SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX

SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX

   

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

     

   

  Oleh:

  Agus Budi Purwanto

  NIM : 044314005 NIRM :

   

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

HALAMAN PERSEMBAHAN

  untuk Langit

  

ABSTRAK

Agus Budi Purwanto

  UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Skripsi yang berjudul ”Samin dan Kehutanan Abad XIX” ini beranjak dari tiga permasalahan. Pertama, nilai-nilai yang diperjuangkan Samin terhadap hutan. Kedua, hambatan serta tekanan yang muncul atas pelaksanaan nilai-nilai tersebut. Ketiga, kausalitas perlawanan Samin terhadap pemerintah Belanda. Dalam meneliti masalah-masalah tersebut, skripsi ini menggunakan teori perkembangan kebudayaan milik Arnold J. Toynbee, di mana perkembangan kebudayaan ditentukan pada tanggapan (response) atas tantangan (challenge) yang diterima oleh entitas masyarakat tertentu.

  Penelitian tentang gerakan Samin Surosentiko pada akhir abad XIX serta awal abad XX di dominasi oleh penjelasan tentang perlawanan tanpa kekerasan. Selain itu, penelitian yang ada mengindikasikan penempatan faktor ekonomi, sosial, dan politik sebagai kausalitas determinan. Ketiga kausalitas tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa gerakan Samin pada akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Padahal, secara historis, perlawanan Samin dimulai oleh dua isu utama yakni kehutanan dan perpajakan. Penjelasan sejarah pada isu pertama yakni hubungan Samin dengan kehutanan jarang sekali diteliti. Di sisi lain, nilai-nilai spiritual Samin yang disandarkan pada ajaran agama Adam terabaikan begitu saja dari panggung perdebatan kausalitas.

  Gerakan Samin pada abad XIX menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan Samin meliputi ketuhanan, etika kehidupan, etika politik, pengetahuan bertani, dan cara pandang terhadap hutan. Sistem pengetahuan tentang pertanian bertumpu pada penghargaan yang tinggi atas peran manusia dalam mengubah alam menjadi pangan. Selain itu, tanah Jawa termasuk hutan di dalamnya adalah ciptaan Tuhan yang dititipkan Pandawa kepada orang Jawa.

  

Kedua, Sejarah pengelolaan hutan Jawa sejak era Daendels hingga munculnya

  peraturan kehutanan 1865 dan Undang-Undang Agraria 1870 ternyata semakin memperjelas pembatasan interaksi alami antara Samin dengan hutannya. Ketiga, Gerakan Samin muncul karena nilai-nilai kehidupan Samin atas hutan mendapat penetrasi dari Belanda.

  Kata kunci: Agama Adam, Gerakan Samin, Sejarah Sosial

  

ABSTRACT

Agus Budi Purwanto

  SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA The title of this thesis is “Samin dan Kehutanan Abad XIX” (Samin and

  Forestry in XIX Century) embarks from three issues. First, values regarding forestry that Samin fought for. Second, obstacle and pressure against Samin’s values. Third, the causality of Samin resistance against Dutch colonial government. In researching those issues, this thesis will employ Arnold J. Toynbee’s growth of civilizations theory where the progress of civilizations will be determined by the challenge on and the response of a certain community entity.

  The Samin Surosentiko’s movement by the end of XIX and early XX century showed that they movement dominated by non-violence resistance explanations. Apart from those explanations, the existing researches indicate that economy, social, and political factors were the determinant causalities. These three causalities lead us to the conclusion that Samin movement was a form of resistance against Dutch colonial government at that time. However, historically, Samin resistance was sparked by two main issues, eg. forestry and taxation. Historical explanation on the first issue, the relationship between Samin movement and forestry, is rarely discussed. On the other hand, Samin’s spiritual values—based on Adam religion teaching—are also frequently ignored from causalities discussion.

  The Samin’s Movement at XIX century showed the values they fight for are religiosity, ethics of life, political ethics, farming knowledge, and forest point of view. The knowledge systems of farming based on their high appreciation for human being role in altering nature become food. On the other hand, the Java land, inclusive of forest in it is Entrusted by God creation of Pandawa to Javanese. Second, the history of management of Java Forest since Daendels’s era till appearance of Forestry Regulation 1865 and Agraria’s Law 1870 really progressively clarify interaction demarcation experience of among Samin with his forest. Third, the Samin’s Movement emerges since values of life Samin for forest get penetration by Dutch.

  Keywords: Adam Religion, Samin Movement, Social History

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Agus Budi Purwanto Nomor Mahasiswa : 044314005

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

“SAMIN DAN KEHUTANAN ABAD XIX”

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pengakalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 13 Juli 2009 Yang menyatakan Agus Budi Purwanto

KATA PENGANTAR

  Akhir bulan Mei yang lalu, saya dipertemukan dengan Mokhamad Sobirin (28 tahun), seorang teman aktivis penolakan pabrik semen Sukolilo, Pati. Kami

  indonesiana

  berdialog kurang lebih empat jam di ruang , Pusat Studi Sejarah Indonesia USD. Dalam obrolan tersebut, saya bertanya; apakah sedulur sikep di Sukolilo saat ini memiliki interaksi dengan hutan? Jawaban dia: ”Tidak, selain hutan berada agak jauh dari pemukiman, interaksi dengan hutan memang tidak pernah terpikirkan”. Begitulah gambaran masyarakat pengikut Samin saat ini. Kendati hal tersebut tidak otomatis berlaku pada pengikut Samin di daerah lain (Bojonegoro, Blora, Randublatung, sebagian Pati, Grobogan).

  Saya menduga ada keterputusan sejarah antara pengikut Samin dan Hutan. Padahal kalau ditilik dari catatan sejarah, gerakan tersebut disandarkan pada dua tantangan (Challenge) jaman; (1) pembatasan akses terhadap hutan dan (2) peningkatan beban rakyat atas pajak. Narasi ilmu-ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi terhadap gerakan Samin cenderung didominasi oleh pernyataan kedua, bahwa pengikut Samin menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Selain itu, pengikut Samin kontemporer dikatakan hanya memiliki keterkaitan dengan sawah milik dengan segala kearifan pengolahannya. Hal ini menjadi jelas, ketika pengikut Samin tidak menyepakati bahwa panen raya kayu Jati tahun 1998 silam serta ”pencurian kayu” secara endemik pada era orde baru, bukanlah bagian dari gerakan mereka.

  Skripsi ini bukan pertama-tama untuk membenarkan peristiwa ”panen raya” dan ”pencurian kayu” tersebut merupakan bagian dari gerakan Samin. Skripsi ini memberikan deskripsi historis, bahwa ”pencurian kayu” tersebut tidak semata-mata diakibatkan oleh carut marutnya kondisi politik di akhir abad XX tersebut (reformasi). Bahwa perjalanan panjang pembatasan akses antara pengikut Samin serta masyarakat sekitar hutan terhadap hutan menjadi ihwal yang tidak bisa diabaikan. Bahwa terdapat cara pandang Samin yang menyatakan bahwa semua orang harus terpenuhi kebutuhannya atas tanah, air, dan kayu. Menjadi kontekstual, jika penjelasan gerakan Samin awal (abad XIX) menyertakan penetrasi peraturan-peraturan kehutanan kolonial. Menjadi tidak kontekstual jika penjelasannya tidak memperhatikan nilai-nilai spritualitas yang dianut Samin dan pengikutnya. Jika gerakan ini disebut sebagai sebuah perlawanan pedesaan, maka menjadi kewajiban sejarah untuk menjelaskan: dengan ”senjata” apa Samin dan pengikutnya melakukan perlawanan? Skripsi ini menyebut bahwa senjata itu bernama agama Adam.

  Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan tulus serta ucapan terima kasih saya sampaikan kepada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., dosen sekaligus kaprodi saya; Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum., dosen sekaligus pembimbing skripsi saya, Drs. Ign.

  Sandiwan Suharso, dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. H. Purwanta, M.A., dosen sekaligus guru saya, Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ., dosen sekaligus peneliti kesukaan saya, Dr. Anton Haryono, dosen sekaligus penulis kegemaran saya, Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, Prof. Dr. P.J Suwarno,

  S.H, Drs. Manu Jayaatmaja, M.A., dan mendiang Drs. G. Moedjanto, M.A., sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas jerih payahnya berjuang mengajak kami untuk terus menjelaskan sendi-sendi masa lampau. Seandainya skripsi ini layak disebut sebagai karya ilmiah, maka ijinkan saya mengatakan bahwa keilmiahan tersebut tidak lain berkat cara bapak ibu dosen mengajar kepada saya dan teman- teman selama ini. Namun, jika skripsi ini jauh dari standar sebuah karya ilmiah, maka polemik dalam skripsi ini adalah bagian dari dinamika pergulatan keilmuan sejarah di jurusan sejarah Universitas Sanata Dharma, setidaknya bagi saya pribadi.

  Kepada sahabat saya Ratu, Nana, Sempal, Kaka, B, A-win, terima kasih atas persahabatan yang mengagumkan. Kepada A-win, cepat berikan piala itu, agar dada ini melega serta perahu kecilku dapat berlayar dengan awak penuh. Kepada keluarga besar ARuPA, Jampes, Gondi, Adin, dr. Erna, Sugeng, Surya, Rama, Sandy, Fitri, Evi, Nanda, Hohok, Irak, Sulist, Dudung, Om Pay, Udin, Totok dan lain-lain, saya mengucapkan terima kasih atas perlindungan selama 5 tahun di Jogja. Kepada Romo Bask, Edward Wirawan, Fransisca Titin, dkk, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya. Tanpa pihak-pihak tersebut, skripsi ini belum tentu seperti ini adanya. Mohon maaf tidak semua dapat saya sebutkan satu persatu. Dan akhirnya kepada semua pihak saya mengucapkan terima kasih.

  Keluargaku, Siti Umaiyah dan Namas Gema Langit, tidak hanya ini yang akan saya berikan kepada kalian. Kepada bopo biyung, dalem nyuwun

  pangapunten. Alhamdulillah, IKHLAS.

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………... v ABSTRAK …………………………………………………………………... vi ABSTRACT ……………………………………………………………......... vii KATA PENGANTAR ……………………………………………………...... ix DAFTAR ISI ……………………………………………………………….... xii

  1

  BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….

  1.1

  1 Latar Belakang …………………………………………………..

  1.2

  8 Rumusan Masalah ……………………………………………….

  1.3

  8 Tujuan Penelitian ………………………………………………...

  1.4

  9 Manfaat Penelitian ……………………………………………….

  1.5

  10 Teori dan Metode Penelitian …………………………………….

  1.6

  15 Tinjauan Pustaka ………………………………………………...

  1.7

  18 Sistematika Penulisan ……………………………………………

  20

  BAB II IDENTITAS SAMIN DAN PENGIKUTNYA ………………….

  2.1

  24 Agama Adam .……………………………………………………

  2.1.1

  24 Kebertuhanan ……………………….……………………

  2.1.2

  29 Angger-Angger …………………………………………..

  2.1.3

  30 Definisi Negara ………………………………………….

  2.2

  34 Sistem Agraria …………………………………………………..

  2.2.1

  33 Tanah Pertanian ………………………………………….

  2.2.2

  40 Hutan …………………………………………………….

  45

  BAB III PENETRASI KOLONIAL ABAD XIX ………………………..

  3.1

  45 Sejarah Kolonialisme Belanda di Jawa ………………………….

  3.2

  53 Politik Kehutanan Belanda di Jawa ……………………………..

  3.2.1

  55 Masa VOC ………………………………………………..

  3.2.2

  57 Masa Daendels …………………………………………...

  3.2.3

  63 Masa Raffles ……………………………………………..

  3.2.4

  67 Masa Tanam Paksa ……………………………………….

  3.2.5

  69 Seputar Reglemen Kehutanan dan Domein Verklaring …..

  74

  BAB IV GERAKAN SAMIN DAN KAUSALITASNYA ……………….

  4.1

  74 Selayang Pandang Samin Surosentiko …………………………..

  4.2

  78 Gerakan Tanpa Kekerasan ……………………………………….

  4.3

  92 Perdebatan Kausalitas Gerakan Samin …………………………..

  BAB V PENUTUP

  ………………………………………………………… 100

  5.1 100

  Kesimpulan ………………………………………………………

  5.2 104 Catatan Kritis …………………………………………………….

  5.3 106 Rekomendasi …………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

  ………………………………………………………. 108

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Harmonisasi kehidupan pedesaan di Jawa dibangun oleh masyarakat pendukungnya dengan sistem sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial kebudayaan. Sistem sosial politik dalam masyarakat pedesaan misalnya dapat dilihat melalui hubungan antara masyarakat dengan kepala desa. Oleh masyarakat,

  1

  kepala desa dianggap sebagai bapak dari seluruh warga desa. Sistem ekonomi subsisten berupa pertanian dan perladangan merupakan kearifan ekonomi sekaligus ekologi masyarakat pedesaan. Demikian halnya dengan perangkat sosial budaya yang diwujudkan melalui beberapa tradisi penghormatan terhadap leluhur.

  2 Munculnya perlawanan pedesaan pada abad XIX di Jawa disebabkan oleh

  represi dari pemerintah kolonial terhadap sistem kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini dapat dilihat misalnya pada perlawanan Pangeran Diponegoro tahun 1825- 1830 dan pemberontakan petani di Cilegon Banten tahun 1888.

                                                              

  1 Dalam konteks yang lebih luas, hubungan rakyat dan penguasa dapat

  dilihat dalam konsep kawulo-gusti di mana raja merupakan pusaran utama dari kekuatan keseimbangan kehidupan. Menghormati raja tidak semata-mata sebagai sebuah bentuk kesetiaan struktural, lebih dari itu, kesetiaan tersebut sebagai bentuk pengabdian yang bermaksud menjaga keseimbangan kehidupan.

  2 Istilah perlawanan pedesaan tidak semata-tama menunjuk pada konteks

  kewilayahan (pedesaan), namun pertama-tama untuk menghindari perdebatan perihal aktor dan pemimpin perlawanan pedesaan di Jawa abad XIX yang terkesan serba tunggal. Perlawanan pedesaan itu sendiri pada dasarnya untuk memberikan pengertian sebuah perlawanan yang multi-aktor. Perlawanan pedesaan sekaligus sebagai bantahan atas kesan perlawanan sosial yang dilakukan semata-mata oleh petani pedesaan.

   

  Perlawanan Pangeran Diponegoro merupakan implikasi atas terganggunya kepentingan keluarga Pangeran Diponegoro berikut pengikutnya, terutama terkait dengan kepercayaan terhadap makam leluhur. Proyek pembangunan Jalan Yogyakarta-Magelang yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial pada waktu itu telah bersinggungan dengan kepercayaan muslim Jawa yang sangat menghormati

  3 makam leluhur.

  Adapun contoh peristiwa yang lain misalnya geger Cilegon atau lebih dikenal dengan pemberontakan petani Banten tahun 1888. Menurut Sartono Kartodirdjo, pemberontakan ini merupakan ekspresi atas rasa ketersingkiran yang dialami oleh masyarakat Banten. Selain itu, pemberontakan ini merupakan

  4

  perwujudan dari nativisme yang berhubungan dengan dua hal: kerinduan akan kejayaan Kasunanan Banten di masa lalu serta kuatnya kohesivitas penduduk

  5 yang disandarkan pada nilai serta tokoh-tokoh keagamaan.

  Berbeda dengan perlawanan Diponegoro dan perlawanan masyarakat Banten, perlawanan Samin oleh van der Kroef dikategorikan tersendiri di antara

  6

  lima gagasan mileniarisme. Kategorisasi khusus atas perlawanan Samin

                                                              

  3 Dalam tradisi Jawa, penghormatan terhadap orang tua atau leluhur sangat

  menjadi perhatian utama. Makam adalah tempat di mana leluhur bersemayam dan merawat serta menjaganya adalah kewajiban keturunan yang ditinggalkan.

  4 Kerinduan terhadap kejayaan masa lalu.

  5 Sartono Kartodirdjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, serta Kelanjutannya . Pustaka Jaya. Jakarta.

  6 Gagasan Milenari adalah harapan akan datangnya pemimpin yang adil

  serta sebuah sistem kenegaraan yang adil yang dapat membuat ketrentraman serta kemakmuran. Kelima kategori gagasan milenari menurut van de Kroef adalah; (1)

   

  dimungkinkan karena perlawanan Samin memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh perlawanan yang lain. Secara umum, perlawanan Samin dapat dikategorikan sebagai perlawanan tanpa menggunakan kekerasan, sebagaimana yang dipergunakan oleh Gandhi (1869-1948) di India. Demikian, ciri khusus tersebut sangat berkait erat dengan nilai-nilai yang menjadi acuan hidup masyarakat Samin.

  Perlawanan Samin tergolong sebagai reaksi sosial atas intervensi pemerintah kolonial dalam sistem kehidupan masyarakat pinggir hutan. Tekanan- tekanan dari pemerintah kolonial berupa kerja wajib serta kenaikan pajak merupakan salah satu faktor pendorong perlawanan masyarakat pinggir hutan.

  Selain itu, hilangnya sumber-sumber daya ekonomi sekunder, seperti misalnya pembatasan untuk memanfaatkan hutan, juga merupakan faktor yang cukup berpengaruh.

  Keunikan dari perlawanan Samin yakni penggunaan cara-cara perlawanan yang tidak lazim serta tidak memakai kekerasan. Ketidaklaziman tersebut misalnya dapat dilihat pada penggunaan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) untuk berbicara dengan siapapun tanpa memperdulikan struktur sosial politik, termasuk ketika berbicara dengan petugas pengaman hutan. Selain itu, masyarakat Samin juga mengabaikan aturan-aturan kehutanan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dengan bentuk “pencurian kayu”. Kendati demikian, “pencurian kayu” sebagai sebuah bentuk perlawanan dapat dipertanyakan logika historisnya,

  

                                                                                                                                                                   

Mahdi

  (4) gerakan Samin dan Samat, (5) aliran-aliran mesianik di Indonesia yang

   

  mengingat jauh-jauh hari masyarakat Samin telah terbiasa memanfaatkan kayu di hutan sebelum larangan-larangan pemerintah Hindia Belanda ada.

  “Timbulnya istilah ‘pencurian kayu’ itu sendiri sebenarnya merupakan istilah asing bagi penduduk, karena mengambil kayu di hutan itu adalah hak setiap orang. Maka istilah pencurian kayu sebagai jargon politik pemerintah kolonial tidak dapat dipahami oleh penduduk. Sebaliknya, justru pemerintah kolonial dianggap telah merampas hak-hak penduduk

  7

  atas hutan.” Tradisi Samin dan pengikutnya dalam memanfaatkan kayu di hutan sulit dibendung oleh petugas pengaman hutan. Selain karena keterbatasan jumlah tenaga pengaman hutan, perlawanan yang dilakukan bersifat laten, dilakukan sehari-hari, dan tanpa kekerasan (tanpa konfrontasi fisik). Model perlawanan seperti ini sangat sukar diselesaikan, terutama dengan struktur pengamanan yang cenderung represif, teroganisir, dan temporal oleh negara atau institusi penguasa yang lain. Menjadi jelas kiranya, ketika Jawatan Kehutanan era Daendels menerapkan sanksi-sanksi penjara terhadap penebang kayu tanpa ijin, tidak mampu meredam atau menurunkan jumlah kasus pencurian kayu. Tidak mengherankan pula ketika perlawanan masyarakat sekitar hutan masih dapat kita

  8 temukan hingga saat ini di Jawa.

  Menurut Suripan Sadi Hutomo, Samin dan para pengikutnya mengidentifikasikan diri sebagai penganut Agama Adam atau The Religion of

  Adam

  , sebuah agama kawitan (baca: permulaan) yang mengutamakan hubungan baik dengan Alam dan hubungan bagi antar sesama manusia. Kitab sebagai

                                                              

  7 Warto. 2001. Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad ke-19 . Pustaka Cakra. Surakarta., hlm. 54.

  8 Lihat Hery Santoso. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Konteks Harian Masyarakat sekitar Hutan

   

  pedoman agama ini adalah Jamuskalimasada yang terdiri dari 5 buku: Serat

  Punjer Kawitan

  , Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati

9 Sawit

  , dan Serat Lampahing Urip. Pada lima serat inilah perjalanan spiritualitas Samin dan pengikutnya disandarkan. Manifestasi agama Adam terlihat dalam prinsip hidup sehari-hari. Dalam hubungan sosialnya, Samin menganggap semua 10 orang adalah saudara, sinten mawon kulo aku sedulur. Sedangkan terhadap alam, mereka memiliki prinsip lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe, artinya tanah, air, dan kayu menjadi milik bersama.

  Samin Surosentiko yang dilahirkan di Ploso Kediren, Randublatung, Blora pada tahun 1859, memiliki empat saudara, semuanya laki-laki (layaknya Pandawa dalam kisah pewayangan). Ayahnya bernama Raden Sorowijaya atau dikenal juga dengan Samin Sepuh yang bekerja sebagai bromocorah (perampok) untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin dari daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Samin sepuh merupakan anak dari seorang adipati (bupati) dari daerah Sumoroto (Tulungagung). Nama Samin kecil adalah Raden Kohar. Nama tersebut kemudian diubah menjadi Samin Surosentiko atau Samin Surontiko agar terlihat merakyat.

  Para pengikutnya sering menyebutnya dengan Kyai Samin Surontiko atau Kyai Samin Surosentiko.

  Tempat kelahiran Samin yakni desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora merupakan penghasil kayu jati terbaik di Jawa. Struktur tanah yang berkapur dan

                                                              

  9 Untuk lebih jelasnya, lihat Suripan Sadi Hutomo. 1996. Tradisi dari Blora . Penerbit Citra Almamater. Semarang., hlm.11-40.

  10 Nurudin dkk (Ed). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger

  . LKIS bekerjasama dengan FISIP UMM

   

  kering menyebabkan tanah di Blora dan beberapa wilayah di seputar Karesidenan Rembang sangat cocok bagi jenis tanaman ini. Harry J. Benda dan Lance Castles mencatat bahwa tahun 1920 proporsi luasan hutan yang dikuasai negara di kabupaten Blora mencapai empat puluh persen dari total wilayah kabupaten tersebut. Ini merupakan proporsi paling tinggi bagi setiap kabupaten di Jawa kala

  11 itu.

  Penentuan batas antara lahan milik penduduk dan lahan hutan menemukan puncaknya sejak Undang-Undang Agraria dikeluarkan tahun 1870 (diundangkan dalam lembar negara “Staatblad” no. 118). Dalam pasal 1 disebutkan:

  “… dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein/milik

12 Negara.

  Dengan kata lain, negara menjadi pemilik tanah di mana orang tidak dapat membuktikan hak kepemilikannya, atau lazimnya disebut asas Domein. Maka menjadi jelas, batas kawasan hutan ditetapkan secara tegas untuk menandai di mana lahan milik masyarakat berakhir dan wilayah hutan dimulai. Hutan kemudian dikuasai oleh negara secara sepihak dan sejak saat itulah muncul konsep “hutan negara”.

                                                              

  11 Harry J. Benda, dan Lance Castles. 1969. The Samin Movement. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 125., hlm. 221.

  12 Boedi Djatmiko. Tanah Negara dan Wewenang Pemberian Haknya. 30

  Maret 2009. http://kuliah-notariat.blogspot.com/2009/03/tanah-negara-dan-

   

  13 Menurut Schatter yang dikutip oleh Andiko, pada dasarnya terdapat 4

  jenis property rights atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yaitu: milik pribadi (private property), milik umum atau bersama (common

  property

  ), milik negara (state property), dan tidak bertuan (open access). Dalam pertanian tradisional, semua masyarakat tradisional yang belum mengenal batas- batas pemilikan individual masih mengembangkan pola pola pertanian ladang

  14 berpindah. Pola pertanian serupa juga dijalankan oleh pengikut awal Samin.

  Tradisi tersebut dimungkinkan, selain karena ketersediaan lahan yang melimpah serta jumlah penduduk yang sedikit, juga disebabkan oleh pandangan Samin bahwa semua orang berhak memanfaatkan hutan. Bahwa sumber daya alam termasuk hutan dapat dimanfaatkan oleh siapapun serta tidak boleh ada dominasi pemanfaatan di dalamnya. Dalam teori kepemilikan sumber daya, pandangan Samin terhadap hutan termasuk dalam kategori ke empat yakni hutan sebagai sumber daya yang tidak bertuan atau open access.

  Penelitian ini mencoba menguraikan hubungan antara Samin Surosentiko beserta pengikutnya dengan hutan jati di Jawa abad XIX. Hubungan tersebut terutama antara penduduk dengan pengelola hutan jati saat itu yakni pemerintah Hindia Belanda. Dalam konteks sumber daya hutan, hubungan keduanya sangat menarik, karena di satu sisi, masyarakat Samin memiliki struktur pengetahuan terhadap hutan, kemudian di sisi lain muncul berbagai pengaturan hutan jati oleh pemerintah Hindia Belanda. Samin memiliki dua prinsip pemanfaatan hutan yakni

                                                              

13 Andiko. 2006. Menempa Ingin, Menjaga Percikan Api: Tantangan

  Gerakan Petani Hutan di Jawa . Makalah HuMA, Tidak diterbitkan.

  14

   

  kelestarian serta dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Hipotesis awal dari penelitian ini adalah penerapan dari prinsip-prinsip Samin atas pengelolaan sumber daya alam telah terganggu oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah Hindia Belanda, sehingga muncul apa yang oleh banyak kalangan disebut sebagai Gerakan Samin.

1.2 Rumusan Masalah

  Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat Samin terhadap hutan? 2.

  Apa saja yang menjadi hambatan serta tekanan yang muncul? 3. Mengapa masyarakat Samin melakukan perlawanan terhadap pemerintah

  Hindia Belanda?

1.3 Tujuan Penelitian 1.

  Akademis Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mendeskripsikan serta menganalisa sistem kehidupan masyarakat Samin dalam konteks kehutanan serta praktik-praktik yang menyertainya. Hambatan serta tekanan yang dialami masyarakat Samin dalam usaha perwujudan nilai-nilai yang dianut juga akan dijelaskan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga hendak menjelaskan kausalitas yang memungkinkan perlawanan Samin dapat muncul.

    2.

  Praktis Sementara itu, secara praktis penelitian ini hendak memberikan pemahaman baru atas narasi sejarah yang berkembang selama ini bahwa kausalitas utama dari gerak sejarah Indonesia selalu berasal dari kebijakan kolonial. Gerakan Samin selama ini dinarasikan sebagai gerakan perlawanan masyarakat sekitar hutan terhadap kebijakan kehutanan yang meminggirkan hak akses masyarakat. Pemahaman baru yang ingin diajukan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh yang sangat besar dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Samin atas bentuk protes yang dilakukan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.

  Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi keilmuan sejarah pada khususnya serta perubahan cara pandang dari sejarawan atas fenomena gerakan sosial pedesaan yang pada abad XIX melalui studi kasus masyarakat Samin dan Kehutanan abad XIX.

2. Praktis

  Dalam konteks praksisnya, penelitian ini hendak memberikan pemahaman baru atas kausalitas gerak sejarah bangsa Indonesia, di mana selama ini bangsa Indonesia ditempatkan sebagai kausalitas kedua. Narasi yang seperti itu pada dasarnya sangat tidak menguntungkan bagi pembentukan narasi sejarah Indonesia yang berpangkal pada identitas kebangsaan. Penempatan bangsa Indonesia sebagai variabel utama atas gerak sejarah Indonesia adalah hal utama yang harus

   

  dilakukan untuk penciptaan sejarah Indonesia yang berbasis keberlanjutan dan perubahan (continuity and change).

1.5 Teori dan Metode Penelitian

  Penggunaan landasan teori dalam penelitian ilmu-ilmu sosial menjadi hal yang utama dalam mendekati sebuah pokok persoalan. Realitas sosial sehari-hari memiliki ragam yang tidak terhitung sekaligus berserakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu diusahakan penemuan pola-pola dari semua realitas sosial memungkinkan sebuah penjelasan umum yang bersifat universial, berlaku untuk ruang dan waktu apapun, serta lebih sistematis dalam pengaturan pengalaman-pengalaman maupun ide-ide. Hal ini juga berlaku dalam penelitian ilmu sejarah, di mana pendekatan ilmu-ilmu sosial masih menjadi pilihan utama

  15 para sejarawan.

  Kendatipun demikian, penggunaan teori sejarah dalam penelitian sejarah masih sangat relevan diajukan. Penggunaan teori sejarah dalam kerangka menjelaskan peristiwa sejarah, bukan pertama-tama ditujukan untuk menganalisa segi-segi yang nampak dalam peristiwa sejarah. Teori-teori sejarah diharapkan menuntut peneliti sejarah sedari awal untuk berfikir teoritis historis dalam menemukan genealogi fakta sejarah dan menunjukkan gerak sejarah seperti apa yang terjadi. Menjelaskan fenomena gerakan Samin abad XIX dengan

                                                              

15 Kritik dalam ranah filsafat atas pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam

  penelitian sejarah dapat dilihat pada Hery Santoso & Cuk Ananta Wijaya, “Kritik atas Eksplanasi Deduktif-Nomologis dalam Ilmu Sejarah”. Dalam Jurnal

  Filsafat

  , April 2003, Jilid 33, No. 1. Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada,

   

  menggunakan teori sejarah dimungkinan tidak hanya dalam konteks tersebut di atas, namun juga dalam usaha penyusunan sejarah gerakan Samin yang lebih memperhatikan gerak sejarah dari dalam.

  Pada dasarnya, ilmu sejarah menyelidiki arti sejarah, arah tujuan sejarah, gerak sejarah, makna sejarah, tafsiran sejarah, kausalitas sejarah dan sebagainya.

  Soal-soal tersebut dapat disebut sebagai teori sejarah. Karena di dalamnya terdapat usaha-usaha untuk menyelidiki dasar-dasar pengertian tentang sejarah.

  Teori-teori sejarah meliputi bidang-bidang yang beragam, misalnya teori tentang sumber-sumber, teori tentang cara penelitian sumber, teori tentang cara penafsiran sumber, teori tentang perkembangan masyarakat teori tentang gerak sejarah, teori penulisan dan lain-lain.

  Dalam hal tersebut, penelitian ini menggunakan Teori perkembangan kebudayaan Arnold J. Toynbee. Dalam menjelaskan perkembangan kebudayaan, Toynbee menggunakan konsep tantangan (challenge) dan tanggapan (response). Ia berpendapat bahwa faktor lingkungan, kebangsaan, kepemimpinan, kepemilikan tanah, serta akses terhadap sumber daya alam, tidak terlalu memadai untuk menjelaskan perkembangan atau kehancuran sebuah kebudayaan. Atas dasar itu, Toynbee mencari faktor mendasar yang menentukan keberhasilan maupun kegagalan sebuah kebudayaan pada masa lalu.

  Toynbee menempatkan faktor perkembangan ataupun kehancuran sebuah kebudayaan berkisar pada ketepatan tantangan dan ketepatan tanggapan atas tantangan tersebut. Faktor-faktor tidak terduga serta peristiwa-peristiwa yang mengancam bangunan nilai serta mata pencaharian masyarakat masa lalu,

   

  diartikan oleh Toynbee sebagai sebuah tantangan yang akan mendatangkan peluang serta solusi baru bagi perkembangan sebuah kebudayaan. Di sisi lain, tanggapan adalah perilaku yang dilakukan oleh masyarakat yang sama untuk mengatasi tantangan atau situasi baru tersebut.

  Toynbee menganjurkan perhatian khusus pada dimensi penting dari perubahan atau tantangan. Terdapat tiga dimensi terkait dengan hal itu, yaitu:

  Pertama

  , tantangan besar yang jarang muncul. Tantangan besar biasanya berasal dari perubahan lingkungan, teknologi, ekonomi, dan sosial. Kedua, tanggapan- tanggapan yang beragam dimungkinkan terjadi. Tanggapan beragam adalah wujud dari kreatifitas tanggapan. Ketepatan tanggapan dapat terseleksi dari ragam tanggapan yang ada. Ketiga, tanggapan yang berhasil mensyaratkan ketegasan dan keberanian (bold enough) dalam menghadapi tantangan yang muncul serta situasi yang baru tersebut. Dalam hal demikian, tanggapan memerlukan pemimpin yang kuat serta memiliki visi baru yang diterima oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, tanggapan memerlukan tindakan nyata dalam menghadapi tantangan yang muncul. Pada akhirnya, tanggapan-tanggapan tersebut akan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berhasil jika tanggapan-tanggapan tersebut merupakan koreksi berupa jalan tengah dalam usaha menuju tujuan bersama.

  Rencana-rencana besar yang cenderung kaku akan menimbulkan konfrontasi

  16 sosial di antara masyarakat itu sendiri.

                                                              

16 Arnold J. Toynbee. 1987. A Study of History: A Bridgement of

  Volumes I-VI

  . Oxford: Oxford University Press. hlm. 60-79. Sebagai pembanding lihat juga Jurgen Schmandt & C.H. Ward, “Challenge and Response”, dalam Jurgen Schmandt & C.H. Ward (ed). 2000. Sustainable Development: The

   

  Sementara untuk menganalisa gerakan tanpa kekerasan yang dihidupi Samin dan pengikutnya pada abad XIX dan awal abad XX, digunakanlah teori gerakan tanpa kekerasan milik Gene Sharp seorang Profesor bidang politik pada Universitas Oxford. Sharp sering disebut juga sebagai “The Clausewitz of

  nonviolent warfare

  ”. Dalam bukunya yang berjudul The Politics of Nonviolent

  Action

  , Sharp banyak berbicara seputar teori gerakan tanpa kekerasan. Menurut Sharp, bahwa kekuasaan tidaklah tunggal (monolitik), artinya bahwa tidak ada kekuasaan yang berasal dari diri sang penguasa itu sendiri. Bagi Sharp, kekuasaan politik di banyak negara berasal dari subyek dari negara itu sendiri, yakni rakyat. Sharp percaya bahwa apapun struktur kekuasaan adalah berasal dari kepatuhan rakyat pada perintah penguasa. Oleh karena itu, jika subyek tidak patuh, maka

  

17

penguasa akan kehilangan kekuasaannya.

  Menurut Sharp, struktur kekuasaan mempunyai sistem, di mana sistem tersebut dapat mendorong ataupun memaksa rakyatnya untuk patuh. Negara pada dasarnya memiliki sistem yang kompleks untuk menjaga kepatuhan-kepatuhan dari rakyat. Sistem yang kompleks tersebut termasuk lembaga-lembaga tertentu misalnya polisi, pengadilan, dan lembaga-lembaga pengaturan yang lain serta dimensi-dimensi kultural yang mengilhami masyarakat untuk patuh pada penguasa. Oleh sistem-sistem tersebut, rakyat diperkenalkan pada sangsi-sangsi (berupa pemenjaraan, denda, dan pembuangan) dan penghargaan (berupa gelar,

                                                              

  17

  http://wapedia.mobi/en/Gene_Sharp#2. Di akses pada tanggal 6 Juni 2009.

   

  kekayaan, dan popularitas), di mana keduanya diharapkan mempengaruhi patuh tidaknya rakyat kepada negara.

  Berdasar pada itulah, rakyat sesungguhnya sangat relevan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, karena hal ini akan mendukung rakyat dalam usaha-usaha efektif membuka kesempatan sebuah perubahan tatanan. Mengutip Étienne de La Boétie, jika subyek-subyek dari negara mengakui bahwa mereka merupakan sumber utama dari kekuasaan negara, maka mereka dapat mengabaikan perintah dari pemimpin mereka. Dengan begitu, negara akan kehilangan kekuasaannya.

  Secara metodologis, penelitian ini mendasarkan diri pada tahapan

  18

  penelitian sejarah secara umum. Menurut Kuntowijoyo , penelitian sejarah mempunyai lima tahapan, yakni: pemilihan topik; pengumpulan sumber; verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber); interpretasi berupa analisis dan sintesis; dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi. Sebagaimana dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini telah menentukan topik Gerakan Samin dan Kehutanan abad XIX. Setelah topik ditentukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan sumber-sumber sejarah (heuristik) baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka data-data diperoleh dari laporan-laporan penelitian tentang gerakan Samin dan tentang politik kehutanan kolonial. Laporan-laporan tersebut terdapat dalam buku, jurnal-jurnal, maupun artikel lepas di Internet.