Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara, menurut Mr. Soenarko, ialah organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah atau teritoir tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku
sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan. 4Keberadaan suatu negara tidak mungkin
tanpa adanya suatu wilayah tertentu sebab salah satu syarat berdirinya suatu
negara ialah wilayah.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut
dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 5
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau
dan luas perairan laut 5,8 juta km² (terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km², luas
perairan kepulauan 2,95 juta km² dan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) 2,55 juta km²). Secara geo-politik Indonesia memiliki peran yang sangat
strategis karena berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,
menempatkan

Indonesia


sebagai

poros

maritim

dunia

dalam

konteks

4

Mr. Soenarko, Susunan Negara Kita I, Hal.10 dalam M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara,
Cetakan Keenam, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 1.
5
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara


Universitas Sumatera Utara

perdaganganglobal (the global supply chain system) yang menghubungkan
kawasan Asia-Pasifik dan Australia. 6
Kondisi geografis yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi
perikanannya, yang apabila diusahakan secara maksimal dengan tetap berpegang
pada penangkapan yang lestari maka akan memberikan dampak :
1. Meningkatnya devisa negara dari hasil ekspor komoditi perikanan laut;
2. Meningkatnya gizi khususnya protein hewani bagi rakyat;
3. Meningkatnya penghasilan/pendapatan nelayan. 7
Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung
jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum yang
berlaku di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan. Lautan
yang membentang luas dengan posisi untuk menghubungkan wilayah daratan satu
dengan yang lain memungkinkan berlakunya hukum yang berbeda, disadari atau
tidak pada dasarnya setiap insan manusia mempunyai hak untuk menikmati
kekayaan yang terkandung didalamnya, namun masalahnya sekarang ialah
bagaimana ketentuan yang mengatur masalah prosedur pemanfaatan kekayaan
tersebut.
Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban merupakan suatu kondisi

yang wajib dilakukan untuk

menciptakan situasi yang

memungkinkan

terselenggaranya Pembangunan Nasional.

6

Laporan Kinerja Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2015, diakses
melaluihttp://kkp.go.id/wp-content/uploads/2016/07/Lkj-KKP-2015.pdf, pada tanggal 1 Maret
2017.
7
Marhaeni Ria Siombo, 2010, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Cetakan
Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban, tidak mungkin tercapai tanpa

kemampuan menegakkan kedaulatan di darat, laut dan udara. Dengan tercapainya
kedaulatan di darat dan di laut maka sumber-sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
kehidupan bangsa di segala bidang.
Penyelenggaraan penegakan kedaulatan di darat tidak sesulit dan serumit
penegakan kedaulatan di laut karena batas wilayah negara di darat secara nyata
dapat dibuat dan dilihat, lain halnya dengan penegakan kedaulatan di laut karena
sangat sulit menentukan batas-batas nyata di laut berhubung sifat laut/air yang
berbeda dengan darat.
Penegakan kedaulatan di laut, tidak dapat dilaksanakan tanpa memahami
batas wilayah/wilayah teritorial serta peraturan-peraturan perundangan yang
mendasari penegakan kedaulatan tersebut, yang secara keseluruhan pada
hakikatnya bersifat dan bertujuan untuk ketertiban/keamanan (security), untuk
kesejahteraan

(prosperity)

dengan

memperhatikan


hubungan-hubungan

internasional. 8
Berkaitan dengan pengelolaan potensi laut Indonesia, terdapat 3 (tiga)
jenis laut yang penting bagi Indonesia, yaitu : 9

8

Leden Marpaung, 1993, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 1-2.
9
Hasjim Djalal, 21 Desember 2005, Mengelola Potensi Laut Indonesia, Makalah
SeminarNasional Hukum Laut, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya dalam
HumphreyWangke dan Simela Victor Muhamad, Kejahatan Transnasional di Indonesia dan
UpayaPenanggulangannya – “Kejahatan Transnasional Illegal Fishing di Perairan Indonesia
danUpaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara”, 2011, Pusat Pengkajian,
PengolahanData dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia, Jakarta, Hal.
60.


Universitas Sumatera Utara

a. Laut yang merupakan wilayah Indonesia, yaitu wilayah laut yang berada di
bawah kedaulatan Indonesia; 10
b. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia, yaitu suatu wilayah laut
dimana Indonesia hanya mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan
alamnya dan kewenangan-kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu;11
c. Laut

yang

merupakan

kepentingan

Indonesia,

artinya

Indonesia


mempunyai keterkaitan dengan wilayah laut tersebut meskipun Indonesia
tidak mempunyai kedaulatan atau hak-hak berdaulat atas wilayah laut
tersebut.12
Untuk mewujudkan suatu pengelolaan sumber daya laut yang optimal,
Indonesia harus mengelola ketiga jenis laut tersebut secara sustainable dan
menyeluruh bagi kepentingan bangsa Indonesia. Agar dapat optimal, pengelolaan
laut Indonesia tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya laut saja tapi
juga meliputi pengawasan penangkapan ikan, khususnya oleh kapal-kapal asing
dan pengaturan zona-zona laut Indonesia sesuai dengan aturan regional maupun
hukum internasional.
Di wilayah laut jenis pertama, Indonesia mempunyai kedaulatan mutlak
atas ruang maupun kekayaannya, namun mengakui adanya hak lewat/lintas
(berdasar prinsip innocent passage, sea lanes passage, dan transit passage) bagi
10

Yang termasuk wilayah laut jenis ini adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan
dan laut teritorial/laut wilayah yang lebarnya 12 mil dari garis pangkal.
11
Yang termasuk jenis laut ini adalah Zona Tambahan (Contiguous Zone), yaitu wilayah

laut yangterletak 12 mil di luar Laut Wilayah atau 24 mil dari garis pangkal di sekeliling
negaraIndonesia, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang luasnya adalah 200 mil laut
darigaris pangkal.
12
Wilayah laut yang termasuk dalam kategori ini adalah laut bebas yang berdekatan
dengan ZonaEkonomi Eksklusif Indonesia, contohnya adalah Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia. Di duaSamudera ini Indonesia mempunyai kepentingan di dalamnya yang berkaitan
dengankelestariannya.

Universitas Sumatera Utara

kapal-kapal asing. Sedangkan pada wilayah laut jenis yang kedua, di Zona
Tambahan misalnya, pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan tertentu
untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan di bidang bea cukai/pabean,
keuangan, karantina kesehatan, dan pengawasan imigrasi. Di Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam,
terutama perikanan selain kewenangan lainnya (misalnya untuk memelihara
lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan serta
pemberian izin pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunanbangunan lainnya). Jadi meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan mutlak
di wilayah ZEE, namun Indonesia mempunyai hak atas penangkapan dan

pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah perairan ini. Sedangkan di
wilayah laut jenis ketiga, Indonesia mempunyai kepentingan dalam mengelola
sumber daya hayati untuk memelihara sustainability dari sumber-sumber
kekayaan alam di ZEEI.13
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. 14
Pengelolaan sumber daya ikan pada saat ini menggunakan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan, sebagai acuan bagi peraturan teknis perikanan. Adapun salah

13

Pasal 63-67 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan adanya keterkaitan yang erat
antara pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam hayati di ZEE dan di laut bebas di luarnya.
14
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Universitas Sumatera Utara


satu pertimbangan dibentuknya undang-undang tersebut yaitu bahwa pengelolaan
sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan
pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan
kerja dan peningkatan taraf hidup nelayan, pembudidaya ikan, dan/atau pihakpihak yang terkait dengan kegiatan perikanan dan bahwa kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya perlu dibina.
Bidang kelautan dan perikanan memiliki permasalahan yang kompleks
karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan juga sensitif terhadap interaksi
terutama dengan aspek lingkungan. Terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan
laut di Indonesia yang berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungan, keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang perikanan,
ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan
sumber daya perikanan.
Beberapa permasalahan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan, diantaranya adalah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal (illegal
fishing). Kegiatan illegal fishing yang sering terjadi di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) adalah pencurian ikan oleh
kapal-kapal perikanan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga
(neighboring countries). Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan selama
ini, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di

Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), dan juga cukup banyak terjadi di
perairan kepulauan (teresterial waters). Pada umumnya, jenis alat tangkap yang
digunakan oleh KIA atau kapal eks asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-

Universitas Sumatera Utara

alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl. Kegiatan illegal fishing juga
dilakukan oleh kapal perikanan Indonesia (KII).
Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan, antara lain
penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan/SIUP, Surat
Izin Penangkapan Ikan/SIPI, dan Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan/SIKPI),
memiliki izin tapi melanggar ketentuan yang telah ditetapkan (pelanggaran daerah
penangkapan ikan, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi
dokumen (dokumen pengadaan, dokumen registrasi kapal, dan perizinan kapal),
transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal
yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak
(destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang membahayakan kelestarian
sumber daya ikan.
Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing di WPP-NRI telah
mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfishing, overcapacity,
ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak
kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan,
merupakan dampak nyata dari kegiatan illegal fishing dan destructive fishing.
Kerugian lain yang tidak dapat dinilai secara materiil namun sangat terkait dengan
harga diri bangsa, adalah citra negatif bangsa Indonesia dikalangan dunia

Universitas Sumatera Utara

internasional karena dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan
perikanan dengan baik. 15
Berdasarkan Data Badan Pangan Dunia atau FAO 16(Food and Agriculture
Organization)2008,diperkirakan sebanyak 5.400 kapalnelayan asing yang
kebanyakan
Malaysia,

dilakukanoleh
Kamboja,

para

nelayan

Myanmar,China,

dari
Korea,

Thailand,Filipina,Vietnam,
Taiwan,

dan

Panama

telahmelakukan illegal fishing diwilayah perairan laut Indonesia. Adapun
potensikerugian yang dialami oleh Indonesiadiperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun
atau setara dengan Rp. 30 triliun/tahun,yang berlangsung sejak pertengahan 1980an.
Untuk memberantas praktik illegal fishing tersebut, Presiden Joko Widodo
telah memerintahkan agar petugas pengawas di lapangan dapat bertindak tegas,
jika perlu dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di perairan
Indonesia. Hal ini tentunya dilakukan sesuai dengan aturan dan prosedur yang
berlaku, diantaranya adalah mengamankan terlebih dahulu para awak kapal
sebelum melakukan penenggelaman kapal, agar tidak menimbulkan permasalahan
baru dan menuai kecaman internasional. Jokowi mengatakan bahwa diperkirakan
ada ribuan pelaku illegal fishing di laut Indonesia yang mana mengakibatkan
Indonesia mengalami kerugian ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Tindakan
tersebut merupakan salah satu kewajiban Negara untuk mengamankan kekayaan
alam dan laut Indonesia, yang merupakan dasar filosofis sebagaimana termuat di
15

http://djpsdkp.kkp.go.id/arsip/c/53/DIREKTORAT-JENDERAL-PENGAWASANSUMBER-DAYA-KELAUTAN-DAN-PERIKANAN/?category_id=31,diakses tanggal 3 Maret
2017.
16
FAO adalah sebuah organisasi PBB yang bertugas meningkatkan standar pangan dan
produksi di dunia, memperbaiki hasil-hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Universitas Sumatera Utara

dalam bagian menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang
menyatakan: “perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas mengandung
sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan
merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa
Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung
yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.”
Untuk merespon instruksi Presiden tersebut, TNI AL, Badan Koordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
telah melaksanakan kegiatan eksekusi penenggelaman kapal ikan asing yang
kedapatan melakukan praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Aksi
ini menjadi peringatan keras terhadap para pelaku illegal fishing sekaligus juga
bentuk komitmen Indonesia dalam pengawasan dan penegakan hukum di wilayah
laut Indonesia. Eksekusi penenggelaman kapal ini dilakukan di wilayah perairan
Tanjung Pedas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, pada tanggal 5
Desember 2014. 17
Selain itu beberapa kapal asing yang telah dikenakan tindakan tegas
berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal diantaranya kapal asing milik

17

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/06/ng4ee3-ini-eksekusipenenggelaman-kapal-pencuri-ikan-milik-asing, diakses tanggal 4 Maret 2017.

Universitas Sumatera Utara

Thailand yang ditenggelamkan pada 9 Februari 2015. 18 Kemudian, empat kapal
asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Kalimantan. Dari empat kapal
tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 001 pada 14
Maret 2015, di perairan Natuna, dan dua kapal lainnya ditangkap oleh Polisi
Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 27 Juni 2015 di perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar perairan Natuna, yang mana
penyidikan kedua kasus tersebut dilakukan oleh Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak. 19
Pada 22 Oktober 2015, Indonesia juga menenggelamkan dua kapal asing
berbendera Vietnam di perairan Batam, Kepulauan Riau, serta satu kapal
berbendera Thailand di perairan Langsa, Aceh. Ketiganya ditangkap oleh Kapal
Patroli Hiu Macan 005 pada 7 Maret 2015 dan 22 Oktober 2015 di perairan
sekitar Batam. 20 Tindakan-tindakan tersebut dilakukan agar penegakan hukum di
Indonesia berjalan dengan tegas dan efektif serta menimbulkan efek jera terhadap
para pelakunya.
Meskipun terjadi pro dan kontra perihal instruksi Presiden Joko Widodo
untuk menenggelamkan kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah
laut Indonesia, yang mana di satu sisi Indonesia mengambil kebijakan atau
tindakan tegas demi menjaga kedaulatan wilayahnya, namun di sisi lain kebijakan
atau tindakan tersebut mengundang reaksi dari negara lain khususnya negara yang
kapalnya ditenggelamkan oleh Indonesia. Adapun negara tetangga yakni Thailand
18

http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditenggelamkan-susi-carakapal-thailand-mencuri, diakses tanggal 4 Maret 2017.
19
http://www.mongabay.co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-asing-bukti-indonesiaserius-perangi-illegal-fishing/,diakses pada tanggal 4 Maret 2017.
20
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dan Malaysia pada awalnya memprotes kebijakan tersebut. Namun pada akhirnya
kedua negara tersebut memberikan respon dengan mulai memberikan peringatan
kepada para nelayannya agar tidak menangkap ikan hingga ke wilayah laut
Indonesia.
Praktik pembakaran dan penenggelaman kapal ikan asing yang tertangkap
tangan mencuri ikan adalah praktik yang lumrah yang juga dilakukan banyak
negara lain, seperti China dan Malaysia yang banyak menenggelamkan kapalkapal ikan Vietnam, serta Australia yang pernah menenggelamkan kapal ikan asal
Thailand. Bahkan kapal-kapal nelayan Indonesia yang tertangkap melintas batas
regional pun dibakar. Pemerintah Indonesia tidak pernah memprotes, sepanjang
anak buah kapal (ABK) selamat. Dengan demikian, sepanjang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan peraturan hukum, kebijakan ini tidak akan mengganggu
hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara asal kapal. 21
Landasan hukum terkait tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana
di bidang perikanan mengacu pada Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan. Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan menentukan bahwa kapal
pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum
di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia. Sedangkan Pasal 69 ayat (4) menentukan bahwa dalam melaksanakan
21

Illegal

Zaqiu Rahman, 2015,Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Praktik
Diakses
melalui
Fishing,

http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENENGGELAMAN%20KAPAL_OK.pdf
.

Universitas Sumatera Utara

fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas
perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
Bukti permulaan yang cukup misalnya kapal perikanan berbendera asing
tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal
Penangkap Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan
ketika memasuki Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
(WPP-NRI). Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak
dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik
dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing
tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan dinyatakan bahwa
yang dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal ialah
kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Namun didalam penerapannya kapal ikan Indonesia atau disebut juga dengan
kapal nelayan lokal juga ikut diledakkan serta ditenggelamkan. 22
Dengan adanya peristiwa tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan
menganalisis mengenai bagaimana kriteria kapal yang seharusnya dapat dilakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman serta bagaimana
prosedur pelaksanaan dari pembakaran dan/atau penenggelaman kapal tersebut.
22

Metrotvnews.com,http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/ObzJ1Elb-tiga-kapaldiledakkan-di-perairan-belawan, diakses pada tanggal 28 Mei 2017. Berdasarkan laporan dari
Direktur Polisi Perairan Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Polisi Tubuh Musrela bahwa pada
hari Selasa, 5 April 2016 di Belawan, mereka kembali meledakkan kapal yang terdiri dari satu
kapal asing dari Malaysia dan dua kapal nelayan lokal.

Universitas Sumatera Utara

Kajian dan analisis ini berjudul: Prosedur Pembakaran dan/atau Penenggelaman
Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan dari Perspektif Hukum Pidana di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan-perbuatan Apa saja yang Termasuk Tindak Pidana Perikanan Menurut
UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana Kriteria Kapal yang Dapat Dilakukan Tindakan Pembakaran dan/atau
Penenggelaman dalam Tindak Pidana Perikanan ?
3. Bagaimana Prosedur Tindakan Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal
dalam Tindak Pidana Perikanan di Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana
perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 Jo. UU No. 45 Tahun 2009.
b. Untuk mengetahui bagaimana kriteria kapal yang dapat dilakukan tindakan
pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan.

Universitas Sumatera Utara

c. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan
akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk memberikan
pengetahuan bagi mereka mengenai Tindak Pidana Perikanan, mengetahui apa itu
perikanan, kriteria kapal perikanan, wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia,

serta

prosedur

dari

tindakan

khusus

pembakaran

dan/atau

penenggelaman kapal perikanan yang melakukan tindak pidana perikanan (illegal
fishing) di Indonesia. dan diharapkan skripsi ini nantinya akan menambah
kepastian hukum dan dapat menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam
bidang hukum khususnya di bidang perikanan.
b. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan meningkatkan kesadaran hukum
bagi masyarakat di bidang perikanan, dan bagi aparat penegak hukum nantinya
diharapkan dapat menjalankan peran dan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan.

D. Keaslian Penulisan
Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran
sendiri dengan mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan judul skripsi “Prosedur Pembakaran dan/atau Penenggelaman
Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan dari Perspektif Hukum Pidana di
Indonesia”. Sebelumnya telah dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul
skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pusat
Dokumentasi dan Informasi Hukum atau Perpustakaan Universitas Cabang
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 21 Maret
2017 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama”, dan tidak terlihat
adanya keterkaitan. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah ataupun secara akademik.
Untuk

mengetahui

keaslian

penulisan,

penulis

telah

melakukan

pemeriksaan terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Pusat
Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
/ Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara melalui surat tertanggal 21 Maret 2017 yang menyatakan bahwa “tidak ada
judul yang sama”, dan tidak terlihat adanya keterkaitan mengenai substansi yang
terdapat dalam judul skripsi ini dengan judul-judul lain yang tercatat dalam Arsip
Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
meskipun terdapat judul skripsi yang berkaitan yakni tentang Tinjauan Yuridis
terhadap Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera
Asing sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan oleh Sarah
Nova/NIM: 110200136. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini
membahas mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana perikanan
menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009, kriteria kapal yang

Universitas Sumatera Utara

dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam
tindak pidana perikanan, serta prosedur tindakan pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan. Sedangkan terhadap skripsi
yang telah ada sebelumnya membahas mengenai tugas dan fungsi pengawas
perikanan di wilayah laut Indonesia serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia, dan penerapan
pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang
melakukan tindak pidana pencurian ikan dilihat dari kasus yang telah ada di
Indonesia.
Dengan demikian, penulisan skripsi ini bukan hasil tiruan atau
penggandaan karya tulis orang lain. Oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah
sebuah karya tulis ilmiah yang asli. Kalaupun terdapat pendapat atau kutipan
dalam penulisan skripsi ini, hal tersebut hanya sebagai faktor pendukung dan
pelengkap dalam menyelesaikan skripsi ini. Apabila di kemudian hari terdapat
judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain sebelum skripsi ini dibuat, maka
hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Perikanan
Di dalam kepustakaan sering dijumpai istilah strafbaar feit atau delict
dalam bahasa Belanda, delictum dalam bahasa Latin, delikt dalam bahasa Jerman,

Universitas Sumatera Utara

delit dalam bahasa Perancis ataupun delik dalam bahasa Indonesia. 23 Istilah-istilah
tersebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita dikenal sebagai
tindak pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya
tindak pidana itu sendiri.
POMPE, secara teoritis, merumuskan bahwa tindak pidana atau strafbaar
feit sebagai :
“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai
“de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld
heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en
de behartiging van het algemeen welzjin”. 24
Moeljatno, lebih sepakat menyebut tindak pidana dengan sebutan
perbuatan pidana. Perbuatan olehnya dijelaskan sebagai suatu yang dilarang oleh
suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, dapat juga perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,
adapun yang perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula
sehingga tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika
yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak
23

P.A.F.Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 192.
24
Ibid, hal. 182.

Universitas Sumatera Utara

karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan
hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbantuan, yaitu suatu
pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit : pertama, adanya
kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan
kejadian itu. 25
SIMONS merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu “tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan
yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum”. 26
Alasan dari SIMONS apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan
seperti di atas adalah karena :
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu dinyatakan bahwa disitu harus terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang,
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur delik seperti yang dirumuskan didalam undangundang; dan

25
26

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59.
P.A.F.Lamintang, op. cit, hal. 185.

Universitas Sumatera Utara

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan
melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”. 27
Semua perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum menjadi
pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut
perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijke handeling). Dengan kata lain
perbuatan melawan hukum itu, untuk hukum pidana memuat anasir melawan
hukum (element van wederrechtelijkheid). Di antara pelanggaran hukum itu ada
beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu
sanksi istimewa, yang menurut van HAMEL adalah suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban
hukum umum bagi seorang pelanggar. Pelanggaran hukum seperti inilah yang
oleh KUHPidana dikualifikasikan peristiwa pidana (strafbaar feit). Namun Mr.
van der HOEVEN tidak setuju apabila perkataan “strafbaar feit” itu harus
diterjemahkan dengan perkataan “perbuatan yang dapat dihukum”. Bahkan hal ini
dikuatkan oleh SATOCHID KARTANEGARA yang sependapat dengan Mr. Van
der Hoeven yang telah menggunakan kata tindak pidana sebagai terjemahan dari
strafbaar feit dalam kuliah-kuliahnya. Oleh karena dari bunyinya Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu dapat diambil suatu kesimpulan,
bahwa yang dapat dihukum itu hanyalah manusia dan bukan perbuatan. 28

27
28

Ibid.
P.A.F.Lamintang, op. cit, hal. 192.

Universitas Sumatera Utara

Perbedaan pendapat mengenai makna dari strafbaar feit itu sebenarnya
hanya dalam teori saja penting untuk dibicarakan, karena dalam praktek hukum,
yang menjadi perhatian dan acuan baik ketika penyidikan dilakukan, surat
dakwaan, pembelaan, replik-duplik dan surat tuntutan disusun, surat putusan
dibuat dan amar ditetapkan, hanyalah pada unsur-unsur yang ada dalam rumusan
tindak pidana yang bersangkutan (konkrit), dan tidak mengacu pada salah satu
pendapat teoritis (abstrak). Dalam praktek, untuk dapat menjatuhkan pidana
kepada seorang terdakwa yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana,
maka seorang terdakwa disyaratkan (mutlak) harus memenuhi semua unsur-unsur
yang terdapat dalam tindak pidana tersebut. Jika yang didakwakan itu adalah
tindak pidana yang dalam rumusannya terdapat unsur kesalahan dan/atau
melawan hukum (yang bersifat subjektif, misalnya dalam Pasal 368, 369, 378,
atau 390 KUHP), maka unsur itu harus juga terdapat dalam diri pelakunya, dalam
arti harus terbukti. Tetapi jika dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan
tidak dicantumkan unsur mengenai diri orangnya (kesalahan), maka unsur itu
tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa pada diri pelaku tidak
terdapat unsur kesalahan, mengingat dianutnya asas “tidak ada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf zonder schuld). 29
Untuk terjadinya atau terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan
terhadap semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan. Persoalan
pertanggungjawaban ini barulah menjadi hal yang penting ketika pidana hendak
dijatuhkan. Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti
29

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 77.

Universitas Sumatera Utara

dengan pidana tertentu. Perihal pertanggungjawaban adalah mengenai hal syarat
penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana. 30
Menurut Barda Nawawi Arief, dengan tidak adanya batasan yuridis
tentang tindak pidana, dalam praktik selalu diartikan, bahwa tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang-undang. Hal ini didasarkan
pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas
“nullum delictum sine legs” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan
hukum yang formal”. Padahal secara teoritis dan menurut yurisprudensi serta
menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan
tanpa sifat melawan hukum (secara materiil)”. Asas ini sebenarnya juga tersimpul
(secara implisit) di dalam “aturan khusus” KUHP, yaitu dengan adanya beberapa
perumusan delik di Buku II yang secara eksplisit menyebutkan unsur melawan
hukum (misalnya, Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, Pasal 368
KUHP tentang pemerasan, Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang). Apabila
unsur melawan hukum itu tidak ada/tidak terbukti, maka pelaku tidak dapat
dipidana. Ini berarti, di dalam ketentuan itu terkandung asas “tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum” (no liability without
unlawfullness). 31
Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah
perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun materiil. 32 Pasal 11
Konsep KUHP Baru Tahun 2010 menyebutkan :

30

Ibid., hal. 78.
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, hal. 80.
32
Ibid., hal. 77.
31

Universitas Sumatera Utara

(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang
dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga
bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.
Tindak pidana dan tindak pidana perikanan merupakan dua hal yang
berkaitan erat, dimana tindak pidana perikanan terdiri dari kata tindak pidana dan
perikanan. Aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk menyebut tindak
pidana di bidang perikanan lebih sering menggunakan istilah illegal fishing.
Istilah ini terdapat dalam penjelasan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tetapi tidak diberikan
definisi ataupun penjelasan lebih lanjut tentang apa itu illegal fishing.
Dalam TheContemporary English Indonesian Dictionary, “illegal” berarti
tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, sedangkan “fishing” artinya
penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. 33
Berdasarkan penjelasan definisi kata “illegal fishing” di atas maka secara singkat
dapat dikatakan bahwa “illegal fishing” adalah penangkapan ikan secara tidak sah
atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
33

Peter Salim, 2003, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Modern English
Press,Jakarta, hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan
dan Perikanan, memberi batasan pada istilah “illegal fishing”, yaitu pengertian
illegal, unreported,andunregulated (IUU) fishing yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang
tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. 34
Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan
of Action (IPOA) – illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing yang
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai
berikut :35
1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau
kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari
negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut
bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu (activities conducted by
national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, without
permission of that state, or in contravention of its laws and regulation).
2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan
perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO),
tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan

34

Nunung Mahmudah, 2015, ILLEGAL FISHING – Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.87.
35
Mukhtar Api, “Illegal Fishing di Indonesia”, diakses melalui http://mukhtarapi.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html., pada tanggal 17 April 2016.

Universitas Sumatera Utara

konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO.
Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain
yang berkaitan dengan hukum internasional (activities conducted by vessels
flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries
management organization (RFMO) but operate in contravention of the
conservation and management measures adopted by the organization and by
which state are bound, or relevant provisionsof the applicable international
law).
3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan
suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang
ditetapkan negara anggota RFMO (activities in violation of national laws or
international obligations, including those undertaken by cooperating stares to
a relevant regional fisheries management organization (RFMO).
2. Pengertian Kapal dan Kapal Perikanan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan kapal
yaitu kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut, sungai dan
sebagainya. Di dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Pasal 1 Angka 36, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan Kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan
yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat
apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Universitas Sumatera Utara

Pengertian tentang kapal dirumuskan juga oleh Pasal 309 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yaitu berupa “semua alat pelayaran
dengan nama atau sifat apapun juga”. Berdasarkan rumusan tersebut, masih belum
dapat memberikan pengertian yang jelas tentang kapal karena tidak dimuat arti
dari kata alat pelayaran dalam KUHD tersebut maupun dalam penjelasannya.
Mengenai “alat pelayaran”, Wirjono Prodjodikoro menyatakan:
“.....kebanyakan ahli hukum di Negeri Belanda dan juga jurisprudensi di sana
mengambil pengertian ini dalam arti yang sangat luas, yaitu meliputi semua alat
yang dibikin oleh manusia untuk berada dan bergerak di air dengan alat itu. Jadi
tidak diperdulikan, apakah alat tersebut dapat digerakkan sendiri atau ditarik oleh
alat lain.....”.36
Selanjutnya dalam Pasal 309 ayat (2) merumuskan bahwa “kapal” meliputi
juga semua alat-alat perkapalan, yang selanjutnya pada Pasal 309 ayat (3)
dijelaskan lebih lanjut tentang “alat-alat perkapalan” yakni semua barang-barang
yang tidak merupakan bagian dari tubuh kapal, tetapi ditujukan untuk tetap
dipakai bersama-sama tubuh kapal dalam pelayaran. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa kapal perikanan termasuk dalam bagian pengertian kapal
itu sendiri.
Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. UndangUndang No. 45 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah:
“kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pengangkutan
ikan,
pengolahan
ikan,
pelatihan
perikanan,
dan
penelitian/eksplorasi perikanan.”
Pengertian kapal perikanan tersebut di atas sama dengan pengertian kapal
perikanan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

36

Wirjono Prodjodikoro, 1963, Hukum Laut bagi Indonesia, Sumur, Bandung, Hal. 60
dalam Leden Marpaung, Op. Cit., Hal. 45.

Universitas Sumatera Utara

Republik Indonesia Nomor 42/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Pemantauan
Kapal Perikanan.

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif
(Normative Legal Research) atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 37
Kemudian juga mendasarkan pada karakteristik yang berbeda dengan penelitian
ilmu sosial pada umumnya. 38 Sedangkan fokus kajiannya adalah hukum positif,
hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan
tempat tertentu, yaitu suatu aturan atau norma tertulis yang secara resmi dibentuk
dan diundangkan oleh penguasa, di samping hukum yang tertulis tersebut terdapat
norma didalam masyarakat yang tidak tertulis yang secara efektif mengatur
perilaku anggota masyarakat.39 Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari dan
mengkaji permasalahan yang berlaku di tengah masyarakat khususnya di bidang
perikanan,

sehingga

memudahkan

penulis

untuk

menggambarkan

dan

memaparkan mengenai prosedur pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
dalam tindak pidana perikanan di Indonesia.
2. Data dan Sumber Data
37

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13-14.
38
Asri Wijayanti & Lilik Sofyan Achmad, 2011, Strategi Penulisan Hukum, CV. Lubuk
Agung, Bandung, hal. 43.
39
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Bahan hukum yang menjadi acuan berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat. 40 Pada skripsi ini bahan hukum primernya
terdiri dari :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
d) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45
Tahun 2009;
e) Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS
1982);
f) Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
g) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
h) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
i) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkait;
j) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk

40

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara

Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan
Berbendera Asing.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, 41 seperti buku-buku,
skripsi-skripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian,
pendapat para ahli atau sarjana hukum yang dapat mendukung
pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih
dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang
hukum. 42
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research), yaitu dengan
mengumpulkan

berbagai

ketentuan

perundang-undangan,

dokumentasi,

mengumpulkan literatur, serta mengakses internet berkaitan dengan permasalahan
dalam lingkup hukum perikanan terutama dari perspektif hukum pidana di
Indonesia. Studi kepustakaan dilakukan penulis dengan membaca dan memahami
buku-buku, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel, serta bahan bacaan yang
berkaitan dengan pokok-pokok penelitian dalam skripsi ini.
4. Analisis Data

41
42

Ibid.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

Penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh
dari tinjauan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain. Data
yang diperoleh penulis akan dianalisa secara normatif, yaitu membandingkan data
yang diperoleh dengan aturan hukum. Setelah keseluruhan data yang diperoleh
sesuai dengan bahasannya masing-masing. Selanjutnya, tindakan yang dilakukan
adalah menganalisis data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah
analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat
yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan analisis. 43

G. Sistematika Penulisan
Agar terdapat suatu alur pemikiran yang teratur dan sistematis, maka
penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas 5 bab dengan
masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :
BAB I:

PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab awal yang merupakan pendahuluan
skripsi yang berisikan latar belakang pemilihan judul
skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan gambaran
singkat tentang isi skripsi. Pada bab ini akan mendukung
untuk memasuki bab-bab selanjutnya.

BAB II:

PERBUATAN-PERBUATAN YANG

43

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 127.

Universitas Sumatera Utara

TERMASUK TINDAK PIDANA PERIKANAN
MENURUT UU NO. 31 TAHUN 2004 JO.
UU NO. 45 TAHUN 2009
Bab ini akan membahas tentang faktor-faktor penyebab
terjadinya

tindak

pidana

perikanan,

latar

belakang

dibentuknya Undang-Undang tentang Perikanan, serta
perbuatan-perbuatan

yang

termasuk

tindak

pidana

perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45
Tahun 2009.
BAB III:

KAPAL YANG DAPAT DILAKUKAN TINDAKAN
PEMBAKARAN

DAN/ATAU

PENENGGELAMAN

KAPAL DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN
Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang kriteria
kapal

perikanan

dan

kewenangan

penerbitan

izin

penangkapan ikan dengan kapal, ketentuan pengoperasian
kapal

perikanan

di

wilayah

pengelolaan

perikanan

Indonesia, serta kriteria kapal yang dapat dilakukan
tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman dalam
tindak pidana perikanan.
BAB IV:

PROSEDUR TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU
PENENGGELAMAN

KAPAL

DALAM

TINDAK

PIDANA PERIKANAN DI INDONESIA

Universitas Sumatera Utara

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penyidik
yang berwenang dalam tindak pidana perikanan dan
bagaimana

proses

penyidikannya,

serta

prosedur

pelaksanaan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia menurut
peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014.
BAB V:

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab akhir yang akan dirumuskan
mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan
pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul
dalam penelitian ini. Kemudian dari hasil penulisan tersebut
akan diakhiri dengan saran-saran dari penulis.

Universitas Sumatera Utara