BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Semen - BAB II IKHSAN SEFRI PRIAMBODO TK'16

  6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semen

  Semen adalah perekat hidraulis bahan bangunan, artinya akan jadi perekat bila bercampur dengan air. Bahan dasar semen pada umumnya ada 3 macam yaitu

  clinker / terak semen (70% hingga 95%, merupakan hasil olahan pembakaran batu

  kapur, pasir silika, pasir besi dan tanah liat), gypsum (sekitar 5%, sebagai zat pelambat pengerasan) dan material ketiga seperti batu kapur, pozzolan, abu terbang (fly ash), dan lain-lain. Jika unsur ketiga tersebut tidak lebih dari sekitar 3 % umumnya masih memenuhi kualitas OPC (Ordinary Portland Cement). Namun bila kandungan material ketiga lebih tinggi hingga sekitar 25% maksimum, maka semen tersebut akan berganti tipe menjadi PCC (Portland Composite Cement).

2.1.1 Jenis Semen Berdasarkan Aplikasinya

  Berdasarkan aplikasinya, semen dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu sebagai berikut :

1. Portland Cement Type I (Ordinary Portland Cement)

  Semen portland tipe I merupakan jenis semen yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas dan dapat digunakan untuk seluruh aplikasi yang tidak membutuhkan persyaratan khusus. Contohnya, ketika pemilik rumah atau tukang batu yang sedang mengerjakan proyek atau merenovasi rumah tinggal akan membeli semen di toko bangunan, mereka hanya menyebut semen, tanpa menyebut jenis semen apa yang seharusnya digunakan atau cocok dengan lingkungan pemukiman mereka berada. antara lain bangunan, perumahan, gedung – gedung bertingkat, jembatan, landasan pacu dan jalan raya.

  Standarisasi mutu OPC diatur dalam standar Indonesia SNI 15-2049-2004 standar Amerika ASTM C 150-04a dan standar Eropa EN 197-1:2000

  Ordinary Portland Cement adalah Semen Portland yang dipakai untuk

  segala macam kontruksi apabila tidak diperlukan sifat

  • –sifat khusus, misalnya ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi, dan sebagainya.

  Ordinary Portland Cement mempunyai kandungan senyawa utama kurang lebihnya seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Komposisi Senyawa Utama Semen Portland

  (S. Mindesss, Francis Y. dan D. Darwin,2003) 2.

   Portland Cement Type II (Moderate Sulfat Resistance)

  Semen Portland Tipe II merupakan semen dengan panas hidrasi sedang atau di bawah semen Portland Tipe I serta tahan terhadap sulfat. Semen ini cocok digunakan untuk daerah yang memiliki cuaca dengan suhu yang cukup tinggi serta pada struktur drainase. Semen Portland tipe II ini disarankan untuk dipakai pada bangunan seperti bendungan, dermaga dan landasan berat yang ditandai adanya kolom-kolom dan dimana proses hidrasi rendah juga merupakan pertimbangan utama.

  3. Portland Cement Type III (High Early Strength Portland Cement)

  Jenis ini memperoleh kekuatan besar dalam waktu singkat, sehingga dapat digunakan untuk perbaikan bangunan beton yang perlu segera digunakan atau yang acuannya perlu segera dilepas. Selain itu juga dapat dipergunakan pada daerah yang memiliki temperatur rendah, terutama pada daerah yang mempunyai musim dingin. Kegunaan pembuatan jalan beton, landasan lapangan udara, bangunan tingkat tinggi, bangunan dalam air yang tidak memerlukan ketahanan terhadap sulfat 4.

   Portland Cement Type IV (Low Heat Of Hydration)

  Tipe semen dengan panas hidrasi rendah.Semen tipe ini digunakan untuk keperluan konstruksi yang memerlukan jumlah dan kenaikan panas harus diminimalkan. Oleh karena itu semen jenis ini akan memperoleh tingkat kuat beton dengan lebih lambat ketimbang Portland tipe I. Tipe semen seperti ini digunakan untuk struktur beton masif seperti dam dengan gravitasi besar dimana kenaikan temperatur akibat panas yang dihasilkan selama proses curing merupakan faktor kritis. Cocok digunakan untuk daerah yang bersuhu panas.

  5. Portland Cement Type V (Sulfat Resistance Cement)

  Semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan tinggi terhadap sulfat. Cocok digunakan untuk pembuatan beton pada daerah yang tanah dan airnya mempunyai kandungan garam sulfat tinggi. Sangat cocok untuk instalasi pengolahan limbah pabrik, konstruksi dalam air, jembatan, terowongan, pelabuhan,dan pembangkit tenaga nuklir.

2.1.2 Jenis Semen Berdasarkan Proses Produksinya 1. Semen Portland Pozolan (SPP) / Portland Pozzolan Cement

  Semen ini merupakan hasil dari semen Portland di tambah dengan

  pozzolan dengan proporsi sekitar 10-30%. Nama lain dari semen ini Traz Portland Cement , semen ini sering dipakai di Negara Jerman. Tras yang di gunakan adalah

  Tras Andernach.

  2. Semen Putih

  Campuran semen ini memiliki kadar Fe

  2 O 3 -nya rendah, karna warna abu-

  abu pada semen portland disebabkan oleh serbuk besi. Semen ini dibuat dari batu kapur dan tanah liat putih (kaolin), kadar Fe

  2 O 3 tidak boleh lebih dari 1,5%.

  Pengolahannya sama dengan pengolahan semen biasa, tapi tidak menggunakan alat-alat yang mengandung besi.

  3. Mansory cement

  Semen ini berfungsi untuk pasangan tembok dan plasteran. Semen ini dibuat dari semen Portland dan di campur dengan hasil gilingan batu kapur.

  Namun, semen tipe I lebih baik dibandingkan dengan semen ini.

  4. Semen Sumur Minyak (Oil Well Cement)

  Berfungsi untuk menyemen pipa pengeboran minyak, melapisi bocoran air atau gas. Semen ini di pakai dalam bentuk bubur cair yang di pompakan dengan tekanan tinggi yang mencapai 1200 kg/cm2 dengan suhu rata-rata lebih dari 170°C dalam keadaan belum mengeras.

  5. Hidropobic cement

  adalah klinker yang di giling dengan tambahan asam

  Hidrophobic cement oleat atau asam streat.

  6. Waterproofed cement

  Semen yang digunakan di Inggris yang terbuat dari semen Portland yang ditambahkan calsium, aluminium, atau serat logam lainnya.

  7. Semen alumina

  Semen alumina tebuat dari batu kapur dicampur dengan bauksit dengan kadar campuran 60-70% (batu kapur), dan 30-40% (bauksit). Campuran dibakar pada suhu 1600oC dalam tungku listrik sampai cair, kemudian hasil pembakaran tadi di tambahkan gips.

  8. Portland Composite Cement ( PCC)

  Semen PCC memiliki syarat kualitas yang tercantum dalam SNI 15-7064- 2004. Semen ini dapat digunakan secara luas untuk konstruksi umum pada semua beton, struktur bangunan bertingkat, struktur jembatan, struktur jalan beton, bahan bangunan, beton pra tekan dan pra cetak, pasangan bata, plesteran dan acian, panel beton, paving block, hollow brick, batako, genteng, potongan ubin, lebih mudah dikerjakan, suhu beton lebih rendah sehingga tidak mudah retak, lebih tahan terhadap sulfat, lebih kedap air dan permukaan acian lebih halus.

9. Super Portland Pozzolan Cement (SPPC)

  Semen jenis ini memenuhi persyaratan mutu semen Portland Pozzoland SNI 15-0302-2004 dan ASTM C 595 M-05 s. Penggunaannya biasanya pada konstruksi beton untuk bendungan, dam dan irigasi, beton yang digunakan di area dengan serangan sulfat seperti bangunan tepi pantai dan di rawa, bangunan yang kekedapannya harus tinggi serta pasangan dan plesteran.

2.1.3 Semen PCC (Portland Composite Cement)

  Semen PCC memiliki spesifikasi sesuai standar Indonesia SNI 15-7064- 2004 dan standar Eropa EN 197-1:2000 (42.5 N & 42.5 R) serta standar Amerika ASTM C 595-03.

  PCC (Portland Composite Cement) digunakan untuk bangunan-bangunan pada umumnya, sama dengan penggunaan Semen OPC dengan kuat tekan yang sama. PCC mempunyai panas hidrasi yang lebih rendah selama proses pendinginan dibandingkan dengan Semen Portland OPC, sehingga pengerjaannya akan lebih mudah dan menghasilkan permukaan beton/plester yang lebih rapat dan lebih halus.

  Semen PCC merupakan bahan pengikat hidrolis hasil penggilingan bersama-sama klinker semen Portland dan gipsum dengan satu atau lebih bahan anorganik. Bahan anorganik tersebut antara lain terak tanur tinggi (blast furnace

  slag ), pozolan, senyawa silikat, dengan kadar total bahan anorganik 6 % – 35 %.

  Jadi, berdasrkan keterangan di atas kalau kita hanya butuh semen untuk bangunan biasa dengan lantai tidak terlalu tinggi serta bukan untuk tiang dan balok beton, tipe PCC barangkali cukup memadai. Namun untuk yang memerlukan kekuatan tinggi sebaiknya pakai OPC. Plesteran dan pasangan bata bisa memakai PCC sedang tiang, balok dan lantai coran sebaiknya pakai OPC Tipe I. Yang jelas dengan memakai PCC berarti pula menghemat sumber daya alam dan energi karena dalam proses produksinya kebutuhan energi lebih rendahdari OPC.

  Dalam SNI 15-7064-2004 tercantum syarat kimia yang harus dimiliki semen PCC adalah kandungan SO3 yang tidak lebih dari 4 %.

  Sedangkan standar kualitas fisika yang harus dimiliki oleh produk semen type I PCC sesuai SNI 15-7064-2004 dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Standar kualitas semen PCC Tipe 1 (SNI 15-7064-2004)

2.1.4 Bahan Baku Semen

  Pada prinsipnya bahan baku utama dalam proses pembuatan semen hanya ada 2 yaitu batu kapur dan tanah liat sebab semua senyawa

  • – senyawa utama dalam semen berasal dari kedua bahan tersebut. Bila digunakan bahan lainnya, maka bahan tersebut hanya sebagai bahan pengoreksi komposisi saja

  Batu Kapur

  Batu Kapur merupakan sumber utama senyawa Kalsium. Batu kapur murni umumnya merupakan kalsit atau aragonit yang secara kimia keduanya dinamakan CaCO . Senyawa Karbonat dan Magnesium dalam batu Kapur

  3

  umumnya berupa dolomite (CaMg(CO

  

3 )

2 . Dalam proses pembuatan Semen,

  CaCO

  3 akan berubah menjadi oksida Kalsium (CaO) dan dolomite berubah bentuk

  menjadi kristal oksida magnesium (MgO) bebas / Periclase yang dapat merendahkan mutu semen yang dihasilkan, sebab jika jumlah MgO bebas melebihi 5% (berdasarkan SNI No. 15-2049 tahun 2004) maka bangunan yang menggunakan semen tersebut hasilnya akan pecah

  • – pecah.

  Tanah Liat

  Tanah Liat merupakan sumber utama senyawa silikat. Disamping itu, juga merupakan sumber senyawa

  • – senyawa penting lainnya seperti senyawa besi dan alumina. Dalam jumlah amat kecil kadang
  • – kadang juga didapati senyawa – senyawa alkali (Na dan K) yang dapat mempengaruhi mutu semen. Senyawa- senyawa tersebut diatas dalam tanah liat umumnya terdapat dalam bentuk kelompok-kelompok mineral, seperti :

  1. Kelompok kaolomit (Al

  2 O 3 .2SiO 2 .2H

  2 O) terdiri dari kaolinit, dickit,rakit dan alloysit.

  2. Kelompok montmorillonit terdiri dari :

  a) Montmorillonit (Al

  2 O 3 .4SiO 2 .H

  2 O + NH 2 )

3+

  b) Nontronit ( Na Fe

  2Si AlO (OH) O) )

  0.3

  3

  10

  2

  2

  • 4(H

  c) Saponit (2MgO. 3SiO

  2 . NH 2 )

  3. Kelompok illit (K

2 O. MgO. Al

  

2 O

3 . SiO 2 )

  Selain mineral-mineral tersebut diatas, dalam tanah liat sering dijumpai juga SiO

  2 bebas dalam bentuk kuarsa, kalsit, pirit dan lemonit.

  Bahan Baku Korektif

  Bahan Baku korektif adalah bahan baku yang dipakai hanya apabila pada pencampuran bahan baku utama komposisi oksida

  • – oksidanya belum memenuhi persyaratan secara kualitatif dan kuantitatif.

  Pada umumnya, bahan baku korektif yang digunakan mengandung oksida silika, oksida alumina dan oksida yang diperoleh dari pasir Silika (Sand), Tanah Liat (Clay), dan Pasir Besi/Iron ore/ pyrite cinder. Misalnya, kekurangan :

  1. CaO : bisa ditambahkan limestone, Marble (90% CaCO

  3 )

  2. Al O : bisa ditambahkan tanah liat

  2

  3

  3. SiO

  2 : bisa ditambahkan quartz dan sand

  4. Fe O : bisa ditambahkan pasir besi, pyrite

  2

  3 Pasir Silika biasa digunakan sebagai pengoreksi kadar SiO 2 yang rendah

  dalamtanah liat, sedangkan pasir besi digunakan sebagai pengoreksi kadar Fe

  2 O

  3 atau pengoreksi perbandingan antara Al O dan Fe O .

  2

  

3

  2

  3 Gypsum juga biasanya ditambahkan sebagai bahan tambahan setelah terbentuk klinker untuk mengatur waktu ikat / waktu pengerasan dari semen yang dihasilkan.

2.1.5 Fungsi Senyawa Kimia Dalam Bahan Baku

  Jika dinyatakan dalam bentuk oksidanya, ada 8 senyawa kimia penting yang terdapat dalam bentuk bahan baku. Senyawa kimia tersebut adalah sebagai berikut : 1.

   Oksida Kalsium (CaO)

  Sumber utama oksida kalsium adalah CaCO

  3 dalam batu kapur. Dalam

  proses semen CaO merupakan oksida terpenting, sebab disamping merupakan senyawa yang terbesar jumlahnya juga merupakan senyawa bereaksi dengan senyawa-senyawa silikat, aluminat dan besi membentuk senyawa-potensial penyusun senyawa semen. CaO dalam batu kapur tidak semuanya berikatan membentuk mineral potensial biasanya tidak berikatan dengan senyawa lain yang biasa disebut CaO bebas (free lime).

  2. 2 ) Oksida Silika (SiO

  Oksida Silika (SiO ) terutama diperoleh dari peruraian mineral-mineral

  2

  kelompok montmorillonit yang berasal dari tanah liat. Disamping itu juga SiO

  2

  bebas yang berasal dari pasir silika. Dalam semen, SiO

  2 selalu terdapat dalam keadaan berikatan dengan CaO.

  3.

2 O 3 ) Oksida Alumunium (Al

  Oksida Alumunium (Al

  2 O 3 ) juga terdapat di dalam tanah liat yaitu pada

  kelompok mineral nontronik, bersama CaO merupakan oksida pembentuk mineral potensial kalsium alumina, bersama CaO dan Fe O akan membentuk senyawa

  2

  3

  alumina ferri. Al

  2 O 3 berperan sebagai fluks (penurunan titik leleh) campuran bahan-bahan baku.

  4. O )

  2

  3 Oksida ferrum (Fe

  Oksida ferrum / besi (Fe

  2 O 3 ) juga terdapat dalam tanah liat yaitu dalam

  kelompok mineral kaolonit. Bersama-sama CaO dan Al O , Fe O akan bereaksi

  2

  3

  2

  3

  membentuk senyawa alumina ferrit. Selain berperan dalam reaksi pembentuk mineral potensial juga berperan sebagai fluks.

  5. Oksida Magnesium (MgO)

  Oksida magnesium (MgO) terutama diperoleh dari peruraian dolomite (CaCO3) kadang-kadang MgO bisa juga berasal dari mineral-mieneral tanah liat.

  MgO tidak berfungsi sebagai salah satu mineral potensial sebab dalam proses pembuatan semen, MgO tidak bereaksi dengan oksida-oksida lainnya. Peranannya hanya sebagai fluks dan pewarna semen.

  6. Oksida alkali (Na2O dan K2O)

  Oksida alkali umumnya berasal dari dekomposisi mineral-mineral tanah liat yaitu kelompok illit dan jumlahnya relative kecil. Oksida alkali bukan merupakan pembentuk mineral potensial tetapi sebagai fluks saja.

  7. Oksida belerang (SO3)

  Oksida belerang dalam semen terutama diperoleh dari penambahan senyawa CaSO

  4 .2H

  2 O. Selain itu ada juga SO 3 yag berasal dari bahan bakar yang

  digunakan dalam proses pembuatan semen. Senyawa oksida belerang sama sekali tidak berpengaruh dalam pembentukan mineral potensial penyusun semen, tetapi fungsinya terutama pada pemakaian semen.

  8. Oksida Fosfar (P2O5)

  Umumnya kandungan P2O5 pada semen tidak lebih dari 0,2%. Adanya P2O5dapat memperlambat pengerasan semen, karena turunnya kadar C3S dimana terbentuk P2O5 dan CaO. Kadar P2O5 yang tinggi dapat menyebabkan unsoundness karena terbentuknya kapur bebas pada P2O5 2,5%.

  Sedangkan senyawa

  • – senyawa utama semen (mineral – mineral potensial) yang menjadi penyusun semen adalah: 1.

3 S) Trikalsium Silikat (C

  Merupakan komponen penentu utama kekuatan awal semen. Hal ini disebabkan karena selain jumlah yang besar, reaksi hidrasinya juga berlangsung cepat. Pemuaian C S lebih kecil dibanding dengan C A tetapi lebih besar bila

  3

  3

  dibanding dengan C

4 AF. Panas Hidrasi yang ditimbulkan oleh C

  3 S adalah kedua

  terbesar setelah C A.

  3

  2. S)

  2 Dikalsium Silikat (C

  Merupakan Komponen penentu kekuatan akhir semen. Reaksi Hidrasinya yang lambat menyebabkan pengembangan kekuatan juga berlangsung lambat, yakni baru terlihat 28 hari setelah pengikatan. Seperti C

  3 S, C

  2 S juga tidak

  memberi pengaruh yang berarti pada pemuaian semen. Panas hidrasinya adalah yang terendah dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya.

  3.

3 A) Trikalsium Aluminat (C

  Merupakan komponen yang sangat menentukan ketahanan semen terhadap senyawa-senyawa sulfat. Makin rendah kadar C

  3 A dalam semen, makin tahan

  semen terhadap serangan sulfat. Reaksi hidrasi C

  3 A merupakan sumber panas terbesar diantara reaksi hidrasi senyawa-senyawa lainnya.

  4.

  4 AF) Tetrakalsium Aluminoferrit (C

  C AF hampir tidak berpengaruh terhadap kekuatan semen. Panas hidrasi

  4

  yasng ditimbulkan C

4 AF rendah, hanya sekitar 420 joule per gram.C

  4 AF

  merupakan komponen yang menentukan warna semen.Nilai C

  4 AF dapat dihitung

  menurut persamaan sebagai berikut: C

  4 AF = 3,043·Fe

  2 O

  3 Bentuk senyawa dan oksida yang ada dalam partikel semen dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Senyawa dan oksida dalam partikel semen

  (http://cnx.org/contents/1hULTvih@9/Chemical-Composition-of-Portla)

2.1.6 Proses Produksi Semen

  Ada beberapa jenis proses produksi semen, yaitu : 1.

   Proses Basah

  Pada proses ini, bahan baku dipecah kemudian dengan menambahkan air dalam jumlah tertentu serta dicampurkan dengan luluhan tanah liat. Bubur halus dengan kadar air 25-40% (slurry) dikalsinasi dalam tungku panjang (long rotary kiln ).

  2. Proses Semi Basah Pada proses ini penyediaan umpan tanur hampir sama seperti proses basah.

  Hanya saja disini umpan tanur disaring dulu dengan filter press. Filter cake dengan kadar 15- 25 % digunakan sebagai umpan tanur. Konsumsi panas pada proses ini sekitar 1000-1200 Kcal / Kg klinker.

  3. Proses Semi Kering

  Proses ini dikenal sebagai grate process dan merupakan transisi dari prosess basah dan proses kering dalam produksi semen. Pada proses ini umpan tanur disemprot dengan air oleh alat yang disebut granulator (pelletizer) untuk diubah menjadi granular atau nodule dengan kandungan air 10-12 % dan ukurannya 10-12 mm. Proses ini menggunakan tungku tegak (shaft kiln) atau long . Konsumsi panasnya sekitar 1000 Kcal / Kg klinker.

  rotary kiln 4.

   Proses Kering

  Pada proses ini bahan baku diolah (dihancurkan) di dalam Raw Mill dalam keadaan kering dan halus, dan hasil penggilingan (tepungbaku) dengan kadar air 0,5-1% dikalsinasi dalam rotari kiln. Proses ini menggunakan panas sekitar 1500-1900 Kcal /Kg kilnker.

  Proses yang kini banyak dipakai adalah proses kering karena efisiensi bahan bakarnya lebih tinggi.

  Proses produksi semen yang akan di bahas adalah proses produksi semen di PT Holcim Indonesia, Tbk. Pabrik Cilacap. Proses manufaktur ini terdiri dari beberapa tahapan :

  1. Penghancuran (crushing) bahan baku

  2. Penyimpanan dan pengumpanan bahan baku

  3. Penggilingan dan pengeringan bahan baku

  4. Pencampuran (blending) dan homegenisasi

  5. Pemanasan awal (pre-heating)

  6. Pembakaran (firing)

  7. Pendinginan (cooling)

  8. Penggilingan akhir (finish grinding)

  Skema proses produksi semen dapat dilihat pada gambar 2.2

  Quarry Stockpile Coal Mill Raw Mill Kiln (Pyro Process) Ball Mill Finish Grinding

Gambar 2.2 Skema proses produksi semen (CMC 2001)

  Tahap penghancuran / crushing bahan baku yang telah ditambang dari quarry (area tambang) dilakukan dengan alat berupa hammer crusher (untuk batu kapur) dan roller crusher (untuk tanah liat) sampai didapatkan ukuran yang lebih kecil (sekitar 50 mm). Hammer crusher memiliki struktur tipikal seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Bagan alat hammer crusher (CMC 2001) Bahan baku yang telah dihacurkan kemudian dikirim ke area stockpile untuk penyimpanan. Bahan baku kemudian diumpankan ke dalam penggilingan dengan takaran tertentu tergantung jenis bahan baku menggunakan alat berupa

  weight feeder . Di dalam alat penggiling bahan baku (Raw Mill) yang berupa vertical roller mill berkapasitas 600 ton per jam bahan baku digiling sampai

  menjadi tepung baku sambil dikeringkan menggunakan gas panas untuk mengurangi kandungan airnya. Tepung baku kemudian disaring dengan alat berupa cyclone dan electrostatic precipitator dari aliran gas. Bentuk umum alat penggiling berupa vertical roller mill dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Vertical roller mill dan bagian

  • – bagiannya (CMC 2001)
Setelah tersaring, tepung baku kemudian dimasukkan ke dalam blending

  silo untuk tahap blending dan homogenisasi agar komposisi kimianya menjadi

  seragam. Blending silo merupakan tempat penampungan tepung baku yang terbuat dari beton berupa silinder berkapasitas 2 x 20.000 Ton.

  Dari blending silo, tepung baku dimasukkan ke dalam alat pre-heater berupa cyclone (co-current heat exchange) dan pre-claciner (counter current heat

  

exchange ) untuk tahap pemanasan awal sebelum masuk ke rotary kiln (tanur

  putar). Ada 2 jalur pre-heater yang digunakan yaitu ILC (In Line Calciner) dan SLC (Separated Line Calciner). Pre-heater dan pre-calciner memanaskan tepung baku sampai suhu sekitar 800 °C.

  Proses selanjutnya yaitu proses pembakaran (firing) tepung baku dilakukan dalam rotary kiln / tanur putar berkapasitas 8000 ton per hari dengan diameter 5,6 m dan panjang 84 m. terbagi menjadi 4 bagian :

  Rotary kiln

  1. Daerah transisi (transition zone)

  2. Daerah pembakaran (burning zone)

  3. Daerah pelelehan (sintering zone)

  4. Daerah pendinginan (cooling zone) Di dalam rotary kiln terjadi proses kalsinasi hingga 100 % lalu terjadi proses sintering dan clinkering (pembentukan klinker). Klinker yang keluar dari

  rotary kiln memiliki suhu sekitar 1400 °C.

  Setelah dibakar di rotary kiln, klinker yang terbentuk kemudian didinginkan dengan alat pendingin (cooler) yaitu Grate cooler yang memiliki 9 kompartemen. Grate cooler terdiri dari plat-plat berlubang yang disusun di atas batang-batang baja yang digerakkan bolak-balik (reciprocating grate) untuk membawa klinker yang keluar dari rotary kiln. Dari bawah plate dialirkan udara dingin untuk menurunkan suhu klinker sampai sekitar 120 °C.Setelah didinginkan, klinker lalu dikurangi ukurannya dengan hammer crusher agar lebih mudah di proses. Klinker yang dihasilkan oleh rotary kiln disebut juga terak semen merupakan bahan setengah jadi dari semen yang masih perlu pengolahan tahap selanjutnya. Bagan proses di pre-heater dan kiln sampai cooler dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Bagan Proses di Pre-heater, Kiln dan Cooler (CMC 2001) Tahap terakhir dari proses produksi semen adalah tahap penggilingan akhir (finish grinding) untuk menghaluskan material klinker/ terak semen bersama dengan bahan lain berupa gypsum, additive (berupa limestone, pozzolan atau bahan lainnya). Peralatan yang digunakan dalam tahap ini yaitu pre-grinding

  system berupa vertical roller mill dan ball mill sebagai alat penggiling utama yang

  berdiameter 4,8 m dan memiliki panjang 13 m. Skema proses di tahap penggilingan akhir semen dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Skema proses tahap penggilingan akhir semen (CMC 2001)

  Ball mill yang terdapat di Pabrik Cilacap PT Holcim Indonesia Tbk,

  memiliki 2 kompartemen, kompartemen pertama berfungsi untuk menghancurkan klinker, gypsum dan material additive lainnya (pozzolan). Kompartemen 1 memiliki panjang 4 meter dan berisi bola-bola baja ukuran besar (diameter 50 mm

  • – 90 mm) dan pada sisi dalamnya ditempeli plat pengaduk / pengangkat (lifting
liner) agar bola baja bisa berjatuhan untuk menumbuk material. Sedangkan kompartemen kedua berfungsi untuk menghaluskan material hasil penggilingan di kompartemen 1, kompartemen 2 berdimensi panjang 9 meter dan berisi bola - bola ukuran kecil (diameter 17

  • – 40 mm). Detail alat Ball mill ditunjukan dalam gambar 2.7.

Gambar 2.7 Detail ball mill dan unit ball mill di PT Holcim Indonesia Tbk. Pabrik Cilacap

  (CMC 2001) Proses penumbukan dalam menggiling material di dalam ball mill digambarkan dalam gambar 2.8.

Gambar 2.8 Proses penggilingan material di dalam ball mill (CMC 2001)

  Pabrik Cilacap 2 PT Holcim Indonesia Tbk. memiliki 2 unit ball mill yang masing

  • – masing berkapasitas produksi 210 ton per jam. Operasi penggilingan di

  ball mill dikendalikan melalui layar di central control room (CCR). Gambar 2.9 menunjukan layar untuk pengendali operasi penggilingan.

  Pada penelitian ini akan dikaji proses penggilingan di tahap akhir / finish grinding dengan mencampurkan fly ash dengan semen hasil penggilingan ball mill. Di pabrik, fly ash dicampur dengan semen PPC (Portland pozzolan cement) pada titik keluar dari ball mill yang kemudian dibawa ke atas oleh bucket elevator lalu di aduk oleh turbulensi udara di separator sampai menjadi produk semen PCC (Portland Composite Cement) yang siap dikemas dan dipasarkan. Titik pencampuran fly ash dalam penggilingan akhir semen ditunjukan pada gambar

  2.10.

Gambar 2.9 Layar pada sistem kendali ball mill di Central Control RoomGambar 2.10 Layar pada sistem kendali ball mill yang menunjukan titik pencampuran

  

fly ash dengan semen (lingkaran merah)

Fly ash yang dicampurkan dengan semen PPC sebelumnya dibongkar dari

  truk pengangkut lalu di tampung dulu dalam bin berkapasitas 208 Ton (gambar 2.11) dan kemudian ditakar dengan menggunakan weight feeder dengan presentase 6-14 % dari umpan ball mill (gambar 2.12). Layar kendali weight

  feeder fly ash ditunjukkan pada gambar 2.13. Presentase ini yang akan dikaji korelasinya dengan kualitas semen PCC yang dihasilkan.

Gambar 2.11 Proses bongkar fly ash dari truk pengangkutGambar 2.12 Weight feeder untuk menakar fly ash sebelum dicampur dengan semenGambar 2.13 Layar kendali weight feeder fly ash

2.2 Fly Ash

  Ash

  atau abu sesuai yang tercantum dalam “Condensed Chemical

  Dictionary

  ” adalah serbuk abu yang sangat halus yang dihasilkan dari sisa pembakaran batubara bubuk. Bentuk fisik fly ash dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 2.14 Fly ash (Portland Cement Association) Kecenderungan dewasa ini akibat naiknya harga minyak diesel industri, maka banyak pembangkit listrik yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan steam (uap). Sisa hasil pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan fly ash dan bottom ash (5-10%).

  Presentase abu (fly ash dan bottom ash) yang dihasilkan adalah fly ash (80%- 90%) bottom ash (10%-20%).Pembakaran batubara akan menghasilkan abu, gas- gas oksida belerang (SOX), oksida nitrogen (NOX), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Proses produksi fly ash di system boiler dapat dilihat pada gambar 2.15.

Gambar 2.15 Diagram proses di system furnace yang menghasilkan fly ash

  (Portland Cement Association)

  Fly Ash merupakan campuran dari senyawa alumina, silika, karbon yang

  tidak terbakar dan bermacam-macam oksida logam. Fly ash adalah bagian dari sisa pembakaran batubara pada boiler pembangkit listrik tenaga uap yang berbentuk partikel halus amorf dan bersifat pozzolan, berarti abu tersebut dapat bereaksi dengan kapur pada suhu kamar dengan media air membentuk senyawa yang bersifat mengikat. Dengan adanya sifat pozzolan tersebut, fly ash mempunyai prospek untuk digunakan dalam berbagai keperluan bangunan. Komponen yang terkandung dalam fly ash bervariasi bergantung pada sumber batubara yang dibakar, tetapi semua fly ash mengandung SiO

  2 ,CaO, MgO dan

  secara kimia abu terbang merupakan material oksida anorganik mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Bersifat aktif yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain dalam kompositnya untuk membentuk material baru (mulite) yang tahan suhu tinggi.

  Sifat pozzolan fly ash digunakan untuk menghemat penggunaan klinker sehingga biaya produksi semen bisa dikurangi serta memanfaatkan sisa pembakaran batu bara bisa agar tidak dibuang langsung ke lingkungan. Partikel fly ash yang berbentuk spherical ditunjukkan pada gambar 2.16.

Gambar 2.16 Tampilan mikrografi partikel fly ash (Portland Cement Association)

  Abu terbang atau yang biasa kita sebut dengan fly ash terdiri dari unsur- unsur silikat dan atau aluminat yang reaktif. Komposisi kimia masing-masing jenis abu terbang sedikit berbeda dengan komposisi kimia semen. Fly ash mempunyai prospek untuk digunakan berbagai keperluan bangunan.

  Abu terbang sepertinya cukup baik untuk digunakan sebagai bahan ikat karena bahan penyusun utamanya adalah silikon dioksida (SiO2), alumunium

  (Al

  2 O 3 ) dan Ferrum oksida (Fe

  2 O 3 ). Oksida-oksida tersebut dapat bereaksi dengan

  kapur bebas yang dilepaskan semen ketika bereaksi dengan air. Clarence (1966: 24) menjelaskan dengan pemakaian abu terbang sebesar 20

  • – 30% terhadap berat semen maka jumlah semen akan berkurang secara signifikan dan dapat menambah kuat tekan beton. Pengurangan jumlah semen akan menurunkan biaya material sehingga efisiensi dapat ditingkatkan.

  Secara fisik sifat-sifat fly ash adalah :

  • kehalusannya tinggi
  • bentuk butir bulat
  • tidak porous

  Fly ash juga mengandung racun-racun lingkungan dalam jumlah yang

  banyak, termasuk arsenik (43,4 ppm); barium (806 ppm); berilium (5 ppm); boron (311 ppm); kadmium (3,4 ppm); kromium (136 ppm); krom VI ( 90 ppm); kobalt (35,9 ppm); tembaga (112 ppm); fluor (29 ppm); mangan (250 ppm); nikel (77,6 ppm); selenium (7,7 ppm); strontium (775 ppm ); talium (9 ppm); vanadium (252 ppm), dan seng (178 ppm)

  Dengan sifat dan karakteristik dari fly ash batubara, maka fly ash dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti:

  • Fly ash clay brick
  • Konstituen dalam semen Portland  Pengganti semen dalam concrete
  • Pengganti semen dalam produk concrete
  • Sebagai pozolan dalam Semen Portland Pozolan

  • Sebagai pozolan dalam stabilisasi tanah (soil stabilization)
  • Sebagai grouping agent dalam Oil Well CementRaw Material untuk ligthweight agregate
  • Filler dalam aspalt paving
  • Sebagai pengisi untuk land development atau compacted embankments
  • Lain-lain, yaitu, absorbent pada oil spilt (silicone-coated), pengganti

  lime untuk scrubbing sulfur dari flue gas, sebagai filler dalam plastik, katalis untuk liquifaction batubara dan lain-lain.

  Dalam ASTM C618-96 volume 04.02 fly ash dikategorikan menjadi 3 dan pembagiannya dapat dilihat dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kategori fly ash dan sifat-sifat kimianya (Ratmaya Urip, 2003)

2.3 Kehalusan Semen

  Penggilingan campuran klinker dan gypsum menjadi partikel halus, dimaksudkan untuk mendapatkan sifat

  • – sifat semen yang diperlukan atau disyaratkan. Kehalusan material setelah keluar dari cement mill umumnya dilakukan dengan memantau luas spesifik permukaan material (spesific surface).
Proses hidrasi dari semen diawali dari permukaan partikel semen, semakin besar luas permukaan specific dari semen akan meningkatkan kecepatan hidrasi yang pada akhirnya akan mempercepat proses pengikatan dan pengerasan semen.

  Dalam industri semen untuk mempercepat proses hidrasi dan meningkatkan perkembangan kuat tekan dari produk semen, maka pada umumnya dilakukan dengan menggiling lebih halus. Cara cara ini biasanya dipilih jika dari satu macam jenis klinker akan digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan semen dengan beberapa klasifikasi kuat tekan, sehingga akan dihasilkan dengan kehalusan yang berbeda beda.

  Namun dengan memprodukasi semen dengan menggrinding ekstra halus yang bertujuan untuk menaikkan kuat tekan menjadi tidak ekonomis lagi, sebab dengan semen yang ekstra halus hanya efisien menaikkan kuat tekan pada umur umur awal saja , sedang energi yang diperlukan untuk mengrinding berkisar ½ dari konsumsi total yang dibutuhkan pabrik semen.

  Pengujian Luas permukaan (spesific Surface) dilakukan dengan menggunakan alat Blaine Air Permeability oleh sebeb itu maka kahalusan semen lebih dikenal dengan Blaine.

  Nilai kehalusan (Blaine) dihitung dari permeability udara terhadap sample semen yang dipadatkan pada kondisi tertentu. Biasanya hambatan/tahanan terhadap aliran udara pada sample semen yang dipadatkan tergantung dari permukaan spesifiknya. Semakin besar nilai hambatannya akan menunjukkan semakin besarnya luas permukaan spesifik dari semen, demikian pula sebaliknya.

  Satuan dari kehalusan semen Portland dinyatakan dalam cm2/gram atau m2/kg. Ini dapat juga diartikan sebagai jumlah luas muka total dibagi dengan berat sample.

  Pengertian dari satuaan blaine cm2/gram adalah setiap gram semen apabila ditebar diatas permukaan yang rata maka akan membentuk luasan seluas 1 cm

2.4 Kuat Tekan Semen

  Kekuatan tekan mortar semen Portland adalah gaya maksimum per satuan luas yang bekerja ada benda uji mortar semen Portland berbentuk kubus dengan ukuran tertentu serta berumur tertentu.

  Gaya maksimum adalah gaya yang bekerja pada saat benda uji kubus pecah. Mortar semen Portland adalah campuran antara pasir kwarsa, air suling dan semen Portland dengan komposisi tertentu. Pasir kwarsa adalah pasir yang mengandung mineral silika > 90%, serta memenuhi persyartan standar ASTM No.C 190; 5. Air suling adalah air yang diperoleh dari hasil proses penyulingan air.

  Benda uji yang digunakan berbentuk kubus dengan ukuran sisi 5 cm dibuat dan mortar campuran semen Portland, pasir kwarsa, dan air suling dengan komposisi tertentu.

  Kuat tekan semen salah satunya ditentukan oleh komponen penyusun, terutama oleh kalsium silikat. Pada pengembangan kuat tekan awal (misalnya sampai umur 28 hari), didominasi oleh hidrasi C

  3 S yang didukung oleh C

  3 A.

  Untuk C

  2 S dan C

  4 AF akan memberikan kontribusi terhadap kuat tekan untuk umur yang lebih lama. Selain itu yang mempengaruhi pengembangan kuat tekan adalah kehalusan semen terhadap pengembangan kuat tekan.

  Secara umum dapat dikatakan bahwa pengembangan kuat tekan semen berasal dari pengembangan kuat tekan masing

  • – masing komponen penyusun semen. Secara statistik, kuat tekan semen dapat diperkirakan dengan mencari persamaan hubungan antara variabel yang berpengaruh terhadap kuat tekan semen dengan regresi linear variabel yaitu:

  P = a(C

  3 S) + b(C

  2 S) + c(C

  

3

A) + d(C 4 AF) + e(FCaO) + .......

  Dengan : P = kuat tekan a,b,c,.... = konstanta regresi multi variabel C

3 S,C

  2 S,... = Fraksi Komponen

2.5 Hidrasi Semen

  Ketika digunakan, semen akan dicampur air dan pada saat itulah terjadi reaksi hidrasi senyawa dalam semen yang berlangsung ke arah luar dan dalam inti.

  Hasil hidrasi mengendap di luar dan di bagian dalam belum mengendap. Produk hidrasi lalu menyelimuti inti senyawa C

  3 S dan menghalangi masuknya air ke

  dalam inti. Lalu air berusaha masuk dengan proases difusi. Selama proses itu tidak terjadi hidrasi sehingga semen tetap plastis. Setelah beberapa saat air bisa masuk ke inti dan terjadi hidrasi lagi dan kemudian senyawa hasil hidrasi membentuk rangkaian senyawa tiga dimensi dan saling melekat secara random untuk mengisi ruangan yang tadinya diisi air dan menjadi kaku lalu mengeras.

  Reaksi yang terjadi saat hidrasi semen yaitu :

  2C

  3 S + 6H

  2 O ==> C

  3 S

  2 H 3 + 3Ca (OH) 2 + energi panas

  2C

  2 S + 4H

  2 O ==> C

  3 S

  2 H 3 + Ca (OH) 2 + energi panas

  Persenyawaan air dengan semen akan menghasilkan panas yang mempercepat proses hidrasi namun setelah terjadi pengerasan bagian yang telah mengeras menyalurkan panas dengan lambat.

2.6 Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian tentang fly ash dan semen telah dilakukan sebelumnya dan telah dipublikasikan dalam bentuk karya tulis ataupun jurnal. Potensi penggunaan fly ash untuk material cementitious pelengkap dalam beton sudah dikenal sejak awal abad 19 (Anon, 1914). Dalam sejarahnya penggunaan fly ash dalam beton menggunakan fly ash sebanyak 15 – 25% dari berat bahan semen. Jumlah sebenarnya fly ash yang dicampurkan bervariasi tergantung pada penggunaannya, sifat fly ash itu sendiri, batasan spesifikasi, lokasi geografis dan iklim. Level dosis yang lebih tinggi (30

  • – 50%) telah dipakai pada struktur yang masif (besar sekali) seperti pada pondasi dan bendungan untuk mengendalikan kenaikan suhu. Dalam beberapa dekade ini beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dosis tinggi dari fly ash (40
  • – 60%) telah diterapkan dalam penggunaan struktural dan menghasilkan beton dengan sifat mekanis yang baik dan ketahanan yang bagus (Marceau, 2000)

  Dalam Jurnal Teknik Sipil & Perencanaan Nomor 2 Volume 10

  • – Juli 2008 terdapat hasil penelitian dosen Program Studi Sipil Fakultas Sains dan
Teknik Universitas Jenderal Soedirman, Bapak Agus Maryoto. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh abu terbang (fly ash) terhadap kuat tekan dan efisiensi biaya pada pasangan batu dan plesteran (mortar). Benda uji kaut tekan berbentuk kubus ukuran 50 mm x 50 mm x 50 mm. Pengujian kuat tekan dilakukan pada saat mortar berumur 7 dan 28 hari dengan kadar penambahan fly

  ash sebesar 30 %, 40 % dan 50 %. Perbandingan semen dan pasir yang digunakan

  adalah 1 : 6, 1 : 8 dan 1:10. Hasil penelitian menunjukkan kuat tekan mortar dengan perbandingan semen dan pasir sebesar 1 : 6 memenuhi kuat tekan standar mortar tipe N. Mortar dengan perbandingan semen : pasir = 1 : 8 dan 1 : 10 tidak memenuhi standar kuat tekan standar mortar tipe N. Mortar dengan perbandingan semen dan pasir = 1 : 6 dengan kadar fly ash 50 % mempunyai efisiensi biaya Rp 58.030,- atau sekitar 32% dari harga mortar tanpa fly ash.

  Mahasiswa Laboratorium Kimia Analitik, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas (Gifyul Refnita, Zamzibar Zuki, Yulizar Yusuf) juga pernah melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan abu terbang (fly ash) terhadap kuat tekan mortar semen tipe PCC serta analisis air laut yang digunakan untuk perendaman yang dimuat pada Jurnal Kimia UNAND, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2012. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kuat tekan mortar semakin naik dengan bertambahnya umur mortar tersebut dan tertinggi pada umur 28 hari.

  Kekuatan tekan mortar semakin menurun dengan ditingkatkannya persentase penambahan bahan aditif fly ash. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan yang menyatakan bahwa abu terbang (fly ash) dinilai dapat meningkatkan kualitas beton dalam hal kekuatan, kekedapan air, ketahanan terhadap sulfat dan kemudahan dalam pengerjaan (workability) beton/mortar. Pendapat lain yang juga bertentangan dengan hasil penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan abu terbang (fly ash) sebagai bahan bangunan yang paling baik adalah 20%-30%. Sedangkan pada penelitian ini penambahan abu terbang (fly ash) paling besar hanya 6% dan itu telah menyebabkan kuat tekan mortar menurun. Kemungkinan lain yang menyebabkan turunnya kuat tekan mortar dengan penambahan fly ash adalah karena laju kenaikan kuat tekan dengan bahan ikat fly ash dan semen bersifat lambat sebab ia bersifat pozolan. Kapur sebagai bahan ikat hidrolik memiliki butiran yang terlalu besar sehingga tidak mampu bereaksi dengan abu terbang (fly ash), sedangkan yang mampu bereaksi dengan

  fly ash adalah kapur bebas yang merupakan hasil sampingan dari reaksi hidrasi

  semen. Kenaikan kuat tekan mortar kemungkinan akan bertambah seiring dengan umur mortar yang semakin bertambah setelah 28 hari keatas, sementara penelitian ini hanya sampai pada umur mortar 28 hari. Kemungkinan ini didukung oleh pernyataan yang menyatakan bahwa kuat tekan beton dengan bahan tambah fly

  ash mengalami peningkatan yang lambat dan baru mencapai kuat tekan optimal

  pada umur 90 hari. Hal ini terjadi karena kalsium silikat hidrat (C-S-H) yang dihasilkan melalui reaksi pozolanik akan bertambah keras dan kuat seiring berjalannya waktu. Menurunnya kuat tekan mortar dengan penambahan fly ash juga disebabkan oleh pengaruh perendaman dalam air laut, namun pengaruh ini tidak terlalu besar karena mortar yang direndam dalam akuades pun mengalami penurunan kuat tekan.

  Pengaruh penambahan fly ash terhadap kualitas semen juga pernah diteliti dalam tugas akhir mahasiswi Teknik Industri Program Diploma (D3) Fakultas Teknik dan Sains Universitas Jenderal Soedirman, Lucia Sri Rudatin pada tahun 2010. Dalam penelitian itu, kadar fly ash yang dicampurkan dengan semen jenis OPC bervariasi dari 2