BAB I PENDAHULUAN - KULIAHPengantarFilsafat

  

KULIAH

PENGANTAR FILSAFAT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. PENGANTAR

  Alkisah, seseorang bertanya kepada seorag ahli filsafat yang arif bijaksana, “coba

  

tunjukkan kepada saya, berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini,

berdasarkan pengetahuannya?” Filsuf itu menjawabnya dengan berpantun: “Ada orang yang tahu di tahunya Ada orang yang tahu di tidaktahunya Ada orang yang tidak tahu di tahunya Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya…”

  Meskipun bingung dengan jawaban sang Filsuf, orang itu bertanya lagi dengan penuh hasrat dalam ketidak-tahuannya, “bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang

  

benar?” “Mudah saja…” jawab Filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa

yang kau tidak tahu…” Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan keragu-

  raguan, dan filsafat mulai dengan kedua-duanya. Aktivitas berfilsafat didorong oleh hasrat untuk mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum atau tidak kita ketahui. Maka berfilsafat di satu pihak berarti mengakui dengan rendah hati bahwa tidak semua hal dapat kita ketahui (dalam kehidupan, dalam pengetahuan dan dalam semesta yang mahaluas ini). Dan di pihak lain, berfilsafat berarti mengoreksi diri secara jujur (terus-terang) seberapa

  

1

jauh kebenaran yang kita cari telah terjangkau.

  Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan dengan seseorang yang berjalan sambil menengadah. Dia berpijak di bumi, tetapi pandangannya ke langit. Dengan itu, ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau ibarat seseorang yang berdiri di puncak gunung yang tinggi sambil memandang ke lembah dan ngarai di bawahnya. Dengan itu, ia ingin menyimak kehadirannya di tengah kesemestaan alam yang ditatapnya. Maka,

  2

  kharakteristik pertama pemikiran filsafat adalah menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi dengan mengenal ilmu hanya dari sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi dan relasi dengan ilmu pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dll; dan dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan untuk hidupnya.

  Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sering kita dapati kisah ilmuwan yang hanya mengakui ilmunya sendiri dan meng-claim-nya sebagai yang paling benar, dan tidak jarang sikap tersebut disertai sikap meremehkan ilmu pengetahuan lainnya. Ahli ilmu alam, misalnya, meremehkan ahli ilmu sosial. Atau, tamatan jurusan IPA merasa lebih tinggi, lebih pintar dari tamatan jurusan IPS. Dalam sejarah, banyak ahli ilmu pengetahuan yang memperlihatkan

  3

  sikap yang meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Berbeda dengan Sokrates (Bapak Ilmu Filsafat), yang dengan rendah hati menyimpulkan, “yang saya tahu ialah bahwa saya

  4 tidak tahu apa-apa.”

  Pengakuan penuh kerendahan hati Sokrates ini bukanlah verbalisme belaka. Seorang yang berfikir filsafati, selain menengadah ke langit, juga membongkar tempat berpijak-nya

  5 secara fundamental. Inilah kharakteristik kedua pemikiran filsafat, yakni bersifat mendasar.

  Dia tidak lagi begitu saja percaya bahwa sesuatu itu benar. Terhadap sebuah claim kebenaran, dia selalu bertanya, mengapa itu dikatakan benar? Apa saja kriteria yang dipakai

  

sampai sesuatu itu diakui sebagai benar? Apakah kriteria itu sendiri benar? Dan apa itu

kebenaran?.... dst “Ah, Horatio,” desis Hamlet, masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang

  6

terjaring dalam filsafatmu.” Dialog drama Shakespeare ini menunjukkan bahwa memang

  secara jujur harus kita akui bahwa tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin akan titik awal mana yang menjadi jangkar pemikiran kita yang mendasar. Dalam hal ini yang ada hanya spekulasi. Inilah kharakteristik pemikiran

  7 filsafat yang ketiga, yakni spekulatif. Kita mungkin mulai berpikir dengan nada curiga, bukankah spekulasi ini suatu dasar

  

yang tidak bisa diandalkan? Dan jawaban atas kecurigaan itu adalah, “memang benar, dan hal

itu tidak dapat dihindarkan.” Menyusuri sebuah lingkaran, kita harus memulainya dengan

  sebuah titik awal, dan itu mengadaikan spekulasi. Yang penting dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun dalam pembuktiannya, harus dapat dibedakan mana spekulasi yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang mengandaikan spekulasi, seperti, apakah yang disebut logis? apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih?

  Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? dst….

  Sekarang, kita menyadari bahwa semua pengetahuan yang ada sekarang ini dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi yang ada, kita dapat memilih buah pemikiran yang dapat diandalkan sebagai titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menerapkan

  

kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin ada pengetahuan yang

  berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan kriteria apa yang disebut baik, tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga, tanpa wawasan dasar tentang indah dan jelek, tidak mungkin berbicara tentang kesenian.

  Filsafat sering dianalogikan dengan sang pembawa/penemu api. Dan dalam konteks yang lain, filsafat itu ibarat pasukan mariner yang merebut pantai untuk mendaratnya pasukan infanteri. Begitulah filsafat…. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah mendapat tempat berpijak, ilmu-lah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan itu menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah ilmu pengetahuan mulai berkembang di wilayah itu, filsafat pun pergi menjelajah kembali, merintis kembali.

  Semua ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, secara historis bermula dari titik awal sebagai filsafat. Sebagai contoh, sebut saja, Issac Newton (1642 – 1727), pada tahun 1686 menulis hukum-hukum fisikanya sebagai

  

Philosophiae Naturalis Priscipia Mathematica. Begitupun Adam Smith (Bapak Ilmu Ekonomi),

  pada tahun 1776 menulis buku The Wealth of Nations dalam fungsinya sebagai Professor of

8 Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Dalam perkembangan kemudian, memang masing- masing ilmu pengetahuan berdiri sendiri dengan metodenya sendiri.

1.2. PENGERTIAN FILSAFAT

  1.2.1. Pengertian Etimologis dan Leksikal

  Secara etimologis, Filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni philosophia, yang berasal dari kata philein (mencintai) dan sophia (hikmat atau kebijaksanaan). Maka philosophia diartikan sebagai cinta akan hikmat atau kebijaksanaan. Lebih lanjut, philosophia dicirikan

  

sebagai upaya mencari pengertian. Dalam bahasa Yunani, diistilahkan sebagai ”beralih dari

mythos menuju logos”. Mythos (atau mite) dapat diartikan sebagai paham yang didasarkan

pada suatu cerita. Biasanya cerita itu berasal dari wilayah iman atau agama atau adat, yang

  9 mengacu kepada peristiwa masa purbakala. Sedangkan Logos diartikan sebagai pengertian.

  10 Filsafat dalam pengertian ini, sering disebut sebagai induk dari ilmu pengetahuan.

  Pengertian Filsafat menurut Runes dalam “Dictionary of Philosophy”, mengatakan bahwa “Originally, the rational explanation of anything, the general principles under which all

  

facts could be explained; in this sense indistinguishable from science,…. Now, popularly, the

science of science, the criticism and systematization of organization of all knowledge, drawn

  11

from empirical science, rational learning, common experience, or wherever”. [Asalnya,

  penjelasan rasional dari sesuatu, prinsip-prinsip umum yang menerangkan segala fakta; dalam pengertian ini tidak dapat dibedakan dengan ilmu pengetahuan, … Sekarang, secara popular diartikan sebagai ilmu daripada ilmu, kritik dan sistematika atau organisasi dari semua ilmu pengetahuan, yang berasal dari ilmu empiris, pelajaran yang rasional, pengalaman biasa, atau dimanapun.]

  Pengertian Filsafat menurut WJS Poerwodarminto, dalam Kamus Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa “filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi

  

mengenai sebab-sebab, asas-asas hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam

  12 alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.”

  1.2.2. Pengertian Filsafat Menurut Para Filsuf

  Untuk kepentingan kuliah Pengantar Filsafat ini, hanya akan dikemukakan pengertian filsafat menurut beberapa filsuf terkenal dalam sejarah filsafat

  1.2.2.1. Plato (427 – 348 SM) Menurut Plato, Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bersifat rohani untuk mencapai

  13 kebenaran yang asli.

  1.2.2.2. Aristoteles (382 – 322 SM) Aristoteles merumuskan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran,

  

yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu merafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik,

  14 estetika.

  1.2.2.3. Descartes (1590 – 1650) Descartes merumuskan Filsafat sebagai kumpulan pengetahuan di mana Tuhan, alam

  15 dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

  1.2.2.4. Immanuel Kant (1724 – 1804) Menurut Immanuel Kant, Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan

  

pangkal segala pengetahuan, yang tercakup dalamnya empat persoalan dasar, yaitu

  16 metafisika, etika, agama dan antropologi.

  1.2.3. Memahami Pengertian Filsafat

  “Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek

selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi

dalam pakaian yang alim. Ia tidak sopan. Ia bagaikan anjing yang menggonggong,

mengganggu dan menggigit. Filsafat [memang] harus demikian karena ia secara hakiki adalah

  17

ilmu kritis. …” Ungkapan diatas menunjukkan bahwa aktivitas filsafat (berfilsafat) selalu

  bersifat mengkritisi segala sesuatu yang ada. Dalam sejarah, banyak (kalau tidak dikatakan semua) filsuf menunjukkan minat dalam bidang politik. Sebut saja, Plato, yang mengembangkan filsafatnya tentang idea-idea, didorong oleh keprihatinannya dengan kondisi politik di Athena, dan berharap idea-idea itu menjadi tolok ukur bagi suatu tatanan politik yang

  18

  “adil” dan “selaras”. Demikian pula Aristoteles dengan Etika Nikomacheia-nya, merupakan

  19 salah satu paradigma fundamental dalam pendekatan politik, di samping Politeia dari Plato.

  Bahkan karya kecil Thomas Aquinas “De Regimine Principum” merupakan sebuah uraian etika politik paling tajam yang pernah ditulis (dan 700 tahun kemudian masih mempengaruhi

  20

  keputusan tentang eksekusi Adolf Hitler di Jerman). Filsafat dan berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia. Dan karena itu, mendorong seorang filsuf untuk bertanya tentang (mempertanyakan) tatanan masyarakat secara keseluruhan. Dan itu masuk ranah politik. Tetapi justru di situlah filsafat biasanya muncul sebagai kritik.

  Filsafat saat ini sering dipahami sebagai metode berpikir yang berupaya menjawabi pertanyaan-pertanyaan mendasar (fundamental) dan hakiki tentang segala sesuatu yang

  21

  ada. Filsafat dengan itu cenderung [dan diharapkan selalu cenderung] mempertanyakan apa saja secara kritis, menyangkut seluruh realitas (kenyataan).

  Ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasi diri dalam dunia. [Berbeda dengan binatang, yang mengandalkan perangkat instingtualnya] manusia membutuhkan orientasi yang sadar untuk mengetahui lingkungannya. Untuk keperluan ini, ilmu pengetahuan membantu mensistematisasi dan mengorganisasi proses orientasi tersebut.

  Namun semua ilmu pengetahuan itu secara hakiki terbatas sifatnya, karena masing- masing membatasi diri pada ruang lingkupnya. Maka ilmu pengetahuan tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia secara keseluruhan. Pertanyaan- pertanyaan seperti, apa arti dan tujuan hidup manusia? Apa yang menjadi kewajiban dan

  

tanggung jawab manusia? Apa arti transendesi yang saya rasakan dalam diri saya? dst...

  Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu penting, karena mempengaruhi orientasi dasar kehidupan manusia. Dan karena itu, pertanyaan-pertanyaan tersebut harus ditangani secara rasional dan bertanggungjawab. Inilah fungsi filsafat dalam kehidupan manusia. Maka Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani dan menjawab pertanyaan-

  22

pertanyaan fundamental secara bertanggungjawab. Tanpa usaha yang rasional dan

bertanggungjawab, pertanyaan-pertanyaan fundamental hanya akan dijawab secara spontan, dan

karena itu selalu ada bahaya bahwa jawaban-jawabannya mengikuti selera subyektif, rasionalisasi dan

kepentingan ideologis tertentu.

  Upaya mencari jawaban yang rasional dan bertanggungjawab tersebut memberikan dua tugas

bagi filsafat, yakni di satu pihak mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai, dan di lain pihak

harus berusaha mencari jawaban yang benar. Yang membedakan jawaban filsafat dari jawaban

spontan adalah bahwa jawaban filsafat harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Pertanggungjawaban secara rasional itu berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala

pertanyaan, sangkalan, dan harus dipertahankan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang

23 obyektif, artinya dapat dimengerti secara intersubyektif.

1.3. METODE (CARA KERJA) FILSAFAT

  24 Pada dasarnya filsafat itu bersifat interogatif. Ia mengajukan persoalan, memper-

  

“pertanyaan itu mengenai sesuatu yang fundamental, atau mengarah kepada inti persoalan

atau akar permasalahan”.

  Namun filsafat tidak terbatas pada mengajukan pertanyaan saja, tetapi berupaya mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dalam upaya mencari jawaban tersebut, filasafat (baca: seorang filsuf) tidak berpretensi dapat menjawabnya secara tuntas dan sendirian. Ia tidak mulai dari Nol. Upaya itu selalu dilakukan secara dialogal. Dialog dengan pandangan, pengetahuan dan pemikiran yang sudah ada, dialog dengan kenyataan, sehingga dapat menghampiri suatu pemecahan yang komprehensif dan fundamental dari

  25 suatu persoalan. Karena itu, metode filsafat yang pertama disebut metode dialektik.

  Sejak zaman klasik, para filsuf memakai metode dialog-dialektik, dengan alat bantu “bertanya”, dalam memperkenalkan dan mengajarkan filsafat. Sokrates (469–399), misalnya, memakai cara kerja bertanya kepada setiap orang yang dijumpainya, yaitu bertanya dengan harapan dan maksud supaya apa yang sebenarnya “diketahui” atau “disadari” orang yang bersangkutan berhasil diungkapkan atau dilahirkan atau disadari kembali. Sokrates menamakan metode filsafatnya sebagai Maieutike Tekhne (keterampilan kebidanan), yakni membantu sesama supaya ia sanggup me-lahir-kan apa yang “terkandung” di dalam pengetahuannya. Menurut pandangan filsafat Sokrates, pengetahuan itu adalah pengetahuan

  26

akan segala kebenaran dan akan segala tuntutan serta patokan kesusilaan. Meskipun

  Sokrates menamakan teknik filsafatnya sebagai “keterampilan kebidanan”, namun pada dasarnya itu adalah dialog antara Sokrates dengan orang yang ditemuinya. Murid Sokrates yang paling terkenal dan menonjol, Plato (427-347), mengikuti jejak Sokrates, gurunya. Melalui dialog atau diskusi dengan muridnya, bersama murid-muridnya Plato menemukan dan mengemukakan persoalan, lalu tahap demi tahap mereka bersama-sama maju menuju

  27

  kepada suatu pemecahan. Pada Aristoteles (384-322), meski agak berbeda dengan Plato, gurunya, dialektik merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan dan penilaian kritis terhadap semua opini yang pernah dikemukakan tentang suatu persoalan. [Pada permulaan setiap karyanya yang besar, Aristoteles selalu mulai dengan pendapat para pendahulunya tentang persoalan yang akan dibahasnya, sebelum dia sendiri mengemukakan pendapat atau pemecahan suatu persoalan]. Hal itu, menurut Aristoteles, dimaksudkan agar kita dapat mempergunakan apa yang sungguh-sungguh benar dari pendapat atau opini yang telah dikemukakan, dan juga agar kesalahan, kekeliruan atau kekurangan yang pernah dibuat para

  28 pendahulu (dalam memberi pendapat tersebut) tidak terulang lagi.

  Para filsuf abad Pertengahan menyempurnakan cara atau metode yang dipakai para filsuf sebelumnya. Pertanyaan, persoalan adalah titik tolak yang niscaya bagi setiap pemaparan. Namun, sebelum memberikan pemecahan sendiri terhadap pertanyaan yang diajukan, dikemukakan terlebih dahulu rangkaian pendapat yang pro maupun pendapat yang

  

kontra yang pernah dikemukakan terhadap pertanyaan atau persoalan tersebut. Pemecahan

  harus mempertimbangkan segala sesuatu yang sah (benar) baik dalam pendapat pro maupun pendapat kontra. Pada Hegel (1770-1831), misalnya, dialektik menjadi cara yang mulai dengan memperlawankan dua ide yang saling bertentangan, lalu kemudian mendamaikannya

  

dalam unsur ketiga yang mengandung kedua ide tersebut, dan itu menjadi sintesis dari

  29 keduanya. (Bdk thesis–antithesis–synthesis dalam filsafat Hegel).

  Bagi filsuf zaman kontemporer, bukan lagi ide atau pemikiran sederhana yang dipertentangkan, tetapi sistem yang menyeluruh. Sebagai contoh, dapat disebut Merleau-

  

Ponty (1880-1961), yang terus-menerus mengkritik pandangan dan sistem filsafat empirisme

  dan idealisme, sambil terus-menerus mengoposisikan keduanya dan memaparkan prasangka- prasangka kedua sistem dan aliran filsafat tersebut, Merleau-Ponty melalui bukunya, “Phenomenologie de la perception”, mengemukakan pandangan baru yang lebih baik dan

  29 komprehensif tentang pengalaman.

  Demikianlah para filsuf besar dalam sejarah, selalu memperhitungkan posisi dan pandangan para pendahulunya, baik untuk mengkritik maupun untuk melebihi mereka. Dan pada zaman ini, filsafat lebih lagi dituntut untuk bercorak dialogal dan dialektik, baik dengan para filsuf pendahulu maupun dengan paradigma ilmu yang lain.

  30 Selain dialektik, metode filsafat juga bersifat refleksif. Filsafat bersifat refleksif karena,

pertama, bahwa filsafat hendaknya penuh perhatian terhadap gejala-gejala, terutama terhadap

  kehidupan (gejala) psikologis. Dan kedua, bahwa filsafat (selain mempertimbangkan gejala- gejala) harus juga menangkap kodrat dan dasar-dasar yang memungkinkan adanya gejala-

  31

  gejala tersebut. Dengan metode ini, filsafat muncul sebagai ilmu kritis. Sebagai ilmu kritis, filsafat berpegang pada nilai rasionalitas dan prinsip universalitas. Dengan pegangan dan prinsip tersebut (rasionalitas), filsafat menuntut pertanggungjawaban terhadap claim-claim dalam bidang kognitif, normatif dan estetik. Dan sekaligus filsafat menyediakan sarana yang memungkinkan perbincangan (baca: diskusi) tentang pertanggungjawaban itu.

  Mulai dengan Edmund Husserl (1859-1938) di Jerman, dan kemudian berkembang di

  32 Perancis, metode filsafat kemudian dikualifikasikan sebagai fenomenologis. Dengan metode

  fenomenologis, pertama, filsafat ingin menjelaskan gejala-gejala seobyektif mungkin menurut bagaimana gejala itu menampilkan diri terhadap kesadaran. Dan kedua, filsafat berupaya seoptimal mungkin menangkap struktur esensial dan stabil dari setiap gejala yang timbul. Semboyan yang sangat terkenal dari Husserl dalam mengembangkan fenomenologi ini adalah

  33 “Zürüch zu den Sachen Selbs” (kembali kepada benda-benda itu sendiri).

  34 Sebuah metode (pendekatan) yang penting dan khas filsafat adalah metode metafisik.

  Metode filsafat itu bersifat metafisik karena apa yang hendak coba dimengerti dan dikemukakan oleh filsafat adalah bagaimana sesuatu itu harus dikonsepsikan sehingga menjadi intelligible; dan (berupaya) menemukan struktur yang membuat suatu realitas bersifat

  35

  sebagaimana dia bersifat, dan bukan (sifat) yang lain. Struktur esensial yang diharapkan dapat ditemukan dan dirumuskan bukanlah struktur-struktur fisik yang dapat ditangkap oleh pancaindera, yang bisa diukur dan dihitung (secara matematis). Sebagai contoh, Manusia dapat dimengerti dan diberi ciri sebagai manusia, tidak cukup hanya dengan memberi keterangan tentang asal-usul dan informasi kelahirannya. Juga tidak cukup hanya dengan memberikan gambaran secara fisik-badaniah atau hanya dengan menjelaskan bagaimana anggota tubuhnya berfungsi. Manusia harus dimengerti sebagai mahluk yang dapat berbicara, berpikir, menentukan sikap, mencintai, menguasai alam, mengabdikan dirinya pada suatu cita- cita, merasakan kecemasan dan putus asa, dan jga bertendensi kepada sesuatu Yang Mutlak (Bdk. Anthropogy Philosophis – Filsafat Manusia).

  Selain metode-metode yang telah dikemukakan di atas, filsafat juga menggunakan

  36

  metode induktif, abstraktif dan eidetik. Induktif sebab filsafat membuat kesimpulan dari struktur yang esensial dari satu atau beberapa gejala yang muncul. Abstraktif sebab filsafat berupaya memahami dan membedakan apa yang esensial dan tidak esensial dari gejala yang muncul. Eidetik karena apa yang menjadi hasil kesimpulan filsafat merupakan kodrat atau bentuk esensial (Yunani: eidos) dari gejala yang muncul.

  Karena Filsafat senantiasa mencoba untuk dapat mengeri sesuatu yang fundamental dalam suatu realitas (pada taraf fundamental itu segala hal bersatu-padu kembali), maka

  37

  filsafat itu cenderung berbentuk sintesa, bahkan sistem. Sejauh hal yang diklaim sebagai fundamental itu menerangi hal-hal yang lain, maka pada tingkat itu, filsafat dapat menjadi

  38

kebijaksanaan. Namun, harus pula dipahami bahwa suatu refleksi filosofis tidak dapat

  mencapai suatu sintesa yang dapat menjadi prinsip kebijaksanaan jika tidak diperlengkapi dengan bidang refleksi yang lain. Sebagai contoh, refleksi filsafat tentang manusia (filsafat manusia) tidak dapat mencapai kebijaksanaan, jika tidak diperlengkapi dengan kosmologi (filsafat tentang dunia dan alam semesta), epistemologi (filsafat tentang pengertian/ pengetahuan), filsafat sosial, etika (filsafat moral), Filsafat Ketuhanan (dan Filsafat Agama). Selain itu, refleksi filsafat pun harus pula diperlengkapi dan senantiasa terbuka terhadap kritik, perkembangan, dan pendalaman yang baru melalui perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, gagasan-gagasan tentang kehidupan, pengetahuan,

  

kebebasan dll, yang telah kita terima sejak Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas dan para filsuf

  besar lainnya, meskipun tetap berlaku sah, namun pandangan itu memiliki makna yang jauh lebih berbobot bagi manusia zaman sekarang ini, daripada bagi manusia yang hidup di zaman filsuf itu hidup, berkat adanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Bahkan harus juga dengan sikap yang terbuka untuk menerima bahwa melalui metode dialektik (yang sudah dibicarakan sebelumnya), satu atau beberapa pandangan filsafat klasik dapat masuk ke dalam suatu sintesa yang baru, yang lebih luas, tanpa meniadakan kebenaran dan makna-nya yang khas. Hal itu mengandaikan bahwa pandangan tentang yang mutlak dan yang relatif perlu mendapat pemahaman baru (baca: perluasan pemahaman). Keduanya bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Keduanya sama-sama dibutuhkan bagi kemajuan pemikiran dan aktivitas manusia.

  Lalu mana metode yang sebenarnya dipakai oleh filsafat ? Apakah dua atau lebih metode dapat dipakai sekaligus? Umumnya filsafat menggunakan metode induktif, tetapi itu misalnya, dalam bagian pertama dari tulisannya tentang jiwa, menunjukkan bagaimana menggunakan secara alternatif berbagai metode filsafat yang ada, dan memulainya dengan metode induktif. Setelah menemukan, menganalisis kegiatan-kegiatan manusia (induksi), dan menemukan apa yang esensial dari kodrat manusia, maka menjadi mungkin untuk menyimpulkan dari kodrat esensial itu (deduksi) beberapa ciri khas yang ditimbulkan. Misalnya, setelah menemukan kegiatan intelektual manusia, disimpulkan ciri spiritual jiwa manusia (induksi). Kemudian dari ciri spiritual jiwa manusia dapat disimpulkan (secara deduktif) ciri kekekalan jiwa sebagai konsekuensi. Dengan demikian, dalam melakukan telaah- nya terhadap realitas, filsafat dapat menggunakan salah satu atau beberapa metode sekaligus, untuk dapat menarik kesimpulan yang menyeluruh, fundamental dan radikal.

1.4. BIDANG TELAAH DAN CABANG – CABANG FILSAFAT

  Apa yang menjadi bidang telaah filsafat, sebenarnya sudah banyak disinggung dalam topik-topik terdahulu. Namun dalam topik ini perlu sedikit penegasan tentang apa yang menjadi bidang telaah filsafat, sebelum mengemukakan subyek-subyek yang menjadi cabang- cabang filsafat.

1.4.1. Bidang Telaah Filsafat

  Sesuai dengan dasarnya yang spekulatif, maka filsafat menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Filsafat (menurut fungsinya sebagai pionir) mempermasalahkan hal-hal yang pokok, hal-hal yang mendasar. Dalam menjalankan fungsinya untuk mempertanyakan segala sesuat yang ada, mempertanyakan hal-hal yang fundamental, filsafat berfungsi sebagai ilmu kritis.

  Fungsi kritis ini dilakukan filsafat dalam menelaah (mengkritisi) ilmu pengetahuan. Terhadap ilmu pengetahuan, filsafat memeriksa asumsi dasarnya, metodenya, kesimpulan

  

  yang diambil oleh ilmu tersebut, dll. Filsafat juga merupakan pencarian jawaban terhadap sejumlah pertanyaan mendasar yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yang sekaligus

  

  mengaktualkannya ke masa kini Filsafat itu pada tahap mula sekali bertanya tentang siapa

  

itu manusia (pertanyaan yang sudah dimulai sejak zaman para filsuf YunaniPada tahap ini,

  filsafat juga menelaah asumsi ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia yang menjadi obyek penyelidikan ilmu tersebut. Lalu pada tahap berikutnya, filsafat menelaah tentang ada: tentang

  

hidup dan eksistensi manusiaPertanyaan dasar di sini adalah soal asal dan tujuan hidup,

  hakekat hidup, dll. Dan pada tahap ketiga, tugas filsafat adalah menyatakan pertanyaan

  Pada tahap ini, bahasa dan epistemologi menjadi gumulan utama filsafat.

  Namun dewasa ini semakin disadari bahwa fungsi atau peran filsafat sebagai ilmu kritis, dan pertama-tama mengkritisi dirinya sendiri. Dan, sifat kritis terhadap dirinya sendiri ini

  

  merupakan hakikat filsafatMagnis Suseno menjelaskan, “ Filsafat memang mencari jawaban, tetapi jawaban-jawaban itu tidak pernah abadi. Karena itu filsafat tak

  pernah selesai, dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat tidak pernah dapat selesai, justru karena bersifat filsafat. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia. Dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, namun di lain pihak berkembang dan berubah, maka masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia.

  Maka, bagi filsafat, secara prinsip pemilihan metode menjadi kurang penting, asal metode yang dipilih dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka terhadap kritik. Pemutlakan terhadap satu metode akan merupakan kematian filsafat sebagai ilmu kritis, karena akan mentabukan

   pertanyaan-pertanyaan yang tidak lewat sensor metode itu.

  Begitu pula, dari segi fungsi dan perannya, apakah filsafat itu perlu dilihat sebagai

  

metascience (ilmu pengetahuan sekunder), sebagaimana menjadi metode filsafat

  Anglosaksonian pada 60 tahun pertama abad ini, atau menjadi semacam ajaran

  

kebijaksanaan seperti yang sudah menjadi tradisi di Eropa continental sejak zaman Yunani

  

  kuno Sejak zaman dahulu, filsafat itu tetap menantang dan ditantang, menuntut

  

pertanggungjawaban dan dituntut untuk mempertanggungjawabkan dirinya sendiri,

mengusahakan pendalaman suatu permasalahan, menggali dasa-dasar masalah yang

  Maka filsafat itu adalah seni kritik. Bukan seolah-olah ia membatasi diri pada destruksi, atau seakan takun untuk membawa pandangan positifnya sendiri, melainkan kritis dalam arti

  

bahwa filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah

selesai, tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang, untuk

membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa

setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran thesis-anti-thesis dan

antithesisnya antithesis (bdk. bangunan gedung teoretis filsafat Hegel yang begitu

  

   sebagai usaha rasio

  manusia dan karena itu sikap-sikap semireligius tidak pada tempatnya di dalamnya, dan dalam menyelami, mengkaji masalah-masalah paling fundamental sekalipun, filsafat masih suka

   1 bertengkat, bercorak nakal, duniawi dan sering sini. 2 Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, Ar-Ruz Media, Yogyakarta, 2007, p. 48 3 Suhar AM, Filsafat Umum, Gaung Persada Press, Jakarta 2009, p. 16 4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995, p. 27 5 Ibid. p. 28 6 Ibid. dengan mengutip pendapat Wittgenstein. 7 Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, 1992, p. 20 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. p. 21 13 Ibid. *)membedakan filsafat dari ajaran kebijaksanaan seorang “guru”. Selain berperan self-critique, fungsi kritis filsafat yang sentraldan berpengaruh akhir-

  

  akhir ini adalah filsafat sebagai kritik ideologi. Muatan ideologi yang menantang filsafat

  

  adalah kemutlakan yang melekat pada tuntutannyaIdeologi menuntut sesuatu yang tidak boleh dipertanyakan, sementara dipihak lain, filsafat secara hakiki menuntut pertanggungjawaban. Dan obyek pertama kritik ideologi ini adalah filsafat sendiri, karena filsafat sendiri selalu berpotensi untuk dipergunakan secara ideologis. Maka perlu ditelanjangi

  

  semua strategi imunisasi yang hendak meluputkan filsafat dari pemeriksaan kritis. Pada umumnya, kecenderungan dari filsafat abad ini adalah mengelak dari pertanyaan tentang

  

kebenaran, yang merupakan usaha imunisasi yang buruDari seorang filsuf harus dituntut

  bahwa pandangannya dikemukakan, dan seperlunya dipertanggungjawabkannya, sebagai

  

benar – yang dengan sendirinya memuat claim bahwa semua posisi yang secara logis

  

bertentangan dengan pandangan itu salahMenghilangkan claim kebenaran berarti

  menyerahkan pemikian filosofis pada Beliebigkeit, menjadi lamunan yang seenaknya dikemukakan dan tidak perlu dibela dengan argumentasi, hal mana merupakan kesempatan bagi manipulasi ideologis.

  Demikian pun dengan satu bidang kehidupan yang banyak telaah filsafat zaman ini adalah filsafat politik. Masalah utama filsafat politik adalah masalah legitimasi, legitimasi dalam

  

arti eti Filsafat mengajukan tuntutan legitimasi terhadap dua lembaga dimensi politis:

  pertama adalah hukum, sebagai lembaga normatif penataan masyarakat dan kedua adalah

  

kekuasaan politik atau Negara sebagai lembaga penataan masyarakat efektif. Terhadap

  hukum, filsafat mengajukan tuntutan bahwa hukum harus adil. Dan terhadap kekuasaan politik atau Negara, filsafat mengajukan tuntutan baik legitimasi materialnya (untuk apa kekuasaan boleh dipakai?) maupun legitimasi subyek kekuasaan (pihak mana, berdasarkan apa, boleh

  

  memegang kekuasaan?Maka, filsafat politik pada hakekatnya menuntut agar segala claim

  

atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan. Claim-claim legitimasi segala

  macam kekuatan, baik yang langsung maupun yang tersembunyi, dipaksa untuk mempertanggungjawabkan diri. Filsafat politik mendestruksikan afirmativitas yang tidak

  

dipertanyakan, mendongkel claim-claim kekuasaan yang naïf, sampai mereka membuktikan

diri, dan dengan demikian terbuka terhadap kritik, atau memang ditelanjangi sebagai layar

  Jadi, “Filsafat politik berarti adanya suatu kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang tidak

  

membiarkan segala macam claim wewenang dan kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Tantangan itu

memaksa kekuatan-kekuatan itu untuk membenarkan diri, untuk membatasi diri pada bidang wewenangnya yang

sebenarnya, untuk menunjukkan fungsinya demi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Filasaf politik

meningkatkan tekanan agar kekuasaan-kekuasaan politik mencari legitimasi dan mempersulit merajalelanya

1.4.2. Cabang-Cabang Filsafat

   1. Dialektika : cabang filsafat yang mengandung persoalan ide-ide atau pengertian umum.

  2. Fisika: cabang filsafat yang mengandung persoalan dunia materi.

  3. Etika: cabang filsafat yang mengandung persoalan baik dan buruk

24 Lalu, Aristoteles mengemukakan sistematika filsafat dalam empat cabang:

  1. Logika, (men. Aristoteles) ilmu pendahuluan filsafat

  14

  Ideologi di sini sebagai suatu teori menyeluruh tentang makna hidup dan/atau nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup dan/atau bertindak. Ciri khas sebuah ideologi adalah selalu terkandung tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. (Lihat F.Magnis 15 Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, p. 21) 16 Ibid.

  

Ibid. (bdk. pendapat Positivisme Logis yang mengatakan bahwa masalah makna bukanlah masalah rasional;

atau bangunan teori filsafat Hegel, yang mencaplok semua pemikiran alternatif sebagai jalan atau moment yang

mendukung kebenaran posisinya sendiri. Demikian juga strategi imunisasi yang paling buruk dlam Marxisme, yaitu dengan berusaha mengelak dari pertanyaan tentang kebenaran suatu posisi dengan mempersoalkan 17 keanggotaan kelas pihak pengajunya). 18 Ibid. 19 20 Ibid. 21 Ibid. p. 24 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Sri Wahyuningsi, SH, dkk, Pancasila, Brawijaya, Malang, 1983, p. 189

  2. Filsafat Teoretis: mencakup

  a. Ilmu Fisika, yang mempersoalkan dunia materi dan alam nyata b. Ilmu Matematika, yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya.

  c. Ilmu Metafisika, yang mempersoalkan hakekat segala sesuatu (bagian utama filsf.)

  3. Filsafat Praktis: mencakup a. Ilmu Etika, yang mengaturu kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup seseorang.

  b. Ilmu Ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran keluarga.

  c. Ilmu Politik, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran Negara.

  4. Filsafat Poetika (Kesenian).

  Jujun Suryasumantri, mengatakan bahwa pada awalnya, terdapat 3 cabang utama filsafat, yakni logika (apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk), dan estetika (mana yang termasuk indah dan mana yang jelek). Kemudian berkembang lagi dua cabang yang lain, yakni metafisika (ilmu tentang ada, tentang hakekat dari yang ada), dan politik (mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal). Kelima cabang utama itu berkembang lagi berdasarkan kajiannya

  

  yang spesifik. Maka cabang filsafat itu mencakup:

  1. Logika

  7. Filsafat Agama

  2. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)

  8. Filsafat Ilmu

  3. Etika (Filsafat Moral)

  9. Filsafat Pendidikan

  4. Estetika (Filsafat Seni)

  10. Filsafat Hukum

  5. Metafisika (Filsafat tentang yang ada)

  11. Filsafat Sejarah

  6. Politik (Filsafat Pemerintahan)

  12. Filsafat Matematika Sastraprateja, membuat klasifikasi filsafat secara tradisional sebagai berikut:

  1. Filsafat Tentang Pengetahuan: termasuk di dalamnya: epistemologi, logika, kritik ilmu

  2. Filsafat tentang keseluruhan kenyataan: metafisika

  3. Filsafat tentang manusia: filsafat manusia / antropologi filosofis

  4. Filsafat tentang Tuhan: filsafat Ketuhanan

  5. Filsafat tentang alam: Kosmologi

  6. Filsafat tentang tindakan manusia: Etika

  7. Filsafat tentang keindahan: Estetika Untuk kepentingan perkuliahan ini, dua pembagian cabang filsafat terakhir akan dipadukan dan saling melengkapi satu sama lain.

1.5. MANFAAT BELAJAR FILSAFAT

  Manfaat belajar Filsafat sebenarnya sudah secara sporadis dikemukakan dalam sub-topik – sub- topik sebelumnya. Namun dalam bagian ini, secara khusus dikumpulkan kembali fakta tersebar itu, dengan harapan memudahkan kita menemukan manfaat belajar filsafat.

  Untuk memahami manfaat belajar filsafat, kita perlu secara ringkas melihat kembali peranan dari filsafat. Sekurang-kurangnya ada tiga peranan utama dari Filsafat, yakni: sebagai pendobrak, pembebas

  

  25 26 Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit. p. 32

  

Filsafat Sebagai Pendobrak. Kehadiran Filsafat telah mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok

  

  Kendati pendobrakan itu membutuhkan waktu yang lama, namun fakta secara mem-buktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang signifikan.

  

Filsafat Sebagai Pembebas. Filsafat tidak hanya mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan, tetapi

  juga membebaskan manusia dari ketidak-tahuan dan kebodohannya. Demikian juga, Filsafat membebaskan pikiran manusia dari cara berpikir mistis dan mistis itu sendiri. Filsafat sesungguhnya telah, sedang dan akan selalu berupaya membebaskan manusia dari kekurangan dan kemiskinan pengetahuan, yang menyebabkan manusia berpikir picik dan dangkal. Filsafat membebaskan manusia

  

  dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jerniFilsafat membebaskan munusia dari cara berpikir tidak kritis, yang membuatnya mudah terjerumus dalam kebenaran-kebenaran semu yang menyesatkan. Singkatnya, Filsafat membebaskan manusia dari segala bentuk “penjara” yang hendak mempersempit dan menghalangi ruang gerak akal budi manusia.

  

Filsafat Sebagai Pembimbing. Dalam menjalannya perannya sebagai pendobrak dan pembebas, filsafat

  sesungguhnya hanya mampu berperan sebagai pembimbing. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir mistis, dengan membimbingnya untuk berpikir rasional. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal, dengan membimbingnya untuk berpikir secara luas dan mendalam,

  

  yakni berpikir secara universal dan berupaya untuk menemukan esensi suatu permasalahan. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir tidak teratur dan tidak jernih, dengan membimbingnya untuk berpikir secara sistematis dan logis. Dan, Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak utuh dan fragmentaris, dengan membimbingnya untuk berpikir secara integral dan koheren.

  Setelah sepintas melihat peranan Filsafat di atas, maka kita pun dapat melihat dan menemukan manfaat atau kegunaan dari filsafat.

  Seperti

  sudah diuraikan sebelumnya, para pemikir dan ilmuwan jaman dahulu dikenal sebagai filsuf, dan ilmu pengetahuan pada awalnya adalah ilmu filsafat (Bdk. Sub Topik 1.1. Pengantar). Di samping itu, filsafat merupakan ilmu yang tak terbatas, karena tidak hanya menyelidiki suatu diang tertentu dari realitas,

  

  tetapi tentang seluruh kenyataan yang adaIlmu pengetahuan (terutama yang diketengahkan oleh positivisme) tidak dapat menguji landasan ilmu itu sendiri. Ketaktertabatasan filsafat ini sangat berguna bagi ilmu pengetahuan, baik sebagai penghubung antar disiplin ilmu, maupun dan terutama karena filsafat dapat memeriksa, mengevaluasi, mengoreksi dan lebih menyempurnakan prinsip-prinsip dan

  azas-azas yang melandasi ilmu pengetahuan.

  

  Dan karena itu, filsafat menuntun manusia kepada tindakan konkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas itu.

  1.6. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN

  1.7. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN AGAMA

  1.8. FILSAFAT DAN TUGAS PEWARTAAN