SANGGIT CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDHARSONO - Institutional Repository ISI Surakarta

  SANGGIT CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDHARSONO TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S2

  Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Minat Pengkajian Seni Teater diajukan oleh

  Tri Wahyoe Widodo 399/S2/KS/09

  Kepada PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT SENI INDONESIA (ISI) SURAKARTA 2014

  

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “SANGGIT

  CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN

  

MANTEB SOEDARSONO” ini beserta seluruh isinya adalah benar-

benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan

atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika

keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas

penyataan saya ini saya siap menerima resiko/sanksi yang

dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan

pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau

ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

  Surakarta, 8 Agustus 2014 Yang membuat pernyataan Tri Wahyoe Widodo

  

INTISARI

Tri Wahyoe Widodo, 2014. SANGGIT CATUR LAKON

  KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB

  

SOEDARSONO. Tesis. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsi

dan memahami struktur dramatik, sanggit catur, dan nilai-nilai

dalam lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

Soedarsono. Permasalahan yang dikaji adalah: (1) bagaimana

struktur dramatik lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian

Manteb Soedarsono? (2) bagaimana sanggit dan garap catur lakon

  Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedarsono?, dan (3)

  

bagaimana nilai-nilai yang disampaikan dalam lakon Kalabendu

susunan Sumanto sajian Manteb Soedarsono? Bahan penelitian dikumpulkan melalui studi pustaka,

wawancara, dan pengamatan langsung dan tidak langsung pada

pertunjukan lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

Soedharsono. Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur

dramatik, sanggit, dan garap catur dengan menggunakan metode

deskriptif interpretatif.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) lakon Kalabendu

susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono ini sebenarnya

merupakan petikan adegan-adegan penting dari beberapa lakon

tradisi yaitu : lakon Pamuksa, lakon Bale Sigala-gala, lakon

  Bratayuda, dan lakon Pendhawa Boyong. Tahapan-tahapan

  

dramatik dalam lakon Kalabendu adalah: exposition, inciting-

  action, conflication, crisis, climax, resolution, dan conclusion. (2) Sanggit catur lakon Kalabendu susunan Sumanto terdapat sanggit janturan (janturan jejer, janturan adegan, dan janturan peristiwa), sanggit pocapan (pocapan situasi, pocapan peristiwa, pocapan

  

mandiri, dan pocapan peralihan), serta sanggit ginem (ginem

  blangkon, ginem baku, ginem isen-isen, dan ginem banyol). Garap catur lakon Kalabendu sajian Manteb Soedharsono terdapat garap janturan (janturan adegan), garap pocapan (pocapan peristiwa), dan garap ginem (ginem blangkon).(3) nilai-nilai yang disampaikan

  

dalam lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

Soedharsono adalah: nilai rendah-hati, nilai kesederhanaan, nilai

tanggung-jawab, nilai kejujuran, nilai kebenaran, nilai persatuan,

nilai balas budi, nilai ketuhanan, nilai ngundhuh wohing pakarti

(hukum karma), nilai pendidikan, dan nilai keteguhan hati.

  Kata kunci: struktur dramatik, sanggit catur, nilai-nilai, lakon Kalabendu.

  

ABSTRACT

Tri Wahyoe Widodo, 2014. SANGGIT CATUR OF LAKON

  KALABENDU SUMANTO’S ARRANGEMENT AND MANTEB

  

SOEDHARSONO’S PERFORMANCE. Thesis. The purpose of this

study to decrypt and understand dramatic structure, sanggit catur,

  garap catur, and the values in the lakon Kalabendu Sumanto’s

  

arrangement and Manteb Soedharsono’s performance. The

problems studied were: (1) how are dramatic structure of lakon

  Kalabendu Sumanto’s arrangement and Manteb Soedharsono’s

  

performance? (2) how are sanggit and garap catur of lakon

  Kalabendu Sumanto’s arrangement and Manteb Soedharsono’s

  

performance?, and (3) how are the values presented in the lakon

  Kalabendu Sumanto’s arrangement and Manteb Soedharsono’s

  performance? The data was collected through library research, interviews,

and observations of direct and indirect on the lakon Kalabendu

Sumanto’s arrangement and Manteb Soedharsono’s performance.

This study used analysis of dramatic structure and aesthetics of

catur with interpretive descriptive method.

  The results performances that: (1) the composition of the

  lakon Kalabendu Sumanto’s arrangement and Manteb

  

Soedharsono’s performance is actually an excerpt of important

scenes from several lakons traditions, namely: Pamuksa, Bale

  Sigala-gala, Bratayuda, and Pendhawa Boyong. The stages in the

  

dramatic lakon Kalabendu are: exposition, inciting action,

conflication, crisis, climax, resolution, and conclusion. (2)sanggit

  catur on lakon Kalabendu has worked on sanggit janturan (janturan jejer, janturan scene, and janturan events), sanggit pocapan

  

(pocapan situation, pocapan events, pocapan independent, and

  pocapan transition), as well as sanggit ginem (ginem blangkon, ginem baku, ginem isen-isen, and ginem banyol). Garap catur on lakon Kalabendu has worked on janturan (janturan scene), working

  

on pocapan (pocapan events), and working on ginem (ginem

  blangkon). (3) the values presented in the lakon Kalabendu

  

Sumanto’s arrangement and Manteb Soedharsono’s performance

is: the value of humility, simplicity values, values of responsibility,

honesty, truth value, the value of unity, the value of reciprocation,

the value of the deity, the value of ngundhuh wohing pakarti (law of

karma), the value of education, and the value of perseverance.

  Keywords: dramatic structure, Sanggit catur, values, lakon Kalabendu.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa atas limpahan rahmat dan anugrah-Nya, sehingga tesis

yang berjudul SANGGIT CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN

SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDARSONO ini bisa terselesaikan.

  Terselesainya penulisan tesis ini berkat dukungan berbagai

pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat yang sedalam-dalamnya dan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. Sarwanto, S. Kar.,

M. Hum., yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan dan arahan sejak dari awal rancangan hingga

penulisan tesis ini selesai.

  Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Aton

Rustandi Mulyana, M.Sn., selaku Direktur Pascasarjana Institut

Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Dr. Slamet, , M.Hum., selaku

Ketua Program Studi S2 Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI)

Surakarta selaku Ketua Dewan Penguji serta Dr. Sugeng Nugroho,

S.Kar., M.Sn selaku Penguji Utama yang telah meluangkan waktu

dan memberikan kritik dan masukan dalam proses penyusunan

Tesis ini.

  Rasa terima kasih penulis haturkan pula kepada seluruh

dosen Program Studi Pengkajian Seni, Minat Teater Program

Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang telah

memberikan bekal berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman

kepada penulis.

  Tidak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan yang

tulus penulis sampaikan kepada Sumanto, S.Kar., M.Hum., Ki

Manteb Soedharsono, B. Subono, S.Kar., M.Sn dan Hali Jarwo

Sularso selaku narasumber yang telah meluangkan waktu untuk

wawancara dan memberikan saran-saran yang baik kepada

penulis.

  Kepada orangtua, istri dan anak tercinta penulis sampaikan

terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya atas

seluruh pengertian, dukungan, dan perhatian penuh sejak peneliti

menempuh studi hingga terselesainya penulisan tesis ini. Kepada

semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian

ini tidak lupa penulis ucapkan terima kasih. Atas segala

bantuannya, semoga mendapatkan imbalan yang lebih dari Yang

Maha Kuasa.

  Pepatah mengatakan bahwa ‘tak ada gading yang tak retak’,

demikian juga halnya dengan tesis ini yang hasilnya masih jauh

dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai

pihak sangat diharapkan. Untuk itu sebelum dan sesudahnya

diucapkan terima kasih.

  Surakarta, 8 Agustus 2014 Penulis

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

  HALAMAN PENGESAHAN ii

  HALAMAN PERNYATAAN iii

  INTISARI iv

  ABSTRACT v

  KATA PENGANTAR vi

  DAFTAR ISI viii

  DAFTAR GAMBAR xiii

  BAB I. PENDAHULUAN

  1 A. Latar Belakang

  1 B. Perumusan Masalah

  10 C. Tujuan Penelitian

  10 D. Manfaat Penelitian

  11 E. Tinjauan Pustaka

  11 F. Kerangka Teoritis/Konseptual

  14 G. Metode Penelitian

  20 H. Sistematika Penulisan

  23 BAB II. STRUKTUR DRAMATIK LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDARSONO

  25 A. Ringkasan Lakon Kalabendu

  28 B. Balungan Lakon Kalabendu

  36 C. Tahapan Struktur Dramatik

  41

  1. Exposition

  41

  2. Inciting-action

  44

  3. Conflication

  45

  4. Crisis

  49

  5. Climax

  51

  6. Resolution

  53

  7. Conclusion

  55 D.Unsur-Unsur Dramatik

  56

  1. Catur

  57

  a. Janturan

  58

  b. Pocapan

  59

  c. Ginem

  60

  2. Sabet

  62

  a. Gending pokok

  68

  b. Gending selingan

  69

  4. Sulukan

  70 BAB III. SANGGIT DAN GARAP CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDARSONO

  74 A. Sanggit Catur

  75

  1. Sanggit Janturan

  76

  a. Janturan jejer

  76

  b. Janturan adegan

  77

  c. Janturan peristiwa

  78

2. Sanggit Pocapan

  79

  a. Pocapan situasi

  79

  b. Pocapan peristiwa

  80

  c. Pocapan mandiri

  80

  d. Pocapan peralihan

  82

3. Sanggit Ginem

  82

  a. Ginem blangkon

  83

  b. Ginem baku

  84

  c. Ginem isen-isen

  85

  d. Ginem banyol

  86 B. Garap Catur

  89

  1. GarapJanturan

  89

  2. Garap Pocapan

  91

  3. Garap Ginem

  92 C. Gaya Bahasa

  95

  1. Simile

  95

  2. Metafora

  97

  3. Personifikasi

  99

  4. Paronomasia 101

  5. Hiperbol 101

  6. Aliterasi 102

  7. Asonansi 103

  8. Litoses 103

  9. Apostrof 105

  10. Ironi 108

  BAB IV NILAI-NILAI YANG DISAMPAIKAN DALAM LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDARSONO 111

  A. Pesan-pesan dalam Adegan Lakon Kalabendu 113

  1. Adegan Prolog 114

  2. Adegan Gendari dan Sengkuni 116

  3. Adegan Jejer Pertama Ngastina 118

  4. Adegan Limbukan 125

  5. Adegan Pagombakan 133

  6. Adegan Baratayuda Jayabinangun 137

  7. Adegan Ngastina 138

  8. Adegan Dhestarastra dan Gendari 140

  B. Nilai-nilai dalam Lakon Kalabendu 142

  1. Nilai Rendah-hati 142

  2. Nilai Kesederhanaan 143

  3. Nilai Tanggung-jawab 144

  4. Nilai Kejujuran 145

  5. Nilai Kebenaran 146

  6. Nilai Persatuan 147

  7. Nilai Balas Budi 148

  8. Nilai Ketuhanan 149

  9. Nilai Ngundhuh Wohing Pakarti (Hukum Karma) 149

  10. Nilai Pendidikan 151

  11. Nilai Keteguhan Hati 152

  BAB V. PENUTUP 153

  A. Kesimpulan 153

  B. Saran 156

  DAFTAR PUSTAKA 157

  DAFTAR DISKOGRAFI 160

  DAFTAR NARA SUMBER 161

  GLOSARIUM 162

  LAMPIRAN 170

  DAFTAR GAMBAR

  1. Gambar 1: Adegan Pandu melawan Tremboko

  29

  2. Gambar 2: Adegan Paseban Jawi

  32

  3. Gambar 3: Adegan Pandhu memberikan amanat kepada Destrarastra sebelum meninggal

  41

  4. Gambar 4: Adegan Kurupati dinobatkan menjadi raja

  50

  5. Gambar 5: Adegan Destrarastra dan Gendari

  66

  6. Gambar 6: Adegan Pagombakan

  91

  

7. Gambar 7: Pembacaan orasi dalam adegan Limbukan 126

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertunjukan wayang kulit terbentuk dari perpaduan unsur-

  

unsur garap pakeliran. Dalam pakeliran gaya Surakarta, unsur-

unsur tersebut adalah lakon, catur, sabet dan karawitan

  pakeliran. Berdasarkan pengertian umum, istilah lakon seringkali

  

disamakan dengan cerita. Lakon berarti kisah yang didramatisasi

dan ditulis untuk dipentaskan oleh sejumlah pemain di depan

publik. Artinya lakon adalah padanan kata dari drama (Sujiman,

1984:46). Dalam dunia pedalangan, pengertian lakon tergantung

dari konteks pembicaraannya. Setidaknya ada tiga pengertian

lakon, yaitu: pertama, lakon dapat berarti tokoh utama dari

keseluruhan cerita wayang yang ditampilkan, yang tersirat dari

pertanyaan lakone sapa; kedua, lakon dapat berarti alur cerita,

tersirat dari pertanyaan lakone kepriye; dan ketiga, bahwa lakon

juga berarti menunjuk judul repertoar cerita yang disajikan, yang

tercermin dari pertanyaan lakone apa (Kuwato, 1990:6).

  Pengertian catur di dalam pakeliran adalah semua wujud

bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang di dalam

  pakeliran (Murtiyoso, 1981:6). Soetarno dkk. dalam bukunya

  Estetika Pedalangan menyatakan bahwa catur dibedakan menjadi

  

tiga golongan, yaitu: janturan, pocapan, dan ginem. Janturan

adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suasana adegan

yang sedang berlangsung, dengan diiringi gending sirep. Janturan

biasanya berisi pendeskripsian tentang suasana adegan, seting

tempat dan waktu, kebesaran, kesaktian dan jasa tokoh,

  dasanama tokoh dan artinya. Pocapan yaitu ucapan dalang yang

  

berupa narasi pada umumnya menceritakan peristiwa yang telah,

sedang dan akan berlangsung tanpa diiringi karawitan pakeliran.

  

Instrumen yang kadang-kadang digunakan untuk mengiringi

  pocapan hanyalah dhodhogan dan keprakan. Ginem adalah wacana dalang yang memerankan dialog tokoh wayang dalam

  

suatu adegan, yang disesuaikan dengan karakter dan suasana

masing-masing tokoh. Ada dua macam jenis ginem, yaitu

  ngudarasa (monolog : tokoh berbicara dengan dirinya sendiri) dan

  

dialog antara dua atau lebih tokoh wayang yang tampil dalam

adegan (Soetarno dkk, 2007:55).

  Sabet adalah salah satu unsur pakeliran yang meliputi

  

semua gerak dan penampilan boneka wayang di atas panggungan

atau layar yang disajikan oleh dalang (Murtiyoso, 1981:13). Dalam

buku Teori Pedalangan : Bunga Rampai Elemen – Elemen Dasar

  Pakeliran, Murtiyoso dkk. membagi unsur-unsur tehnik sabet

  1

  entasan. Cepengan dalam konvensi pedalangan adalah istilah

  

yang bertalian dengan cara memegang wayang. Jadi cepengan

adalah hal-hal yang berhubungan dengan cara memegang wayang

bagi dalang dalam menyajikan pakeliran. Tancepan adalah bentuk

penataan wayang yang ditancapkan pada batang pisang

(gedebog/debog) pada suatu adegan, dalam posisi karakter dan

  2

suasana masing-masing tokoh . Sedangkan Karawitan pedalangan

adalah semua bentuk sajian nada ataupun suara, baik yang

berasal dari instrument gamelan, vocal wiraswara dan swarawati,

maupun bunyi kotak (dhodhogan) dan keprak, guna mendukung

sajian pakeliran (Murtiyoso dkk., 2007:22).

  Penggarapan unsur-unsur pakeliran tersebut di dalam dunia

pedalangan juga dikenal dengan istilah sanggit. Menurut Sumanto

dalam Murtiyoso dkk., secara harfiah sanggit berasal dari kata

  gesanging anggit atau gesanging anggitan yang bermakna gesanging ringgit, yaitu hidupnya suatu hasil cipta karya

  

(Murtiyoso dkk., 2007:46). Subono dalam sebuah wawancara

menyatakan bahwa sanggit adalah kreativitas dalang dalam

  1 Cepengan berasal dari bahasa Jawa krama cepeng, dalam

bahasa Jawa ngoko cekel yang artinya “pegang” (Atmodjo, P., 1998:64).

  

Sudarmanto dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa mengartikan cepengan

sebagai “pegangan” (2008:42)

  2 Hal-hal yang juga menjadi pertimbangan dalam menempatkan

posisi tancepan adalah status sosial (raja, patih, pendeta, dsb.),

kedudukannya dalam sebuah kekerabatan (orang tua, paman, kakek,

ibu, kakak, adik dsb.), peranannya dalam alur lakon (tamu, pemilik

rumah, dsb.), karakter tokoh (karakter sombong, pendiam, halus, dsb.),

  

mengolah unsur-unsur pakeliran untuk mewujudkan kualitas

pakelirannya (wawancara dengan Subono tanggal 4 Maret 2011).

  Sanggit dalam pedalangan meliputi sanggit lakon, sanggit adegan, sanggit sabet dan sanggit catur (Sarwanto, dkk., 1993:8). Lingkup sanggit dalam pakeliran sangat luas sekali, oleh karena itu dalam kajian ini lebih dibatasi pada unsur catur.

  Unsur catur menjadi perhatian utama para dalang sebelum

era 1970, bahkan menurut sementara dalang, wacana dalang

(catur) menduduki tempat teratas dibanding unsur-unsur

pakeliran yang lain, seperti sabet dan karawitan pedalangan.

  

Tristuti Suryasaputra, seorang dalang senior yang tenar pada era

tahun 1960-1965 menyatakan bahwa kurang-lebih sebelum tahun

1970 seorang dalang akan merasa malu apabila membawa teks

  wacana (naskah) pedalangan pada saat pentas, karena ia akan

  

dianggap sebagai dalang pemula. Namun sekitar tahun 1980 para

dalang populer justru mulai membaca naskah pada waktu

pertunjukan. Biasanya mereka akan membaca naskah pada ginem

dan janturan yang khusus. Kebiasaan itu kemudian ditiru oleh

dalang-dalang lain terutama para dalang yunior. Bahkan sejak

paruh kedua tahun 1980, dalang membaca naskah pada waktu

pentas hampir menjadi suatu keharusan (Suryasaputra dalam

Nugroho, 2000:4).

  Sejak dicetuskannya konsep pakeliran padat oleh Gendon

Humardani sekitar tahun 1976, dunia pedalangan mengalami

perubahan cukup mendasar. Perubahan itu adalah munculnya

spesialis-spesialis tertentu seperti penyaji, penyusun naskah,

penyusun karawitan dan penyusun sabet. Sejak saat itulah

  3

muncul penaskah-penaskah lakon wayang lengkap , seperti Ki

Sadono Amongrogo, Ki Naryocarito, Ki Tristuti Rahmadi, Bambang

Suwarno, Bambang Murtiyoso, Suratno, B.Subono, Sumanto dan

lain-lainnya (Sumanto, wawancara tanggal 27 April 2011).

  Peneliti tertarik untuk mengkaji sebuah pertunjukan wayang

kulit hasil dari kerjasama penyusun lakon dan penyaji lakon,

khususnya pada wilayah sanggit catur. Penelitian ini merupakan

3 Dalam konvensi pedalangan ada beberapa macam naskah. Ada

  

yang berupa naskah tembang/puisi, di mana penceritaannya dalam

bentuk tembang dan tidak ada pembabakan yang jelas (contohnya Serat

Arjuna Sasrabahu Sekar Ageng atau Serat Lokapala, karya Yasadipura).

  

Ada juga yang berupa naskah gancaran (prosa) yang penceritaannya

secara bersambung dari satu episode ke episode selanjutnya secara

berurutan dan juga tidak ada pembabakan secara jelas (contohnya

adalah Serat Pustaka Raja Purwa karya Ranggawarsita, Silsilah Wayang

Purwa Mawa Carita karya Padmosoekotjo). Ada pula naskah balungan

yang penceritaannya secara berurutan adegan per-adegan, dari awal

(jejer) sampai selesai (tanceb kayon), contohnya Serat Pedalangan Ringgit

Purwa yang disusun Mangkunegara VII, Serat Pedalangan Ringgit Purwa

susunan Atmacendana alias Nayawirangka, Balungan Ringgit Purwa

(ngewrat 20 lampahan) dihimpun oleh Wiraatmaja dan Kempalan

Balungan Wayang Kulit Purwa Susunan Suratno Gunowiharjo. Naskah

yang lain berupa naskah lakon wayang yang sudah disusun sangat rinci

dalam garapan satu lakon lengkap yang memuat dialog (ginem) dan

narasi (janturan dan pocapan) pada setiap babak serta adegan, bahkan

juga ada yang dilengkapi dengan keterangan/petunjuk “caking

pakeliran” atau tehnik sabet wayang secara rinci beserta sulukan dan

pemakaian gending. Dalam penelitian ini, pengertian naskah adalah

berupa teks wacana lengkap yang memuat dialog (ginem) dan narasi

  

sebuah studi kasus pada lakon Kalabendu susunan Sumanto

sajian Manteb Soedharsono yang disajikan pada tanggal 25 Maret

2001 di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta. Sumanto adalah

seorang penyusun naskah pakeliran yang sudah sangat dikenal di

kalangan seniman pedalangan, sedangkan Manteb Soedharsono

adalah seorang dalang populer yang sangat digemari oleh

masyarakat pecinta wayang. Kelebihan yang paling menonjol dari

Manteb Soedharsono adalah pada kemampuan sabetnya serta

kemampuan dramatiknya dalam membawakan karakter tokoh

wayang.

  Umar Kayam dalam bukunya Kelir Tanpa Batas, menyatakan bahwa:

............ Ki Manteb dapat dikatakan sebagai maestro

atau dalang yang paling kuat. Ia tidak hanya menjadi

dalang yang paling laku, tidak hanya dalang yang paling

mahal, tidak hanya dalang yang paling banyak ditiru,

melainkan juga dalang dengan kemampuan sabet yang

tidak ada duanya, yang tidak dapat ditiru dengan

kualitas setara oleh dalang-dalang lainnya. Artinya ia

telah berhasil menaklukkan dan menguasai tantangan

besar yang dalang lain tidak mampu melakukannya

(2001: 179).

  Lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

Soedharsono yang disajikan pada tanggal 25 Maret 2001 di Taman

Budaya Jawa Tengah Surakarta tersebut sebenarnya merupakan

bagian dari acara syukuran Gunawan Soemodiningrat yang

diangkat sebagai Guru Besar di Fakultas Ekonomi Universitas

  

Gadjah Mada dan pengukuhannya sebagai Dewan Penyantun

Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Dalam acara syukuran

tersebut dipergelarkan pertunjukan wayang yang mempunyai misi

moral yang ditujukan kepada para pemimpin bangsa Indonesia

dengan lakon Kalabendu. Kalabendu artinya bencana, diambil

sebagai judul lakon dengan maksud untuk memperingatkan para

pemimpin bangsa Indonesia yang sedang berseteru dan membuat

panasnya suhu politik, sehingga mengakibatkan terpuruknya

sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (B. Subono,

wawancara tanggal 4 Maret 2011, dan Sumanto, wawancara

tanggal 27 April 2011).

  Lakon Kalabendu ini sangat menarik untuk diteliti, karena

di dalamnya terdapat beberapa keistimewaan. Lakon Kalabendu

ini mengandung kritik sosial terhadap situasi yang sedang

berlangsung pada saat lakon tersebut disusun. Namun demikian

kritik sosial tersebut disampaikan melalui bahasa pedalangan

serta melalui sebuah orasi susunan Sudarko Prawiroyudo yang

dibacakan oleh dalang (wawancara dengan Manteb Soedharsono

tanggal

  16 Juli 2014). Orasi yang menggunakan bahasa Jawa

tersebut berupa kritikan yang ditujukan kepada politikus-politikus

pada masa itu yaitu Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Mbak Mega

(Megawati Soekarnoputri), Mas Amien (Amien Rais), dan Bung

  

pada para politikus-politikus yang sedang bertikai tanpa

memperdulikan nasib rakyat yang semakin lama semakin

sengsara. Selain melalui orasi, kritikan sosial juga disampaikan

melalui penggarapan tokoh-tokoh cerita dalam lakon Kalabendu

tersebut, salah satunya yaitu tokoh Destarastra. Penggarapan

tokoh Destarastra menggambarkan karakter atau sikap pemimpin

pemerintahan waktu itu. Dalam dunia pedalangan, jarang sekali

tokoh Destarastra digarap secara rumit, hal itu mencerminkan

bahwa penyusun naskah dapat mengkaitkan tokoh Destarastra

dengan kepemimpinan waktu itu.

  Pada pakeliran gaya Surakarta dewasa ini, adegan gara-

  4

  gara selalu ditampilkan, bahkan menjadi salah satu adegan yang

  

selalu ditunggu-tunggu oleh penonton pertunjukan wayang, di

mana pada adegan ini ditampilkan tokoh punakawan yang

memberikan hiburan-hiburan segar pada penonton. Namun pada

naskah lakon Kalabendu ini adegan gara-gara justru berisi tentang

adegan perang Baratayuda, antara Pandawa dan Kurawa.

4 Gara-gara dalam pewayangan adalah salah satu adegan yang

  

terdapat dalam bagian pathet sanga. Adegan ini merupakan adegan

pertama pathet sanga tersebut. Adegan gara-gara biasanya diawali

dengan deskripsi kegoncangan dunia baik yang melanda manusia,

hewan maupun dewa. Setelah gara-gara reda tampillah panakawan

Semar, Gareng Petruk dan Bagong (Sukatno, 1996:115). Namun karena

dalang-dalang pada saat ini seringkali tidak menyampaikan deskripsi

gara-gara dan langsung menampilkan tokoh panakawan, maka

pengertian istilah gara-gara kemudian bergeser menjadi adegan

tampilnya tokoh panakawan. Adegan ini biasanya berisi humor-humor

  Lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

Soedharsono ini sebenarnya merupakan petikan adegan-adegan

penting dari beberapa lakon tradisi. Adapun inti dari lakon

  Kalabendu adalah amanat dari Pandu sebelum meninggal, di

  

mana Pandhu menitipkan kerajaan Ngastina kepada Destarastra

agar kelak diberikan kepada Pandawa jika sudah dewasa.

  

Destarastra berjanji untuk melaksanakan amanat Pandhu

tersebut. Namun karena tipu daya Sengkuni dan Gendari,

Destarastra tidak menepati janjinya, bahkan mewariskan Negara

Ngastina kepada Kurawa.

  Masalah-masalah yang muncul dalam pengamatan lakon

  Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono ini

  

antara lain: struktur dramatik, sanggit dan garap catur, serta

pesan-pesan yang berupa nilai moral yang ada di dalamnya, baik

disajikan secara tersurat dan tersirat dalam setiap adegan. Oleh

karena itu naskah Kalabendu ini menarik untuk dikaji. Agar

pembahasan dapat efektif dan terarah maka perumusan

masalahnya diajukan sebagai berikut.

B. Perumusan Masalah

  Perumusan masalah dalam penelitian ini terformulasi sebagai berikut.

  1. Bagaimana struktur dramatik lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono?

  2. Bagaimana sanggit dan garap catur lakon Kalabendu

susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono?

3. Bagaimana nilai-nilai yang disampaikan dalam lakon

  Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb

  Soedharsono?

C. Tujuan Penelitian

  Dengan dasar pembatasan dan perumusan masalah seperti yang disampaikan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: Ingin mendeskripsi stuktur dramatik lakon Kalabendu -

susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono.

  Ingin memahami sanggit dan garap catur lakon -

  Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono.

  Ingin memahami nilai-nilai yang terkandung dalam lakon -

  Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono tersebut.

D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan semua

pihak di berbagai disiplin yang mengkaji seni pertunjukan wayang

kulit. Manfaat lain dapat dipakai acuan dalam perkembangan

dunia pedalangan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas

  garap pakeliran. Hasil penelitian ini diharap juga dapat di-

  

manfaatkan para dalang maupun penyusun lakon, terutama yang

masih muda, sebagai bahan pertimbangan dalam menciptakan

karya-karya pedalangan yang berkualitas.

E. Tinjauan Pustaka

  Sepengetahuan penulis belum ada sebuah tulisan yang

membicarakan secara khusus dan lengkap tentang sanggit dan

  garap catur pada sebuah pertunjukan wayang, di mana penyusun

  

lakon dan penyajinya adalah dua orang yang berbeda. Namun ada

beberapa buku yang akan digunakan oleh peneliti untuk bekal

dalam meneliti permasalahan ini. Buku-buku tersebut adalah

sebagai berikut.

  “Lakon Kalabendu Sajian Ki Manteb Soedharsono di Mata

Seorang Pengamat Wayang”, tulisan Blacius Subono dalam

  “LAKON” Jurnal Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia

  

Surakarta Volume IV No. 1 Juli 2007. Tulisan ini tidak secara detil

  

Soedharsono susunan Sumanto dalam penyajian unsur garap

lakon, garap catur, garap sabet, dan garap iringan. Perbedaan

tulisan Subono dengan kajian ini adalah kajian ini lebih

membatasi pada sanggit catur lakon Kalabendu sajian Ki Manteb

Soedharsono.

  “Sanggit dan Garap Lakon Banjaran Pertunjukan Wayang

Kulit Purwa Gaya Surakarta”, tulisan Sugeng Nugroho (2012).

  

Disertasi tersebut banyak membantu penulis dalam

mendeskripsikan mengenai sanggit dan garap. Perbedaan buku

tulisan Sugeng Nugroho dengan kajian ini adalah buku tersebut

tidak memuat sanggit catur lakon Kalabendu susunan Sumanto

sajian Manteb Soedharsono.

  “Sanggit Catur Nartasabda dan Manteb Soedharsono dalam

Lakon Kresna Duta”, tulisan Marjono (2010). Tesis ini

memperbandingkan sanggit catur Nartasabda dan Manteb

Soedharsono dalam lakon yang sama, yaitu Kresna Duta namun

pada sajian yang berbeda. Perbedaan yang mendasar antara tesis

tulisan Marjono dengan obyek penelitian penulis adalah bahwa

kajian penulis ini tentang sanggit catur sebuah pertunjukan

wayang yang disusun dan disajikan oleh dua seniman yang

berbeda.

  “Sanggit Ginem adegan Dewaruci dan Bratasena dalam

  

sangat membantu penulis dalam mengkaji sanggit catur sebab

  ginem adalah salah satu bagian dari catur. Perbedaan buku

  

tulisan Sarwanto dengan kajian ini adalah buku tersebut tidak

memuat sanggit catur lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian

Manteb Soedharsono.

  “Pengaruh Teks Wacana Pedalangan Terhadap aspek

Estetika Sajian Pakeliran” tulisan Sugeng Nugroho. Laporan

penelitian ini mengkaji mengenai pengaruh teks wacana (naskah)

yang dibaca oleh dalang pada waktu pentas terhadap aspek

estetika sajian pakeliran dalang tersebut. Perbedaan antara

laporan penulisan tersebut dengan kajian ini adalah laporan

penelitian tersebut tidak membahas mengenai teks wacana

(naskah) lakon Kalabendu susunan Sumanto yang disajikan oleh

Manteb Soedharsono.

  “Studi Komparatif Catur Blangkon Pakeliran Wayang Kulit

Purwa Gaya Surakarta dan Yogyakarta” tulisan Sudarko. Laporan

tersebut banyak membantu penulis terutama dalam mengamati

  catur blangkon. Perbedaan laporan penelitian tersebut dengan

  

kajian ini adalah penelitian ini semua unsur yang terkait dengan

sangit catur, dan tidak dibatasi hanya dalam catur blangkon.

  “Teks Janturan Jejer Wayang Purwa Gaya Surakarta:

Perkembangan dan Teknik Penyusunannya” yang ditulis oleh

  

satu unsur catur yaitu janturan. Perbedaannya dengan kajian ini

adalah kajian ini membahas sanggit dari keseluruhan unsur catur

yang meliputi janturan, pocapan, dan ginem pada lakon Kalabendu

susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono.

F. Kerangka Teoretis/Konseptual

  Lakon dalam pakeliran merupakan salah satu bentuk teater,

yaitu teater tradisional. Teater dalam pengertian umum juga

disebut drama, artinya bahwa lakon pakeliran juga mengandung

unsur-unsur seperti drama pada umumnya. Untuk mengkaji

struktur dramatik terhadap lakon Kalabendu susunan Sumanto

sajian Manteb Soedharsono dapat menggunakan kidah-kaidah

drama sebagai dasar pembahasannya.

  Saptaria dalam buku Acting Handbook : Panduan Praktis

  Akting untuk Film & Teater menjelaskan mengenai struktur

  

dramatik sebagai suatu peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian

yang memuat unsur-unsur plot. Rangkaian ini berstruktur dan

saling memelihara kesinambungan cerita dari awal sampai akhir”

(Saptaria, 2006:25). Lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian

Manteb Soedharsono ini juga akan dikaji tahapan dramatiknya

dengan menggunakan teori Bretolt Bretch.