MAKALAH PENGANTAR ILMU PERTANIAN ELMIYANTI

MAKALAH PENGANTAR ILMU PERTANIAN
SEJARAH PERKEMBANGAN PERTANIAN
DI INDONESIA

OLEH :
NAMA

:

ELMIYANTI

STAMBUK :

O 121 15 347

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hal yang paling mendasar adalah komitmen segenap komponen bangsa untuk
mengembalikan momentum pembangunan pertanian sebagai penggerak ekonomi bangsa.
Kemauan politik dan keberpihakan negara menjadi salah satu penentu kebangkitan pertanian.
Kejayaan pertanian tidak hanya menguatkan ekonomi bangsa namun juga akan meningkakan
martabat bangsa dalam geopolitik internasional. Subejo (2009a) menggaris bawahi bahwa
dengan mempertimbangkan kekayaan dan keragaman akan potensi sumber daya baik fisik
maupun manusia, kita sebenarnya bisa cukup optimis menuju kebangkitan dan kejayaan
pertanian yang akhirnya akan membawa peningkatan taraf hidup pelaku utamanya yaitu
petani. Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan
pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan
manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang
lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah
usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang
setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering
(khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah).
Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air).
Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan
efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan

mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha
pertanian.
Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasardasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode
budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan
pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan
efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif
(intensive farming). Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai
agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang
demikian dikenal sebagai intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan
pertanian

intensif,

keduanya

sering

kali

disamakan.


Sisi yang berseberangan dengan pertanian industrial adalah pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti
pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan
maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan
efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih
rendah

daripada

pertanian

industrial.

Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub
"ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian
ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan
berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya
untuk


memenuhi

kebutuhan

sendiri

atau

komunitasnya.

Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam
volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini
muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan
memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi.
Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat
mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Pertanian

Sejarah pembangunan pertanian berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde
baru pemerintahan menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha
keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin
dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk
rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA.
1. REPELITA I (1969-1974)
Repelita I mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Repelita I ini
merupakan landasan awal pembangunan pertanian di orde baru. Tujuan yang ingin dicapai
adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup
pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya
akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Titik berat Repelita I ini adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Pada repelita I ini muncul
peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947
bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan
kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan

dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di
Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. REPELITA II (1974-1979)
Repelita II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor
pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan
merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan kerja. Repelita II berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal
irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan
yang di rehabilitasi dan di bangun.
3. REPELITA III (1979-1984)
Repelita III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979 – 31 Maret 1984. Repelita III
lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya
adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi
Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
4. REPELITA IV (1984-1989)
Repelita IV mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Repelita IV

Adalah peningkatan dari Repelita III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata,
memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri sendiri. Hasil yang dicapai pada Repelita IV antara lain swasembada pangan. Pada
tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia
berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi
Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan
Rumah untuk keluarga.
5. REPELITA V (1989-1994)
Repelita V mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pada Repelita V
ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan
swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan
barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama.
Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Repelita VI
yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu

pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.

6. REPELITA VI (1989-1994)
Repelita VI mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999. Pada Repelita
VI titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan.
Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu
perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang
sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan
subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses
produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani
merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian.
Pemerintahan pada Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya
dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari
strategi

pembangunan


yang

lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor .

Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan
investasi dan ekspor.
2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan
menciptakan lapangan kerja baru.
3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan
kemiskinan.
Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting
sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui 26 peningkatan kinerja sektor
pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi

pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan
mengubah paradigma pola piker masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar
penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multifungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu:
1. Program peningkatan ketahanan pangan

Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan
produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah
setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
2. Program pengembangan agribisnis
Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan
sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan.
3. Program peningkatan kesejahteraan petani.
Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan
penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi
dan promosi lainnya. Selama periode 2005-2009 pembangunan pertanian juga terus mencatat
berbagai keberhasilan. Salah satu yang patut disyukuri dan membanggakan adalah Indonesia
berhasil mencapai swasembada beras sejak tahun 2007, serta swasembada jagungdan gula
konsumsi rumah tangga di tahun 2008.
B. Peluang Agribisnis Sekaligus Ancaman pembangunan
Produksi massal biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak merupakan satu solusi
yang dipercaya dapat meredakan krisis energi dunia. Negara yang paling gencar
mengembangkan biofuel adalah Amerika Serikat dan Brasil yang menguasai produksi
bioetanol dunia dengan proporsi 46 dan 42 persen. Sumber bahan baku produksi etanol di
Brasil utamanya berasal dari tebu dan jagung yang dikembangkan di kawasan Amazon. AS
memilih mengonversi jagungnya menjadi bahan baku etanol.

Di sisi yang lain ada indikasi dampak negatif dan kemungkinan ancaman kelangkaan
dan kenaikan harga pangan jika bahan-bahan pangan diekplorasi sebagai bahan baku biofuel.

Sejak setahun terakhir, mulai muncul perdebatan sengit para ilmuwan dunia tentang sisi
positif dan negatif eksplorasi sumber daya untuk memasok biofuel. Penggunaan bahan baku
yang juga merupakan bahan pangan dipandang sangat membahayakan ketahanan pangan.
Selain itu, ekspansi lahan-lahan kawasan hutan sebagaimana yang dikembangkan di Brasil
untuk tebu dan kelapa sawit di Indonesia diindikasikan justru berdampak pada pemanasan
global karena emisi gas buang jauh lebih besar. Sebagaimana dilansir oleh National Post, di
Amerika Serikat sekitar 16 persen lahan pertanian yang awalnya ditanami kedelai dan
gandum diubah menjadi lahan jagung untuk memasok pabrik biofuel.
Beberapa pihak menengarai perlunya kehati-hatian dalam implementasi program
pengembangan biofuel di Indonesia. Implikasi yang ditimbulkan bisa sangat fatal apabila
tidak dilaksanakan dengan pertimbangan yang komprehensif. Penggunaan tetes tebu secara
besar-besaran berpotensi mengurangi bahan baku gula sehingga pada gilirannya akan
mengancam stok dan membahayakan produksi gula nasional. Kalau terjadi krisis, kelangkaan
gula di pasaran juga akan muncul kembali. Selain itu penggunaan kelapa sawit sebagai bahan
baku biofuel jika tidak terkendali akan mengancam produksi minyak goreng sebagai salah
satu produk tradisionalnya.
Ketidaktepatan strategi dan implementasinya bisa menyulut krisis minyak goreng
nasional seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Beberapa ahli internasional telah
menengarai bahwa efektivitas dan efisiensi biofuel masih dipertanyakan, selain karena
membahayakan persediaan bahan pangan.
Pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan pesisir dan daerah tandus yang
kurang sesuai untuk produksi pangan dengan introduksi komoditas sumber energi yang tahan
lingkungan kritis bisa menjadi alternatif. Di antaranya tanaman jarak atau pemanfaatan
limbah industri pertanian, seperti limbah pabrik pengolahan crude palm oil/CPO. Selain itu
pemanfaatan biomassa yang tersedia melimpah akan menjadi strategi alternatif bagi
pengembangan biofuel nasional di masa depan. Pemilihan bahan baku yang bukan merupakan
sumber pangan perlu mendapat prioritas yang tinggi.
C. Penigkatan Kapasitas SDM Pertanian dan Pedesaan dalam pembangunan
Persoalan pembangunan pertanian sangat erat kaitannya dengan peningkatan kapasitas
SDM pelaku pembangunan. Subejo (2009b) mencatat bahwa bagi negara-negara berkembang
pembangunan pertanian abad 21 selain untuk mengembangkan sistim pertanian berkelanjutan
juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menunjang
sistim tersebut. Peningkatan kapasitas SDM tidak hanya dibatasi peningkatan produktivitas

petani, namun juga peningkatan kemampuan petani untuk lebih berperan dalam proses
pembangunan.
Persoalan krusial dalam peningkatan kapasitas SDM adalah rendahnya partisipasi
petani dalam pengambilan keputusan pembangunan pertanian. Hal ini antara lain disebabkan
oleh tidak adanya suatu organisasi yang memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan
kepentingan petani di forum nasional di negara berkembang. Peningkatan SDM selain
berkaitan dengan peningkatan produktifitas petani juga diarahkan pada peningkatan
partisipasi politik petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka melalui organisasi petani mandiri. Peran aktif pemerintah dalam
peningkatan SDM petani antara lain melalui reorientasi sistim penyediaan layanan dan
pendanaan sistim informasi pertanian.
Pemberian ruang partisipasi dan kebebasan petani untuk mengekpresikan
kepentingannya juga sangat urgen. Masih menjadi mimpi panjang sebagaimana petani
melalui koperasi menjadi kekuatan yang hebat yang mampu menyuarakan dan membela
kepentingan warganya seperti di Jepang dan negara-negara Eropa.
Perkembangan koperasi di pedesaan terutama Koperasi Unit Desa (KUD) juga
cenderung malambat bahkan mengalami kemunduran. Hal ini dapat dlihat dari data
perkembangan jumlah koperasi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Suradisatra (2007)
seperti tersaji dalam Koperasi pedesaan mestinya merepresentasikan kepentingan dan dapat
memberikan manfaat bagi petani baik terhadap akses sumber daya maupun akses informasi
terkait dengan kegiatan bisnis petani. Indikasi penurunan jumlah KUD menjadi pekerjaan
rumah berbagai pihak. Perlu adanya strategi yang tepat yang dapat merangsang petani untuk
berpartisipasi aktif dalam koperasi pedesaan sehingga institusi tersebut dapat mejadi pengikat
kepentingan dan aspirasi para petani di masa-masa mendatang.

D. Pertanian dan Krisis Global dalam pembangunan
Krisis ekonomi global juga memiliki implikasi pada pembangunan dan revitalisasi
pertanian dan agribisnis. Ada catatan menarik seperti yang dilaporkan oleh Subejo (2009c)
yaitu dengan menengok tragedi krisis ekonomi global yang saat ini tengah berlangsung di
belahan dunia, nampaknya pertanian sebagai akar awal profesi kehidupan di banyak Negara
menemukan kembali momentumnya untuk menjadi penggerak pekonomian bangsa.
Banyak tenaga muda produktif yang kehilangan pekerjaan di sektor industri dan jasa
diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan berbagai proses produksi pertanian. Kemudian
mereka (2.400 orang) dipekerjakan di berbagai sektor pertanian. Baik perusahaan pertanian,

koperasi pertanian, maupun rumah tangga pertanian skala besar. Mereka mendapat upah yang
layak yang tidak kalah dengan upah bekerja di industri.
Situasi ini merupakan momen yang tepat di tengah semakin berkurangnya dan
menuanya para pekerja pertanian di seluruh wilayah Jepang. Selain sebagai jarring pengaman
sosial/social safety net, program ini juga diarahkan untuk menjamin kedaulatan pangan dan
merevitalisasi pembangunan pertanian. Belajar dari strategi Jepang sebagai negara industri
terkemuka yang masih memiliki perhatian besar pada pertanian, semestinya Indonesia yang
masih memproklamirkan diri sebagai negara agraris harus melakukan perhatian dan tindakan
yang jauh lebih serius dari yang dilakukan Jepang. Dengan kontribusi pertanian sekitar 17
persen pada GDP nasional dan kemampuan menampung angkatan kerja lebih dari 40 persen,
nampaknya tidak ada alasan yang kuat dan logis untuk mengabaikan pembangunan pertanian
Indonesia. Selain itu pertanian juga merupakan penyumbang devisa negera yang cukup
signifikan. Dengan semakin kokohnya dominasi produk perkebunan seperti kelapa sawit,
karet, kakao di pasar dunia potensi devisa yang dapat diraup semakin terbuka lebar.
Fungsi lain yang kadang terlupakan adalah fungsi konservasi dan kemampuan pertanian
untuk memberikan ruang hidup yang nyaman, segar, dan udara yang bersih memiliki nilai
yang sangat strategis. Masih banyak persoalan substansial yang belum terpecahkan.
Bukan hanya persoalan klasik peningkatan produktivitas lahan dan teknologi saja. Persoalan
mendasar utamanya akses petani terhadap unsur utama pertanian juga belum terselesaikan.
Paling tidak akses terhadap lahan, benih dan air. Jika akses dasar pertanian sudah terpenuhi
akses-akses sekunder dan tersier yang muaranya peningkatan kesejahteraan petani perlu terus
didorong.
Akses terhadap pembiayaan, pasar, dan pengolahan hasil juga sangat penting.
Prioritas pembangunan pertanian yang hampir selalu berada di bawah baik di level nasional
maupun daerah masih menjadi hal biasa selama beberapa tahun terakhir. Apalagi di era
otonomi daerah di mana otoritas kepala daerah dan DPR daerah dalam penentuan prioritas
pembangunan yang kadang masih melihat pertanian sebagai sektor yang hasilnya lama
sehingga menjadi kurang menarik bagi mereka.Potensi, daya tahan akan goncangan dan multi
fungsi pertanian mestinya menjadi catatan penting bagi birokrasi dan legislatif di berbagai
level agar dapat dipertimbangkan menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan.
Pendidikan politik akan arti penting pembangunan pertanian dan advokasi akan hal tersebut
nampaknya memang perlu terus menerus dilakukan sehingga dapat menggugah kesadaran
pihak yang berkompeten.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia mampu menghasilkan berbagai produk agribisnis baik pangan maupun
produk-produk lainnya seperti perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain
yang mampu menguasai pasar dunia maka Indonesia tidak hanya disegani secara ekonomi;
namun juga akan sangat kuat ditinjau dari geopolitik internasional. Martabat bangsa akan
berkibar karena kita akan menjadi salah satu bangsa yang menentukan pasokan pangan dunia.
Mestinya ini bukan hanya sekedar mimpi. Namun, perlu direalisasikan dengan
semangat dan kerja keras kita bersama. Otonomi dearah yang sejak awalnya dirancang dan
dicita-citakan untuk memberikan benefit dan kedekatan pelayanan publik dari pemerintah
lokal harus terus didorong agar tidak menjadi menghambat pembangunan pertanian seperti
disinyalir beberapa tahun terakhir, namun justru dapat memperlancar dan memperkuat
berbagai proses pembangunan pertanian.
Sinergi yang kuat dan terpadu antara pemerintah pusat dan daerah baik dalam hal
alokasi sumber daya, perancangan program dan implementasi kegiatan menjadi prasyarat
mutlak bagi keberhasilan pembangunan pertanian.
Selain itu, perlu terus dikembangkan mutual partnership dengan pihak-pihak swasta dan
NGO akan semakin memperkuat tindakan bersama/collective action dalam pembangunan
pertanian. Ancaman global terhadap pembangunan pertanian dan agribisnis seperti perubahan
iklim dan pemanasan global harus menjadi perhatian yang serius bagi berbagai kalangan
terkait.
Ketidaktepatan dalam penanganan dan antisipasi akan hal tersebut akan berakibat
pada kemunduran pembanguan pertanian bahkan ketidakberdayaan dalam produksi pertanian.
Penanganan dan antisipasi yang tepat melalui pengembangan SDM, penelitian dan
pengembangan serta sosialisasi dan penyuluhan terhadap petani serta pendampingannya akan
menjadi kunci keberhasilan dalam rangka adaptasi dan mitigasi terhadap ancaman perubahan
iklim global tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Onong U., Effendi. 1993. Human Raltions and Public Relations. Penerbit Mandar Maju,
Bandung.
Saragih, Bungaran. 1998. Kumpulan Pemikiran Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Persada Mulia Indonesia, Jakarta.

Soekarno, SD. 1996. Public Relations, Pengertian Fungsi dan Peranannya . Penerbit CV.
Papiries, Surabaya.
Sudjijono, Budi. 2008. Resesi Dunia dan Ekonomi Indonesia . Erlangga, Jakarta.
Hanafi S., Muhammad. 2013. Sejarah Perkembangan Pertanian di Indonesia.Wordpress,
Jakarta.
“Sejarah Pertanian di Indonesia ”, https://muhammadhanafisrg.wordpress.com/tag/sejarahpertanian-di-indonesia/