The Association Between Maternal Education, Family Income, House Sanitation, and the Incidence of Acute Respiratory Tract Infection in Children Under Five

  Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(3): 195-202 https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2016.01.03.06

The Association Between Maternal Education, Family Income,

House Sanitation, and the Incidence of Acute Respiratory

  

Tract Infection in Children Under Five

1) 2) 2) Anita Sri Sulistyo , Didik Tamtomo , Ambar Mudigdo

  1)

District Health Office Wonogiri, Central Java

  2)

Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

  

ABSTRACT

Background: It was estimated that the incidence of Acute Respiratory Tract Infection (ARTI),

  including pneumonia, was 10-20% in children under five in Indonesia. Therefore ARTI in children under five is a public health important that calls for control and prevention. The purpose of this study was to determine the association between maternal education, family income, house sanitation, and the incidence of ARTI in children under five.

  

Subjects and Method: This was an analytic observational study with case control design. This

  Wonogiri 1 and Kismantoro Health Centers, Wonogiri, Central Java, study was conducted in from September to October, 2016. A total sample of 200 children under five were selected for this study by fixed disease sampling, consisting of 100 children with ARTI and 100 children without ARTI. The dependent variable was pneumonia. The independent variables were maternal education, family income, house component, and house sanitation. The data were collected by a set of questionnaire, checklist, and medical record at the health centers. The data were analyzed by multiple logistic regression.

  Results: Maternal education

  ≥senior high school (OR=0.09; 95% CI= 0.03 to 0.22; p<0.001), house component meeting the required standard (OR=0.27; 95% CI= 0.13 to 0.57; p<0.001), and good house sanitation (OR=0.15; 95% CI= 0.06 to 0.38; p<0.001) were associated with decreased risk of pneumonia in children under five, and they were statistically significant. The association between family income and the risk of pneumonia was not statistically significant (OR=0.87; 95% CI= 0.42 to 1.79; p=0.703).

  

Conclusion: Maternal education ≥senior high school, house component meeting the required

  standard, and good house sanitation are associated with decreased risk of pneumonia in children under five.

  

Keywords: maternal education, family income, house sanitation, pneumonia, children under five

Correspondence:

  Anita Sri Sulistyo. District Health Office Wonogiri, Central Java. Email: anitasrisulistyowati@yahoo.com balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan

LATAR BELAKANG

  150,000 balita meninggal tiap tahunnya,

  ISPA sering disebut sebagai "pembunuh atau 12,500 korban perbulan, atau 416 utama". Kasus ISPA merupakan salah satu kasus perhari, atau 17 anak per jam atau penyebab utama kunjungan pasien ke seorang bayi tiap 5 menit (Kementerian sarana kesehatan yaitu 40%-60% dari Kesehatan, 2015). seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-

  ISPA masih merupakan salah satu 30% dari seluruh kunjungan rawat jalan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita kematian akibat ISPA khususnya Pneu-

  (1-4 tahun) di Indonesia. Diperkirakan ke- monia mencapai 5 kasus diantara 1,000 Sulistyo et al./ The Association Between Maternal Education, Family Income e-

  jadian ISPA pada balita di Indonesia yaitu sebesar 10-20%. Berdasarkan hasil SKRT, penyakit ISPA pada tahun 1986 berada di urutan ke-4 (12.4%) sebagai penyebab kematian bayi. Sedangkan pada tahun 1992 dan 1995 menjadi penyebab kematian bayi yang utama yaitu 37.7% dan 33.5%. Hasil SKRT tahun 1998 juga menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyebab kematian utama pada bayi (36%). Hasil SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi tinggi ISPA yaitu sebesar 39% pada bayi dan 42% pada balita (Depkes RI, 2001).

  Bakteri itu muncul dari lingkungan yang kotor, udara yang cenderung berubah-ubah dan polusi udara yang meninggi.

  lompok berpenyakit (kasus) dan tidak ber- penyakit (kontrol). Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, checklist dan

  pling, dengan perbandingan 1:1 antara ke-

  Populasi sumber dalam penelitian ini adalah balita. Sampel sebanyak 200 subjek penelitian dipilih secara fix disease sam-

  September-Oktober 2016 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Wonogiri 1 dan UPTD Puskesmas Kismantoro Kabupaten Wono- giri. Variabel dalam penelitian adalah pen- didikan ibu, pendapatan keluarga, kompo- nen rumah, sanitasi rumah dan ISPA pada balita. Populasi sasaran penelitian adalah balita di wilayah Kabupaten Banjarnegara.

  case control. Waktu pelaksanaan pada

  Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan

  Tujuan penelitian ini adalah Meng- analisis hubungan pendidikan ibu, pen- dapatan keluarga, komponen rumah dan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Wonogiri dengan pen- dekatan analisis regresi logistik.

  pyogenes, Staphylococcus aureus, dan virus seperti Mikrovirus, Adenovirus.

  Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 diketahui bahwa infeksi pernapasan (Pneumonia) menjadi penyebab kematian balita tertinggi (22.8%) dan penyebab kematian bayi kedua setelah setelah gangguan perinatal. Prevalensi ter- tinggi dijumpai pada bayi usia 6-11 bulan.

  ISPA adalah bakteri seperti Streptococcus

  Berdasarkan Laporan Bulanan Kesa- kitan (LB1) didapatkan insiden ISPA se- banyak 6.900 dan prevalensi ISPA se- banyak 7.720 selama bulan Desember 2015 dari 34 Puskesmas yang melaporkan data kesakitan yang ada di wilayah Kabupaten Wonogiri (Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri, 2015). Faktor penyebab penyakit

  411 kasus dan 765,333 kasus Pneumonia, kemudian pada 2011 mencapai 18.790.481 juta kasus batuk bukan pneumonia dan 756,577 pneumonia.

  Data Kemenkes menunjukkan bahwa penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007 sampai 2011 mengalami tren kenaikan. Pada 2007 jumlah kasus ISPA berkategori batuk bukan pneumonia sebanyak 7.281.

  ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah.

  ISPA tertinggi terjadi pada baduta (>35%),

  Berdasarkan DEPKES (2005) bahwa 20-30% kematian disebabkan oleh ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi

  Tidak hanya balita, infeksi pernapasan menjadi penyebab kematian umum ter- banyak kedua dengan proporsi 12.7 % (Depkes RI, 2001). Survei mortalitas tahun 2005 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22.30% dari seluruh kematian (Susilowati, 2010). Bukti bahwa ISPA me- rupakan penyebab utama kematian adalah banyaknya penderita ISPA yang terus meningkat.

SUBJEK DAN METODE

  Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(3): 195-202 https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2016.01.03.06

  rekam medis. Analisis regresi logistik Perbandingan subjek penelitian yang dilakukan dengan SPSS.

  ISPA dan tidak ISPA seimbang yaitu 50:50. Sebagian besar subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, SMA)

  HASIL

  (69.5%), pendapatan keluarga kurang dari 1.

   Karakteristik subjek penelitian

  Rp 1,252,000 (75%), memiliki komponen Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 200 rumah memenuhi syarat (50.5%) dan subjek penelitian memiliki distribusi yang sanitasi rumah buruk (74%). berbeda-beda. Deskripsi variabel penelitian dijelaskan berdasarkan karakteristik, freku- ensi dan persentase.

  Tabel 1. Deskripsi variabel penelitian Variabel n % Status ISPA Balita Non ISPA

  100 50%

  ISPA 100 50%

  Pendidikan Ibu Pendidikan Tinggi (Diploma, Sarjana) 61 30.5% Pendidikan Rendah (SD, SMP, SMA) 139 69.5% Pendapatan Keluarga

  92 25% ≥ Rp 1.252.000 < Rp 1.252.000

  108 75% Komponen Rumah Memenuhi syarat (80-100%)

  101 50.5% Tidak Memenuhi syarat (< 80%) 99 49.5%

  Sanitasi Rumah Memenuhi syarat (80-100%)

  52 26% Tidak Memenuhi syarat (< 80%) 148 74% 2.

  komponen rumah dan sanitasi rumah.

   Analisis Bivariat

  Variabel dalam penelitian ini yaitu status Metode yang digunakan adalah uji chi- ISPA balita, pendidikan ibu, pendapatan, square.

  Tabel 2. Hasil analisis bivariat CI (95%) No Variabel Independen OR p Batas Atas Batas Bawah

  1 Pendidikan rendah

  0.06

  0.27 0.15 <0.001

  2 Pendapatan rendah

  0.92

  1.61

  0.53

  0.77

  3 Komponen rumah (tidak memenuhi syarat)

  0.19

  0.35 0.10 <0.001

  4 Sanitasi rumah

  0.11

  0.25 0.05 <0.001

  

3. Multivariat dengan lita mengalami ISPA dan secara statistik

Analisis Regresi Logistik signifikan. Balita yang tinggal dengan ibu

  Analisis multivariat menjelaskan tentang berpendidikan tinggi memiliki risiko lebih pengaruh pendidikan ibu, pendapatan kelu- rendah untuk mengalami ISPA daripada arga, komponen rumah dan sanitasi rumah balita yang tinggal dengan berpendidikan dengan ISPA pada balita. rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian

1. Sukamawa (2006) bahwa pendidikan ibu Hubungan Pendidikan dengan

  Kejadian ISPA pada Balita berhubungan langsung dengan kejadian

  Hasil penelitian menunjukkan terdapat ISPA pada balita. hubungan pendidikan terhadap risiko ba-

  Sulistyo et al./ The Association Between Maternal Education, Family Income e-

  ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun.

  Dalam penelitian Anwar dan Ika (2014), yang menyatakan risiko ISPA balita pada rumah tangga dengan tingkat eko- nomi rendah lebih tinggi dengan tingkat ekonomi tinggi dengan nilai OR= 1.19.

  Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan pendapatan terhadap risiko balita mengalami ISPA dan secara statistik tidak signifikan. Balita yang tinggal dengan keluarga berpendapatan tinggi memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami ISPA daripada balita yang tinggal dengan kelu- arga berpendapatan rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Sukamawa (200 6), yang menyatakan bahwa pendapatan keluarga berhubungan langsung dengan kejadian ISPA pada balita.

  2. Hubungan Pendapatan dengan Kejadian ISPA pada Balita

  ISPA pada bayi dan balita.

  Pendidikan kesehatan untuk pence- gahan ISPA balita merupakan salah satu upaya untuk pencegahan ISPA pada balita. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyam- paikan pesan kesehatan kepada masya- rakat, kelompok atau individu dapat mem- peroleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Menurut Azwar (2002), faktor ibu seperti pendidikan, umur ibu maupun pengetahuan ibu sebagai faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kejadian

  adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat definisi, dan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif.

  nomy of Education Objective) pengetahuan

  Pengetahuan seseorang merupakan hasil dari pendidikan yang tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal saja, namun pendidikan nonformal dapat juga meningkatkan pengetahuan masyarakat. Latar belakang seseorang dapat mempeng- aruhi sikap dan perilaku berdasarkan peng- etahuan yang dimilikinya. Menurut Sukarni (1994) dalam penelitian Azhar (2013), pen- didikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh anggota keluarga. Menurut Bloom (1956) (dalam buku Taxo-

  Penelitian Tupasi (1988) menunjuk- kan bahwa tingkat pendidikan dan sosio- ekonomi atau pendapatan keluarga yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian di Filipina telah membuktikan bahwa pendidikan dan sosioekonomi orang tua yang rendah akan meningkatkan risiko

  

Tabel 3. Hasil analisis regresi logistik hubungan antara pendidikan ibu, pen-

dapatan, komponen rumah dan sanitasi rumah dengan ISPA pada balita Variabel Independen OR CI (95%) p Batas Bawah Batas Atas

  0.06 0.38 <0.001 Nagelkerke R-Square = 49.5% p=0.052

  0.15

  0.13 0.57 <0.001 Sanitasi rumah baik N observasi = 200

  0.27

  0.42 1.79 0.703 Komponen rumah memenuhi syarat

  0.87

  0.03 0.22 <0.001 Pendapatan ≥ Rp 1,252,000

  0.09

  Pendidikan ≥ SMA

  Penelitian yang dilakukan Kosai et al., (2015) juga menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara status sosial ekonomi dengan peningkatan risiko ISPA Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(3): 195-202 https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2016.01.03.06

  balita. Berdasarkan DEPKES (2009) juga menemukan bahwa 20-30% kematian dise- babkan oleh ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta ( ≥35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pen- didikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah.

  Pemeliharaan kesehatan sudah me- nyeluruh dan pelayanan kesehatan sudah mudah dijangkau dari berbagai lapisan masyarakat baik ekonomi rendah maupun tinggi. Penemuan yang terjadi di tempat penelitian adalah keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi cenderung memiliki kesi- bukan tinggi, dan jarang memperhatikan kesehatan anak karena biasanya dititipkan oleh neneknya ketika ditinggal orangtuanya bekerja, sehingga pemantauan kesehatan anak belum terfokuskan.

  Terdapat hubungan komponen rumah terhadap risiko balita mengalami ISPA dan secara statistik signifikan. Balita yang tinggal di lingkungan dengan komponen rumah memenuhi syarat memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami ISPA dari- pada balita yang tinggal di lingkungan dengan komponen rumah yang tidak memenuhi syarat. Kondisi sosial ekonomi merupakan salah satu unsur lingkungan hidup yang berkaitan dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita, persyarat- an kesehatan rumah tinggal meliputi bahan bangunan, komponen dan peralatan ruang rumah, pencahayaan, kualitas udara, venti- lasi, tersedianya air dan sarana penyimpan- an makanan dan kepadatan hunian ruang tidur (Keman, 2005).

  Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis (Sukamawa, 2006). Ventilasi disamping berfungsi se- bagai lubang pertukaran udara juga dapat berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya matahari kedalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk kedalam ruangan dan kelembaban yang tinggi dapat menye- babkan peningkatan risiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi rumah meru- pakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Mukono, 2009).

  Standar luas ruang tidur menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/SK/VII/ 1999 minimal 8 m

  2

  , tidak dianjurkan digu- nakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun (Kepmenkes RI No.829/ 1999). Kepadatan hunian yang berlebihan memu- dahkan penularan penyakit infeksi perna- pasan, tuberkolosis, meningitis dan parasit usus dari satu orang ke yang lain (Depkes, 2005). Kebersihan rumah adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehat- an anak balita.

3. Hubungan Komponen Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

  Pengukuran kelembaban kamar balita menggunakan alat hygrometer berlandas- kan pada peraturan RI No.1077/MENKES/ PER/V/2011 mengenai persyaratan kelem- baban rumah yaitu 40-60% Rh. Rumah dengan kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah merupakan kondisi di- mana mikroorganisme dapat tumbuh. Me- nurut Muhedir (2002) kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang serta pencahayaan yang minim. Kelembaban dapat dipengaruhi oleh bebe- rapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Kelembaban pada musim hujan akan me- ningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan kelembaban dalam rumah. Sulistyo et al./ The Association Between Maternal Education, Family Income e- 4.

   Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

  Terdapat hubungan sanitasi rumah ter- hadap risiko balita mengalami ISPA dan secara statistik signifikan. Balita yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi rumah baik memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami ISPA daripada balita yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi rumah buruk. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Pribadi (2008) yang menjelaskan bahwa lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan.

  Faktor risiko lingkungan fisik dalam penelitian ini memiliki nilai OR 7.4 kali meningkatkan risiko kejadian ISPA. Peme- rintah telah menetapkan peraturan tentang syarat kesehatan perumahan yaitu Kepu- tusan Menteri Kesehatan Republik Indo- nesia Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

  Berdasarkan penelitian Azhar dan Perwitasari (2013) bahwa kondisi ling- kungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperti TB, katarak dan

  ISPA. Proporsi rumah di Indonesia yang memenuhi persyaratan rumah sehat masih rendah, yaitu 24.9%. Menurut Ahmadi (2005) faktor lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, suhu dan lain-lain) merupakan faktor risiko yang berperan ter- hadap timbulnya penyakit paru, disamping faktor kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi dan sosial ekonomi). Begitu pula sanitasi fisik rumah memberikan kontribusi bagi derajat kesehatan penghuninya.

  Hasil yang diperoleh ini tidak sejalan dengan penelitian Siswanto (2006) yang menyatakan bahwa aspek kelembaban, kepadatan hunian dan pencahayaan rumah tidak berhubungan bermakna dengan keja- dian penyakit paru. Penelitian di Brazil menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi rumah terhadap kejadian

  ISPA balita, sedangkan penelitian Fatimah (2008) menunjukkan ada hubungan antara kejadian penyakit paru dengan kelembaban ruangan, jenis dinding, ventilasi dan pen- cahayaan.

  Sanitasi rumah yang baik memiliki indikator penilaian lingkungan rumah sehat, seperti kondisi ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, pencahayaan dan kepadatan hunian. Penularan penyakit saluran pernapasan lebih besar terjadi karena jumlah kuman lebih banyak dari- pada udara yang tertukar, sehingga pen- ciptaan ventilasi dalam mengurangi ter- jadinya pencemaran udara dalam rumah dan lingkungan luar dapat berjalan dengan baik AHPHA (American Public Health

  Association)). Kondisi lantai rumah yang

  berdebu merupakan salah satu bentuk terjadinya polusi udara dalam rumah (indoor air pollution). Debu dalam udara akan dapat menempel pada saluran napas bagian bawah sehingga elastisitas paru menurun dan menyebabkan balita meng- alami sesak napas apabila terhirup (Padmo- nobo, 2015).

  Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan pendidikan ibu, pendapatan keluarga, komponen rumah dan sanitasi rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Napas Atas (ISPA) pada balita.

DAFTAR PUSTAKA

  Aditama TY (2009). Dampak Asap Keba- karan Hutan Terhadap Kesehatan Paru. Jakarta: YP IDI dan IDKI. Anwar A, Ika (2014). Pneumonia pada

  Anak Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(8). Azhar K, Perwitasari D (2013). Kondisi

  Fisik Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi Paru di Provinsi DKI Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(3): 195-202 https://doi.org/10.26911/jepublichealth.2016.01.03.06

  Jakarta, Banten dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes 23(4). Depkes RI. (2001). Pedoman Pemberan- tasan Penyakit Infeksi Saluran Perna- pasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Ditjen PPM- PLP, Jakarta.

  FKM UI. Depok. Padmonobo H, Setiani O, Joko T (2015).

  Rumah dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manjemen Penanggulang- annya di Puskesmas. Jurnal Kesehat- an Lingkungan UNAIR, 3(1). Susilowati (2010). Hubungan Rumah

  Media Litbang Kesehatan, 9(4). Sukamawa (2006). Determinan Sanitasi

  Soewasti (2000). Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran TB.

  Budaya dengan Kejadian Diare di Desa Candinegoro Kecamatan Wono- ayu Sidoarjo. Jurnal Medika 2(2).

  Pribadi S (2008). Faktor-faktor Lingkung- an Fisik Rumah dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Pneu- monia Pada Balita di Kabupaten Pontianak. Jurnal Kesehatan Ling- kungan. Universitas Diponegoro. Sander (2005). Hubungan Faktor Sosio

  Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Pneu- monia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ajibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Lingkungan Indonesia 11(2).

  Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di Kecamatan Jambi Selatan. Tesis.

  Dinkes Kabupaten Wonogiri (2015). Lapor- an Bulanan Kesakitan (LB1). Fajar I (2009). Statistika Untuk Praktisi

  University Press. Muhedir (2002). Hubungan Faktor-faktor

  Misnadiarly (2008). Penyakit Infeksi Salur- an Napas Pneumonia Pada Anak, Orang Dewasa dan Usia Lanjut. Ja- karta: Pustaka Obor. Mukono HJ (2009). Prinsip Dasar Kesehat- an Lingkungan. Surabaya: Airlangga

  Alday PP, Tan AG, Inobaya MT (2015). Incidence and Risk Factors of Childhood Pneumonia-Like Episodes in Biliran Island, Philippines. A Community-Based Study. Plos One 10(5).

  Hidayat (2010). Faktor-faktor yang Ber- hubungan dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Cepogo Kabupaten Boyolali. Tesis. Univer- sitas Negeri Semarang. Kementerian Kesehatan Republik Indo- nesia (2015). Laporan Riset Kesehat- an Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ke- menterian Kesehatan RI. Kosai H, Tamaki R, Saito M, Tohma K,

  Handani D (2008). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang In- feksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan Perawatan Ibu Pada Balita Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Non Pneumonia di Pus- kesmas Klaten Tengah.

  Rumah Sehat dengan Kejadian Pneu- monia Pada Balita. Universitas Sebe- las Maret. Surakarta

  Kesehatan. Cetakan Pertama. Yogya- karta: Graha Ilmu. Fatimah S (2008). Faktor Kesehatan Ling- kungan Rumah yang Berhubungan dengan Penyakit Paru di Kabupaten Cilacap. Fakultas Kesehatan Masya- rakat Universitas Diponegoro. Handayani D (2008) Hubungan Antara

  Tangga Sehat dengan Kejadian Pneu- monia Pada Balita di Kabupaten Trenggalek. Jurnal Kesehatan Masya- rakat Universitas Sebelas Maret. Sulistyo et al./ The Association Between Maternal Education, Family Income e-

  Syaiful H (2012). Pengaruh Polusi Udara dalam Ruangan terhadap Paru. Conti- nuing Medical Education, 39(1). Taylor V (2012). Health Hardware for Hou- sing for Rural and Remote Indigenous

  Communities. Australia: Central Aus- tralian Division of General Practice. Trisnawati (2012). Hubungan Perilaku

  Merokok Orang Tua dengan Kejadian

  ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembang Kabupaten Pur- balingga. Tesis. Universitas Negeri

  Semarang. WHO (2007). Pencegahan dan Pengen- dalian ISPA di Fasilitas Pelayanan

  Kesehatan. http://www.who.int/csr/- resources/publications/ampandemicb ahasa.pdf. Diakses 5 Februari 2016. Yusuf (2005). Hubungan Sanitasi Rumah

  Secara Fisik, dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Tesis. Surabaya