M01166

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 1

APAKAH STRESS TRAUMATIK MENGGANGGU OTAK?
EFEK NEUROPSIKOLOGIS STRESS ATAS OTAK

Aloysius Soesilo
Universitas Kristen Satya Wacana – Salatiga
Dipresentasikan dalam Seminar dan Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan
Dalam Rangka Dies Natalis ke 28
Dengan tema
OTAK, PROSES KOGNISI DAN PERILAKU SEHAT
Di Fakultas Psikologi – Unika Soegijapranata – Semarang
18 September 2012

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 2

APAKAH STRESS TRAUMATIK MENGGANGGU OTAK?
EFEK NEUROPSIKOLOGIS STRESS ATAS OTAK

PENGANTAR
Kata “stress” sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari dan orang yang

mengatakannya pada umumnya mempunyai pemahaman yang cukup beralasan tentang arti
stress. Orang yang mendengarkannya pun jarang salah memahaminya. Stress telah menjadi
istilah dan topik yang universal dan nonspesifik yang dipakai untuk mengungkapan aneka
ragam pengalaman hidup yang dinilai menekan, menyedihkan, mengancam, dsb. Kata itu
diucapkan ketika seseorang mengalami tekanan oleh boss dalam pekerjaa, kehilangan
pekerjaa, bentrok dengan pasangan hidup atau kerepotan mengurusi anak, hidup perkawinan
yang berantakan, gaji yang tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan, kemacetan lalu
lintas yang tidak pernah beres, harga-harga bahan pangan yang terus membumbung naik,
penyakit yang mengancam kehidupan, musibah bencana alam, dst. Bahkan pengalaman yang
dinilai positif pun bisa saja menimbulkan stress, seperti persiapan pesta perkawinan, diterima
bekerja di suatu perusahaan, atau diterima di perguruan tinggi, kelahiran bayi, dsb.

Peralihan dari bahasa umum ke diskusi ilmiah tentang stress bukanlah transisi yang
mulus. Dalam ranah ilimiah, studi tentang stress melibatkan banyak sekali disiplin (dan
subdisiplin), seperti neurologi, biologi, psikologi, psikiatri, farmakologi, dan neuroscience,
untuk menyebutkan beberapa disiplin pokok. Selain itu, topic stress memang menarik karena
dalam fenomen ini nampak jelas sekali kesaling-terkatian antara body- mind- spirit. Ada
begitu banyak hal yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan rumit tentang stress daripada
yang dibayangkan orang dalam percakapan sehari-hari.


Maksud utama dari artikel ini adalah untuk mendeskripsikan efek stress traumatik
pada struktur dan fungsi otak, serta hubungan antara perubahan-perubahan neurobiologis ini

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 3

dengan symptom-simptom yang dialami sesudah pengalaman traumatik. Oleh karena studi
tentang stress sendiri mengalami perkembangan, maka ada sejumlah pandangan atau teori
yang telah beredar dalam literatur. Untuk ini terasa tepat kalau pengertian tentang stress
dikemukakan terlebih dahulu. Dari bahasan ini segera kelihatan bahwa stress sesungguhnya
fenomen yang lebih rumit daripada yang dipahami publik dalam kehidupan seharian.

Tinjauan tentang hubungan antara sumlah region otak seperti korteks prefrontal,
amygdale, dan hippocampus akan dibahas oleh karena semuanya ini terlibat dalam respons
takut/stress. Paparan terhadap stress traumatik berkaitan dengan perubahan-perubahan di
dalam sistem limbik, hypothalamic – pituitary – adrenal (HPA) axis, dan sejumlah
neurotransmitter utama. Untuk ini aspek-aspek ini juga akan disinggung. Dengan kesadaran
akan kompleksitas stress traumatic, maka harus diakui di sini bahwa pembatasan area yang
dikenakan dalam kajian ini sudah merefleksikan sebuah penyederhanaan persoalan.

KONSEPTUALISASI STRESS


Studi awal mengenai fisiologi respons terhadap stress dipelopori oleh Walter Cannon dan
Hans Selye, kemudian diikuti oleh sejumlah ahli lainnya. Studi Cannon berfokus pada
response otonomik terhadap suatu stressor. Organisme akan mempersiapkan diri menghadapi
suatu stressor yang dianggap sebagai ancaman. Dari sini lalu bergulir sejumlah reaksi
neurobiologis, dimulai dari pelepasan epinephrine (adrenalin), yang kemudian mengaktifkan
cadangan energy tubuh melalui akselerasi denyut jantung dan tekanan darah serta respirasi,
mobilisasi glukosa darah. Reaksi-reaksi semacam ini membutuhkan energi yang besar, oleh
karena itu kebutuhan energi untuk aktivitas fisiologis lainnya yang dinilai tidak penting
disumbat, sehingga energy tersebut bisa digunakan semaksimalnya untuk reaksi-reaksi
disebut di atas. Sebagai kelanjutan dari proses ini, organism sampai pada posisi melawan atau
menyingkir dari stressor (fight-or-flight response), atau tidak mampu berbuat apa-apa atau
beku (freeze) (Thiel & Dretsch, 2011).

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 4

Hans Selye memperluas studi Cannon dengan menyoroti sistem utama yang berkerja
dalam keadaan stress, yakni sistem endokrin, atau HPA axis. Ia mengembangkan sebuah
konsep yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome, GAS) untuk
menggambarkan reaksi tubuh yang sifatnya nonspesifik dan semua stressor secara umum

dianggap membuahkan hasil akhir yang sama. GAS ini menurut Selye terdiri dari tiga tahap.
Pertama, tahap waspada atau peringatan , di mana dalam tahap ini terjadi aktivasi fisiologis
dari HPA axis dan sistem syaraf simpatetik (SNS) dalam menyiagakan individu untuk
menghadapi ancaman. Takah kedua adalah tahap resistensi. Dalam tahap ini berlangsung
upaya keras oleh individu terhadap ancaman. Tubuh berupaya untuk mempertahankan
kembali tingkat kesiap-siagaan. Akhirnya, tahap kelelahan (exhaustion) bilamana response
stress yang berlarut-larut menguras sistem daya tahan tubuh, dan dengan demikian menipis
kekuatan dan energy, yang mengarah pada gangguan penyakit.

Dalam hipotesis GAS, Selye berfokus pada pelepasan hormone-hormon
(glucocorticoids) dari korteks adrenal yang berperanan dalam respons stress. Glukokortikoid
diyakini sebagai mediator utama dalam GAS. Pelepasan kronis glukocortikoid berakibat pada
terjadinya tukak lambung, pembesaran adrenal dan merongrong sistem imunitas tubuh. Selye
memberikan kontribusi berarti bagi studi tentang stress, dan dipandang sebagai pelopor dalam
studi mengenai hubungan antara fisiologi GC dan stress (Thiel & Dretsch, 2011).
Perkembangan studi selanjutnya menunjukkan bahwa tidak semua stressor akan berakhir
dengan response fisiologis yang sama karena jenis dan sumber stressor, durasi, presepsi dan
penilaian (appraisal) individu serta komponen genetiknya ikut berperanan. Faktor-faktor
inilah yang dilewatkan oleh Selye dan diamati oleh ahli-ahli lain, misalnya James Mason dan
Richard Lazarus. Mason (1975) menyatakan ada karakteristik-karakteristik spesifik yang

membuat tubuh bereaksi, yakni faktor-faktor emosional dan situasional bisa mengubah
respons GAS. Secara spesifik, tiga hal yang disebutkan adalah: kebaruan situasi yang
dihadapi, ketidakmampuan untuk memprediksi, dan rendahnya sense of control. Kemudian,
faktor ke empat ditambahkan, yaitu ancaman terhadap ego. Keempat actor ini bersifat
independen dan adiktif. Independen berarti bahwa satu karakeristik diperlukan untuk

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 5

menginduksi sebuah respons stress. Adiktif berarti bahwa semakin banyak karanteristik yang
terlibat, samkin besar kekuatan respons stress (Marin & Lupien, 2011).

Perbedaan-perbedaan individu dalam hal kognitif dan motivasional yang
termanifestasi dalam appraisal dan coping dikedepankan oleh Lazarus (1991, 2006; Lazarus
& Lazarus, 1994). Variabel-variabel semacam ini menurut Lazarus menjembatani hubungan
antara stressor dan reaksi stress. Dengan kata lain, evaluasi atas stressor menentukan derajat
ancamannya dan kemampuan individu selanjutnya untuk melahirkan respons stress. Faktorfaktor genetik juga memberikan andil bagi adanya perbedaan individu dalam merespon stress.
Jadi, stressor bersifat relative dalam artian bahwa determinan yang menginduksi respons
stress bisa berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Dari sinilah konsep tentang
perbedaan individual menjadi penting dan selayaknya diperhatikan dalam studi stress.


Stress pada umumnya diakui memainkan peranan besar dalam pathogenesis sejumlah
besar gangguan psikiatrik. Namun kita juga mengetahui bahwa ada orang yang memiliki
toleransi tinggi terhadap stress, sekalipun itu dianggap berat dan berlangsung lama, tanpa
menjadi korbannya. Sementara itu, sebagian orang mempunyai tingkat ambang toleransi yang
rendah sehingga mereka begitu mudah mengalami gangguan sehubungan dengan stress.
Orang-orang seperti menunjukkan kerentanan constitutional terhadap efek stress, dan
keadaaan ini dikenal sebagai diathesis (Newport & Nemeroff, 2002).

Model diathesis/stress berkembang sejalan dengan meningkatnya pemahaman bahwa
pengalaman hidup traumatic, bersama dengan faktor-faktor genetic, epigenetic dan
lingkungan, memainkan peranan sentral di dalam etiologi berbagai penyakit. Model
diathesis/stress telah diaplikasikan pada beragam penyakit psikiatrik (misalnya, depresi,
schizophrenia, chronic fatigue syndrome, PTSD, gangguan anxietas, gangguan makan,
gangguan somatoform, dan AHDH) dan gangguan medis lainnya (misalnya, fibromyalgia,
rheumatoid arthritis, epilepsy, diabetes mellitus). Sedangkan kontribusi lingkungan untuk
diathesis bisa muncul dari banyak stressor biopsikososial. Dengan begitu, stress memainkan
peran ganda dalam patigenesis gangguan-gangguan seperti dicontohkan di atas. Pertama,

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 6


stress bertindak sebagai pemicu akut untuk gangguan ini bilamana stress terjadi bersamaan
dengan awal (onset) suatu penyakit. Kedua, stress akan menguatkan kecenderungan bagi
munculnya suatu penyakit di saat kemudian apabila stress terjadi sebelum dialaminya suatu
gangguan/penyakit. Penyakit itu sendiri merupakan sebuah stressor yang mampu
meningkatkan resiko untuk rasa sakit di pada episode selanjutnya Newport & Nemeroff,
2011).

Terdapat bukti yang meyakinkan bahwa pengalaman stress pada masa perkembangan
meningkatkan kerentanan terhadap gangguan psikologis pada masa dewasa. Kontribusi stress
selama masa pembentukan terhadap diathesis psikiatrik nampaknya relevant untuk kasuskasus seperti gangguan depresi, penggunaan substansi (substance use disorders) , serta PTSD.
Banyak riset telah dilakukan untuk memahami lebih lanjut perubahan-perubahan
neurobiologis yang persisten yang terjadi karena pengalaman-pengalaman merugikan pada
masa seperti ini. Perubahan-perubahan neurobiologist yang terjadi secara teoretik bisa
merepresentasikan suatu trait marker untuk orang-orang tertentu yang rentan terhadap depresi
atau penyakit lain yang berhubungan dengan stress.

Bukti klinis telah menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah mengalami trauma
(misalnya kekerasan seksual atau fisik) memperlihatkan alterasi dialam aktivitas HPA axis.
Perubahan-perubahan HPA axis ini bisa berkelanjutan hingga masa perkembangan
sesudahnya. Temuan-temuan seperti ini mengisyaratkan bahwa pengalaman traumatis usia

dini bisa mempercepat sensitisasi pituitary dengan adaptasi adrenocortical yang mencoba
melakukan regulasi perlawanan terhadap stress. Namun adaptasi adrenal ini nampaknya
dilangkahi kalau korban kekerasan mengalami depresi.

Sebelum kita beralih ke topik berikutnya, ada konsep penting lagi yang perlu dibahas
sedikit, yaitu allostasis dan allostatic load. Kedua konsep ini bisa membantu mengatasi
ambiguitas yang ada di dalam berbagai penggunaan kata “stress.” Konsep ini
mempertimbangkan gaya hidup, faktor genetic, dan pengaruh-pengaruh perkembangan yang
bersamaan menentukan sampai seberapa besar harga yang harus dibayar oleh tubuh karena

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 7

pengalaman kehidupanan . Allostasis mengacu pada proses adaptasi, sedangkan allostatic load
pada biaya yang harus dikeluarkan oleh tubuh untuk adaptasi (McEwen & Lupien, 2002). Ada
biaya yang tidak bisa dihindari oleh tubuh dalam beradaptasi terhadap aneka ragam tantangan,
dengan begitu ada beban yang harus ditanggung. Otak adalah organ yang menjadi target
khusus karena peranan yang diembannya dalam mengkoordinasikan respons fisiologis
maupun perilaku-perilaku (adaptif ataupun maladaptif) yang berkaitan dengan respons
terhadap stress. Oleh karena sistem fisiologis dan psikologis mempunyai jaring hubungan
melalui otak, maka konsekuensi stress dari dilihat dari masing-masing sistem ini sebenarnya

bak dua sisi dari mata uang yang sama.

Allostasis secara harafiah berarti stabilitas (atau homeostasis) yang dipertahankan
melalui perubahan di dalam proses beradaptasi terhadap tekanan tantangan (McEwen &
Lupien, 2002). Kedua konsep tersebut berlaku untuk semua sistem tubuh dan fokusnya adalah
pada peran protektif (adaptif) dan merugikan dari cathecolamines dan kortisol sebagai
mediator stress yang utama. Formulasi dari sistem ini diungkapkan oleh McEwen dan
direpresentasikan pada Bagan 1.

Pertama, otak berperan sebagai pusat integrative yang mengkoordinasikan responseresponse behavioral dan neuroendokrin (hormonal dan otonomik) terhadap tantangan.
Sebagian tantangan mememuhi kualifikasi sebagai stressful , sebagian yang lain berhubungan
dengan ritme diurnal dan koordinasi fungsi-fungsi jaga dan tidur. Kedua, ada perbedaan
individual dalam melakukan coping terhadap tantangan. Perbedaan individual ini bersumber
dari interaksi pengaruh-pengaruh genetik, perkembangan, dan experiensial. Ketiga, inheren di
dalam respons-respons neuroendokrin dan behavioral terhadap tantangan adalah kemampuan
untuk beradaptasi (allostasis). Respons neuroendokrin memang dibangun untuk kepentingan
protektif untuk jangka waktu pendek; sedangkan inefisiensi allostasis akan mengarah pada
efek kumulatif untuk interal waktu yang panjang. Keempat, ada allostatic load sebagai efek
negatif yang terakumulasi. Beban ongkos ini terjadi karena respons yang tidak efisien atau
begitu banyaknya tantangan yang harus dialami. Allostatic load tidak sekedar berkaitan

dengan stress kronis; dia juga merefleksikan kegagalan yang dilatarbelakangi oleh faktor-

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 8

faktor genetik dan perkembangan untuk secara efisien mengatasi tantangan yang wajar terjadi
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan siklus jaga-tidur (wake-sleep cycle) serta
pengalaman-pengalaman sehari-hari lainnya.

_____________________________________________________________________

Stressor lingkungan

Peristiwa kehidupan

(pekerjaan, rumah,

yang besar

Trauma, abuse


lingkungan tempat
tinggal
OTAK
Persepsi tentang stress
(ancaman, ketidakberdayaan, kewaspadaan)

Perbedaan-perbedaan

Respons behavioral

(genetik, perkembangan,

(fight or flight)
(Perilaku personal –

pengalaman)

diet, merokok,minum,
olahraga)

Respons fisiologis

Allostasis

Adaptasi

Allostatic load
Bagan 1. Respons stress dan perkembangan allostatic load. Sumber: McEwen &
Lupien (2002), hal. 465.
______________________________________________________________________

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 9

RESPONS EMOSIONAL TERHADAP STRESS

Peranan emosi tidak bisa dihindarkan dalam kita menginterpretasikan stress. Stress dan emosi
adalah dua istilah yang tidak bisa satu dipakai untuk menggantikan yang lain. Pengalaman
stress tentu saja memicu emosi, tetapi emosi tidak selalu memicu respon stress. Namun
demikian, emosi dan stress berbagi karakteristik yang sama yaitu keduanya mampu
memunculkan peningkatan atau elevasi level arousal, katekolamin dan glukokortikoid (Marin
& Lupien, 2011). Pembahasan tentang hal ini akan disampaikan pada bagian lain dalam
artikel ini.

Memori emosional pada umumnya lebih baik diingat daripada memori netral. Di
dalam ranah emosi, struktur amygdala merupakan pemain utama dengan kapasitasnya
memodulasi memori emosional (Davis & Whalen, 2001; LaBar,2007). Amygdala
berpengaruh atas kekuatan penelusuran jejak memori emosional. Oleh karenanya, informasi
dengan kandungan emosional atau traumatic lebih baik diingat kembali setelah period waktu
tertentu daripada segera setelah encoding. Sebaliknya, memori dengan peristiwa-peristiwa
netral akan memudar setelah period yang panjang.

Response emosional negatif baik secara sadar maupun tidak sadar berpengaruh atas
perilaku, dan selanjutnya mempengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan
lingkungannya (Lazarus, 1991; 2006). Namun tidak dapat diartikan bahwa emosi negatif
sebagai konsekuensi dari suatu stressor selalu dipersepsikan sebagai penyebab stress.
Pengalaman emosi menuntut proses-proses kognitif yang lebih tinggi, di mana di dalamnya
terdapat appraisal. Dengan demikian, emosi akan menjadi positif atau negative bergantung
pada cognitive appraisal atas stimulus, entah itu real terjadi atau yang dibayangkan terjadi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sejumlah substrat neuroanatomis dan neurokemis
berperan dalam menghasilkan dan memediasi respons stress. Oleh karena itu, kemampuan
dalam meregulasi respons stress dapat berdampak atas berfungsinya neuropsikologis dan atas
kesehatan secara keseluruhan.

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 10

Regulasi emosi bergantung pada interaksi yang terjalin antara region-regio kortikal
dan subkortikal (LeDoux, 2000). Interaksi semacam ini merupakan implementasi kontrol
kognitif atas daerah limbik. Secara khusus, prefrontal cortex memainkan peranan yang amat
besar (Thiel & Dretsch, 2011). Regio limbik dan paralimbik terlibat di dalam
merepresentasikan dan meregulasi aktivitas otonomik serta perubahan-perubahan dalam
homeostasis. Regio ini, bekerja sama dengan struktur-struktur lainnya (seperti amygdala,
korteks prefrontal dan hypothalamus) merupakan jejaring yang menghasilkan afek inti
(misalnya rasa senang atau tidak senang). Afek ini menghubungkan informasi di dalam tubuh
dengan informasi di luar tubuh dan dengan koneksi ini ditentukan mana yang secara personal
penting untuk ditanggapi terhadap stimuli eksternal. Menurut Suvak dan Barret (2011)
perubahan-perubahan afek inti tidak berakar pada representasi masukan sensoris dari tubuh,
oleh karena itu afek inti dipengaruhi tidak hanya oleh peristiwa-peristiwa psikologis.
Perubahan afek juga didorong oleh fluktuasi hormonal, level insulin, tidur, ataupun banyak
proses lainnya yang mempengaruhi homeostasis.

RESPONSE STRESS TERHADAP STRESS AKUT

Respons stress pada dasarnya bermula dari upaya mobilisasi sumber-sumber energy untuk
digunakan dengan segera dalam keadaan terancam. Mobilisasi energy ini melibatkan
serangkaian respons-respons SNS dan endokrin yang berkepentingan untuk memulihkan
stabilitas di dalam tubuh seta mendongkrak kemampuan individu untuk menghadapi ancaman.
Survival dalam kondisi terancam menjadi muara dari keseluruhan energy. Untuk itu, distribusi
energy untuk aktivitas-aktivitas fisiologis yang tidak secara langsung berkepentingan dengan
survival ini akan diminimalisasikan.

Mobilisasi energi dapat nampak dalam gelombang efek fisiologis seperti peningkatan
denyut jantung, tekanan darah, pernafasan, dan glukosa darah. Dalam kondisi demikian,
sensitivitas dan persepsi terhadap rasa sakit serta inflamasi mengalami penurunan. Energi
untuk proses digestif dan reproduksi terhambat. Komponen-komponen dalam sistem syaraf
pusat diaktifkan melalui neurotransmitter, neuropeptida, dan hormonal messengers, yang

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 11

semuanya ini memungkinkan berlangsungnya proses dan belajar dan memori. Bersamaan
dengan semua proses ini, perubahan perilaku juga terjadi yang bertujuan meningkatkan
kesiap-siagaan dan arousal untuk mengidentifikasi dan mempelajari ancaman.

Inti dari respons terhadap stress akut adalah apa yang telah disebut oleh Cannon di
atas, yaitu fight- or-flight response. Bentuk perlawanan ataupun penghindaran sama-sama
membutuhkan sumber-sumber energi. Respons-respons otonomik langsung seperti
dicontohkan di atas terjadi keterlibatan SNS yang menstimulasi pelepasan hormone-hormon
katecholamin (yakni, epinefrin dan norepinefrin atau noradrenalin). Hormon-hormon ini
dilepaskan oleh medulla adrenal langsung ke sirkulasi darah. Aksi kolektif dari SNS dan
hormone-hormonnya, yang kemudian terjadi berbagai response-response otonomik, akan
mendorong aliran darah seta ketersediaan oksigen dan glukosa ke jaringana-jaringan di dalam
otak serta otot-otot skeletal, yang mana semuanya ini dimaksudkan untuk persiapan bertindak:
fight, flight, atau bahkan freeze.

Tatkala sesorang mengalami sebuah peristiwa baru, bagian tertentu dari peristiwa ini
akan disimpan dalam memori dan dimunculkan kembali (retrieval) di saat kemudian.
Informasi yang baru diperoleh ini sifatnya masih belum solid dan bergantung pada
hippocampus (Marin & Lupien, 2011; Zoladz, Park, & Diamond, 2011). Proses di mana
memori yang tidak stabil menjadi stabil di dalam otak disebut konsolidasi memori. Dalam
proses ini informasi yang baru dan masih bergantung pada memori jangka pendek dialihkan
menuju sistem memori jangka panjang. Pada umumnya elevasi level glokokortikoid
membantu konsolidasi memori, khususnya memori emosional. Temuan oleh Maheu dan
kawan-kawan (2004) yang dikutip oleh Marin dan Lupien menunjukkan bahwa memori
jangka pendek dan jangka panjang dengan kandungan emosional terganggu setelah
pemblokiran norepinefrin, sedangkan memori jangka panjang untuk materi emosional dan
netral terganggu setelah inhibisi glukokortikoid. Temuan ini mengindikasikan bahwa
norepinefrin terlibat dalam pengorganisasian segera memory trace yang emosional, sedangkan
glukokortikoid untuk transfer memori baik emosional dan netral ke sistem memori jangka
panjang.

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 12

Zoladz, Park dan Diamond (2011) berpendapat bahwa stress akut menghasilkan
peningkatan dalam waktu singkat plastisitas sinaptik hippocampal yang membantu
penyimpanan informasi. Tetapi dengan berkepanjangannya stress, hippocampus menurun ke
keadaan ‘diam’ (refractory state), dan oleh karena ini, batas ambang bagi terjadinya induksi
plastisitas hippocampal menjadi naik. Selagi hippocampus dalam refractory state,
penyimpanan informasi baru (yaitu, formasi memori baru) akan terkendala. Zolads dkk., juga
menduga bahwa stress dengan segera mengusik berfungsinya korteks prefrontal, dan ini
menjelaskan mengapa stress dengan cepat merongrong kemampuan pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan (Lihat juga Arnsten, 2009).

Dalam hal memory retrieval (yakni, mengingat memory trace yang telah
dikonsolidasikan di dalam memori jangka panjang), maka peranan glukokortikoid berbalik
arah. Elevasi level glukokortikoid membantu konsolidasi sebagaimana disinggung di atas,
tetapi kemampuan untuk memory retrieval menjadi berkurang (Marin & Lupien, 2011).
Namun karena memory trace sesungguhnya telah mengalami konsolidasi, maka Marin dan
Lupien berpendapat bahwa efek elevasi glukokortikoid atas memory retrieval bersifat
sementara. Walaupun demikian, proses retrieval amat sensitive terhadap modifikasi oleh
manipulasi lingkungan dan famarkologis. Artinya, memory trace bisa saja dipengaruhi oleh
berbagai kondisi dan efeknya secara potensial bisa bertahan cukup lama. Oleh karena itu
pertimbangan mengenai kronisitas untuk emngetahui efek glukokortikoid atas memori harus
diperhitungkan. Respons stress akut bisa saja mengandung maksud-maksud adaptif, lagi pula
respons ini dapat membantu konsolidasi memori emosional. Tetapi bila eksposur terhadap
stressor dan elevasi level glukokortikoid menjadi kronis, maka efek kondisi ini atas kognisi
tidak selalu menguntungkan (Brewin, 2005; McEwen & Lupien, 2002; Vermetten &
Bremmer, 2002).

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 13

RESPONS STRESS TERHADAP STRESS KRONIS

Respons stress akut dikerahkan untuk membantu adaptasi terhadap perubahan-perubahan
dalam miliu internal atau lingkungan eksternal. Tetapi dalam hal individu diperhadapkan
dengan tantangan-tantangan yang berkelanjutan, maka adaptasi secara kontinyu diperlukan.
Bagaimana HPA axis menyesuaikan fungsinya untuk menghadapi stress yang
berkepanjangan? Ada dua pola utama dalam respons stress, yakni sensitisasi dan habituasi
(Herman, 2011; Newport & Nemehoff, 2002). Pada permulaannya ketika terjadi stimulus
stress baru, individu mengerahkan orientasinya pada stimulus ini. Respons pada momen ini
bisa terjadi secara berlebihan lantaran individu amat sensitif terhadap stimulus. Respons
sensitif semacam ini dipicu oleh naiknya level glukokortikoid (Herman, 2011). Contoh dari
sensitisasi stress yang berkepanjangan ditemukan pada sejumlah pasien penderita PTSD
(Newport & Nemehoff, 2002; Yehuda, 2004).
Terjadinya stressor yang berulang kali dalam jangka waktu yang relatif cukup lama
bisa berakibat pada terbentunya respons habituasi. Habituasi mudah terjadi bila individu
terpapar pada satu jenis atau modalitas stress, dibandingkan dengan stressor yang majemuk.
Melalui proses “menjadi biasa” ini, kemampuan stressor untuk membangkitkan kualitas
response seperti halnya pada tahap orientasi seperti disebut diatas, menjadi merosot atau
bahkan hilang. Atau dengan kata lain, banyak perubahan-perubahan fisiologis yang mencolok
pada tahap orientasi akan bergerak balik ke keadaan sebelumnya. Tuntutan untuk bersiaga
berlebihan menjadi berkurang. Maka menurut Herman (2011), keberhasilan adaptasi tercapai
bila terjadi proses penyeimbangan antara habituasi dan sensitisasi, yang memungkinkan
individu memperoleh perasaan mampu mengontrol stimulus stress.

Respons psikogenik membutuhkan integrasi informasi sensorik multimodal,
pengalaman masa lampau, keadaan fisiologis yang sedang berlangsung di samping interaksi
multisinaptik dari berbagi regio kortikal dan subkortikal. Oleh karena adanya potensi efek
yang merugikan dari paparan glukokortikoid yang berkepanjangan, ada sejumlah mekanisme
yang secara ketat mengontrol HPA axis. Hal ini memungkinkan adaptasi yang cukup
substansial bahkan terhadap paparan stress yang berlarut-larut, asalkan tantangan ini tidak

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 14

menjadi terlampau berlebihan. Dalam hal intensitas dan unprediktabilitas stressor menjadi
berlebihan, maka sistem harus bekerja extra (overdrive). Sebagai konsekuensinya, mekanisme
kontrol dilangkahi dan keadaan ini mengakibatkan terjadinya dishomeostasis glukokortikoid
(Herman, 2011)
Dishomeostasis glukokortikoid terjadi dalam penyakit yang berkaitan dengan stress,
misalnya depresi (hipersekresi) dan PTSD (hiposekresi). Hipersekresi glukokortikoid juga
mempunyai efek somatik majemuk seperti gangguan-gangguan metabolic dan kardiovaskular.
Berbagai penelitian yang diriviu di sini menunjukkan bahwa gangguan dan penyakit semacam
ini bertautan dengan alterasi structural dan fungsional pada korteks prefrontal, hippocampus
dan amygdala. Hal demikian bisa diartikan bahwa disfungsi hormonal bisa merupakan
symptom dari terganggunya kontrol jalur stress dalam sistem limbik (Herman, 2011).
Aktivitas-aktivitas sistem syaraf pusat, SNS, dan endokrin yang terjadi satu diikuti
dengan yang lain sebagai response terhadap suatu stressor atau ancaman, sebenarnya memiliki
fungsi adaptif, yakni regulasi reaksi-reaksi fisiologis dan keperilakuan secara tepat terhadap
ancaman serta secara bersamaan menjaga keseimbangan dan mencegah kerusakan sistem.
Namun demikian, stress kronik bisa mengubah profil ini. Paparan kronis terhadap stress yang
berulang-ulang akan berakibat pada elevasi aktivitas HPA, dengan begitu tingkat ACTH dan
GC yang tinggi. Elevasi ini bisa bertahan selama beberapa hari tetapi kemudian menurun pada
level yang normal. Dengan kata lain, karakteristik stressor kronis adalah berlangsungnya atau
bertahannya level plasma ACTH dan GC yang tinggi yang tidak kembali ke level semula
(baseline). Hal ini diperkirakan karena terjadinya disregulasi masukan (feedback) pada HPA
axis (Thiel & Dretsch, 2011).

MEKANISME NEUROBIOLOGIS

Sistem syaraf pusat melibatkan seperangkat struktur dan proses yang mengontrol dan
mempengaruhi respons stress. Riset menunjukkan bahwa pengalaman traumatis dapat
berakibat pada alterasi atau perubahan struktur dan fungsi otak dan selanjutnya bagaimana
otak merespons stressor Kolassa & Elbert, 2007). Ada sejumlah area dalam otak yang

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 15

mengalami alterasi, khususnya yang disoroti di sini adalah regio-regio yang menjadi bagian
dari sistem limbik.
Sistem limbik umumnya dipandang sebagai sebuah jaringan kerja dari strukturstruktur
di dalam lobus frontalis dan diencephalon yang saling terkoneksi dan berasosiasi secara kuat
dengan aspek-aspek emosi dan memori. Komponen-komponen kunci dari sistem limbic
mencakup amygdala dan hippocampus, thalamus, dan korteks serebral yang meliputi
cingulated gyrus, orbitofrontal cortex, prefrontal cortex, parahippocampal gyrus, dan uncus
(Filley, 2011; Newport & Nemeroff, 2002; Weiss, 2007). Walau neuroanatominya cukup
pelik, sistem limbik dapat bermanfaat kalau dipandang sebagai suatu unit yang fungsional.
Ada kegunaan klinik dan teoretik dalam memandang sistem sebagai suatu jejaring yang
berperan besar dalam emosi dan juga hal-hal yang berhubungan dengan emosi seperti insting,
dorongan, rasa sakit, rasa senang (pleasure) , takut, dan marah.
Untuk memperoleh pemahaman lebih baik tentang adaptasi terhadap stress, penting
bagi kita untuk meniliki bagaimana sistem komunikasi integrative bekerja guna
mempertahankan homeostasis. Integrasi dikelola oleh neurotransmitter, neuropeptida, serta
signal-signal hormonal yang diorganisasikan oleh sistem syaraf otonomik dan hypotahalimicpituitary-adrenal (HPA) axis (Vermetten & Bremmer, 2002). HPA axis sebenarnya bukan
sekedar sistem endokrin, tetapi barangkali lebih tepat kalau disebut sistem neuroendokrin
(Newport & Nemehoff, 2002). HPA axis mengatur sekresi glucocorticoids, adrenalcortical
steroids, yang bekerja pada jaringanjaringan target sekujur badan guna menjaga homeostasis
selama stress. Namun hypothalamus juga merupakan tempat penebaran tukar-menukar
informasi antara komponen-komponen limbik dalam sistem syarat pusat dan HPA axis. Oleh
karena kinerja seperti ini Newport menyarankan peenyebutan limbic-hypothalamic-pituitaryadrenal axis (Lihat juga De Bellis, Hooper, & Sapia, 2005).
Dari sudut fisiologis, hypothalamus merupakan komponen sentral di dalam sistem
limbic. Transmisi neural dari hypothalamus bergerak di dalam tiga arah: ke bawah di dalam
sistem syaraf pusat menuju region-regio kontrol otonomik di dalam batang otak seperti locus
coeruleus; ke atas menuju struktur limbik kortikal dan subkortikal; dan keluar menuju
kelenjar pituitary. Kehadiran stressor mengimbas aktivasi HPA axis dan aktivasi ini
merupakan jalur bagi terjadinya respons stress. (lihat Bagan 2) Suatu rentetan peristiwa

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 16

fisiologis berawal dari hypothalamus dan bergerak melalui kelenjar pituitary anterior dan pada
akhirnya bermuara di korteks adrenal. Di dalam alur HPA axis ini, yang menjadi mediator
kimiawi utama di dalam hypothalamus adalah corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF
berfungsi baik sebagai neurotransmitter maupun hormon sistem syaraf sentral. CRF kemudian
bergerak menuju kelenjar pituitary dan berpengaruh pada sekelompok sel dalam kelenjar ini
yang meningkatkan produksi dan pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan betaendorphin. Beta-endorphin menghasilkan analgesia karena peran agonisnya dengan opiate
receptors. Oleh karena itu, beta-endorphin bisa mereduksi pengalaman fisik dan emosional
yang menyakitkan sehubungan dengan stress. Selain CRF, ada hormone-hormon lainnya
seperti vasopressin, oxytocin, dan somatostatin, yang berpengaruh atas peningkatan atau
pengurangan pelepasan ACTH, namun CRF merupakan regulator primer bagi sekresi ACTH.
ACTH kemudian bergerak menuju korteks adrenal, di mana ACTH menstimulasi
produksi dan pelepasan glukokortikoid seperti kortisol. Glukokortikoid merupakan
sekelompok hormon adrenokortiokal yang mirip strukturnya yang disintesa dari kolesterol.
Pada manusia,
Pengalaman traumatis
Hippocampus
amygdala

Hypothalamus
(CRF)

disregulasi dan
supersupresi
mengikuti waktu

Kelenjar Pituitary
(beta-endorphin)
(ACTH)

Kelenjar Adrenal
(cortisol)
(glutamate)

Sensitisasi
kerusakan neural

PTSD
gangguan disosiatif
Bagan 2. Efek potensial pengalaman traumatic atas regulasi
Respons stress. Sumber: Weiss (2007)

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 17

95% glukokortikoid yang bersirkulasi adalah kortisol, sedangkan sisanya adalah kortikosteron
(Newport & Nemeroff, 2002). Nama glukokortikoid menunjukkan bahwa hormon ini
meningkatkan produksi glukosa, sumber energy siap pakai untuk hampir semua sel tubuh. Di
dalam keadaan stress, ketersediaan bahan bakar ini diusahakan dengan secepatnya.
Ketercukupan energy harus segera diperoleh dari sumber-sumber lain. Produksi glukosa
digenjot melalui mobilisasi katabolik cadangan protein dari otot dan melalui aktivasi enzimenzim hepatik yang mengkonversikan glikogen menjadi glukosa. Kortisol juga meningkatkan
ketersediaan sumber energy sekunder dengan pengerahan asam-asam lemak dari jaringan
lemak (adipose tissues) Jadi, ada ongkos yang harus ditanggung untuk pengerahan bahan
demi menghadapi tekanan tantangan dengan mengorbankan pihak yang lain.

Efek katabolik hasil imbasan kortisol ini memang sangat kritikal untuk respons adaptif
terhadap stress. Namun demikian, hiperaktivitas HPA axis yang terus menerus semacam ini
pada waktunya akan menguras protein, karbohidrat dan lemak. Apa yang semula berupa
respons adaptif lalu malahan menimbulkan konsekuensi yang merusak dan maladaptif. Dalam
kondisi seperti ini mekanisme umpan balik negatif (negative feedback) terjadi, yakni aktivitas
HPA axis menurun ketika pelepasan glukocorticoid dalam jumlah cukup telah tercapai. Efek
umpan balik negatif ini dimediasi oleh reseptor-reseptor glukokortikoid pada semua level
HPA axis, termasuk hippocampus, hypothalamus, kelenjar pituitary dan adrenal. Feedback
kortikol di hypothalamus mengurangi pelepasan CRF, di kelenjar pituitary menghambat
pelepasan ACTH, dan di kelenjar adrenal menghambat pelepasan kortisol selanjutnya;
sedangkan di hippocampus menghambat sekresi CRF dari hypothalamus.

Kortisol mempunyai berbagai efek atas tubuh. Salah satunya adalah peningkatan
sensitivitas thalamus terhadap stimuli yang datang. Apabila otak terpapar secara konsisten
pada level kortisol yang tinggi, sistem syaraf menjadi sensitif terhadap stimuli yang sifatnya
membahayakan secara psikologis. Proses ini disebut kindling, yakni respons psikologis dan
fisiologis yang lebih kuat dalam trauma kronis ditimbulkan oleh pemicu yang kekuatannya
melemah (van der Kolk , Roth, Pelcovitz, Sunday, & Spinazzola, 2005). Tingginya tingkat

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 18

arousal ini memunkinkan individu melakukan spectrum respons dari hati-hati, siap siaga,
takut dan terror dengan begitu cepat.

Level kortisol yang tinggi meningkatkan kemampuan mengingat informasi yang
relevan secara emosional dan mengkonsolidasikan memori jangka panjang. Namun justru
karena ini, memori trauma menjadi semakin mengendap kuat sebagai bagian jaringan neural
yang mewarnai representasi mental di dalam otak penderita trauma. Endapan memori ini
selanjutnya akan mempengaruhi appraisal mengenai kejadian di masa datang yang mirip
sifatnya dengan pengalaman trauma, dan kemudian memicu kemungkinan intrusi memori
trauma melalui bayangan, pikiran atau perserpsi.

Selain kortisol, stimulasi kelanjar adrenal melakukan sekresi glutamat asam amino.
Pelepasan berlebihan glutamat di dalam hippocampus dan korteks prefrontal selama peristiwa
stress traumatik berakibat pada stress oksidatif dan eksitotoksisitas, yakni kerusakan sel
lantaran berlebihannya eksitasi atau aktivitas neural (Marin & Lupien, 2011;Vermetten &
Bremmer, 2002). Kelebihan eksitasi ini pada sirkuit neural tertentu berhubungan dengan
symptom-simptom avoidance dan numbing dalam stress traumatik.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivasi terus menerus oleh HPA axis
dapat mengarah kepada allostatic load. Beban muatan ini harus ditanggung oleh tubuh tatkala
mengalami arousal kronis pada sistem fisiologis dalam kepentingannya untuk coping terhadap
stressor. Allostatis load dapat menimbulkan kerusakan neural lantaran efek dari kortisol dn
glutamat. Pada kondisi stress yang moderat, gangguan neural ini bisa pilih kembali
(reversible). Namun, dalam stress yang berat dan berkepanjangan, kerusakan bisa permanen
dan bahkan bisa mengarah pada kematian neural (Weiss, 2007). Untungnya HPA axis
memiliki mekanisme feedback negatif untuk mereduksi kelebihan kortisol dan glutamate di
dalam sistem. Kortisol akan memberitahu kelenjar pituitary, hypothalamus, dan hippocampus
untuk mengekang aktivitasnya sehingga hiperaktivitas dan allostatis load bisa dibuat lebih
minimal. Namun begitu, apabila putaran feedback ini terganggu, konsekuensinya adalah apa
yang disebut di atas.

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 19

Disregulasi ini bisa mengindikasikan upaya otak untuk melindungi diri dari
hyperarousal berkepanjangan dengan mengembangkan suatu mekanisme menekan pelepasan
hormon-hormon stress dengan lebih kuat. Supersupresi atas kortisol pada akhirnya bisa
mengarah kepada respons-respons disosiatif dan numbing dengan mana peristiwa-peristiwa
stress trauma dicegah untuk masuk ke taraf kesadaran.

EFEK TRAUMA PADA SISTEM NEUROTRANSMITTER

PTSD hampir selalu mengikuti eksposur terhadap trauma (Vermetten & Bremmer, 2002).
Masa hidup PTSD berkorelasi dengan meningkatnya resiko masa hidup sejumlah gangguan
seperti panik, depressi, penyalahgunaan/ketergantungan alkohol, dan fobia sosial. Sedangkan
pathofisiologi PTSD mencerminkan perubahan-perubahan berjangka lama yang mewarnai
banyak symptom-simptom PTSD maupun gangguan lainnya yang berkaitan dengan trauma.
Terdapat indikasi kuat yang akan disinggung di bawah ini bahwa pola-pola perubahan akut
dan alterasi jangka panjang terjadi pada HPA axis pada PTSD (Yehuda, 2004).

Badan sel pada neuron di berbagai region dalam otak mensintensakan macam-macam
neurotransmitter. Fungsi neurotransmitter ini juga dipengaruhi oleh pengalaman traumatis.
Suatu jaringan kerja neuron pada batang otak memberikan umpan balik kepada sistem syaraf
sentral tatkala terjadi suatu peristiwa. Selama kejadian traumatis, jaringan kerja ini
menentukan dan menyesuaikan keseluruhan perilaku individu dengan mengintegrasikan
pengalaman otonomik, motorik, kognitif dan emosional yang berlangsung sepanjang axon di
seluruh otak (McEwen & Lupien, 2002).

HPA axis secara langsung mempengaruh satu transmitter, yakni epinefrin (adrenalin).
Beranjaknya tingkat kortisol karena aktivasi HPA axis mestimulasi sintesis katekolamin yang
meningkatkan pelepasan epinefrin. Di samping itu, dalam keadaan stress, hypothalamus
mengaktifkan medulla adrenal dengan menstimulasi sistem syaraf simpatetik dan pelepasan
epinefrin ke dalam sirkulasi. Sirkulasi epinefrin ini meningkatkan metabolism, respirasi,
percepatan denyut jantung, serta aktivitas-aktivitas mental seperti atensi dan konsentrasi.

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 20

Semua fenomena ini merupakan hyperarousal yang bersifat adaptif dalam jangka pendek
ketika menghadapi tantangan. Hasil riset menunjukkan bahwa pada individu dengan
pengalaman trauma, sering terjadi hyperarousal sistem syaraf sentral yang persisten, level
katekolamin yang lebih tinggi, serta arousal eksesif dalam response terhadap tanda-tanda
trauma (trauma cues) (Bremmer , 2005). Elevasi epinefrin diduga kuat melatarbelakangi
symptom-simptom seperti startle response berlebihan, sensitisasi terhadap trauma cues, and
generalisasi berlebihan dalam arousal terhadap situasi atau kejadian di luar trauma itu sendiri.

Selain epinefrin, norepinefrin juga berfungsi mempengaruhi arousal untuk
mempertahankan kewaspadaan dan mempertajam fokus selama dalam keadaan fight or flight.
Norepinefrin memproses informasi sensoris yang relevan dan neuroendokrin kardiovaskular,
serta proses-proses kognitif melalui jaringan efferennya yang ekstensif. Badan sel
noradrenergik (norepinefrin) sebagian besar tersimpan di dalam locus coeruleus. Selama
pengalaman stress, amygdala mengisyaratkan locus coeruleus di batang otak untuk
penembakan neuron yang berisi norepinefrin. Proses ini bersifat adaptif tatkala menghadapi
ancaman sementara. Namun, sistem norepinefrin menjadi peka dari aktivasi berulang-ulang
dalam kondisi stress traumatis kronis. (McEwen & Lupien, 2002; Southwick, Rasmussson,
Barron, & Arnsten, 2005). Sensitisasi ini berakibat pada pengurasan norepinefrin di dalam
neuron yang berkepentingan untuk inhibisi dan modulasi penembakan neuron-neuron
epinefrin lainnya (Weiss, 2007). Apabila kemampuan inhibitif ini hilang, penembakan akan
terjadi lebih lama dan lebih sering.

Elevasi aktivitas norepinefrin dapat menimbulkan berbagai symptom hyperarousal
seperti hypervigilance, startle response, irritabilitas, anxietas, problem tidur dan mimpi buruk.
Semua symptom ini berhubungan dengan PTSD. Memori traumatic ditopang oleh formasi
jaringan neuron yang diperkuat oleh elevasi aktivitas epinefrin. Konsolidasi memori jangka
panjang ini mempunyai andil bagi simptom-simptom PTSD lainnya seperti mengalami
kembali peristiwa trauma (reexperiencing), memori intrusif, flashback, dan mimpi yang
menakutkan.

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 21

Serotonin merupakan monoamine yang disintesakan dari triptofan di dalam neuronneuron serotonergik. Neuron serotonergik memproeksikan diri ke banyak region otak,
termasuk struktur limbik dan seluruh are korteks serebral. Serotonin memainkan peranan
regulasi atas korteks prefrontal, amygdala, dan hipokampus, yang mana semua struktur ini
tersangkut dalam patofisiologi PTSD. Neurotransmiter ini berperanan dalam patofiologi
anxietas, depresi, tindak agresif, sindroma berhubungan dengan alcohol, dan
impulsivitas.Serotonin juga berpernan dalam regulasi tidur, nafsu makan, aktivitas
kardiovaskular dan respirasi, output motorik, dan sekresi neuroendokrin serta analgesia
(Vermetten & Bremmer, 2003)

Di dalam kondisi stress yang moderat, serotonin dilepaskan ke dalam korteks frontal,
yang bertindak untuk menenangkan dan mereduksi disforia ataupun anxietas. (Yehuda, 2004).
Tetapi trauma atau stress berat dapat membawa pada aktivasi serotonin secara berlebihan di
dalam sejumlah region di otak. Seperti halnya nasib neurotransmitter lainnya dalam kondisi
kronis, serotonin akan mengalami penyusutan (depletion). Keadaan ini memberikan
kontribusi bagi munculnya simptom-simptom hyperarousal seperti telah disebut sebelumnya.

Berbeda dari serotonin depletion, temuan riset mengindikasikan peningkatan level
dopamin di dalam korteks prefrontal dan di amygdala dalamkeaddan stress akut dan kronis
(Vermetten & Bremmer, 2002). Konsentrasi dopamin yang tinggi mencederai prosesing
sensoris dan member andil bagi depersonalisasi atau derealisasi, yang mana keduanya ini
merupakan karakteristik kunci dalam gangguan disosiatif. Di samping ini, juga dijumpai
hubungan antara elevasi dopamine dengan symptom-simptom hyperarousal.

PATHOLOGI STRESS: STRUKTUR DAN FUNGSI OTAK

HPA axis dan norepinephrine neural system merupakan sistem biologis yang paling kentara
terganggu dalam penderita gangguan psikiatrik yang berkaitan dengan stress. Depressi dan
PTSD adalah contoh kasus yang telah mendapatkan porsi perhatian yang amat besar,karena

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 22

itu akan diajukan secara singkat di sini temuan-temuan tentang efek neuropsikologis pada
otak untuk dua kasus ini.
Banyak studi melaporkan hiperaktivitas HPA axis pada pasien depresi. Dalam hal ini
diperkirakan bahwa reseptor ACTH adrenal bekerja berlebihan sehingga menjadi hipersensitif
terhadap stimulasi ACTH. Studi anatomis dengan menggunakan teknik imaging pada
penderita depresi atau diseksi postmortem pada korban bunuh diri menunjukkan pembesaran
kelenjar adrenal. Pembesaran kelenjar pituitary juga dilaporkan dialami oleh penderita
depresi. Data yang cukup meyakinkan mengindikasikan hiperaktivitas HPA axis sebagai
penyebab kuat pada depresi.

Kasus-kasus klinis memberikan indikasi yang kuat bagi perubahan-perubahan
psikofisologis yang berkaitan dengan stress pada berbagai struktur kortikal dan subkortikal.
Reduksi dalam volume korteks, perubahan-perubahan histopatologis, serta aktivasi abnormal
pada subregio orbitofrontal cortex terlibat dalam mediasi antara respons stress and perilaku
emosional pada gangguan-gangguan mood (mood disorders). Reduksi volume hippocampal
juga ditemui dalam depresi (Rao, Chen, Bidesi, Shad, Thomas, & Hammen, 2010). Seperti
halnya dengan depresi, sekresi berlebihan dijumpai pada sejumlah penderita PTSD sebagai
terdeksi pada meningkatnya level CRF di dalam cerebrospinal fluid.

Perubahan-perubahan neurobiologist yang berpengaruh atas fungsi dan struktur otak
pada penderita PTSD telah banyak didokumentasikan (Arnsten, 2009; McNally, 2003;
Wellman , 2011). Individu yang menderita PTSD serta depresi seringkali memperlihatkan
deficit neurokognitif dalam atensi dan memori El-Hage & Gaillard, 2006). Korteks
prefrontal memainkan peranan yang penting dalam working memory seperti fungsi-fungsi
eksekutif seperti perencanaan, bernalar, dan seleksi atensi (Wellman, 2011).

Di dalam korteks prefrontal, informasi digunakan unruk membuat keputusan yang
menyangkut repons kognitif dan emosional. Korteks ini berkomunikasi dengan hampir setiap
area dalam otak untuk menyaring stimuli yang tidak dianggap penting dan membatasi respons

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 23

ke input sensoris sehingga homeostasis bisa tetap dijaga. Anak-anak yang mengalami
pengabaian (neglect) beresiko mengalami atropi neural karena tidak memadainya
pertumbuhan neural dan kehilangan dalam jumlah berlebihan neuron, dendrite neuronal, dan
koneksi sinaptik yang deprogram secara genetik (Perry, 2002). Neglect menyebabkan anak
mengalami kekurangan stimulasi sosioemosional dan kognitif yang seharusnya tersedia pada
masa perkembangan normal. Studi neuroimaging memperlihatkan penurunan volume dalam
prefrontal cortex pada anak-anak korban sexual abuse yang mengalami PTSD (Lupien,
McEwen, Gunnar & Heim,2009; McEwen, 2003; Vasterling & Brailey, 2005). Keadaan
serupa juga dialami oleh anak-anak yang tidak memperoleh pengasuh memadai dari ibu
(maternal deprivation) .Temuan riset pada binatang percobaan (tikus) oleh Mirescu, Peters, &
Gould ( 2004) menunjukkan bahwa pengalaman yang merugikan pada anak tikus yang
dipisahkan dari asuhan induknya mengakibatkan inhibisi plastisitas struktural lewat
hipersensitivitas terhadap glukokortikoid dan mengikis kemampuan hippocamous untuk
merespons stress pada masa dewasa. Keadaan ini berbeda dari anak tikus yang mendapat
asuhan dari induknya.

Studi klinis pada anak-anak penderita PTSD dengan sampel sebesar 62 anak yang
menyaksikan kekerasan di dalam keluarga menunjukkan bahwa anak-anak ini, dibandingkan
dengan anak-anak normal, mengalami proses belajar yang lebih lambat dan kurang efeftif,
sensitivitas lebih tinggi terhadap interferensi, dan kendala dalam mengulang apa yang telah
diingat (Samuelson, Krueger, Burnett, & Wilson, 2010).

Symptom-simptom PTSD seperti numbing dan disosiasi berhubungan dengan deficit
neural dalam prefrontal cortex pada anak-anak yang mengalami trauma. Ada kaitan deficit
neural dengan hipoaktivitas prefrontal cortex pada penderita PTSD,terutama selama mereka
mengingat (rekoleksi aktif) trauma yang dialami.

Individu yang mengalami trauma cenderung menemui hambatan dalam penerusan
informasi dari thalamus ke korteks dalam kondisi arousal tinggi. Hambatan ini mengusik
proses informasi tertentu yang diterima penderita. Ada individu yang memberikan lebih

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 24

banyak atensi pada stimuli yang relevan dengan pengalaman traumanya; sementara individu
yang lain tidak memperdulikan stimuli semacam itu. Adanya bias dalam encoding stimuli
trauma selama prosesing sensori akan meningkatkan arousal sistem syaraf. Hal ini member
kontribusi pada symptom hyperarousal dalam PTSD. Sedangkan bias yang
mengenyampingkan encoding stimuli traumatic mereduksi arousal dan berkontribusi pada
munculnya symptom-simptom amnesia atau disosiasi.

Bias perhatian (attentional bias) dipercaya sebagai penting bagi perkembangan dan
kelangsungan gangguan-gangguan emosional seperti PTSD oleh karena atensi secara konstan
diarahkan kepada stimulus ancaman sehingga semakin mempertonjolkan stimuli yang
berbahaya dan pada gilirannya mengarah pada hyperarousal kronis serta kerentanan terhadap
stress (Constans, 2005; vasterling & Brailey, 2005). Ada kaitan antara bias atensional dengan
bias dalam membuat pertimbangan (judgmental bias). Judgmental bias juga berkontribusi
bagi elevasi anxietas serta arousal pada PTSD dan karenanya berperanan penting dalam
keberlangsungan gangguan ini (Ehlers & Clark, 2000). Meningkatnya anxietas terjadi apabila
individu dengan PTSD secara rutin memproses peristiwa ambigu secara emosional sebagai
mengancam, dengan demikian mengungkit rasa rentan dan waspada terhadap kemungkingankemungkinan ancaman.

Salah satu prosedur untuk mempelajari paradigm prosesing informasi pada PTSD
adalah dengan mempelajari memori otobiografis. Memori otobiografis adalah memori yang
dimiliki oleh seseorang tentang pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena memori ini
berhubungan erat dengan emosi dan bias atensional maupun jugmental, maka bias ini juga
berpengaruh atas konten dan bagaimana pengalaman hidup tadi diingat oleh individu
(Constans, 2005; Soesilo, 2012)
Hal ini didukung oleh temuan dari Jelinek dan kawan-kawan (2006) bahwa memori verbal
dan nonverbal dipengaruhi oleh PTSD.

Selama pengalaman stress, thalamus juga mengirimkan informasi ke hippocampus.
Struktur ini berkepentingan dengan memori tentang fakta dan detil pengalaman. Ada indikasi

Efek Neuropsikologis Stress Atas Otak 25

bahwa menurunnya aktivasi dan tingkat metabolism dialami oleh individu yang telah
mengalami trauma, khususnya selama berlangsung memori trauma. Lebih rendahnya level
aktivitas ini jika dibandingkan dengan individu normal, berkaitan dengan temuan bahwa
penglaman trauma kronis telah menyusutkan volume hippocampal (Gilbertson dkk., 2002;
Kim & Diamond, 2002) . Dalam proses yang mirip terjadi pada prefrontal cortex, penyusutan
ini bisa berawal dari deteriorasi atau atrofi proses-proses neural, termasuk penurunan da

Dokumen yang terkait