Domestikasi dan Pengembangbiakan dalam Upaya Pelestarian Ikan Lalawak (Barbodes sp )

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya air, termasuk di dalamnya perairan umum (sungai, danau, situ, rawa dan genangan air lainnya) memiliki banyak fungsi dan salah satunya adalah sebagai habitat hidup ikan. Ikan-ikan alami yang menghuni badan air tersebut saat ini banyak yang terancam keberadaannya, bahkan banyak spesies diantaranya sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penurunan kualitas air (meningkatnya kadar bahan pencemar: deterjen, minyak, pestisida, logam berat, kadar lumpur dan lain-lain) dan menurunnya debet air terutama pada musim kemarau serta penangkapan ikan yang berlebihan dan dengan cara yang berbahaya. Selanjutnya penyebab penurunan kualitas air tersebut dapat juga akibat meningkatnya limbah domestik, pertanian dan industri yang masuk ke badan air sedangkan penurunan kuantitas air salah satunya dapat disebabkan oleh penggundulan hutan di daerah hulu sungai sehingga menimbulkan erosi yang pada akhirnya menyebabkan pendangkalan sungai dan waduk/danau, serta berkurangnya daerah resapan air di daerah aliran sungai. Kepunahan ikan juga dapat disebabkan akibat meningkatnya usaha penangkapan ikan di perairan umum. Meningkatnya penangkapan ikan tersebut disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan masy arakat akan bahan makanan yang mengandung protein hewani dan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kemampuan ekonomi (daya beli) masyarakat. Khususnya untuk di Kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang penurunan populasi ikan lalawak selain seperti telah diuraikan di atas, juga disebabkan oleh penangkapan yang dilakukan dengan menggunakan bahan kimia dan alat tangkap listrik (electric fishing).

Pada hakekatnya ikan-ikan alami tersebut merupakan plasma nutfah yang sangat berguna untuk manusia baik langsung maupun tidak langsung. Saat ini beberapa jenis ikan liar tersebut telah terbukti memberikan sumbangan ekonomi yang cukup signifikan bagi masyarakat, misalnya: ikan gabus, ikan baung, ikan belida, ikan sepat dan beberapa jenis ikan hias ekonomis (arwana, botia, dan lain-lain) akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut seringkali berlebihan


(2)

tanpa memperhatikan aspek kelestariannya sehingga saat ini beberapa jenis diantaranya telah berstatus sebagai ikan langka.

Untuk menghindari kepunahan dan mengembalikan keberadaan jenis -jenis ikan yang hampir punah tersebut perlu ada upaya pelestarian sumberdaya ikan tersebut baik secara in situ maupun ex situ, antara lain melalui upaya domestikasi. Ikan perairan umum yang sudah didomestikasikan perlu dilakukan pengembangbiakannya untuk memperoleh benih, baik secara kuantitas maupun kualitas. Agar benih yang dihasilkan siap untuk ditebar kembali ke habitat aslinya atau benih tersebut digunakan sebagai benih pada kegiatan budi daya, khususnya bagi jenis-jenis ikan liar yang potensial untuk dijadikan ikan konsumsi atau ikan hias (misalnya: lalawak, betutu, belida, kancra, gabus, botia dan arwana). Untuk keberhasilan pengembangbiakan perlu ditunjang oleh informasi yang berkaitan dengan kegiatan pengembangbiakan tersebut seperti nutrisi, patologi, lingkungan, rekayasa genetik serta teknologi perkolaman.

Salah satu jenis ikan yang telah berstatus langka dan hidup di perairan umum adalah ikan Lalawak, Barbodes sp. Ikan ini perlu didomestikasi karena sangat potensial untuk dijadikan ikan konsumsi, karena selain ukurannya yang relatif besar juga rasa dagingnya yang enak, serta potensi reproduksinya cukup tinggi.

Informasi mengenai biologi, ekologi dan pengembangbiakannya dalam upaya domestikasi belum banyak terungkap. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan.

Kerangka Pemikiran

Ikan lalawak sampai saat ini masih berstatus sebagai ikan liar dan belum dilakukan pengembangbiakannya, serta keberadaannya di beberapa daerah hampir punah. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan domestikasi dan pengembangbiakannya. Domestikasi merupakan suatu pola mutualisme antara ikan sebagai organisme yang didomestikasikan dan manusia sebagai domestikator. Melalui domestikasi diharapkan ikan mampu berada dalam kondisi yang diinginkan manusia (wadah budidaya dan pakan buatan) sehingga akhirnya dapat dilakukan pengembangbiakan secara buatan, dipelihara dengan


(3)

kepadatan yang tinggi dalam lingkungan terkontro l serta mampu mengkonsumsi pakan buatan untuk pertumbuhannya.

Pertumbuhan ikan akan bagus apabila kondisi lingkungan dan kandungan nutrisi pakannya sesuai dengan kebutuhan. Salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah alkalinitas. Hal ini dikarenakan alkalinitas dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang mempunyai dampak terhadap bioenergetik organisme akuatik. Di dalam menghadapi perubahan alkalinitas media, ikan melakukan mekanisme osmoregulasi dengan mempertahankan tekanan osmotik di dalam tubuhnya. Semakin besar usaha untuk mempertahankan kondisi hipoosmotik maupun hiperosmotik, semakin meningkat pula kebutuhan energinya. Media yang alkalinitasnya hampir mendekati kisaran isoosmotik , akan menyebabkan tingkat kerja osmotik rendah sehingga energi yang digunakan untuk osmoregulasi berkurang dan sebaliknya energi yang tersedia untuk pertumbuhan bertambah. Selanjutnya pertumbuhan ikan yang lambat juga dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi yang tidak sesuai dengan kebutuhannya, terutama yang berasal dari protein. Disamping itu penggunaan protein yang berlebihan tidak ekonomis dan sisa metabolisme protein yang disekresikan dapat meningkatkan kadar amonia dan berbahaya buat kehidupan ikan. Sedangkan dalam pengembangbiakan ikan salah satu fase yang penting adalah kemampuan reproduksi ikan tersebut. Kemampuan reproduksi dapat ditingkatkan dengan jalan menciptakan lingkungan yang aman serta dengan pemberian pakan yang cukup mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhannya. Upaya untuk mempercepat masuknya unsur nutrisi ke dalam sel memerlukan peningkatan fungsi permeabilitas membran sel. Peningkatan fungsi permeabilitas membran sel dapat dilakukan dengan menggunakan vitamin C dan E (VCE) yang ditambahkan ke dalam pakan ikan. VCE sebagai antioksidan sangat berguna untuk mengawetkan vitamin-vitamin dan asam lemak tidak jenuh yang mudah teroksidasi. Kebutuhan VCE untuk reproduksi berbeda untuk setiap spesies ikan. Namun untuk keberhasilan pengembangbiakan, kajian tentang biologi termasuk didalamnya biologi reproduksi ikan tersebut perlu dipelajari karena merupakan informasi dasar yang sangat erat kaitannya dengan upaya pembenihan ikan tersebut.


(4)

Untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang domestikasi dan pengembangbiakan ikan lalawak dapat dievaluasi melalui beberapa pendekatan antara lain: 1) aspek biologi ikan lalawak seperti penelusuran spesies melalui kajian analisis karakteristik morfometrik-meristik dan pengamatan kromosom, 2) aspek lingkungan terutama tentang alkalinitas, 3) aspek reproduksi, seperti pendekatan nutrisi untuk pertumbuhan dan pematangan gonad (Gambar 1). Alur kegiatan penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 2.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengkaji:

1. Varietas ikan lalawak yang layak untuk di domestikasikan.

2. Kondisi lingkungan (alkalinitas) dan protein pakan yang sesuai untuk budidaya ikan lalawak.

3. Kebutuhan vitamin C dan E yang sesuai untuk memperbaiki performans reproduksi ikan lalawak.

Manfaat Penelitian

Untuk menambah keragaman komoditas ikan budidaya, di samping itu dapat meningkatkan sediaan benih untuk kegiatan budidaya dan sediaan benih untuk restoking ikan di perairan umum dalam upaya membantu pelestarian jenis ikan yang terancam punah.

Hipotesis

Hipotesis yang dikemukakan didalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Karakteristik morfometrik -meristik dan kromosom dapat dijadikan dasar dalam penentuan varietas ikan lalawak dalam upaya domestikasi dan pengembangbiakannya.

2. Kondisi lingkungan (alkalinitas) dan kandungan nutrisi (protein) yang sesuai dapat mendukung pertumbuhan ikan lalawak.

3. Penambahan vitamin C dan E ke dalam pakan induk dapat memperbaiki performans reproduksi (indek kematangan gonad, fekunditas, bobot telur, diameter telur, jumlah induk memijah, derajat tetas telur, total larva dan ketahanan larva) ikan lalawak.


(5)

+

_

Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah

+ Kajian Morfometrik

dan Meristik

Kajian Kebiasaan Makanan dan Nutrisi

Kajian Biologi Reproduksi

Kajian Habitat

Varietas Terpilih

Jenis Pakan

Potensi Reproduksi

Lingkungan Budidaya

Induk yang mempunyai potensi reproduksi

Matang Gonad

Fertilisasi _

Penetasan larva

Pemeliharaan larva

Domestikasi

Pemijahan

_

+


(6)

Adaptasi (lingkungan, dan pakan )

Pematangan gonad melalui Pendekatan lingkungan dan

nutrisi

Pemijahan melalui manipulasi lingkungan,

induksi dengan spesies lain dan perlakuan

hormonal Pemeliharaan larva/benih

melalui penerapan manajemen lingkungan

dan pakan yang tepat Morfologi:

Meristik Morfometrik

Penelusuran ragam varietas, Potensi reproduksi dan kajian ekologi

ikan lalawak

Analisis Kromosom (karyotype)

Benih/calon induk Ikan lalawak dari alam

(varietas terpilih)

Calon induk teradaptasi terhadap lingkungan

dan pakan buatan

Induk matang gonad Betina dan Jantan

Larva ikan lalawak

Benih

RESTOKING BUDIDAYA


(7)

PENELUSURAN RAGAM VARIETAS,

POTENSI REPRODUKSI DAN

EKOLOGI IKAN LALAWAK (

Barbodes

sp.)

Pendahuluan

Ikan lalawak (Barbodes sp.) merupakan salah satu spesies ikan yang terdapat di perairan umum kabupaten Sumedang, namun saat ini keberadaannya sudah sulit didapatkan. Salah satu perairan umum yang menjadi habitat ikan lalawak adalah sungai Cikandung yang terletak di kecamatan Buah Dua kabupaten Sumedang. Menurut masyarakat setempat, di perairan umum kecamatan Buah Dua terdapat dua jenis ikan lalawak, yaitu ikan lalawak biasa dan lalawak jengkol. Struktur morfologis kedua jenis ikan ini sedikit berbeda terutama bentuk dan ukuran tubuhnya. Ikan lalawak biasa mempunyai bentuk tubuh agak memanjang sedang ikan lalawak jengkol membulat. Sejak tahun 1970, sebagian kecil masyarakat telah melakukan upaya pemindahannya ke kolam, yang hanya merupakan suatu upaya untuk menyimpan ikan hidup hasil tangkapan dari alam sebelum dikonsumsi dan bukan untuk usaha budidaya. Keberadaan ikan ini di alam lama kelamaan dikhawatirkan punah, karena makin meningkatnya upaya panangkapan akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya yang bersal dari ikan. Untuk mencegah kepunahan ikan tersebut maka diperlukan berbagai informasi yang menunjang pelestarian ikan lalawak melalui pengelolaan baik secara konservasi maupun budidayanya. Dalam budidaya salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah dari aspek reproduksi.

Reproduksi merupakan salah satu mata rantai dalam siklus kehidupan yang saling berhubungan dengan mata rantai lainnya yang akan menjamin kelangsungan hidup spesies. Siklus reproduksi pada ikan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi masih normal. Reproduksi ikan erat kaitannya dengan perkembangan gonad . Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan, selama proses tersebut berlangsung sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar 10 sampai 25% dan pada ikan jantan 5 sampai 10% dari berat tubuh. Pertambahan berat


(8)

gonad akan diikuti oleh pertambahan berat ikan serta bertambahnya diameter telur dan perkembangan tingkat kematangan gonad (Effendie 1997).

Ikan lalawak merupakan salah satu jenis ikan yang hidup di perairan umum (seperti sungai Cimanuk) dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ikan konsumsi, walaupun belum menjadi jenis ikan yang terancam punah, ikan ini perlu mendapat perhatian karena di beberapa lokasi keberadaannya sudah sangat berkurang (Sjafei et al. 2001). Ikan lalawak yang ditemukan di perairan Cimanuk memiliki fekunditas (potensi reproduksi) sebesar 12 200 sampai 13 500 butir telur, dengan nilai GSI (gonado somatik index) pada ikan betina TKG IV (tingkat kematangan gonad) sebesar 5.6 sampai 14.2%. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan makanan (Wooton 1979), ukuran ikan (panjang dan berat) (Synder 1983) dan ukuran diameter telur (Woynarovic dan Horvath 1980) serta faktor lingkungan (Abidin 1986).

Dalam proses perkembangbiakan ikan secara alami, air sebagai media hidupnya juga turut berperan. Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme tersebut. Dalam kegiatan budidaya, perbedaan dari masing -masing siklus kehidupan sudah banyak dipelajari. Seperti pada budidaya ikan sistem air mengalir, air hanya bertindak sebagai sarana bagi transpor oksigen dan hasil buangan yang berasal dari ikan dan sebagai akibatnya kualitas air tersebut dapat diterima selama kualitas air tertsebut tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap sasaran antara lain pertumbuhan ikan, penetasan telur dan sebagainya. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, amonia, pH dan alkalinitas (Weatherley 1972).

Suhu merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh. Suhu tinggi cenderung menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun, di lain pihak menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (Philips 1972). Pada ikan kemampuan dalam mentoleransi suhu rendah banyak memperoleh hambatan dibanding suhu tinggi. Metabolisme merupakan reaksi


(9)

kimia dan proses kerjanya dipengaruhi oleh suhu. Ikan mempunyai selang suhu optimum untuk memenuhi laju metabolisme yang diinginkan (Philips 1972).

Kebutuhan oksigen terlarut ikan bervariasi, bergantung kepada spesiesnya. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa kebutuhan organisme akan oksigen bergantung kepada jenis, stadia dan aktivitasnya. Jika kandungan oksigen di perairan tidak dipertahankan maka hewan peliharaan akan mengalami stress, mudah terserang parasit dan penyakit atau mati (Stickney 1979). Selanjutnya dikemukakan bahwa, kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak kurang dari 2 ppm. Ikan memerlukan oksigen untuk mengoksidasi nutrien yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya agar di peroleh energi untuk berbagai aktivitas, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi atau sebaliknya (Zonneveld et al. 1991). Sedangkan kandungan karbondioksida yang baik untuk tidak mengganggu kehidupan ikan adalah tidak lebih dari 5 ppm dan apabila kandungan oksigen tinggi, ikan dapat mentolerir kandungan karbondioksida lebih dari 10 ppm dan kandungan amonia yang dapat ditolerir oleh ikan adalah antara 0.6 sampai 2 ppm (Boyd 1979). Selanjutnya Piedrahita dan Seland (1994) mengemukakan bahwa pH berpengaruh terhadap kesadahan dan lingkungan perairan alami maupun dalam sistem budidaya. Perairan dengan pH berkisar antara 6.5 sampai 9.0 sangat baik bagi pertumbuhan ikan, sedangkan pada kisaran pH 4.0 sampai 6.5 dan 9.5 sampai 11.0 pertumbuhannya cenderung lambat (Swingle 1969 dalam Boyd 1982).

Untuk pengembangbiakan ikan lalawak agar keberadaanya tetap terjaga baik di perairan umum maupun kolam masyarakat di kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang, perlu dilakukan kajian tentang ragam varietas, potensi reproduksi dan ekolo ginya.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2003 sampai dengan bulan Juni 2004. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang dan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Laboratorium Limnologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Biologi Hewan PSIH Institut Pertanian Bogor dan LIPI Cibinong.


(10)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam varietas , potensi reproduksi dan ekologi ikan lalawak yang terdapat di perairan umum (sungai) maupun di kolam -kolam masyarakat yang berada di sekitar Kecamatan Congeang dan Buah Dua Kabupaten Sumedang.

Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel ikan lalawak dari berbagai varietas dilakukan di sungai Cikandung (stasiun I dan II) dan kolam masyarakat (stasiun III) (Gambar 3). Dari hasil tangkapan tersebut diperoleh ikan lalawak jengkol sebanyak dua puluh ekor, lalawak sungai dua puluh ekor dan lalawak kolam dua puluh lima ekor. Sedangkan yang matang gonadnya dari hasil tangkapan tersebut untuk ikan lalawak jengkol betina satu ekor dan jantan dua ekor, ikan lalawak sungai betina satu ekor dan jantan satu ekor sedangkan ikan lalawak kolam didapatkan dua ekor yang betina dan empat ekor jantan. Selanjutnya untuk uji kromosom (kariotip) jumlah ikan yang digunakan masing-masingnya adalah dua sampai lima ekor. Pembuatan preparat kromosom yang dilakukan menurut teknik jaringan padat (solid tissue technique) yang mengacu pada metode Al-Sabti (1985), metode Amemiya dan Gold (1986). Bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini baik untuk di lapangan maupun di laboratorium disediakan sesuai tahap-tahap penelitian (Lampiran 1), dan prosedur analisis kromosom (Lampiran 2). Disamping itu juga dilakukan kajian tentang ekologi ikan lalawak itu sendiri di masing-masing stasiun pengamatan. Beberapa parameter dianalisis di lapangan dan sebagaian dianalisis di Laboratorium.


(11)

Stasiun III

Gambar 3. Stasiun pengamatan penelitian

Parameter Uji

Adapun parameter karakteristik morfometrik-meristik yang diamati mengacu kepada metode yang digunakan oleh Affandi et al. (1992), yaitu: panjang total, panjang ke pangkal cabang sirip ekor, panjang baku, panjang kepala, panjang bagian di depan sirip punggung, panjang dasar sirip punggung dan sirip dubur, panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebar badan, tinggi sirip punggung dan sirip dubur, panjang sirip dada dan sirip perut, panjang jari-jari sirip dada yang terpanjang, panjang jari-jari keras dan jari-jari lemah, panjang hidung, panjang ruang antar mata, lebar mata, panjang bagian kepala di belakang mata, panjang antara mata dengan sudut operkulum, tinggi pipi, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, lebar bukaan mulut, jari-jari sirip punggung (D), sirip dada (P), sirip perut (V), sirip dubur (A) dan sirip ekor (C), serta sisik di depan sirip punggung, sisik pipi, sisik di sekeliling badan, sisik batang ekor, sisik pada garis rusuk dan garis sisi. Sedangkan untuk kromosom parameter uji berdasarkan panjang lengan kromosomnya.

Bagian-bagian dari karakter morfometrik dan meristik dari ikan lalawak yang di ukur dapat dilihat pada Gambar 4. Informasi mengenai proporsi suatu karakter terhadap karakter lain dapat dilihat dari data nisbah morfometrik. Data nisbah ini lebih bersifat universal karena tidak tergantung pada ukuran contoh. Data nisbah morfometrik disandikan dengan karakter (N) (Tabel 1).


(12)

a b

d

i

e f c

g

2

3

D

C

P

V

A

h

1

Gambar 4. Karakter morfometrik dan meristik ikan lalawak yang diukur

Keterangan: 1. Panjang total; 2. Panjang baku; 3. Panjang sampai cagak; a. Panjang hidung; b. Lebar mata; c. Panjang kepala; d. Panjang kepala di belakang mata; e. Panjang antara mata dengan sudut tutup insang; f. Tinggi pipi;

g. Panjang rahang bawah; h. Panjang rahang atas; i. Panjang di depan mata; P. Sirip dada; V. Sirip perut; A. Sirip dubur; C. Sirip ekor; D. Sirip punggung

Tabel 1. N isbah ciri/karakter morfometrik ikan uji

No. Sandi Karakter Keterangan

1. N1 PT/PB Panjang total per panjang baku

2. N2 PC/PB Panjang cagak per panjang baku

3. N3 PK/PB Panjang kepala per panjang baku

4. N4 PBDSD/PB Panjang bagian depan sirip dorsal per panjang baku

5. N5 PDSD/PB Panjang dasar sirip dorsal per panjang baku

6. N6 PSSV/PB Panjang sebelum sirip ventral per panjang baku

7. N7 PDSV/PB Panjang dasar sirip ventral per panjang baku

8. N8 PSSA/PB Panjang sebelum sirip anal per panjang baku

9. N9 PDSA/PB Panjang dasar sirip anal per panjang baku

10. N10 PBE/PB Panjang batang ekor per panjang baku

11. N11 TBE/TB Tinggi batang ekor per tinggi badan

12. N12 TK/TB Tinggi kepala per tinggi badan

13. N13 TK/PB Tinggi kepala per panjang baku

14. N14 TB/PB Tinggi badan per panjang baku

15. N15 LB/PB Lebar badan per panjang baku

16. N16 LK/PB Lebar kepala per panjang baku

17. N17 JAM/PK Jarak antar mata per panjang kepala

18. N18 LM/PK Lebar mata per panjang kepala

19. N19 PKBM/PK Panjang kepala di belakang mata per panjang kepala

20. N20 PRA/ PK Panjang rahang atas per panjang kepala

21. N21 PRB/PK Panjang rahang bawah per panjang kepala

22. N22 TK/PK Tinggi kepala per panjang kepala

23. N23 LB/TB Lebar badan per tinggi badan


(13)

Untuk mengetahui kemampuan reproduksi dari varietas ikan lalawak baik yang berasal dari hasil tangkapan di perairan umum (sungai) maupun kolam masyarakat beberapa parameter uji yang dapat digunakan adalah:

1.Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) individu ikan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Bobot gonad (g) IKG (%) = x 100 Bobot tubuh (g)

2. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan dengan melakukan analisis karakter morfologis dan anatomis gonad berdasarkan modifikasi Cassie (Effendie 1997) (Tabel 2). Selain secara anatomis, perkembangan gonad juga dianalisis secara histologis. Untuk ikan jantan berdasarkan Kaya dan Hasler (1972) dalam Effendi (1997), sedangkan untuk ikan betina berdasarkan Chinabut et al. (1991) dalam Siregar (1999) (Tabel 3). Prosedur pengujian preparat histologis dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 2. Kriteria penilaian tingkat kematangan gonad ikan lalawak secara anatomis (mengacu kepada Effendie 1997)

Tingkat Kematangan

Gonad

Betina Jantan

I

Ovarium seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih.

II

Ukuran ovarium lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata.

Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I

III

Ovarium berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya dengan mata.

Permukaan testis tampak bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawet mudah putus.

IV

Ovarium makin besar mengisi 1/2 sampai 2/3 rongga perut. Telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak.

Seperti pada tingkat III tampak lebih jelas. Testis semakin pejal.

V

Ovarium berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti tingkat II.

Testis bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi.


(14)

Tabel 3. Kriteria penilaian tingkat kematangan gonad ikan lalawak secara histologis (mengacu k epada Siregar 1999)

Tingkat Kematangan

Gonad

Betina Jantan

I

Oosit 1. Proliferasi germinal menjadi oogonia. Setiap oogonia dikelilingi oleh satu lapis sel epitel dengan sitoplasma yang mengambil warna merah muda dan inti sel yang besar.

Testis regresi. Dinding gonad dilapisi oleh spermatogonia awal dan sekunder. Sperma sisa mungkin masih terdapat.

II

Oosit 2. Pase perkembangan oosit ditandai meningkatnya ukuran sitoplasma mengambil warna basofilik dan ukuran sitoplasma menjadi besar berwarna biru terang berada ditengah sel. Selama perkembangan oosit primer dibungkus oleh satu lapis epitel folikular yang sulit dibedakan.

Perkembangan spermatogonia. Sama dengan tingkat I hanya proporsi spermatogonia sekunder bertambah. Sperma sisa kadang-kadang masih ter lihat.

III

Oosit 3. Stadia perkembangan sel folikular, dari oosit membesar, nukleus berada ditengah dan sitoplasma berwarna biru gelap. Terdapat provitelin nukleoli yang mengelilingi inti. Pergerakan provitelin nukleoli dimulai pada stadia ini dan nukleoli euvitelin mulai berkembang

Awal aktif spermatogenesis. Cyste spermatocyt timbul dan kemudian semakin bertambah. Cyste spermatid dan spermatozoa juga mulai keluar.

IV

Oosit 4. Nukleoli euvitelin jelas kelihatan disekitar membran nuklear dari nukleus dan sitoplasma berwarna biru terang dibanding stadia II dan III. Stadia ini terjadi vitelogenesis yang ditandai meningkatnya secara nyata butiran kuning telur dan lemak disekitar sitoplasma. Lapisan zona radiata dari oosit nampak jelas dari epitel folikular.

Aktif spermatogenesis. Semua tingkat spermatogenesis ada dalam jumlah yang banyak. Spermatozoa bebas mulai terlihat dalam rongga seminiferous.

V

Oosit 5. Stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. Butiran kuning telur kelihatan jelas dan tersebar disekitar sitoplasma yang berwarna biru keabu-abuan, sedangkan inti berwarna merah muda, membran nukleus dan karyoplasma mengalami degenerasi. Lapisan zona radiata terlihat jelas, epitelium folikular berkembang menjadi sel kubus atau sel selinder.

Testis masak. Lumen penuh dengan spermatozoa. Pada dinding lobule penuh dengan cyste bermacam-macam tingkat.

VI

Oosit 6. Vakuola kuning telur yang besar dan butiran kuning telur berwarna terang muncul pada seluruh bagian sitoplasma. Penurunan inti dalam sel dan membran inti menghilang. Zona radiata, sel folikel dan sel teka terlihat jelas. Ketebalan dinding oosit tidak teratur dengan satu sisi lebih luas dibanding dengan yang lain. Bagian yang tebal akan merupakan subtrat untuk penggabungan fertilis asi telur.

Testis regresi. Rongga seminiferous masih berisi spermatozoa. Dinding lobule penuh dengan spermatogonia yang tidak aktif. Ukuran testes mengkerut karena sperma dikeluarkan.


(15)

3. Fekunditas Relatif

Analisis fekunditas dengan menggunakan cara gabungan antara gravimetrik dengan volumetrik dengan persamaan:

G x X F = Q

4. Bobot Telur

Bobot telur per butir (BT) dihitung dengan cara membandingkan indeks kematangan gonad (IKG) dengan nilai fekunditas relatif.

BT (µg/butir) = IKG/Fekunditas Relatif 5. Diameter Telur

Diameter telur diukur dengan menggunakan mikromet er okuler pada mikroskop. Jumlah sampel telur yang digunakan lebih kurang sebanyak 100 butir untuk tiap gonad ikan.

Sedangkan parameter ekologi yang diamati antara lain: faktor fisika (suhu, kedalaman, kecerahan, total suspency solid , arus dan subtrat ), faktor kimia (pH, oksigen terlarut, ammonia dan alkalinitas), serta biologi antara lain: kebiasaan makanan, hubungan panjang berat dan faktor kondisi. Untuk kebiasaan makanan dilakukan dengan menggunakan persamaan indeks bagian terbesar (Index of preponderance) (Natarajan dan Jhingran dalam Effendie 1979):

6. IP = (ViOi/ΣViOi) x 100%

Keterangan: IP = Indeks bagian tebesar

Vi = Persentase volume satu macam makanan

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

N = Jumlah total individu dari selu ruh jenis

Sedangkan hubungan panjang berat persamaan yang digunakan adalah menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979).

7. W = aLb

Keterangan : F = Fekunditas

G = Bobot gonad (g)

X = Jumlah telur sampel (butir)


(16)

Keterangan: W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm) a dan b = konstanta

Selanjutnnya untuk faktor kondisi mengacu kepada persamaan yang digunakan oleh Lagler (1961) dalam Effendi (1979).

8. K = 105W/L3

Keterangan: K = Faktor kondisi W = Berat ikan (g) L = Panjang ikan (mm)

Analisis Data

Untuk uji morfometrik-meristik; data dianalisis melalui dua pendekatan yaitu analisis korelasi dan komponen utama (Principal Component Analysis -PCA). Menurut Rachmawati (1999), analisis korelasi digunakan pada data frekuensi alel dan data morfometrik untuk melihat keeratan hubungan antar variabel yang diukur. Variabel yang memiliki hubungan korelasi yang dekat dapat dianggap mempunyai sifat-sifat yang sama atau berlawanan (Legendre dan Legendre 1983 dalam Rachmawati 1999). Korelasi antar variabel yang diukur dapat diturunkan dengan metode terpusat melalui transformasi:

Zij =

Keterangan: Zij = Nilai karakter ke-i (i=1, 2,...,P) untuk individu ke-j (j=1, 2,...,N)

Si = Simpangan baku karakter ke-i

Korelasi antar karakter ke-i dan ke-k dapat dinyatakan sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991):

rik =

=

Keterangan: Sik = Peragam contoh bagi karakter ke-i dan ke-k S2i dan S2k = Ragam masing-masing karakter

j

Σ

(

N Xij - Xi) (Xkj - Xk) / N - 1

Σ

(

Xij - Xi)2

Σ

(Xkj - Xk)2 / N - 1 N

j =1

N J=1

S2 S2 Sik

i k Xij - Xi


(17)

Analisis komponen utama (Principal Component Analysis-PCA) digunakan untuk melihat adanya pengelompokan individu berdasarkan karakter morfometrik. PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk mempresentasikan sebagian besar informasi yang terdapat dalam suatu matriks data ke dalam bentuk grafik (Karson 1982 dalam Rachmawati 1999). PCA pada prinsipnya menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden pada data). Jarak Euclidean diperoleh berdasarkan rumus:

Keterangan: I, i' = Dua baris

J = Indeks kolom (bervariasi dari 1 sampai P)

Selanjutnya dalam notasi matriks komponen utama dituliskan sebagai berikut:

Y = A X

Keterangan: A = Matriks transformasi terhadap karakter asal X = Vektor karakter asal

Matriks data berukuran P x N yang diperoleh dari pengukuran terhadap P karakter (X1, X2,...,Xp) dari contoh berukuran N individu adalah sebagai berikut:

X11 X12...X1p X = X21 X22....X2p .

Xn1 Xn2...Xnp

Matriks S yang merupakan penduga tak bias bagi ragam data tersebut adalah:

S = ( I - ) X'

Dimana E adalah matriks berukuran N x N (Lebart, Morineau dan Warwick 1984 dalam Rachmawati 1999). Matriks ragam peragam S mempunyai akar ciri λ1 = λ2

d2 (i, i') =

Σ

(

Xij - Xi'j)2 P

j=1

1 N - 1

1 N


(18)

= ... = λp dan mempunyai vektor ciri a1, a2,...ap yang berbeda sesuai dengan akar cirinya.

Komponen utama pertama merupakan kombinasi linier terbobot karakter asal yang menerangkan keragaman data terbesar:

Y1 = a11X1 + a21X1 + ... + ap1 Xp = a1'X

Vektor pembobot a1' adalah akar ciri ortogonal yang dipilih, sehingga keragaman komponen utama pertama menjadi maksimum (Ludwig dan Reynolds 1988 dalam Rachmawati 1999).

Komponen utama kedua adalah kombinasi linier terbobot karakter asal yang berkorelasi nihil dengan komponen utama pertama dan memaksimumkan sisa keragaman data setelah diterangkan oleh komponen utama pertama, yaitu:

Y2 = a12X2 + a22X2 + ... + ap2 Xp = a2'X

Vektor pembobot a2' adalah vektor ciri ortogonal yang dipilih, sehingga keragaman komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap a1' dari komponen utama pertama. Dengan demikian selanjutnya komponen utama ke-j dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut:

Yj = a1jX1 + a2jX2 + ... + apj Xpj = aj'X

Vektor pembobot aj' dipilih sehingga dap at ditulis dengan rumus sebagai berikut: S2Yj = aj ' S aj , bernilai maksimum, dengan syarat: ai'aj = 1 untuk j = 1, 2 ...,P dan ai'aj = 0 untuk i ≠ j, sehingga Yi dan Yj berkorelasi nihil.

Sebelumnya, untuk menghilangkan pengaruh satuan pengukuran, data ditransformasikan ke dalam bentuk baku Z. Selanjutnya, komponen utama diturunkan dari matriks korelasi R.

Uji kromosom; data dianalisis berdasarkan harga numerik posisi sentromer (HNPS) atau nilai rasio lengan (r) sehingga bentuk kromosom dapat ditentukan sebagai berikut:

HNPS = x 100

Rasio (r) = x 100 Panjang lengan pendek kromosom

Panjang total kromosom Panjang lengan panjang kromosom


(19)

Menurut Levan et al. (1964), untuk nilai HNPS berbanding terbalik dengan makin kecil nilai HPNS, makin besar nilai r yang menggambarkan bentuk kromosom dari metasentrik sampai telosentrik (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai HNPS, r dan bentuk kromosom

HNPS R Bentuk Kromosom

50.00 - 37.50 37.49 - 25.00 24.99 - 12.50 12.49 – 00.00

1.00 - 1.67 1.68 - 3.00 3.01 - 7.00 7.01 - ∼

Metasentrik (M) Submetasentrik (SM)

Subtelosentrik (ST) Telosentrik (T)

Untuk potensi reproduksi data dianalisis dengan mentabulasikan semua data yang diperoleh dari ikan sampel, kemudian untuk melihat mana yang terbaik dari masing-masing varietas dilakukan uji banding. Data tingkat kematangan gonad dianalisis dengan melihat tahapan -tahapan perkembangan gonad secara morfologis dan anatomis. Sedangkan untuk uji ekologinya adalah dengan membandingkan antar masing-masing stasiun, sehingga nantinya diperoleh suatu gambaran lingkungan yang cocok untuk pemeliharaan ikan lalawak (Tabel 5).

Tabel 5. Parameter fisika-kimia air yang diamati

Parameter Alat Metode Analisis Satuan Lokasi

Fisika Suhu Kecerahan Kedalaman Arus TSS Substr at Termometer Secchi disk Tongkat berskala Pelampung dan tali

Kertas saring - Pembacaan skala Penetrasi cahaya Pendugaan Langrangian Gravimetrik Visual 0 C cm m m/dt mg/l - In situ In situ In situ In situ Ex situ In situ Kimia pH DO BOD5 Alkalinitas Ammonia pH meter Buret Buret Buret Spektrofotometer Pembacaan skala Titrasi Titrasi Titrasi Phenate - mg/l mg/l mg/l mg/l In situ In situ Ex situ Ex situ Biologi

Fitoplankton Planktonnet Filtration Method indv./l Ex situ

Hasil dan Pembahasan

Secara morfologis ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam memiliki pola warna yang tidak berbeda secara jelas. Badan ikan lalawak berwarna perak kehijauan, sebagian mata berwarna merah. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu sampai kehitaman. Sirip dada berwarna kuning pucat sampai kuning terang. Perbedaan warna ditemukan pada sirip perut, ikan lalawak kolam


(20)

ujung sirip perutnya tidak berwarna (Tabel 6). Akan tetapi ikan lalawak jengkol paling mudah dibedakan dengan ikan lalawak lainnya karena mempunyai ciri khas tersendiri yaitu bentuk tubuhnya yang membulat hampir mirip jengkol, sehingga masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan ikan lalawak jengkol (Gambar 5). Selanjutnya untuk ikan lalawak sungai dan kolam disajikan pada Gambar 6 dan 7.

Tabel 6. Ciri morfologis ikan lalawak (Barbodes s p.)

No. Parameter

Morfologis Lalawak Jengkol Lalawak Sungai Lalawak Kolam

1. Warna tubuh Keperak-perakan

dengan bagian punggung lebih gelap

Keperak-perakan dengan bagian punggung berwarna agak gelap Keperak-perakan dengan bagian punggung berwarna agak gelap

2. Bentuk tubuh Pipih (tubuh meninggi

sehingga bentuknya agak membulat, makanya masyarakat lebih mengenal dengan sebutan lalawak jengkol)

Ramping karena tubuh memanjang

Ramping karena tubuh meman jang

3. Mata Terdapat warna merah

di bagian atas putih mata (iris)

Terdapat bintik merah pada bagian putih mata

Terdapat bintik merah pada bagian putih mata (iris)

4. Sirip dada Berwarna putih

kekuning-kuningan dan tidak terdapat warna merah

Berwarna putih kekuning-kuningan dan tidak terdapat warna merah

Berwarna putih kekuning-kuningan dan tidak terdapat warna merah

5. Sirip punggung Berwarna

kehitam-hitaman dan sedikit warna merah di antara jari- jari

Berwarna kehitam -hitaman dan di antara jari- jari bag ian depan terdapat warna merah

Berwarna kehitam-hitaman dan di antara jari- jari bagian depan terdapat warna merah

6. Sirip ekor Bercagak, berwarna

kehitaman, terdapat warna merah buram di ujung sirip bagian atas dan di ujung sirip bagian bawah berwarna merah terang

Bercagak, berwarna lebih terang dibanding lalawak dari kolam dan diujung sirip bagian bawah terdapat warna merah

Bercagak, berwarna kehitam -hitaman dan di ujung sirip bagian bawah terdapat warna merah

7. Sirip dubur Berwarna putih,

terdapat warna merah pada ujung jari- jari kerasnya

Berwarna putih dan terdapat warna merah terang di bagian ujung jari- jari kerasnya

Berwarna putih dengan sedikit warna merah di bagian ujung jari- jari kerasnya

8. Sirip perut Berwarna putih

kekuning-kuningan dan terdapat sedikit warna merah pada ujung jari-jari sirip perut

Berwarna putih kekuning-kuningan dan tidak terdapat warna merah diantara jari-jarinya

Berwarna putih kekuning-kuningan dan tidak terdapat warna merah diantara jari-jarinya


(21)

Gambar 5. Ikan lalawak jengkol

Gambar 6. Ikan lalawak sungai

Gambar 7. Ikan lalawak kolam

Untuk mengetahui varietas ikan lalawak, lebih lanjut dilakukan uji morfometrik-meristik. Hasil analisis terhadap 24 karakter morfometrik antara ikan lalawak jengkol dengan ikan lalawak sungai disajikan pada Tabel 7.


(22)

Tabel 7. Nilai Rerata 24 karakter nisbah morfometrik ikan Lalawak Jengkol dan ikan LalawakSungai

Nilai Rerata

No Sandi Morfometrik Nisbah

Lalawak Jengkol

Lalawak Sungai

t Hitung Uji t

1 N1 PT/PB 1.35 ± 0.05 1.38 ± 0.05 0.02 0.057ns

2 N2 PC/PB 1.12 ± 0.03 1.14 ± 0.04 1.25 0.227ns

3 N3 PK/PB 0.29 ± 0.02 0.27 ± 0.02 1.84 0.081ns

4 N4 PBDSD/PB 0.52 ± 0.04 0.51 ± 0.03 0.85 0.407ns

5 N5 PDSD/PB 0.17 ± 0.01 0.16 ± 0.01 2.27 0.035*

6 N6 PSSV/PB 0.53 ± 0.07 0.48 ± 0.02 2.97 0.008*

7 N7 PDSV/PB 0.05 ± 0.01 0.05 ± 0.01 3.91 0.001*

8 N8 PSSA/PB 0.70 ± 0.03 0.70 ± 0.03 0.71 0.489ns

9 N9 PDSA/PB 0.13 ± 0.02 0.13 ± 0.01 0.38 0.711ns

10 N10 PBE/PB 0.19 ± 0.02 0.21 ± 0.02 2.26 0.036*

11 N11 TBE/TB 0.34 ± 0.02 0.36 ± 0.05 1.31 0.208ns

12 N12 TK/TB 0.57 ± 0.04 0.52 ± 0.05 2.85 0.010*

13 N13 TK/PB 0.24 ± 0.03 0.20 ± 0.01 5.15 0.000*

14 N14 TB/PB 0.42 ± 0.08 0.38 ± 0.03 1.87 0.077ns

15 N15 LB/PB 0.18 ± 0.05 0.15 ± 0.02 2.89 0.009*

16 N16 LK/PB 0.18 ± 0.04 0.14 ± 0.01 4.69 0.000*

17 N17 JAM/PK 0.34 ± 0.04 0.31 ± 0.04 0.17 0.000*

18 N18 LM/PK 0.48 ± 0.05 0.50 ± 0.04 3.06 0.006*

19 N19 PKBM/PK 0.38 ± 0.03 0.37 ± 0.04 1.67 0.111ns

20 N20 PRA/PK 0.34 ± 0.03 0.32 ± 0.04 1.39 0.179ns

21 N21 PRB/PK 0.82 ± 0.08 0.74 ± 0.06 1.78 0.091ns

22 N22 TK/PK 0.43 ± 0.04 0.39 ± 0.04 4.49 0.000*

23 N23 LB/TB 0.14 ± 0.02 0.41 ± 0.49 2.72 0.014*

24 N24 TBE/PB 0.14 ± 0.02 0.41 ± 0.49 2.39 0.028*

* = Berpengaruh nyata (P<0.05) ns = Berpengaruh tidak nyata

Selanjutnya hasil analisis 24 karakter nisbah morfometrik ikan lalawak jengkol dengan ikan lalawak kolam disajikan pada Tabel 8, dan ikan lalawak sungai dengan ikan lalawak kolam Tabel 9.

Tabel 8. Nilai Rerata 24 karakter nisbah morfometrik ikan Lalawak Jengkol dan ikan Lalawak Kolam

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

Jengkol

Lalawak Kolam

t Hitung Uji t

1 N1 PT/PB 1.35 ± 0.05 1.32 ± 0.05 0.45 0.661ns

2 N2 PC/PB 1.12 ± 0.03 1.11 ± 0.03 1.49 0.153ns


(23)

Lanjutan tabel 8

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

Jengkol

Lalawak Kolam

t Hitung Uji t

4 N4 PBDSD/PB 0.52 ± 0.04 0.53 ± 0.03 1.31 0.205ns

5 N5 PDSD/PB 0.17 ± 0.01 0.17 ± 0.01 1.08 0.292ns

6 N6 PSSV/PB 0.53 ± 0.07 0.50 ± 0.03 1.08 0.095ns

7 N7 PDSV/PB 0.05 ± 0.01 0.05 ± 0.01 1.76 0.003*

8 N8 PSSA/PB 0.70 ± 0.03 0.72 ± 0.05 3.47 0.702ns

9 N9 PDSA/PB 0.13 ± 0.02 0.13 ± 0.01 0.39 0.858ns

10 N10 PBE/PB 0.19 ± 0.02 0.20 ± 0.03 0.18 0.731ns

11 N11 TBE/TB 0.34 ± 0.02 0.34 ± 0.03 0.35 0.450ns

12 N12 TK/TB 0.57 ± 0.04 0.55 ± 0.08 0.77 0.007*

13 N13 TK/PB 0.24 ± 0.03 0.21 ± 0.03 3.03 0.117ns

14 N14 TB/PB 0.42 ± 0.08 0.39 ± 0.02 1.67 0.070ns

15 N15 LB/PB 0.18 ± 0.05 0.16 ± 0.02 1.92 0.005*

16 N16 LK/PB 0.18 ± 0.04 0.15 ± 0.02 3.20 0.000*

17 N17 JAM/PK 0.34 ± 0.04 0.40 ± 0.09 3.55 0.002*

18 N18 LM/PK 0.48 ± 0.05 0.44 ± 0.04 2.59 0.018*

19 N19 PKBM/PK 0.38 ± 0.03 0.35 ± 0.06 2.43 0.025*

20 N20 PRA/PK 0.34 ± 0.03 0.28 ± 0.06 2.67 0.015*

21 N21 PRB/PK 0.82 ± 0.08 0.80 ± 0.11 3.60 0.002*

22 N22 TK/PK 0.43 ± 0.04 0.42 ± 0.06 1.23 0.225ns

23 N23 LB/TB 0.14 ± 0.02 0.13 ± 0.01 0.71 0.488ns

24 N24 TBE/PB 0.14 ± 0.02 0.13 ± 0.01 1.92 0.070ns

* = Berpengaruh nyata (P<0.05) ns = Berpengaruh tidak nyata

Tabel 9. Nilai Rerata 24 karakter nisbah morfometrik ikan Lalawak Sungai dan ikan Lalawak Kolam

Nilai Rerata

No Sandi Morfometrik Nisbah

Lalawak Sungai

Lalawak Kolam

t Hitung Uji t

1 N1 PT/PB 1.38 ± 0.05 1.32 ± 0.05 3.17 0.005*

2 N2 PC/PB 1.14 ± 0.04 1.11 ± 0.03 2.44 0.025*

3 N3 PK/PB 0.27 ± 0.02 0.27 ± 0.02 0.29 0.773ns

4 N4 PBDSD/PB 0.51 ± 0.03 0.53 ± 0.03 2.52 0.021*

5 N5 PDSD/PB 0.16 ± 0.01 0.17 ± 0.01 1.78 0.091ns

6 N6 PSSV/PB 0.48 ± 0.02 0.50 ± 0.03 4.94 0.000*

7 N7 PDSV/PB 0.05 ± 0.01 0.05 ± 0.01 0.96 0.349ns

8 N8 PSSA/PB 0.70 ± 0.03 0.72 ± 0.05 2.96 0.008*

9 N9 PDSA/PB 0.13 ± 0.01 0.13 ± 0.01 0.00 1.000ns

10 N10 PBE/PB 0.21 ± 0.02 0.20 ± 0.03 2.34 0.030*


(24)

Lanjutan tabel 9

Nilai Rerata

No Sandi Nisbah

Morfometrik Lalawak

Sungai

Lalawak Kolam

t Hitung Uji t

12 N12 TK/TB 0.52 ± 0.05 0.55 ± 0.08 1.63 0.120ns

13 N13 TK/PB 0.20 ± 0.01 0.21 ± 0.03 2.37 0.029*

14 N14 TB/PB 0.38 ± 0.03 0.39 ± 0.02 0.81 0.428ns

15 N15 LB/PB 0.15 ± 0.02 0.16 ± 0.02 2.05 0.054*

16 N16 LK/PB 0.14 ± 0.01 0.15 ± 0.02 4.13 0.001*

17 N17 JAM/PK 0.31 ± 0.04 0.40 ± 0.09 7.49 0.000*

18 N18 LM/PK 0.50 ± 0.04 0.44 ± 0.04 3.96 0.001*

19 N19 PKBM/PK 0.37 ± 0.04 0.35 ± 0.06 4.91 0.000*

20 N20 PRA/PK 0.32 ± 0.04 0.28 ± 0.06 1.09 0.290ns

21 N21 PRB/PK 0.74 ± 0.06 0.80 ± 0.11 1.92 0.070ns

22 N22 TK/PK 0.39 ± 0.04 0.42 ± 0.06 1.94 0.068ns

23 N23 LB/TB 0.41 ± 0.49 0.13 ± 0.01 1.54 0.140ns

24 N24 TBE/PB 0.41 ± 0.49 0.13 ± 0.01 2.52 0.021*

* = Berpengaruh nyata (P<0.05) ns = Berpengaruh tidak nyata

Pada Tabel 7, antara ikan lalawak jengkol dengan lalawak sungai setelah dilakukan uji t terdapat tiga belas karakter yang berbeda yaitu N5, 6, 7, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 22, 23 dan 24 (p<0.05). Selanjutnya pada Tabel 8, antara ikan lalawak jengkol dengan lalawak kolam terdapat sepuluh karakter yang berbeda yaitu N3, 7, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20 dan 21 (p<0.05). Sedangkan pada Tabel 9 antara ikan lalawak sungai dengan ikan lalawak dari kolam terdapat tiga belas karakter yang berbeda yaitu N1, 2, 4, 6, 8, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 19 dan 24 (p<0.05). Untuk nilai rerataan nisbah morfometrik masing-masing ikan lalawak (jengkol, sungai dan kolam) disajikan pada Lampiran 4, 5 dan 6.

Untuk melihat keeratan hubungan antara variabel morfometrik dilakukan uji korelasi. Berdasarkan hasil uji korelasi antara ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam didapatkan nilai morfometrik yang mempunyai hubungan korelasi positif kuat adalah antara N1 dengan N2; N4 dengan N6; N5 dengan N6, 9, 13 dan N16; N6 dengan N14, 15 dan 16; N12 dengan N22; N13 dengan N14, 15, 16 dan 22; N14 dengan N15 dan 16; N15 dengan N16 dan 23; N16 dengan N23; N17 dengan N22 serta N20 dengan N21. Hal ini berarti jika salah satu komponen nisbah morfometrik tersebut meningkat maka akan diikuti juga dengan meningkatnya komponen morfometrik pembandingnya, sedangkan nilai morfometrik yang lain


(25)

tidak memiliki korelasi yang kuat (Lampiran 7). Menurut Santoso (2003), bahwa sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang kuat atau lemah. Namun dapat dijadikan suatu pedoman sederhana, bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan dibawah 0.5 korelasi lemah.

Selanjutnya untuk melihat adanya pengelompokan individu berdasarkan morfometrik maka dilakukan analisis komponen utama (Gambar 8A-D).

Gambar 8A. Korelasi antar karakter pada sumbu 1 dan 2

Gambar 8B. Korelasi antar karakter pada sumbu 1 dan 3

Berdasarkan analisis komponen utama terhadap karakter morfometrik yang diberikan oleh tiga sumbu utama pertama masing-masing sebesar 25.72%, 15.28% dan 11.45% (Gambar 8A dan B). Nilai tersebut menjelaskan bahwa pada sumbu satu dapat menjelaskan bentuk tubuh ikan lalawak sebesar 25.72%, sumbu dua 15.28% dan sumbu tiga 11.45% (Lampiran 8). Karakter yang paling berperan pada sumbu satu positif terhadap panjang baku adalah N14, 15 dan 16. Sedangkan

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active

N1 N2 N3 N4 N5 N6 N 7 N8 N9 N10 N11

N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24

-1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0

Factor 1 : 25,72% -1,0

-0,5 0,0 0,5 1,0

Factor 2 : 15,29%

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 3)

Active

N 1 N2 N3 N4 N5 N 6 N 7 N8 N9 N10 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N19 N20 N21 N22 N23 N24

-1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0

Factor 1 : 25,72% -1,0

-0,5 0,0 0,5 1,0


(26)

pada sumbu dua negatif karakter yang paling berperan terhadap panjang baku adalah N1 dan N2. Untuk sumbu tiga negatif karakter yang paling berperan terhadap panjang kepala adalah N20 dan N21 (Lampiran 9).

Pada Gambar 8C terlihat penyebaran individu pada sumbu satu dan dua tidak membentuk pengelompokan populasi yang nyata, tetapi mempunyai kecenderungan jenis ikan lalawak jengkol berada disebelah kanan dan jenis ikan lalawak sungai disebelah kiri. Penyebaran terhadap sumbu satu dipengaruhi oleh variasi nilai N14, 15 dan 16, sedangkan penyebaran pada sumbu dua dipengaruhi oleh N1 dan N2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan panjang baku yang sama dari ketiga jenis ikan lalawak; lalawak jengkol cenderung memiliki tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala yang lebih besar daripada jenis lainnya. Atau dengan kata lain dengan panjang baku yang sama dari ketiga jenis ikan lalawak, maka ikan lalawak sungai memiliki tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala lebih kecil d ibandingkan jenis ikan lalawak lainnya tetapi mempunyai panjang total dan panjang cagak lebih besar dari kedua jenis ikan lalawak lainnya.

Pada sumbu tiga, ikan lalawak kolam cenderung berada di sebelah atas dari ikan lalawak lainnya (Gambar 8D). Adapun karakter yang mempengaruhinya adalah N20 dan N21. Hal ini menunjukkan bahwa dengan panjang kepala yang sama ikan lalawak kolam cenderung memiliki nilai panjang rahang atas dan rahang bawah lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lalawak lainnya. Hasil tersebut di atas diperkuat dengan hasil analisis cluster (Tabel 10), dimana ikan lalawak sungai mempunyai nilai euclidean yang paling besar (0.57).

Gambar 8C. Penyebaran individu pada sumbu 1 dan 2; (a) lalawak kolam, (b) lalawak jengkol dan (c) lalawak sungai

Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0,00

Active a a a a a a a aa a a a a a a a a a a a

aaa

a a b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b c c c c c c c c c c c c c c c c c c c c

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Factor 1: 25,72% -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8


(27)

Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 3) Cases with sum of cosine square >= 0,00

Active a a a a a a a a

aaa a a a a a a a aa a a aa a b b b b b b b b b b b b b b b b b bb bc c c c c c c c c c c c c c c c c c c c

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Factor 1: 25,72% -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7

Factor 3: 11,45%

Gambar 8D. Penyebaran individu pada sumbu 1 dan 3; (a) lalawak kolam, (b) lalawak jengkol dan (c) lalawak sungai

Tabel 10. Matrik nilai euclidean nisbah karakter morfometrik ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

Lalawak Jengkol Lalawak Sungai Lalawak Kolam

Lalawak Jengkol 0.00 0.50 0.20

Lalawak Sungai 0.50 0.00 0.57

Lalawak Kolam 0.20 0.57 0.00

Dari tabel tersebut di atas akan terbentuk dua kelompok ikan, dimana kelompok yang pertama adalah ikan lalawak sungai dan kelompok ke dua adalah ikan lalawak kolam dan jengkol (Gambar 9).

Gambar 9. Dendogram pengelompokan antara ikan lalawak sungai, lalawak jengkol dan lalawak kolam

Tree Diagram for 3 Cases Complete Linkage Euclidean distances

lalawak sungai (c)

lalawak jengkol (b)

lalawak kolam (a) 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 Linkage Distance


(28)

Pengelompokan tersendiri dari ikan lalawak sungai dapat disebabkan ikan lalawak sungai memiliki nisbah morfometrik yang berbeda dari ikan lalawak lainnya seperti nilai nisbah tinggi badan, lebar badan dan lebar kepala. Selanjutnya perbedaan ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan habitat tempat hidup ikan lalawak itu sendiri. Selanjutnya juga dilakukan analisis meristik. Adapun hasil analisis meristik disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Karakter meristik ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

Ikan Jari- jari

sirip punggung

Jari- jari sirip dada

Jari-jari sirip perut

Jari-jari sirip dubur

Jari- jari sirip ekor

Lalawak jengkol III.71/2 - 81/2 I.13 - 14 I.8 – 9 III.51/2 - 61/2 26 - 31

Lalawak sungai III.71/2 - 81/2 I.13 - 14 I.8 III.51/2 - 61/2 26 - 31

Lalawak kolam III.71/2 - 81/2 I.13 - 15 I.8 III.51/2 - 61/2 26 - 31

Ikan Sisik pada

LL

Sisik di atas LL

Sisik di bawah LL

Sisik di depan

sirip pungung

Sisik di sekeliling

badan

Sisik pada batang

ekor

Lalawak jengkol 28 - 30 61/2 - 71/2 31/2 - 41/2 13 - 15 24 - 27 14 - 16

Lalawak sungai 28 - 30 61/2 - 71/2 31/2 - 41/2 13 - 15 24 - 26 14 - 16

Lalawak kolam 28 - 30 61/2 - 71/2 31/2 - 41/2 13 - 15 24 - 28 14 - 16

Dari sebelas karakter meristik yang dianalisis mempunyai kisaran yang hampir sama (Tabel 11). Ada tiga karakter yang membedakan antara ikan lalawak jengkol dengan sungai dan kolam yaitu jari-jari sirip dada, sirip perut dan sisik di sekeliling badan. Berdasarkan hasil pengamatan ikan lalawak jengkol termasuk kedalam genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak kolam dan sungai termasuk kedalam spesies Barbodes balleroides. Menurut Kottelat et al. (1993), ada beberapa genus dari Barbodes antara lain: Barbodes balleroides dengan ciri-cirinya sebagai berikut: gurat sisi sempurna, jari-jari terakhir tidak bercabang pada sirip punggung mengeras dan bergerigi, 61/2 sisik antara awal sirip punggung dan gurat sisi, 16 sisik di sekeliling pangkal ekor, 31/2 sisik antara awal sirip perut dan gurat sisi, lebar batang ekor 1.3 sampai 1.5 kali lebih kecil dari panjang kepala. Daerah penyebarannya adalah Kalimantan, Jawa, Malaysia, Kamboja, Thailand dan Vietnam. Barbodes belinka, dengan ciri-ciri: gurat sisi sempurna, jari-jari terakhir tidak bercabang pada sirip punggung mengeras dan bagian belakangnya terpisah, 16 sisik di depan sirip punggung, berwarna keperakan dengan garis panjang sepanjang barisan sisik, bagian belakang sirip punggung kehitam-hitaman, terdapat garis warna hitam pada pinggiran cuping sirip ekor, antara gurat


(29)

sisi dan awal sirip punggung terdapat 9 sisik. Daerah penyebarannya Sumatera dan Malaysia. Barbodes collingwoodii, dengan ciri-ciri 61/2 sisik antara gurat sisi dan awal sirip punggung, 15 sisik di depan sirip punggung, terdapat garis dekat tepi cuping sirip ekor, garis pada cuping bawah lebih gelap, batang ekor dikelilingi oleh 16 sisik, jari-jari terakhir tidak bercabang pada sirip punggung mengeras dan bagian belakang bergerigi, lebar batang ekor 1.7 sampai 2.0 kali lebih kecil dari panjang kep ala. Daerah penyebarannya Kalimantan. Barbodes gonionotus, dengan ciri-ciri sirip dubur 61/2 jari-jari bercabang, 3 sampai 31/2 sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut. Daerah penyebarannya daerah Sunda, Sulawesi (danau Tempe) dan Indochina. Barbodes platysoma, dengan ciri-ciri batang ekor dikelilingi oleh 18 sisik, lebar badan 1.75 kali lebih kecil dari panjang standar, badan sangat memipih tegak, bentuk punggung cembung dalam dan melengkung, badan polos, terdapat 7 sisik antara gurat sisi dan awal sirip punggung. Daerah penyebarannya Jawa. Barbodes schwanefeldii, dengan ciri-ciri gurat sisi sempurna, 13 sisik sebelum awal sirip punggung, 8 sisik antara sirip punggung dan gurat sisi, badan berwarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung merah dengan bercak hitam pada ujungnya, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cuping sirip ekor. Daerah penyebarannya Sumatera, Kalimantan, Malaysia dan Indochina. Barbodes strigatus, dengan ciri-ciri batang ekor dikelilingi oleh 14 sisik, 7 garis warna gelap sepanjang badan. Daerah penyebarannya Kalimantan Utara. Barbodes sunieri, 61/2 jari-jari bercabang pada sirip dubur, 9 sisik antara gurat sisi mengelilingi perut, 21/2 baris sisik antara gurat sisi dengan awal sirip perut, batang ekor dikelilingi oleh 14 sisik, badan polos. Daerah penyebarannya Kalimantan Timur Laut. Selanjutnya Roberts (1989), menyatakan bahwa ikan lalawak mempunyai sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut 31/2, gurat sisi kompleks, sisik pada gurat sisi berjumlah 34, sisik predorsal 13 dan sisik transdorsal berjumlah 16. Ciri-ciri tersebut dimiliki oleh ikan lalawak sungai dan kolam, sedangkan ikan lalawak jengkol tidak karena ikan lalawak jengkol memiliki panjang kepala yang hampir sama dengan lebar batang ekornya. Tabulasi data meristik disajikan pada Lampiran 10.


(30)

Selanjutnya untuk membedakan varietas ikan salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melakukan analisis kromosom. Kromosom merupakan tempat gen -gen yang berperan dalam mewariskan sifat pada turunan serta sebagai pengontrol fenotip. Hasil uji kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam disajikan pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol

Gambar 11. Susunan kromosom ikan lalawak sungai dan lalawak kolam Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa jumlah kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam sama yaitu 24 pasang (2n = 48). Sedangkan dari susunan kariotipnya ikan lalawak jengkol berbeda dengan lalawak sungai dan kolam, tetapi antara ikan lalawak sungai dan kolam sama (Tabel 12).

1 2 3 4 5 6 7 8

9 10 11 12

13 14 15 16 17

18 19 20 21

22 23 24

M

SM

T

ST

1 2 3 4 5 6 7

8 9 10 11

12 13 14 15 16 17

18 19 20 21 22

23 24

M

SM

T


(31)

Kromosom dapat dibedakan berdasarkan lokasi dari sentromer dan panjang relatif dari lengan. Kromosom akrosentrik berbentuk batang dengan satu sentromer terminal (lengan tunggal). Metasentrik berbentuk V dengan posisi sentromer di bagian tengah (dua lengan yang simetrik) dan telosentrik adalah suatu kondisi peralihan dengan satu lengan yang lebih pendek daripada lainnya (Hochachka dan Mommsen 1998). Menurut Guodenough dan Adisoemarto (1984), berdasarkan letak sentromernya kromosom dapat dikelompokan menjadi lima yaitu telosentrik, akrosentrik, subtelosentrik, metasentrik dan submetasentrik. Tetapi pada umumnya pengelompokan yang dilakukan adalah metasentrik, submetasentrik dan akrosentrik. Metasentrik adalah kromosom yang sentromernya terletak ditengah sehingga kedua lengan sama panjang. Kromosom submetasentrik adalah kromosom yang memiliki sentromer terletak agak ke atas sehingga lengan yang satu lebih panjang. Sedangkan kromosom akrosentrik adalah kromosom yang mempunyai sentromer di tepi sehingga lengan yang satu jauh lebih panjang daripada lengan lainnya.

Tabel 12. Jumlah kromosom dan kari otip ikan lalawak jengkol, lalawak sungai dan lalawak kolam

No Jenis Ikan Jumlah Kromosom Susunan Kromosom

1 Lalawak Jengkol 2n = 48

11 pasang metasentrik (M) 6 pasang submetasentrik (SM) 5 pasang telosentrik (T) 2 pasang subtelosentrik (ST)

2 Lalawak Sungai 2n = 48

12 pasang metasentrik (M) 5 pasang submetasentrik (SM) 4 pasang telosentrik (T) 3 pasang subtelosentrik (ST)

3 Lalawak Kolam 2n = 48

12 pasang metasentrik (M) 5 pasang submetasentrik (SM) 4 pasang telosentrik (T) 3 pasang subtelosentrik (ST)

Individu-individu yang berasal dari satu spesies memiliki jumlah, ukuran dan bentuk kromosom yang relatif sama. Pengertian tersebut digunakan untuk menentukan posisi taksonomi suatu jenis dan juga dapat digunakan untuk menunjukkan kekerabatannya dengan jenis lain (White 1973). Makin banyak perbedaan kariotip yang terdapat antara dua spesies menunjukkan kekerabatan yang jauh, sebaliknya makin kecil perbedaan kariotip tersebut menunjukkan kekerabatan yang relatif dekat (Garber 1974).


(32)

Pada hewan semakin dekat kekerabatannya semakin banyak persamaan bentuk, ukuran dan jumlah kromosomnya. Dua hewan yang berbeda spesies dapat memiliki kromosom yang sama bahkan pada ikan dengan genus yang berbeda juga akan mempunyai kromosom yang sam a, namun akan berbeda penampilan morfologisnya. Menurut Purdom (1993), terdapat tiga variasi kromosom dalam intra spesifik maupun dalam intra individual yaitu: 1) variasi jumlah kromosom (2n) maupun jumlah lengan kromosom, 2) variasi dalam pola pita kromosom individual dan 3) variasi kromosom seks. Variasi-variasi tersebut tidak hanya terlihat di antara individu atau spesies tetapi juga di antara sel-sel dalam suatu individu. Penelitian kromosom pada ikan telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai preparat jaringan antara lain sisik, kultur sel bagian posterior sirip ekor (Uwa et al. 1981; Uwa dan Yoshio 1981), kultur leukosit (Busack et al. 1980; Hartono 2003), embryo (Uwa dan Magtoon 1986), lengkung insang (Andriani 2000; Nuryanto 2001) dan larva (Said et al. 2001).

Untuk menjaga keberadaan ikan-ikan yang sudah mulai punah, maka salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melihat potensi reproduksinya. Beberapa aspek potensi reproduksi yang dapat dijadikan suatu acuan antara lain adalah indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad, bobot telur, diameter telur dan fekunditas . Nilai indeks kematangan gonad, fekunditas , bobot telur dan diameter telur dapat dilihat pada Tabel 13. Sedangkan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan lalawak umumnya berkisar antara TKG I – II (Tabel 14).

Tabel 13. Nilai indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas (F), bobot telur (BT) dan diameter telur (DT)

Parameter Jenis Jengkol Sungai Kolam

IKG (%) ?

?

1.07 10.90

1.11 9.28

0.97 10.19

F (butir) - 12 936 11 124 13 135.2

BT (µ g/butir) - 113.69 76.87 82.04

DT (mm) - 0.71 0.67 0.67

Tabel 13, menunjukkan bahwa indeks kematangan gonad ikan betina baik yang berasal dari sungai maupun kolam lebih besar daripada ikan jantan. Nilai indeks kematangan gonad ikan betina yang tertinggi terdapat pada ikan lalawak jengkol (10.90%), selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh ikan lalawak


(33)

kolam (10.19%) dan sungai (9.28%). Sedangkan untuk ikan jantan nilai indeks kematangan gonad yang terbesar pada ikan lalawak sungai (1.11%), selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh ikan lalawak jengkol (1.07%) dan kolam (0.97%). Hal ini disebabkan karena pertambahan bobot ovarium selalu lebih besar daripada pertambahan bobot testis. Peningkatan bobot ovarium berhubungan dengan proses vitelogenesis dalam perkembangan gonad, sedangkan peningkatan bobot testis berhubungan dengan proses spermatogenesis (Cerda et al. 1996).

Tabel 14. Kriteria tingkat kematangan gonad ikan lalawak (Barbodes s p.) secara anatomis

Tingkat Kematangan

Gonad

Betina Jantan

I

Ovarium seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih, permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih.

II

Ukuran ovarium lebih besar, warna lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum terlihat jelas dengan mata.

Ukuran testis lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat I

TKG I, gonad betina masih berbentuk sepasang benang kasar yang terletak pada bagian kanan dan kiri rongga perut, warna kuning kecoklatan dengan permukaan licin dan telur belum dapat dilihat. Secara histologis gonad TKG I didominasi oleh oosit dengan inti sel yang lebih besar, serta sitoplasma yang berwarna ungu lebih tebal. Pada ikan mas, ukuran oosit stadium ini berkisar antara 25.0 sampai 262.5 µm (Hardjamulia 1987) dan pada ikan semah berkisar antara 30 sampai 120 µm (Hardjamulia et al. 1995). Sedangkan gonad ikan jantan berbentuk sepasang benang berwarna bening dan licin, serta ukurannya lebih pendek dan kecil bila dibandingkan dengan gonad betina. Secara histologis terlihat jaringan ikat lebih dominan. Sel spermatogonium berasal dari perkembangan pertama atau kedua yang akan memasuki perkembangan tahap spermatogonia. Fase ini dinamakan immature/belum matang (Murphy dan Taylor 1990).

TKG II, gonad betina berukuran lebih besar daripada TKG I, mengisi sepertiga rongga perut, berwarna coklat muda. Butiran telur masih belum dapat dilih at dengan mata. Pada fase ini belum terdapat granula kuning telur (Hardjamulia et al. 1995), sehingga dinamakan fase istirahat (Amstrong et al.


(34)

1992). Secara histologis TKG II mempunyai oosit dengan diameter bertambah besar, sitoplasma terlihat lebih jelas berwarna ungu. Pada perifer sitoplasma sudah kelihatan lapisan vesikula kuning telur. Untuk ikan jantan, gonad mempunyai ukuran lebih besar daripada TKG I, dan berwarna putih. Secara histologis kantong-kantong tubulus seminiferi mulai berisi spermatosit yang berasal dari perkembangan spermatogonium (Gambar 12).

Gambar 12. Struktur histologi s gonad ikan Lalawak betina (Barbodes sp.) (A) dan ikan Lalawak jantan (Barbodes sp.) (B)

(Pewarnaan hematoxylin-eosin)

Keterangan: 1. Oosit, 2. inti sel, 3. vesikula, 4. spermatogonium, 5. spermatosit

Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Peningkatan bobot ovarium dan testis juga bergantung kepada ketersediaan pakan, karena bahan baku dalam proses pematangan gonad terdiri atas karbohidrat, lemak dan protein (Kamler 1992). Menurut Luvi (2000), nilai IKG ikan lalawak yang tertangkap di Sungai Cimanuk untuk yang jantan berkisar antara 0.78 sampai 6.26, sedangkan yang betina 0.71 sampai 29.07%.

Peningkatan nilai indeks kematangan gonad, fekunditas, bobot telur dan diameter telur dapat disebabkan oleh perkembangan oosit. Nilai fekunditas suatu spesies ikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (Wootton 1979). Nilai fekunditas tertinggi didapati pada ikan lalawak kolam yaitu sebesar 13 135.2 butir, selanjutnya diikuti oleh ikan lalawak jengkol sebesar 12 936 butir dan ikan lalawak sungai sebesar 11 124 butir. Perbedaan ukuran (bobot tubuh dan panjang total) akan menyebabkan berbedanya ukuran bobot ovarium dan juga akan

A B

TKG I 1

2

TKG I I 1

3

TKG I

4

TKG I I 5


(35)

menyebabkan berbedanya nilai fekunditas. Ikan yang baru pertama kali matang gonad memiliki ukuran tubuh lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan yang telah mengalami beberapa kali matang gonad (Synder 1983). Nilai fekunditas juga dipengaruhi oleh ukuran diameter dan bobot telur (Woynarovich dan Horvath 1980). Bobot telur tertingg i didapati pada ikan lalawak jengkol 113.69 µg/butir dan selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh ikan lalawak kolam sebesar 82.04 µg/butir dan ikan lalawak sungai sebesar 76.87 µg/butir. Sedangkan untuk diameter telur terbesar didapati pada ikan lalawak kolam dan sungai yaitu sebesar 0.71 mm dan ikan lalawak jengkol sebesar 0.67 mm. Selanjutnya Abidin (1986) menyatakan bahwa nilai fekunditas, bobot telur dan diameter telur juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Hasil analisis parameter fisika dan kimia masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Parameter fisika dan kimia pada masing -masing stasiun penelitian

Stasiun

Parameter Satuan I

(Sungai Cikandung) Rata- rata II (Sungai Cikandung) Rata- rata III (Kolam budidaya) Rata- rata Fisika Suhu Kecerahan Kedalaman Arus TSS Substrat 0 C cm m m/dt mg/l - 25-26.5 25-30 0.70 – 1.50

0.30-0.45 74-80.1 kerikil 25.75 27.5 110 0.38 77.05 - 26.5- 28 25-27.5 0.50 – 0.70

0.45-0.50 80.5-90.3 kerikil 27.25 26.25 60 0.48 85.4 - 26-28 30-35 0.75- 1.00 0.007-0.035 78.9- 80.3 lumpur 27 32.5 87.5 0.02 79.6 - Kimia pH DO BOD5 Ammonia Alkalinitas - mg/l mg/l mg/l

ppm CaCO3

6.0-6.5 4.48-6.61 2.53-3.31 0.095-0.16 112-125 6.25 5.55 2.92 0.13 118.5 6.5-7.0 3.64-4.63 2.02-3.20 0.02-0.19 120-160 6.75 4.14 2.52 0.11 140 6.5-7.0 3.43- 4.30 2.31- 2.80 0.028-0.05 85-100 6.75 3.87 2.56 0.04 92.5

Tabel 15 menunjukkan untuk stasiun satu suhunya lebih rendah dari stasiun dua dan tiga, hal ini disebabkan karena stasiun satu berada di daerah hulu sungai dan di daerah pinggir sungai banyak ditumbuhi pohon-pohon yang besar. Secara topografi letak stasiun satu juga lebih tinggi dibandingkan stasiun dua dan tiga. Untuk kecerahan stasiun tiga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun dua dan satu. Perbedaan ini disebabkan oleh kecepatan arus, dimana pada stasiun dua kecepatan arusnya lebih cepat, selanjutnya diikuti oleh stasiun satu dan tiga. Pada arus yang lambat proses pengendapan lumpur lebih mudah terjadi.


(36)

Selain kecepatan arus, kecerahan dipengaruhi pula oleh padatan tersuspensi (TSS). Nilai TSS pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 74 sampai 90.3. Menurut Alabaster dan Lloyd (1980), kisaran nilai TSS 80 sampai 400 kurang menunjang untuk usaha perikanan, karena kondisi perairan dengan nilai tersebut dapat menyebabkan proses fotosintesis di perairan tidak berjalan dengan maksimum. Kecepatan arus juga dipengaruhi oleh ketinggian antara bagian hulu dan hilir sungai, kalau perbedaannya cukup besar maka arus akan semakin deras. Kecepatan arus juga akan berpengaruh pada jenis subtrat suatu perairan. Pada stasiun satu dan dua subtrat berbentuk kerikil, sedangkan pada stasiun tiga berbentuk lumpur karena arusnya lambat. Menurut Effendi (2003), kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar.

Derajat keasaman (pH) stasiun pengamatan berkisar antara 6.0 sampai 7.0, hal ini berarti pH perairan yang terdapat pada stasiun pengamatan tergolong netral. Kondisi ini disebabkan lokasi pengamatan berada jauh dari sumber limbah seperti pabrik tahu dan pemukiman penduduk. Sungai di sekitar stasiun pengamatan sampai ke hulu hanya dikelilingi oleh hutan dan persawahan. Nilai pH netral cukup baik untuk menunjang kehidupan ikan (Hickling 1971). Oksigen terlarut pada stasiun satu lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan suhu perairan, pergerakan air dan proses fotosintesis organisme di perairan.

BOD5 menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan -bahan organik yang terdapat di dalam air selama lima hari. Semakin tinggi nilai BOD5 di suatu perairan berarti semakin tinggi kandungan bahan organik di perairan tersebut. Hasil pengukuran BOD5 menunjukkan bahwa pada stasiun satu nilainya paling tinggi dan selanjutnya secara berurutan diikuti oleh stasiun tiga dan dua. Hal ini sejalan dengan kadar ammonia, dimana kadar ammonia tertinggi terdapat pada stasiun satu dan selanjutnya diikuti oleh stasiun dua dan tiga. Namun demikian kadar ammonia di ke tiga stasiun masih dikategorikan aman bagi kelangsungan hidup ikan (Lloyd 1980). Kadar alkalinitas di suatu perairan menunjukkan kapasitas penyangga perairan tersebut serta dapat pula digunakan untuk menduga kesuburannya. Kadar


(37)

alkalinitas pada ke tiga stasiun berada pada kisaran 85-160 ppm CaCO3, dan alkalinitas tersebut cukup baik untuk perikanan. Ikan lalawak hidup di air yang jernih sampai air yang agak keruh, dengan dasar perairan yang berpasir, sedikit berlumpur dan berbatu-batu kecil.

Komposisi makanan ikan berdasarkan nilai rata-rata index of prepondence pada ketiga stasiun pengambilan sampel disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Indeks of Prope nderance (IP) makanan Ikan Lalawak (Barbodes sp.)

IP (%) Jenis Makanan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Phytoplankton Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglanophyceae 92.05 44.32 5.68 19.32 22.73 80.30 26.52 21.21 12.12 20.45 70.40 12.80 9.60 24.80 23.20 Zooplankton Rotifera Protozoa 2.28 1.14 1.14 13.64 0.00 13.64 24.80 4.80 20.00 Invertebrata Air Crustacea 0.00 0.00 2.27 2.27 0.80 0.80 Lain-lain Detritus Tidak terdeteksi 5.68 3.41 2.27 3.79 1.52 2.27 4.00 3.20 0.80

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa yang menjadi makanan utama bagi ikan lalawak di stasiun satu, dua dan tiga adalah fitoplankton dengan IP masing-masing 92.05, 80.30 dan 70.40%. Tingginya nilai IP jenis fitoplankton di dalam usus ikan ini juga ditunjang oleh ketersediaan jenis makanan tersebut di alam (Lampiran 11). Menurut Nikolsky (1963) dalam Luvi (2000), urutan kebiasaan makanan ikan terdiri dari makanan utama, pelengkap dan pengganti. Adapun jenis yang terbanyak dikonsumsi oleh ikan pada stasiun satu adalah dari kelas Bacillariophyceae yaitu sebesar 45%, selanjutnya diikuti oleh Euglenophyceae sebesar 23%, Cyanophyceae 19%, Chlorophyceae 6%, Detritus 3%, tidak terdeteksi 2%, Rotifera 1%, Protozoa 1%, dan Crustaceae 0% (Gambar 13). Untuk stasiun dua adalah kelas Bacillariophyceae yaitu sebesar 27%, selanjutnya diikuti oleh Chlorophyceae 21%, Euglenophyceae 20%, Protozoa 14%, Cyanophyceae 12%, Crustaceae 2%, Detritus 2%, tidak terdeteksi sebesar 2% dan Rotifera 0% (Gambar 14). Sedangkan untuk stasiun tiga kelas Cyanophyceae yaitu sebesar 24%, selanjutnya diikuti oleh Euglenophyceae sebesar 23%, Protozoa 20%, Bacillariophyceae 13%, Chlorophyceae 10%,


(38)

Rotifera 5%, Detritus 3%, Crustaceae 1% dan tidak terdeteksi sebesar 1% (Gambar 15).

Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan bahwa jenis makanan ikan lalawak adalah berupa phytoplankton, zooplankton, invertebrata air dan lainnya (detritus). Menurut Luvi (2000), ikan lalawak dari sungai Cimanuk berdasarkan analisis isi perutnya tergolong ikan omnivora karena ditemukan jenis organisme nabati dan hewani.

Gambar 13. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun I

Gambar 14. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun II

45%

6% 19%

23%

1% 3%

2% 0%

1%

Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi

27%

21% 12%

20% 14%

2% 2%

0% 2%

Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi


(39)

Gambar 15. Komposisi makanan ikan Lalawak (Barbodes sp.) di stasiun III Hasil analisis hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi untuk ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi

Ikan Lalawak (Barbodes sp.) Parameter

Jengkol Sungai Kolam

Jumlah ikan (ekor) 20 20 25

Bobot rata-rata (g) 17.571 9.943 29.956

Panjang total rata-rata (mm) 98.330 93.733 129.041

Hubungan Panjang berat W = 0.00011*L6.230 W = 8.05E- 05*L6.270 W = 2.39E*L5.970

Nilai r 0.74 0.94 0.93

Tipe pertumbuhan Alometrik positif Alom etrik positif Alometrik positif

Faktor kondisi 1.498 1.149 1.216

Berdasarkan hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 17, bahwa antara panjang total dan bobot tubuh ikan lalawak baik jengkol, sungai maupun kolam menunjukkan hubungan yang kuat sekali, hal ini terlihat dari nilai r korelasinya yang tinggi. Santoso (2003), menyatakan bahwa angka korelasi diatas 0.5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan dibawah 0.5 korelasi lemah. Nilai korelasi terendah terdapat pada ikan lalawak jengkol yaitu sebesar 0.74 (Gambar 16), selanjutnya diikuti oleh ikan lalawak kolam yaitu sebesar 0.93 (Gambar 17) dan lalawak sungai yaitu sebesar 0.94 (Gambar 18).

13%

10%

24% 23%

5% 20%

3% 1%

1%

Bacillariophyceae Chlorophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Rotifera Crustaceae Protozoa Detritus Tidak Terdeteksi


(40)

Gambar 16. Hubungan panjang berat ikan lalawak jengkol

Gambar 17. Hubungan panjang berat ikan lalawak sungai

W = 0, 00011* L6, 230

R2 = 0, 74

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10 15 20

Panjang Total (cm)

Bobot Tubuh (g)

W = 8, 05E- 05* L6, 270

R2 = 0, 94

0 5 10 15 20 25

0 2 4 6 8 10 12 14

Panjang Total (cm)


(41)

Gambar 18. Hubungan panjang berat ikan lalawak kolam

Faktor kondisi (K) ikan lalawak jengkol didapatkan sebesar 1.498, selanjutnya diikuti oleh lalawak kolam, yaitu sebesar 1.216 dan ikan lalawak sungai, yaitu sebesar 1.149. Secara keseluruhan untuk ikan lalawak baik jengkol, sungai dan kolam pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya. Hal ini juga diikuti oleh faktor kondisi ikan lalawak, dimana nilai K nya berkisar antara 1.149 sampai 1.216. Menurut Effendi (1979), bahwa nilai K untuk ikan-ikan yang badannya kurang pipih berkisar antara 1 sampai 3. Hubungan panjang total dan bobot tubuh serta faktor kondisi suatu ikan bergantung kepada makanan, umur, jenis sex dan kematangan gonad (Effendi 1997).

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Ikan lalawak jengkol, lalawak kolam dan lalawak sungai yang terdapat di Kecamatan Buah Dua dan Congeang Kabupaten Sumedang termasuk ke dalam genus Barbodes.

2. Ikan lalawak jengkol merupakan varietas baru dari Barbodes, dengan bentuk badan bulat, sedangkan lalawak kolam dan sungai memanjang. Jumlah

W = 2, 39E- 05* L5,970

R2 = 0, 93

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 5 10 15 20

Panjang Total (cm)


(42)

kromosom ikan lalawak jengkol, sungai dan kolam sama, tetapi susunan kromosomnya berbeda.

3. Ikan lalawak jengkol mempunyai kemampuan reproduksi yang cukup baik dibandingkan dengan ikan lalawak sungai dan kolam.

4. Ikan lalawak termasuk ikan omnivora yang cenderung ke herbivora.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai status taksonomi ikan lalawak jengkol dengan menggunakan metode DNA.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama tentang aspek lingkungan (alkalinitas) dan pakan buatan (kandungan protein pakan).

3. Dalam upaya pengembangbiakan perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kebutuhan pakan untuk induk sehingga dapat meningkatkan performans reproduksinya.


(1)

60 jam

120 jam (120)

156 jam

180 jam

204 jam

504 jam 4.42 mm

84 jam 4.54 mm

96 jam 4.61 mm

4.78 mm

4.86 mm

4.88 mm

4.94 mm

10.92 mm 60 jam

Gambar 36. Perkembangan telur dan larva ikan lalawak Jengkol (Barbodes sp.)


(2)

Setelah menetas, embrio memasuki fase larva. Larva adalah ikan yang masih berbentuk primitif, dan sedang dalam proses peralihan untuk menjadi bentuk defenitif dengan cara metamorfosis (Nelsen 1953 dalam Sumantadinata 1983). Secara garis besar perkembangan larva dibagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya, prolarva masih mempunyai kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui. Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak punya sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya tidak sempurna. Makanannya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Sedangkan masa postlarva ikan ialah mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ -organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologis sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya (Effendie 1997).

Sebagaimana diketahui bahwa masa kritis dalam daur hidup ikan terdapat dalam tahap larva. Kelangsungan hidup larva sangat ditentukan pada saat perkembangan embrio. Selama perkembangan embrio sangat ditentukan oleh komposisi nutrisi pakan yang diberikan kepada induk. Dengan penambahan VCE ke dalam pakan induk maka oksidasi asam lemak dapat dijaga. Fosfolipid merupakan salah satu komponen lemak yang dibutuhkan oleh larva dan berperan dalam membantu proses transpor nutrien dan ion untuk keperluan metabolisme di dalam kinerja membran sel dalam meningkatkan pertumbuhan larva ikan (Tago et al. 1999). Sedangkan Coutteau et al. (1997) mengemukakan bahwa suplai fosfolipid dalam pakan sangat efektif terhadap kelangsungan hidup dalam fase larva, kelangsungan hidup yang tinggi akan berkorelasi terhadap peningkatan efisisensi pakan. Selanjutnya Tago et al. (1999) menyatakan bahwa fosfolipid dalam tubuh ikan mampu meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kualitas air lingkungan. Data derajat ketahanan hidup larva ikan lalawak yang dihasilkan disajikan pada Tabel 35.


(3)

Tabel 35. Derajat ketahanan larva yang dihasilkan pada setiap ulangan untuk masing -masing perlakuan (%)

Pakan/kadar VCE (mg/kg pakan) Ulangan

50 : 50 (A) 50 : 100 (B) 50 : 150 (C) 50 : 200 (D)

1 22.50 43.33 38.00 37.50

2 40.83 56.67 42.50 32.50

3 19.17 61.67 40.00 43.33

Jumlah 27.50 ± 11.66 53.89 ± 9.48 40.17 ± 2.25 37.78 ± 5.42

Pada tabel 35 terlihat bahwa derajat ketahanan larva tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu sebesar 53.89% dan selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh perlakuan C sebesar 44.17%, D sebesar 37.78% dan A sebesar 30.83%, namun berdasarkan analisa sidik ragam perbandingan VCE yang berbeda didalam pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap ketahanan larva (P<0.05) (Lampiran 30).

Berdasark an analisis polinomial ortogonal pemberian perbandingan VCE di dalam pakan induk ikan lalawak memberikan kurva respon kuadratik terhadap KL mengikuti persamaan Y = -0.0589x2 + 27.059x + 3054.9; yang artinya KL akan meningkat dengan meningkatnya perbandingan kadar VCE di dalam pakan sehingga mencapai nilai optimal sebesar 57.43% pada perbandingan kadar VCE di dalam pakan sebesar 19.40:230 mg/kg pakan, setelah itu KL menurun walaupun perbandingan kadar VCE di dalam pakan ditingkatkan, dengan nilai R2 adalah sebesar 0.69 (Gambar 37). Penurunan derajat ketahanan larva disebabkan larva ikan mengalami stres pada saat uji coba dan rendahnya kandungan rasio asam lemak ω-6/ω-3 di dalam telur sampai dengan larva dua hari. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa VC bersama-sama VE secara sinergis berperan sebagai antioksidan di dalam sel. Sifat antioksidan ini akan melindungi lemak dari proses oksidasi, sehingga akumulasi lemak (asam lemak) di dalam telur menjadi meningkat seperti yang dihasilkan oleh perlakuan B. Lemak yang terkandung di dalam telur selain digunakan untuk sumber energi, juga dapat dikonversi menjadi struktur membran sel, atau senyawa lainnya (Watanabe 1988). Selanjutnya Kjorsvik et al. (1990) dalam Kamler (1992) menyebutkan bahwa mutu telur akan menentukan kemampuan telur tersebut untuk berkembang menjadi larva. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa semakin banyak cadangan lipid di dalam telur atau larva, semakin banyak energi yang tersedia dan semakin besar kesempatan larva untuk hidup.


(4)

Gambar 37. Hubungan antara kadar VE pakan dan KL larva ikan lalawak (Barbodes sp.) yang dihasilkan

Salah satu fungsi VC adalah untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap stres (Marchie et al. 1997). Stres adalah suatu respon fisiologis yang terjadi pada saat hewan berusaha untuk mempertahankan atau memelihara homeostas i. Penyebab stres dapat berasal dari perubahan lingkungan dan respon organisme lain (Wedemeyer dan McLeay 1981 dalam Adams 1990). Bila ikan mengalami stres, ikan tersebut akan menanggapinya dengan mengembangkan suatu kondisi homeostasis yang baru dengan merubah metabolismenya. Respon terhadap stres ini biasanya dikontrol oleh sistem endokrin melalui kortisol (Barton

et al. 1980) dan katekolamin (Woodwar 1982). Robinson (1984), mengemukakan bahwa kebutuhan vitamin pada umumnya didasarkan pada tingkat minimum tetapi dapat mendukung pertumbuhan maksimum atau mencegah gejala-gejala defisiensi. Besarnya kebutuhan VC dipengaruhi oleh laju pertumbuhan, tahap kematangan gonad, formulasi pakan, penyakit dan stres serta kondisi lingkungan.

Hasil uji coba Wademayer (1969) dalam Masumoto et al. (1991) mengemukakan adanya penurunan asam askorbat dari ginjal dan kemudian disusul dengan meningkatnya serum kortisol setelah terjadinya stress pada ikan salmon dan rainbow trout. Menurut Linder (1992), kebutuhan VC akan meningkat jumlahnya pada keadaan stres, karena stres dapat merangsang aksis pituitary adrenal yang mensekresikan eprineprin (adrenalin) dan VC secara simultan ke

y = -0,0589x2 + 27,059x - 3054,9 R2 = 0,69

0 10 20 30 40 50 60

200 210 220 230 240 250

Kadar VE dalam Pakan (mg/kg pakan)


(5)

dalam darah. Masumoto et al. (1991) mengemukakan bahwa pada ikan yang stres kadar hormon kortisol dan katekolamin akan meningkat dalam tubuh. Selanjutnya Pickering (1981) menyatakan bahwa hormon ini berperan dalam memacu produksi glukosa darah untuk dipakai sebagai energi.

Dari hasil percobaan yang diperoleh, ternyata derajat ketahanan larva ikan lalawak lebih kurang sekitar 50%. Rendahnya tingkat derajat ketahan larva ini diduga kebutuhan VC di dalam pakan kurang mencukupi untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap stres. Berdasarkan hasil uji coba Ishibashi et al. (1992) pada ikan parrot (Opleganthus punctatus) berbobot 2.4 g, untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya terhadap stres, maka penambahan asam askorbat yang efektif ditambahkan ke dalam pakan adalah sebesar 3000 ppm, dan untuk ikan kerapu tikus yaitu 10-100 mg/g pakan dalam bentuk AMP cukup sebag ai cadangan untuk kebutuhan sintesis adrenalin dalam produksi katekolamin yang senantiasa memacu hati memproduksi glukosa sebagai sumber energi pada saat terjadi stres (Subyakto 2000).

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Kandungan lemak di dalam telur ikan lalawak meningkat sejalan dengan meningkatnya penambahan VCE di dalam pakan induk.

2. Pada masa embriogenesis dan pertumbuhan larva, lemak dimanfaatkan sebagai sumber energi.

3. Kadar VCE yang terbaik untuk pematangan gonad ikan lalawak (indeks kematangan gonad, fekunditas, bobot telur, diameter telur, jumlah induk yang memijah, derajat tetas telur, total larva yang dihasilkan dan ketahanan larva) dengan menambahkan VCE kedalam pakan sebesar 19.40:226.9 -230 mg/kg pakan.


(6)

5. Sirip dada dan ekor organ yang pertama kali berfungsi sejak telur menetas, lebih jelas terlihat 18 jam setelah penetasan, sedangkan sisik 60 jam (umur 2.5 hari), dan menyerupai bentuk dewasa (defenitif) setelah larva beru mur 21 hari (504 jam).

Saran

1. Untuk memperbaiki performans reproduksi ikan lalawak ((indeks kematangan gonad, fekunditas, bobot telur, diameter telur, jumlah induk yang memijah, derajat tetas telur, total larva yang dihasilkan dan ketahanan larva), perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan vitamin yang lain (seperti vitamin A).