PANDUAN RESUSITASI edit . pdf

PANDUAN
RESUSI
SITASI JANTUNG
G DAN
D
PARU

RS PKU MUHAMMADIYAH
DIYAH
YOGY
GYAKARTA UNIT II
Jl. Wates
s KMYogyakarta
5,5 Gamping,
rta—55294
RS PKU Muhammadiy
diyah
unit IISleman, Yogyakarta
Telp. 0274
74 6499706, Fax. 0274 6499727


i

RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
Jl.Wates Km 5,5 Gamping, Sleman, Yogyakarta – 55294
Telp. (0274) 6499706, IGD (0274) 6499118
Fax. (0274) 6499727,e-mail:pkujogja2@yahoo.co.id

KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
Nomor : 0425/PS.1.2/IV/2015
Tentang
PANDUAN RESUSITASI JANTUNG DAN PARU
DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
Menimbang

:

a. Bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas dan
keamanan pelayanan pasien, maka diperlukan adanya
Panduan Resusitasi Jantung dan Paru di Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
b. Bahwa sesuai butir a diatas perlu menetapkan Keputusan
Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit II tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

Mengingat

:

1. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
2. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
3. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran
4. Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor

1165.A/MenKes/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi
Rumah Sakit.
5. Surat Keputusan Badan Pelaksana Harian Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta nomer 015/B-II/BPHII/XII/2013 tanggal 12 Desember 2013 M, tentang
Susunan Direksi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

i

MEMUTUSKAN
Menetapkan

:

PERTAMA

KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT PKU

MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
UNIT
II
TENTANG PANDUAN RESUSITASI JANTUNG DAN
PARU
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA UNIT II.

KEDUA

:

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru dimaksudkan
sebagaimana tercantum dalam Panduan di Keputusan ini.

KETIGA

:


Pelaksanaan Panduan Resusitasi Jantung dan Paru
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
pelayanan pasien sebagaimana dimaksud dalam Diktum
kesatu

KEEMPAT

:

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Sleman
Pada Tanggal : 4 April 2015
Direktur,

dr. H. Ahmad Faesol, Sp. Rad. M. Kes.
NBM: 797.692

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

ii


KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahuwata’ala, Tuhan semesta alam
yang telah memberikan Ridlo dan Petunjuk – Nya, sehingga Panduan Resusitasi
Jantung Dan Paru ini dapat selesaikan dan dapat diterbitkan.
Panduan ini dibuat untuk menjadi panduan kerja bagi semua staf dalam
melakukan Resusitasi Jantung dan Paru

di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta unit II. Dalam panduan ini antara lain berisi tentang tatalaksana
Resusitasi Jantung dan Paru
Untuk peningkatan mutu pelayanan diperlukan pengembangan kebijakan,
pedoman, panduan dan prosedur. Untuk tujuan tersebut panduan ini akan kami
evaluasi setidaknya setiap 2 tahun sekali. Masukan, kritik dan saran yang konstruktif
untuk pengembangan panduan ini sangat kami harapkan dari para pembaca.

Sleman, 1 April 2015


Direktur

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

i

DAFTAR
DAFTARISI
ISI
Hal:
Halaman:
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR
SK
DIREKTUR
KATA
PENGANTAR
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
A. DEFINISI

DAFTAR
ISI
B. TUJUAN
BAB I : DEFINISI
C. RUANG LINGKUP
BAB
: RUANG
LINGKUP
D. II
TATA
LAKSANA

ii
i
iii
1ii
1
1
1
3


BAB III : TATA LAKSANA
A. Bantuan Hidup Dasar Dewas

4

B. Terapi Elektrik

10

C. Bantuan Hidup Lanjut Pada Dewasa

13

D. Perawatan Pasca Henti Jantung

14

E. Etika Menunda Dan Menghentikan Resusitasi Jantung


18

Paru
KEPUSTAKAAN

22

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

ii

LAMPIRAN
Keputusan Direktur Nomor : 0416/PS.1.2/IV/2015
Tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

BAB I
DEFINISI

Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di
Negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.Berdasar proporsi

angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45 – 54 tahun, penyakit jantung
iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab kematian.Urutan pertama
adalah stroke (15.9%) dan urutan kedua adalah diabetes melitus (14.7%). Pada
kelompok umur yang sama untuk daerah pedesaan, penyakit jantung iskemik
merupakan urutan keempat.
Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk meningkatkan
daya tahan hidup setelah terjadinya henti jantung.Meskipun pencapaian optimal dari
RJP ini dapat bervariasi, tergantung kepada kemampuan penolong, kondisi korban,
dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar tetap pada bagaimana melakukan
RJP sedini mungkin dan efektif.
Bantuan hidup dasar menekankan pada pentingnya mempertahankan sirkulasi
dengan segera melakukan kompresi sebelum membuka jalan napas dan memberikan
napas bantuan.Perubahan pada siklus bantuan hidup dasar menjadi C-A-B
(compression – airway – breathing) ini dengan pertimbangan segera mengembalikan
sirkulasi jantung sehingga perfusi jaringan dapat terjaga.
Rantai pertama pada rantai kelangsungan hidup (the chain of survival) adalah
mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai
kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary
resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early defibrillation), rantai
keempat adalah tindakan bantuan hidup lanjut segera (early advanced cardiovascular

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

1

life support) dan ranta
antai kelima adalah perawatan pasca henti jantu
jantung (post cardiacarrest care)

Berbagai pene
enelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindroma
koroner akut (SKA)) ddapat terjadi iraa fibrilasi ventrikel (ventricula
icular fibrillation/VF),
suatu irama yangg menyebabkan henti jantung mendadak
ak (sudden cardiac
death/SCD). Kebany
anyakan pasien mengalami takikardi ven
entrikel (ventricular
tachycardia/ VT) sebelum
seb
akhirnya berubah menjadi VF, dan
an pada saat pasien
akhirnya direkam irama
iram jantungnya, irama jantung sudah mengala
alami perburukan lagi
menjadi asistol. Tera
rapi optimal untuk mengatasi VF adalah resu
esusitasi jantung paru
(RJP) dan defibrilasi
si elektrik.
e

RS PKU Muhammadiy
diyah Yogyakarta unit II

2

BAB II
RUANG LINGKUP

Pada panduan resusitasi ini akan ditekankan pada pemberian bantuan hidup
dasar yang harus dikuasai oleh setiap dokter, dokter gigi, dokter spesialis maupun
first responder di lapangan. Bantuan hidup dasar diutamakan pada penanganan
airway, breathing, circulation berdasarkan panduan terbaru dari American Heart
Association 2010 mengenai Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Beberapa hal
yang ditekankan pada panduan resusitasi ini yaitu :
1.

Kecepatan kompresi minimal 100 kali/ menit (perubahan dari panduan
sebelumnya yang menyatakan “kurang lebih” 100 kali/ menit).

2.

Kedalaman kompresi paling tidak 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan kedalaman
kompresi paling tidak sepertiga diameter antero posterior dari thorax pada
bayi dan anak (kurang lebih 1.5 inchi (4 cm) pada bayi dan 2 inchi (5 cm)
pada anak). Perhatikan bahwa rentang 1.5 sampai 2 inchi tidak lagi digunakan
untuk korban dewasa, dan kedalaman absolut yang direkomendasikan untuk
anak dan bayi lebih dalam daripada versi AHA sebelumnya.

3.

Menciptakan pengembangan dinding dada yang optimal di setiap akhir
kompresi.

4.

Meminimalkan kompresi saat melakukan kompresi dada.

5.

Menghindari ventilasi yang berlebihan.

Detail dari tiap-tiap siklus C – A – B akan dijelaskan pada bab berikutnya.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

3

BAB III
TATA LAKSANA

A.

Bantuan Hidup Dasar Dewasa
Bila menemukan penderita dalam keadaan henti jantung, harus segera
memberikan pertolongan pertama berupa Bantuan Hidup Dasar (BHD).BHD
dapat dilakukan oleh satu atau dua penolong.

Gambar 1. Alur bantuan hidup dasar yang disederhanakan

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

4

Tahapan yang harus dilakukan dalam BHD adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pertolongan
a. Penolong yang mengetahui pertama kali harus segera melakukan
penilaian dini kesadaran korban.
b. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
c. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk
bahu.
d. Meminta bantuan pertolongan atau mengaktifkan sistem pengananan
kegawat daruratan terpadu.

Gambar 2. Cek respon penderita

2. Tahap Resusitasi Jantung Paru
a. Lakukan pengecekan nadi karotis untuk memastikan apakah penderita
mengalami henti jantung atau tidak (nadi karotis normal : 60 – 100
kali/ menit).

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

5

Gambar 3. Cek nadi karotis penderita

b. Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, dengan ketentuan sebagai
berikut :
1)
2)

Kompresi dada minimal 100 kali/ menit.
Kedalaman kompresi dada minimal 2 inchi (5 cm) pada dewasa,
1.5 – 2 inci (4 – 5.cm) pada bayi dan anak.

3)

Upayakan pengembangan dada secara sempurna (complete chest
recoil) di setiap kompresi.

4)

Minimalkan interupsi selama melakukan kompresi dada.

Gambar 4. Kompresi yang berkualitas tinggi pada anak

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

6

c. Lakukan pemeriksaan jalan napas untuk mengevaluasi apakah ada
sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas dapat digolongkan
sebagai sumbatan jalan napas total dan sumbatan jalan napas parsial.
Sumbatan jalan napas parsial memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara di perifer masih baik.
2) Masih ada suara napas.
3) Ditemukan suara napas tambahan saat inspirasi (gurgling atau
snoring).
4) Ada upaya batuk dari pasien untuk mengeluarkan sumbatan.
5) Pasien masih mampu berbicara meskipun terbata-bata atau satu
dua patah kata.
6) Akral hangat.
Sedangkan sumbatan jalan napas total memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara buruk atau tidak ada.
2) Batuk yang lemah, tidak efektif, atau tidak ada.
3) Suara napas tambahan saat inspirasi atau tidak ada suara napas.
4) Kesulitan bernapas.
5) Sianosis.
6) Tidak mampu bicara.
7) Memegangi leher.
8) Akral dingin.

d. Bila ditemukan adanya sumbatan, lakukan pembebasan jalan napas
dengan cara sebagai berikut :
1) Tekan dahi angkat dagu (head tilt – chin lift) bila tidak ada trauma.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

7

Gambar 5. Teknik melakukan head – tilt chin – lift

2) Mendorong rahang bawah (jaw trust) bila ada trauma.

Gambar 6. Teknik melakukan jaw thrust

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

8

3) Berikan napas bantuan sebanyak 2 kali, setiap napas bantuan selama 1
detik.
Cara memberikan napas bantuan dapat menggunakan teknik dari
mulut ke mulut atau menggunakan alat (masker atau bagging).

Gambar 7. Teknik memberikan napas bantuan dengan masker

4) Setelah memberikan napas bantuan 2 kali, dilanjutkan kompresi dada
sebanyak 30 kali. Berikan napas bantuan 2 kali, lanjutkan kompresi
dada lagi. Lakukan siklus ini sampai 5 kali. Setelah 5 kali siklus RJP
dilakukan pengecekan kembali apakah nadi teraba. Apabila nadi tetap
tidak ada, RJP tetap dilakukan sampai tim bantuan emergensi datang
atau tersedia alat defibrilasi dan siap digunakan.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

9

Secara ringkas bantuan hidup dasar adalah sebagai berikut :

Algoritma 1. Langkah – langkah bantuan hidup dasar

B. Terapi Elektrik
Defibrilasi
Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui dinding dada
menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel-sel miokard dan menghilangkan
VF. Pengaturan energi untuk defibrilator diatur untuk menyediakan energi dengan
tingkat terendah namun masih efektif dalam menghilangkan VF. Karena
defibrilasi merupakan suatu proses elektrofisiologis yang terjadi dalam 300 – 500
milidetik setelah penghantaran energi, istilah “defibrilasi” (keberhasilan shock)
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

10

didefinisikan sebagai hilangnya VF selama kurang lebih 5 detik setelah dilakukan
kejutan listrik.
Kardioversi tersinkronisasi
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan dengan
kompleks QRS (sinkron).Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk kejut
sinkronisasi lebih rendah dari yang digunakan untuk kejut yang tidak
tersinkronisasi
diindikasikan

(defibrilasi).Hantaran
untuk

mengobati

kejut

takiaritmia

tersinkronisasi
yang

tidak

(kardioversi)
stabil

yang

berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS dan irama nadi. Pasien
yang tidak stabil memperlihatkan tanda-tanda perfusi yang jelek termasuk
status mental yang berubah, nyeri dada berlanjut, hipotensi, atau tanda lain
syok dan edema paru.
Kardioversi tersinkronisasi direkomendasikan untuk mengobati SVT yang
tidak stabil akibat reentry, atrial fibrilasi, dan atrial flutter.Hantaran kejut
dapat menghentikan irama ini karena memutuskan pola reentri.Kardioversi
juga direkomendasikan untuk mengobati VT monomorfik yang tidak stabil.
Kardioversi tidak akan efektif untuk pengobatan junctional tachycardia atau
ektopik atau multifocal atrial tachycardia karena irama ini memiliki fokus
yang otomatis.
Dosis energi awal dengan alat bifasik yang direkomendasikan untuk atrial
flutter dan supraventrikular takikardia yaitu 50 – 100 J. Jika dengan dosis 50 J
awal gagal, penolong dapat meningkatkan dosis secara bertahap. Pada anakanak dapat diberikan energi awal 0,5 – 1 J/kg untuk supra ventrikular
takikardia, dengan dosis maksimal 2 J/kg.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

11

Algoritma 1. Penanganan ventricular fibrillation dan pulseless ventricular
tachycardia

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

12

C. Bantuan Hidup Lanjutan Pada Dewasa
Dalam melakukan bantuan hidup jantung lanjut tetap ditekankan pada pentingnya
RJP yang berkualitas tinggi sebagai manajemen dasar dari henti jantung.
Penghentian RJP secara periodik harus diminimalisir dan hanya dilakukan untuk
menilai ritme jantung, melakukan kejut jantung, menilai pulsasi nadi karotis bila
terdeteksi irama jantung ritmis, atau lakukan manajemen advanced airway.
Melakukan monitor dan optimalisasi kualitas RJP menggunakan parameter
mekanis (kecepatan dan kedalaman kompresi dada, pengembangan kembali
dinding dada secara adekuat, dan meminimalkan intervensi selama kompresi),
atau bila memungkinkan, parameter fisiologis (partial pressure of end-tidal CO2
[PETCO2], tekanan arteri selama fase relaksasi dinding dada saat melakukan
kompresi, atau saturasi oksigen vena sentral/ central venous oxygen saturation
[Scvo2]). Apabila tidak terdapat sarana manajemen jalan napas tingkat lanjut,
kompresi – ventilasi tersinkronisasi dengan rasio 30:2 lebih direkomendasikan
dengan kecepatan kompresi setidaknya 100 kali per menit. Setelah penggunaan
alat bantu napas tingkat lanjut salah satunya berupa endotracheal tube (ETT),
kompresi harus dilanjutkan dengan kecepatan setidaknya 100 kali kompresi per
menit tanpa harus ada jeda untuk memberikan ventilasi atau oksigenasi. Ventilasi
diberikan setiap 6 atau 8 detik sekali (8 – 10 ventilasi per menit) dan harus
menghindari pemberian hiperventilasi.
Ritme yang secara spesifik meningkatkan angka kelangsungan hidup setelah
dilakukan defibrilasi adalah ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi tanpa
pulsasi nadi. Sehingga diharapkan tenaga medis dapat melakukan intervensi
secara tepat pada pasien dengan irama jantung tersebut. Pemasangan akses
intravena, pemberian obat, dan manajemen jalan napas tingkat lanjut, diupayakan
tidak mengganggu kompresi dada atau menunda pemberian defibrilasi.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

13

Algoritma 2. Bantu hidup jantung lanjut

D. Perawatan Pasca Henti Jantung
Perawatan pasca henti jantung merupakan suatu komponen penting pada bantuan
hidup lanjut. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam pertama setelah onset
henti jantung. Suatu keadaan henti jantung akan berdampak terhadap berbagai
sistem organ. Disfungsi organ dan komplikasi pasca resusitasi memerlukan
berbagai tindakan yang terpadu. Tujuan awal dari perawatan pasca henti jantung
adalah :
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

14

1.

Mengoptimalkan fungsi jantung dan paru serta perfusi organ vital.
2. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, pasien hendaknya dirujuk ke
rumah sakit yang sesuai yang memiliki sistem perawatan pasca henti
jantung yang komprehensif, meliputi intervensi koroner akut, perawatan
neurologik, goal – directed critical care, dan hipotermia.
3. Pada kasus henti jantung yang terjadi di rumah sakit, pindahkan pasien
unit perawatan intensif yang sesuai yang mampu memberikan perawatan
pasca henti jantung yang komprehensif.
4. Mencoba mencari dan mengatasi penyebab yang mencetuskan henti
jantung dan mencegah berulangnya henti jantung.

Tujuan selanjutnya dari perawatan pasca henti jantung :
a. Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup
dan pemulihan neurologis.
b. Mencari dan melakukan tata laksana sindroma koroner akut.
c. Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan trauma pada
paru.
d. Mengurangi resiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan.
e. Secara obyektif menilai prognosis untuk pemulihan.
f. Bila korban selamat, bantu dengan rehabilitasi ketika dibutuhkan.

Berbagai sistem organ yang harus diperhatikan pada kembalinya sirkulasi
spontan (return on spontaneus circulation/ ROSC) yaitu :
1. Patensi jalan napas
Pasien tidak sadar membutuhkan alat bantu napas lanjut untuk pemberian
ventilasi mekanik. Bila perlu gunakan endotracheal tube (ETT) untuk
menjaga patensi jalan napas. Hindari pemakaian fiksasi ETT yang
melingkari leher pasien karena berpotensi mengganggu aliran darah vena
dari otak.
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

15

2. Ventilasi/ oksigenasi yang cukup
Meskipun oksigen 100% mungkin diperlukan pada awal resusitasi,
oksigen harus dititrasi hingga level paling rendah yang dibutuhkan untuk
mempertahankan saturasi oksigen ≥ 94% untuk menghindari intoksikasi
oksigen. Hiperventilasi atau overbagging harus dihindari karena dapat
meningkatkan tekanan dalam rongga dada yang kemudian menurunkan
cardiac output. Penurunan PaCO2 yang terjadi pada hiperventilasi
berpotensi menurunkan aliran darah ke otak secara langsung. Ventilasi
dapat diberikan mulai 10 – 12 kali per menit dan dititrasi untuk mencapai
PaCO2 40 – 45 mmHg. Sedangkan untuk ventilasi mekanik harus diatur
berdasarkan saturasi oksihemoglobin, nilai AGDA, ventilasi per menit,
dan kesesuaian ventilator.
3. Sirkulasi
Pengawasan tanda vital dan aritmia harus dilakukan secara kontinyu.
Monitoring EKG kontinyu harus dilanjutkan setelah ROSC, selama
transport, dan selama di ICU sampai kondisi stabil tercapai. Akses
intravena harus dipasang bila sebelumnya selama resusitasi belum
diperoleh. Apabila pasien hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg),
pertimbangkan pemberian bolus cairan. Cairan dingin dapat digunakan
bila dipilih terapi hipotermia. Infus obat vasoaktif seperti Dopamin,
Norepinefrin, atau Epinefrin dapat dimulai jika diperlukan dan dititrasi
hingga mencapai tekanan darah sistolik minimum ≥ 90 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.
4. Disability
Patofisiologi cedera otak pasca henti jantung melibatkan rangkaian
kompleks molekular yang dicetuskan oleh iskemia dan reperfusi yang
masih berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari setelah
ROSC. Kejadian dan kondisi dari periode pasca henti jantung memiliki
potensi untuk mencetuskan atau melemahkan jalur ini dan mempengaruhi
hasil akhir. Manifestasi klinis dari cedera otak pasca henti jantung
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

16

meliputi

koma,

kejang,

myoclonus,

beberapa

tingkat

disfungsi

neurokognitif (mulai dari defisit daya ingat sampai status vegetatif) dan
kematian otak. Agen neuroprotektif dengan obat – obat antkonvulsi seperti
halnya Thiopental dan Diazepam dosis tunggal atau Magnesium atau
keduanya dapat diberikan pada kejang setelah ROSC, namun tidak dapat
meningkatkan status neurologis dari pasien.
5. Exposure
Direkomendasikan bahwa pasien dewasa dalam kondisi koma dengan
ROSC pasca henti jantung di luar rumah sakit sebaiknya didinginkan
sampai suhu 32°C - 34°C selama 12 – 24 jam. Hipotermia yang diinduksi
juga bisa dipertimbangkan untuk pasien dewasa yang koma dengan ROSC
pasca henti jantung di dalam rumah sakit dengan irama awal pulseless
electrical activity atau asystole. Penghangatan kembali pada pasien koma
yang secara spontan menjadi hipotermia ringan (> 32°C) setelah resusitasi
selama 48 jam pertama setelah ROSC.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

17

Algoritma 3. Penatalaksanaan pasca henti jantung

Keadaan pasca henti jantung biasanya dihubungkan dengan instabilitas
hemodinamik, seperti gangguan metabolik. Terapi optimal disfungsi organ
miokard dan iskemia miokard dapat meningkatkan kemungkinan harapan
hidup. Intervensi untuk mengurangi cedera otak sekunder, seperti terapi
hipotermia, dapat meningkatkan angka harapan hidup dan kembalinya fungsi
neurologis. Setiap sistem organ menjadi beresiko pada saat tersebut dan
pasien juga beresiko untuk mendapat disfungsi multi organ. Tata laksana
komprehensif pasca henti jantung melibatkan berbagai disiplin ilmu, antara
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

18

lain perawatan kritis, ilmu penyakit jantung, ilmu penyakit dalam, dan ilmu
penyakit saraf.
Oleh karena itu, diperlukan unit perawatan kritis yang baik dalam
mengantisipasi, monitor, dan menatalaksana setiap masalah yang terjadi.

E. Etika Menunda dan Menghentikan Resusitasi Jantung Paru
Etika Menunda Upaya Resusitasi Jantung Paru
Seluruh pasien anak dan dewasa yang mengalami henti jantung selama masa
perawatan di rumah sakit, harus segera dilakukan resusitasi, kecuali bila masuk
ke dalam kriteria DNAR (do not attempt rescucitation) atau memiliki tanda
kematian yang irreversible (misalnya pasien memiliki ketergantungan penuh
pada alat bantuan hidup untuk kelangsungan hidupnya).

DNAR (do not attempt rescucitation)
Tidak seperti intervensi medis yang lain, RJP dilakukan tanpa menunggu
perintah atau persetujuan dari dokter tetapi langsung dilakukan apabila ada tanda
henti jantung pada pasien. Dokter yang berkompeten dibutuhkan untuk
menentukan penundaan upaya resusitasi jantung paru pada pasien. Pasien dengan
sakit yang sudah terminal, lebih takut diabaikan dan menghadapi rasa sakit dari
pada kematian itu sendiri, sehingga dokter harus meyakinkan pasien dan
keluarga bahwa pengendalian rasa nyeri dan kondisi lain yang dapat menurunkan
kualitas hidup akan tetap dilakukan meskipun upaya resusitasi jantung paru
mungkin ditunda.
Dokter yang saat itu menangani pasien harus menulis permintaan DNAR di
rekam medis pasien, dengan catatan mengapa DNAR dilakukan, kondisi spesifik
lain yang menyebabkan keterbatasan intervensi, hasil diskusi dengan pasien,
lingkungan, dan keluarga pasien. DNAR verbal tidak diperbolehkan.Perintah
pembatasan

terapi

harus

mencantumkan

instruksi

mengenai

intervensi

kegawatdaruratan spesifik yang mungkin dibutuhkan, termasuk penggunaan

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

19

agen vasopresor, ventilasi mekanis, produk darah, atau antibiotik.Perintah
DNAR harus menyebutkan secara spesifik intevensi mana yang ditunda.
Perintah DNAR tidak serta merta mencakup intervensi lain seperti pemberian
cairan parenteral, nutrisi, oksigen, analgesik, sedasi, anti aritmia, atau
vasopresor,

kecuali

intervensi

ini

masuk

dalam

perintah

DNAR

tersebut.Beberapa pasien mungkin memilih untuk diterapi dengan defibrilasi dan
kompresi dada tetapi tidak bersedia diintubasi dan ventilasi mekanis. Perintah
DNAR tidak membawa implikasi pada terapi lain, dan aspek lain dari rencana
terapi harus didokumentasikan secara terpisah dan dikomunikasikan kepada
tenaga medis yang lain. Perintah DNAR harus dikaji ulang secara berkala sesuai
dengan protokol lokal, terutama bila pasien mengalami perubahan kondisi.
Perintah DNAR harus dikaji oleh ahli anestesi sebelum operasi dilakukan, ahli
bedah yang akan menjadi operator operasi, dan pasien atau keluarga untuk
menentukan apakah perintah DNAR ini aplikatif selama proses operasi
dilakukan dan selama immediate postoperative recovery period.

Menghentikan upaya resusitasi jantung paru
Pada anak, belum ada laporan yang valid mengenai keputusan maupun aturan
klinis sebagai panduan untuk menghentikan upaya resusitasi, dan keputusan
untuk menghentikan upaya resusitasi dapat bervariasi tergantung pada dokter dan
institusi yang menangani. Dengan tidak adanya panduan yang jelas ini, klinisi
atau tenaga medis dapat menghentikan upaya resusitasi bila didapatkan tingkat
kepastian yang tinggi bahwa pasien tidak akan berespon meskipun dilakukan
bantuan hidup tingkat lanjut. Karakteristik henti jantung yang dipertimbangkan
oleh tenaga medis dalam menghentikan upaya resusitasi meliputi durasi
dilakukannya RJP, waktu terjadinya henti jantung, dosis pemberian epinefrin,
etiologi henti jantung, ritme jantung ketika pertama kali henti jantung dan
sesudah dilakukan intervensi resusitasi, dan usia. Perpanjangan upaya resusitasi
dapat dilakukan bila terjadi VF atau VT refrakter, yang mengalami ROSC,

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

20

mengalami keracunan obat, atau yang mengalami kejadian yang menyebabkan
hipotermi.
Pada dewasa, penghentian upaya resusitasi jantung paru berdasarkan pada
banyak pertimbangan, termasuk henti jantung yang diketahui dan tidak diketahui
kejadiannya, waktu RJP, ritme henti jantung yang pertama, waktu defibrilasi,
penyakit komorbid, kondisi sebelum henti jantung, dan apakah terjadi ROSC
selama dilakukan upaya resusitasi.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

21

KEPUSTAKAAN

American Heart Association.(2010). Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II

22