20
perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan mengalahkan bahkan bukan tidak mungkin ia akan mengorbankan anaknya sendiri.
C. Syarat-Syarat Hadhinah dan Hadhin
Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang akan menjadi hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh
kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, Seorang hadhinah ibu asuh yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu
adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka
gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
13
Syarat-syarat itu adalah: 1.
Baliqh dewasa, karena anak kecil dan meskipun mumayyiz, masih membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Seseorang yang belum
dapat mengasuh dirinya tidaklah dapat mengasuh orang lain.
14
2. Berakal sehat tidak gila karena itu bagi orang yang kurang akal tidak boleh
mengasuh anak, karena mereka itu tidak dapat mengontrol dan mengurusi dirinya sendiri. Oleh karena itu ia tidak boleh diserahi dan dibebani mengurusi orang
lain. Ulama Mazhab Maliki menambahkannya dengan cerdas, dan ulama Mazhab
13
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 172
14
Al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 2, Darul Fattah, Kairo, tth, hal. 254
21
Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak menderita penyakit yang berbahayamenular.
15
3. Mampu mendidik, mampu melaksanakan tugas-tugas mengasuh dan cekatan,
karena itu orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemaskan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh. Tidak berusia lanjut, yang bahkan ia
sendiri perlu mendapat perawatan, atau bukan orang yang tinggal dengan orang yang sakit menular atau bahkan orang yang suka marah kepada anak-anak,
sekalipun kerabatnya sendiri. Keadaan yang demikian tidak akan bermanfaat kepada anak yang diasuhnya, bahkan akan membahayakan terhadap kedewasaan
anak. 4.
Amanah atau berakhlak mulia, seorang yang suka berbuat jahat dan munkar tidak layak diberi tugas mengasuh, seperti orang yang suka mencuri dan mabuk-
mabukan, karena perbuatan mengasuh besar pengaruhnya kepada anak asuhannya. Dikhawatirkan nantinya anak dapat meniru perilaku dan perbuatan pengasuhnya.
5. Beragama Islam, orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama
Islam. Sebab pemeliharaan anak merupakan perwalian, sedangkan Allah tidak membolehkan orang mu’min berada dalam penguasaan orang kafir. Firman Allah
dalam surat An-Nisa ayat 144, menyatakan:
15
Muhammad Ibnu Al-Syarbaini, Al- Iqna‟, Beirut Lebanon: Darrul Fikr, tth, Juz II, hal. 491
22
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang- orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu
Sedangkan Allah swt tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir, Allah swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 141:
….
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang- orang yang beriman.” Q.S Annisa
Ayat 141 Golongan Hanafiyah, Ibnu Qasim, Maliki serta Abi Saur berpendapat
bahwa hadhnah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim sebab hadhanah tidak lebih dari menyusui dan melayani anak
kecil.
16
Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang
paling penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak dengan sebaik-baiknya.
17
Para ahli Fikih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh nonmuslim, Ulama mazhab Syafi
’i dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang non-Islam tidak
punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disampingkan
16
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 177-179
17
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal. 222
23
itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk ke dalam agamanya. Kalau orang Islam tidak ada maka menurut Hambali diperbolehkan kepada kafir
zimmi karena kafir zimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Namun, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh harus
seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita.
18
Kriteria Islam disini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada seseorang pengasuh. Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar,
dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama.
19
Maka dari itu dari kesamaan agama antara si anak dengan pengasuhnya menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena tugas dari
hadhin adalah tidak hanya memberikan pelayanan lahiriyah kepada si anak, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan aqidah dan
akhlaknya. 6.
Ibunya belum menikah lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain maka hak hadhanahnya hilang. Karena ia akan disibukkan dengan suaminya. Sehingga
untuk mengasuh anak itu hampir tidak ada waktu lagi, bila ibunya kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan anak tersebut boleh mengasuh dan
18
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al- Arba‟ah, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid IV,
hal. 596-598
19
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hal. 329
24
memeliharanya dan hak hadhanahnya tidak hilang.
20
Sebab paman itu masih berhak dalam masalah hadhanah. Dan juga karena hubungannya dan
kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka akan terjadilah kerjasama
yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dengan suami yang baru ini.
21
Berbeda halnya kalau suaminya itu orang lain. Sesungguhnya jika laki-laki lain ini mengawini ibu dari anak kecil tadi, maka laki-laki tadi tidak bisa
mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik karenanya, nanti dapat mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang
mesra dan keadaanya yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik.
Disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang berbunyi:
22
Artinya: “ Dari Abdullah bin Amr : Bahwa ada seseorang perempuan berkata : “Ya Rasulullah Sesungguhnya anakku laki-laki ini perutkulah yang
jadi bejananya, lambungku yang jadi pelindungnya dan susuku yang jadi minumannya. Tiba-tiba sekarang ayahnya mau mencabutnya
20
Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Darul Fattah: Kairo, tth, hal. 355
21
Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, hal. 355
22
Syaikh Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abi Dawud Riyadh : Maktabah al- Ma’arif li
al-Nasyir wa al- Tawzi’ 1998, juz,II, hal. 32
25
d ariku.”Maka Rasulullah saw bersabda:“Engkau lebih berhak
terhadapnya, sel ama engkau belum kawin lagi “ .HR Abu Dawud.
7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibn Qayyim berkata : tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya
yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah yang menetapkannya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka
yang punya anak dari budak perempuanya: sesungguhnya ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang
lebih berhak atas anaknya.
23
Imam madzhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syarat- syarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah :
24
Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah: 1.
Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi seorang pengasuh.
2. Tidak Fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak diberi
tugas mengasuh anak kecil. 3.
Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang sayang kepada anak.
23
Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Darul Fattah: Kairo, tth, hal. 355
24
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al- Mazahib Al- Arba‟ah, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid IV,
hal. 596
26
4. Senantiasa memperhatikan anak asuhannya, orang yang tidak suka meninggalkan
anak. 5.
Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya pemeliharaan anak.
6. Merdeka, bukan budak belian.
Menurut pendapat Imam Syaf i’i syarat-syarat seorang pengasuh adalah :
1. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam satu
tahun. 2.
Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya. 3.
Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir. 4.
„Iffah dapat menjaga kesucian diri, tidak ada hak pemeliharaan bagi orang yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.
5. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan.
6. Bertempat tinggal di tempat anak asuhanya.
7. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhannya itu.
Sedangkan pendapat Imam Hambali adalah sebagai berikut : 1.
Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila. 2.
Merdeka, bukan hamba sahaya. 3.
Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalangi maksud hadhanah. 4.
Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra. 5.
Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat mahram, seperti paman.
27
Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi : 1.
Berakal. 2.
Mampu menjaga anak yang menjadi asuhannya, tidak ada hak hadhanah bagi orang lemah, seperti buta.
3. Berada di tempat anak yang menjadi asuhannya, sampai anak asuhannya dewasa.
4. Dapat dipercaya, tidak ada hak hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk
pencuri dan pezina. 5.
Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhannya seperti kusta.
6. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros.
7. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti paman.
25
Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuh mahdhun adalah sebagai berikut:
26
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendiri. 2.
Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah
dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.
25
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al- Mazahib Al- Arba‟ah, hal. 596
26
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hal. 329
28
Tetapi didalam Peraturan Perundang-Undang Perkawinan di Indonesia baik itu didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun
Inpres nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satupun pasal yang membahas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan bagi sesorang yang
berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga
keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanahnya pula. Sebagaimana dalam pasal 156 huruf c disebutkan :
c Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
27
D. Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah