pertama dalam proses pembuatan keputusan tersebut adalah

  Appraising the Challenge. Tahapan ini menjelaskan periode awal ketika individu

  berkenalan dengan agama yang baru ia temui yang berlainan dengan agama yang selama ini ia anut. Perkenalan menimbulkan keinginan kuat untuk lebih mengenal agama tersebut hingga menimbulkan kesadaran dalam diri individu bahwa keinginan tersebut memiliki resiko-resiko tertentu. Dalam hal konversi, berdasarkan fenomena di lapangan, resiko yang dimaksud adalah reaksi negatif yang keras dari lingkungan sosial, dimana resiko tersebut memiliki arti atau pengaruh dalam diri individu. Pada tahap selanjutnya, Searching Alternatives, individu akan mencari alternatif-alternatif yang berpotensi menjadi solusi untuk konflik yang ia alami di tahap pertama sebelumnya. Berlanjut ke tahap ketiga,

  Weighing Alternative, individu akan melakukan pertimbangan serius untuk

  melihat sisi kekuatan dan kelemahan dari masing-masing alternatif yang ia dapatkan. Setelah itu, individu akan bergerak ke tahap keempat, Deliberating

  about Commitment, yaitu tahap ketika individu memikirkan dengan seksama

  dampak dari konversi yang akan ia lakukan terhadap lingkungan sosialnya sebelum satu langkah kemudian ia membuat sebuah komitmen yang tidak dapat ia batalkan lagi. Pada tahap ini terjadi pembuatan keputusan melakukan konversi yang diwujudnyatakan dalam sebuah ritual keagamaan resmi, misalnya mengucapkan dua kalimat syahadat dalam agama Islam dan upacara baptisan dalam agama Kristen. Tahap kelima, Adhering despite Negative Feedback, sekaligus tahap terkahir adalah tahap ketika individu yang telah melakukan konversi agama tetap memeluk agama yang sudah ia pilih, tetap memegang komitmen yang telah ia buat, walau terdapat aneka umpan balik negatif yang timbul dari keputusan tersebut.

D. Paradigma Penelitian

  Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan setiap alternatif

  Revivalist

  Intellectual Mystical Experimental Affectional

  Tetap memegang komitmen walau ada umpan balik negatif Motif Konversi

  Adhering despite Negative Feedback :

  Mempertimbangkan konsekuensi sosial dari keputusan yang akan dibuat lalu membuat komitmen

  Deliberating about Commitment :

Gambar 2.1 Paradigma Penelitian

  Fenomena: Tertarik dengan agama yang baru

  Mencari alternatif untuk menyelesaikan masalah

  Searching Alternatives :

  konversi >< tidak konversi

  decisional conflict:

  Menyadari timbulnya masalah,

  Appraising the Challenge:

  Weighing Alternative :

Dokumen yang terkait

Informasi Pendaftaran PPPK Tahun 2019 pada SSCASN (Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara) - Berkas Edukasi

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 TEORI KEPATUHAN - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas (Roa), Opini Audit Dan Umur Perusahaan Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan Pada Perusahaan Food And Beverages Yang Terdaftar Di Bursa E

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas (Roa), Opini Audit Dan Umur Perusahaan Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan Pada Perusahaan Food And Beverages Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 RFID (Radio Frequency Identification) - Perancangan Sistem Keamanan Akses Buka Pintu Menggunakan RFID (Radio Frequency Identification) dan Pengiriman Informasi ke Ponsel

1 0 25

Standar Keagamaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam 2019 - Berkas Edukasi

0 0 23

Permendagri Nomor 101 Tahun 2018 Tentang Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota - Berkas Edukasi

0 0 48

a. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Badan - Perpres Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) - Berkas Edukasi

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Sikap Petani Terhadap Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)” (Studi Kasus: Desa Simanampang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara).

0 2 14

BAB I PENDAHULUAN - Kualitas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. G. L. Tobing PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa

0 0 20

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Landmark Kota Medan (Persepsi dalam Arsitektur) Studi Kasus : Istana Maimun

0 1 14