EvaluasiPeraturanPerbankanYangMenghambatPembiayaan.
EVALUASI PERATURAN PERBANKAN
YANG MENGHAMBAT PEMBIAYAAN USAHA KECIL DI JAWA TIMUR
Ketua: Dr. Jazim Hamidi, SH., MH., Anggota: Siti Hamidah, SM., MM, Dr. Sukarmi, SH.MH., Dr. Sihabuddin, SH., MH., Adi Kusumaningrum, SH.
Abstrak:
This research is aimed at analyzing the banking rules and other rules, which have the indication on blocking the funding of small trade, and give the
recommendation related to the matter. By normative juridical approach, this research is more focused on the investigation of literary study that is aimed at investigating the meaning, purpose and viewing the synchronization and appropriateness of principle on every rules managing informal sector from the analysis of law corporation: as the primary, secondary and tertiary corporation which related to informal sektor and infomal sector funding, and supported by the field data.
This research proves that the two kinds of rules have the potential/indication on blocking the funding and development of small trade. Some of them are as indicated on: Section 8 verse (1) the Constitution (UU) No. 10, 1998 on the change of Constitution (UU) No. 7, 1992 on banking is an ambiguous rule related to intangible and tangible guarantee within Small Trade Credit. The inconsistency of rules on the guarantee within the Constitution (UU) No. 9, 1995 on the Small Trade with Section 8 verse (2) Banking Constitution (UU) No. 10, 1998 on Banking related to Credit Guide in the form of Self Regulatory Banking, as well as some city/Regency Regional Rules particularly on retribution.
The recommendation found from this research is the needs of revision toward some rules that have the indication on blocking the small trade, that should be done by Bank Indonesia and the government. Bank Indonesia should revise PBI that related to the small trade, while the government should revise the Constitution (UU) No. 10, 1998 on the change of Constitution (UU) No. 7, 1992 on Banking, especially, which related to the carefulness principles and the Constitution No. 9, 1995 on the Small Trade to get the more comprehensive, responsive, and integrative rules toward the wish and needs of small trade. Beside that, the government needs to do reformation toward the taxation, illegal taxes and expense, so that it is created the more adequate trade climate that can reflect the proper business practice on racing the development of small trade.
Usaha Kecil (UK) sebagai bagian integral ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis dalam perekonomian nasional. UK merupakan
kegiatan usaha yang mampu
memperluas lapangan kerja dan
memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan
(2)
stabilitas ekonomi pada khususnya. Hal ini terbukti ketika Indonesia mengalami situasi krisis ekonomi di tahun 1997, usaha kecil menjadi penyangga yang mampu bertahan terhadap terpaan badai krisis. Untuk itu usaha kecil perlu lebih diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab tantangan perkembangan ekonomi di masa yang akan datang.
Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh UK adalah sulitnya mengakses kredit dari lembaga perbankan. Selain itu, Pemerintah Daerah melalui dinas-dinas terkait yang ada di daerah, baik dari aspek permodalan, teknologi, manajemen maupun pemasaran hasil, dirasakan masih kurang membantu UK untuk berkembang. Dengan kendala-kendala tersebut UK masih belum dapat
mewujudkan kemampuan dan
peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional.
Dalam upaya meningkatkan
peran UK untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, diperlukan suatu kajian mengenai kebijakan perbankan yang menghambat pembiayaan usaha kecil di Jawa Timur, sehingga diperoleh gambaran mengenai kebijakan apa saja yang menghambat pembiayaan usaha
kecil, dan rekomendasi yang dapat diberikan guna perbaikan dalam pembiayaan UK.
Penelitian tentang ”Evaluasi
Kebijakan Perbankan Yang
Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil Di Jawa Timur” ini menggunakan metode pendekatan “yuridis normatif”, yaitu lebih memfokuskan pada kajian data sekunder dengan menganalisis bahan hukum, berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang terkait dengan UK dan pembiayaan UK
dengan mengedepankan pada
pendekatan ekonomis, sosiologis dan politis. Disamping itu untuk mendukung data sekunder dilakukan penelitian
lapangan, dengan melakukan
wawancara dan pembagian kuesioner kepada para responden yang sudah terpilih (metode snawball purposive
sampling).
Survei berhasil menggali informasi dari berbagai aspek kebijakan yang terkait dengan UK. UK yang menjadi objek penelitian ini adalah UK yang berstatus badan hukum dan non badan hukum. Pengelompokan skala usaha ini didasarkan atas kebijakan perbankan yang hanya memberikan bantuan kredit kepada UK yang berstatus nasabah dari Bank (PBI No.
(3)
3/2/PBI/2001). Pengelompokan ini untuk memudahkan pengelompokannya mengingat sebagian besar UK sudah terdaftar di Kantor Pendaftaran Perusahaan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sehingga dapat diketahui dengan mudah jumlahnya secara pasti dan fokus kebutuhan pembinaannya.
Peraturan perbankan dan peraturan di luar peraturan perbankan
dapat mempengaruhi perkembangan UK. Setelah dilakukan penelitian maupun kajian secara normatif selain membantu perkembangan UK, kedua peraturan tersebut mempunyai potensi/berindikasi menghambat pembiayaan dan perkembangan UK. Hal tersebut sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini:
Tabel 1.1
Peraturan Perbankan yang Menghambat Pembiayaan Usaha Kecil
No Nama, Nomor Tahun Peraturan
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. UU No. 10 Tahun 1998 Perbankan Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan Jaminan dan Agunan dalam Kredit Usaha Kecil
Pasal 8 ayat (1)
”dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 8 ayat (1) yang mewajibkan Bank Umum mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa keyakinan diperoleh dari analisis yang mendalam, dimana collateral (agunan) merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan. Dikaitkan dengan kebebasan bagi bank dalam rangka SRB, maka dalam praktek collateral bukan sekedar pertimbangan, tetapi lebih cenderung pada kewajiban. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang tidak tegas, bersifat ambigo. Khususnya apabila dibandingkan dengan UU 14 Tahun 1967 yang mewajibkan jaminan atas kredit.
2. Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: berkaitan dengan Pedoman Perkreditan dalam bentuk Self Regulatory Banking
“Bank Umum wajib memiliki Pedoman Perkreditan dan Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Prinsip kehati-hatian sebagaimana yang terdapat dalam UU Perbankan wajib dilaksanakan oleh setiap bank, dimana oleh bank sentral -dalam hal ini adalah Bank Indonesia- pelaksanaan diserahkan kepada masing-masing
(4)
bank untuk menentukan sendiri model yang tepat. Hal ini akan memberikan kebebasan bagi Bank Umum untuk membuat aturan sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa melihat siapa yang akan menjadi sasarannya, karena tidak semua nasabah atau pengguna jasa perbankan sama kondisinya (UKM).
3. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta berdasar SK Direksi Bank
Indonesia No.
27/162/KEP/DIR/1995 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UPPB/1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum
Pasal 8 (2) UU Perbankan serta SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR/1995 dan SE BI No. 27/7/UPPB/1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Perkreditan bagi Bank Umum yang diuraikan lebih rinci pada bagian pedoman penyusunan perkreditan
maka membuka peluang praktek agunan dan menjadi sesuatu yang bernilai wajib, sehingga ketentuan pasal 8 ayat (1) berikut penjelasannya menjadi kurang bermakna
4. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil juncto Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
Pasal 1 ayat (2) : Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau Valuta Asing kepada
nasabah usaha kecil dengan
plafon kredit keseluruhan maksimum Rp. 500.000.000,00 untuk membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK.
Pemberian KUK hanya diberikan kepada Usaha Kecil yang menjadi nasabah bank dan dipersyaratkan harus berbadan hukum, dan tidak sebutkan secara tegas dalam bunyi pasalnya apakah nasabah debitur ataukah nasabah kreditur, sehingga dapat menimbulkan multi tafsir dan membuka peluang yang memberatkan debitur, khususnya jika dilihat dalam penjelasan pasal tersebut hanya tertulis “cukup jelas”. Demikian juga ketentuan berbadan hukum hal ini sangat menyulitkan bagi usaha kecil yang tidak berbadan hukum
5. PBI No. 7/2/PBI/2005 jo PBI No. 8/2/PBI/2006
Ketentuan mengenai konsep
one obligor untuk penetapan
kualitas aktiva produktif menjadi konsep/pendekatan
uniform classification.
Dipandang kurang mendukung penyaluran kredit UMKM, khususnya ketentuan mengenai one obligor untuk penetapan kualitas aktiva produktif, kewajiban penyampaian laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dan ketentuan mengenai tatacara penempatan dana oleh bank umum.
Untuk bank syariah, beberapa bank secara khusus menyebutkan ketentuan yang kurang mendukung penyaluran kredit UMKM adalah kolektibilitas pembiayaan sistem syariah.
(5)
Pertama: Dari sisi peraturan perbankan yang berpotensi menghambat pembiayaan UK ditemukan data baik berdasarkan analisis normatif maupun didukung dengan hasil wawancara terlihat bahwa pasal 8 ayat (1) UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan Jaminan dan Agunan dalam Kredit Usaha Kecil. Adapun kaitan pasal ini dengan potensinya dalam menghambat pembiayaan UK pada dasarnya terletak pada akibat hukum ketidaktegasan pengertian jaminan dan agunan dibandingkan dengan UU Perbankan sebelumnya. UU N0. 7 Tahun 1992 dan perubahannya yaitu UU No. 10 Tahun 1998 menjadi lebih tidak tegas dalam mengambil sikap terkait dengan kedudukan jaminan.
Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan menyatakan “bank umum tidak memberikan kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga” telah dihapus dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1992. Walaupun pasal ini bersifat collateral
oriented tetapi secara prinsip selaras
dengan KUHPerdata, khususnya pasal 1131 dimana walau bank tidak meminta jaminan, sebenarnya telah ada berlaku jaminan atas pinjaman kredit yang diberikan, yaitu berupa jaminan umum. Dengan dihapuskannya pasal 24 dan digantikannya pengertian jaminan sebagaimana dalam pasal 8 UU No. 7 Tahun 1992 yang berbunyi,” “dalam memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan” dan selanjutnya diubah lagi dalam pasal 8 (1) UU 10 Tahun 1998 yang berbunyi: ”dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan”, maka
sesungguhnya UU perbankan ini membatasi pengertian jaminan itu sendiri, yang justru bertentangan dengan KUHPerdata.
(6)
1995 tentang Usaha Kecil telah memberikan pedoman dan rujukan mengenai masalah penjaminan yaitu pasal 1 angka 7, yang berbunyi ”penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Kecil oleh lembaga penjamin sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pembiayaan dalam rangka memperkuat kesempatan memperoleh pembiayaan
dalam rangka memperkuat
permodalan”. Dengan ketentuan ini diharapkan akan mengurangi kendala yang dihadapi UK untuk menyediakan jaminan dalam mengakses kredit perbankan.
Pada pasal 23 UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil disebutkan bahwa UK dapat dijamin oleh lembaga penjamin yang dimiliki pemerintah dan/atau swasta. Lembaga penjamin tersebut menjamin pembiayaan UK dalam bentuk :
a. Penjaminan pembiayaan kredit perbankan;
b. Penjaminan pembiayaan atas bagi hasil;
c. Penjaminan pembiayaan
lainnya, seperti jaminan orang
perseorangan, jaminan
perusahaan (avalis).
Kemudahan di atas
ditindaklanjuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 95 Tahun 2000 tanggal 7 November 2000 dan keberadaan Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha (Perum Sarana), sehingga lembaga penjaminan ini diharapkan dapat mengatasi satu masalah UK Indonesia. Sayangnya penggunaan lembaga penjaminan ini tidak berjalan dengan optimal bagi kalangan perbankan dalam mengatasi masalah jaminan bagi kredit usaha kecil. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan jumlah kredit yang dijamin oleh Sarana Pengembangan Usaha sebagaimana diagram berikut:
Diagram 1.
Jumlah Kredit yang Dijamin Perusahaan Umum Sarana
Pengembangan Usaha Tahun 2001-2005
Sumber: Gunawan, 2006.
Jumlah Kredit yang Dijamin Oleh Perum SPU
0.587 1.34
2.83 5.77
4.19
0 1 2 3 4 5 6 7
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
J
u
m
la
h
(
D
a
la
m
T
a
h
u
n
(7)
Dari data di atas, pada tahun 2001, volume kredit yang dijamin Perum Sarana baru mencapai Rp 587 miliar, selanjutnya meningkat menjadi Rp 1,34 triliun pada tahun 2002. Pada tahun 2003 angka penjaminan kredit meningkat menjadi Rp 2,83 triliun, kemudian meningkat pada tahun 2004 menjadi Rp 5,77 triliun. Sementara pada semester I tahun 2005, volume kredit yang dijamin oleh Perum Sarana telah mencapai Rp 4,19 triliun. Outstanding penjaminan kredit sampai dengan Juni 2005 sebesar Rp 11,93 triliun yang disalurkan ke sektor agrobisnis Rp. 1,08 triliun, sektor industri dan pertambangan Rp 47,12 miliar serta sektor jasa dan perdagangan Rp 10,8 triliun. Angka Rp 4,19 triliun (semester I Tahun 2005) merupakan pencapaian 72,13% dari target volume penjaminan kredit dalam rencana anggaran tahun 2005 yang dibebankan oleh kementrian BUMN sebesar Rp 5,8 triliun
(Gunawan, 2006). Apabila
dibandingkan dengan kredit untuk UKM pada pertengahan tahun 2005 yaitu dari Rp. 36,38 triliun, maka pemanfaatan Perum Sarana adalah sekitar 8,68% dari seluruh kredit UKM pada pertengahan tahun 2006.
Dari hal di atas terlihat belum
adanya sinkronisasi dan koordinasi serta semangat yang sama antara keinginan UU NO. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil mengenai masalah penjaminan dengan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Perbankan lebih menekankan adanya jaminan berupa keharusan (Pasal 8 (2) tentunya lebih pada jaminan fisik sementara UU No. 9 Tahun 1995 lebih menekankan pada kelembagaan jaminan, yang tidak hanya menekankan pada jaminan fisik saja namun ada bentuk jaminan lainnya.
Kalangan perbankan lebih menyukai menggunakan kebebasan yang diberikan pada ketentuan pasal 8 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang mewajibkan bank umum memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sendiri. Hal ini selalu terkait dengan prinsip kehati-hatian yang dipegang teguh oleh kalangan perbankan. Dengan demikian tidak salah jika sebagian besar dari hasil penelitian yang terdahulu maupun hasil penelitian ini memperoleh jawaban bahwa sebagian besar usaha kecil tersebut kurang dapat mengakses dana dari perbankan, karena bunganya terlalu tinggi, persyaratan jaminan dan agunan
(8)
fisik, serta prosedurnya sangat rumit.
Kedua: Pasal 8 ayat (2) UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: berkaitan dengan Pedoman Perkreditan dalam bentuk Self
Regulatory Banking (SRB). Implementasi SRB dilakukan dengan mengatur sendiri ketentuan beserta prosedur intern perkreditan yang didasarkan atas prinsip kehati-hatian. Dalam pedoman tersebut juga harus ditetapkan bahwa penilaian kualitas kredit harus didasarkan pada suatu tata cara yang bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penilaian kolektibilitas kredit yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan PBI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Jo. PBI Nomor 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terdapat beberapa ketentuan yang berindikasi menghambat pembiayaan bagi UK. Pasal 44 ayat 2 menyebutkan tentang cadangan khusus, yang mana dalam Pasal 45 ayat (3) huruf d dinyatakan bila kredit menjadi macet
maka bank harus membentuk cadangan khusus sebesar 100% dari aktiva dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai agunan. Hal tersebut secara tidak langsung akan mendorong bank-bank untuk mewajibkan agunan dalam pemberian kredit.
Ketentuan mengenai konsep one
obligor juga menjadi salah satu ketentuan yang menghambat bagi UK karena pada saat pelaku UK mengajukan permohonan kredit pada salah satu bank, maka akan terhambat apabila yang bersangkutan telah menerima pembiayaan dari lembaga keuangan lain. Hal tersebut didukung dari data lapangan yang menunjukkan beberapa pelaku UK yang memenuhi persyaratan perbankan tidak bisa memperoleh kredit disebabkan sedang mempunyai angsuran pada lembaga keuangan lain. Dalam hal ini terlihat bahwa kebijakan Sistem Informasi Debitur (SID) ternyata berpotensi pula menghambat pembiayaan bagi usaha kecil. Dengan demikian apabila hal tersebut diatas tetap diterapkan dalam penyaluran kredit kepada UK, dapat dipastikan akan sulit untuk dipenuhi,
sehingga perlu dilakukan
penyederhanaan persyaratan bagi UK.
(9)
Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil juncto Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil. Dalam peraturan ini, walau beberapa kemudahan yang diberikan kepada pelaku UK namun beberapa ketentuan dalam peraturan ini juga berpotensi untuk menghambat pembiayaan UK, a.l: Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa kredit UK yang diberikan adalah kredit atau pembiayaan dari bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada nasabah UK dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk membiayai usaha yang produktif, selanjutnya disebut KUK. Ayat (2) ini menyatakan bahwa UK adalah usaha yang memenuhi kreteria sebagaimana dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang UK. Dari dua ayat tersebut diatas, kredit UK dari Bank hanya diberikan kepada UK yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Idealnya dari ketentuan pasal pada PBI tersebut disebutkan kriteria nasabah, karena
dalam pengertian perbankan nasabah bisa bermakna nasabah debitur, kreditur atau walking customer. Dengan tidak disebutkannya kriteria nasabah secara jelas, tentu saja hal tersebut akan dapat menimbulkan multi tafsir khususnya di lapangan. Salah satu contohnya adalah ketika terdapat bank yang mewajibkan UK menjadi nasabah kreditur terlebih dahulu sebelum mengajukan kredit, yang mana besar tabungan didasarkan pada jumlah kredit yang akan diperoleh. Sementara itu apabila dilihat dalam penjelasan PBI tersebut hanya tertulis “cukup jelas”. Dengan peraturan tersebut bank dapat mempersepsikan bahwa perseorangan yang informal tidak berbadan hukum dan bukan nasabah kreditur, tidak dapat diberikan KUK. Terlebih apabila dibebani lagi dengan persyaratan kepemilikan aset sampai puluhan juta, dan terkait dengan jaminan kredit.
Selain Peraturan Perbankan ada peraturan lain di luar peraturan perbankan yang mempunyai potensi untuk menghambat perkembangan UK, antara lain beberapa peraturan daerah sebagaimana dijelaskan tabel-tabel dibawah ini:
(10)
Tabel 4.2
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Blitar
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 5 Tahun 2004 tentang Retribusi Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar serta Pembubaran dan Pencabutan Badan Hukum Koperasi
Pasal 12 huruf a dan huruf b. a. Surat bukti penyetoran
modal awal pada Bank sekurang-kurangnya sebesar Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) bagi Unit Simpan Pinjam (USP);
b. Surat bukti penyetoran modal awal pada Bank sekurang-kurangnya sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi Koperasi Simpan Pinjam;
Persyaratan biaya penyetoran modal awal kepada Bank untuk pembentukan Unit Simpan Pinjam (USP) dan Koperasi Simpan Pinjam pinjam (KSP) terlalu tinggi sehingga
menghalangi/mengurangi akses masyarakat kecil dan menengah untuk membentuk USP maupun KSP.
2 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 11 Tahun 2004, tentang Retribusi Izin Usaha Industri (IUI)
Pasal 21 ayat (6)
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
Ketentuan ini cukup memberatkan karena seharusnya keberatan diselesaikan dulu kemudian kewajiban membayar retribusi dilaksanakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan kepastian hukum dan menciptakan rasa keadilan bagi wajib retribusi yang merasa masih ada masalah. Uang retribusi yang digunakan untuk membayar walau pun masih ada keberatan akan menimbulkan kerugian berupa pengurangan modal usaha.
3 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12 Tahun 2004 tentang Retribusi wajib Daftar Perusahaan (WDP)
Pasal 21 ayat (6)
Pengajuan keberatan tidakmenunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
Ketentuan ini cukup memberatkan karena seharusnya keberatan diselesaikan dulu kemudian kewajiban membayar retribusi dilaksanakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan kepastian hukum dan menciptakan rasa keadilan bagi wajib retribusi yang merasa masih ada masalah. Uang retribusi yang digunakan untuk membayar walau pun masih ada keberatan akan menimbulkan kerugian berupa pengurangan modal usaha.
4 Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 12 Tahun 2004, tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan (WDP)
Pasal 22 ayat (2)
Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian menolak atau menambah besarnya retribusi yang terutang;
Tidak diatur atau tidak ada kejelasan Hak dan kewajiban Wajib Pungut dan/atau Pemda, sehingga sangat besar sekali kemungkinan walikota untuk menambah besarnya retribusi yang terutang. Dengan demikian akan
(11)
mengakibatkan kerugian bagi kalangan usaha terutama usaha kecil yang modalnya juga kecil. 5 Peraturan daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-Undang Gangguan (HO) di Kotamadya daerah tingkat II Blitar
Pasal 3 ayat (1)
Setiap orang atau badan hukum yang mendirikan atau memperluas tempat-tempat usahanya di daerah diwajibkan memiliki izin tempat usaha dari Walikotamadya Kepala Daerah;
Pasal ini menyetarakan kedudukan semua pengusaha yang didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 dibedakan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut terdapat pengakuan terhadap keberadaan usaha kecil informal. Sedangkan dalam pasal 3 Perda ini bisa dijadikan legitimasi oleh Pemkot untuk mematikan keberadaan usaha-usaha kecil informal yang antara lain : pedagang asaongan, pedagang keliling, pemulung dan pedagang kaki lima dengan alasan tidak memiliki izin.
6 Peraturan daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-undang Gangguan (HO) di Kotamadya Daerah tingkat II Blitar
Pasal 9 ayat (3)
Disamping diancam dengan pidana pelanggaran terhadap ketentuan pasal 3 Peraturan Daerah ini ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diancam sanksi berupa penutupan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU gangguan (HO);
Sanksi terlau memberatkan, sehingga menghambat pertumbuhan usaha kecil, karena pemkot sebelum menerapkan sanksi berupa penutupan tempat usaha, seharusnya memberikan peringatan atau solusi yang tepat bagi para usaha kecil.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.3
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Kota Malang
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 3
Fungsi pasar dan tempat berjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini untuk menampung para pemegang ijin yang berjualan barang atau jasa.
Ketentuan pasal ini terlalu berorientasi pada penciptaan ketertiban dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat kecil (usaha kecil) melalui kemudahan dalam berusaha. Usaha kecil yang mempunyai modal kecil akan sangat terbebani dengan ijin berjualan yang di dalamnya ada kewajiban membayar retribusi (sebagaimana diatur pasal 14 (1): Atas pemberian ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Daerah ini dan pemakaian
tempat-tempat berjualan dalam pasar dan tempat-tempat lain yang
(12)
diijinkan dikenakan retribusi). Seharusnya ada kekhususan bagi usaha kecil berupa pengecualian dalam pemenuhan perijinan dan pembayaran retribusi. Setidaknya ada pembebasan retribusi dan apabila dalam perkembangannya usaha kecil tersebut telah memiliki modal yang cukup maka dikenakan retribusi.
2. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 dan 17 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Ketentuan pasal 12 ayat (1) berbunyi: Setiap orang atau badan yang bermaksud memakai tempat berjualan secara tetap di pasar atau di
tempat lain yang diperbolehkan harus memiliki ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” usaha kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
3. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaaan Pedagang Kaki Lima
Pasal 6
Setiap Pedagang Kaki Lima yang telah memperoleh ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat (1) dikenakan retribusi sesuai ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku untuk itu.
Pungutan – pungutan terhadap usaha kecil yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima hanya akan memberatkan sektor riil masyarakat ini. Seharusnya justru Pemerintah Kota memberikan subsidi kepada PKL baik berupa pembiayaan, fasilitas, maupun pembinaan. Dalam perda ini subsidi tersebut kurang tampak karena hanya berupa pendataan, penyuluhan dan bimbingan sehingga orientasi pengaturan PKL hanya untuk peningkatan PAD bukan demi perkembangan usaha mereka.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.4
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Surabaya
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 12 ayat (1)
Izin Pemakaian Ruang Terbuka Hijau tidak dapat di perpanjang guna mewujudkan pemanfaatan ruang terbuka
Permasalahan pasal ini terkait dengan pengaturan penggunaan Ruang Terbuka Hijau pada pasal 6, 7, dan 8. Dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan secara
(13)
hijau sesuai dengan peranan dan fungsinya (dalam hal ini untuk kepentingan orang atau badan).
jelas bahwa kegiatan usaha dapat dilakukan di Ruang Terbuka Hijau. Padahal salah satu fungsi Ruang Terbuka Hijau adalah untuk rekreasi kota (pasal 8 c). Sehingga dengan sendirinya tempat tersebut menjadi objek usaha yang sangat potensial bagi pengusaha kecil. Izin memang dapat diberikan namun hanya bersifat insidentil dan berlaku untuk jangka waktu 3 bulan (penjelasan pasal 10 ayat 1) dan tidak dapat diperpanjang. Pasal ini dengan jelas sangat mengancam eksistensi usaha kecil yang ada di Surabaya.
2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 10 ayat (2)
Dalam surat izin sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 harus dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan pengendalian dan pelestarian Ruang Terbuka Hijau dan dapat ditambah persyaratan lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah
Pasal ini menimbulkan penafsiran yang absurd (tidak jelas), dalam penjelasan pun tidak ada keterangan lebih lanjut. Dalam Perda ini tidak diatur dalam pasal manapun tentang kewajiban pembayaran retribusi oleh usaha yang didirikan di Ruang Terbuka Hijau. Jika kewajiban yang dimaksudkan dalam pasal ini, ditafsirkan sebagai retribusi maka bersarnya pungutan tersebut tidak jelas sehingga cenderung sewenang-wenang.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.5
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan Usaha Kecil Di Probolinggo
No Nama, Nomor Tahun Perda
Pasal dan Bunyi Pasal Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Penerbitan Ijin Pas Kecil Bagi Kapal/Perahu
dengan Berat Kotor Dibawah 7 Gross Tonase
Pasal 7
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3 dan 4 peraturan daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).
Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” nelayan kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Apalagi perda ini dikhususkan untuk mengatur nelayan dengan kapal/perahu berberat kotor dibawah 7 gross tonase. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
(14)
Terkait peraturan tersebut, pemberlakukan otonomi daerah sesungguhnya tidak hanya untuk peningkatan PAD, namun untuk menciptakan iklim atau atmosfir yang memungkinkan masyarakat menolong dirinya sendiri, mengambil prakarsa-prakarsa usaha yang bisa membantu pemerintah sehingga bisa mengurangi
pengangguran dan mengatasi
kemiskinan. Dalam situasi saat ini diperlukan kebijakan-kebijakan yang memberikan stimulasi pada sektor usaha (besar, menengah, dan kecil).
Upaya-upaya pemerintah Pusat tersebut tidak akan banyak berdampak mendorong perekonomian di daerah apabila pemerintahan daerahnya sendiri tidak melakukan perbaikan internal. Perbaikan internal meliputi perubahan cara pandang terhadap makna otonomi dan paradigma pembentukan perda yang memenuhi kriteria perda kondusif terhadap iklim usaha dan investasi.
Dari hasil analisis dan pembahasan secara umum bahwa peraturan perbankan maupun peraturan lainnya dibuat masih berdasarkan pada ego sektoral, belum dilakukan koordinasi dan sinkronisasi antara pihak-pihak yang bertanggungjawab dan mempunyai komitmen dalam
pengembangan UK. Untuk itu maka rekomendasi konkrit terhadap pembiayaan dan pemberdayaan UK dapat diwujudkan melalui kebijakan berupa :
1) Bagi pihak pemerintah, perlu melakukan revisi terhadap UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha Kecil dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dengan lebih melibatkan peran serta para
stakeholders yang terkait dengan
Usaha Kecil. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh peraturan
yang responsif terhadap
pengembangan.
2) Bagi pihak Pemerintah, perlu memperbaiki dan meningkatkan kinerja sistem penjaminan kredit yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan pendanaan UK untuk memfasilitasi kebutuhan dana UK. Untuk membantu terciptanya skema penjaminan kredit yang efektif dan efisien perlu segera dibentuk undang-undang tentang lembaga penjaminan kredit untuk UK.
3) Bagi Bank Indonesia, perlu melakukan peninjauan kembali terhadap PBI yang mengatur tentang KUK, PBI tentang Self Regulatory
(15)
Banking, yang berkaitan dengan
UK.
Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan berkaitan dengan adanya peraturan lain diluar peraturan perbankan yang dapat menghambat usaha atau pembiayaan UK sebagai berikut:
1) Pemerintah Daerah perlu
mempertimbangkan untuk
mengurangi pemungutan retribusi terhadap UK. Pemerintah harus secara konsisten dan kontinyu
melakukan pengawasan dan
evaluasi terhadap perda-perda yang menghambat pengembangan UK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah dapat melakukan pembatalan terhadap perda-perda yang melanggar ketentuan undang-undang, apabila perda tersebut menimbulkan distorsi bagi perekonomian.
2) Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah khususnya mengenai Pajak dan Retribusi Daerah. Beberapa usulan perubahan mengenai Pajak dan Retribusi Daerah yang berkaitan
dengan upaya pengurangan perda bermasalah di antaranya pertama, memberikan pembatasan kepada pemda dalam penerbitan perda untuk pajak dan retribusi daerah. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menerapkan jenis-jenis pajak maupun retribusi daerah yang boleh dipungut oleh pemda (closed list).
Kedua, memberikan sanksi yang
signifikan bagi pemda yang tetap menerbitkan dan menerapkan perda
pungutan yang mengganggu
perekonomian. Sanksi tersebut adalah dengan menunda alokasi dana perimbangan, maupun dengan mengurangi jumlah alokasi dana
perimbangan ke daerah
bersangkutan.
3) Perlu pengaturan tempat usaha yang merupakan fasilitas bagi UK
dengan harga terjangkau.
Penyediaan dan penataan tempat terbuka untuk pedagang kaki lima dengan Peraturan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - Buku
Abdulkadir, Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004..
Attamimi, A Hamid S, Perananan Kepres dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI Jakarta, 1990
(16)
Gunawan, Rachmadi, Efektivitas Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan 10 tahun 1998 melalui Lembaga Penjaminan dalam rangka Melaksanakan Prinsip Kehati-hatian (Studi di bank Mandiri Malang Cabang Wahid Hasyim), Skripsi, Tidak dipublikasikan, Fakultas Hukum Universitas brawijaya, Malang, 2006. Manan, Bagir, Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill. Co, Jakarta, 1992
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Haslim, Hasnanuddin, Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi Bank, Seminar Sehari Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, 17 desember 1997.
Ibrahim, Johanes, Cross Default and Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Radika Aditama, Bandung, 2004.
Siamat, Dahlan , Manajemen Lembaga Keuangan, Penerbit Inter Media, Jakarta, 1995.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Kanisius, Yogjakarta, 2003.
Hamidi, Jazim, Indikator Peraturan Daerah (Perda) Bermasalah Yang Menghambat Investasi Ke Daerah, Makalah Lepas, 2005.
B. Artikel, Jurnal Ilmiah, Dan Hasil Penelitian
Jawa Pos, Kredit Macet Bank di Jatim Melonjak Akibat Peningkatan Suku Bunga, Senin, 6 Februari 2006.
Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Di Indonesia, Biro Kredit, Bank Indonesia, 2005.
Bank Indonesia Malang, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Binaan Dan Sekitar Perguruan Tinggi Di Malang, Juni 2006.
Suara Merdeka, Senin 2 Mei 2005 Sinar Indonesia Baru, Senin 11 Juni 2006
C. Peraturan Perundang-Undangan
KUH Perdata
UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998.
UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Peraturan pemerintah No. 95 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah
Perda tentang Tata Ruang
(1)
mengakibatkan kerugian bagi kalangan usaha terutama usaha kecil yang modalnya juga kecil. 5 Peraturan daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-Undang Gangguan (HO) di Kotamadya daerah tingkat II Blitar
Pasal 3 ayat (1)
Setiap orang atau badan hukum yang mendirikan atau memperluas tempat-tempat usahanya di daerah diwajibkan memiliki izin tempat usaha dari Walikotamadya Kepala Daerah;
Pasal ini menyetarakan kedudukan semua pengusaha yang didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 dibedakan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut terdapat pengakuan terhadap keberadaan usaha kecil informal. Sedangkan dalam pasal 3 Perda ini bisa dijadikan legitimasi oleh Pemkot untuk mematikan keberadaan usaha-usaha kecil informal yang antara lain : pedagang asaongan, pedagang keliling, pemulung dan pedagang kaki lima dengan alasan tidak memiliki izin.
6 Peraturan daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar tentang Pemberian Izin Tempat Usaha dan Undang-undang Gangguan (HO) di Kotamadya Daerah tingkat II Blitar
Pasal 9 ayat (3)
Disamping diancam dengan pidana pelanggaran terhadap ketentuan pasal 3 Peraturan Daerah ini ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diancam sanksi berupa penutupan tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU gangguan (HO);
Sanksi terlau memberatkan,
sehingga menghambat
pertumbuhan usaha kecil, karena pemkot sebelum menerapkan sanksi berupa penutupan tempat usaha, seharusnya memberikan peringatan atau solusi yang tepat bagi para usaha kecil.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.3
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan
Usaha Kecil Di Kota Malang
No
Nama, Nomor Tahun
Perda
Pasal dan Bunyi Pasal
Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 3
Fungsi pasar dan tempat berjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini untuk menampung para pemegang ijin yang berjualan barang atau jasa.
Ketentuan pasal ini terlalu berorientasi pada penciptaan ketertiban dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat kecil (usaha kecil) melalui kemudahan dalam berusaha. Usaha kecil yang mempunyai modal kecil akan sangat terbebani dengan ijin berjualan yang di dalamnya ada kewajiban membayar retribusi (sebagaimana diatur pasal 14 (1): Atas pemberian ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Daerah ini dan pemakaian
tempat-tempat berjualan dalam pasar dan tempat-tempat lain yang
(2)
diijinkan dikenakan retribusi). Seharusnya ada kekhususan bagi usaha kecil berupa pengecualian dalam pemenuhan perijinan dan pembayaran retribusi. Setidaknya ada pembebasan retribusi dan apabila dalam perkembangannya usaha kecil tersebut telah memiliki modal yang cukup maka dikenakan retribusi.
2. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Pasar Dan Tempat Berjualan Pedagang
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 dan 17 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Ketentuan pasal 12 ayat (1) berbunyi: Setiap orang atau badan yang bermaksud memakai tempat berjualan secara tetap di pasar atau di
tempat lain yang diperbolehkan harus memiliki ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” usaha kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
3. Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaaan Pedagang Kaki Lima
Pasal 6
Setiap Pedagang Kaki Lima yang telah memperoleh ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat (1) dikenakan retribusi sesuai ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku untuk itu.
Pungutan – pungutan terhadap usaha kecil yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima hanya akan memberatkan sektor riil masyarakat ini. Seharusnya justru Pemerintah Kota memberikan subsidi kepada PKL baik berupa pembiayaan, fasilitas, maupun pembinaan. Dalam perda ini subsidi tersebut kurang tampak karena hanya berupa pendataan, penyuluhan dan bimbingan sehingga orientasi pengaturan PKL hanya untuk peningkatan PAD bukan demi perkembangan usaha mereka.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.4
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan
Usaha Kecil Di Surabaya
No
Nama, Nomor Tahun
Perda
Pasal dan Bunyi Pasal
Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 12 ayat (1)
Izin Pemakaian Ruang Terbuka Hijau tidak dapat di perpanjang guna mewujudkan pemanfaatan ruang terbuka
Permasalahan pasal ini terkait dengan pengaturan penggunaan Ruang Terbuka Hijau pada pasal 6, 7, dan 8. Dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan secara
(3)
hijau sesuai dengan peranan dan fungsinya (dalam hal ini untuk kepentingan orang atau badan).
jelas bahwa kegiatan usaha dapat dilakukan di Ruang Terbuka Hijau. Padahal salah satu fungsi Ruang Terbuka Hijau adalah untuk rekreasi kota (pasal 8 c). Sehingga dengan sendirinya tempat tersebut menjadi objek usaha yang sangat potensial bagi pengusaha kecil. Izin memang dapat diberikan namun hanya bersifat insidentil dan berlaku untuk jangka waktu 3 bulan (penjelasan pasal 10 ayat 1) dan tidak dapat diperpanjang. Pasal ini dengan jelas sangat mengancam eksistensi usaha kecil yang ada di Surabaya.
2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau.
Pasal 10 ayat (2)
Dalam surat izin sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 harus dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan pengendalian dan pelestarian Ruang Terbuka Hijau dan dapat ditambah persyaratan lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah
Pasal ini menimbulkan penafsiran yang absurd (tidak jelas), dalam penjelasan pun tidak ada keterangan lebih lanjut. Dalam Perda ini tidak diatur dalam pasal manapun tentang kewajiban pembayaran retribusi oleh usaha yang didirikan di Ruang Terbuka Hijau. Jika kewajiban yang dimaksudkan dalam pasal ini, ditafsirkan sebagai retribusi maka bersarnya pungutan tersebut tidak jelas sehingga cenderung sewenang-wenang.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2006.
Tabel 4.5
Perda Yang Berindikasi Menghambat Perkembangan
Usaha Kecil Di Probolinggo
No
Nama, Nomor Tahun
Perda
Pasal dan Bunyi Pasal
Indikasi Menghambat
1. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo
Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Penerbitan Ijin Pas Kecil Bagi Kapal/Perahu
dengan Berat Kotor Dibawah 7 Gross Tonase
Pasal 7
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3 dan 4 peraturan daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).
Ketentuan ini akan sangat memberatkan bahkan cenderung “mematikan” nelayan kecil yang modalnya tidak sampai 5 juta. Apalagi perda ini dikhususkan untuk mengatur nelayan dengan kapal/perahu berberat kotor dibawah 7 gross tonase. Dengan demikian diperlukan pengecualian bagi usaha kecil dengan sanksi yang lebih ringan dan lebih mendidik.
(4)
Terkait
peraturan
tersebut,
pemberlakukan
otonomi
daerah
sesungguhnya
tidak
hanya
untuk
peningkatan
PAD,
namun
untuk
menciptakan iklim atau atmosfir yang
memungkinkan masyarakat menolong
dirinya sendiri, mengambil
prakarsa-prakarsa usaha yang bisa membantu
pemerintah sehingga bisa mengurangi
pengangguran
dan
mengatasi
kemiskinan. Dalam situasi saat ini
diperlukan kebijakan-kebijakan yang
memberikan stimulasi pada sektor
usaha (besar, menengah, dan kecil).
Upaya-upaya pemerintah Pusat
tersebut tidak akan banyak berdampak
mendorong perekonomian di daerah
apabila pemerintahan daerahnya sendiri
tidak melakukan perbaikan internal.
Perbaikan internal meliputi perubahan
cara pandang terhadap makna otonomi
dan paradigma pembentukan perda yang
memenuhi kriteria perda kondusif
terhadap iklim usaha dan investasi.
Dari
hasil
analisis
dan
pembahasan
secara
umum
bahwa
peraturan perbankan maupun peraturan
lainnya dibuat masih berdasarkan pada
ego
sektoral,
belum
dilakukan
koordinasi dan sinkronisasi antara
pihak-pihak yang bertanggungjawab
dan
mempunyai
komitmen
dalam
pengembangan UK. Untuk itu maka
rekomendasi
konkrit
terhadap
pembiayaan dan pemberdayaan UK
dapat diwujudkan melalui kebijakan
berupa :
1)
Bagi
pihak
pemerintah,
perlu
melakukan revisi terhadap UU No.
9 tahun 1995 tentang usaha Kecil
dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan dengan lebih
melibatkan
peran
serta
para
stakeholders yang terkait dengan
Usaha Kecil. Dengan demikian
diharapkan akan diperoleh peraturan
yang
responsif
terhadap
pengembangan.
2)
Bagi
pihak
Pemerintah,
perlu
memperbaiki
dan
meningkatkan
kinerja sistem penjaminan kredit
yang sudah ada sesuai dengan
kebutuhan pendanaan UK untuk
memfasilitasi kebutuhan dana UK.
Untuk membantu terciptanya skema
penjaminan kredit yang efektif dan
efisien
perlu
segera
dibentuk
undang-undang tentang lembaga
penjaminan kredit untuk UK.
3)
Bagi
Bank
Indonesia,
perlu
melakukan
peninjauan
kembali
terhadap PBI yang mengatur tentang
KUK, PBI tentang Self Regulatory
(5)
Banking, yang berkaitan dengan
UK.
Beberapa
rekomendasi
yang
dapat disampaikan berkaitan dengan
adanya peraturan lain diluar peraturan
perbankan yang dapat menghambat
usaha atau pembiayaan UK sebagai
berikut:
1)
Pemerintah
Daerah
perlu
mempertimbangkan
untuk
mengurangi pemungutan retribusi
terhadap UK. Pemerintah harus
secara
konsisten
dan
kontinyu
melakukan
pengawasan
dan
evaluasi terhadap perda-perda yang
menghambat pengembangan UK.
Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang
Pemerintahan
Daerah.
Pemerintah
dapat
melakukan
pembatalan terhadap perda-perda
yang melanggar ketentuan
undang-undang, apabila perda tersebut
menimbulkan
distorsi
bagi
perekonomian.
2)
Perlu dilakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pemerintah Daerah
khususnya mengenai Pajak dan
Retribusi Daerah. Beberapa usulan
perubahan mengenai Pajak dan
Retribusi Daerah yang berkaitan
dengan upaya pengurangan perda
bermasalah di antaranya pertama,
memberikan pembatasan kepada
pemda dalam penerbitan perda
untuk pajak dan retribusi daerah.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara
menerapkan
jenis-jenis
pajak
maupun retribusi daerah yang boleh
dipungut oleh pemda (closed list).
Kedua, memberikan sanksi yang
signifikan bagi pemda yang tetap
menerbitkan dan menerapkan perda
pungutan
yang
mengganggu
perekonomian.
Sanksi
tersebut
adalah dengan menunda alokasi
dana perimbangan, maupun dengan
mengurangi jumlah alokasi dana
perimbangan
ke
daerah
bersangkutan.
3)
Perlu pengaturan tempat usaha yang
merupakan fasilitas bagi UK
dengan
harga
terjangkau.
Penyediaan dan penataan tempat
terbuka untuk pedagang kaki lima
dengan Peraturan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - Buku
Abdulkadir, Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004..
Attamimi, A Hamid S, Perananan Kepres dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI Jakarta, 1990
(6)
Gunawan, Rachmadi, Efektivitas Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan 10 tahun 1998 melalui Lembaga Penjaminan dalam rangka Melaksanakan Prinsip Kehati-hatian (Studi di bank Mandiri Malang Cabang Wahid Hasyim), Skripsi, Tidak dipublikasikan, Fakultas Hukum Universitas brawijaya, Malang, 2006. Manan, Bagir, Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill. Co, Jakarta, 1992
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.
Haslim, Hasnanuddin, Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi Bank, Seminar Sehari Prospek Perbankan Nasional Pasca Likuidasi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, 17 desember 1997.
Ibrahim, Johanes, Cross Default and Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Radika Aditama, Bandung, 2004.
Siamat, Dahlan , Manajemen Lembaga Keuangan, Penerbit Inter Media, Jakarta, 1995.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Kanisius, Yogjakarta, 2003.
Hamidi, Jazim, Indikator Peraturan Daerah (Perda) Bermasalah Yang Menghambat Investasi Ke Daerah, Makalah Lepas, 2005.
B. Artikel, Jurnal Ilmiah, Dan Hasil Penelitian
Jawa Pos, Kredit Macet Bank di Jatim Melonjak Akibat Peningkatan Suku Bunga, Senin, 6 Februari 2006.
Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Di Indonesia, Biro Kredit, Bank Indonesia, 2005.
Bank Indonesia Malang, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Binaan Dan Sekitar Perguruan Tinggi Di Malang, Juni 2006.
Suara Merdeka, Senin 2 Mei 2005 Sinar Indonesia Baru, Senin 11 Juni 2006
C. Peraturan Perundang-Undangan KUH Perdata
UU No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998.
UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Peraturan pemerintah No. 95 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah
Perda tentang Tata Ruang Perda tentang Perijinan