PERDA NO 28 TAHUN 2012 TENTANG TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH I(ABUPATEN TULUNGAGUNG
PERATURAT{ DAERAH KABUPATEIV TULUNGAGUNG

NoMoR 28

TAHUN2OI2

TENTANG
PENGENDALIAN
TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YAITG MAHA ESA

BUPATI TULUNGAGUNG,

Menimbang:

bahwa ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagai
sumber daya genetik untuk pengembangbiakan ternak
harus dijaga kelestarian dan ketersediannya;
b. bahwa dalam rangka menjaga kelestarian dan mencukupi
ketersediaan bibit ternak sapi dan kerbau betina produktif

sebagaimana dimaksud pada huruf a, ma_ka seluruh
a.

kegiatan yang berkaitan dengan pengeloiaan dan

pemalfaatan ternak sapi dan kerbau betina produktif perlu
dikendalikan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

pada huruf a dan huruf b, maka perlu membentuk

Peraturan Daerah tentang Pengendalian Ternak Sapi dan
Kerbau Betina Produktif di Kabupaten Tulungagung;

Mengingat

:

1.


Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945;

z-

Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1950

Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten
Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran

tentang
Dalam
Negara

Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

9)


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 273O);

32 Tahun 2OO4 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor

Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran

Negara

Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor

(,


-2-

59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
48441;
4.

5.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
Undang-Undang Nomor L2 Tahun 20ll tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 20ll Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
523a1;

Peraturan Pemerintah Nomor


22 Tahun 1983

tentang

Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);
7.

8.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 20 1 I te ntang
Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5260):
Peraturan

Menteri

Pertanian
Nomor
i
36/Permentan/ OT.laO I 812006 tentang Sistem Perbibitan
Nasional;
9. Peraturan
Menteri
Pertalian
Nomor
35/Permentan/OT.l4Ol7 /20ll
tentang
Pengendalian
Ternak Ruminansia Betina Produktif;
10. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Uru san Pemerintahan Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung
(Lembaral Daera,h Kabupaten Tulungagung Tahun 2009
Nomor 01 Seri D);
11. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 16
Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja perangkat

Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun
2011 Nomor 02 Seri D);
12. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 21
Tahun 2}ll tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2012
Nomor O5 Seri E);
13. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 15
Tahun 2Ol2 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2O12
Nomor 11 Seri E).

u

..:

--t

-

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN TULUNGAGUNG
dan
BUPATI TULUNGAGUNG
MEMUTUSKAN:

MenetapKan:

PERATURAN DAERAHTENTANG PENGENDALIANTERNAK
SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal

I

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan
1. Daerah adalah Kabupaten Tulungagung.

:


2. Pemerintal Daerah adalah Pemerintah
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.

Kabuoaten

Tulungagung.
Bupati adalah Bupati Tulungagung.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Tulungagung
Dinas Peternaftan yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas

Peternakan Kabupaten Tulungagung.
Kepala Dinas Peternakan yang selanjutnya disebut Kepala
Dinas adalah Kepala Dinas Peternakan Kabuoaten
Tulungagung.
Petugas yang berwenang yang selanjutnya disebut petugas
adalah Dokter Hewan atau Petugas lain yang ditunjuk oleh
Kepala Dinas.
Ternak asli adalah ternak yang kerabat liarnya berasal dari dan
proses domestikasinya terjadi di Indonesia.
Ternak loka,l adalah ternak hasil persilangan atau introduksi
dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai
generasi kelima atau lebih yng teradaptasi pada lingkungan
dan/atau manajement setempat.

Ternak sapi dan kerbau betina produktif adalah sapi dan
kerbau betina yang telah dewasa kelamin sampai melahirkan
kurang dari 5 (lima) kali atau berumur kurang dari 8 (delapan)

tahun.
f 1. Bibit ternak yang selanjutnya disebut bibit adalah ternak yang

mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi
persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.
12. Pembibitan adalah serangkaian kegiatan pembudidayaan untuk
menghasilkan bibit sesuai dengan pedoman pembibitan ternak
yang baik.

u

:.
-a-

Penjaringan adalah serangkaian kegiatan untuk meperoleh
ternak sapi dan kerbau betina produktii yang akart dijadikan
ternak bibit dari hasil seleksi.
14. Seleksi adalah serangkaian kegiatan memilih ternak sapi dan
kerbau betina produktif dad populasi sesuai kriteria bibit.
15. Identifikasi status reproduksi adalai serangkaian kegiatan
pemeriksaan untuk memiiih ternak sapi dan kerbau betina
produktif dan yang tidak produktif.
16. Pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif adalah
seralgkaian kegiatan untuk mengelola penggunaan sapi dan
kerbau betina produktif melalui identifikasi status reproduksi,
13.

seleksi, penjaringan dan pembibitan.

ternak yang mempunyai ciri dan
karakteristik luar serta sifat keturunan yang sama dari satu

17. Rumpun adalah sekelompok

spesies.

Galur adalah sekelompok individu ternak dalam satu rumpun
yang dikembangbiakkan untuk tujuan pemuliaan dan/atau
karakteristik tertentu.
19. Sumberdaya genetik ternak adalah substansi yang terdapat
dalam individu suatu populasi rumpun ternak yang secara
genetik unik yang terbentuk dalam prose s domestikasi dari
masing-masing spesies yang merupakan sumber sifat
keturunan yarg mempunyai nilai potensial maupun nyata serta
dapat dimanfaatkan dan dikembangbiakkan atau dirakit untuk
menciptakan rumpun atau galur unggul/baru.
20. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah
komposisi genetik pada sekelompok ternat dari suatu rumpun
atau galur guna mencapai tujuan tertentu.
21. Uji performans adalah methode pengujian untuk memilih
ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi
pengukuran, penimbangan dan peniiaian.
22.Uji, zuriyat adalah methode pengujian untuk mutu genetuk
calon pejantan untuk mengetahui produksi anak betinanya.
18.

23.

Teknologi biologi molekuler adalah teknologi

yang

UP|D adalah satuan organisasi bersifat mandiri

yang

memanfaatkan molekul DeoxyribonucleicAcid (DNA) untuk
menghasilkan individu yang membawa sifat-sifat tertentu.
24. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah
suatu bangunan atau komplek bangunan dengan desain dan
syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong
hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
25. Unit Pelatsana Teknis Dinas yang selanjutnya disebut dengan
melalsanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis
penunjang dari organisasi induknya di Daerah.

u

BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Pengendalian

ternak sapi dan kerbau betina

produktif

dilaksanakan berdasarkan azas :
a. kemalfaatan dan berkelanjutan;
b. keamanan dan kesehatan;
c. kerakyatan dan keadilan;
d. keterbukaan dan ketemaduan;
e. kemandirian;
f. kemitraan;dan
g. keprofesionalan.
Pasal 3

Tujuan pengendalial ternak sapi dan kerbau betina produktif ini
adalah:
a. mengelola sumber daya hewani secara bermartabat, bertanggung
jawab dan berkelaljutan;
b. mencukupi kebutuhan pangan asal hewan secara mandiri, berdaya
saing dan berkelanjutan;
mempertahankan
c.
keberadaan dan populasi ternak sapi dan kerbau
betina produktif;
d. melindungi ternak sapi dal kerbau betina produktif dari ancarnan
pemotongan;
e. menjaga ketersediaan bibit sapi dan kerbau yang berkualitas.
BAB III
PtrNGIDENTIFIKASIAN STATUS REPRODUKSI
Pasal 4

(l) Pengidentifikasian dilakukan untuk mendapatkan ternak sapi dan
kerbau betina produktif dari populasi ternak sapi dan kerbau
betina.

dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan di UPID, kelompok peternak, pasar hewan, RpH dan

(2) Pengidentifikasian sebagaimana

tempat pelayanan lainnya.
Pasal 5
(1)

Pengidentifikasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

(2)

dilakukan oleh tenaga kesehatan hewan.
Tenaga kesehatat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usulan Kepala Dinas.

(1)

Pasal 6

(1) Pengidentifikasian sebngeimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dilakukan terhadap ternak sapi dan kerbau betinayang:
a. telah dewasa kelamin sampai melahirkan kurang dari 5 (lima)
kali atau berumur kurarg dari 8 (delapan) tahun.
b. tidak cacat lisik;

G

-o-

c.
d.

memiliki organ reproduksi normal dan/atau tidak mengalami
gangguan;dan
memenuhi persyaratan kesehatan reproduksi.
Pasal 7

Pengidentifikasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat
menghasilkan ternak sapi dan kerbau betina tidak produktif dan
ternak sapi dan kerbau betina produktif;
t2l Terhadap ternak sapi dan kerbau betina tidak produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan penggemukan
untuk dijadikal ternak potong;
(3) Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan seleksi untuk dijadikan bibit.
(11

BAB IV
PENYELEKSIAN
Pasal 8

Penyeleksial ternak sapi dan kerbau betina produktif untuk
dijadikan bibit sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3)
dilakukan berdasarkan kriteria bibit.
Pasal 9

(1) Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan
terhadap ternak yang memenuhi kriteria:
a. merupakan ternak asli dan/atau lokal;
b. sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang dinyatakan
dengan surat keterangan dokter hewan;dan
c. memiliki performa memenuhi standard bibit.
(2) Performa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c didasarkan
pada rumpun, umur, kuantitatif dan kualitatif.
Pasal 10

(l)Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam pasal g dilaksanakan
oleh pengawas bibit;
(2)Pengawas bibit sebagaimana dimaksud pada ayat {1} ditetapkan
oleh Bupati berdasarkan usulan Kepala Dinas.
Pasal

11

Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif yang sesuai
dengan kriteria bibit sebagaimana dimaksud dalam pasal g
direkomendasikan kepada Bupati melalui Kepala Dinas untuk
dilakukan penjaringan.

tL

-7-

BAB V
PENJARINGAN
Pasal 12
(1)

(2)

Penjaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dila-kukan
dengan cara pemeriksaan terhadap dokumen kepemilikan ternak
yang dikeluarkan oleh Kepala Desa / Lurah.
Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif hasii
penjaringar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diberikan
tanda untuk selanjutnya dilakukan pembibitan di UPID danlatau
kelompok peternak.

BAB VI
PEMBIBITAN
Pasai 13

(l) Bibit yang dihasilkan da-ri proses penjaringan dikualilikasikan

secara berjenjang meliputi bibit dasar, bibit induk dan bibit

sebar.

(2) Bibit dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari
proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai

pemuliaan diatas nilai rata-rata.
(3) Bibit induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoteh dari
proses pengembangbiakan bibit dasar.
(4) Bibit sebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari
proses pengembangbiakan bibit induk.
Pasal 14

(1) Dalam rangka mempertahankan bibit dasar sebagai rumpun
dal/atau galur murni dilakukan usala-usa,ha untuk menjaga

kemurnian.
(2) Untuk menjaga kemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pengembangbiakan bibit dasar dilakukan dengan mengawinkan
di dalam rumpun d,an/atau galur dengan menghindari terjadinya
kawin antar keluarga.
(3) Selain dengan mengawinkan didalam rumpun dan/atau galur,
pengembangbiakan dapat dilakukan dengan persilangan.
(41 Pengembangbiakan bibit dasar melalui persilangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan di kawasan atau
di lokasi yang bukan wilayah sumber bibit dan tidak
bertentangan dengan kaidan-kaidah agama, sosial budaya dan
keamanan hayati.
Pasal 15
(1)
(21

Pengembangbiakan bibit dapat dilakukan oleh pemerintah
Daerah, badan hukum, kelompok peternak dan/ atau perorangan.
Pemerintah Daerah membina berkembangnya penangkaral bibit
di wilayah-wilayah sumber bibit.

u

-8-

(3) Perorangan warga Negara asing dan/atau badan hukum asing
yang melakukan pengembangbiakan bibit dasar yang berasal dari

sumber daya genetik ternak asli atau lokal untuk tujuan
komersial harus memperoleh izin berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16

(1)

(2)

(3)

Pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak yang mengandung
materi genetik hasil pemuliaan ternak asli dan/atau lokal
dilakukan oleh Bupati melalui Kepala Dinas.
Pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak yang mengandung
materi genetik hasil pemuliaan ternak asli dan/atau lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan komersial
dapat dilakukan oleh badan hukum, asosiasi, koperasi peternak,
setelah mendapat izin dari Bupati melalui Kepala Dinas.
rzin pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 17

Badan hukum, asosiasi, koperasi peternak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2) harus membantu dalam kegiatan pengelolaan
sumber daya genetik ternak yang dilakukan oleh kelompok peternak.
Pasal 18
Proses produksi

bibit harus dilakukan dengan memperhatikan aspek
kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat
veteriner, bioetika dan kelestarian lingkungan.
Pasal 19

Pembibitan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dilakukan
melalui pemuliaan serta mengacu pada pedoman pembibitan ternak

yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KESE.JAHTERAAN TERNAK
Pasal 2O

(1) setiap usaha peternakan sapi dan kerbau harus mengindahkan
aspek kesejahteraan ternak.
(21

Aspek kesejahteraan ternak sapi dan kerbau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan penanganan,
penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan,

pengangkutan, pemotongan dan penyembelihan, serta perlakuan
dan pengayoman yang wajar terhadap ternak sapi dan kerbau.
(3) Kesejahteraan ternak sapi dan kerbau sebagaimana dimaksud
pada ayat (21 diwujudkan melalui cara-cara yang manusiawi
berupa :
a. penempatan dan pengandangan ternak sapi dan kerbau agar
dapat mengekspresikan perilaku alaminya;

Lh

-9-

b. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman
ternak sapi dan kerbau agar bebas dari rasa lapar dan haus,
rasa sakit, pengaliayaan dan penyalahgunaan, serta rasa
takut dan tertekan:
c. pengangkutan ternak sapi dan kerbau tanpa menimbulkan
rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
d. penggunaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau tanpa
pengan iayaan dan penyalahgunaan;
e. pemotongar dan pembunuhan ternak sapi dan kerbau tanpa

disertai dengan rasa sakit, rasa takut dan tertekan,

penganiyaan, dan penyalahgunaan.
BAB VIII
PENGENDALIAN PEMOTONGAN
Pasal 21

Upaya pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif dari
pemotongan dilakukan melalui :
a. sosialisasi kepada pelaku pemotongan dan tata niaga ternak;
b. komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat; dan

c. intensifikasi pemeriksaan ternak sapi dan kerbau betina produktif
yang akan dipotong.
Pasal 22

(1) Setiap pemilik ternak sapi dan kerbau yang akan memotong
ternak sapi dan kerbau betina, wajib melapor kepada petugas
untuk dilakukan pemeriksaan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan di
kandang penampungan RPH atau ditempat lain paling singkat 1
(satu) hari dan paling lama 3 (tiga) hari sebelum dipotong.
(3) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Petugas menerbitkan Surat Keterangan Hasil
Pemeriksaaa Ternak Sapi dan Kerbau Betina.
Pasal 23

Ternak sapi dan kerbau betina produktif segera dikeluarkan dari RpH
dan diselamatkan melalui program penyelamatan dan penjaringan
ternak sapi dan kerbau betina produktif.
Pasal 24

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dikecualikan
terhadap pemotongan ternak untuk keperluan upacara keagamaan
dal/ atau upacara adat.

h

-10-

Pasal 25

(1) Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dipotong
kecuali untuk keperluan penelitian, perbibitan, atau untuk
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.

(2) Pemotongan ternak sapi dan kerbau betina hanya diperbolehkan
jika ternak sapi dan kerbau betina dalam keadaan:
a. cacat sejak lahir;
b. mengalami kecelakaan berat;

c. menderita penyakit hewal menular;
d. membahayakan keselamatan manusia; dan
e.

tidak memenuhi standa,r bibit dan/atau apabila populasi
terna-k betina telah mencukupi ketersediaan bibit ternak pada
tingkat populasi yang aman.

(3) Tingkat populasi yang aman sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hurufe ditetapkan dengan Keputusar Bupati.
(4) Terhadap pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus diadakan pemeriksaan oleh Petugas dan dilaporkan
kepada Kepala Dinas.
Pasal 26

Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dibuat sakit atau
cacat untuk tujuan menghindar dari larangan pemotongan.
BAB IX
PENGENDALIAN LALU LINTAS TERNAK
Pasal 27

(1) Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dikeluarkan
dari wilayah Daerah kecuali untuk dibudidayakan.
(2) Usaha pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif
untuk budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus
memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a. mendapatkan rekomendasi pengeluaran ternak sapi dan
kerbau betina produktif dari Kepala Dinas;
b. ketersediaan bibit di daerah mencukupi;

c. daerah

tujuan

memiliki

lokasi/unit

untuk

pembibitan/ budidaya ternak; dan

d. daerah tujuan menjamin bahwa bibit temak dari daera,h akan
dibudidayalan dan tidak dipotong.
(3) Tatacara usaha pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina
produktif untuk budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
IA

-l tBAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 28

(l)Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk pengendalian ternak
sapi dan kerbau betina produktif;
(2)Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan kemampuan keuangan Daerah dan dapat dilakukan
berdasarkan prioritas ternak sapi dan kerbau betina produktif
yang akan dijaring sesuai dengan kondisi spesifik lokasi.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 29

(l)Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka
pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif;
(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatal sosialisasi dan peran serta masyarakat.
(3)Pengawasan pengelolaan ternak sapi dan kerbau betina produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Dinas
(4)Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan
oleh Kepala Dinas kepada Bupati setiap 3 (tiga) bulan.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 30

(l)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 15
ayat (1) dapat dilakukan sejak identifikasi status reproduksi,
seleksi, penjaringan dan/ atau pembibitan;
(2)Bagi warga masyara-kat yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1) diberi penghargaan oleh pemerintah
Daerah.
BAB XIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 31

(l)Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 dan pasaj 2T ayat (l)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau
pidana denda paling banyak Rp.5O.000.00O,- (lima puluh juta
rupiah).
(2)Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah 1/3
(sepertiga) jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau korporasi.
(3)Tindak pidana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.

(s

''.
t.)

Pasal 32

Pengenaan sanksi pidana berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud da.lam Pasai 31 tidak membebaskan peiaku dari
pengenaan sanksi pidana berdasarkan peratura,n perundangundangal yang berlaku.
Pasal 33

Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,dan/ atau
peredaran;
c. pencabutan nomor pendafta-ran dan penarikan obat hewan, pakan,
alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
d. pencabutan izin; ataru
e. pengenaan denda.
Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pengenaan sanksi pidana
dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 33 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 35
(

1)

Pegawai Negeri Sipil tertentu

di lingkungan

Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan

penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara pidana;
(2)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang
diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
(3)Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Slpil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dal meneliti keterangan
atau laporan berkenaar dengan tindak pidana dibidang
Peternakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribada atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengaa tindak pidana dibidang
Peternakan;

c.

Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau
Badalsehubungan dengan tindak pidana dibidang peternakan;

(t

-lJ-

d. Memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan

dengan

tindak pidana dibidang Peternakan ;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan,pencatatan dan dokumen lain serta melakukan
penltaan terhadap bahal bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli da-lam rangka melaksaaakan
tugas penyidikan tindak pidana dibidang Peternatan;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan

ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan

sedang

berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. Me motret seseorang yang berkaitan dengan tindat pidana
dibidang Peternakan;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan;dan/atau
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangal.
(4)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahakan
Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung.
Ditetapkan

di

Tulungagung

padatangsal ?B DEC Z1n
BUPATI TULUNGAGUNO,A

Diundangkan di Tulungagung
pada
25 Pebruari 2013

t6-/

HERU TJAHJONO

DAERAH

Pembina Utama Muda
NrP. 19590919 199003 1006

lembaran Daerah Kabupaten T\rlungagung
Tahun 2Ol3 Nomor 7 Seri E

0

-t4PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH I{ABUPATEN TULUNGAGUNG

NoMoR 28

tanunzorz

TENTANG
PENGENDALIAN
TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

I.

UMUM

Dengal telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2O09
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dimana di dalamnya mencakup
beberapa aspek penting baik dalam segi penyelenggaraan peternakan
maupun penyelenggaraan kesehatan hewan, maka perlu diambil kebijakan
dibidang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif.
Peraturan Daerah tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau
Be

tina Produktif merupakan salal satu kebijakan dalam rangka
di bidang peternakan sebagai sumber daya genetik untuk

pengendalian

pengembangbiakan yang harus dijaga kelestarian dan ketersediannya.
Dalam rangka menjaga kelestarian dal mencukupi ketersediaan bibit
ternak sapi dan kerbau betina produktif, maka seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau
betina produktif perlu dikendaiikan.

Peraturan Daerah ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum
dan pedoman kebijakan dalam pengendalian ternak sapi dan kerbau betina
produktif, sehingga kelestarian dan ketersediaan bibit ternat sapi dan
kerbau betina produktif dapat teqjaga keberadaannya.
II.PASAL DEMI PASAI
Pasal I
Cukup jelas.
Pasa,l 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan asas "kemanfaatan dan keberlanjutan"
adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dapat
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan
mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan

memerhatikan kondisi sosial budaya.
Huruf b
Yang dimatsud dengan asas "keamanan dan kesehatan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan harus menjamin

produknya aman, layak untuk dikonsumsi, dan meniamin

ketenteraman batin masyarakat.

Huruf c

Yang dimaksud dengan asas 'kerak5ratan dan keadilan" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan memberikan
peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada
semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, da_lam

b

,
'

-15-

memberikan

izin harus dicegah tefadinya praktik

monopoli,

monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.

Huruf d
Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan dan keterpadual" adalah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan
memerhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan
ketersediaan informasi yang dapat diakses oieh masyarakat serta
dilaksanakan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya
meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya .

Huruf

e

Yang dimaksud dengan asas "kemandirian" adalah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan mengutamakan
penggunaan bahan, sarana produksi, dan sarana pendukung lainnya
dari dalam negeri untuk mencapai penyediaan
ternak dan produk hewan bagi masyarakat.

Huruf f
Yang dimaksud dengan asas "kemitraan' ada.lah penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan

kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang
mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam berusaha secara

^

proporsional.

Huruf g

Yang dimaksud dengan asas "keprofesionalan'

adatah
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan melalui

pendekatan kompetensi

pengetahuan dan teknologi.

dan berorientasi pada kaidah

ilmu

Pasal 3

Cukup jelas.
Pasa-l 4

Cukup jelas.
Pasal 5

Cukup jelas.
Pasal 6

Cukup jelas.
Pasal 7

Cukup jelas.
Pasal 8

Cukup jelas.
Pasal 9

Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasa_l 13

Ayat (l)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Yang dimaksud mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata
adalah nilai ternak hasil pemuliaan diatas nilai rata-rata ternak pada
umumnya, baik dinilai dari segi genetik maupun performanya.

q
J/

-

l6-

Ayat (3)
CukuP jelas.
AYat (4)
CukuP jelas'

Pasal 14
CukuP jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 2O

Cukup jelas.
Pasal 21

Cukup jelas.

Pasd22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31

Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.

tJ'