PAI di Sekolah dan Madrasah

CORAK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA KURIKULUM MADRASAH DAN SEKOLAH

Dosen: Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

Disusun oleh
Yudhi Fachrudin

2112011000010

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

Pendahuluan
Statement tentang pendidikan agama sebagai sumber nilai atau pedoman, ternyata
belum mewarnai lingkungan dan atmosfer kehidupan sekolah atau madrasah pada umumnya.
Sejak awal kemerdekaan, pendidikan agama berlaku dualistis pendidikan, yaitu sistem
pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran

agama dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di
kalangan masyarakat Islam sendiri. Dalam perkembangannya terjadi upaya integrasi kedua
sistem tersebut menjadi “satu sistem pendidikan nasional”, begitu juga butuh perjuangan
yang besar memasukkan pendidikan agama sebagai bagian pengajaran dalam sistem
pendidikan nasional, sampai lahirlah penetapan pendidikan agama Islam wajib diajarkan di
semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan. Dalam praktiknya di madrasah dan di sekolah
terjadi perbedaan karakter dan model pendidikan agama di lembaga formal pendidikan
nasional ini.
Dalam makalah ini sekilas membahas pengertian pendidikan agama Islam, porsi dan
posisi pendidikan agama Islam di sekolah dan madrasah, peraturan kebijakan pendidikan
agama, kelemahan pembelajaran PAI di sekolah serta kendala praktik PAI, solusi dan
pendekatan pembelajaran PAI guna menumbuhkan karakter.

Pembahasan
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dari segi etimologi atau bahasa, kata pendidikan berasal kata “didik” yang mendapat
awalan pe- dan akhiran-an sehingga pengertian pendidikan adalah sistem cara mendidik atau
memberikan pengajaran dan peranan yang baik dalam akhlak dan kecerdasan berpikir.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1
Sedangkan pengertian Pendidikan agama dalam UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2
disebutkan: merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Mahaesa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama dalam hubungan kerukunan antarumat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Tujuan PAI: (1) memperkuat iman dan takwa, (2) menghormati agama lain, (3)
memelihara kerukunan antarumat beragama, dan (4) mewujudkan persatuan nasional.
Di dalam GBPP PAI 1999 di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam
adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan
mengamalkan agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa
kepada Allah swt dan berakhlak mulia.
Agama tidak bisa dilepaskan dalam konteks negara Indonesia. Negara mengakomodir
dan memfasilitasi tumbuh kembang agama melalui pendidikan. Pewarisan nilai-nilai Agama
terlembagakan dengan baik dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi sistem
dalam pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia sendiri agama menjadi bagian penting
dalam membangun bangsanya.


1

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2009), cet.1, hal,259-260

Pendidikan Agama Islam itu adalah usaha berupa bimbingan, baik jasmani maupun
rohani kepada anak didik menurut ajaran Islam, agar kelak dapat berguna menjadi pedoman
hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup serta berguna bagi bangsa dan agamanya.
B. Porsi dan Posisi Pendidikan Agama Islam
Dilihat secara kuantitatif, porsi pendidikan agama Islam di sekolah memang hanya tiga
jam pelajaran untuk SD dan dua jam pelajaran untuk SMP atau SMA/K, dengan tuntutan
pencapaian standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas Nomor
23 Tahun 2006.
Secara kualitatif pendidikan agama sebenarnya merupakan “core” atau inti kurikulum
pendidikan di sekolah. Hal ini didasarkan atas falsafah negara “Pancasila”, di mana core
Pancasila adalah sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila jika dianalisis dengan
menggunakan pendekatan filsafat, Ketuhanan Yang Maha Esa masuk ke dalam prinsip silasila yang empatnya lagi, yaitu: (1) kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa; (3)
kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan (4) keadilan yang
berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung makna bahwa inti
Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sasaran utama

pendidikan agama. 2
Di dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1994 pada dasarnya
mencakup tujuh unsur pokok, yaitu, Al-Qur’an dan Hadis, keimanan/akidah, akhlak, fiqh
(hukum Islam), dan tarikh (sejarah) yang menekankan pada perkembangan politik. Pada
kurikulum tahun 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu; Al-Qur’an, keimanan,
akhlak, fiqih dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih menekankan pada
perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.3 Meskipun masing-masing
aspek tersebut dalam praktiknya saling terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat
secara teoritis masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Aspek Al-Qur’an-Hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis yang benar,
memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek akidah, menekankan pada kemampuan memahami dan
mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai2

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hal.259

3

Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012), cet.v, hal.79. lihat juga


nilai al-asma’ al-husna. Aspek akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan
akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek fiqh,
menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan
baik. Sedangkan aspek tarikh & kebudayaan Islam, menekankan pada kemampuan
mengambil ibrah (contoh/hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani
tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ipteks,
dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
Kelima aspek PAI tersebut dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui
pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, yang intinya selalu mengaitkan
pembelajaran PAI dengan konteks dan pengalaman-pengalaman hidup peserta didik yang
beraneka ragam atau konteks masalah-masalah serta situasi-situasi riil kehidupannya. Melalui
interaksi dengan lingkungan dan menginterpretasi terhadap pengetahuan dan pengalaman
hidup tersebut, maka peserta didik dapat mengkonstruksi makna dan nilai-nilai Islam yang
perlu diinternalisasikan dalam dirinya.
Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran
moral action yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten tetapi
sampai memiliki kemauan, dan kebiasaan dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.4
Pendidikan Agama Islam di sekolah termasuk dalam pelajaran agama Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum (sekolah) sebagai suatu mata

pelajaran atau mata kuliah saja dengan nama pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Pengajarannya memiliki kurikulum tersendiri. Kurikulum PAI berarti seperangkat rencana
kegiatan dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran PAI serta cara yang digunakan dan
segenap kegiatan yang dilakukan oleh guru agama untuk membantu seorang atau sekelompok
siswa

dalam

memahai,

menghayati,

dan

mengamalkan

ajaran

Islam


dan/atau

menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam.5
Pendidikan agama di sekolah umum terselenggara sebagai upaya pengintegrasian
pendidikan Islam ke dalam sistem sekolah yang kurikulumnya berorientasi pada pengetahuan
umum. Perubahan yang perlu dilakukan dalam sistem pendidikan Islam memasukkan

4

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hal.33-34

5

Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam, hal.104

pendidikan agama ke dalam pendidikan umum. Hal ini merupakan langkah penyesuaian bagi
tercapainya fungsi pendidikan dalam memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern.
Sedangkan pendidikan agama Islam di madrasah aspek-aspek pendidikan agama di
sekolah umum menjadi sub mata pelajaran-mata pelajaran. Mata pelajaran Al-Qur’an Hadis,
mata pelajaran Aqidah Akhlak, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, Fiqih, dan Bahasa

Arab,
Pasca keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tanggal 24 Maret
1975 yang disepakati oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Dalam Negeri. Maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah.
Dengan konsekuensi, mata pelajaran agama terdistorsi porsinya menjadi 30% dan materi
pelajaran umum mendominasi dengan prosentase 70%.6 Madrasah yang tadinya belajar ilmuilmu agama (ulumuddin) para siswanya belajar juga ilmu-ilmu umum, matematika, sosial dan
alam.
Berikut perubahan kurikulum yang diajarkan di madrasah dan pesantren

Sampai 1906
1906-1945

Pesantren
dan Madrasah Diniyah
Kurikulum tradisional 100% Agama.
Kurikulum tradisional mandiri 100%.

1945-1975

Kurikulum mandiri 100% Agama.


1975-1989

Kurikulum mandiri 100% agama.

1989-2003

Kurikulum mandiri dan agama masih
mendominasi.

2003-2005

Kurikulum mandiri dan mengikutsertakan
pelajaran umum (Matemática, IPA, Bahasa
Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Inggris, dan Pendidikan Seni Budaya).7

Periode

Madrasah

Kurikulum mandiri, agama
dan umum
Kurikulum mandiri, 70%
agama dan 30% umum.
Kurikulum Depag 70%
umum dan 30% agama.
Kurikulum Depag
memadukan antara
kurikulum umum dan
agama.
Kurikulum Depag 100%
umum dan 5 bidang mata
pelajaran PAI.

Seiring perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam konteks negara, pelaksanaan
pendidikan agama pada umumnya serta pen didikan agama Islam pada khususnya di sekolah-

6

Zakiah Darajat, Gigih Memperjuangkang Madrasah, dalam Amir Hamzah Wiryosukarto dan Ahmad Fuad

Efendi, Biografi KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat. (Ponorogo: Gontor Press, 1996). Hal. 630
7

Lihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Diniyah Ula, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya (Pesantren
Mu’adalah), (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI, 2008). Hal.64

sekolah umum dan madrasah tersebut semakin kokoh dengan berbagai terbitnya perundangundangan dan peraturan pemerintah.
Sedangkan periode 2005 memuat struktur dan muatan kurikulum diantaranya
pendidikan Agama Islam. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa struktur dan
muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut;
1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Kelompok mata pelajaran estetika
5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan
Dengan cakupan kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia: Kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentu peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan
agama.
Selanjutnya dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dijelaskan pula bahwa; kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
agama, kearganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah
raga, dan kesehatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, alokasi waktu jam pembelajaran mata pelajaran agama
menjadi 4 jam (dari 3 menjadi 4 jam pelajaran setiap minggu).
Muatan Kurikulum
Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menegaskan bahwa kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan
dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi
Pendidikan Agama Islam
Tujuan:

-

Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik
tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang
keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

-

Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu
manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial
serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Ruang lingkup PAI menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara

hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas 1, semester 1
Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Al Qur’an
1. Menghafal Al Qur’an surat pendek
pilihan

1.1 Melafalkan QS Al-Fatihah dengan lancar
1.2 Menghafal QS Al-Fatihah dengan lancar

Aqidah
2. Mengenal Rukun Iman

2.1 Menunjukkan ciptaan Allah SWT melalui
ciptaan-Nya
2.2 Menyebutkan enam Rukun Iman
2.3 Menghafal enam Rukun Iman

Akhlak
3. Membiasakan perilaku terpuji

3.1 Membiasakan perilaku jujur
3.2 Membiasakan perilaku bertanggung jawab
3.3 Membiasakan perilaku hidup bersih
3.4 Membiasakan perilaku disiplin

Fiqih
4. Mengenal tata cara bersuci
(thaharah)

4.1 Menyebutkan pengertian bersuci
4.2 Mencontoh tata cara bersuci

5. Mengenal Rukun Iman

5.1 Menirukan ucapan Rukun Iman
5.2 Menghafal Rukun Iman

Kelas 1, Semester 2
Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Al Qur’an
6. Menghafal Al Qur’an surat-surat
pendek pilihan

6.1 Menghafal QS Al-Kautsar dengan lancar
6.2 Menghafal QS An-Nashr dengan lancar
6.3 Menghafal QS Al-‘Ashar dengan lancar

Aqidah
7. Mengenal dua kalimat syahadat

7.1 Melafalkan syahadat tauhid dan syahadat
rasul
7.2 Menghafal dua kalimat syahadat
7.3 Mengartikan dua kalimat syahadat

Akhlak
8.1 Menampilkan perilaku rajin
8.2 Menampilkan perilaku tolong-menolong
8.3 Menampilkan perilaku hormat terhadap
8. Membiasakan perilaku terpuji

orangtua
8.4 Menampilkan adab makan dan minum
8.5 Menampilkan adab belajar

Fiqih

8.6
9.1 Menyebutkan tata cara berwudhu

9. Membiasakan bersuci (thaharah)

9.2 Mempraktikkan tata cara berwudhu

Arah pengembangannya standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan
landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan
penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk
madrasah dikembangkan lebih lanjut oleh Kementerian Agama.8
C. Peraturan Kebijakan Pendidikan Agama
a. UU No. 4 Tahun 1950 jo UU NO. 12 Tahun 1954
Peraturan Kebijakan Pendidikan Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) tentang DasarDasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia. Isi undang-undang
terkait dengan pertama, peran orang tua yang dominan khususnya dalam menentukan
pelajaran agama apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut, dimulai kelas 4.
kedua, cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang
melibatkan dua kementriaan, kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, dan
kementerian Agama, tentu dalam praktikkanya ada persinggungan antar kepentingan.
b. TAP MPRS No. II/1960 Bab yang sama (Bab II) pasal 3, menetapkan Pendidikan Agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai dengan
Universitas-universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta
dalam pendidikan agama jika wali/murid dewasa menyatakan keberatannya.
Penyebutan Sekolah sampai Perguruan tinggi kata “Negeri” berimplikasi pengajaran mata
pelajaran Pendidikan Agama hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan negeri,
maka sekolah-sekolah swasta tidak ada keharusan menyelenggarakan “Pendidikan
Agama”. Begitu juga pengajaran agama bagi siswa diserahkan pilihannya kepada orang
tua, apakah orang tua menghendaki atau tidak anaknya mempelajari agama. Mata
pelajaran Agama bersifat komplementer, masih sukarela dan bukan mata pelajaran yang
wajib diikuti oleh setiap siswa dan mahasiswa.
c. TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966
Khususnya Pasal 1 menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolahsekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Universitas-universitas Negeri. Tap
MPRS ini hanya mewajibkan pendidikan agama di sekolah dan universitas berstatus
Negeri. Selanjutnya, Tap MPRS ini juga menghapus kata-kata “dengan pengertian bahwa
murid berhak untuk tidak ikut apabila wali murid/murid dewasa menyatakan
keberatannya”. Maka pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang wajib diikuti
oleh anak didik.
8

Amri, Sofan, Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah: dalam Teori, Konsep, dan

Analisis, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), cet.1, hal.120-122

Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 bertujuan; a. Mempertinggi mental, moral,
budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. b. Mempertinggi kecerdasan dan
ketrampilan. c. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
d. SKB 3 Menteri nomor 6 Tahun 1975
SKB yang ditanda tangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan berisi; (1). Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah
sekolah umum yang setingkat. (2). Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah
umum yang setingkat lebih atas. Dan (3). Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah
umum yang setingkat. Setelah SKB 3 menteri ini lahir, maka disusun pula kurikulum
madrasah tahun 1975 dengan perbandingan bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum
dan 30% pelajaran agama di madrasah.
e. UU No. 2 Tahun 1989
Undang-undang tentang sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU
No.4 Tahun 1950 jo. UU No.12 Tahun 1954. Khususnya pasal 39 ayat (2) menegaskan
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain
pendidikan

agama.

Pada

pasal

20

bahwa

pendidikan

agama,

pendidikan

kewarganegaraan, dan pancasila merupakan mata pelajaran wajib di sekolah umum. 9
f. UU No. 20 tahun 2003
Melalui UU Sisdiknas ini pendidikan keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan
Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan keagamaan masuk ke dalam bagian pendidikan
formal, nonformal dan atau informal. Dalam UU ini juga sebagai pengakuan terhadap
bentuk-bentuk pendidikan lainnya, seperti pondok pesantren dan pendidikan diniyah
(keagamaan) semakin eksplisit sebagai bagian sistem pendidikan nasional.10 Dalam Pasal
37 ayat (1) dan (2) Pendidikan agama bersifat wajib “kurikulum pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama”. Pada
Pasal 12 ayat (1) huruf a; “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a)
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama; dengan penjelasan Pasalnya “Pendidik dan/atau guru agama yang
seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau

9

Samsul Nizar, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), cet.1, hal.47

10

Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003, hal.47

pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal
41 ayat (3)”.
g. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional/PP No. 55 Tahun 2005 tentang pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan, pendidikan agama wajib diajarkan pada semua jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan (negeri dan swasta).
h. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan
Agama Pada Sekolah
Tahapan-tahapan ini menunjukkan kesadaran bangsa mengenai pentingnya pendidikan
agama di sekolah sebagai salah satu perwujudan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia merupakan hasil pergulatan besar umat
Islam sendiri dalam konteks sistem pendidikan nasional. Kini posisi Pendidikan Agama
Islam di dalam sistem pendidikan Indonesia semakin kuat. PAI termasuk sebagai mata
pelajaran dalam pendidikan nasional.
Selain pemberian pendidikan agama di sekolah diperintahkan dan diatur oleh Undangundang, tetapi juga dituntut oleh peraturan perundangan lainnya yang mengatur tentang
HAM. Pendidikan agama dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Konvensi
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Terdapat dua pasal penting dalam Undangundang no.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan soal agama dan
bimbingan orang tua atau wali tentang agama, yaitu Pasal 22 dan Pasal 55. Pasal 22 berbunyi,
“(1) setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu; (2) negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing untuk beribadah menurut agamnaya dan kepercayaannya itu.”.
Pasal 55 berbunyi, “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamnya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua
dan atau wali”.
Begitu juga pendidikan agama dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
terdapat sejumlah pasal yang secara ekplisit ingin menjamin kebebasan beragama anak dan
perkembangan agama anak sesuai dengan agama orang tuanya terdapat pada Pasal 6, 8, 19,
33, 37, 39, 42. Berikut bunyi Pasal 6, “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekpresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.”. Pasal 8 berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengna kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”.

Pasal 19 berbunyi, “Setiap anak berkewajiban untuk: (a). Menghormati orang tua, wali, dan
guru; (b). Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, (c). Mencintai tanah air,
bangsa, dan negara. (d). Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e).
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.11
D. Keberhasilan pendidikan agama di sekolah umum
Penilaian secara moderat, pendidikan agama di sekolah umum berhasil, tetapi dalam
beberapa hal masih mengalami hambatan dan kendala. Diantara keberhasilannya itu;
pertama, dengan dilakukan program pendidikan agama di sekolah umum, dilihat dari
perspektif cita-cita pendidikan nasional, usaha Departemen Agama dalam membina
pendidikan agama di sekolah umum telah berhasil mewujudkan cita-cita konvergensi. Para
siswa sekolah umum mengenal dan mempelajari agama di sekolahnya masing-masing selain
pelajaran-pelajaran umum. Kedua, sekolah sepenuhnya tidak bersifat sekuler, karena peserta
didik belajar agama dan mengamalkannya. Ketiga, di sisi lain, madrasah dan sekolah-sekolah
agama tidak lagi menganggap ilmu-ilmu umum hal yang bersifat dunia yang diharamkan
untuk dipelajari, sekarang ilmu-ilmu umum dipelajari oleh siswa-siswa madrasah dan sekolah
agama.12
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai penyelenggara pendidikan agama
memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan
diselnenggarakan, setidaknya ada empat pilihan; 1. Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh
fi al-din, seperti yang ada dalam tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantren
salafiyah), dengan muatan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. 2. Pendidikan
madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag. Madrasah semula merupakan
“pendidikan agama plus umum”, tetapi sesuai UUSPN 1989 madrasah adalah “sekolah umum
berciri agama”. 3. Sekolah Islam “plus” atau “unggulan” yang mengikuti kurikulum Diknas,
yang pada dasarnya adalah “pendidikan umum plus agama”. 4. Pendidikan ketrampilan
(vocational training), apakah mengikuti model “STM” atau MA/SMU ketrampilan.
Keempat pilihan tersebut, menjawab sejumlah harapan masyarakat kepada pendidikan
Islam di era globalisasi. Harapan pertama, Pendidikan Islam berperan dalam tiga hal pokok;
pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge).
Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi
11

M. Atho Mudzhar, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka Bicara Pendidikan
Islam: Sebuah Bunga Rampai..,hal.103-104
12
Marwan Saridjo, Prolog Pendidikan Islam dan Beribu Kata berjawab, dalam Mereka Bicara Pendidikan
Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), cet.1, hal.xxxiii

(calon-calon) ulama (reproduction of “ulama”). Harapan kedua, aagar para peserta didik
tidak hanya mengentahui ilmu agama, tetapi juga ilmu umum atau sebaliknya sehingga
diharapkan terjadi mobilitas pendidikan. Harapan ketiga, agar para anak didik memiliki
ketrampilan, keahlian atau life skills khususnya dalam bidang sains dan teknologi yang
menjadi karakter dan ciri masa globalisasi.13
E. Kelemahan pembelajaran PAI di sekolah-sekolah
Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan
karena praktik pendidikanya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan
kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif,
yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi
kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan
nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama,
sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan
agama adalah pendidikan moral.
Muhaimin menuliskan indikator-indikator kelemahan pelaksanaan PAI di sekolahsekolah;
1. PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yag kognitif menjadi “makna” dan
“nilai” atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik.
2. PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program
pendidikan nonagama;
3. PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial budaya, dan/atau bersifat
sttis kontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilainilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.14
Ahmad Tafsir menyebutkan 12 kelemahan PAI di sekolah;
1. Kurangnya dukungan orang tua murid
2. PAI kurang diminati
3. Kurikulum PAI terlalu luas
4. Pelajaran agama kurang brguna bagi kehidupan material
13

Azyumardi Azra, Pendidikan islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dalam Mereka Bicara
Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai.., hal.19
14

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), cet.1, hal.37

5. Tidak di UN kan
6. Kurang peneladanan dari guru
7. Kurangnya pembiasaan dari sekolah
8. Penampilan guru agama kurang menarik
9. Budaya global
10. Spiritualisme melawan materialisme
11. PAI tidak menyatu dalam sistem
12. PAI tidak dijadikan fokus dalam kehidupan sehari-hari. 15
Berbagai kritik atas kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak
bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat
normatif, teoritis dan kognitif, serta kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya dan bersifat statis tidak
kontekstual serta lepas dari sejarah, sehingga peserta didik urang menghayati nilai-nilai
agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; dan lain-lain. Aspek yang disoroti adalah
menyangkut muatan kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana pendidikan agama,
termasuk di dalamnya buku-buku dan bahan-bahan ajar pendidikan agama. 16
Persoalan sebenarnya bukanlah terletak pada persoalan mata pelajaran apa yang lebih
mungkin mampu membentuk perilaku atau pribadi siswa secara efektif. Pendidikan budi
pekerti sekalipun, andaikata diajarkan secara kognitif akan melahirkan problem yang sama.
Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan,
melainkan bersifat saling komplementer. Dalam hal ini, penyempurnaan sistem pendidikan
agama terutama dalam orientasi dan penekanan aspek kompetensi yang harus diajarkan
menjadi hal yang sangat penting. Materi pendidikan agama, harus diorientasikan kepada
penguasaan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai dan norma ajaran agama secara
komprehensif sehingga kelak mampu membentuk kepribadian yang utuh. Pendidikan agama
harus disajikan dengan pendekatan yang tepat sesuai ideologi pembangunan yang telah
dirumuskan pemerintah dan tuntutan pembenetukan kepribadian peserta didik sesuai
perkembangan tantangan zamannya. Kesalahan pendekatan pendidikan agama, ternyata tidak

15

Ahmad Tafsir, Penelitian pada Pendidikan Agama Islam, Studium General, Program Magister PAI UIN
Jakarta, 6 November 2013.
16

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam.., hal.184

hanya menyebabkan “prestasi” sekolah yang rendah, namun dapat menyebabkan pula
terbentuknya perilaku yang tidak diharapkan.17
Pendekatan Pembelajaran PAI menumbuhkan karakter siswa
Pada dasarnya karakter lebih bermuatan aspek afektif. Dengan mengacu Taksonomi
belajaran menurut Benyamin S. Bloom cakupan domain afektif terdiri dari;
a. Penerimaan (Receiving)
b. Sambutan (Responding)
c. Penilaian (Valuing)
d. Pengorganisasian (Organization)
e. Karakterisasi (Characterization)
Dengan kerang pikir ini, Abuddin Nata menawarkan pendekatan pembelajaran PAI
dalam rangka menumbuhkan karakter bagi siswanya.18
a. Modeling – Imitating; pendekatan pembelajaran PAI dengan menghadirkan perilaku
yang baik dipraktikkan di lingkungan sekolah. Kepala sekolah, guru, orang tua
sebagai contoh dan model dimana siswa dapat melihat, mengamati, mempraktikkan
perilaku yang baik mereka. Dengan pemberian contoh yang baik-Uswatun Hasanah
atau Qudwah Hasanah-, menguatkan materi yang dipelajari siswa di kelas. Materi PAI
tidak sebatas materi belaka sifatnya abstrak, tetapi siswa mendapat pembuktian secara
praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dengan apa yang dilihatnya dari
orang-orang di sekitarnya semakin memberi keinginan untuk mempraktikkan materimateri yang telah dipelajarinya.
b. Reflecting; pendekatan yang bertujuan, siswa mampu mendapatkan sebuah pantulan
atau masukan dengan apa yang telah dipelajarinya. Materi yang dipelajari tidak begitu
saja lewat dan dilupakan tanpa meninggalkan bekas apa-apa yang bermanfaat setelah
itu. Berefleksi berarti mencoba menilai perbuatan diri sendiri. Apakah proses
pembelajaran yang dilakukannya sudah memberi sesuatu hal positif bagi dirinya.
Dalam refleksinya, ternyata materi-materi PAI yang telah dipelajarinya, mengandung
nilai-nilai universal, komprehensif, serta aplikatif yang berguna bagi kesuksesan
hidupnya di dunia maupun di akhirat.
17

M. Atho Mudzhar, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka Bicara Pendidikan
Islam: Sebuah Bunga Rampai..,hal.108
18
Abuddin Nata, Perkuliahan pada tanggal 30 Desember 2013

c. Problem Solving; pendekatan dengan melibatkan siswa dari setiap pembelajaran PAI.
Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu terhadap sebuah masalah. Objek
materi yang dipelajari sebagai sebuah masalah yang harus dipecahkah dan dicarikan
solusi. Dari sini timbul pemahaman, terhadap sebuah masalah, masing-masing siswa
akan memiliki pendapat yang berbeda dan bermacam-macam. Keikut partisipasian
semua siswa dalam memecahkan sebuah masalah, kemudian dirumuskan jalan
solusinya, secara tidak langsung menuntut tanggung jawab atas semua hal yang telah
mereka lalui.
d. Deep Discussion; pendekatan pembelajaran PAI yang menuntun masing-masing siswa
berdiskusi secara mendalam, analisis, kritis terhadap pemaman ajaran Islam. Dari sini,
Islam sebagai sebagai sebuah horizon ilmu pengetahuan yang ilmiah dan
komprehensif. Pemamahan menggali kembali dari sumber ajaran Alquran dan Hadis,
membaca pendapat para ulama, serta melihat hasil penemuan-penemuan ilmiah
terkini. Pemamahan siswa terhadap Islam yang dibangun, bereferensi yang otoritatif
argumentasi yang rasional dan empirikal, serta memberi kemaslahatan bagi semesta.
e. Socialization; pendekatan pembelajaran PAI sebagai sesuatu proses implementasi
yang dialami bagaimana sebuah ajaran atau nilai (PAI) bisa dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari tanpa ada pertentangan. PAI sebagai sebuah materi penuh nilai,
untuk bisa menjadi sebuah karakter yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,
ada tahapan dan proses yang harus dilalui. Dimulai dari adaptasi, proses penyesuaian
terhadap sesuatu hal yang baru (nilai PAI) dengan lingkungan sekitar, kemudian
terjadi Asimilasi yaitu saling pengaruh mempengaruhi antar yang sudah ada
(lingkungan sekitar) dengan yang baru, kemudian terjadi kolaborasi, kedua unsur
yang sudah ada dan baru bisa saling kerjasama sehingga selanjutnya terjadi integrasi,
yakni perbauran yang masuk diantara kedua unsur (nilai PAI dan lingkungan sekitar)
dengan lancar dan saling mengisi.
f. Autentik Assasment; pendekatan pembelajaran PAI dengan penilaian dan evaluasi
yang terus menerus berkesinambungan dan berkelanjutan terhadap anak didiknya.
Tindakan ini menuntut guru mampu melakukan penilaian secara observasi perilaku
keseharian anak didiknya. Perilaku-perilaku keseharian siswa inilah sebagai informasi
yang paling berharga dari pembelajaran PAI sendiri, terbiasanya siswa melakukan
perbuatan-perbuatan yang mulia yang dituntut dari PAI. Selanjutnya, perilaku mulia
ini menjadi karakter bagi siswa. cara penilaian dapat dilakukan dengan portopolio
atau pun diary book siswa.

F. Kendala Praktik Pendidikan Agama Islam Di Sekolah beserta Solusinya
Dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, banyak sekali muncul
problematika-problematika. Berbagai problematika yang muncul, bisa berkenaan dengan
masalah yang bersifat internal, maupun eksternal. Faktor internal sekolah, misalnya guru
yang belum berkompeten, maupun sarana prasarana yang tidak mendukung.
Sedangkan permasalahan dari eksternal, bisa datang dari kurangnya dukungan
masyarakat (orang tua murid), ataupun kurangnya dukungan dari pemerintah daerah
setempat. Untuk mempermudah pemaparan, maka berikut akan ditampilkan problematikaproblematika Pendidikan Agama Islam di sekolah beserta solusi yang ditawarkan, dilihat dari
ruang lingkupnya sebagai berikut; 19
No

Ruang
Lingkup/Aspek

Problematika

Solusi

1. Kurangnya kemampuan siswa 1. Bekerjasama dengan TPQ di
dalam membaca dan menulis.
lingkungan sekolah.
2. Waktu yang tersedia tidak
2. Dengan menambahkan
1 Al- Quran
mencukupi apabila
pembelajaran al-Quran bagi
pembelajaran al-Quran
siswa dalam prog. ekstrakurikuler
ditambah
1. Kurangnya materi hadits yang 1. GPAI mengembangkan materi
ada di dalam kurikulum.
hadits sehingga hadits yang
2. Bersifat hafalan
ditampilkan lebih beragam.
2 Al-Hadits
2. Mengaitkan materi hadits dengan
kehidupan sehari-hari(lebih
aplikatif)
1. Lebih bersifat pendoktrinan.
1. Mengaitkannya dengan
2. Bersifat kognitif
kehidupan nyata sehari-hari serta
membuka dialog.
3 Keimanan/Aqidah
2. Memberikan pengalaman belajar
langsung sehingga mengesankan
bagi siswa
Contoh-contoh yang diberikan
1. Evaluasi harus diubah, yaitu lebih
lebih bersifat sosok ideal lama
menekankan kepada penerapan,
misalnya dengan pembelajaran
4 Akhlak
penerapan langsung.
2. Mengaitkannya dengan
sosok/tokoh masa kini
1. Penilaian seringkali lebih
1. Evaluasi juga menekankan
5 Fiqih
menekankan kemampuan
kepada penerapan.

19

Dedi Noviyanto, Aspek-Aspek PAI Di Sekolah, sumber http://dedinoviyanto.wordpress.com/mypapers/tentang-pendidikan/aspek-aspek-pai-di-sekolah-karakteristik-problematika-dan-solusinya/,
diakses
tanggal 14 November 2013

6 SKI

kognitif.
2. Kurangnya sarana prasarana
1. Seringkali hanya bersifat
narasi dan hafalan.
2. Kurangnya minat siswa

2. Bekerjasama dengan lembaga
keagamaan di sekotar sekolah
1. Menekankan kepada
pengambilan hikmah.
2. Ditampilkan suasana yang
menarik minat siswa, dengan
mengaitkannya kepada
kehidupan sehari-hari siswa

Salah satu masalah yang dihadapi pengajaran agama Islam di sekolah adalah adanya
kekurangan jam pelajaran agama Islam yang disediakan di sekolah-sekolah. Abuddin Nata
menawarkan solusi untuk mengatasinya. Pertama, dengan merubah orientasi dan fokus
pengajaran agama yang semula bersifat subject matter oriented, yakni dari yang semula
berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan mengahafal ajaran
agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan
pembentuk sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan agama. Kedua, dengan
cara menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah
ditetapkan dalam kurikulum. Penambahannya itu dengan bentuk ekstrakurikuler dengan
kegaitan shalat berjama’ah, pendalaman agama melalui pesantren kilat, qiyamul lail,
berpuasa sunah, memberikan santunan kepada fakir miskin, dan kegiatan sosial keagamaan
lainnya. ketiga, dengan cara meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan
pengawasan yang diberikan oleh kedua orang tua di rumah. Keempat, melaksanakan tradisi
ke-Islaman yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunah yang disertai dengan penghayatan
akan makna dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kelima, pembinaan sikap
keagamaan tersebut dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan berbagai mass media yang
tersedia, seperti radio surat kabar, buku bacaan, televisi, dan lain sebagainya.20

20

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Kencana, 2003), cet. I, hal.23-31

Penutup
Perlunya perubahan paradigma pendidikan agama di sekolah dan madrasah yaitu
pendidikan agama bukan sebatas pengajaran dan penguasaan materi terhadap ilmu-ilmu
agama, tetapi juga mampu anak didik mampu memahami dan memaknai nilai-nilai agama
sebagai bekal motivasi untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan
agama Islam di sekolah menjadi aspek pokok pendidikan agama Islam, sedangkan aspekaspek pokok pendidikan agama Islam di sekolah umum menjadi sub mata pelajaran-mata
pelajaran di madrasah.
Selanjutnya, perubahan paradigma dan pendekatan dalam pendidikan agama dalam
penyelenggaraannya bukan hanya menjadi tugas guru agama saja, tetapi merupakan tugas
bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru umum, seluruh aparat sekolah, orang tua
murid, masyarakat, sampai negara.

Daftar Pustaka
Amri, Sofan, Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah: dalam Teori,
Konsep, dan Analisis, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), cet.1
Azra, Azyumardi, Pendidikan islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dalam
Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009), cet.1
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2009), cet.1
------------, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012), cet.v
------------, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), cet.1
Mudzhar, M. Atho, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka
Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), cet.1
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Kencana, 2003), cet. I.
-------------------, Sesi perkuliahan pada tanggal 30 Desember 2013
Nizar, Samsul, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
2010), cet.1
Saridjo, Marwan, Prolog Pendidikan Islam dan Beribu Kata berjawab, dalam Mereka
Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), cet.1
Tafsir, Ahmad, Penelitian pada Pendidikan Agama Islam, Studium General, Program
Magister PAI UIN Jakarta, 6 November 2013.
Noviyanto, Dedi, Aspek-Aspek PAI Di Sekolah, sumber
http://dedinoviyanto.wordpress.com/my-papers/tentangpendidikan/aspek-aspek-paidi
sekolah-karakteristik-problematika-dan-solusinya/, dikutip tanggal 14 November
2013

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24