M01369

1

REFLEKSI TERHADAP HUKUM MODERN
DALAM MEMPROYEKSIKAN HUKUM YANG BERPARADIGMA KERAKYATAN
Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum1

Abstrak

Refleksi terhadap hukum modern yang artificial, bersumber pada tafsiran bahwa hukum
modern mereduksi kenyataan social. Hukum aspiratif memberikan pertimbangan terbuka
terhadap hokum. Hukum berbasis pada perpaduan antara legalitas dan moralitas dalam keadilan
substansial, dan membebaskan cara berpikir positivistis legisme menuju hukum yang sesuai
dengan habitus tuntutan sosial masyarakat. Hukum berparadigma kerakyatan memiliki karakter
yang menuntut tidak adanya kesenjangan antara hukum dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam
masyarakat, termasuk acces to justice sebagaimana ide hukum responsive, critical legal studies,
hukum progresif. Interpretasi juridis tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan
juga terhadap kenyataan kemasyarakatan, oleh karenanya paradigma kerakyatan menjadi penting.

PENDAHULUAN

Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum

yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi „ conflct
of interest‟ karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum
berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya
terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas.
Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji
sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi
tercapainya masyarakat adil dan makmur. Pendekatan „rechtsdogmatic‟ yang berkutat pada
rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana

1

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

2

karakter hukum modern,

dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dan pembangunan

senyatanya.

Pandangan positivisme ini menjadikan keluaran keadilan yang dituju adalah keadilan
prosedural, sebagaimana acuan pada model hukum otonom dari Nonet dan Selznick yang sangat
menekankan pada formalitas demi integritas institusi.2
Pemahaman hukum secara komprehensif, menuntut pada saat pembentukan undangundang bahkan penegakan hukum itu sendiri

terlebih dahulu mengadakan suatu refleksi

terhadap interaksi hukum pada akar-akar sosial, politik, budaya, ekonomi, dan bukan hanya dari
sistem hukum serta peraturan-peraturannya sebagai kajian closed system. Hal ini berhubungan
dengan kenyataan-kenyataan masyarakat, yang harus mampu dijabarkan dalam hukum ketika
menjadi suatu sumber-sumber formal yang mengadobsi sumber hukum material. Oleh karena itu,
perspektif resmi yang dipakai oleh lembaga hukum yang berperan dalam pembentukan dan
penegakan hukum, akan selalu mendapatkan evaluasi dalam kemampuannya menjawab
kebutuhan masyarakat.
Selaras dengan pendapat Blau and Meyer bahwa birokrasi mempunyai kekuasaan yang
sangat besar untuk mengatur masyarakat3 Aparat kontrol sosial memiliki monopoli kekuasaan
atau otoritas untuk berhadapan dengan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat pencari keadilan
acapkali diposisikan sebagai pihak yang menduduki „ketakberdayaan masyarakat‟ .Karakter
paradigma civil (civilian paradigm) masih kurang menjadi bagian dari akuntabilitas penegakan
hukum.


2

Dalam hukum otonom dari Nonet dan Selznick, prosedur adalah jantung hukum, keteraturan dan
keadilan (fairness) dan bukannya keadilan substantif meupakan tujuan utama tertib hukum. Pada cara
hukum otonom seperti birokrasi modern , mendorong suatu pandangan yang bersifat sempit mengenai
kewajiban aparat, dan lembaga hukum menafsirkan kekuasaannya secara sempit menjauhkan diri dari
isu –isu kebijakan, bersembunyi dibalik netralitas dan menghindari inisiatif. Philippe Nonet, dan Philip
Selznick , Law and Society In Transition, Harper and Row, London, 1978.
3

Peter M.Blau and Marshall W.Meyer, terj.Gary R.Jusuf, Birokrasi dalam Masyarakat Modern , UI
Press, Jakarta, 1987, hal. 5.

3

Tuntutan akan Paradigma Kerakyatan
Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian
hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, termasuk hakikat
hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat

dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum.
Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak
dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada
keluwesan.

4

Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual

(rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.5.
Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya
aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam
masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau
bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang
ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi
terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana
hukum itu sendiri. Cerminan penyimpangan tujuan dari birokrasi yang diterima dalam proses
resiprositas dengan masyarakat merupakan respon birokrasi atau individu di dalamnya dalam
menghadapi kemampatan formalitas prosedur organisasi yang kaku dan upaya penegak hukum
untuk menigkatkan dan menarik keuntungan dari masyarakat serta menekan hambatanhambatannya.

4

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 83-84. Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui
sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma
dasar moral terutama keadilan. Kelamahan hukum kodrat bahwa paham kodrat tidak dapat dipastikan
secara objektif, dan bahwa bagaimanapun tidak dapat menarik kesimpulan normatif dari suatu kodrat
.faktual dianulir dengan paham bahwa norma-norma , atau hukum, moral tidak lagi dipahami sebagai
hukum kodrat melainkan menurut paham etika pada umunya. lihat Ibid, hal. 95,98-99. Kebutuhan
hukum dalam masyarakat dirasakan untuk menciptakan keadilan, dan peraturan-peraturan yang ada
serta penerapannya menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain . Mengutip dari
Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan
berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum
tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.19-20

5

Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap , alih bahasa B.Arief
Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.


4

Kecenderungan

penegakan

hukum

meringankan

golongan

masyarakat

yang

berkekuasaan dan menekan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan menjadi stigma
masyarakat terhadap bekerjanya penegak hukum yang bersifat berat sebelah atau diskriminatif.
Mengkaji mengenai tuntutan akan paradigm kerakyatan dalam berhukum, maka hal ini

sangat terkait dengan akses keadilan/acces to justice dari masyarakat untuk diakomodasi oleh
lembaga dan pranata hukum Dalam tulisan ini, tidak hanya dibatasi pada akses keadilan dalam
sistem peradilan pidana, namun secara umum akses keadilan atau acces to justice dari
masyarakat terhadap birokrasi penegak hukum baik pidana, perdata, bahkan birokrasi eksekutif..
Sikap secretive dan self devence dari birokrasi/lembaga hukum masih dialami publik
untuk mengakses keadilan. Adapun sikap yang tertutup dari birokrasi ini tercermin dari sikap
yang tidak berkooperatif, tidak mengemukakan secara jelas/clearly defined scope of
responsibility.

”The resistance phenomena ” masih muncul manakala penegak hukum memandang
bahwa komplain dari masyarakat mengenai tugas Penegak hukum
terhadap birokrasi penegak hukum. Oleh karena itu terjadilah

merupakan intervensi

mistrustful of the attempt to

orchestrate change from outside. Kemampuan dan kemauan penegak hukum untuk merespon

komplain juga menjadi kunci penting. Institusi penegak hukum


masih extremely formalistic,

dan masih berpedoman pada keadilan prosedur semata.

Dalam kenyatannya wajah hukum dimasyarakat ditandai oleh tuduhan yaitu diskriminatif,
arogan, sewenang-wenang, tertutup dalam pengkonstruksian pengambilan keputusan, tertutup
terhadap aspek pengawasan publik, tidak profesional, tidak mempedomani ketentuan normatif
yang menjunjung hak asasi, serta

hanya memberikan informasi prosedural. Oleh karena

itu,wajah hukum di mata masyarakat dalam era demokrasi ini tidalah memiliki wajah „manusia
/”human face”, melainkan menjadi sekedar mesin atau robot.
Penggalian akan pemaknaan paradigma kerakyatan, adalah manakala terkukuhkan
adanya acces to justice dari para pencari keadilan yang notabene memiliki ketidakberdayaan.
Paradigma ini berarti berseberangan dengan Positivisme yuridis dari karakter hukum modern
yang sangat artifisial buatan dari para yuris profesional, dan bukannya tertib yang nature dari

5


hukum. Melalui ‟learning from the bottom up view‟s of law”, acces to justice dari kebutuhan
hukum dari masyarakat pencari keadilan dapat mendukung akuntabilitas hukum.
Adrian Bedner mengutip UNDP : acces to justice is the ability of the people to seek
and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice, and in conformity with
human rights standards. Acces to justice exists if : people , notably poor and isadvantage,
suffering from injustices, have the ability, to make their grievances be listened to, by state or non
state institutions, leading to redress of those injustice, on the basis of rules or principle of state
law, religious law or customary law, in accordance with the rule of law. 6

Dalam acces to justice membutuhkan „accessibility‟ maupun „intelligibility„, sehingga
acces to justice membutuhkan suatu “open justification‟,7 pada taraf proses dari justifikasi.

Informasi yang disampaikan juga harus memiliki akses keadilan ”to achieve better substantive
outcomes8. Oleh karena itu, paradigma kerakyatan memberikan adanya suatu partisipasi publik,

pengawasan publik yang mengegaliterkan suatu kekuasaan, supaya lebih dirasa populis dan
humanis.

Hal ini berarti memberikan suatu ruang publik untuk memperjuangkan hak-hak


subatansial mereka.
Publik isu yang dilontarkan masyarakat berkaitan dengan akuntabilitas penegakan
hukum memiliki tipikal untuk mengekaplorasikan problem hukum dan membuat rekomendasi
untuk perubahan kebijakan dan prosedur. Nilai dari pengawasan yang dilakukan melalui
pandangan publik ini dalam kapasitas untuk mengawal investigasi publik. Aspek laporan
masyarakat ini menyediakan „valuable information” mengenai pentingnya perubahan kebijakan
birokrasional. Sebenarnya penegsk hukum dan masyarakat melalui LSM maupun media dapat
melakukan share the common goal of serving the public.
Persoalan akan terpolarisasi dalam dua kutub yaitu antara keterikatan dengan formalitas
dan kewajiban mengemban „moral code‟ atau formality di satu pihak dan acces to justice untuk
Adriaan Bedner, Jacqueline Vel, Rolax,” An analytical Frame work for Empirical Research on Acces To
Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made Training Program : Training on
Socio Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between
Modern Law and Customary Law In Indonesia ., March-April 2010, Leiden University, Netherland. p.35.
7
Fred D.Agostino, Free Public Reason, Making it up as we go , New York : Oxford University Press,
New York, 1996,p. 58-60.
8
Stepphanos Bibas, Transparency and Participation In Criminal Procedural , New York : New York

University Law reviews, New York, Vol.86, 2006, p.140.
6

6

menunjukkan equity , accountability di lain pihak.
Menilik dari kesalahan positivisme sebagaimana karakter hukum modern, menurut
Scholten adalah bahwa positivisme sebagai material hanya melihat undang-undang,peraturanperaturan dan melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif terdapat hukum sebagai
bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam
kebersamaan.9
Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak
hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan

secara kaku dan tertutup, tanpa melihat

keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom,10merupakan suatu
tertib hukum yang mendukung „model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga
menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur
tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan
perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial, resistensi Penegak hukum terhadap
Lembaga Swadaya Masyarakat maupun pemerhati hukum lainnya. Sehingga birokrasi penegak
hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik
dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural.

Hukum Berparadigma Kerakyatan
Peraturan hukum itu memuat keinginan dan cita-cita para pembuatnya mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh warga negara dan apa yang dituntut hukum dari warga negara.
Dalam kajian ini berarti bah wa dalam substansi pembuatan perundang-undanngan diharapkan
melindungi kepentingan hukum masyarakat dan memuat nilai-nilai moral yang diharapkan dalam
masyarakat tersebut. Penulis berpendapat bahwa kehidupan hukum sudah selayaknya merupakan
suatu ekspresi nilai-nilai yang dihayati oeh anggota masyarakat untuk lebih menggambarkan
suatu „social nature‟ dari hukum .
Sebagai contoh misalnya, dari

sisi

korban, jalur peradilan pidana lebih dirasa

memberatkan dan kurang memuaskan rasa keadilan baik secara psikis maupun materiil Oleh

9

Paul Scholten, Op.cit, hal. 18.
Philip Nonet, Philippe Selznick, Op.,cit, hal. 44, 61.

10

7

karena itu,

perlu digali dan dikembangkan upaya-upaya

menyelesaikan sengketa-sengketa

hukum adat yang mampu

melalui prosedur perdamaian (conciliation procedures).

Demikian pula dalam suatu upaya penyelesaian atau pengelolaan konflik yang terjadi dalam
masyarakat.
Dalam contoh yang lain, misalnya dalam suatu kebijakan pemerintah untuk
penaggulangan kemiskinan, maka memahami kebutuhan yang riil dalam masyarakat akan
menjadikan kebijakan tersebut tepat dan mengena bagi masyarakat. Menyelami kebutuhan social
masyarakat akan membawa suatu kebijakan hukum menjadi kebijakan yang tidak kehilangan
korelasi atau kontak dengan kehidupan social yang sesungguhnya dalam masyarakat.
Edmond Cahn menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi
pihak-pihak yang harus dilindungi hukum yang disebut dengan ‘‟konsumen hukum‟ dalam hal
ini masyarakat luas, maka pandangan antroposentris tentang hukum sangat diperlukan.
Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana
manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai

konsumen-konsumen

paling utama dari hukum dan pemerintahan. Cara konkret manusia diperlakukan akan
menentukan nilai hukum. Dalam perspektif konsumen ini, memiliki cara bekerja sebagaimana
dikemukakan oleh Cohn yakni :
1. Perihal target dan peristiwa yang berkaitan dengan dampak hukum. Arti penting dari
setiap prinsip, aturan atau konsep diteliti dengan mengobservasi target manusiawi
yang terkena dampaknya. Metode ini mengungkapkan bahwa rasa ketidakadilan
membawa pengaruh vital bagi cara bekerjanya hukum.
2. Perihal konkretisasi manusia. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari
manusia seutuhnya, dan miliknya yang menjadi tempat bergantungnya Hukum
menjamin nilai sosial, cita-cita , dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti
bagi manusia seutuhnya.
3. Perihal proporsi relatif beratnya hal-hal. Meskipun responsif kepada kepentingan
efisiensi internal dan keuntungan, hukum memberikan arti yang jauh lebih besar
kepada kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
4. Perihal perhatian terhadap kasus-kasus tertentu. Tradisi bagi ahi hukum memakai
perspektif resmi untuk membenarkan sistem hukum dalam pengertian rata-rata,

8

statistik secara keseluruhan, dan cara bertingkah laku secara keseluruhan. Dalam
kenyataannya mengecilkan arti suatu minat terhadap hasil dari kasus-kasus tertentu
sebagai tidak ilmiah, tidak seperti ahli hukum. Sistem mereka bukanlah suatu sistem
apabila sifatnya tidak impersonal dan tidak acuh tak acuh. 11

Teori yang lain yang membidik pentingnya paradigm kerakyatan dalam berhukum
adalah konsep hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai jawaban atas kritik bahwa
seringkali hukum „tercerai berai dari kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan
sendiri.

12

Untuk lebih mengkaji hukum responsif, perlu diperbandingkan tipe hukum dalam

masyarakat seperti yang dikemukakan oleh arsiteknya, Philippe Nonet dan Philip Selznick , yaitu
„repressive law, autonomus law, dan responsive law‟ dalam bukunya „Law and Society in
Transition.13

Hukum represif seringkali dipakai sebagai dalih untuk menjamin ketertiban, dengan
kekuasaannya negara dapat menafsirkan arti tata tertib sesuai dengan kebutuhan dan perspektif
mereka sendiri. Tujuan legitimasi dalam hukum ini adalah demi kepentingan negara sendiri.
Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan represif. Reaksi dari hukum represif adalah timbulnya
hukum otonom yang menekankan legitimasi, dengan tujuan legitimasi adalah keadilan
prosedural. Hukum dipakai sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan

melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum dilepaskan dari realitas sosial. Model kekuasaan
berdasar hukum ini adalah lebih menganjurkan tunduk kepada otoritas dari pada kritik atas
otoritas.
Dalam perkembangannya timbul kritik terhadap hukum otonom dalam bentuk kritik
terhadap kekakuan legislatif yang asing terhadap kehidupan umum dalam masyarakat. Hukum

11

12
13

Edmond Cahn, Hukum Dalam Perspektif Konsumen, dalam AAG Peters,; Koesriani. Siswosoebroto,
Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 144,152-154.
Hukum dalam perspektif ini diperhadapkan pada perspektif resmi yang dikatakan sebagai cara
memandang problem kemasyarakatan oleh kepentingan dominan pemegang kekuasaan.
Ibid, hal. 158.
Philippe Nonet, Philip Zelnick, Op.cit, p 18. Dikemukakan bahwa repressive law, autonomous, and
responsive law are not distinc types of law but in some sense, stages of evolution in the relation of law
to the political and social order.

9

responsif menekankan pada kompetensi dengan tujuan legitimasi adalah memberi keadilan
substantif sebagai jaminan bagi perlakuan adil.14
Apabila disejajarkan, maka hukum modern lekat dengan paradigma legalisme liberal
(liberal legalism) yang menempatkan tujuan keadilan dicapai melalui prosedur dan memiliki
karakter pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban dalam frame hukum otonom.
Dalam perspektif Hukum Responsif sebagaimana disampaikan oleh Nonet dan Selznick
bahwa dalam hukum perlu responsivitas dengan menjadi sistem yang terbuka, mendorong
partisipasi. Namun demikian, Nonet dan Selznick juga mengungkapkan adanya kelemahan dari
suatu partisipasi publik yakni dengan konsep hukum resiko tinggi dan resiko rendah yang
muncul karena ketegangan antara dua pendekatan yaitu kebebasan dan kontrol sosial.
Pandangan resiko rendah tentang hukum dan ketertiban, menekankan betapa besar
sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas. Hukum dilihat sebagai resep
vital untuk tertib sosial, dan penghormatan yang tinggi kepada otoritas. Perubahan hukum akan
datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan yang ada pada agen-agen
hukum yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan. Pada pandangan risiko tinggi
tentang hukum dan ketertiban dikemukakan bahwa hukum dinilai sebagai sumber kritik dan
sebagai instrumen untuk perubahan, terbuka terhadap rekonstruksi dalam konteks bagaimana
pihak pihak yang diperintah memaknai hak mereka dan meninjau kembali komitmen moral
mereka.
Untuk menjadi responsif, sistem perlu terbuka terhadap dalam banyak hal dan
mendorong partisipasi. Terhadap kedua resiko hukum tersebut dikemukakan kelemahannya oleh
Nonet dan Selznick. Pada pandangan risiko rendah tentang hukum, karena relatif tidak responsif,
bisa mendorong penolakan kepada hukum dan mendatangkan krisis dan kekacauan dengan
ditutupnya saluran untuk menyatakan keberatan, partisipasi dan perubahan. Pada perspektif
14

Ibid, p.16,18,42,43, 64-71,73,93. Dalam hukum responsif, respon institusional yang ada
menggambarkan model perkembangan birokrasi yang memiliki tipe Post Birokratik. Ciri organisasi ini
memiliki tujuan berorientasikan misi, fleksibel, peraturan diarahkan pada subordinat terhadap tujuan,
dan penolakan terhadap keterikatan pada peraturan, pembuatan keputusan bersifat partisipatif,
berpusat pada masalah, ada asumsi mengenai lingkungan dengan tuntutan dan kesempatan berubahubah.14

10

risiko tinggi, bisa mengundang lebih banyak kesulitan daripada apa yang diperjuangkan, bisa
memunculkan kelemahan dan kebimbangan ketika berhadapan dengan tekanan, dan terlalu
banyak memberi kepada minoritas aktivis.15
Dari sudut hukum responsif, dilibatkannya konstituen baru menambah energi untuk
kinerja institusi-institusi hukum. Perluasan partisipasi hukum dari masyarakat pencari keadilan,
juga berarti mengambangkan nilai demokratik dari tatanan hukum, dan juga mampu memberi
kontribusi kepada kompentensi institusi-institusi hukum.
Hal menarik dalam rumusan di atas merupakan suatu nilai keadilan substantif yang
diperjuangkan dalam penegakan hukum, yang didekati tidak hanya dalam ranah positivistik
namun dalam pemikiran „inwoord looking„ dari rasa keadilan masyarakat, yang berarti menjadi
inti dari paradigma kerakyatan dalam berhukum. Rasa keadilan masyarakat adalah suatu keadilan
yang tentu dalam wajah keadilan substansial dan bukan pragmatis yang sebenarnya memiliki
muatan kepentingan latent yang justru melukai keadilan itu sendiri.
Memang, sisi positif dari tuntutan publik akan hukum yang berparadigma kerakyatan
memiliki sisi negatif, namun terkait dengan sumber daya yang menjadikan hukum yang terbuka
menjadi beresiko tinggi, maka kekhawatiran bahwa opini publik yang dibawa dalam tuntutan
tersebut mungkin atau bisa saja sebenarnya memiliki kepentingan latent dari sekelompok
masyarakat yang mengatasnamakan hukum. Inilah yang berarti hukum diposisikan sebagai
sesuatu yang dinamis menterjemahkan apa hukum yang berkeadilan substansial demi
keberpihakan pada rakyat tersebut. Dalam mana terjadi suatu selektivitas kebijakan pula, dan
keterelatifan dari suatu ‟ legitimasi ‟ publik yang harus diseleksi pula dan ini juga berada dalam
suatu lapangan penafsiran hukum.
Critical Legal Studies yang dianut dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa

hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi.

Melalui karakter critical legal

studies, pemenuhan nilai –nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal
studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap
menuju pada suatu

15

Ibid, hal 4- 6.

perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam

11

hukum. Bonaventura De Sausa Santos

16

mengungkapkan suatu gagasan baru yang mendobrak

gagasan lama yang bersifat individual, liberal, kapitalistik .
Unger menyatakan dalam teori hukum kritisnya bahwa tatanan hukum sebagai sistem
formalitas menghadapi dua masalah besar yang mendominasi hukum modern. Pertama adalah
perjuangan untuk keluar dari dilema kesewenang-wenangan dan formalisme membabi buta,
keadilan yang zalim, yang kedua adalah upaya untuk menciptakan perdamaian antara legalitas
dan moralitas dengan menolak ekstrem-ekstrem individualisme dan kolektivisme serta
menyediakan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas. 17
Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer

18

, dapat digambarkan adanya suatu

fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora.
Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma
yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan
Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya
dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah
hukum yang bersangkutan.

Diskrepancy antara pemegang otoritas hukum dan pencari keadilan, menandakan bahwa
kepekaaan birokrasi hukum untuk memaknai „public face of justice‟ masih lemah, sehingga
wajar apabila masyarakat kurang mempercayai bekerjanya hukum. Judicial corruption
menandakan ketidakpekaan lembaga hukum untuk lebih berkeadilan. Dialektis menjadi
tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum

tanpa

keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya..
Masyarakat pencari keadilan juga selayaknya mengacu pada cita hukum bersama yakni nilai
keadilan substansial.

Bonaventura de Sausa Santos “ Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The
Paradigmatic Transition, Routledge, London, 1995, P.8-9 The collapse of emancipation into
regulation
17
Roberto Mangabeira Unger, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam
Masyarakat Modern, Nusa media, Bandung, 2007, hal. 275.
16

18

Gadamer dalam Arief B.Sidharta; Struktur Ilmu Hukum Indonesia , Refleksi Hukum, Jurnal

Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008., hal.122.

12

Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya ternyata
dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga
hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap
keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam
pengambilan kebijakan.
Pada sisi masyarakat, kepentingan yang diperjuangkan pada satu sisi, hendaknya juga
perlu melihat pertimbangan lain. Hak asasi manusia yang dibawa, diperhadapkan juga pada
hak asasi masyarakat, dan hak-hak lainnya dalam jagad ketertiban. Untuk itu pertimbangan
moral yang mencakup keadilan substansial akan menjadi pertimbangan yang harus dielaborasi
dari sisi masyarakat.
Pencapaian akuntabilitas hukum yang berpihak pada masyarakat selama ini ternyata
masih samar dan belum optimal , karena nilai kejujuran terutama yang diharapkan masyarakat
belum sepenuhnya dilakukan. Pemaknaan hukum yang berparadigma kerakyatan berarti juga
wujud kejujuran

sistem hukum

yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan

menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif, dan diharapkan masyarakat. Birokrasi
hukum memiliki nilai demokrasi dan keterbukaan dengan membuka dialog dan emansipasi
masyarakat. Pada sisi lain, Selektivitas atas pengambilan keputusan hukum merupakan selera
yang diakui bersama baik masyarakat pencari keadilan maupun sistem hukum itu sendiri guna
keadilan substansial.
Pemikiran tersebut di atas, ini selaras dengan pemaparan Satjipto Rahardjo dalam
hukum progresif yang menolak pandangan bahwa hukum merupakan institusi yang otonom,
secluded, isolated dan isoteric. Dikemukakan Satjipto pula :

Hukum menciptakan suatu dunia baru di luar dunia realitas garapan ilmu kealaman.
Maka sebuah dunia artifisial berjalan berdampingan dengan dunia realitas. Perjalanan

13

keduanya saling bersilangan. Apa yang dikerjakan oleh hukum itu menusuk dan mengiris
ke dalam daging realitas, baik sosial, organisme maupun kehidupan lingkungan.19
Berdasar kajian teoretik di atas, jelaslah tekanan sosial dari masyarakat pencari keadilan
merupakan sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi kewibawaan hukum modern
itu sendiri. Untuk itu tujuan keadilan substansial harus menjadi panduan, dan bukannya keadilan
prosedural. Tujuan ini, menjadi pedoman untuk mengurangi kekakuan, secretif, oportunisme,
positivistik

dan mekanistik birokrasi ataupun sistem hukum yang ada, di samping juga

mengurangi resiko terjadinya kegagalan dalam penegakan hukum yang terarah pada nilai-nilai
keadilan. Inilah juga maksud dari paradigma kerakyatan dalam berhukum.

Penutup
Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan
bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses–proses sosial pengaturan atau
pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan,
kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman
manusia.
Perlunya suatu pendobrakan terhadap pembelajaran hukum yang selama ini lebih
berorientasikan kepada paradigma liberal positivistik dalam hukum modern, sehingga hanya
mengandalkan rasio /nalar sebagai pembenar. Dimensi di luar rasionalitas yang mengembangkan
kecerdasan di luar kecerdasan rasionalitas merupakan suatu angin segar yang akan membawa
peru bahan pada cara berhukum untuk lebih mendekatkan hukum pada habitusnya yakni rakyat
demi keadilan substansial dengan hukum yang berparadigma kerakyatan.
Peraturan dan prosedur rasional birokratis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras
dengan watak manusia, dan bisa

mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum. Untuk

membangun hukum yang mampu menjawab kenyataan sosial adalah hukum yang mampu belajar

19

Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing, Malang,
2008, hal.17.

14

dari kenyataan sosial itu, melalui cara pandang paradigma keraktaran yang bertolak bahwa
habitus hukum adalah rakyat, dengan tetap bertujuan pada keadilan substansial.

DAFTAR PUSTAKA
Bedner, Adriaan , Vel, Rolax, Jacqueline, An analytical Frame work for Empirical Research
on Acces To Justice, material on Tailorr Made Training Program , “Tailor Made
Training Program

: Training on Socio Legal Studies in Promoting and

Protecting Indigenous Rights : A Harmonization Between Modern Law and
Customary Law In Indonesia ., March-April 2010, Leiden University, Netherland.

Bibas, Stephanos, 2006, Transparency and Participation In Criminal Procedural,: University
Law reviews, New York Vol.86.
D.Agostino, Fred, Free Public Reason, Making it up as we go , New York :Oxford University
Press, New York, 1996.
Magnis Suseno, Frans, :Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991..
M.Blau Peter and.Meyer, Marshall W, terj.Gary R.Jusuf, ,Birokrasi dalam Masyarakat
Modern, Jakarta: UI Press,Jakarta, 1987.

Nonet, Philippe dan Selznick , Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and
Row, London, 1978.
Peters, AAG; Siswosoebroto, Koesriani., Hukum dan perkembangan Sosial Buku III. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
--------------------, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing,
Malang, 2008.
Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in
The Paradigmatic Transition, London : Routledge.,London, 1995.

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa
B.Arief Sidharta, Bandung : Alumni, Bandung, 2005.

15

Sidharta, B.Arief; 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia , Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum
Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008.
Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum
Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa media, Bandung, 2007.

Dokumen yang terkait