T1 802008099 Full Text

PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini tindakan kriminalitas
semakin meningkat. Tindakan kriminalitas ini tidak hanya dilakukan oleh
orang dewasa namun melibatkan pelajar dan jumlahnya dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Para pelajar yang berkisar usia 13-18 tahun termasuk
dalam kategori masa remaja (Santrock, 2007). Masa remaja juga merupakan
masa antara lain di tandai dengan sifat-sifat yang idealis, romantis,
berkhayal, harapan tinggi dan berkeinginan (Gunarsa, 2006). Terdapat tugas
perkembangan yang memiliki peranan yang penting untuk menentukan arah
perkembangan yang normal. Pada tugas perkembangan masa remaja
menuntut perubahan yang lebih besar dalam sikap dan perilaku untuk
menghadapi masa dewasa (Hurlock, 2002). Dengan tugas perkembangan
yang dialami remaja begitu banyak, remaja mudah mengalami gangguan
baik berupa gangguan pikiran, perasaan mau pun perilaku. Pada masa
transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai
dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang.
Pada kondisi tertentu, seperti kondisi yang tidak kondusif dan sifat
kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar
aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan
kenakalan remaja (juvenile delinquency). Perilaku menyimpang tersebut

akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993).
Kenakalan remaja menurut Jensen (1985) dalam (Kartono, 1998)
melihat perilaku delikuen dari segi bentuk dan dampak kenakalan,
menggolongkan perilaku delinkuen dalam empat jenis, yaitu Kenakalan yang
menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kenakalan yang menimbulkan

 

 

 

korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks pra-nikah. Kenakalan yang
melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan
cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari
rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Aktifitas kenakalan
remaja seperti membolos, merokok, minum-minuman keras tak jarang para

pelajar ini juga terlibat dalam aksi tawuran antar sekolah atau kelompok,
penggunaan obat-obatan terlarang, pencurian dan seks bebas (Kartono,
2006).
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Palupi (2004)
menyebutkan jenis-jenis kenakalan remaja yang di lakukan oleh siswa SMP
Negeri 2 Salatiga antara lain adalah membolos, keluyuran, merokok,
membaca buku porno, menonton film porno dan minum-minuman keras.
Sedangkan menurut Winarni (2004) di Desa Sukorharjo Kabupaten
Semarang jenis-jenis kenakalan remaja yang sering di lakukan adalah
minum-minuman keras dan narkoba (25 %), merokok (25%), membolos dan
keluyuran (20%), melakukan hubungan seks bebas dengan pacar atau pelacur
(10%). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling
Dra. Dwi Ratna Ningsih (19 Maret, 2012) karakteristik dari kenakalan
remaja yang dilakukan siswa di SMA 2 Boyolali, yaitu membolos sekolah,
tidak tertib dalam memakai atribut sekolah, perkelahian antar siswa dan
penggunaan miras hal ini terjadi dalam lima tahun terakhir ini.
Berbagai macam faktor yang melatarbelakangi kenakalan remaja di
antaranya adalah faktor dalam diri (internal) seperti kurangnya penyaluran
emosi, kurangnya fasilitas dan sarana yang baik dirumah maupun di sekolah
guna penyaluran bakat, minat, maupun daya kreatifitas yang dimiliki anak.


 

 

 

Akibatnya anak mencari kesibukan di luar rumah dengan melakukan
tindakan-tindakan yang negatif. Lemahnya kemampuan pengawasan diri
terhadap pengaruh lingkungan, mengalami kegagalan dalam prestasi sekolah
maupun dalam pergaulan. Banyak siswa yang terpaksa melakukan tindakan
nakal sebagai pelampiasan emosi atau amarahnya karena gagal dalam
ulangan, tes dan tinggal kelas. Dalam hal pergaulan siswa kurang
bersosialisasi dengan teman sebaya. Sedangkan dari faktor luar remaja
(eksternal) seperti lingkungan keluarga atau faktor dari rumah, keluarga
merupakan tempat pertama bagi anak untuk berkembangan dan pertumbuhan
kepribadian anak (Cell, 2011). Lingkungan keluarga yang bermacam-macam
keadaannya dapat memberikan pengaruh yang positif maupun negatif bagi
anak. Keadaan keluarga yang terpecah (broken home) maupun keluarga yang
broken home semua (quasi broken home), kedua hal ini dapat memberikan

potensi yang kuat dalam membuat siswa menjadi melakukan tindakan nakal
di sekolah maupun di masyarakat. Rumah tangga yang berantakan dapat
membawa pengaruh psikologis buruk bagi perkembangan mental dan
pendidikan anak. Orang tua yang terlalu sibuk di luar rumah tidak dapat
memberikan cukup waktu kepada anak-anaknya, dapat mengakibatkan anak
merasa dirinya diabaikan dan tak dicintai. Kesempatan ini sering digunakan
anak untuk mencari kepuasan di luar, dengan kawan-kawannya yang senasib
yang akhirnya membentuk geng-geng yang memiliki sifat-sifat agresif,
sehingga dapat mengganggu masyarakat. Hal ini bisa mengarahkan kepada
yang di namakan kenakalan remaja (juvenile delinquency).

Keadaan

ekomoni yang tinggi maupun rendah juga dapat menjadi penyebab siswa
melakukan tindakan kenakalan remaja (Cell, 2011).
Kenakalan remaja atau perilaku delikuensi dapat terjadi karena
adanya intensi berperilaku delikuen (Hapsari, 2010). Intensi merupakan
kecenderungan individu untuk mencoba melakukan suatu perilaku. Faktor

 


 

 

yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu perilaku adalah sikap terhadap
perilaku, individu yang memiliki keyakinan yang positif terhadap suatu
perilaku akan memiliki kecenderung untuk melakukan tindakan tersebut.
Faktor kedua adalah norma subjektif, individu yang memiliki keyakinan
bahwa orang lain atau suatu kelompok tertentu akan menerima atau tidak
menerima tindakan yang dilakukan. Apabila individu tergabung dalam suatu
kelompok, maka apa yang menjadi nilai dalam kelompok tersebut akan
dipatuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Kontrol
perilaku merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor yang
menfasilitasi atau menghalangi perilaku yang akan dilakukan individu, ini
merupakan faktor ketiga (Ajzen, 2005).
Kecenderungan perilaku yang menyimpang ini dapat dianggap
sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem
sosial. Pada masa remaja, kegiatan para pelajar


yang sering dilakukan

berkisar antara sekolah dengan membantu pekerjaan orang tua. Setelah itu
para pelajar memiliki waktu luang yang banyak. Jika para pelajar tepat dalam
menggunakan waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang positif tentunya
akan menghasilkan perilaku yang baik. Bila sebaliknya waktu luang tersebut
diisi dengan kegiatan yang negatif maka akan menghasilkan perilaku yang
negatif yang dapat mengganggu lingkungan seperti terjadi kenalakan remaja
(Hapsari, 2010). Untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang baik dan
sesuai tingkat perkembangan masa remaja tidaklah mudah dan hal ini
menjadi masalah bagi kebanyakan para pelajar. Terkait dengan masalah
delikuensi, Masngudin (2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan kegiatan yang positif dapat
memicu terjadinya delikuensi selain dari pengaruh teman sebaya dan
lingkungan sosial sekitar. 


 

 


 

Kegiatan belajar disekolah adalah kegiatan yang positif bagi para
remaja. Namun, setelah kegiatan belajar selesai para remaja memiliki waktu
luang yang banyak di luar sekolah dibandingkan dengan jam sekolah. Hal
tersebut dapat memberikan peluang bagi para remaja salah dalam bergaul
dan melakukan tindakan-tindakan negatif sehingga dapat terjebak dalam
kenakalan remaja (Hapsari, 2010). Sekolah merupakan salah satu instansi
yang dapat membantu para remaja untuk mengisi waktu luang dengan
kegiatan-kegiatan yang positif. Sekolah dapat menfasilitasi dengan
mengaktifkan kegiatan ekstrakurikuler, Pengertian ekstrakurikuler menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) yaitu:”suatu kegiatan yang berada di
luar program yang tertulis di dalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan
dan pembinaan siswa”. Kegiatan ekstrakurikuler sendiri dilaksanakan diluar
jam pelajaran wajib. Kegiatan ini memberi keleluasaan waktu dan
memberikan kebebasan pada siswa, terutama dalam menentukan jenis
kegiatan yang sesuai dengan bakat serta minat mereka. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Hapsari (2010) menyatakan bahwa ada hubungan
negatif yang signifikan antara minat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler

dengan intensi delinkuensi remaja pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) di Kota Semarang. Sumbangan efektif dalam penelitian ini sebesar
0,241, artinya intensi delinkuensi remaja 24,1% ditentukan oleh minat
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, sedangkan sisanya sebesar 75,9%
ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diungkap dalam penelitian ini.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Burton (2005) menyatakan
bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kegiatan ekstrakurikuler
baik non-sport dan sport untuk terjadi perilaku delikuensi di kalangan para
pelajar.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Hapsari, kelemahan
yang di dapatkan hanya menggunakan subyek siswa Sekolah Menegah

 

 

 

Kejuruan padahal tidak hanya siswa SMK saja yang terlibat dalam kasus
delikuensi, siswa SMA juga memiliki peluang yang besar untuk terlibat

dalam kasus tersebut. Seperti yang terjadi di kekerasan kelompok pelajar
putri SMA Negeri 1 Gondang, Tulungagung, yang dikenal sebagai Geng
Nyik-Nyik (Surya, 28 Oktober 2008). Sementara itu Kota Kupang, 15 pelajar
SMA dari SM Negeri 3 dijaring aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Kupang karena terlibat pesta minuman keras atau miras pada jam sekolah
(Kewa, November 2008). Bila di lihat dari karakteristik perbedaan antara
siswa SMA dan SMK berdasarkan tujuan proses pembelajaran di sekolah
adalah siswa SMA dipersiapkan untuk karir ekonomi atau melanjutkan
pendidikan tinggi dan mencapai kematangan dalam pilihan karir atau jabatan
(Caroline, 2009). Sedangkan siswa SMK menyiapkan tenaga kerja
professional juga mempersiapkan peserta didik untuk dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan program kejuruan atau
bidang keahlian. Saat para siswa SMK maupun SMA tidak mampu untuk
memainkan perannya sebagai siswa dengan tujuan proses pembelajaran yang
telah ditetapkan dapat dimungkinkan para siswa mencari aktifitas yang
lainnya untuk menyalurkan ketidakmampuan yang dimiliki dan salah satunya
terlibat dalam perilaku delikunsi.
Melihat adanya kelemahan dari penelitian sebelumnya, muncul
keinginan untuk menindaklanjuti penelitian tersebut. Dengan perubahan
subyek pada siswa Sekolah Menengah Atas dan bidang ekstrakurikuler

khususnya pramuka. Ekstrakurikuler Pramuka di SMA 2 Boyolali
merupakan ekstrakurikuler yang paling banyak di minati oleh para siswa,
jika ditinjau dari ciri-ciri kegiatan pramuka (Abubakar, 1995) kegiatan ini
bersifat sukarela artinya setiap anggota dengan sukarela mengikuti segala
aturan yang ada. Selain itu, dalam kegiatan ini dilatih untuk memiliki


 

 

 

kedisplinan yang tinggi, kemandirian hidup serta memupuk rasa tanggung
jawab dan sikap loyalitas.
Berdasarkan hasil wawancara bersama Fajar (16 Februari, 2012)
yang merupakan pradana di Ambalan Tunas Patria menyatakan bahwa
dengan mengikuti ekstrakurikuler pramuka, memberikan banyak manfaat
pada dirinya. Seperti melatih kepemimpinan, mengajarkan kemandirian dan
belajar berguna bagi sesama manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan dari

gerakan pramuka mendidik dan membina kaum muda Indonesia guna
mengembangkan mental, moral, spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan
fisiknya untuk menjadi generasi muda Indonesia yang baik (Anggaran Dasar
Gerakan Pramuka, 2004).
Para siswa SMA termasuk dalam jenjang tingkatan kepramukaan
sebagai pramuka penegak. Berbagai macam kegiatan yang ada di kegiatan
pramuka seperti latihan pengembangan kepemimpinan, perkemahan,
Raimuna, penataran, seminar dan lokakarya dengan tujuan untuk
menanamkan dan mengembangkan kemampuan

bagi generasi muda

(Pandurasta, 2010). Dengan berbagai macam kegiatan yang ada di
ekstrakurikuler pramuka, di harapkan dapat membantu para siswa untuk
mengisi waktu luangnya dengan ikut berpartisipasi, partisipasi yang di
maksudkan adalah keterlibatan mental dan emosi seseorang dalam situasi
kelompok yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok
dalam usaha untuk mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha
yang bersangkutan (Davis, 1962). Maka masalah penelitian ini dapat
dirumuskan Apakah ada hubungan antara partisipasi dalam ekstrakurikuler
pramuka dengan intensi perilaku delikuensi remaja pada siswa di Sekolah
Menengah Atas Negeri 2 Boyolali. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka

 

 

 

dengan intensi perilaku delikuensi remaja pada siswa di Sekolah Menengah
Atas Negeri 2 Boyolali. Manfaat dari penelitian ini selain dapat memberikan
informasi dalam memperkaya hasil penelitian tentang perilaku delikuensi
pada perkembangan remaja khususnya pada bidang keilmuan psikologi
pendidikan serta menjadi masukan bagi lembaga.

TINJAUAN PUSTAKA
Intensi Delikuensi Remaja
Pengertian dari intensi (intention) yaitu sebagai satu perjuangan guna
mencapai satu tujuan; ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses
psikologis, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek. Dari
pengertian tadi menyiratkan bahwa intensi merupakan suatu yang disengaja
atau disadari bahkan telah mulai dilakukan. Hal ini di dukung dalam definisi
dari intensional (intentional) yaitu menyinggung maksud, pamrih atau
tujuan; dengan maksud tertentu; disadari atau kemauan sendiri (Chaplin,
2004).
Bandura (1986) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu
kebulatan tekad untuk melakukan aktifitas tertentu atau menghasilkan suatu
keadaan tertentu di masa depan. Intensi merupakan suatu faktor psikologis
yang terletak diantara sikap dan perbuatan, maksudnya bahwa tanpa adanya
intensi suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikap tersebut sangat
kuat (Fishben dan Ajzen dalam Wijaya, 2007).
Delikuensi (delinqunency) berasal dari bahasa Latin “Delinquere”,
yang diartikan terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi
jahat, anti sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau,
penteror dan tidak dapat diatur (Kartono, 2006).
Remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya,
adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi

 

 

 

dewasa. Remaja atau adolescence mempunyai arti yang lebih luas mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2002).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Intensi delikuensi remaja adalah suatu
kebulatan tekad remaja untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar
suatu norma atau aturan yang berlaku dalam masyarakat, melakukan
pelanggaran hukum, bertindak antisosial serta melakukan perbuatan yang
mengganggu kepentingan umum.
1. Bentuk-bentuk kenakalan remaja (Kartono, 2006)
Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan jiwa orang lain. Biasanya hal ini
dilakukan dalam suatu kelompok atau geng-geng motor tertentu,
dijadikan arena perjudian dengan taruhan uang. Ugal-ugalan yang
merusak ketentraman masyarakat di sekitarnya. Tindakan yang
dilakukan seperti merusak fasilitas umum, mengotori tempat-tempat
umum. Misalnya membuat graffiti di tembok-tembok jalan tanpa ijin.
Perkahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah yang dapat
membawa korban jiwa. Tidak mengikuti pelajaran di sekolah tetapi
berkeliaran di jalan-jalan umum, di supermarket atau bersembunyi di
tempat yang sepi sambil melakukan kegiatan-kegiatan asusila.
Mengancam,

mengintimidasi,

memeras,

mencuri,

mencopet,

merampas. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan
hubungan seks bebas dan suka membuat keonaran. Perkosaan,
agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, menuntut
pengakuan diri, emosi balas dendam, kecewa ditolak cintanya oleh
lawan jenisnya. Kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat kaitannya
dengan tindakan kejahatan. Perjudian atau bentuk permainan lainnya
yang bersifat taruhan. Komersialisasi seks, pengguguran janin


 

 

 

Partisipasi Dalam Ekstrakurikuler Pramuka
Menurut Davis (1962) menyatakan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan mental dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang
mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha
untuk mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha yang
bersangkutan. partisipasi merupakan wujud tingkah laku secara nyata dalam
suatu kegiatan yang merupakan totalitas dari suatu keterlibatan mental dan
emosional.
Sedangkan ekstrakurikuler adalah suatu kegiatan yang berada di luar
program yang tertulis di dalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan dan
pembinaan siswa. Pramuka merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler
yang

di

adakan

disekolah.

Tugas

dari

gerakan

pramuka

adalah

menumbuhkan tunas-tunas bangsa agar menjadi generasi yang lebih baik
serta bertanggung jawab (Pandurasta, 2010).
1. Bentuk-bentuk partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka
a. Keterlibatan mental dan emosi individu dalam kegiatan pramuka.
Keterlibatan individu dalam suatu kelompok bukan hanya
dalam suatu tugas akan tetapi juga melibatkan diri. Individu
melakukan identifikasi pada dirinya atas kemampuan yang
dimiliki untuk mengerjakan tugas yang diberikan atau pada saat
dirinya

dibutuhkan

untuk

membantu

mengerjakan

atau

melaksanakan suatu tugas dalam kelompok (Partrik, 2012).
Keterlibatan mental dan emosi dalam kegiatan pramuka,
partisipasi ini dapat terwujud dalam perilaku seperti individu
hadir tepat waktu pada saat kegiatan, mengenakan seragam
lengkap dengan atributnya sebagai bentuk taat pada aturan,
mengikuti kegiatan pramuka atas dasar keinginan sendiri dan
10 
 

 

 

mengikuti setiap kegiatan yang ada didalam pramuka seperti
upacara bendera, bakti sosial, latihan tali-menali, baris berbaris,
membuat ketrampilan, perkemahan, perlombahan antar ambalan
demi tercapainya visi dan misi dalam pramuka, bersedia
membantu rekan kerjanya walapun bukan tugasnya.
b. Motivasi individu untuk memberikan sumbangan dalam kegiatan
pramuka.
Mengembangkan setiap inisiatif dan kreatifitas yang dimiliki
ke arah tercapainya tujuan kelompok, menjadi seorang individu
yang mampu memprakarsai atau menjadi penggerak atas setiap
keputusan atau tujuan dalam suatu organisasi yang telah
disepakati bersama. Seperti menciptakan hal-hal baru, memberi
ide-ide atau pandangan baru yang bermanfaat untuk kelompoknya
(Nugroho, 2011). Jika dalam kegiatan pramuka, partisipasi ini
dapat terwujud dalam perilaku seperti anggota pramuka berani
untuk mengemukakan ide-ide baru yang bermanfaat bagi kegiatan
pramuka, berani menyampaikan pendapatnya dalam rapat
pengurus maupun ambalan.
c. Individu menerima tanggung jawab yang diberikan dalam
kegiatan pramuka.
Partisipasi ini terwujud dalam bentuk kesadaran anggota
dalam bertanggung jawab terhadap aktifitas dan pencapaian
tujuan organisasi. Individu sadar bahwa dirinya adalah salah satu
angoota suatu kelompok, apa yang terjadi dalam suatu kelompok
tersebut juga menjadi tanggung jawab dirinya. Menjadi pribadi
yang ulet, menjalankan setiap tugas yang diberikan dan berani
mengambil setiap resiko pada setiap tugas yang diberikan (
11 
 

 

 

Ariefyuri, 2012). Dalam kegiatan pramuka partisipasi ini dapat
terwujud dalam perilaku seperti saat mendapat tugas baik dari
pembina pramuka maupun sesama anggota dalam satu ambalan,
menerima tugas tersebut dan melaksanakannya dengan penuh
rasa tanggung jawab bahkan siap untuk menerima resiko sesuai
dengan apa yang telah dilakukan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji korelasi dimana terdapat dua variabel
yaitu intensi delikuensi remaja sebagai variabel terikat dan partisipasi dalam
ekstrakurikuler pramuka sebagai variabel bebas. Populasi dalam penelitian
ini adalah siswa kelas XI dan XII di SMA Negri 2 Boyolali yang mengikuti
ekstrakurikuler pramuka berjumlah 50 orang. Dalam penelitian ini teknik
pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik sampling jenuh. Teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel
(Sugiyono, 2010).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala psikologi. Skala intensi delikuensi ini disusun oleh penulis
berdasarkan 20 jenis-jenis kenakalan remaja yang dikemukan oleh Kartono
(2006). Skala partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka di susun
berdasarkan tiga aspek menurut Davis (1962).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada skala intensi delikuensi
remaja didapatkan koefisien validitas yang bergerak dari angka 0,239 sampai
dengan 0,817. Dalam perhitungan terdapat 8 item yang gugur karena tidak
memenuhi standar validitas yang ditetapkan (≥0,20) dan hanya 22 item yang
terpakai. Uji reliabilitasnya dengan menggunakan program SPSS for
12 
 

 

 

windowa version 17 dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach
memperoleh angka reliabilitas sebesar 0,903. Sedangkan pada pengujian
skala partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka didapatkan koefisien
validitas yang bergerak dari 0,270 sampai dengan 0,839. Dalam perhitungan
terdapat 7 item yang gugur karena tidak memenuhi standar validitas yang
ditetapkan (≥0,20) dan hanya 43 item yang terpakai, memperoleh angka
reliabilitas sebesar 0,958. Hasil analisi deskriptif siswa SMA Negri 2
Boyolali 96 % memiliki intensi delikuensi pada kategori rendah dan 60 %
untuk partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka pada kategori tinggi.
Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunkan uji KolmogrovSmirnov dengan bantuan SPSS versi 17 for Windows. Hasil yang diperoleh
adalah p=1,897 untuk pada sampel intensi delikuensi remaja dan p=0,974
untuk pada sampel partisipasi dalam ekstrakurikuler pramuka dengan
p>0,05. Jadi kedua variabel ini tidak berdistribusi dengan normal. Pengujian
linieritas dengan bantuan SPSS versi 17 for Windows dengan uji Anova
diperoleh Fbeda= 1,473 dengan p > 0,05 yang menunjukkan bahwa hubungan
kedua variabel tersebut linier dengan taraf signifikasi sebesar 0,188.
Pengujian analisis data dilakukan dengan perhitungan uji korelasi Sperman
menunjukkan korelasi sebesar -0,350 dengan signifikasi sebesar 0,006
dengan p